Menu Close

Tujuh mitos pada era media sosial

Internet diharapkan mampu memperbarui demokrasi, mememecah hegemoni penyedia berita yang monopolistik, dan membawa kita semua memasuki sebuah komunitas global. Selama enam bulan terakhir, ide itu dirongrong oleh mitos baru yang mengatakan bahwa demokrasi, sesungguhnya, sedang dijungkirbalikkan oleh produk turunan internet: bot dan berita bohong Rusia—dan bahwa organisasi-organisasi baru kehilangan kekuasaan mereka untuk menjaga agar orang tetap melek informasi.

Tetapi—setidak-tidaknya di Inggris—tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa berita-berita rekaan dari situs-situs berita palsu mempunyai dampak signifikan. BBC dan media arus utama masih menjadi sumber informasi kita secara online maupun offline. Penelitian yang dilakukan selama kampanye referendum Uni Eropa, misalnya, mendapati bahwa dari semua tautan Twitter yang dianalisis, 63,9% terhubung dengan berita-berita dari berbagai organisasi berita profesional. Berita sampah hanya mencapai sekitar sekitar 5% dari keseluruhan dan “tidak banyak bukti tentang konten Rusia.”

1. Internet meningkatkan demokrasi

Internet mestinya meningkatkan demokrasi dengan menghentikan monopoli media dan memungkinkan siapa saja bergabung dalam perbincangan. Namun, pada kenyataannya internet selalu mengangkat suara paling populer dalam setiap ceruk, sehingga penyedia berita terbesar selalu menjadi yang paling banyak dibaca, dan publikasi-publikasi berita kecil berjuang mengais-ngais dana. Lebih dari 200 surat kabar lokal ditutup di Inggris sejak 2015. Tentu saja ada lebih banyak pilihan kalau Anda mencarinya, tapi hal yang menjadi persoalan terbesar adalah banyaknya orang di seluruh dunia yang langsung menggeser saluran tanpa pikir panjang dan memilih untuk menonton anak kucing dan komedi daripada berita.

2. Sekarang, kita semua adalah jurnalis

Kita semua bisa mengirimkan broadcast dari ponsel kita, tapi seringnya yang kita bagikan malah foto anak-anak kita. Efek disrupsi digitalnya adalah lanskap media menjadi lebih terkonsentrasi dan jumlah jurnalis profesional merosot ketika organisasi-organisasi media “warisan” berjuang menghadapi penurunan pendapatan. Tapi audiens tidak menggantikan mereka—laporan-laporan pandangan mata ponsel itu, di-tweet oleh orang-orang yang lewat, akan lenyap tanpa jejak jika tidak ditemukan atau disebarkan oleh jurnalis profesional yang jumlahnya semakin berkurang.

Di sisi lain, internet menciptakan pasukan “influencers” media sosial yang, jika mereka cerdik, mengubah diri menjadi “merek dagang” yang mereka manfaatkan untuk merekomendasikan—atau menjual—apa saja mulai dari kosmetik sampai mobil mewah dengan imbalan barang atau tunai. Sementara itu, segelintir suara benar-benar baru yang diciptakan secara online timbul dan tenggelam seperti biasanya, bertahan menggantung sebisanya pada margin dan berharap mendapat perhatian dalam luar biasa derasnya arus informasi.

3. Yang banyak lebih pintar dari yang sedikit

Buku-buku dengan judul seperti The Wisdom of Crowds menyatakan bahwa internet akan melahirkan sebuah bentuk demokrasi langsung murni karena, kalau Anda mengajukan pertanyaan kepada cukup banyak orang, jawabannya akan selalu benar.

Tentu saja, tidak selalu begini. James Surowiecki via Amazon

Tapi optimisme naif ini bukanlah faktor dalam tak terhitung cara saat orang (atau dalam hal ini data mereka) bisa dimanipulasi. Di negara-negara tanpa sumber berita arus utama yang bisa diandalkan dan terpercaya, orang mencari uang dengan mengarang berita dimaksudkan untuk menimbulkan ketakutan dan prasangka.

Di Amerika Serikat, tempat berita sudah menjadi sangat terpolarisasi dan berita arus utama sudah kehilangan kepercayaan banyak pemilih, para peneliti sedang mempelajari negara bagian swing state (yang berpotensi dimenangkan Demokrat maupun Republik) Michigan, mendapati berita-berita bohong sama besar peluangnya disebar seperti berita dari sumber-sumber profesional dalam periode pemilihan presiden 2016.

Tapi berita bohong bukan wilayah ekslusif pabrik-pabrik berita sampah. Pada akhir Februari, The Sun menghapus dari situsnya sebuah artikel yang sangat menyesatkan tentang penghematan karena Brexit menyusul kritik oleh ekonom Jonathan Portes.

Celakanya, berita itu sudah telanjur di-retweet oleh anggota parlemen konservatif pendukung Brexit, Jacob Rees-Mogg, untuk 121.000 pengikutnya. Rees-Mogg (sampai hari ini) belum mengoreksi atau meminta maaf atas tweet-nya—karena dia hanya mengikuti lima orang, mungkin saja dia tidak mengetahui kesalahannya.

4. Internet menghasilkan sebuah ‘desa global’

“Desa global” adalah ide ahli media Amerika Marshal McLuhan yang—pada 1964—sudah memaparkan ide bahwa dalam era elektronik, semua orang mempunyai akses pada informasi yang sama melalui teknologi. Tampaknya ini akan diwujudkan oleh internet.

Tapi bukti-bukti menunjukkan bahwa kecenderungan sentralisasi monopoli media global sedang tumbuh. Segelintir perusahaan termasuk Facebook dan Google kini menjadi penjaga gerbang informasi di seluruh dunia—dan hampir semuanya perusahaan Amerika. Sementara itu, di negara-negara dengan perekonomian sedang berkembang dan otoriter, harapan terhadap demokratisasi gerakan-gerakan sosial dipupuskan oleh meningkatnya gempuran propaganda pemerintah di ranah online.

5. Internet menyatukan kita

Ada banyak yang harus disyukuri karena internet dan mesia sosial memungkinkan kita berkomunikasi secara lateral. Hanya perlu beberapa detik untuk berkomunikasi dengan ribuan orang melalui WhatsApp dan beberapa menit untuk membuat sebuah petisi dan mengunggahnya di Facebook. Yang tidak begitu pasti adalah kemampuannya untuk menyatukan orang di sepanjang batas afiliasi personal dan mendorong perdebatan sesungguhnya.

Cepat dan mudah berpartisipasi dalam perdebatan melalui ponsel atau komputer. Andrey_Popov

Para peneliti Amerika Michael Beam, Myiah Hutchens, dan Jay Hmielowski berusaha mencermati efek-efek berlainan pembacaan surat kabar online dan penyebaran material di media sosial. Mereka mendapati bahwa pembacaan online, seperti pembacaan offline, meningkatkan pengetahuan—tapi, di media sosial, orang mungkin membagi apa saja tanpa membaca. Boleh jadi inilah sebagian alasan mengapa beberapa sarjana mengkhawatirkan bahwa polarisasi politik berjalan beriringan dengan meningkatnya penggunaan media sosial.

6. Tak seorang pun percaya media arus utama

Ketika ditanya apakah mereka mempercayai media, kecenderungan jawaban di banyak negara adalah tidak—tetapi ketika ditanya apakah mereka mempercayai outlet berita favorit mereka, tingkat kepercayaan naik secara dramatis. Namun, ada sebuah faktor yang menonjol di Eropa utara: orang lebih mempercayai media tradisional mereka daripada sumber-sumber berita online dan media sosial. Yang lebih penting, kiriman broadcast publik yang cenderung dipercayai dalam spektrum politik justru mempersatukan orang, bukan memecah belah mereka.

7. ‘Generasi digital’ baru

Inilah mitos paling besar dari semuanya—bahwa ada sebuah generasi digital baru yang tidak percaya berita arus utama dan sibuk menciptakan masa depan “aktualisasi diri” yang lebih demokratis, dan tidak begitu mensyaratkan “kepatuhan”. Melegakan sekali mengetahui bahwa anak-anak muda mempunyai jawaban dan akan membawa dunia lebih baru serta lebih menyenangkan yang gagal diciptakan orang-orang tua pendahulu mereka. Tapi tak seorang pun dari kita yang lahir digital. Secara alamiah, anak-anak muda tidak lebih cakap dalam menjelajahi dunia online daripada dalam mengemudikan mobil tanpa belajar. Eksplorasi saja tidak akan bisa mengajari anak muda bagaimana memilah misinformasi dan propaganda dari fakta.

Seperti yang dibahas rekan penulis Norwegia saya Eiri Elvestad bersama saya dalam sebuah buku baru, Misunderstanding News Audiences, Seven Myths of the Social Media Era, teknologi sedang mengubah demokrasi kita—kita memang bukan tidak berdaya di hadapan teknologi, tapi kita juga tidak dibebaskan oleh teknologi. Seperti halnya pergeseran-pergeseran teknis besar sebelumnya, kita sedang berada dalam proses mengadaptasikan teknologi dengan kebutuhan-kebutuhan kita dan bahwa prosesnya bervariasi menurut siapa kita dan di mana kita hidup.

Demokrasi akan menguat jika kita belajar bagaimana menggunakan internet dengan bijak. Jika kita menyerahkannya kepada angin pasar bebas mungkin akan kita dapati internet menguasai kita.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now