Menu Close
Prabowo Subianto (kanan) dan Sandiaga Uno dalam jumpa pers setelah Mahkamah Konstitusi mengumumkan putusannya yang menolak semua permohonan pasangan ini terkait sengketa pemilihan presiden 2019. Bagus Indahono/EPA

‘Ucapan selamat budaya Barat’ Sandiaga, mengapa pemimpin politik perlu kecerdasan kultural?

Calon Wakil Presiden Sandiaga Uno menolak mengucapkan selamat kepada presiden dan wakil presiden terpilih Joko “Jokowi” Widodo dan Ma'ruf Amin. Alasannya, mengucapkan selamat merupakan budaya demokrasi Barat. “Ini budaya-budaya yang bukan keindonesiaan menurut saya,” kata dia yang dikutip oleh media.

Dari sudut pandang psikologis, sikap pendamping calon Presiden Prabowo Subianto itu tidak mencerminkan kecerdasan kultural yang sebenarnya penting ditunjukkan oleh seorang pemimpin bangsa dengan konteks budaya yang majemuk.

Dalam beberapa tahun terakhir Sandi telah menampilkan diri sebagai sosok pemimpin muda yang layak diperhitungkan dalam kancah politik nasional masa depan. Tetapi, keengganan Sandi mengucapkan selamat dengan dalih karena itu bukan budaya Indonesia menunjukkan satu hal yang kurang dalam dirinya sebagai seorang pemimpin: kecerdasan kultural.

Kecerdasan kultural dan kepemimpinan

Secara sederhana, kecerdasan kultural dapat diartikan sebagai kemampuan kognitif dan afektif yang membantu seseorang beradaptasi dan mengelola lingkungan budaya yang berbeda-beda.

Kecerdasan kultural tinggi terbukti mendukung kepemimpinan yang efektif.

Harry C. Triandis, psikolog budaya terkemuka dari University of Illinois Urbana-Champaign di Amerika Serikat mengungkapkan ada dua aspek kecerdasan kultural yang penting dimiliki oleh seorang pemimpin.

Pertama, kemampuan menunda keputusan.

Dinamika politik bergerak cepat, dan seringkali membuat politikus terburu-buru mengambil sikap. Tidak mudah bagi siapa pun untuk menerima kekalahan. Dan, mungkin sebenarnya seorang Sandiaga Uno pun pun butuh waktu untuk dapat menerima keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatannya.

Dalam situasi sulit, pemimpin yang memiliki kecerdasan kultural tinggi akan mampu menimbang sebanyak mungkin informasi, menyadari betul kedudukannya dan orang-orang yang dihadapinya, dan mengambil sikap secara hati-hati dengan mengkalkulasi segala dampak sosial-politik yang dapat ditimbulkan.

Terburu-buru menolak mengucapkan selamat dengan alasan “bukan budaya Indonesia” tidak merefleksikan kecerdasan kultural seorang pemimpin politik.

Kedua, kepekaan dalam membaca situasi.

Seorang pemimpin dengan kecerdasan kultural tinggi akan mampu menangkap perkembangan situasi, dan mengambil tindakan yang selaras dengan ekspektasi kultural masyarakat setempat.

Pemilihan presiden April lalu telah meningkatkan tensi politik secara drastis selama berbulan-bulan, dan membelah masyarakat ke dalam dua kubu yang saling beradu keras.

Setelah putusan MK, masyarakat berharap dua pasangan calon presiden dan wakilnya mau saling berjabat tangan demi membangun kembali tenun kebangsaan yang koyak.

Dalam pidato menanggapi putusan MK, Jokowi dan wakilnya Ma'aruf Amin telah berbesar hati mengucapkan terima kasih kepada Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno karena ikut menjaga tradisi demokrasi di Indonesia.

Tentu bukan hal yang berlebihan bila masyarakat berharap Prabowo dan Sandiaga mau membalasnya dengan ucapan selamat sebagai simbol kedewasaan dan sikap kenegarawanan mereka sebagai pimpinan politik. Tapi, mereka tidak melakukannya.

Dari sikap yang ditunjukkan, Sandi gagal memenuhi kedua aspek kecerdasan kultural dan membuktikan dirinya bukan pemimpin yang ideal untuk Indonesia.

Apa yang terjadi jika pemimpin tidak punya kecerdasan kultural

Seorang pemimpin dengan kecerdasan kultural yang tak terasah akan sulit menghadapi realitas masyarakat Indonesia dengan budaya yang majemuk dan dinamis.

Ketidakpekaan akan kemajemukan budaya bangsa dapat melahirkan cara pandang sempit, kebanggaan semu terhadap budaya sendiri (etnosentrisme) dan sikap anti terhadap segala sesuatu “yang asing” (xenofobia).

Adukan ketiga hal tersebut akan dengan mudah memecah belah bangsa dan sekaligus mengisolasi Indonesia di tengah kehidupan yang semakin mengglobal. Kemajemukan budaya di Indonesia akan dianggap sebagai ancaman bagi kesucian kelompok etnisnya sendiri, sementara kehadiran orang dari negara lain akan direspons dengan ketakutan. Bagaimana kita dapat merawat bangsa Indonesia dengan mentalitas semacam itu?

Kehancuran Yugoslavia sebagai sebuah negara-bangsa di bawah kepemimpinan Slobodan Milošević pada medio 1990-an awal bisa menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia. Terdorong oleh ambisi memperoleh kekuasaan, Milošević mengobarkan etnosentrisme Serbia dalam kampanye pemilihan presiden Yugozlavia dan menganggap keberadaan kelompok-kelompok suku lain (Bosnia, Kroasia, Slovenia, dan Montenegro) sebagai musuh yang harus dibinasakan.

Pada akhirnya, Yugoslavia - sebuah negara besar dan salah satu pendiri Gerakan Non-Blok bersama Indonesia - hancur berkeping-keping oleh tindakan pemimpin yang tak menunjukkan kecerdasan kultural sama sekali.

Kasus Indonesia

Pemimpin dengan kecerdasan kultural tinggi mampu memahami budayanya sendiri serta budaya-budaya lain dengan baik, sehingga dapat berinteraksi dan berkomunikasi secara efektif dengan orang yang berbeda-beda.

Setiap pemimpin semestinya mengerti bahwa budaya Indonesia sejatinya merupakan hasil silang dari berbagai tradisi besar dunia.

Bahasa Indonesia adalah salah satu contoh paling nyata. Lahir dari bahasa Melayu yang ada sejak kerajaan Sriwijaya, Bahasa Indonesia telah berkembang di seantero kepulauan Nusantara dengan kosakata yang sangat kaya hasil serapan dari bahasa Sanskrit, Jawa Kuno, Belanda, Arab, Inggris, Tamil, dan Cina.

Bukankah istilah “selamat” sendiri berasal dari bahasa Arab?

Belajar kecerdasan kultural dari para pendiri negara

Para pendiri bangsa kita berkali-kali menghadapi situasi pelik yang membutuhkan kecerdasan kultural. Dalam Kongres Pemuda II pada 1928, cita-cita besar merebut kemerdekaan dari tangan penjajah Belanda terbentur oleh kenyataan adanya berbagai perbedaan di antara ratusan suku-bangsa yang menghuni kepulauan Nusantara.

Mengatasi potensi terpecahnya gerakan perjuangan, para pemimpin nasional saat itu dengan cerdas berhasil merumuskan Sumpah Pemuda yang akhirnya menjadi embrio bangsa Indonesia.

Kemudian, menjelang dan pada masa-masa awal kemerdekaan, para pemimpin Indonesia kembali terbelah oleh pertarungan ideologis yang keras antara kubu nasionalis, komunis, dan Islamis. Tetapi, lagi-lagi mereka mampu menunjukkan kecerdasan kulturalnya dengan merumuskan Pancasila sebagai sintesis antara pemikiran-pemikiran politik besar dunia dengan nilai-nilai budaya Nusantara.

Kecerdasan kultural bukan hanya soal kemampuan memecahkan masalah, tetapi lebih dari itu, adalah kemampuan menemukan titik timbang di tengah kompleksitas hubungan antar budaya.

Untuk sebuah negara-bangsa yang terdiri dari 1.340 suku bangsa dan hidup di tengah relasi antar negara yang semakin erat, bukankah kecerdasan kultural ini yang kita harapkan dari seorang pemimpin politik?

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now