Menu Close
Antara Go-jek dan Uber, ada sekitar 300,000 akun yang terdaftar sebagai pengendara lepas di Indonesia. Gary Lotulung/Reuters

Transportasi online di Indonesia sukses, tapi kerja pengemudi rawan

Pemerintah Indonesia belum lama ini mengubah peraturan soal layanan transportasi online yang mendisrupsi bisnis angkutan.

Aplikasi online yang menghubungkan pengendara motor dan mobil dengan penumpang melalui telepon seluler menyediakan pilihan transportasi yang murah dan nyaman bagi penumpang. Namun penyedia layanan transportasi tradisional protes terhadap saingan baru ini.

Di bawah aturan baru pemerintah dapat mengendalikan harga layanan transportasi demi persaingan sehat antara layanan transportasi online dan tradisional. Kendaraan-kendaraan juga harus memenuhi minimum kapasitas mesin dan persyaratan laik jalan.

Perubahan-perubahan aturan ini untuk memastikan persaingan sehat antara layanan transportasi online dan angkutan tradisional. Meski demikian, aturan baru soal layanan transportasi online belum menyentuh dampak bertumbuhnya jumlah pengendara lepas terhadap kerawanan dan stabilitas kerja.

Menciptakan peluang kerja

Ada sekitar 300.000 akun yang terdaftar sebagai pengendara lepas untuk Gojek dan Uber di Indonesia.

Angka ini signifikan dan kemungkinan besar akan terus bertumbuh. Indonesia memiliki sekitar 120,85 juta pekerja, menurut data 2015.

Gojek dan Grab mulai beroperasi di Indonesia masing-masing di 2011 dan 2012. Gojek mengaku memiliki sekitar 250.000 pengendara. Uber memasuki Indonesia di 2014 dan tahun berikutnya mereka mengumumkan akan menambah jumlah pengemudi dari 12.000 menjadi 100.000 di 2017.

Menurut sebuah penelitian yang dilakukan tahun 2015 terhadap pengemudi Uber di Amerika Serikat, para pengemudi tertarik pada peluang pendapatan dan waktu kerja yang fleksibel yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan aplikasi transportasi.

Sebuah penelitian tahun 2015 yang dilakukan Grab mengenai para pengemudi mereka di Indonesia mengangkat dampak positif Grab pada pengemudi. Supir Grab dapat membayar biaya sekolah anak-anak mereka dan memiliki tabungan untuk membeli rumah. Selain itu, pengemudi GrabCar menakar fleksibilitas kerja sebagai keuntungan utama bergabung dengan layanan tersebut.

Pekerjaan yang tak stabil dan rawan

Namun pekerjaan ini bukan tanpa kekurangan. Pengemudi layanan transportasi online diklasifikasikan sebagai kontraktor mandiri atau mitra kerja, bukan karyawan. Ini berarti pengemudi dan keluarga mereka harus mengatasi sendiri risiko-risiko yang berhubungan dengan pekerjaan.

Klasifikasi ini membebaskan perusahaan dari kewajiban untuk memenuhi upah minimum, uang lembur, tunjangan kesehatan, pensiun, dan jaminan sosial pekerja.

Para pengemudi yang bergantung pada taksi online sebagai sumber pemasukan utama mereka lebih rentan terhadap ketidakpastian pendapatan, dibandingkan mereka yang memiliki pekerjaan lain.

Waktu kerja yang fleksibel juga membuat pengemudi terpapar pada risiko-risiko lain karena mereka cenderung bekerja lebih lama, seringkali di jam-jam yang tidak wajar, untuk memaksimalkan pemasukan mereka.

Sektor informal

Ketidakpastian dan kerawanan ini mirip dengan pengalaman pekerja-pekerja sektor informal, seperti kuli pasar, pembantu rumah tangga, dan pengemudi ojek biasa.

Pengemudi taksi online juga merasakan pengalaman pekerja formal yang dipekerjakan melalui out-sourcing atau alih daya.

Di banyak negara di Asia, praktik ketenagakerjaan yang rawan telah lama menjadi “standar” karena luasnya sektor informal dan kegagalan sektor formal menciptakan lapangan pekerjaan tetap.

Kerawanan dan ketidakpastian yang berhubungan dengan pekerjaan ini bagian dari tren global casualisation of labour, di mana pekerjaan-pekerjaan tetap berubah menjadi kerja kontrak jangka pendek atau lepas.

Tren ini berhubungan dengan meluasnya neo-liberalisme, sekumpulan ide dan kebijakan yang mendukung persaingan pasar bebas secara global.

Perubahan-perubahan ini telah mendorong kebijakan ketenagakerjaan yang fleksibel, membongkar sistem negara kesejahteraan (welfare state) di tempat-tempat sistem itu sebelumnya berlaku, dan mengurangi akses kelompok termiskin dunia terhadap berbagai layanan sosial.

Dampak kerawanan dan ketidakpastian kerja

Penelitian menunjukkan kerawanan dan ketidakpastian yang berhubungan dengan pekerjaan mempengaruhi pekerja secara fisik, psikologis, dan moral.

Kerawanan dan ketidakpastian pekerjaan meningkatkan stres, menyebabkan penyakit, juga merusak kualitas hubungan dalam keluarga dan anggota-anggota masyarakat yang lain.

Lebih dari itu, pekerja yang mengalami kerawanan dan ketidakpastian rentan terpengaruh politisi populis yang seringkali menggunakan isu-isu etnis dan keagamaan untuk menarik dukungan. Tanpa sarana yang memadai untuk menyuarakan aspirasi mereka, para pekerja dengan mudah akan mendengarkan suara-suara yang menyebabkan perpecahan.

Tingkatkan perlindungan pekerja

Pemerintah, perusahaan-perusahaan, serikat pekerja, dan elemen-elemen lain dari masyarakat perlu memikirkan ulang arti pekerjaan dan hubungan tenaga kerja dalam sistem ekonomi di era digital. Kita perlu juga memikirkan dampak semua ini pada pekerja.

Serangkaian strategi diperlukan untuk menyatukan pengemudi dan menciptakan saluran yang menyuarakan aspirasi para pekerja lepas transportasi online. Strategi-strategi ini perlu menimbang bahwa pengaturan kerja fleksibel dalam ekonomi era digital berbeda dengan pekerjaan-pekerjaan konvensional.

Penting juga menimbang ulang klasifikasi pengemudi sebagai kontraktor independen. Pengemudi-pengemudi di Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada telah menuntut Uber untuk mengklasifikasikan mereka sebagai karyawan, bukan kontraktor independen. Keputusan atas sengketa ini bervariasi. Beberapa hakim menetapkan bahwa pengemudi Uber adalah karyawan. Namun sebuah arbitrasi di Kalifornia, Amerika Serikat menetapkan pengemudi Uber sebagai kontraktor, bukan karyawan.

Layanan transportasi online bisa jadi telah menyediakan peluang pemasukan yang cukup berarti bagi para pengemudi. Namun, layanan ini menciptakan lapangan kerja yang rawan bagi pengemudi, dan kita perlu membicarakan masalah ini.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now