Menu Close

Tidak perlu yang asli, yang penting selfie: fenomena di balik Rabbit Town

Urban Light karya Chris Burden, Los Angeles County Museum of Art. Di Rabbit Town ada instalasi yang diduga meniru instalasi tersebut. Terry Robinscon/Flickr, CC BY-SA

Semenjak dibuka tanggal 23 Februari yang lalu, destinasi pariwisata di Bandung, Jawa Barat Rabbit Town memicu kontroversi. Destinasi wisata ini sejak awal mengaku sebagai objek wisata swafoto (selfie destination). Namun beberapa instalasi yang menjadi objek foto dalam Rabbit Town menjadi polemik.

Instalasi-instalasi tersebut diduga hasil plagiat karya seniman kondang luar negeri. Ada instalasi yang mirip Urban Light karya Chris Burden yang digelar di Los Angeles County Museum of Art di Amerika. Kemudian ada yang mirip instalasi seniman terkenal Jepang Yayoi Kusama yaitu Obliteration Room. Beberapa instalasi lainnya mirip instalasi di Museum of Ice Cream di Amerika.

Tuduhan plagiat itu diperbincangkan banyak orang dan menjadi viral di media sosial. Isu ini juga mendapat perhatian media, termasuk media luar negeri. Laporan media massa pada dasarnya menghujat keberadaan Rabbit Town yang dengan gampangnya meniru ide orang lain dan mengambil keuntungan dari sana.

Namun bagi saya, permasalahan utama dari Rabbit Town bukan masalah penjiplakan, tetapi bertemunya kebiasaan swafoto para wisatawan yang marak beberapa tahun belakangan dengan kepentingan pengelola wisata.

‘Plagiat’ dimana-mana

Perlu diketahui bahwa Rabbit Town bukan satu-satunya tempat wisata yang menjiplak ide orang lain. Jika anda mengetik “rumah hobbit” di situs pencarian Google, maka paling tidak ada tiga lokasi yang muncul selain aslinya yang di Selandia Baru. Di Indonesia, rumah hobbit juga muncul di Yogyakarta, di Tulungagung, Jawa Timur dan di Bandung, Jawa Barat.

Konsep destinasi pariwisata yang mengabaikan unsur otensitas juga marak. Contoh lain ada Floating Market di Lembang, Bandung yang menawarkan foto dengan pakaian Korea atau negara lainnya. Hal yang menarik adalah tempat-tempat ini tetap ramai dengan pengunjung. Mengapa demikian?

Mendefinisikan ulang ruang dan kegiatan berwisata.

Berpergian ke tempat wisata tidak lagi hanya masalah ruang. Dalam era digital, teknologi komunikasi memiliki peran penting dalam mendefinisikan ulang ruang dan kegiatan berwisata. Ahli sosiologi asal Perancis Henri Lefebvre mengatakan ruang didefinisikan juga oleh praktiknya. Andre Jansson, ahli komunikasi geografi dari Karlstad University, menyatakan bahwa logika media kemudian ikut mendefinisikan praktik atas ruang. Plesir bukan lagi masalah mencari pengalaman otentik di sebuah tempat tapi juga mengambil foto, mengunggahnya di sosial media untuk pencarian pengakuan.

Contohnya, jika dulu orang datang ke Kotagede, Yogyakarta untuk menyambangi makam pendiri Mataram atau membeli kerajinan perak. Praktik itu kini bertambah atau mungkin berubah. Banyak orang yang menyengaja datang ke Kotagede tidak lagi untuk mengunjungi makam Panembahan Senapati, tetapi hanya untuk mengambil foto pintu dan jendela lawas dari rumah-rumah kuno yang ada di sana. Setelah itu, mereka mendistribusikannya di Instagram.

Contoh praktik ruang lain misalnya adalah kebiasaan kita berkunjung ke rumah makan. Kini kita pergi ke restoran tidak hanya untuk makan tapi juga mengambil foto dan mendistribusikannya via media sosial.

Degradasi pariwisata oleh budaya selfie?

Banyak orang mengatakan bahwa kasus Rabbit Town adalah manifestasi betapa rusaknya pariwisata Indonesia oleh budaya swafoto. Mereka beranggapan bahwa budaya swafoto mendegradasi tujuan-tujuan wisata.

Namun apakah benar budaya berfoto merupakan akar dari segala permasalahan pariwisata di Indonesia?

Ahli sosiologi asal Inggris John Urry mengatakan bahwa dari awal kegiatan berwisata adalah urusan tatapan. Ia mendefinisikan aktivitas wisata sebagai “kegiatan melihat pemandangan yang berbeda, panorama dan pemukiman kota yang tidak biasa.”

Masalahnya kemudian, lanjut Urry, cara turis melihat dan menonton tempat wisata tidaklah tunggal. Cara pandang mereka beragam tergantung kondisi masyarakat, kelompok sosial dan periode sejarah. Ketika teknologi komunikasi menyediakan kecepatan cara merekam (fotografi) dan mendistribusikannya (sosial media), bentuk tatapan wisatawan pun berubah. Berfoto atau ber-selfie di tempat pariwisata pada akhirnya dapat dibaca sebagai keniscayaan. Berfoto menjadi cara mereka memperluas cara pandang mereka yang menjadi ruh dalam wisata.

Dengan kata lain, budaya swafoto sebenarnya bukan hal yang mendegradasi tempat wisata tapi sebenarnya perluasan tatapan wisatawan. Budaya berfoto lahir dan manunggal dengan aktivitas wisata itu sendiri.

Dari penjelasan di atas, kita dapat mengetahui alasan mengapa tempat wisata yang tidak otentik tetap diminati. Praktik tempat wisata tidak lagi menimbang otensitas, melainkan pengunjung menikmati tempat wisata dengan logika media; merekam dan kemudian mendistribusikan rekaman tersebut.

Menyambut era post-tourism

Dean MacCannel, sosiolog Amerika penulis buku klasik The Tourist juga mengingatkan bahwa keaslian di tempat wisata selalu merupakan keaslian yang dipanggungkan (staged authencity). Hal ini berlaku juga bagi destinasi yang mengklaim dirinya paling ‘asli’ sekalipun.

Panggung ini yang kemudian dimanfaatkan pebisnis tempat wisata dalam memproduksi tempat wisata. Mereka berusaha mencipta tempat wisata yang menarik dalam artian untuk direproduksi secara visual. Entah dengan cara berkreasi atau meniru objek lain yang sudah populer—seperti cara Rabbittown.

Cara lain adalah dengan membawa suatu objek atraksi yang bersifat global (rumah Hobbit) atau sebaliknya menjual objek atraksi yang bersifat lokal dan mereplikasinya. Pariwisata sendiri akhirnya menjadi kehilangan batas-batas definisinya atau yang dikenal dengan istilah post-tourism.

Tak salah jika Andre Jansson kemudian mengajak kita untuk berpikir ulang tentang post-tourism di era media sosial. Jansson menulis bahwa kuatnya pengaruh teknologi komunikasi membuat orang tak lagi mendefinisikan berwisata dan tempat wisata sebagaimana cara lama. Apapun asal dapat direkam dan disebarkan via sosial media, ia dapat menjadi objek wisata. Hal itulah yang barangkali sedang terjadi dalam pariwisata Indonesia, barangkali.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now