Menu Close

Tim Hukum Nasional Wiranto adalah blunder politik bagi Jokowi

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto. Bagus Indahono/AAP

Dalam hitungan hari, Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan mengumumkan hasil resmi pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres).

Sampai saat ini sudah 84% data suara yang masuk ke KPU; petahana Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengantongi suara 56,2%, sedangkan lawannya, Prabowo Subianto hanya memperoleh 43,8%.

Kemenangan Jokowi juga sudah diprediksi oleh lima lembaga survei tepercaya.

Tapi awal bulan ini, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengeluarkan keputusan yang kontroversial dengan membentuk Tim Hukum Nasional .

Tim ini dibentuk untuk menghentikan ujaran-ujaran kebencian maupun hasutan yang semakin marak pada pilpres dan pileg 17 April lalu. Tim yang beranggotakan ahli hukum ini akan mengkaji ucapan, tindakan, pemikiran yang dianggap meresahkan dan menindak tegas siapapun yang melanggar hukum.

Pakar dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menentang langkah Wiranto dan mengganggapnya “berlebihan” serta “berpotensi memasung kebebasan berpendapat warga negara di alam demokrasi”.

Dua tahun belakangan saya intens meneliti ujaran kebencian, perjalanan intelektual tersebut membuat saya melihat langkah Wiranto berpotensi mencederai kebebasan berpendapat di ruang publik Indonesia yang akhirnya memberikan citra buruk pada Jokowi justru menjelang kemenangannya dan itu merupakan sebuah blunder politik yang tidak perlu.

Blunder politik

Langkah Wiranto mengingatkan kita pada era Orde Baru sebelum reformasi. Ketika itu, pemerintahan mantan presiden Suharto mengekang kebebasan berpendapat dan berekspresi. Sang mantan jenderal menjadikan militer sebagai alat kekuasaannya untuk memastikan situasi nasional selalu ‘aman dan tertib’ bagi kepentingan politik pemerintah.

Keputusan Wiranto, yang merupakan ajudan mantan presiden Suharto dan ditunjuk menjadi panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia sebelum Suharto lengser tahun 1998, berpotensi membawa bangsa ini kembali ke era ketika kebebasan berpendapat dikekang.

Langkah ini justru merugikan Jokowi yang hampir dipastikan menang karena:

Pertama, langkah ini akan melukai karir politik Jokowi yang sejauh ini dibangun dari kedekatannya dengan rakyat dan jauh dari kelompok militer.

Para pengamat politik melihat terpilihnya Jokowi pada 2014 sebagai Presiden Indonesia menandakan munculnya wajah baru pemimpin Indonesia yang bukan berasal dari tokoh militer maupun politik.

Namun, banyak orang mulai melihat adanya perubahan orientasi politik Jokowi dengan kehadiran beberapa purnawirawan jenderal di pemerintahan Jokowi. Selain Wiranto, ada Luhut Binsar Panjaitan yang saat ini menjabat sebagat Menteri Koordinasi Bidang Kemaritiman.

Jokowi akan melukai citranya yang non militer dengan membiarkan tim ini berjalan.

Kedua, setelah gagal memenuhi janjinya untuk menyelesaikan kasus-kasus HAM pada masa lalu, Jokowi dipastikan akan mendapat kecaman dari para pejuang reformasi dan HAM jika tetap membiarkan tim ini ada.

Dampak politis dari kegagalan Jokowi memenuhi janjinya untuk menyelesaikan kasus-kasus HAM adalah munculnya gerakan golongan putih. Kelompok ini memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu dan pilpres kemarin karena kecewa terhadap Jokowi.

Bisa dibayangkan dampak politis yang terjadi ketika Jokowi membiarkan tim bentukan Wiranto tetap bekerja karena ini berarti mengkhianati semangat reformasi yang sudah terbangun selama lebih dari dua dekade untuk menyudahi rezim otoriter Orde Baru.

Langkah tersebut juga dapat menguntungkan kubu lawan Jokowi. Sandiaga Uno, calon wakil presiden Prabowo, berulang kali menyampaikan bahwa keputusan pemerintah ini membatasi masyarakat dalam menyampaikan kritik kepada pemerintah.

Salah strategi

Wiranto mengatakan tujuan pembentukan Tim Hukum Nasional adalah untuk merespons ucapan, tindakan, dan pemikiran tokoh masyarakat yang ditengarai melanggar hukum.

Tim ini dibentuk juga sebagai respons terhadap masifnya narasi pendukung Prabowo yang hendak mendelegitimasi kemenangan Jokowi dengan menuduh Jokowi melakukan kecurangan pemilu secara terstruktur, sistematis, dan masif.

Pembentukan Tim Hukum Nasional yang digagas Wiranto adalah langkah yang tidak tepat karena rentan mencederai kebebasan berpendapat yang merupakan hak dasar warga negara demokratis.

Langkah represif yang dipilih justru akan membiakkan dendam dan kebencian.

Pemerintah perlu membuat pilihan penanganan yang tepat dapat memutus mata rantai kebencian yang terlanjur terbentuk akibat polarisasi politik yang tajam antara pendukung Jokowi dan Prabowo.

Netral atau tidak?

Banyak pertanyaan tentang kenetralan tim bentukan Wiranto ini.

Perlu diingat, Wiranto adalah salah satu bagian dari tim pemenangan Jokowi sebagai presiden periode 2019-2024.

Oleh karena itu, sulit mengharapkan tim tersebut akan netral. Padahal sikap netral dan imparsial adalah pondasi penegakan hukum yang adil.

Ini tentu akan memunculkan sikap kebencian dari pihak-pihak yang merasa dirugikan dan mungkin mendorong mereka untuk tidak percaya lagi pada legitimasi pemerintah.

Terlebih lagi, tim hukum bentukan Wiranto lebih menyasar kepada pendukung Prabowo, seperti Bachtiar Nasir, Amien Rais, dan Kivlan Zein. Padahal, Prabowo pun sering kali menjadi sasaran ujaran kebencian juga dari pendukung Jokowi.

Pikir ulang

Jika pemerintah bertujuan melakukan rekonsiliasi masyarakat yang terbelah akibat sentimen pilpres 2019, maka pembentukan Tim Hukum Nasional adalah langkah yang harus dipikir ulang karena pilihan ini hanya menciptakan sentimen negatif terhadap pemerintah.

Jika kehidupan yang demokratis yang dituju, maka tak ada tempat bagi penguasa tunggal wacana publik.

Demokrasi pasti berisik karena demokrasi adalah pasar ide yang riuh bersahutan.

Pemerintah perlu berbesar hati untuk mengakomodasi suara-suara yang berbeda untuk memperkaya perspektif wacana publik.

Lagipula, komunikasi antara pemerintah dan rakyat selalu berada dalam proses negosiasi karena pemerintah dan rakyat berada pada kedudukan yang setara.

Selalu ada persaingan dan pertarungan dalam wacana publik, tetapi jika pertarungan dan persaingan itu berjalan secara sepadan, hal tersebut yang dapat menjadi katrol kualitas kehidupan demokrasi kita.

Warga negara menjadi terlatih menghadapi suara-suara yang berbeda sampai bertentangan dan mengambil keputusan politisnya secara bertanggung jawab dan penuh penghormatan kepada yang berbeda.

Di kemudian hari, polarisasi masyarakat secara ekstrem karena perbedaan pilihan politik tidak terulang lagi.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now