Menu Close
Potret dari udara memperlihatkan hutan yang terbakar di Kapuas Hilir, Kalimantan Tengah, 21 September 2019. Kabut asap sampai ke Singapura dan Malaysia. EPA/FULLY HANDOKO

Tidak cukup restorasi gambut untuk mencegah kebakaran hutan berulang di Sumatra dan Kalimantan

Penggunaan api untuk membuka lahan pertanian dan perkebunan menyebabkan kebakaran lahan dan hutan dan kabut asap mematikan tahun ini.

Sejak awal tahun ini, sekitar 320 ribu hektare–atau setara dengan hampir lima kali luas daratan DKI Jakarta–hutan dan lahan di Pulau Sumatra dan Kalimantan terbakar. Hampir seperempatnya merupakan lahan gambut. Asap yang dihasilkan sempat membuat langit Riau merah dan mencemari udara tak hanya di Indonesia tapi juga sampai Singapura dan Malaysia.

Selain membuat hujan buatan baru-baru ini, pemerintah berupaya mengatasi kebakaran hutan dengan merestorasi lahan gambut yang kering agar tetap basah dan tidak mudah tersulut api. Namun, upaya mengatasi masalah kebakaran hutan yang terus terjadi dari tahun ke tahun berhulu pada penghentian pembakaran untuk membuka lahan untuk pertanian dan perkebunan, baik oleh perorangan maupun perusahaan.

Politik api dalam pembukaan lahan

Telah lama petani membuka lahan dengan menebang pohon dan membakar lahan di musim kemarau. Metode ini termasuk yang paling mudah dan murah.

Sebenarnya kawasan gambut alami tidak mudah terbakar karena tanah gambut selalu basah atau tergenang air. Tapi jika manusia menebang pepohonan di hutan/lahan gambut untuk membuka lahan dan membuat saluran drainase untuk mengurangi air di tanah gambut, maka gambut akan terdegradasi. Air yang biasanya menggenangi tanah gambut akan menyusut setelah didrainase dan semakin menyusut saat kemarau.

Gambut yang telah terdegradasi dan mengering rentan terhadap percikan api yang menyulut kebakaran lahan. Begitu terbakar, api di lahan gambut sulit dipadamkan karena bahan gambut terbuat dan tersusun dari sisa pepohonan yang mudah membara. Hanya hujan lebat yang bisa memadamkan bara api seratus persen.

Undang-undang melarang perusahaan menggunakan api untuk membuka lahan. Namun, petani kecil diizinkan menggunakan cara ini dengan batasan dua hektare.

Jika hanya satu dua orang petani menggunakan api untuk membuka lahan dampaknya tidak akan terlalu besar.

Namun, ketika puluhan atau ratusan orang atau beberapa perusahaan sekaligus menebang dan membakar, maka dampaknya menjadi kejadian luar biasa.

Diduga perusahaan bermodal besar dan elite lokal menggunakan aturan yang membolehkan petani kecil membakar lahan secara terbatas untuk keuntungan mereka. Riset dari Center for International Forestry Research (CIFOR) mencatat bahwa harga lahan yang sudah dibakar meningkat tinggi. CIFOR juga mencatat elite lokal bertindak sebagai cukong yang mengorganisasi petani kecil untuk transaksi lahan. Lahan-lahan ini umumnya segera ditanami enam bulan sesudah kebakaran, sehingga diprediksi milik perusahaan bermodal besar.

Penegakan hukum untuk melarang penanaman di lahan bekas kebakaran perlu ditegakkan. Di samping itu kepemilikan tanah yang terbakar harus transparan.

Upaya restorasi gambut

Setelah kebakaran besar pada 2015, pemerintah mendirikan Badan Restorasi Gambut (BRG), sebuah lembaga nonstruktural dibentuk pada 2016 untuk merestorasi gambut. BRG bertanggung jawab langsung kepada presiden.

Hingga 2018, BRG diperkirakan telah merestorasi 700.000 hektare lahan gambut. Targetnya 2 juta hektare gambut hingga tahun 2021.

Indonesia juga mendapatkan dukungan luar negeri untuk upaya restorasi gambut. Misalnya, pada 2016 pemerintah Norwegia menawarkan US$50 juta untuk memetakan gambut di Indonesia dengan metode Lidar, suatu teknik penginderaan jauh dengan menggunakan sensor aktif.

Selain itu, David and Lucile Packard Foundation Amerika Serikat memberikan hadiah US$1 juta ke tim ilmuwan Jerman, Indonesia, dan Belanda untuk menyusun metode “terbaik” untuk memetakan gambut di Indonesia dalam kontes Indonesian Peat Price pada Februari 2018. Namun semua pemetaaan dan metode tersebut dikhawatirkan tidak operasional di lapangan.

Pemerintah Australia juga meluncurkan proyek untuk mencegah kebakaran berbasiskan sains untuk komunitas yang tinggal di dalam dan sekitar hutan dan lahan gambut dengan cara peningkatan mata pencarian dan kesadaran pelestarian lingkungan sekitarnya.

Semua proyek baru pada tahap awal, belum sempat diimplementasikan, kebakaran hutan terjadi lagi September 2019.

Api yang tidak pernah pergi

Apakah Badan Restorasi Gambut gagal merestorasi gambut? Belum bisa dijawab pasti karena restorasi gambut perlu waktu lama untuk memulihkan lahan yang telah rusak.

Pada awal 2018, pemerintah menyatakan restorasi gambut telah sukses karena titik api dan kabut asap berkurang.

Memang jumlah titik api jauh berkurang pada 2016 and 2017 dibanding tahun sebelumnya. Namun titik api masih terlihat pada 2016 and 2017.

Api sebenarnya tidak pernah padam yang menunjukkan bahwa praktik pembakaran lahan dan hutan terus terjadi (Lihat Gambar 1). Tidak adanya kabut asap pada 2016 dan 2017 karena musim kering yang masih cukup basah.

Gambar 1. Jumlah titik api (hotspot) di Sumatra dan Kalimantan dari 2013 sampai 2019 hasil pantauan satelit MODIS dengan resolusi 1 km. Data dari Global Forest Watch.

Kebakaran besar dan asap pekat tahun ini diperparah oleh kemarau pada 2018 dan tahun ini yang lebih kering dari tahun-tahun sebelumnya.

Gambar 2. Curah hujan suhu di kota Palangkaraya dan Pekanbaru pada bulan Juli dan Agustus sejak tahun 2014 - 2019.

Satelit dapat digunakan untuk memantau kebakaran hutan dan datanya tersedia secara berkala dan dapat diakses pada rentang waktu tertentu.

Titik api yang direkam citra satelit pada lahan gambut pada 2015 dan 2019 divisualisasikan pada Gambar 3 dan 4. Lebih banyak terdata titik api yang membakar lahan gambut pada 2015 bila dibandingkan dengan jumlah titik api pada 2019 ini. Tapi dampak asap yang mencemari udara tetap sama dirasakan masyarakat karena diiringi musim kemarau lebih panjang.

Gambar 3. Hotspot (titik merah) overlay dengan daerah gambut (coklat), September-Oktober 2015.
Gambar 4. Hotspot (titik merah) overlay dengan daerah gambut (coklat), September 2019.

Apa solusinya?

Bagaimana meningkatkan kesadaran masyarakat, petani dan pengusaha agar tidak membakar ketika membuka lahan baru?

Untuk petani diupayakan kebutuhan hidupnya tercukupi sehingga tidak tergiur upah recehan untuk membakar hutan yang ada di samping lahannya. Masyarakat dan petani harus mendapatkan insentif untuk menjaga ekosistem hutan. Pendidikan mengenai pentingnya ekosistem gambut dalam menjaga kesediaan air untuk generasi selanjutnya perlu diberikan dan ditekankan.

Untuk pengusaha, kesadaran memelihara alam perlu didorong. Jika alam sekitar dirusak maka usahanya juga akan rusak setelah itu. Perusahaan besar yang mempunyai fasilitas pembukaan lahan tanpa membakar bisa membina petani kecil.

Dibutuhkan kerja sama masyarakat, petani, pengusaha, dan pemerintah agar mencapai kesepakatan untuk memelihara alam sekitar mereka. Kebakaran yang terjadi di dekat perkebunan sawit malah bisa merambat ke lahan yang sudah ditanami, akibatnya bisa merusak perekonomian sawit.

Kita perlu memikirkan cara membuka lahan yang lebih ekonomis dan praktis tanpa menghidupkan korek api dan menyulutnya pada tanaman yang sudah mengering.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now