tag:theconversation.com,2011:/uk/topics/demokrasi-42991/articlesDemokrasi – The Conversation2024-03-23T04:32:58Ztag:theconversation.com,2011:article/2233332024-03-23T04:32:58Z2024-03-23T04:32:58ZPolitik itu penuh negosiasi, tetapi etika dan legitimasi harga mati<p>Selama perhelatan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, kita semua sering mendengar penyebutan istilah ‘etika’. Penyebutan ini berangkat dari <a href="https://nasional.tempo.co/read/1845361/anggota-komite-ham-pbb-tanya-soal-dugaan-intervensi-jokowi-di-pilpres-2024-apakah-sudah-diinvestigasi">dugaan-dugaan kuat</a> bahwa pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengintervensi <a href="https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_mkri_9332_1697427438.pdf">putusan Mahkamah Konstitusi (MK)</a> terkait batas usia calon presiden dan wakil presiden dalam Undang-Undang Pemilu demi meloloskan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai cawapres dari capres Prabowo Subianto.</p>
<p>MK disebut-sebut telah melanggar kode etik, sehingga banyak pula masyarakat yang meragukan legitimasi hasil Pemilu ini.</p>
<p>Sebagai akademisi bidang hukum, saya bermaksud memberikan penjelasan normatif mengenai etika dan mengapa hal ini menjadi sangat penting untuk diperjuangkan saat ini.</p>
<p>Saya memulai tulisan singkat ini dengan adagium ‘<em>non omne quod licet honestum est</em>’ yang artinya, ‘<em>not all that is permitted, is honorable</em>’. Dalam Bahasa Indonesia, ini berarti ‘tidak semua yang diperbolehkan itu terhormat’. Adagium ini memiliki makna bahwa tuntutan etika atau moralitas berada di atas hukum.</p>
<h2>Apa itu etika?</h2>
<p>Menurut <a href="https://books.google.co.id/books?id=wSTf79ehWuAC&hl=id&source=gbs_navlinks_s">K. Bertens</a>, filsuf dan tokoh etika Indonesia, etika merupakan nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam berfikir, bersikap, dan mengatur tingkah lakunya. Nilai dan norma tersebut biasanya identik dengan akhlak dan moral. </p>
<p>Pada konteks <a href="https://lib.unnes.ac.id/41840/1/Etika%20Politik%20Edisi%20Kedua.pdf">politik</a>, etika menjadi pegangan nilai dan norma bagi penyelenggara negara dalam membuat kebijakan serta keputusan dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang bersih, bertanggung jawab, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) serta nilai-nilai demokrasi. </p>
<p>Seberapa jauh etika menjadi hal yang penting dalam berpolitik bergantung pada ‘legitimasi’ proses politiknya.</p>
<h2>Apa itu legitimasi?</h2>
<p><a href="https://www.annualreviews.org/doi/abs/10.1146/annurev.psych.57.102904.190038">Legitimasi</a> adalah bentuk pengakuan dan penerimaan publik terhadap kebijakan, regulasi, dan keputusan yang dibuat oleh penyelenggara negara melalui koridor hukum (<em>legitimate</em>). </p>
<p>Ada pula istilah legalitas, yaitu keabsahan dalam penyelenggaraan negara. Artinya, tindakan pemerintah dan penegakan hukum harus berdasarkan peraturan perundang-undangan (<em>legal</em>). </p>
<p>Legalitas dan legitimasi adalah <a href="https://www-jstor-org.proxy.library.uu.nl/stable/1147701">fondasi</a> untuk menciptakan dan memelihara <em>rule of law</em> (negara yang berlandaskan hukum) di suatu negara. Dengan kata lain, kedua unsur ini yang menjaga marwah negara hukum.</p>
<p>Pada konteks negara hukum, legalitas menjadi dasar bagi pemerintah untuk melakukan penyelenggaraan negara dan penegakan hukum secara memaksa (<em>force</em>), sementara legitimasi adalah pengakuan dan penerimaan publik terhadap kebijakan, regulasi, dan keputusan pemerintah yang muncul dengan kesadaran sendiri (<em>voluntary</em>).</p>
<p>Secara umum, hal-hal yang diakui dan diterima <em>(legitimate)</em> sudah pasti sah atau legal. Namun, ada kalanya hal-hal yang dipandang legal belum tentu diakui dan diterima (<em>legitimate</em>).</p>
<p>Ada tiga dasar <a href="https://books.google.co.id/books?id=MILOksrhgrYC&source=gbs_navlinks_s">legitimasi</a>. Pertama, <em>rational bureaucratic authority</em> yang artinya kebijakan, regulasi, dan keputusan harus dibuat melalui prosedur yang sesuai pada peraturan hukum yang berlaku. Proses yang beretika menjadi salah satu bagian dari peraturan tersebut. </p>
<p>Jika dikaitkan dengan kontestasi politik, maka teori ini mengisyaratkan agar segala keputusan yang dibuat dalam rangka pemilu harus dihasilkan dari proses yang sesuai dengan etika serta peraturan hukum yang berlaku.</p>
<p>Contohnya adalah <a href="https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_mkri_9332_1697427438.pdf">Putusan MK</a> terkait batas usia capres dan cawapres yang dibuat dalam sebuah proses yang melanggar etika karena Ketua Hakim pada saat itu, Anwar Usman, adalah paman dari Gibran. Dalam hal ini, Gibran adalah pihak yang diuntungkan oleh Putusan tersebut. Pelanggaran etika ini telah dibuktikan dalam <a href="https://s.mkri.id/public/content/mkmk/mkmk_putusan_1699360420_3a09ab30a7a22aa9d99d.pdf">keputusan</a> Majelis Kehormatan MK pada 7 November 2023. </p>
<p>Kedua adalah <em>charismatic authority</em>, yang merujuk pada personalitas penyelenggara negara yang harus menjunjung tinggi etika politik dalam mengambil keputusan dan dalam bertindak. </p>
<p>Contoh untuk konteks pemilu adalah penyelenggara negara harus bersikap etis dan tidak menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye. Hal ini kerap dipermasalahkan, salah satunya ketika pembagian <a href="https://nasional.kompas.com/read/2024/01/26/07150331/bagi-bagi-bansos-di-musim-kampanye-berbau-politis-hingga-diduga-menyandera?page=all">bansos</a> di tengah musim kampanye dinilai bermuatan politis. </p>
<p>Ketiga, <em>traditional authority</em>, yang berarti bahwa pelaksanaan penyelenggaraan negara harus mencerminkan nilai serta norma yang hidup dalam masyarakat (<em>socially accepted norms</em>).</p>
<p>Jika dikaitkan dengan pemilu, maka teori ini mengharuskan agar proses penyelenggaraanya tidak bertentangan dengan nilai dan norma masyarakat, termasuk keadilan. </p>
<p><a href="https://nasional.tempo.co/read/1836399/rentetan-aksi-demo-di-kpu-tolak-pemilu-curang-mahasiswa-hingga-buruh-turun-ke-jalan">Demonstrasi</a> yang akhir-akhir ini kerap dilakukan oleh kelompok masyarakat untuk memprotes soal adanya dugaan kecurangan dalam proses Pemilu 2024 dan menyuarakan Pemilu yang jujur dan adil, adalah tanda bahwa masyarakat saat ini memandang penyelenggaraan negara tidak sesuai dengan nilai dan norma masyarakat. </p>
<h2>Seberapa penting etika dalam berpolitik?</h2>
<p>Berdasarkan penjelasan di atas, etika adalah bagian dari setiap ukuran dasar legitimasi. Dengan demikian, etika menjadi hal penting dalam berpolitik karena dari situlah bentuk pengakuan serta penerimaan publik terhadap penyelenggaraan negara akan tumbuh. </p>
<p>Sebaliknya, jika etika tidak dijaga dengan baik dalam proses penyelenggaraan negara termasuk pemilu, maka legitimasi penyelenggaraan tersebut tidak akan tumbuh sebagaimana idealnya. Sebaliknya, malah akan cenderung menimbulkan <a href="https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-1-4939-3216-0_23">perasaan ketidakadilan</a>. </p>
<p>Jika etika tidak terjaga dan legitimasi dalam penyelenggaraan negara tidak terwujud, maka dampaknya akan ada terhadap komitmen untuk menjaga <em>rule of law</em> (prinsip negara hukum). </p>
<p><a href="https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2734103">Prinsip negara hukum</a> pada dasarnya melambangkan penyelenggaraan negara yang bebas dari tindakan sewenang-wenang, dan merupakan syarat penting untuk menjamin perlindungan HAM, khususnya hak demokratis setiap warga negara untuk memilih dan mendapatkan pemimpin melalui jalur yang adil.</p>
<p>Politik itu penuh negosiasi, namun etika merupakan elemen penting dalam berpolitik yang tidak bisa dikesampingkan, mengingat kaitan eratnya dengan legitimasi dan prinsip negara hukum. </p>
<p>Jika etika berpolitik tidak dapat dijaga hanya demi mencapai kekuasaan, ini akan menjadi preseden buruk bagi keberlangsungan demokrasi ke depannya. </p>
<p>Proses penyelenggaraan Pemilu kemarin sudah penuh kontroversi yang mengarah pada dikesampingkannya etika dan menyebabkan keraguan akan legitimasinya. Kini saatnya kita menjaga agar tidak terjadi pelanggaran etika lebih jauh atau kecurangan terhadap hasil pemilihannya.</p>
<p>Publik memegang peran penting untuk memastikan bahwa politik di negara kita dapat membuka lembaran baru yang bersih dari coretan etika.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/223333/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Devita Putri tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Etika menjadi hal penting dalam berpolitik karena dari situlah bentuk pengakuan serta penerimaan publik terhadap penyelenggaraan negara akan tumbuh.Devita Putri, Assistant Professor, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2226262024-03-22T11:24:03Z2024-03-22T11:24:03ZDemokrasi di rezim Prabowo-Gibran: 3 dampak negatif ketika pemerintahan dikuasai dinasti politik<p>Dalam konteks pemilihan umum (pemilu) dan politik di Indonesia, fenomena dinasti politik menimbulkan pertanyaan mendalam tentang dampaknya terhadap demokrasi dan tata kelola pemerintahan.</p>
<p>Berdasarkan <a href="https://www.researchgate.net/publication/330621739_Dynasties_and_Democracy_The_Inherited_Incumbency_Advantage_in_Japan">temuan</a> Daniel M. Smith, Assistant Professor Ilmu Politik dari University of Pennsylvania, Amerika Serikat (AS), demokrasi seringkali dianggap sebagai kebalikan dari pemerintahan herediter (dijalankan oleh dinasti keluarga).</p>
<p>Namun, realitas menunjukkan bahwa “dinasti demokratis” kini eksis di berbagai negara demokrasi di seluruh dunia, termasuk di Jepang yang lebih dari sepertiga legislatornya dan dua pertiga menteri kabinetnya berasal dari keluarga dengan sejarah kekuasaan di parlemen.</p>
<p>Smith juga mengemukakan bahwa anggota dinasti menikmati “keuntungan warisan kekuasaan” di semua tahapan karier politik mulai dari seleksi, pemilihan, dan promosi.</p>
<p>Di Indonesia, era baru dinasti politik mungkin akan dimulai ketika Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka terpilih sebagai presiden dan wakil presiden untuk periode 2024-2029. Gibran adalah putra sulung Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang pencalonannya menuai kontroversi. <a href="https://nasional.kompas.com/read/2023/10/23/18155991/jokowi-hingga-anwar-usman-diduga-sengaja-biarkan-mk-bikin-putusan-yang">Jokowi diduga kuat</a> melakukan intervensi terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengubah substansi UU Pemilu.</p>
<p>Jokowi juga diyakini telah menanamkan bibit-bibit dinasti politiknya. Putra bungsunya, Kaesang Pangarep, kini menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) padahal jam terbang politiknya baru <a href="https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/09/25/baru-dua-hari-anggota-kaesang-langsung-jadi-ketum-psi">beberapa hari.</a> Menantunya, Bobby Nasution, saat ini menjabat sebagai Walikota Medan ikut dan dikukuhkan sebagai Tokoh Nasional Padang Sidempuan bersama sang istri, Kahiyang Ayu. Belakangan, istri dari Kaesang, Erina Gudono, digadang-gadang akan menjadi bakal calon <a href="https://nasional.kompas.com/read/2024/03/13/11334661/erina-gudono-mencuat-jadi-calon-bupati-sleman-ketua-harian-gerindra-buka">Bupati Sleman.</a></p>
<p>Di sejumlah negara demokrasi yang terjebak dinasti politik, integritas institusi demokrasi, keadilan sosial, dan pembangunan ekonominya terdampak negatif cukup signifikan. Dalam konteks Indonesia, deretan penelitian juga telah mengindikasikan bagaimana dinasti politik akan membawa sejumlah implikasi penting terhadap struktur dan fungsi demokrasi. </p>
<h2>1. Memengaruhi pembangunan kebijakan</h2>
<p>Dari perspektif domestik, pengaruh dinasti politik dalam pemerintahan bisa berdampak pada dinamika kekuasaan dan pembangunan kebijakan. </p>
<p><a href="https://journal.unnes.ac.id/sju/jllr/article/view/38090">Riset</a> menemukan bagaimana dinasti politik di Indonesia, khususnya di daerah, telah membentuk jaringan kekuatan yang kuat. Ini membuat dinasti dan jaringannya tersebut mampu menanamkan pengaruh dan kekuasaanya dalam tubuh partai politik.</p>
<p>Sebagai konsekuensi sekaligus berita buruknya, kebijakan dan inisiatif pemerintah akan lebih melayani kepentingan dinasti tersebut daripada publik secara luas. Hal ini dapat mengancam prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi yang merupakan inti dari pemerintahan demokratis.</p>
<p>Sejumlah negara telah mengalami situasi serupa, dengan dampak terhadap sistem politik dan tata kelola negara yang bervariasi.</p>
<p>Di Filipina, Contohnya, lebih dari 70% anggota kongresnya berasal dari dinasti politik. <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/13600818.2016.1169264">Penelitian</a> tahun 2016 menunjukkan bahwa keberadaan dinasti politik di Filipina berdampak negatif terhadap kondisi sosioekonomi masyarakatnya, seperti meningkatnya tingkat kemiskinan di provinsi-provinsi di luar Luzon-pulau terbesar dan ekonomi terpusat di Filipina.</p>
<p>Hal itu terjadi karena sejumlah provinsi di luar Luzon, cenderung memiliki akses yang lebih terbatas ke infrastruktur dasar dan sumber daya ekonomi dibandingkan dengan Luzon. Ini membuktikan bagaimana konsentrasi kekuasaan politik dapat menghambat pembangunan yang inklusif dan merata.</p>
<p>Di AS, walaupun sistem politik dan konteks sosialnya berbeda, kehadiran dinasti politik juga mencerminkan dinamika kekuasaan yang serupa. Keluarga Bush dan Clinton, misalnya, telah menghasilkan beberapa presiden, gubernur, dan anggota kongres, yang kemudian menimbulkan debat tentang meritokrasi (berdasarkan kemampuan dan prestasi individu) versus “politik warisan”.</p>
<p>Menurut <a href="https://www.cambridge.org/core/journals/american-political-science-review/article/abs/plata-o-plomo-bribe-and-punishment-in-a-theory-of-political-influence/769ECE107A934C226F4F62012F631475">riset</a>, kekuasaan politik di AS cenderung menjadi <em>self-perpetuating</em>, yakni ketika legislator yang menjabat lebih lama cenderung memiliki kerabat yang memasuki kongres di masa depan. Ini membuktikan bahwa dalam politik, kekuasaan menghasilkan kekuasaan.</p>
<p>Fenomena tersebut memunculkan pertanyaan tentang seberapa besar sistem politik di berbagai negara memfasilitasi atau membatasi regenerasi kepemimpinan politik dan apakah hal ini memengaruhi prinsip-prinsip demokrasi.</p>
<h2>2. Korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan</h2>
<p><a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/09584935.2023.2227591">Sejarah</a> telah mencatat beberapa dampak negatif terburuk dari dominasi dinasti politik dalam pemerintahan. Kekuatan terkonsentrasi dalam tangan <a href="https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2118350">segelintir keluarga</a> telah mengarah pada korupsi sistemik, penyalahgunaan kekuasaan, dan erosi kepercayaan publik.</p>
<p>Salah satu contoh paling mencolok adalah apa yang <a href="https://www.goodreads.com/book/show/184328.An_Indian_Dynasty">terjadi di India</a>. Dinasti Nehru-Gandhi telah memainkan peran penting dalam politik nasional selama beberapa dekade. Walaupun keluarga ini telah menghasilkan beberapa pemimpin yang dihormati, kritikus <a href="https://www.jstor.org/stable/312414">berargumen</a> bahwa penguasaan politik yang berkepanjangan oleh satu keluarga telah menghambat pluralisme politik dan memperkuat praktik nepotisme dan kronisme yang merugikan demokrasi dan pembangunan ekonomi. </p>
<p>Artinya, keberlanjutan dinasti Nehru-Gandhi dalam politik India telah menciptakan kondisi di mana kekuatan dan pengaruh politik cenderung terkonsentrasi dalam lingkaran keluarga tersebut. Hal ini berpotensi mengurangi kesempatan bagi aktor politik lain, terutama dari luar keluarga atau jaringan politik mereka, untuk berpartisipasi secara signifikan dalam proses demokratis. Sebagai akibatnya, pluralisme politik—keragaman suara dan perspektif—dapat terhambat.</p>
<p>Nepotisme, atau praktik memfavoritkan kerabat dalam pemberian posisi atau keuntungan politik, bersama dengan kronisme, yang merujuk pada favoritisme terhadap teman atau sekutu tanpa mempertimbangkan kompetensi atau kelayakan mereka, menjadi lebih mudah terjadi dalam kondisi seperti ini. Praktik-praktik tersebut tidak hanya mengurangi efisiensi dan efektivitas pemerintahan dengan menempatkan individu yang kurang kompeten dalam posisi kunci, tetapi juga memperdalam ketidaksetaraan politik dan sosial dengan membatasi akses ke kekuasaan dan sumber daya kepada sebuah elite kecil.</p>
<p><a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/13600818.2016.1169264">Di Filipina</a>, dinasti politik Marcos yang berkuasa dari tahun 1965 hingga 1986 di bawah Ferdinand Marcos, menyajikan rangkaian penyalahgunaan kekuasaan, korupsi yang luas, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan penumpukan utang negara yang masif.</p>
<p><a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/13600818.2016.1169264">Penelitian</a> tentang efek dinasti politik di Filipina menunjukkan bahwa prevalensinya berkorelasi dengan indikator kemiskinan dan <em>underdevelopment</em>, menunjukkan bagaimana dinasti politik berdampak negatif terhadap distribusi sumber daya dan prioritas pembangunan.</p>
<p>Di beberapa negara <a href="https://www.amazon.com/Aid-Authoritarianism-Africa-Development-Democracy/dp/1783606282">di Afrika</a>, perubahan sistem politik menjadi dinasti atau kerajaan seringkali berkaitan dengan pemerintahan otoriter yang mengurangi efektivitas lembaga-lembaga demokratis dan menghalangi kemajuan pembangunan ekonomi. Kekuasaan yang terpusat dalam dinasti politik seringkali memudahkan penyalahgunaan sumber daya negara dan mengurangi akuntabilitas publik, menciptakan pemerintahan yang kurang responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi rakyat. </p>
<p>Misalnya saja yang <a href="https://www.jstor.org/stable/4187590">terjadi di Uganda</a>. Di Uganda, pemilihan umum telah menjadi alat bagi pemerintah otoriter untuk mempertahankan kekuasaan sambil membatasi ruang politik bagi oposisi. Meskipun Uganda secara resmi menganut sistem demokrasi multiparti, praktik pemerintahan di negara ini sering kali mencerminkan karakteristik pemerintahan otoriter dengan adanya penekanan terhadap kebebasan sipil dan media, serta penyalahgunaan kekuasaan oleh elit politik yang berkuasa.</p>
<p>Dalam skenario terburuk, jika dinasti politik mengendalikan lembaga-lembaga pemerintahan secara luas, mekanisme pengawasan dan keseimbangan kekuasaan (<em>checks and balances</em>) dapat terkikis. Kemampuan lembaga pengawas dan media untuk menyelidiki dan melaporkan praktik-praktik pemerintahan yang tidak bertanggung jawab atau korup akan jadi sangat terbatas. Konsekuensinya, potensi penyalahgunaan kekuasaan dan pengabaian terhadap HAM akan meningkat, merugikan tatanan demokrasi dan keadilan sosial.</p>
<h2>3. Menghambat munculnya pemimpin baru dengan ide segar</h2>
<p><a href="https://journal.unnes.ac.id/sju/jllr/article/view/38090">Penelitian lainnya</a> menyoroti bagaimana keberadaan dinasti politik yang merentang dari tingkat regional hingga nasional membuat konsep demokrasi itu sendiri sulit untuk diwujudkan. Dinasti politik, khususnya di daerah, tidak terlepas dari peran partai politik dan regulasi pemilu.</p>
<p>Oligarki dalam tubuh partai politik menyebabkan mekanisme pencalonan, nominasi dan kaderisasi calon pemimpin tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kandidat pemimpin politik akan dinominasikan oleh partai politik berdasarkan keinginan elite partai, bukan melalui mekanisme demokratis yang memperhitungkan kemampuan dan integritas individu.</p>
<p>Meluasnya kekuasaan dinasti politik juga dapat menciptakan konsentrasi kekuasaan yang lebih besar dalam tangan segelintir keluarga elite. Ini akan mengurangi kesempatan bagi pemimpin baru dengan ide segar untuk memasuki arena politik. Sehingga, muncul stagnasi dalam inovasi kebijakan dan pembaharuan pemerintahan, karena posisi kepemimpinan didominasi oleh individu-individu dari latar belakang yang sama—tidak membawa perspektif baru atau solusi kreatif untuk masalah negara.</p>
<p>Bayangkan ketika posisi penting dalam pemerintahan dan BUMN hanya diisi oleh kerabat atau anggota dekat keluarga dinasti, tanpa mempertimbangkan merit atau kualifikasi profesional. Ini akan mengurangi efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, sekaligus mengikis kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah. Dan yang pasti, memperdalam praktik korupsi dan nepotisme.</p>
<h2>Urgensi pengawasan yang kuat</h2>
<p>Berbagai contoh di atas menjadi peringatan penting bagi Indonesia, serta semua negara yang tengah mengalami atau berpotensi mengalami fenomena serupa, untuk memastikan bagaimana praktik demokrasi tetap kuat dan inklusif, guna menghindari jebakan negatif yang mungkin ditimbulkan oleh pemerintahan dinasti.</p>
<p>Kesinambungan dinasti politik di Indonesia—sebagaimana di negara-negara lain—menghadirkan dilema yang kompleks bagi demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang adil.</p>
<p>Publik harus terus mendorong dan memperjuangkan prinsip-prinsip demokrasi yang inklusif, melalui mekanisme pengawasan yang kuat, transparan, dan partisipasi publik yang aktif.</p>
<p>Melalui keterlibatan dan pengawasan publik yang aktif, kita dapat membantu mengarahkan agar nominasi kepemimpinan berdasarkan merit dan kepentingan publik menjadi prioritas utama, alih-alih warisan atau afiliasi keluarga.</p>
<p>Langkah-langkah ini tidak hanya penting untuk menghindari dampak negatif dinasti politik tetapi juga untuk memastikan bahwa Indonesia terus berkembang sebagai negara demokrasi yang semestinya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/222626/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Wawan Kurniawan tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Penelitian telah mengindikasikan bagaimana dinasti politik akan membawa sejumlah implikasi negatif signifikan terhadap struktur dan fungsi demokrasi.Wawan Kurniawan, Peneliti di Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2244612024-03-17T18:15:51Z2024-03-17T18:15:51ZCek Fakta: benarkah demokrasi kita sangat melelahkan, berantakan dan mahal?<blockquote>
<p>“Dan izinkan saya memberi kesaksian bahwa demokrasi sangat-sangat melelahkan, demokrasi sangat berantakan, demokrasi sangat costly (makan biaya). Dan kita sampai sekarang masih tidak puas dengan demokrasi kita.”</p>
<p>– Prabowo Subianto, calon presiden nomor urut 2, saat menghadiri Mandiri Investment Forum 2024 di Fairmont Hotel, Jakarta, pada Selasa, 5 Maret 2024.</p>
</blockquote>
<p>Untuk menganalisis klaim Prabowo tersebut, <em>The Conversation Indonesia</em> menghubungi Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, dosen Departemen Ilmu Politik dan Pemerintahan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Wawan Kurniawan, peneliti dari Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia.</p>
<h2>Elite nakal penyebab mahalnya demokrasi</h2>
<p>Menurut Alfath, pernyataan Prabowo tentang demokrasi yang sangat melelahkan, berantakan, dan mahal adalah benar, tetapi ada kompleksitas tertentu yang perlu diuraikan lebih mendalam.</p>
<p>Kita perlu menelaah kembali konsep demokrasi yang diikuti dengan data pembiayaan oleh negara, partai politik, maupun kandidat dalam pemilihan umum (pemilu). </p>
<p>Demokrasi menempatkan pentingnya musyawarah untuk mencapai konsensus. Terkadang, proses ini memakan waktu yang tak sedikit, sehingga membuat pihak-pihak tertentu merasa kelelahan. Demokrasi juga menuntut adanya partisipasi aktif dari setiap warganegara. Tanpa adanya keterlibatan aktif dari warga negara, demokrasi menjadi tak bermakna.</p>
<p>Dalam banyak hal, musyawarah yang dilakukan seringkali memicu ketegangan di tengah masyarakat dan berujung <em>deadlock</em>. Akhirnya, keputusan yang diambil tidak benar-benar bisa memuaskan semua pihak dan cenderung kompromistis. </p>
<p>Kemudian, mahalnya demokrasi seringkali dikaitkan dengan seberapa besar pembiayaan pemilu, baik yang didanai negara, partai politik maupun kandidat. Memang, pembiayaan pemilu di Indonesia menunjukkan peningkatan dari masa ke masa. Alokasi anggaran negara <a href="https://mediakeuangan.kemenkeu.go.id/article/show/menghitung-biaya-demokrasi">untuk penyelenggaraan Pemilu 2024 mencapai Rp71,3 triliun</a>-jauh melampaui pemilu-pemilu sebelumnya.</p>
<p>Sementara biaya yang harus dikeluarkan calon legislatif (bukan dari negara)-termasuk biaya untuk mendekati dan merawat konstituen-juga diprediksi meningkat, yang nilainya sangat fantastis hingga mencapai miliaran rupiah. Artinya, mahalnya pembiayaan pemilu dirasakan oleh semua pihak.</p>
<p>Namun, hal tersebut tak terjadi begitu saja. Adanya <a href="http://etd.repository.ugm.ac.id/home/detail_pencarian/44885">budaya patron-klien</a> (relasi yang saling memberikan timbal balik), pendidikan politik yang minim, serta perilaku elite dan politikus “nakal” yang menjadikan kemiskinan dan ketimpangan sebagai komoditas politik. Situasi yang rumit ini membuat demokrasi mengalami kemunduran sebagaimana tercermin dari laporan <a href="https://www.v-dem.net/documents/44/v-dem_dr2024_highres.pdf">V-Dem Institute</a>, <a href="https://freedomhouse.org/sites/default/files/2024-02/FIW_2024_DigitalBooklet.pdf">Freedom House</a>, maupun <a href="https://www.eiu.com/n/campaigns/democracy-index-2023/">The Economist Intelligence Unit</a> (2024). </p>
<p>Demokrasi memang sangat melelahkan, sehingga setiap warga negara butuh daya tahan (<em>endurance</em>). Namun, yang membuatnya benar-benar berantakan dan mahal cenderung didominasi oleh perilaku elite dan politikus yang tak beretika. Hal ini menjadi salah satu faktor dominan yang berkontribusi pada kekacauan dan tingginya biaya demokrasi.</p>
<p>Kebiasaan untuk menggunakan uang dan instrumen lainnya seperti politisasi bantuan sosial (bansos) yang membuat masyarakat menjadi sangat materialistis, menjadikan pemilu kita sebatas jual beli suara, dan demokrasi tak ubahnya seperti jargon kosong. </p>
<p>Politikus yang korup, tidak kompeten, dan hanya mementingkan diri sendiri atau kelompoknya dapat memicu kekecewaan publik, bahkan menyebabkan kemunduran demokrasi.</p>
<h2>Demokrasi melelahkan akibat kompleksitas pengambilan keputusan</h2>
<p>Menurut Wawan, yang dikatakan Prabowo bahwa demokrasi Indonesia kini terasa melelahkan adalah benar, tetapi kita perlu telaah dulu penyebabnya.</p>
<p>Konsep “kelelahan demokrasi” dapat dikaitkan dengan <a href="https://faculty.washington.edu/jdb/345/345%20Articles/Baumeister%20et%20al.%20%281998%29.pdf">teori kelelahan keputusan (<em>decision fatigue</em>) dan <em>ego depletion</em></a> yang menjelaskan bagaimana proses pengambilan keputusan yang berkepanjangan dapat menurunkan kualitas keputusan dan kepuasan terhadap sistem.</p>
<p>Dalam demokrasi, proses deliberatif (melalui pertimbangan mendalam) dan kompleksitas pengambilan keputusan seringkali menimbulkan kelelahan bagi pemilih dan pemangku kepentingan.</p>
<p>Dari perspektif <a href="https://mitpress.mit.edu/9780262581622/between-facts-and-norms/">teori demokrasi deliberatif</a>, ketegangan dan konflik merupakan bagian integral dari proses demokrasi yang sehat. Namun, ketika institusi demokrasi lemah dan partisipasi publik rendah, proses deliberatif dapat terdegradasi menjadi polarisasi dan konflik yang tidak produktif. </p>
<p><a href="https://www.ingentaconnect.com/content/paaf/paaf/2018/00000091/00000002/art00003;jsessionid=26lkwnc9l7vse.x-ic-live-01">Penelitian</a> tentang demokrasi di Indonesia menunjukkan bahwa meskipun terdapat kemajuan signifikan dalam hal partisipasi politik dan kebebasan sipil sejak Reformasi 1998, tantangan seperti korupsi, polarisasi politik, dan ketidaksetaraan sosial-ekonomi masih membayangi kualitas demokrasi. Dalam konteks ini, pernyataan bahwa demokrasi di Indonesia “sangat melelahkan dan berantakan” dapat dipahami sebagai refleksi dari tantangan-tantangan tersebut.</p>
<p>Saat ini demokrasi di Indonesia memang sedang menghadapi tantangan yang membuatnya terasa “melelahkan dan berantakan,” tetapi pendekatan yang berbasis pada <a href="https://www.press.jhu.edu/books/title/1437/developing-democracy">temuan dan teori ilmiah</a> menunjukkan bahwa dengan upaya yang tepat, kualitas demokrasi dapat ditingkatkan.</p>
<p>Pernyataan Prabowo tersebut dapat dianggap sebagai refleksi dari kondisi saat ini, tetapi bukan sebagai penilaian akhir terhadap potensi demokrasi di Indonesia.</p>
<p><em>Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI).</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/224461/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Prabowo klaim demokrasi Indonesia melelahkan, berantakan dan mahal. Pakar jabarkan penyebab-penyebabnya.Nurul Fitri Ramadhani, Politics + Society Editor, The Conversation IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2244032024-02-28T01:37:08Z2024-02-28T01:37:08ZAncaman terbesar bagi demokrasi Indonesia bukan Prabowo, melainkan oligarki<p>Sehari sebelum berlangsungnya Pemilihan Umum (Pemilu) pada 14 Februari lalu, mantan jurnalis dan pengamat politik Indonesia, Ben Bland, <a href="https://www.foreignaffairs.com/indonesia/indonesias-democracy-stronger-strongman">berpendapat</a> bahwa Prabowo Subianto, mantan jenderal angkatan darat yang maju sebagai calon presiden (capres), tidak akan serta merta mampu mengubah Indonesia menjadi autokrasi apabila ia terpilih untuk menggantikan Presiden Joko “Jokowi” Widodo.</p>
<p>Autokrasi merujuk pada kekuasaan mutlak terpusat pada satu individu.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kemenangan-prabowo-efek-jokowi-dan-ujian-demokrasi-indonesia-223603">Kemenangan Prabowo: efek Jokowi dan ujian demokrasi Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Ini karena Indonesia, menurut Bland, telah memiliki norma-norma demokrasi yang pada akhirnya akan membatasi kecenderungan Prabowo untuk menjadi pemimpin yang otoriter. </p>
<p>Sebagai seorang peneliti masyarakat sipil dan jurnalis politik, saya berpendapat bahwa argumen tersebut tidak tepat. Bland memberikan jawaban yang salah untuk pertanyaan yang salah tentang politik Indonesia saat ini.</p>
<p>Ini bukanlah awal dari pertarungan antara demokrasi Indonesia versus Prabowo, namun pukulan terakhir dari apapun yang tersisa di <a href="https://pursuit.unimelb.edu.au/articles/20-years-after-soeharto-is-indonesia-s-era-reformasi-over">era reformasi</a> Indonesia – periode konsolidasi demokratis sejak lengsernya pemimpin otoriter Suharto pada 1998. </p>
<p>Demokrasi Indonesia kini berada di bawah tekanan berat dari kekuatan oligarki yang berputar di sekitar Jokowi.</p>
<h2>Kekuatan sipil kalah dari oligarki</h2>
<p>Kemenangan elektoral Prabowo, berdasarkan hasil hitung cepat lembaga survei, nyatanya hanyalah contoh terbaru dari rangkaian <a href="https://www.thejakartapost.com/opinion/2022/03/16/indonesias-democracy-is-on-the-line-its-defenders-are-stuck-in-a-sisyphean-loop.html">kekalahan</a> menyakitkan yang diderita oleh para pendukung demokrasi.</p>
<p><a href="https://www.jstor.org/stable/10.5728/indonesia.96.0033">Vedi Hadiz dan Richard Robison</a> mendefinisikan <a href="https://www.routledge.com/Reorganising-Power-in-Indonesia-The-Politics-of-Oligarchy-in-an-Age-of/Hadiz-Robison/p/book/9780415332538">oligarki</a> sebagai </p>
<blockquote>
<p>“sistem hubungan kekuasaan yang memungkinkan pemusatan kekayaan dan otoritas serta pertahanan kolektif”.</p>
</blockquote>
<p>Di Indonesia, oligarki modern terbentuk selama <a href="https://www.jstor.org/stable/10.5728/indonesia.96.0033">ekspansi kapitalisme pasar</a> di bawah pemerintahan otoriter Suharto (1966-1998), yang membuka jalan bagi aliansi birokrat yang berkuasa dan perusahaan-perusahaan besar untuk mengumpulkan kekayaan dan kekuasaan.</p>
<p>Aktivis pro-demokrasi dan akademisi telah berulang kali membunyikan <a href="https://www.thejakartapost.com/academia/2019/09/25/reformcorrupted-1569384427.html">lonceng tanda bahaya</a> tentang <em>subversi oligarki terhadap demokrasi Indonesia</em>. </p>
<p>Namun faktanya, iklim demokrasi pun telah memburuk di bawah kepemimpinan Jokowi, sosok yang awalnya dipuji-puji sebagai pemimpin demokratis dan reformis yang mampu mengalahkan Prabowo dalam Pilpres <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2014/07/04/editorial-endorsing-jokowi.html">2014</a> dan <a href="https://www.bbc.com/news/world-asia-48331879">2019</a>. </p>
<p>Jokowi secara tidak langsung telah “memimpin” berbagai upaya oligarki untuk melemahkan, atau bahkan mengacak-acak, lembaga-lembaga demokrasi di Indonesia.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/a-requiem-for-reformasi-as-joko-widodo-unravels-indonesias-democratic-legacy-125295">A requiem for Reformasi as Joko Widodo unravels Indonesia's democratic legacy</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Pada 2019, DPR RI <a href="https://theconversation.com/a-requiem-for-reformasi-as-joko-widodo-unravels-indonesias-democratic-legacy-125295">mengesahkan revisi Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)</a> yang melemahkan lembaga antirasuah tersebut. Para oligarki <a href="https://360info.org/oligarchs-weaken-indonesias-fight-against-corruption/">menyambut baik pengesahan UU yang kontroversial itu</a>, kemungkinan besar karena menganggap KPK sebagai ancaman bagi kepentingan mereka.</p>
<p>Pada 2020, DPR juga <a href="https://www.reuters.com/world/asia-pacific/whats-stake-with-indonesias-controversial-jobs-creation-law-2022-06-09/">mengesahkan UU Cipta Kerja (Omnibus Law)</a> yang isinya <a href="https://www.newmandala.org/indonesias-omnibus-law-is-a-bust-for-human-rights/">menegasikan</a> pencapaian hukum yang dibuat oleh para pendukung gerakan reformasi. </p>
<p>Para oligarki sektor pertambangan, yang beberapa di antaranya adalah <a href="https://trendasia.org/wp-content/uploads/2021/01/Booklet-Lap-bhs.ing-final-new.pdf">mereka yang duduk di kabinet Jokowi</a>, mendukung UU Cipta Kerja karena <a href="https://news.mongabay.com/2020/10/indonesia-coal-mining-energy-omnibus-deregulation-law-oligarch/">aturan tersebut cenderung mengakomodasi kepentingan mereka</a>.</p>
<p>Kemunduran-kemunduran ini mendorong para akademisi lokal dan internasional untuk menyuarakan bahwa Indonesia tengah mengalami “<a href="https://www.jstor.org/stable/26798854">kemunduran demokrasi</a>” dan menghadapi “<a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/00472336.2019.1637922"><em>illiberal turn</em></a>” (<a href="https://theconversation.com/apakah-penggunaan-istilah-belokan-illiberal-bermanfaat-bagi-demokrasi-indonesia-88084">berbelok ke arah yang tidak liberal</a>). </p>
<p>Yang lebih mengkhawatirkan bukanlah <a href="https://theintercept.com/2024/02/10/indonesia-election-results-prabowo-fraud-stolen-election/">kecenderungan otoriter Prabowo atau citranya yang antidemokrasi</a>, melainkan kepentingan predatoris para oligarki yang telah menekan lembaga-lembaga demokrasi di Indonesia untuk memajukan kekuasaan politik dan ekonomi mereka pribadi. </p>
<h2>Kemerosotan demokrasi di era Jokowi</h2>
<p>Sepak terjang politik Jokowi sebelum Pemilu Februari ini menunjukkan betapa rapuhnya lembaga-lembaga demokrasi di Indonesia di bawah tekanan oligarki.</p>
<p>Jokowi <a href="https://www.thejakartapost.com/indonesia/2024/02/02/president-jokowi-accused-of-bias-interference-in-presidential-election.html">diduga telah mengintervensi</a> Pemilu untuk memastikan Prabowo, yang maju bersama putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, dapat memenangkan <a href="https://majalah.tempo.co/edisi/2692/2024-02-11">Pilpres dalam satu putaran</a>.</p>
<p>Salah satu contohnya adalah <a href="https://www.thejakartapost.com/opinion/2023/11/08/a-judicial-disgrace.html">putusan kontroversial</a> Mahkamah Konstitusi (MK) tentang syarat minimal usia capres-cawapres. Putusan tersebut telah membuka pintu bagi Gibran, yang saat ini usianya masih 36 tahun, untuk maju sebagai cawapres. Saat membuat putusan itu, MK dipimpin Hakim Anwar Usman, adik ipar Jokowi. Anwar kemudian dinyatakan bersalah atas <a href="https://www.thejakartapost.com/indonesia/2023/11/07/breaking-ethics-council-removes-chief-justice-anwar.html">pelanggaran etika</a> karena tidak mengundurkan diri pascakontroversi ini.</p>
<p><a href="https://theconversation.com/a-twist-in-indonesias-presidential-election-does-not-bode-well-for-the-countrys-fragile-democracy-216007">Putusan MK yang banyak dikritik keras tersebut</a> memicu protes publik karena jelas menunjukkan konflik kepentingan.</p>
<p>Pemerintahan Jokowi juga kerap <a href="https://www.thejakartapost.com/indonesia/2024/02/05/president-jokowi-denies-politicizing-social-assistance.html">membagi-bagikan bantuan makanan dan uang tunai</a> kepada masyarakat, serta <a href="https://magz.tempo.co/read/cover-story/41561/a-clandestine-operation-for-gibran">memobilisasi</a> polisi, militer, dan pejabat pemerintah untuk memberikan dukungan kepada Prabowo-Gibran, <a href="https://magz.tempo.co/read/cover-story/41561/a-clandestine-operation-for-gibran">dengan cara menekan para kepala desa untuk mendukung paslon tersebut</a>.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kelemahan-pada-7-isu-krusial-membayangi-kemenangan-prabowo-gibran-222272">Kelemahan pada 7 isu krusial membayangi kemenangan Prabowo-Gibran</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Ini semua bukan berarti Prabowo akan melakukan hal yang jauh lebih buruk daripada Jokowi dalam hal “merusak” demokrasi. Prabowo juga tampaknya akan dibatasi oleh sistem kekuasaan yang sama yang telah memengaruhi keputusan politik para pendahulunya.</p>
<p>Sejauh mana ia dapat memerintah sebagai seorang otokrat, tergantung pada dinamika perebutan kekuasaan di antara para elite nantinya.</p>
<p>Saat ini banyak yang menganggap Jokowi sebagai <a href="https://www.project-syndicate.org/commentary/indonesia-president-jokowi-effective-democratic-governance-model-by-kishore-mahbubani-2021-10">politikus yang handal</a>. Namun tetap saja, dia tidak bisa lepas dari sistem kekuasaan oligarki yang membatasi pilihan-pilihannya.</p>
<p>Sebagai contoh, Jokowi gagal mendapatkan masa jabatan ketiganya, bukan serta-merta karena idenya bertentangan dengan Konstitusi.</p>
<p>Betul bahwa keinginannya itu bertentangan dengan Konstitusi, tetapi kegagalannya mewujudkan itu lebih karena <a href="https://www.thejakartapost.com/paper/2022/03/21/pdi-p-puts-brakes-on-plan-to-amend-constitution.html">usulan amandemen Konstitusi tersebut ditolak oleh Megawati Sukarnoputri</a>, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), partai politik terbesar di Indonesia sekaligus partai yang menaungi Jokowi.</p>
<p>Jadi, pada kenyataannya, yang membuat usulan tersebut gagal adalah bukan karena kuatnya lembaga demokrasi di negara ini, melainkan adanya faktor pertarungan antarelite.</p>
<h2>Tangan-tangan oligarki</h2>
<p>Manuver politik akrobatik Jokowi untuk membantu Prabowo memenangkan Pemilu juga hanya bisa terjadi utamanya karena <a href="https://www.mongabay.co.id/2024/02/10/oligarki-tambang-dan-energi-di-balik-capres-cawapres-apa-yang-rawan-tersandera/">para oligarki yang berasal dari industri pertambangan</a> menganggap Jokowi sebagai kekuatan politik yang dapat mengakomodasi kepentingan mereka.</p>
<p>Garibaldi Thohir, <a href="https://www.cnbcindonesia.com/market/20240123135148-17-508309/ini-deretan-saham-milik-boy-thohir-yang-siap-dukung-pemilu-1-putaran">pengusaha batu bara</a> dan saudara dari Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir (salah satu anggota tim kampanye Prabowo), <a href="https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-7155865/boy-thohir-sebut-djarum-sampoerna-hingga-adaro-siap-menangkan-prabowo">sesumbar</a> bahwa sekelompok pengusaha akan membantu Prabowo-Gibran memenangkan Pemilu dalam satu putaran-salah satunya melalui dukungan dana kampanye.</p>
<p>Para pengusaha ini, menurut Garibaldi, termasuk di antara keluarga-keluarga terkaya di Indonesia, termasuk pemilik perusahaan-perusahaan rokok terbesar di Indonesia, seperti <a href="https://www.techinasia.com/companies/djarum-group">grup Djarum</a> (<a href="https://www.forbes.com/profile/r-budi-michael-hartono/?sh=6bed671c2cbe">yang dimiliki oleh keluarga Hartono</a>). Pihak perusahaan-perusahaan itu <a href="https://www.thejakartapost.com/business/2024/01/25/adaro-djarum-hm-sampoerna-deny-backing-prabowo-campaign.html">telah membantah klaim kontroversial Garibaldi</a> bahwa mereka mendukung kampanye Prabowo.</p>
<p>Ini bukan berarti dua paslon lainnya bersih dari elemen-elemen oligarki. </p>
<p>Salah satu saingan Prabowo dalam Pilpres, Anies Baswedan, mantan Gubernur Jakarta, didukung oleh <a href="https://projectmultatuli.org/di-balik-timnas-amin-tambang-unicorn-dan-mantan-koruptor/">taipan media Surya Paloh</a>, Ketua Umum Partai NasDem, yang juga memiliki bisnis di industri pertambangan dan properti. </p>
<p>Sementara itu, beberapa nama besar di industri pertambangan, seperti <a href="https://swa.co.id/swa/capital-market/ini-daftar-portofolio-saratoga-milik-sandiaga-uno">salah satu pendiri Saratoga Investama Sedaya, Sandiaga Uno</a>, dan <a href="https://www.cnbcindonesia.com/market/20230906071931-17-469677/jadi-ketua-pemenangan-ganjar-ini-profil-arsjad-rasjid">Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, Arsjad Rasjid</a>, <a href="https://projectmultatuli.org/tpn-ganjar-mahfud-mogul-media-tambang-dan-perusahaan-cangkang/">mendukung capres Ganjar Pranowo</a>. </p>
<p>Namun, tetap aliansi Jokowi-Prabowo yang memiliki <a href="https://projectmultatuli.org/jejaring-pengusaha-tambang-hingga-media-di-lingkaran-tkn-prabowo-gibran/">dukungan terbesar dari kelompok oligarki</a>. Dana awal kampanye Prabowo adalah sebesar Rp31,4 miliar, <a href="https://www.thejakartapost.com/indonesia/2023/12/22/prabowo-leads-initial-campaign-finance-data-with-2-million.html">31 kali lebih tinggi</a> dari rival terberatnya, Anies. Diduga bahwa oligarki adalah <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/14672715.2015.1079991">salah satu sumber utama pembiayaan politik di Indonesia</a>. </p>
<p>Wajar jika para pengamat asing merasa cemas dengan nasib Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo. Namun, pertanyaan sebenarnya adalah apa yang akan dilakukan oleh para oligarki setelah Prabowo mulai berkuasa. </p>
<p>Pada titik ini, demokrasi Indonesia sudah terlanjur tercabik-cabik.</p>
<hr>
<p><em>Rahma Sekar Andini menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</em><em>Rahma Sekar Andini dari Universitas Negeri Malang menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/224403/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ary Hermawan tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Bukan Prabowo yang mengancam demokrasi Indonesia, tapi tangan-tangan oligarki di sekitarnya, dan sekitar Jokowi.Ary Hermawan, Graduate Researcher, The University of MelbourneLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2240962024-02-26T02:07:23Z2024-02-26T02:07:23ZIndividualisme yang berlebihan lemahkan kesadaran politik kaum terdidik<p>Beberapa bulan sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, latar belakang pendidikan dua pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres), yaitu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, yang semuanya merupakan <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20231022192335-4-482679/dominasi-alumni-ugm-di-pentas-pilpres-2024-siapa-saja">alumni Universitas Gadjah Mada</a> (UGM) ramai dibicarakan di media sosial.</p>
<p>Mahfud MD merupakan <a href="https://ika.uii.ac.id/profile-alumni/detail/prof-dr-mohammad-mahfud-md-s-h-s-u-m-i-p-1">Guru Besar</a> Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, sementara Anies Baswedan adalah mantan Rektor Universitas Paramadina sekaligus mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Latar belakang akademik tersebut dianggap mampu <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20231209165211-617-1035125/survei-indikator-pemilih-anies-kalangan-terdidik-prabowo-lulusan-smp">menarik minat pemilih terdidik, yaitu pemilih dengan tingkat pendidikan tinggi, mengenyam bangku perkuliahan atau bahkan sudah lulus S3</a>. </p>
<p>Namun, <a href="https://www.kompas.id/baca/riset/2024/02/17/dukungan-pemilih-berpendidikan-tinggi-tertuju-pada-prabowo-gibran"><em>exit polls</em></a> yang dilakukan Litbang Kompas pada hari pencoblosan, 14 Februari 2024, menunjukkan sebaliknya. Pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka justru lebih unggul dan mampu menarik 44% pemilih dengan latar belakang pendidikan tinggi, disusul Anies-Muhaimin sebesar 33,4% dan Ganjar-Mahfud sebesar 12,5%.</p>
<p>Padahal, Prabowo-Gibran bukan dari kalangan akademisi. Prabowo merupakan alumni Akademi Militer (dulu AKABRI) Magelang, sementara Gibran adalah lulusan dari Management Development Institute Singapura. Di luar dunia politik, <a href="https://www.cnbcindonesia.com/entrepreneur/20230911101247-25-471270/nih-rahasia-prabowo-sukses-bisnis-di-usia-tua-punya-rp-2-t">Prabowo</a> dan <a href="https://www.liputan6.com/bisnis/read/5430516/kisah-jatuh-bangun-gibran-dari-pengusaha-katering-jadi-cawapres-indonesia">Gibran</a> lebih dikenal sebagai pengusaha.</p>
<p>Perlu dicatat bahwa menjelang hari pencoblosan, sejumlah guru besar UGM mengeluarkan <a href="https://ugm.ac.id/id/berita/akademisi-ugm-sampaikan-petisi-bulaksumur-soal-dinamika-perpolitikan-nasional/">pernyataan sikap</a> terkait keresahan para akademisi atas dugaan pelanggaran etika dan nilai-nilai demokrasi yang terjadi selama perhelatan Pemilu 2024-yang diyakini menguntungkan <a href="https://www.bbc.com/indonesia/articles/c0kdv2x5qvzo">Prabowo-Gibran.</a> Pernyataan sikap serupa juga disampaikan oleh para guru besar <a href="https://nasional.tempo.co/read/1829668/nyatakan-sikap-atas-melencengnya-demokrasi-ini-daftar-perguruan-tinggi-yang-bergerak">kampus-kampus lainnya di seluruh Indonesia.</a></p>
<p>Tapi tampaknya, isu pelanggaran etika dan pengingkaran atas nilai-nilai demokrasi tidak semudah itu mengubah preferensi politik. Terbukti, mayoritas pemilih berpendidikan tinggi tetap memilih Prabowo-Gibran.</p>
<p>Kelompok berpendidikan tinggi pernah menjadi <a href="https://ecommons.cornell.edu/server/api/core/bitstreams/8085d708-af11-456a-b766-af6098107b15/content">tulang punggung perjuangan kemerdekaan</a> karena kesadaran politik mereka. Karena itu, menarik untuk ditelisik bagaimana kesadaran tersebut perlahan hilang setelah Indonesia merdeka.</p>
<p>Untuk memahami perilaku pemilih berpendidikan tinggi di Indonesia ini, saya menggunakan pendekatan <em>hyper-individualisme</em> (individualisme berlebih) di Amerika Serikat (AS) yang <a href="https://brill.com/display/book/9789004444836/BP000044.xml">didefiniskan</a> oleh Zachary A. Casey, <em>associate professor</em> dan Ketua Studi Pendidikan di Rhodes College, AS, sebagai kecenderungan aktor-aktor sosial untuk memandang dirinya sebagai entitas yang terpisah dari kelompok dan lembaga yang lebih besar di sekitarnya.</p>
<h2>‘Hyper-individualisme’ dan misi individu</h2>
<p>Dalam konteks pendidikan di AS, sikap <em>hyper-individualisme</em> ini sejalan dengan <a href="https://intapi.sciendo.com/pdf/10.2478/jped-2013-0003">neoliberalisme</a> yang menempatkan pendidikan sebagai ladang pencapaian pribadi, terutama dalam konteks ekonomi.</p>
<p>Hal ini pada gilirannya menciptakan krisis kesepian dan kesehatan mental, yang diakibatkan oleh <a href="https://www.city-journal.org/article/the-problem-of-hyper-individualism">hilangnya keterkaitan individu dengan komunitas.</a></p>
<p>Di AS, dengan <em>hyper-individualisme</em>, individu dianggap memiliki kebebasan penuh untuk memenuhi hajat hidupnya sendiri. Ini menjelaskan sulitnya upaya <a href="https://indianacapitalchronicle.com/2023/04/04/hyper-individualism-is-the-disease-keeping-us-from-addressing-deadly-gun-violence/">pembatasan kepemilikan senjata api</a> di AS dengan dalih kebebasan individu.</p>
<p>Di sisi lain, <em>hyper-individualisme</em> juga telah berkontribusi pada <a href="https://www.huffpost.com/entry/donald-trump-our-individualist-nightmare-hero_b_9464610">kemenangan Donald Trump.</a> Trump adalah simbol populisme yang <a href="https://www.latimes.com/entertainment-arts/story/2020-10-30/how-toxic-individuality-is-tearing-the-u-s-apart">mengabaikan bukti-bukti ilmiah</a> selama penanganan pandemik. Gagasan <a href="https://scholarworks.arcadia.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1049&context=agsjournal"><em>America First</em></a> yang digaungkan Trump juga telah melemahkan multikulturalisme yang berbasis komunitas dan melahirkan kebijakan-kebijakan antiimigran yang memperkuat individualisme.</p>
<h2>‘Hyper-individualisme’ di Indonesia: terlalu sibuk untuk berpolitik</h2>
<p>Kecenderungan <em>hyper-individualisme</em> di Indonesia bisa dilacak melalui kebijakan ekonomi pada awal Orde Baru yang diinisasi oleh <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Berkeley_Mafia">para ekonom</a> alumni University of California, Berkeley, AS: Widjojo Nitisastro, Mohammad Sadli, Emil Salim, J.B. Sumarlin, Ali Wardhana, dan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti. </p>
<p>Terkenal sebagai <a href="https://la.utexas.edu/users/hcleaver/357L/357LRansomBerkeleyMafiaTable.pdf">mafia Berkeley,</a> para ekonom ini bertujuan meniru pola pembangunan AS di Indonesia di era 1960-an yang fokus ke pembangunan ekonomi kapitalis <a href="https://repository.library.brown.edu/studio/item/bdr:841073/PDF/?embed=true">berbasis pasar bebas.</a> </p>
<p><strong>1. Memaksa individu fokus kuliah saja</strong></p>
<p>Pola pembangunan berbasis pasar bebas yang dibawa oleh para mafia Berkeley kemudian diikuti oleh <a href="https://www.kompas.id/baca/arsip/2022/06/25/normalisasi-kampus-diserahkan-sepenuhnya-kepada-departemen-pk">normalisasi kehidupan kampus (NKK)</a> pada tahun 1977-1978 yang bertujuan untuk melumpuhkan organisasi kemahasiswaan.</p>
<p>Praktis, selama era 1980an, pola pembangunan ini telah melahirkan kaum terdidik yang sejahtera dan efektif bekerja, tetapi abai terhadap <a href="https://ecommons.cornell.edu/server/api/core/bitstreams/a75bca4e-8049-4fda-9a84-e7f361348e0f/content">ketimpangan dan masalah-masalah sosial</a> di sekitarnya.</p>
<p>Dalam <em>Identity and Pleasure: the Politics of Indonesian Screen Culture</em>, Ariel Heryanto menggambarkan bagaimana penghilangan atau penghapusan kegiatan politik (depolitisasi) juga dilakukan dengan <a href="https://www.jstor.org/stable/j.ctv1qv1rz">menayangkan film dan serial AS di bioskop dan televisi,</a> sebagai upaya untuk memperkuat nilai individualisme anak muda di era Orde Baru.</p>
<p><strong>2. Harus cepat lulus karena kuliah mahal</strong></p>
<p>Gerakan mahasiswa memang sempat menguat kembali pada dekade 1990-an. <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/j.1748-3131.2007.00058.x">Krisis ekonomi di Asia tahun 1997</a> memunculkan kesadaran mengenai kesenjangan sosial yang terjadi selama tiga dekade Orde Baru berkuasa. <a href="http://www.jeremywallach.com/wp-content/uploads/2008/09/Rock&Reformasi.pdf">Gerakan mahasiswa</a> di kampus menjadi tulang punggung lahirnya era reformasi pada tahun 1998.</p>
<p>Lalu muncul tantangan baru, yaitu arus komersialisasi pendidikan melalui pembentukan <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Perguruan_Tinggi_Negeri_Badan_Hukum">Badan Hukum Milik Negara (BHMN)</a> pada tahun 2000. Empat Perguruan Tinggi Negeri (PTN), yakni UI, UGM, ITB, dan IPB diberikan <a href="https://www.itb.ac.id/files/focus_file/orasi_bhmn.html">kewenangan penuh pengelolaan keuangan.</a> </p>
<p>Pembentukan BHMN ini menempatkan pendidikan tinggi sebagai lembaga yang <a href="https://scholarhub.ui.ac.id/cgi/viewcontent.cgi?article=1013&context=amj">ditentukan oleh pasar,</a> tidak lagi sepenuhnya didanai oleh negara, sehingga biaya kuliah menjadi semakin mahal.</p>
<p><strong>3. Harus cepat lulus supaya bisa segera bekerja</strong></p>
<p>Pemerintah cenderung menjadikan perguruan tinggi sebagai tempat untuk <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00074918.2021.1909692">mendapatkan kualifikasi pendidikan yang dibutuhkan di lapangan kerja.</a></p>
<p><a href="https://www.thejakartapost.com/academia/2019/11/22/nadiem-modernization-and-islamization-of-education.html">Pengangkatan Nadiem Makarim,</a> <em>co-founder</em> GoJek lulusan kampus bergengsi AS yang dikenal dengan sebutan <em>Ivy League</em>, sebagai Menteri Pendidikan pada tahun 2019 mengindikasikan keinginan pemerintah untuk menjadikan ekonomi digital sebagai tulang punggung pembangunan bangsa.</p>
<p>Sayangnya, program Kampus Merdeka yang dicanangkan Nadiem pada 2020 <a href="https://www.kompas.id/baca/opini/2023/01/09/guncangan-kampus-merdeka">hanya fokus menyiapkan sarjana yang siap kerja,</a> mengabaikan penguatan keilmuan dan kesadaran politik yang semestinya dimiliki oleh kaum terdidik. Pragmatisme pendidikan semacam ini sangat mirip dengan fenomena <em>hyper-individualisme</em> yang menggerogoti <a href="https://www.judithkirscht.com/judith-kirscht-authors-blog/3088/hyper-individualism-and-higher-education/">pendidikan tinggi di AS.</a></p>
<p><strong>4. Krisis lapangan kerja membuat individu enggan berpolitik</strong></p>
<p>Sebelum pandemi COVID-19, digitalisasi dianggap sebagai penggerak ekonomi yang utama, terutama dengan munculnya berbagai <em>start-up</em> bergaya Amerika di Indonesia. Faktanya, kesenjangan sosial dan keterbatasan akses pendidikan tinggi, menyebabkan <a href="https://www.thejakartapost.com/longform/2020/01/22/underprivileged-millennials-being-young-and-poor-in-jakarta.html">ekonomi digital hanya menguntungkan segelintir kalangan kaum terdidik.</a></p>
<p>Selain itu, sektor ini juga dinilai tidak bisa memberikan <a href="https://www.hukumonline.com/berita/a/menyoroti-lemahnya-perlindungan-tenaga-kerja-di-industri-startup-lt62bbede70dcd6/">kepastian hukum</a> bagi pekerja. Terdapat kesenjangan antara kualifikasi pendidikan dan kepuasan di tempat kerja. <a href="https://www.kompas.id/baca/opini/2022/09/01/isu-kesehatan-mental-di-kalangan-start-up">Krisis kesehatan mental</a> yang terjadi di AS juga membayangi pekerja terdidik di Indonesia.</p>
<p>Hal ini diperburuk oleh tren Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) selama pandemi yang tidak hanya menyasar <a href="https://www.thejakartapost.com/opinion/2022/03/25/post-covid-recovery-scratching-the-surface-of-millennial-start-ups.html">pekerja kerah biru,</a> tetapi juga mereka dengan kualifikasi pendidikan tinggi. Bagi kaum terdidik, krisis lapangan kerja semakin menggerus kemampuan mereka untuk <a href="https://dissertations.gla.ac.uk/id/eprint/353/1/2018KusumawardhanaMSc_dissertation.pdf">berserikat dan berkesadaran politik.</a> </p>
<h2>Apa solusinya?</h2>
<p>Harus diakui, Pemilu 2024 telah mengantarkan kita kepada babak baru demokrasi di Indonesia. Forum-forum kampanye seperti <a href="https://www.cnnindonesia.com/internasional/20240104112856-106-1045163/media-asing-soroti-cara-anies-gaet-pemilih-muda-pakai-desak-anies">“Desak Anies”</a> dan <a href="https://nasional.sindonews.com/read/1294443/12/momen-ganjar-debat-dengan-anak-muda-di-demokreasi-1704762111">“Demokreasi”</a> menunjukkan kematangan para kandidat politik dalam berdemokrasi.</p>
<p>Di luar dinamika paslon, platform seperti <a href="https://www.bijakmemilih.id/">Bijak Memilih</a> dan <a href="https://kawalpemilu.org/">Kawal Pemilu</a> menunjukkan tingginya partisipasi publik pada Pemilu 2024.</p>
<p>Sayangnya, kecenderungan <a href="https://www.newmandala.org/symptoms-of-anti-intellectualism-in-indonesian-democracy/">antiintelektualisme,</a> <a href="https://www.economist.com/asia/2024/02/01/tiktok-is-a-key-battleground-in-indonesias-election">pengaruh media sosial TikTok,</a> dan disinformasi dengan <a href="https://www.bloombergtechnoz.com/detail-news/26418/viral-video-soeharto-muncul-kampanye-pemilu-2024-di-instagram/2">penggunaan kecerdasan buatan</a> dalam Pemilu 2024, menjadi tantangan terbesar bagi demokrasi di Indonesia saat ini.</p>
<p>Untuk mengembalikan kesadaran politik kaum terdidik, perlu dilakukan langkah sistematis untuk menghentikan komersialisasi pendidikan tinggi.</p>
<p>Krisis Uang Kuliah Tunggal (UKT) di <a href="https://bandung.kompas.com/read/2024/02/01/120813778/duduk-perkara-itb-gandeng-pinjol-untuk-bayar-ukt-tetap-berlanjut-meski-tuai?page=all">Institut Teknologi Bandung (ITB)</a> menunjukkan darurat penanganan keuangan perguruan tinggi. Gagasan <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20240130141401-4-510170/sri-mulyani-kaji-sistem-student-loan-lpdp-seperti-as"><em>student loan</em></a> yang sangat Amerika-sentris harus ditolak karena akan semakin memperkuat kecenderungan <em>hyper-individualisme</em>.</p>
<p>Di sisi lain, pemerintah melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), mengelola dana abadi sebesar <a href="https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20240116181052-532-1050329/alasan-pemerintah-buka-peluang-setop-aliran-dana-rp20-t-ke-lpdp">Rp136 triliun</a>, untuk pendidikan pascasarjana dalam dan luar negeri. <a href="https://www.thejakartapost.com/opinion/2021/11/30/lpdp-overseas-scholarship-needs-rethinking.html">Alih-alih memperkaya kampus di luar negeri,</a> pemerintah perlu memikirkan opsi untuk mengalokasikan dana abadi sebesar itu untuk memperbaiki pendidikan tinggi di dalam negeri.</p>
<p>Dengan demikian, kita bisa bersama-sama mengembalikan fungsi universitas sebagai tempat untuk memupuk <a href="https://www.kompas.id/baca/english/2024/02/07/akademisi-tolak-intimidasi-pada-kebebasan-akademik?open_from=Translator_Mark">semangat berkumpul, berserikat, dan mengemukakan pendapat</a> di kalangan kaum terdidik.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/224096/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Asep Muizudin Muhamad Darmini tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kelompok berpendidikan tinggi pernah menjadi tulang punggung perjuangan kemerdekaan karena kesadaran politik mereka. Tapi belakangan, kesadaran ini semakin berkurang. Mengapa?Asep Muizudin Muhamad Darmini, Lecturer in Media and Communication, Binus UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2234672024-02-16T09:17:44Z2024-02-16T09:17:44ZBagaimana dakwah politik Muslim mendukung dinasti politik di Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/575266/original/file-20240212-22-xlmztf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=1%2C1%2C374%2C250&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Gibran Rakabuming Raka, President Joko "Jokowi" Widodo's oldest son (right)</span> </figcaption></figure><p>Presiden Joko “Jokowi” Widodo menjadi tokoh politik besar terbaru di Indonesia yang mencoba membangun <a href="https://www.jstor.org/stable/20185086?seq=20">dinasti politiknya</a>, sebuah konsentrasi kekuasaan politik yang melibatkan anggota keluarga.</p>
<p>Upaya Jokowi semakin nyata dengan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, yang kini menjadi <a href="https://theconversation.com/is-joko-widodo-paving-the-way-for-a-political-dynasty-in-indonesia-219499">calon wakil presiden</a> pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 hari ini, meskipun pencalonannya telah memicu protes keras dan luas dari masyarakat. </p>
<p>Gibran, saat ini berusia 36 tahun, mendaftarkan diri menjadi cawapres setelah Mahkamah Konstitusi (MK), yang dipimpin oleh adik ipar Jokowi, mengizinkan kandidat di bawah usia 40 tahun untuk mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden, asalkan mereka pernah/sedang menjabat sebagai pejabat publik. Sebelumnya, persyaratan usia untuk capres dan cawapres adalah minimal 40 tahun.</p>
<p>Contoh ini hanyalah permukaan dari suatu gunung es di kancah politik Indonesia <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/20578911231195970">pasca-Suharto</a>. Praktik ini mengakar di semua tingkat politik, terutama di <a href="https://www.youtube.com/watch?v=qZDcCewGRxs">partai politik</a>. </p>
<p>Sebagai pengamat yang memiliki ketertarikan mendalam terhadap politik dan agama, kami melihat bagaimana dinasti politik kerap dikaitkan dengan kesalahan persepsi publik tentang nilai-nilai kepemimpinan yang didasarkan pada ajaran agama. </p>
<h2>Kecenderungan gaya kekaisaran</h2>
<p>Dimulai pada abad ketujuh, kerajaan-kerajaan seperti Kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatra memerintah di Indonesia. Kemudian pada abad ke-13, kerajaan-kerajaan Islam muncul dan berkuasa hingga awal abad ke-20.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/575153/original/file-20240212-18-kmzng7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/575153/original/file-20240212-18-kmzng7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/575153/original/file-20240212-18-kmzng7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/575153/original/file-20240212-18-kmzng7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/575153/original/file-20240212-18-kmzng7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=425&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/575153/original/file-20240212-18-kmzng7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=425&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/575153/original/file-20240212-18-kmzng7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=425&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Candi Muara Takus adalah sebuah cagar budaya peninggalan zaman Kerajaan Sriwijaya yang terletak di Provinsi Riau.</span>
</figcaption>
</figure>
<p>Transisi dari masyarakat monarki ke masyarakat demokratis merupakan tantangan sulit bagi Indonesia karena membutuhkan perubahan pola pikir dari budaya tradisional ke gaya hidup modern.</p>
<p>Keengganan masyarakat Indonesia untuk menerima negara sekuler menunjukkan peran penting <a href="https://brill.com/view/journals/bki/174/4/article-p498_9.xml?language=en">agama dalam politik</a>. Umat Islam, yang mencakup sekitar 87% dari populasi Indonesia, merupakan pendukung terbesar bagi keberlanjutan peran agama dalam politik.</p>
<p>Dengan <a href="https://ejournal.uin-suka.ac.id/isoshum/sosiologireflektif/article/view/132-03/0">meningkatnya ketaatan beragama di Indonesia</a> dalam satu dekade terakhir, penekanan peran agama dalam politik dan pemerintahan semakin kuat.</p>
<p>Sebagian umat Islam masih memandang para pemimpin mereka sebagai orang yang mendapatkan otoritas dari Tuhan untuk memerintah mereka. Umat Islam diwajibkan untuk bersumpah setia sesuai dengan konsep <em><a href="https://www.jstor.org/stable/20788349">bay'ah</a></em> yang dikemukakan oleh para cendekiawan politik Muslim. </p>
<p>Konsep <em>bay'ah</em> kurang sesuai dengan model negara modern yang sekuler karena sumpah hanya dapat dibatalkan jika seorang penguasa mengundurkan diri atau meninggal dunia - bukan dengan pengalihan kekuasaan melalui pemilihan umum.</p>
<p>Sebagai contoh, sumpah setia kepada Sultan Daud Shah, sultan terakhir Aceh, menjadi tidak berlaku hanya karena dua hal: kematiannya atau pengunduran dirinya kepada pemerintah kolonial Belanda. Jika ada orang yang mencoba untuk memilih penguasa lain ketika sultan masih hidup, maka hal tersebut secara konseptual akan dianggap sebagai pemberontakan yang melanggar hukum.</p>
<p>Beberapa umat Islam Indonesia juga masih percaya bahwa dalam politik, hubungan darah merupakan faktor penentu penting dalam kepemimpinan.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/575155/original/file-20240212-18-ey3jk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/575155/original/file-20240212-18-ey3jk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=337&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/575155/original/file-20240212-18-ey3jk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=337&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/575155/original/file-20240212-18-ey3jk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=337&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/575155/original/file-20240212-18-ey3jk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/575155/original/file-20240212-18-ey3jk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/575155/original/file-20240212-18-ey3jk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Seorang ustadz menyampaikan khotbah setelah salat Idul Fitri di Palembang, Sumatra Selatan.</span>
</figcaption>
</figure>
<p>Para pendakwah Muslim sering menggambarkan pemimpin yang ideal melalui perumpamaan, seperti <em>Ratu Adil</em> (penguasa yang adil dalam cerita rakyat Jawa) atau <em>Khulafa’ Rasyidun</em> (empat penguasa pertama dalam peradaban Islam). </p>
<p>Di antara kualitas kepemimpinan yang biasanya disorot oleh narasi ini adalah: keadilan mutlak, pemerintahan yang langgeng, kepribadian yang tanpa cela, religiusitas, dan menghadapi sedikit perlawanan atau menikmati dominasi yang mudah atas musuh. Seseorang yang memiliki kualitas-kualitas ini kemudian dipandang sebagai pemimpin yang baik.</p>
<p>Karena masyarakat Indonesia masih memandang pemimpin dalam kerangka kerajaan historis, keturunan seorang pemimpin diasumsikan mewarisi kualitas-kualitas ini. </p>
<p>Salah satu contohnya datang dari Ustadz Adi Hidayat, seorang penceramah terkenal yang berafiliasi dengan Muhammadiyah, organisasi Muslim terbesar kedua di Indonesia. Dia membuat daftar <a href="https://rejogja.republika.co.id/berita/rs3rmz291/lima-karakter-pemimpin-amanah-menurut-ustaz-adi-hidayat">lima sifat utama</a> untuk seorang penguasa. Tiga di antaranya tidak akan berhasil dalam sistem republik, tetapi sangat cocok untuk seorang raja yang saleh, yaitu iman yang kuat, moralitas yang sempurna, dan mendapat bimbingan Ilahi. </p>
<p>Contoh lainnya adalah Gus Baha dari <em>Nahdhiyyin</em> (berafiliasi dengan Nahdhatul Ulama, organisasi Muslim terbesar di Indonesia), yang sering menceritakan <a href="https://www.youtube.com/watch?v=aVhwyiwHIQQ">kisah-kisah ideal</a> para penguasa di masa lampau, salah satunya Nabi Sulaiman. Ia menggantikan ayahnya sebagai raja dan tidak dipilih secara demokratis. </p>
<h2>Pengaruh agama</h2>
<p>Pengajaran semacam ini memberikan pemahaman yang lebih baik tentang keyakinan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan yang demokratis. Beberapa orang tidak dapat beralih dari dinasti monarki karena mereka akan selalu melihat perlunya pemimpin yang menyerupai Raja Sulaiman, misalnya, daripada pemimpin yang dipilih secara demokratis.</p>
<p>Para pendakwah ini secara tidak sengaja memperkuat kecenderungan politik dinasti di negara ini. </p>
<p>Dalam konteks pemilihan umum, para pengikut kelompok pendakwah kerap membenarkan suara mereka dengan narasi <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180414183724-20-290838/ketum-mui-jokowi-jadi-presiden-atas-kehendak-allah">bimbingan ilahi</a>, yang menekankan pada kesakralan seorang pemimpin. </p>
<p>Para pemimpin di semua tingkatan - terutama presiden - diharapkan oleh masyarakat untuk memiliki kesempurnaan moral dan karisma yang luar biasa. Bahkan mereka yang memiliki visi politik yang kuat pun dukungannya bisa berkurang jika tidak memiliki kepribadian yang tepat. Masih banyak orang yang menganggap kualitas-kualitas ini diwariskan dalam keluarga pemimpin, sehingga membentuk sebuah dinasti.</p>
<p>Agama akan selalu memegang peran penting dalam kehidupan dan politik Muslim di Indonesia. Tanpa pengajaran yang tepat tentang bagaimana kepemimpinan demokratis dapat bekerja melalui sudut pandang agama, politik dinasti akan tetap diterima secara moral dan budaya dalam perpolitikan Indonesia ke depannya.</p>
<hr>
<p><em>Rahma Sekar Andini menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/223467/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Penerimaan publik terhadap dinasti politik, terutama di kalangan Muslim, didorong oleh para pengkhotbah Islam dan keyakinan mereka tentang apa yang membentuk seorang pemimpin yang baik.Anggi Azzuhri, PhD candidate, Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)Musa Alkadzim, Mahasiswa, Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2222872024-02-12T06:22:16Z2024-02-12T06:22:16ZDemi merawat demokrasi, universitas mesti bebas dari intervensi pemimpin negara yang otoriter<p>Setelah <a href="https://kabar24.bisnis.com/read/20240205/15/1738509/daftar-kampus-dan-akademisi-tuntut-jokowi-netral-jelang-pemilu-2024">beberapa universitas di Indonesia menyampaikan deklarasi</a> terkait Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang dianggap gagal menjaga netralitas Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, <a href="https://www.detik.com/jogja/berita/d-7182285/heboh-kampus-diminta-bikin-video-apresiasi-jokowi-warek-ugm-ironi">sejumlah rektor mengaku menerima intervensi dari beberapa pihak.</a></p>
<p>Berbagai bentuk intervensi kebebasan akademik universitas tidak jarang terjadi di Indonesia, mulai dari <a href="https://www.kompas.id/baca/polhuk/2020/05/30/kebebasan-akademis-indonesia-dalam-ancaman">ancaman dan intimidasi</a>, hinggga <a href="https://fh.unair.ac.id/en/merosotnya-kebebasan-akademik-sebagai-akibat-dari-adanya-intervensi-kekuasaan/">pembubaran diskusi dan seminar. </a>. Terbaru, muncul <a href="https://rilpolitik.com/acara-nobar-dan-diskusi-dirty-vote-di-mbloc-space-batal-izin-dicabut-mendadak/">pelarangan nonton bareng</a> film dokumenter investigasi <em>Dirty Vote</em>, yang mengungkap kecurangan pemilu 2024. </p>
<p>Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) mengungkap bahwa <a href="https://news.republika.co.id/berita/qifatv396/lp3es-ungkap-4-tanda-indonesia-semakin-otoriter">Indonesia menunjukkan tanda-tanda semakin otoriter</a>. Ini contohnya terlihat dari <a href="https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/08/08/ruang-kebebasan-sipil-di-indonesia-semakin-sempit">makin masifnya pembatasan kebebasan sipil</a> melalui <a href="https://www.kominfo.go.id/index.php/content/detail/4419/Menkominfo%3A+Pasal+27+Ayat+3+UU+ITE+Tidak+Mungkin+Dihapuskan/0/berita_satker">UU ITE</a>, pengabaian <a href="https://www.kompas.id/baca/ilmu-pengetahuan-teknologi/2021/11/12/pejuang-lingkungan-masih-rentan-mengalami-kekerasan">kekerasan terhadap aktivis</a>, hingga pelanggaran komitmen demokrasi dengan adanya <em>conflict of interest</em> <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230606130341-617-958225/jokowi-cawe-cawe-itu-kewajiban-moral-saya-sebagai-presiden">Jokowi yang ingin terlibat atau <em>“cawe-cawe”</em> dalam Pemilu</a>.</p>
<p>Otoritarianisme <a href="https://www.tni.org/en/publication/understanding-and-challenging-authoritarianism">ditandai dengan tingginya keinginan negara</a> untuk mengontrol masyarakat, dengan membatasi kebebasan individu dan institusi, untuk menjaga kekuasaan dalam tangan mereka sendiri</p>
<p>Menurut Ernesto Gallo, Profesor Hubungan Internasional dari University of Birmingham, Inggris, yang biasanya terjadi di negara demokrasi adalah <a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/10245294211038425">“neoliberalisme otoriter”</a>. Artinya, pemerintah bisa menerapkan kebijakan ekonomi neoliberal, tetapi sembari membatasi kebebasan politik dan sipil. Hal ini dapat dilihat dalam konteks UU Cipta Kerja (Omnibus) di Indonesia, <a href="https://news.detik.com/kolom/d-5204654/uu-cipta-kerja-neoliberalisme-dan-deregulasi">yang mempermudah investasi asing</a>, <a href="https://www.walhi.or.id/uu-ck-skandal-legislasi-paling-barbar">namun memangkas hak-hak buruh</a>. </p>
<p><a href="https://www.icnl.org/wp-content/uploads/Uni-restrictions-rpt-final-March-2019.pdf">Studi</a> Kirsten Roberts Lyer dan Aron Suba dari UN Committee on Economic, Social and Cultural Rights (CESCR) menemukan bukti-bukti tindakan pemerintah yang restriktif dan represif terhadap universitas di lebih dari 60 negara. Termasuk di antaranya campur tangan struktur kepemimpinan dan tata kelola universitas, kriminalisasi dan pemecatan akademisi, sekuritisasi kampus, intimidasi keluarga, pembatasan pemberian jatah hibah dan beasiswa, hingga sensor buku dan publikasi topik tertentu.</p>
<h2>Pembatasan kebebasan akademik di berbagai negara</h2>
<p>Indonesia tidak sendirian. Dalam beberapa tahun terakhir, kecenderungan <a href="https://www.voanews.com/a/report-authoritarianism-on-the-rise-as-democracy-weakens/6856151.html">otoritarianisme juga meningkat di berbagai belahan dunia</a>. </p>
<p>Di Turki, <a href="https://www.bbc.com/news/world-middle-east-44519112">5.000 akademisi dan 33 ribu guru kehilangan pekerjaan</a>, <a href="https://www.aljazeera.com/news/2018/11/19/turkey-academic-jailed-after-raids-on-professors-and-activists">ratusan profesor dan lulusan bergelar magister dan doktoral dipenjara</a> karena terlibat dalam aksi protes pemerintah hingga dituduh berafiliasi dengan <a href="https://www.aljazeera.com/news/2022/7/15/turkeys-failed-coup-attempt-explainer">pencobaan kudeta presiden</a>. </p>
<p>Di <a href="https://www.france24.com/en/20181016-hungary-gender-studies-ban-draws-university-anger">Hungaria</a>, pemerintah melarang pengajaran mata kuliah studi gender hingga mengambil alih kontrol penuh terhadap Hungarian Academy of Social Science.</p>
<p>Sementara <a href="https://reliefweb.int/report/occupied-palestinian-territory/rights-civil-society-members-are-being-violated-all-entities-israel-and-occupied-palestinian-territory-un-commission-inquiry-says-israeli-government-restrictions-intrinsically-linked-occupation-enarhe">di Israel</a>, terdapat undang-undang antimasyarakat sipil dan universitas yang bertujuan untuk menghentikan dan meminimalkan protes terhadap pemerintah.</p>
<h2>Dampak otoritarianisme terhadap universitas</h2>
<p>Universitas yang beroperasi di bawah intervensi pemerintah yang otoriter sering <a href="https://eprints.whiterose.ac.uk/184563/">menghadapi tantangan</a> dalam menjaga kebebasan dan kemandirian akademik dalam riset, sumber daya, hingga kurikulum. Hal ini berdampak negatif pada kemampuan akademisi untuk mempertahankan kebebasan akademik dan menegakkan integritas kelembagaan.</p>
<p><a href="https://www.brookings.edu/articles/why-are-states-banning-critical-race-theory/">Beberapa pemimpin negara bagian di AS melarang pengajaran teori kritis tentang rasisme dan seksisme</a>, hingga membuat <a href="https://iowastartingline.com/2023/01/30/gop-bill-wants-iowans-to-report-teachers-violation-of-divisive-concepts-levy-fines/"><em>hotline</em> atau situs web untuk melaporkan tenaga pengajar yang melanggar</a>. Aturan pemerintah yang sangat keras ini dilakukan <a href="https://www.codastory.com/rewriting-history/floridas-university-restrictions/">agar universitas negeri fokus untuk mempromosikan sejarah dan filosofi peradaban Barat daripada peradaban ras yang lain.</a></p>
<p><a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0148296318303539?via%3Dihub">Penelitian</a> telah menunjukkan bahwa kebijakan negara yang sering mengintervensi kebebasan akademik dapat menimbulkan rasa takut dan sikap diam yang defensif di antara kalangan dosen dan mahasiswa, sehingga menghambat daya kritis dan kreativitas di lingkungan universitas.</p>
<p>Selain itu, pembatasan terhadap masyarakat sipil secara tidak langsung dapat memengaruhi universitas yaitu dapat <a href="https://www.journals.uchicago.edu/doi/10.1086/660741">membatasi peluang</a> untuk kolaborasi, pendanaan, dan advokasi pada isu-isu yang berkaitan dengan pendidikan dan penelitian.</p>
<h2>Universitas harus terus merawat demokrasi</h2>
<p>Sebagai pusat pengetahuan, inovasi, dan pemikiran kritis, universitas perlu mengambil berbagai langkah strategis untuk mendukung demokrasi dan melawan upaya pemerintah dalam membatasi kebebasan akademis dan sipil.</p>
<p>Bagaimana caranya?</p>
<p><strong>1. Pendidikan dan penelitian</strong></p>
<p>Universitas dapat menggunakan peran sebagai pusat penelitian dan pendidikan untuk menganalisis dan mengkritik kebijakan pemerintah yang otoriter. Melalui konferensi, publikasi, dan diskusi akademik, universitas juga dapat menyediakan platform untuk kritik intelektual dan pengembangan ide-ide alternatif. </p>
<p>Dari segi mahasiswa, universitas memainkan peran penting dalam mendidik mahasiswa tentang nilai-nilai demokrasi, kritis terhadap informasi, dan pentingnya partisipasi sipil dalam pemerintahan. Ini dapat dianggap sebagai bentuk perlawanan jangka panjang terhadap otoritarianisme.</p>
<p><strong>2. Aktivisme</strong></p>
<p>Mahasiswa dan dosen di Indonesia memiliki sejarah panjang keterlibatan dalam gerakan sosial politik untuk menentang pemerintahan otoriter. Demonstrasi, mogok kuliah, dan bentuk protes lainnya sering digunakan untuk mengekspresikan ketidaksetujuan terhadap kebijakan otoriter. </p>
<p>Dengan kemajuan teknologi, aktivisme melalui universitas dan sivitas akademika bisa menggunakan platform digital untuk menyebarkan informasi, mengorganisir protes, dan membangun jaringan solidaritas untuk menghindari sensor pemerintah.</p>
<p>Salah satu universitas di Turki, misalnya, mencari dukungan internasional melalui <a href="https://www.insidehighered.com/news/2019/07/01/about-700-academics-have-been-criminally-charged-turkey-their-signatures-petition">petisi</a> dan <a href="https://www.ipetitions.com/petition/the-purge-of-academic-institutions-in-Turkey">surat terbuka</a> sebagai respons atas tindakan pemerintah Turki yang melakukan pemecatan besar-besaran terhadap akademisi yang dituduh terlibat upaya <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44206395">kudeta 2016</a>. </p>
<p><strong>3. Kerja sama internasional</strong></p>
<p>Universitas dapat mencari dukungan dan solidaritas dari mitra internasional untuk melawan tekanan dari pemerintah otoriter. Ini bisa melalui pernyataan bersama, pertukaran akademisi, dan kolaborasi penelitian yang menunjukkan dukungan untuk kebebasan akademis.</p>
<p>Hal ini pernah dilakukan oleh <a href="https://neweasterneurope.eu/2021/06/11/attacks-on-academic-freedom-in-belarus-impossible-to-remain-silent/">universitas-universitas di Belarus untuk merespons tindakan keras pemerintah yang memecat akademisi</a> yang berpartisipasi dalam protes massal. Mereka <a href="https://www.timeshighereducation.com/hub/nawa-polish-national-agency-academic-exchange/p/solidary-belarus-how-world-changing">mencari dukungan internasional</a> untuk <a href="https://welcome.uw.edu.pl/scholarships-and-support-for-students-and-researchers-from-belarus/">memberikan beasiswa pada para akademisi</a>, dan membuat <a href="https://byeducationusa.info/en/">platform agar mereka terus mengajar dan melakukan penelitian.</a></p>
<p><strong>4. Penyelesaian perselisihan hukum</strong></p>
<p>Setiap lembaga pendidikan tinggi memilih cara yang berbeda-beda dalam merespons fenomena pemerintahan otoriter. Beberapa universitas mungkin mengambil posisi yang lebih aktif dalam menentang kebijakan atau tindakan yang dianggap otoriter, sementara yang lain mungkin memilih untuk pasif atau bahkan terpaksa mendukung, tergantung pada tekanan politik dan kebutuhan lembaga.</p>
<p>Di beberapa kasus, universitas mungkin memilih untuk beradaptasi dengan kondisi politik untuk memastikan kelangsungan operasional mereka. Ini bisa berarti menghindari kritik langsung terhadap pemerintah atau mematuhi beberapa kebijakan yang dianggap kontroversial.</p>
<p>Namun, profesor dan mahasiswa sebenarnya bisa mengajukan gugatan hukum terhadap kebijakan atau tindakan pemerintah yang dianggap melanggar konstitusi atau hak-hak akademis. Misalnya melalui <a href="https://www.tribunnews.com/mata-lokal-memilih/2023/09/17/3-mahasiswa-uin-gugat-ke-mk-minta-agar-kampus-dan-fasilitas-pemerintah-tak-jadi-lokasi-kampanye"><em>Judicial Review</em> di Mahkamah Konstitusi jika tindakan pemerintah dianggap bertentangan dengan UUD 1945</a>.</p>
<p>Akademisi dan Mahasiswa juga dapat mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk kebijakan atau tindakan yang bersifat pelanggaran administratif.<a href="https://www.hukumonline.com/klinik/a/subjek-hukum-yang-dapat-menggugat-ke-ptun-lt57183550b88c2">PTUN mengadili sengketa antara orang atau badan hukum dengan badan atau pejabat pemerintah dalam konteks tata usaha negara.</a></p>
<p>Dengan mengambil langkah-langkah ini, universitas tidak hanya melindungi dan memperkuat fondasi demokrasi di dalam kampus tetapi juga berkontribusi pada masyarakat yang lebih luas. Kita mesti belajar dari pengalaman, <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-58048425">penanganan Pandemi COVID-19 yang terlambat karena pemerintah mengabaikan analisis akademisi, pakar dan peneliti</a>. Universitas sudah seharusnya menjadi pusat kekuatan dalam merawat demokrasi yang bebas intervensi dan menyelamatkan bangsa ini dari bencana.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/222287/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ayu Anastasya Rachman tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Berbagai bentuk intervensi kebebasan akademik semakin marak terjadi di universitas-universitas di Indonesia. Apa yang sebaiknya dilakukan?Ayu Anastasya Rachman, Head of the International Relations Study Program, Universitas Bina Mandiri GorontaloLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2204722024-01-22T09:34:04Z2024-01-22T09:34:04ZKenali jenis-jenis misinformasi Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) ketika pemilu<p>Menjelang Pemilu, masyarakat kerap menjumpai beragam misinformasi di media sosial, salah satunya <a href="https://jogja.tribunnews.com/2023/10/23/hoax-beredar-video-di-tiktok-yang-menyatakan-orang-gila-didata-untuk-ikut-pemilu-2024#google_vignette">isu tentang keterlibatan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) dalam pemilu secara tidak sah</a>. Bentuk misinformasi seperti ini tidak hanya berpotensi merugikan ODGJ secara langsung, namun juga merusak integritas dan kepercayaan masyarakat terhadap Pemilu.</p>
<p>Jumlah penderita kesehatan jiwa di Indonesia sendiri cukup banyak. Saat ini <a href="https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20211007/1338675/kemenkes-beberkan-masalah-permasalahan-kesehatan-jiwa-di-indonesia/">prevalensi atau angka kejadian</a> orang dengan gangguan jiwa di Indonesia adalah 1 dari 5 penduduk. Artinya, sekitar <a href="https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20211007/1338675/kemenkes-beberkan-masalah-permasalahan-kesehatan-jiwa-di-indonesia/">20% populasi di Indonesia mempunyai potensi masalah gangguan jiwa</a>.</p>
<p>Hoaks terkait ODGJ pernah terjadi menjelang Pemilu presiden 2019 lalu. Ketika itu, muncul <a href="https://www.kominfo.go.id/content/detail/17912/hoaks-pembuatan-ktp-orang-gila-demi-ambisi-kekuasaan/0/laporan_isu_hoaks">kabar hoaks</a> berbentuk foto yang menggambarkan proses pembuatan e-KTP sekelompok individu, di WhatsApp (WA). Narasi yang menyertainya mengungkapkan kekhawatiran mengenai praktik-praktik tidak etis untuk meraih suara, khususnya penerbitan kartu identitas bagi individu yang memiliki masalah kesehatan mental. Peristiwa ini diklaim terjadi di Bekasi, Jawa Barat.</p>
<p>Klaim pembuatan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) yang tidak wajar, menunjukkan kekhawatiran adanya praktik tidak etis untuk mendapatkan pengaruh, kendali, atau kekuasaan politik. Situasi ini berpotensi mendorong beredarnya spekulasi dari masyarakat terkait manipulasi suara untuk kandidat tertentu sehingga menciptakan keresahan. </p>
<p>Pasalnya, walaupun kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) sudah mengklarifikasi bahwa proses perekaman e-KTP, termasuk bagi ODGJ, merupakan bagian dari pelayanan administrasi kependudukan yang wajar dan penting, juga penegasan dari <a href="https://www.kominfo.go.id/content/detail/17912/hoaks-pembuatan-ktp-orang-gila-demi-ambisi-kekuasaan/0/laporan_isu_hoaks">pihak KPU bahwa mereka tidak mendata warga yang dinyatakan gila sebagai bagian dari daftar pemilih</a>, isu bahwa orang gila juga didata untuk memilih sudah terlanjur berkembang.</p>
<p>Jadi, apa saja misinformasi terkait ODGJ yang berkembang di masa Pemilu?</p>
<h2>ODGJ tidak mampu membuat keputusan</h2>
<p>Hoaks yang sering muncul tentang ODGJ biasanya berkaitan dengan kemampuan mereka dalam membuat keputusan yang rasional. Terdapat anggapan bahwa ODGJ tidak mampu memahami proses pemilu atau mudah dipengaruhi. <a href="https://saberhoaks.jabarprov.go.id/v2/klarifikasi/detail/PTN002370/KPU-MENDATA-ORANG-GILA-UNTUK-PENCOBLOSAN-PEMILU">Mereka dianggap tidak memiliki kemampuan untuk berkarya, bersosialisasi, atau menentukan calon mana yang cocok menjadi pemimpin</a>. </p>
<p>Hoaks ini menyebar melalui media sosial, percakapan sehari-hari, dan kadang-kadang, melalui kampanye politik yang tidak bertanggung jawab. Hoaks ini dapat mempengaruhi masyarakat umum yang tidak memiliki informasi yang cukup tentang ODGJ, serta ODGJ itu sendiri yang mungkin merasa terstigmatisasi oleh misinformasi yang tersebar.</p>
<p>Jenis misinformasi di atas juga berkaitan dengan keyakinan bahwa ODGJ tidak memiliki kemampuan untuk membuat pilihan yang tepat. Kesalahpahaman ini dapat berakibat pada tersingkirnya mereka dari proses demokrasi, dan hilangnya hak dasar mereka untuk ikut serta dalam sistem pemilu.</p>
<p>Padahal, <a href="https://bmcpsychiatry.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12888-020-02756-0">sebuah penelitian tahun 2020 yang terbit di jurnal <em>BMC Psychiatry</em></a>, menunjukkan bahwa pasien psikiatri yang stabil memiliki kapasitas yang sama dengan pasien nonpsikiatri dalam membuat keputusan terkait perawatan kesehatan.</p>
<p>Selain itu <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/hsr2.179"><em>Health Science Report</em></a> juga melaporkan bahwa individu dengan skizofrenia dan gangguan bipolar terbukti memiliki kompetensi yang sama dengan individu nonpsikiatri dalam mengambil keputusan tentang pengobatan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Skizofrenia yang bisa dikategorikan sebagai ODGJ berat dianggap masih bisa pulih dan stabil. <a href="https://prebunking.cekfakta.com/prebunking-hoaks-yang-sering-beredar-jelang-pemilu-odgj-diintervensi-dalam-memilih">Penderita seperti ini tetap mampu berpikir, memahami situasi, menentukan pilihan dan bersikap dengan baik</a>.</p>
<p>Kedua hasil penelitian tersebut mendukung gagasan bahwa <a href="https://www.mdpi.com/2673-5318/2/2/10">individu dengan gangguan mental memiliki kapasitas untuk membuat keputusan yang tepat</a>. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk memusatkan upaya kita dalam memberikan bantuan yang diperlukan agar mereka dapat menggunakan hak dasar mereka untuk memilih. Terlebih, hak pilih ODGJ pada dasarnya dijamin dalam UUD 1945, UU Hak Asasi Manusia, dan <a href="https://www.mkri.id/public/content/infoumum/penelitian/pdf/hasilpenelitian_105_Laporan%20Penelitian%20Kompetitif%20Jember.pdf">UU Pengesahan Konvensi Hak Penyandang Disabilitas.</a></p>
<p>Memang ada beberapa ODGJ yang tidak diperbolehkan memilih dalam Pemilu yaitu ODGJ yang sedang mengalami halusinasi dan delusi yang kuat sehingga tidak dapat membedakan kenyataan. <a href="https://prebunking.cekfakta.com/prebunking-hoaks-yang-sering-beredar-jelang-pemilu-odgj-diintervensi-dalam-memilih/">Biasanya kondisi ini membuat ODGJ kesulitan berpikir, dan harus disertai juga dengan surat keterangan dari Dokter Spesialis Kejiwaan (Psikiater)</a>.</p>
<p>Situs resmi Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) <a href="https://nasional.tempo.co/read/1812363/ketua-kpu-orang-dengan-gangguan-jiwa-dapat-hak-pilih">menyebutkan, seseorang boleh dicoret dari daftar peserta Pemilu jika dibekali surat keterangan dari profesional bahwa, orang tersebut menderita gangguan jiwa permanen</a>.</p>
<p>Artinya, selama ODGJ dalam kondisi stabil dan cukup baik, maka individu tersebut masih boleh memilih secara langsung sesuai ketentuan yang berlaku. Surat dari psikiater juga tidak diperlukan, karena surat keterangan dari psikiater hanya untuk menegaskan bahwa yang bersangkutan tak bisa memilih karena kondisinya.</p>
<h2>ODGJ rentan melakukan penyerangan</h2>
<p>ODGJ merupakan <a href="https://jurnal.syntaxliterate.co.id/index.php/syntax-literate/article/view/10355">kelompok yang sering mendapat stigma dan diskriminasi</a>. Stigma ini menimbulkan <a href="https://jurnal.unimus.ac.id/index.php/JKJ/article/view/9265">kekerasan dan ketakutan</a>, yang bahkan bisa <a href="https://jkb.ub.ac.id/index.php/jkb/article/view/1973">berdampak pada keluarga penderita</a>.</p>
<p>Contoh dari misinformasi ini adalah maraknya isu penyerangan terhadap kaum ulama, yang menyudutkan ODGJ sebagai pelaku penyerangan tersebut. </p>
<p>Kasatgas Nusantara, yaitu satuan tugas yang dibentuk oleh Polri untuk mencegah terjadinya polarisasi hingga pemberantasan hoaks pada Pemilu 2024, Gatot Eddy Pramono, mengatakan prihatin dengan adanya pemberitaan maupun isu yang <a href="https://www.nu.or.id/nasional/kepolisian-prihatin-odgj-jadi-korban-penyebaran-hoaks-h16O8">menyudutkan ODGJ sebagai pelaku penyerangan terhadap kiai maupun pesantren</a>.</p>
<h2>Apa dampaknya?</h2>
<p>Isu-isu yang menyudutkan ODGJ sering kali menjadi bahan bakar untuk penyebaran hoaks. Masyarakat yang tidak kritis terhadap informasi dapat lebih mudah terpengaruh oleh narasi negatif, sehingga memperkuat persepsi buruk terhadap ODGJ. Situasi ini dapat menciptakan perpecahan sosial antara ODGJ dan masyarakat umum. </p>
<p>Selain berdampak pada masyarakat umum yang tidak memahami fakta-fakta terkait ODGJ, ODGJ sendiri juga mungkin menginternalisasi misinformasi tersebut, yang membuat kesehatan mental mereka justru semakin buruk. Misinformasi tentang ODGJ tidak hanya menghambat masyarakat untuk memberikan kesempatan kedua kepada mereka agar dapat hidup harmonis dan produktif, tapi juga membatasi hak-hak mereka, termasuk hak untuk memilih dalam pemilu.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/220472/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Selain sebagai Dosen DKV ISI Surakarta, Fitri juga anggota Devisi Litbang Mafindo.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Finsensius Yuli Purnama dosen Fikom, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya dan terlibat sebagai peneliti di Divisi Litbang Mafindo. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Loina L. K. Perangin-angin terafiliasi dengan Swiss German University sebagai Kaprodi dan dosen tetap, selain itu menjadi Presidium Komite Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Nuril Hidayah terafiliasi sebagai dosen di STAI Miftahul 'Ula Nganjuk. Ia juga terlibat sebagai peneliti di Komite Litbang Mafindo. </span></em></p>Maraknya misinformasi tentang ODGJ saat Pemilu dapat berakibat pada hilangnya hak dasar mereka untuk ikut serta dalam memilih. Apa saja jenis misinformasi ini?Fitri Murfianti, Leiden UniversityFinsensius Yuli Purnama, Lecturer, Universitas Katolik Widya Mandala SurabayaLoina L. K. Perangin-angin, Swiss German UniversityNuril Hidayah, Stai Miftahul ' Ula NganjukLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2170912023-11-11T05:54:52Z2023-11-11T05:54:52Z4 penjelasan psikologis terjadinya aksi solidaritas kolektif bela Palestina: bukan hanya tentang agama<p>Konflik yang terjadi di Jalur Gaza antara pemerintah Israel dan organisasi Hamas asal Palestina telah menjadi perhatian dunia dalam sebulan terakhir ini.</p>
<p>Di Indonesia, pada 5 November 2023 lalu, <a href="https://www.voaindonesia.com/a/gelar-aksi-bela-palestina-ratusan-ribu-orang-padati-monas/7342200.html">ratusan ribu masyarakat</a> dari berbagai daerah dan kalangan, termasuk jajaran petinggi negara dan tokoh masyarakat, menghadiri Aksi Akbar Bela Palestina di Monumen Nasional (Monas), Jakarta. Mereka <a href="https://www.kompas.id/baca/english/2023/11/05/en-perdamaian-di-palestina-harus-terwujud">menyerukan dukungan</a> untuk Palestina dan menyuarakan harapan agar pemerintah Indonesia menunjukkan langkah konkret untuk mendorong perdamaian.</p>
<p>Sebelum konflik kali ini, masih banyak masyarakat yang berpikir bahwa membela Palestina berlandaskan pada <a href="http://perspektif.ppj.unp.ac.id/index.php/perspektif/article/view/533/266">kesamaan identitas agama</a>, yaitu Islam. Ini karena dalam hampir setiap aksi, persoalan identitas seringkali diyakini sebagai aspek utama yang mengobarkan semangat beraksi.</p>
<p>Faktanya, aksi bela Palestina di Indonesia ini tidak hanya melibatkan umat Islam dan organisasi Muslim, tetapi juga berbagai <a href="https://www.thejakartapost.com/world/2023/11/05/indonesians-join-interfaith-rally-in-solidarity-with-palestine.html">organisasi dan masyarakat lintas agama</a>. Aksi serupa juga terjadi di berbagai negara yang mayoritasnya non-Muslim.</p>
<p><a href="https://www.arabnews.com/node/2400776/world">Di Sri Lanka</a>, contohnya, umat Buddha yang merupakan mayoritas <a href="https://www.tamilguardian.com/content/sri-lankas-sinhala-buddhist-monks-rally-support-israel">melakukan aksi protes</a> di ibukota Colombo atas penyerangan Israel di Gaza. <a href="https://www.democracynow.org/2023/11/3/boston_rally_ceasefire_gaza">Di berbagai negara bagian</a> di Amerika Serikat (AS), negara yang sikap pemerintahnya jelas <a href="https://edition.cnn.com/2023/10/11/politics/presidents-israel-cnn/index.html">mendukung penuh Israel</a>, masyarakat lintas agama <a href="https://www.nytimes.com/2023/11/04/us/protests-israels-gaza.html">turun ke jalan</a> untuk mendukung Palestina, serta memprotes sikap Presiden AS Joe Biden.</p>
<p><a href="https://www.bbc.com/news/uk-67320715">Di Inggris</a>, yang juga sekutu Israel, puluhan ribu warga dari berbagai kota, termasuk London, melakukan aksi protes serupa untuk mendukung Palestina dan menuntut gencatan senjata. Solidaritas terhadap Palestina bahkan <a href="https://www.instagram.com/p/CyR_Jj6ASzX/?igshid=NmdyaWN1b3V0bWFj">disuarakan oleh Jewish Voice for Peace</a>, organisasi komunitas Yahudi pendukung pembebasan Palestina.</p>
<p>Aksi-aksi tersebut menunjukkan adanya fenomena <a href="https://scholar.ui.ac.id/en/publications/palestinian-solidarity-action-the-dynamics-of-politicized-and-rel">solidaritas kolektif</a>, yang menjadi bukti bahwa membela Palestina kini tidak hanya dilandasi oleh kesamaan identitas semata.</p>
<p><a href="https://psycnet.apa.org/record/2022-08521-001">Studi-studi psikologi sosial</a> memang menyebutkan bahwa isu identitas menjadi penggerak aksi kolektif yang konsisten. Namun, identitas hanyalah satu dari aspek-aspek lain yang juga sangat penting dalam menggerakkan aksi kolektif.</p>
<p>Setidaknya ada empat alasan lain mengapa orang-orang dengan identitas berbeda ikut melakukan aksi solidaritas terhadap Palestina, berdasarkan aspek psikologi.</p>
<h2>1. Identifikasi isu politik lebih penting daripada kesamaan identitas</h2>
<p>Kesamaan identitas saja tidak cukup dalam menjelaskan aksi kolektif. Tidak semua orang dengan identitas yang sama peduli dengan isu dalam identitasnya. Bahkan, banyak yang menghindari isu ini. Misalnya, <a href="https://jspp.psychopen.eu/index.php/jspp/article/view/7303">mereka dengan identitas keagamaan namun apolitis</a> mungkin tidak terlalu menunjukkan sikap yang kuat dalam isu-isu politik tertentu.</p>
<p>Adapun aspek yang lebih terlihat adalah “<a href="https://psycnet.apa.org/record/2022-08521-001">identifikasi seseorang terhadap kelompok yang menyuarakan isu politis</a>”. Ini mencakup <a href="https://psycnet.apa.org/record/2001-00625-003">keterlibatan, keanggotaan, atau sekadar identifikasi seseorang terhadap kelompok-kelompok aktivis, gerakan sosial, ataupun komunitas yang menghadapi ketidakadilan</a>. Contohnya adalah organisasi HAM, gerakan sosial humanitarian, atau forum yang menyuarakan isu politik tertentu baik yang secara langsung maupun lewat dunia maya.</p>
<p>Contoh lainnya adalah kaum buruh. Identitas sebagai buruh sebenarnya melekat pada banyak orang–tidak hanya kelompok menengah ke bawah. Namun, tidak semuanya tertarik melakukan aksi perjuangan buruh. Mereka yang beraksi atau memiliki solidaritas biasanya adalah memiliki <a href="https://doi.org/10.1002/9780470674871.wbespm163">identifikasi terhadap isu-isu perjuangan politik</a>.</p>
<p><a href="https://bpspsychub.onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.2044-8309.2010.02001.x">Studi</a> menunjukkan bahwa identifikasi terhadap kelompok-kelompok ini penting karena mereka biasanya memiliki norma dan tujuan yang jelas dalam memandang suatu isu sosial.</p>
<p>Niatan seseorang melakukan aksi dapat terbentuk ketika mereka–terlepas dari identitas agama masing-masing–merasa terwakili atau memiliki kesamaan dengan kelompok-kelompok aktivis atau gerakan sosial. Jadi, yang penting bukan hanya memiliki agama yang sama, tetapi juga kepedulian senada terhadap isu-isu politik.</p>
<p>Mereka dengan agama berbeda bisa berjejaring juga di lingkaran aktivisme atau gerakan sosial yang memperjuangkan isu lintas agama. Ini juga bisa terjadi dalam dunia maya, seperti gerakan <a href="https://www.bbc.com/indonesia/articles/c3gldnyzy7ro">boikot produk-produk Israel</a>.</p>
<h2>2. Keyakinan akan adanya kewajiban moral</h2>
<p>Meskipun dipisahkan oleh berbagai identitas, manusia telah lama <a href="https://www.annualreviews.org/doi/abs/10.1146/annurev-psych-010814-015355">beradaptasi dengan saling membantu satu sama lain</a>. Mereka yang memiliki kelebihan dapat membantu mereka yang kesulitan, tertinggal, atau mengalami penderitaan. Aksi ini tidak hanya didorong oleh empati, melainkan juga oleh <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1002/ejsp.2675">keyakinan dari kelompok berprivilese mengenai kewajiban mereka terhadap yang lemah</a>.</p>
<p>Misalnya saja dalam konteks <em>Black Lives Matter</em> di AS, berbagai identitas etnis–tidak hanya etnis Afrika-Amerika–<a href="https://compass.onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/soc4.13098">ikut beraksi dan menunjukkan solidaritas terhadap perjuangan kesetaraan hak antaretnis</a>.</p>
<p>Inilah yang terjadi pada mereka yang berada jauh dari Gaza dan tidak merasakan langsung penderitaan warga di Palestina, tetapi lantang dalam bersuara membela Palestina. Biasanya, orang-orang yang termasuk kelompok ini <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1002/ejsp.2675">akan merasa bersalah atau malu</a> jika mereka tidak ikut bersuara secara moral. Mereka merasa jadi terdakwa sebagai pihak yang pasif.</p>
<p>Secara psikologis, banyak masyarakat dari seluruh dunia yang merasa memiliki kewajiban moral dalam melindungi anak-anak atau warga sipil yang tidak berdaya di wilayah perang.</p>
<p>Jika tidak bersuara, maka artinya mereka pasif dan tidak berperan seperti semestinya. Ini juga mungkin menjelaskan orang-orang bisa begitu marah terhadap mereka yang tidak mau bersuara–atau memilih diam–dalam mendukung Palestina.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/558913/original/file-20231111-23-7nkgue.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/558913/original/file-20231111-23-7nkgue.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/558913/original/file-20231111-23-7nkgue.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/558913/original/file-20231111-23-7nkgue.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/558913/original/file-20231111-23-7nkgue.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/558913/original/file-20231111-23-7nkgue.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/558913/original/file-20231111-23-7nkgue.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Aksi bela Palestina di London, Inggris, 28 Oktober 2023.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/pro-palestine-rally-march-through-city-2381025289">Wally Cassidy/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>3. Merasakan ketidakadilan yang sama</h2>
<p>Aspek kesamaan pengalaman menghadapi ketidakadilan turut berkontribusi membentuk rasa solidaritas. Banyak komunitas global, terlepas apapun agamanya, yang menilai Israel telah memperlakukan masyarakat Palestina di Gaza secara semena-mena, termasuk penjajahan selama puluhan tahun. </p>
<p>Rasa solidaritas akan lebih mungkin dirasakan oleh mereka yang pernah merasa atau mengalami perlakuan tidak adil terhadap diri mereka sendiri atau kelompoknya.</p>
<p>Genosida yang terjadi pada kelompok Yahudi di masa lalu, misalnya, <a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/0725513615625239?casa_token=THnMiYjTw0oAAAAA%3A8c_IopEl_gM6L03NfudrxqifCAG1PziUAasYlx6DOkHf3P6wRacJhYHy8Wu1UWcX5TCIEaTvomg">dapat memupuk perasaan solidaritas terhadap berbagai kelompok lain yang mengalami nasib sama</a>. Seperti yang ditunjukkan pada kelompok <a href="https://www.instagram.com/p/CyR_Jj6ASzX/?igshid=NmdyaWN1b3V0bWFj">Jewish Voice for Peace yang justru menyuarakan pembebasan Palestina</a>.</p>
<p>Riset juga menunjukkan bahwa kelompok dengan sejarah diperlakukan tidak adil, seperti kelompok minoritas, <a href="https://www.mdpi.com/2077-1444/11/11/604">dapat lebih merasakan solidaritas terhadap kelompok-kelompok lain yang mengalami hal sama</a>. Misalnya, kelompok minoritas beragama cenderung mendukung hak-hak minoritas seksual karena mereka memiliki kesamaan dalam pengalaman diskriminatif.</p>
<p>Selain itu, persepsi ketidakadilan juga bisa <a href="https://psycnet.apa.org/record/2022-08521-001">menimbulkan emosi dan amarah</a>. Emosi tersebut menjadi kunci bagi seseorang untuk bertindak dalam mengubah keadaan, seperti melakukan atau menginisiasi aksi kolektif dalam membela Palestina.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/558912/original/file-20231111-26-49unl4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/558912/original/file-20231111-26-49unl4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=366&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/558912/original/file-20231111-26-49unl4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=366&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/558912/original/file-20231111-26-49unl4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=366&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/558912/original/file-20231111-26-49unl4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=460&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/558912/original/file-20231111-26-49unl4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=460&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/558912/original/file-20231111-26-49unl4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=460&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Aksi bela Palestina dan seruan gencatan senjata oleh masyarakat di Washington DC, Amerika Serikat, 20 Oktober 2023.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/washington-dc-us-20-oct-2023-2382304637">Johnny Silvercloud/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>4. Kesempatan melakukan aksi</h2>
<p>Di negara demokrasi, penyampaian opini politik adalah hal yang wajar dan positif. Masyarakat era demokrasi dan keterbukaan dapat memperoleh informasi yang lebih luas dengan mudah, sehingga bisa lebih memahami isu yang terjadi.</p>
<p>Ditambah lagi, di negara demokrasi umumnya tidak ada larangan bersuara dan berdemonstrasi, sehingga rakyatnya bisa lebih mendapatkan ruang untuk melakukan aksi solidaritas.</p>
<p>Hal tersebut kemudian mendorong terciptanya aspek persepsi terhadap kemampuan diri dalam bertindak, atau istilahnya adalah <em>efficacy</em>. Menurut <a href="https://psycnet.apa.org/record/2022-08521-001">riset psikologi sosial</a> tahun 2021, aspek <em>efficacy</em> merupakan salah satu faktor penentu dalam terbentuknya aksi solidaritas kolektif. Mereka merasa mampu untuk bebas berekspresi dan berkoalisi dalam menyuarakan ketidakadilan, sehingga mampu pula mendorong individu lainnya untuk saling mendukung dalam menyuarakan isu-isu masyarakat.</p>
<p>Inilah mengapa aksi-aksi solidaritas biasanya dilakukan terutama di <a href="https://samidoun.net/2023/10/calendar-of-resistance-for-palestine-events-and-actions-around-the-world/">negara-negara dengan kecenderungan demokrasi yang baik</a>. Sebaliknya, pada <a href="https://www.channelnewsasia.com/singapore/israel-hamas-conflict-events-public-assemblies-applications-reject-speakers-corner-police-nparks-3852891">negara-negara yang membatasi aktivitas, suara, atau ekspresi politik</a>, warganya mungkin kesulitan menyuarakan dukungan atau solidaritasnya.</p>
<p>Dengan kata lain, aksi bisa tercipta bukan hanya ketika ada persepsi ketidakadilan, kewajiban moral, dan tujuan (identitas terpolitisasi), melainkan juga karena adanya kesempatan dan ruang.</p>
<p>Pada akhirnya, aksi solidaritas kolektif terhadap Palestina menunjukkan sisi positif dari kemanusiaan. Apalagi ini dilakukan tidak hanya oleh satu identitas saja, tetapi oleh berbagai kelompok lintas agama dan ras. </p>
<p>Aksi ini bisa tercipta karena adanya identifikasi dengan jejaring aktivisme atau gerakan sosial, adanya keyakinan akan kewajiban moral, adanya persepsi ketidakadilan, dan adanya kesempatan dalam beraksi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/217091/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Joevarian Hudiyana tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Aksi solidaritas membela Palestina terjadi di banyak negara, tidak hanya negara-negara Muslim. Ini menandakan bahwa kesamaan identitas bukanlah satu-satunya alasan mengapa solidaritas terjadi.Joevarian Hudiyana, Assistant Professor, Faculty of Psychology, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2168372023-11-03T05:07:32Z2023-11-03T05:07:32ZDinasti politik marak di negara demokrasi: apa dampaknya dan bagaimana menghindarinya?<p>Fenomena <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/20578911231185786">dinasti politik</a> (<em>political family</em> atau <em>legacy politician</em>) kini sedang santer menjadi perbincangan publik menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.</p>
<p><a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/20578911231185786?icid=int.sj-abstract.similar-articles.1">Asian Journal of Comparative Politics</a> memunculkan beberapa pengertian tentang konsep dinasti politik. Secara garis besar dinasti politik diartikan sebagai keluarga yang memiliki beberapa anggota yang menduduki jabatan terpilih dan memiliki pengaruh signifikan terhadap politik lokal, regional, atau nasional. </p>
<p>Beberapa ahli sepakat bahwa batas jumlah anggota bagi satu keluarga untuk dapat disebut dinasti adalah minimal empat orang keluarga dalam lingkar pemerintahan.</p>
<p>Meskipun dinasti politik sering diasosiasikan dengan monarki atau sistem kekuasaan diwariskan berdasarkan garis keturunan, hal ini juga <a href="https://www.researchgate.net/profile/Yoes-Kenawas/publication/287736019_The_Rise_of_Political_Dynasties_in_a_Democratic_Society/links/567900d408ae0ad265c9950a/The-Rise-of-Political-Dynasties-in-a-Democratic-Society.pdf">terjadi di negara demokrasi</a>, seperti di Indonesia, bahkan juga di Amerika Serikat (AS) yang merupakan negara demokrasi mapan.</p>
<p><a href="https://www.proquest.com/openview/d6d29d151ac4e69f02d4a00b491d2230/1.pdf?pq-origsite=gscholar&cbl=18750&diss=y">Beberapa studi</a> menyebutkan bahwa justru dinasti politik ini adalah konsekuensi dari praktik demokrasi itu sendiri. Sebab, dalam prinsip demokrasi ada prinsip persamaan hak, sehingga semua warga negara, entah itu anak presiden maupun anak dari rakyat kelas menengah ke bawah, memiliki kesempatan yang sama.</p>
<p>Namun, perlu ditekankan bahwa dinasti politik akan memberikan konsekuensi berupa <a href="https://theconversation.com/4-alasan-mengapa-pilpres-2024-bisa-jadi-ancaman-bagi-demokrasi-indonesia-216437">rusaknya pilar demokrasi</a> dan, dalam praktiknya, mengganggu keefektifan jalannya pemerintahan. Negara yang terbawa dalam dinasti politik yang berlarut biasanya sulit mewujudkan <em>good governance</em>.</p>
<h2>Jejak dinasti politik di negara demokrasi</h2>
<p>Sejumlah negara demokrasi kerap terjebak dalam dinasti politik. Di <a href="https://www.washingtonpost.com/news/the-fix/wp/2015/04/24/comparing-the-bush-clinton-and-kennedy-dynasties-in-3-family-trees/">AS</a>, misalnya, ada dinasti <a href="https://edition.cnn.com/2018/03/15/us/kennedy-family-curse/index.html">Kennedy</a>, <a href="https://www.texasmonthly.com/news-politics/bush-family-history-texas-jeb/">Bush</a>, dan <a href="https://www.ft.com/content/e63646c4-1962-11e7-a53d-df09f373be87">Clinton</a>. Pada masa pemerintahan dinasti di tiga masa itu, terjadi beberapa skandal yang dapat ditutupi dengan adanya kuasa politik, nepotisme, dan berbagai siasat yang bisa dijalankan dengan sentralisasi kekuasaan.</p>
<figure class="align-left ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/557403/original/file-20231103-28-xqveee.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/557403/original/file-20231103-28-xqveee.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/557403/original/file-20231103-28-xqveee.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/557403/original/file-20231103-28-xqveee.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/557403/original/file-20231103-28-xqveee.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/557403/original/file-20231103-28-xqveee.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/557403/original/file-20231103-28-xqveee.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Detail sampul beberapa dokumen tentang John Fitzgerald Kennedy dan sampul majalah Life Weekly 17 November 1960 Kennedy Elections In Figures.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/rome-italy-november-19-2022-detail-2231085597">Stefano Chiacchiarini '74/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Di Kanada, ada <a href="https://montreal.ctvnews.ca/trudeau-becomes-canada-s-first-national-political-dynasty-1.2618386">dinasti Trudeau</a> yang di kondisi serupa, dapat memanfaatkan kekuasaan untuk <a href="https://www.politico.com/news/2020/07/24/trudeau-political-scandal-family-381002">menutupi masalah keluarga atau kepentingan pribadi</a>.</p>
<p>Di India, ada <a href="https://thediplomat.com/2019/07/the-end-of-indias-nehru-gandhi-dynasty/">dinasti Jawaharlal Nehru</a>, Perdana Menteri pertama India pascakemerdekaan pada 1947 yang menjabat hingga kematiannya pada 1964. Nehru adalah <a href="https://www.bbc.co.uk/history/historic_figures/nehru_jawaharlal.shtml">tokoh sentral</a> dalam gerakan kemerdekaan India dan menjadi <a href="https://www.bbc.co.uk/history/historic_figures/nehru_jawaharlal.shtml">arsitek utama</a> dari kebijakan luar negeri dan domestik India selama periode awal pascakemerdekaan.</p>
<p>Dinasti politik Nehru-Gandhi, yang berasal dari garis keluarga Jawaharlal Nehru, telah memainkan peran dominan dalam politik India selama <a href="https://web.mei.edu/access?textid=U41x192&FilesData=Nehru-Dynasty.pdf">beberapa dekade</a>. Anak perempuannya, Indira Gandhi, menjadi Perdana Menteri India selama beberapa periode dalam rentang tahun 1966-1977. Kemudian, cucunya, Rajiv Gandhi, juga menjabat sebagai Perdana Menteri India periode 1984-1989.</p>
<p>Hingga kini, keluarga Nehru-Gandhi terus memainkan peran penting dalam politik India, dengan beberapa anggota keluarga lainnya yang juga aktif dalam kehidupan politik negara tersebut.</p>
<p>Di Indonesia sendiri, sebelum gembar-gembor pembentukan dinasti Presiden Joko Widodo, dinasti politik sudah menjadi praktik lama. Yang paling terlihat jelas adalah pada masa <a href="https://www.researchgate.net/profile/Mhd-Sukri/publication/348213804_Dinasti_Politik_di_Banten_Familisme_Strategi_Politik_dan_Rendahnya_Partisipasi_Politik_Masyarakat/links/5ff3ead892851c13feeb5623/Dinasti-Politik-di-Banten-Familisme-Strategi-Politik-dan-Rendahnya-Partisipasi-Politik-Masyarakat.pdf?_sg%5B0%5D=started_experiment_milestone&origin=journalDetail">rezim Suharto</a>, presiden Indonesia kedua. </p>
<p>Selama masa Orde Baru, Soeharto kerap membawa anaknya-anaknya masuk ke dalam lingkaran politik. Siti Hardiyanti Rukmana, misalnya, menjabat sebagai anggota MPR RI dari Fraksi Partai Golkar periode 1992-1998 dan menjadi Menteri Sosial tahun 1998.</p>
<p>Secara umum, dinasti politik didasarkan pada hubungan darah secara langsung dalam keluarga <em>(consanguinity)</em> dan hubungan perkawinan <em>(marriage)</em> dengan klan lainnya. Loyalitas, kepatuhan, dan solidaritas keluarga merupakan poin-poin penting berlangsungnya dinasti politik. Dengan hal itu, kekuasaan dan sejumlah kepentingan yang telah dan sementara dijalankan masih dapat terjaga atau terkendali.</p>
<h2>Dampak buruk dinasti politik</h2>
<p>Intinya adalah, <a href="http://journal2.um.ac.id/index.php/jppk/article/view/28281">dinasti politik rentan korupsi</a>. Ini merupakan konsekuensi paling jelas dan paling buruk. Sebab, dinasti politik akan melahirkan konsentrasi kekuasaan, kurangnya akuntabilitas, nepotisme, dan patronase. </p>
<figure class="align-right ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/557404/original/file-20231103-27-37nlbl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/557404/original/file-20231103-27-37nlbl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/557404/original/file-20231103-27-37nlbl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/557404/original/file-20231103-27-37nlbl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/557404/original/file-20231103-27-37nlbl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=501&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/557404/original/file-20231103-27-37nlbl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=501&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/557404/original/file-20231103-27-37nlbl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=501&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">PM Kanada Justin Trudeau merupakan anak dari mantan PM Kanada Pierre Trudeau.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/brampton-october-4-justin-trudeau-his-327591608">arindambanerjee/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Ketika kekuasaan terkonsentrasi dalam tangan satu keluarga atau kelompok untuk jangka waktu yang lama, terdapat potensi yang lebih besar bagi individu atau kelompok tersebut untuk menyalahgunakan kekuasaan demi kepentingan pribadi.</p>
<p><a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/aspp.12037">Dinasti politik</a> cenderung membangun struktur yang melindungi anggota keluarganya dari pengawasan eksternal, mengurangi akuntabilitas, dan memfasilitasi praktik korupsi. Hal ini akan meningkatkan praktik nepotisme dan patronase dalam lingkaran politik tersebut.</p>
<p>Misalnya, seorang pemimpin politik akan menempatkan keluarganya dalam posisi pemerintahan penting atau berpengaruh tanpa peduli apakah keluarga tersebut memiliki pengalaman atau kualifikasi yang layak. Di satu sisi, mereka telah memiliki akses khusus dalam pendanaan sehingga membuat langkah mereka menjadi lebih mudah.</p>
<p>Di jurnal yang berjudul “<a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/20578911231195970?icid=int.sj-full-text.similar-articles.7">The Irony of Indonesia’s democracy: The Rise of Dynastic Politics in the Post-Suharto Era</a>” terdapat temuan empiris bahwa jumlah dinasti politik di Indonesia meningkat lebih dari tiga kali lipat antara 2010 dan 2018, atau hanya dalam satu siklus pemilu.</p>
<p>Dalam konteks ini, terjadi <em>parasitic symbionts</em> yang dalam konteks biologi adalah interaksi simbiosis yang erat dan berjangka panjang antara dua organisme, yakni salah satu organisme hidup di dalam tubuh inangnya sehingga menimbulkan kerugian.</p>
<p>Dalam konteks politik, hal ini menjelaskan bagaimana pelaku dinasti melakukan apa yang disebut <em>“institutional drift”</em> yaitu mengatur sedemikian rupa aturan atau regulasi di institusi. Ini berarti mereka mampu memengaruhi dan mengubah cara kerja institusi demokratis untuk mendukung keberlangsungan dinasti politik mereka.</p>
<p>Contoh praktiknya bisa dilihat dari bagaimana institusi peradilan, <a href="https://nasional.kompas.com/read/2023/06/14/23450891/saat-mk-disebut-sebagai-mahkamah-keluarga-dan-mahkamah-kontroversial">Mahkamah Konstitusi</a>, memengaruhi dan mengubah aturan perundang-undangan untuk membuka jalan bagi figur tertentu untuk bisa maju di kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Hal ini bisa terjadi akibat adanya ruang dan kuasa yang bisa digunakan oleh pihak dinasti politik.</p>
<p>Pada masa dinasti politik Suharto, ciri khas dalam pemerintahannya adalah <a href="https://www.kompas.com/stori/read/2022/04/28/140000479/praktik-pemerintahan-nepotisme-pada-zaman-orde-baru?page=all">maraknya korupsi dan nepotisme</a>. Keluarga dan kerabat dekat Suharto mendapatkan keistimewaan dalam bisnis dan politik, yang mengakibatkan akumulasi kekayaan yang signifikan bagi keluarga Suharto dan kroninya. </p>
<p>Selain itu, selama masa pemerintahannya, Suharto membatasi <a href="https://www.kompas.com/skola/read/2020/12/22/165353669/pers-di-era-orde-baru?page=all">kebebasan pers</a> dengan ketat. Banyak media yang kritis terhadap pemerintah ditutup atau ditekan, dan banyak jurnalis menghadapi ancaman bahkan penangkapan. </p>
<p>Suharto juga mempertahankan kekuasaannya melalui <a href="https://www.dw.com/id/cara-soeharto-menyingkirkan-para-pesaingnya/a-49078877">pemilihan yang ia kendalikan dan manipulasi politik</a>. Partai-partai oposisi dibatasi, dan pemilihan sering kali dirancang untuk memastikan kemenangan bagi Suharto dan partainya, Golkar. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/557405/original/file-20231103-17-l0vgq3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/557405/original/file-20231103-17-l0vgq3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/557405/original/file-20231103-17-l0vgq3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/557405/original/file-20231103-17-l0vgq3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/557405/original/file-20231103-17-l0vgq3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/557405/original/file-20231103-17-l0vgq3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/557405/original/file-20231103-17-l0vgq3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Perangko edisi lama dari Indonesia yang menggambarkan Presiden Soeharto dan istrinya, Tien Soeharto.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/pematangsiantar-indonesia-june-28-2023-used-2323790793">Sugianto88/Antara Foto</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Selain itu, pemerintahan Suharto dikenal telah melakukan <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-43513185">represi militer</a> di beberapa daerah seperti Aceh, Papua, dan Timor Timur, yang mengakibatkan banyak korban jiwa.</p>
<p>Lebih lanjut, politik dinasti membuat orang yang memiliki kompetensi layak semakin jauh dan sebaliknya, mereka yang tidak berkompeten tapi memiliki keluarga dengan mudah dapat menjadi bagian pemerintahan. Pada akhirnya, sulit untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih (<em>clean and good governance</em>).</p>
<p>Kemungkinan itu bisa muncul kembali ketika politik dinasti benar-benar terjadi lagi di Indonesia. </p>
<p>Dinasti politik jelas dapat merusak demokrasi. Politik yang semestinya menjadi kekuatan untuk menyelamatkan masyarakat atau orang banyak, akhirnya menghilang. Patronase dan nepotisme akan menghambat upaya atau cita-cita untuk menghadirkan kesetaraan.</p>
<h2>Menghapus dinasti politik</h2>
<p>Mengakhiri atau membatasi dinasti politik memerlukan kombinasi dari reformasi kebijakan, kesadaran masyarakat, dan perubahan budaya politik. </p>
<p>Ini bisa dimulai dari menerapkan peraturan yang membatasi anggota keluarga tertentu dari pemegang jabatan politik untuk mencalonkan diri dalam pemilihan tertentu. Misalnya, membatasi saudara, anak, atau pasangan dari pejabat yang sedang menjabat untuk mencalonkan diri di posisi yang sama atau di wilayah yang sama.</p>
<p>Pada saat yang bersamaan, partai politik perlu mengadopsi prosedur seleksi kandidat yang lebih demokratis dan merata, sehingga mengurangi kemungkinan satu keluarga mendominasi struktur partai.</p>
<p>Selain itu, masyarakat harus terus sadar dan paham bahwa dinasti politik dapat berdampak buruk pada masa depan. Anggota dinasti politik jelas akan memiliki akses yang lebih baik ke sumber daya negara, seperti dukungan pemerintah, pekerjaan, atau manfaat lainnya, sementara masyarakat umum tentu akan dikesampingkan.</p>
<p>Kepentingan dan prioritas dinasti politik mungkin tidak selalu sejalan dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Sebagai hasilnya, isu-isu penting mungkin diabaikan atau tidak mendapatkan perhatian yang cukup. </p>
<p>Pada akhirnya, dinasti politik lebih fokus pada pemeliharaan kekuasaan daripada pelayanan publik, kualitas pelayanan seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur kemungkinan besar akan menurun.</p>
<p>Dinasti politik juga dapat mengancam pluralisme, prinsip demokratis yang menekankan pentingnya keragaman suara dan pandangan dalam pemerintahan. Jika satu keluarga atau kelompok mendominasi politik, suara-suara lain kemungkinan tersingkirkan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/216837/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Wawan Kurniawan tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Dinasti politik marak terjadi di negara demokrasi dan dianggap sebagai konsekuensi demokrasi. Namun, dampaknya juga akan merusak pilar demokrasi.Wawan Kurniawan, Peneliti di Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2164372023-10-27T04:47:58Z2023-10-27T04:47:58Z4 alasan mengapa Pilpres 2024 bisa jadi ancaman bagi demokrasi Indonesia<p>Pada 2010, Profesor Edward Aspinall dari Departemen Politik dan Perubahan Sosial, Australia National University, menerbitkan sebuah artikel berjudul <a href="https://www.journalofdemocracy.org/articles/indonesia-the-irony-of-success/">“The Irony of Success.”</a>.</p>
<p>Dalam penelitiannya, Aspinall meramalkan bahwa setelah rezim Suharto jatuh tahun 1998, Indonesia akan kesulitan dalam mewujudkan demokrasi, karena dua alasan utama: (1) penempatan purnawirawan dan pejabat aktif TNI dan Polri dalam struktur eksekutif, dan (2) penempatan menteri-menteri dari partai pemenang suara terbanyak di DPR RI. Ini adalah dua prinsip yang masih terbawa dari pemerintahan Orde Baru. </p>
<p>Ternyata, pada era demokrasi sekarang ini, pola pemerintahan ala Orde Baru justru semakin berkembang. Wujudnya adalah dalam bentuk praktik dinasti politik, jaringan patronase, orang-orang kuat daerah (<em>local strongmen</em>), dan privilese. </p>
<p>Praktik tersebut makin terlihat dewasa ini, terutama dalam perhelatan Pemilihan presiden (Pilpres) 2024.</p>
<p>Rakyat Indonesia kini disajikan tiga pasangan calon (paslon): 1) Anies Rasyid Baswedan dan Abdul Muhaimin Iskandar; 2) Ganjar Pranowo dan Mohammad Mahfud Mahmodin; dan 3) Prabowo Subianto Djojohadikusumo dan Gibran Rakabuming Raka. </p>
<p>Proses penentuan paslon tersebut dipenuhi dengan intrik politik yang luar biasa. Bukan hanya <a href="https://www.youtube.com/watch?v=_gY0SFI9LG8">elite partai</a> yang bermanuver, tapi juga pejabat <a href="https://www.liputan6.com/pemilu/read/5404981/peran-jokowi-dan-luhut-pengaruhi-manuver-golkar-di-pilpres-2024">eksekutif</a> dan <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20231016135148-4-480921/tok-mk-kabulkan-syarat-capres-cawapres-pernah-kepala-daerah">yudikatif</a> terlibat, bahkan sampai mengubah peraturan perundang-undangan. <a href="https://news.republika.co.id/berita/s2m8jz409/alasan-mk-kabulkan-gugatan-batas-usia-caprescawapres-tidak-diatur-tegas-uud-1945">Pengabulan gugatan terkait batas minimal usia calon presiden/wakil presiden</a> dan <a href="https://nasional.kompas.com/read/2023/10/23/19332331/mk-tak-terima-gugatan-usia-capres-maksimal-70-tahun-mahfud-ya-sudah-pak">penolakan gugatan batas usia maksimal calon presiden 70 tahun</a> hanyalah beberapa contohnya.</p>
<p>Fenomena ini tentu sangat memprihatinkan dan akan mengancam kualitas demokrasi. Setidaknya ada empat alasan mengapa Pemilu 2024 nanti akan menjadi ujian, jika tidak ancaman, bagi demokrasi Indonesia.</p>
<h2>1. Dinasti politik dan penyalahgunaan kekuasaan</h2>
<p><a href="https://www.jstor.org/stable/26372044">Menurut Aspinall</a>, fenomena dinasti politik dimulai dengan munculnya “keluarga politik”, yakni ketika lebih dari satu anggota keluarga terpilih dalam jabatan politik. Suatu politik keluarga hanya dapat dianggap sebagai dinasti politik jika ia berhasil memperluas pengaruhnya di berbagai level pemerintahan, dan jika setelah masa jabatannya berakhir, ada anggota keluarga yang menggantikannya.</p>
<p>Di Indonesia, fenomena dinasti politik menjadi semakin marak, baik di tingkat daerah maupun nasional. </p>
<p>Untuk pejabat daerah misalnya, terdapat dinasti politik <a href="https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/jpi/article/view/9329">mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah</a> dan <a href="https://journal.ugm.ac.id/polgov/article/view/48305">mantan Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari</a>. Sedangkan di tingkat nasional, ada <a href="https://www.youtube.com/watch?v=Mpzgv2HuoE0">mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo</a>, dan saat ini sedang ramai diperbincangkan adalah dinasti politik Presiden Joko “Jokowi” Widodo.</p>
<p>Maraknya fenomena dinasti politik ini, menurut Profesor Politik Komparatif dari Universitas London (SOAS) di Inggris, Michael Buehler, mencerminkan adanya masalah dalam sistem politik Indonesia. Lebih lanjut, dinasti politik yang begitu luas adalah refleksi dari rusaknya integritas demokrasi, dominasi jaringan klientelistik dan jaringan informal atas partai politik, serta kegagalan dalam reformasi akibat <a href="https://www.insideindonesia.org/married-with-children">kuatnya perilaku koruptif dan predatoris</a>.</p>
<p>Dinasti politik telah menjadi masalah yang sulit dihilangkan di Indonesia. <a href="https://news.detik.com/pemilu/d-7000150/prabowo-semua-partai-termasuk-pdip-ada-dinasti-politik">Prabowo sendiri mengakui</a> bahwa hampir semua partai politik di Indonesia memiliki jejak dinasti politik, tetapi sayangnya, situasi ini tidak dianggap sebagai masalah serius. Padahal, dinasti politik bisa merusak prinsip meritokrasi (berlandaskan pada prestasi dan kompetensi) dan persaingan yang adil dalam politik, serta kualitas kaderisasi partai politik.</p>
<p>Saat ini tampaknya pemerintah, dan jaringan dinasti politiknya, telah menguasai arena penting, yakni legislatif, yudikatif dan eksekutif. Hanya satu arena yang belum dikuasai sepenuhnya, yaitu media.</p>
<h2>2. Konflik kepentingan</h2>
<p>Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batas minimal usia capres-cawapres adalah bukti nyata adanya <a href="https://nasional.kompas.com/read/2023/10/23/15331201/anwar-usman-bantah-terlibat-konflik-kepentingan-dalam-putusan-mk">konflik kepentingan di tubuh lembaga peradilan</a>.</p>
<p>Sebelum pemilihan presiden saja Ketua MK Anwar Usman mampu memengaruhi putusan hakim agar Gibran, anak sulung Jokowi yang <em>notabene</em> adalah keponakannya sendiri, lolos untuk memenuhi syarat maju dalam kontestasi Pilpres. Bayangkan jika hasil Pemilu 2024 nanti tidak menguntungkan bagi pasangan Prabowo-Gibran, sangat mungkin MK juga bisa memengaruhi putusan sengketa hasil Pilpres yang kemungkinan akan diajukan paslon tersebut.</p>
<p>Namun, sebelum kontroversi kepentingan politik keluarga Jokowi ini, Indonesia juga sudah dikenal dengan banyaknya pejabat yang terlibat dalam konflik kepentingan dalam kontestasi politik.</p>
<p><a href="https://www.jstor.org/stable/40376461">Suatu studi</a> mengungkapkan adanya konflik kepentingan antara mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan mantan Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak (AFI). Pada Pemilihan Gubernur Kalimantan Timur 2008, Presiden SBY disebut menggunakan kekuasaannya untuk memastikan kemenangan AFI.</p>
<p>Berdasarkan penelitian itu, kala itu SBY diduga menggunakan kewenangannya untuk <a href="https://www.jstor.org/stable/40376461">“merekomendasikan” Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)</a> untuk menyelidiki dan menahan Syaukani–lawan terkuat AFI–atas dugaan peningkatan biaya studi kelayakan pembangunan bandara Kutai Kartanegara dan pengadaan lahan untuk fasilitas baru yang diusulkan pemerintah daerah. </p>
<p>Dengan penangkapan Syaukani oleh KPK, AFI berhasil melenggang menjadi Gubernur Kalimantan Timur, meskipun dengan kontestasi politik yang sangat sengit. </p>
<p>Dari kasus ini, kita dapat belajar bahwa pemimpin negara bisa menggunakan segala kekuasaan yang dimilikinya untuk menjaga kepentingan mereka. Ini pastinya akan sangat menghambat perkembangan demokrasi di Indonesia untuk bisa menuju ke arah yang lebih baik.</p>
<h2>3. Mengandalkan usia, mengabaikan kaderisasi</h2>
<p>Maju dalam perhelatan Pilpres di usia 36 tahun, Gibran tercatat sebagai <a href="https://www.cnbcindonesia.com/lifestyle/20231025191343-36-483719/riwayat-pendidikan-gibran-rakabuming-cawapres-termuda-ri">cawapres termuda</a> dalam sejarah pemilu Indonesia. Namun, fenomena “mengutamakan yang muda” tidak hanya terjadi pada Gibran.</p>
<p>Putra sulung SBY, <a href="https://news.detik.com/berita/d-4940411/dinasti-partai-demokrat-dari-sby-ke-ahy">Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)</a>, kini menjadi Ketua Umum Partai Demokrat, hanya selang empat tahun setelah ia terjun ke politik–waktu yang terlalu singkat untuk kaderisasi.</p>
<p>Sama halnya dengan putra bungsu Jokowi, <a href="https://nasional.tempo.co/read/1777982/pengangkatan-kaesang-sebagai-ketum-psi-tambah-daftar-catatan-politik-dinasti">Kaesang Pangarep</a>. Ia didapuk menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dalam hitungan hari sejak mulai masuk ke dunia politik.</p>
<p>Saya pribadi berpendapat bahwa tidak ada salahnya Indonesia dipimpin oleh kaum muda, mengingat struktur demografi di Indonesia didominasi oleh kelompok muda. Namun, perlu dicatat bahwa status “anak muda” saja tidak cukup untuk bisa kompeten memimpin negara. Yang paling diperlukan adalah kemampuan, pengalaman dan kebijaksanaan. </p>
<p>Usia bukanlah jaminan bahwa seseorang layak untuk memimpin. Terlebih jika kandidat terpilih melalui jalur yang merusak demokrasi, seperti privilese dan dinasti.</p>
<p>Menjadi presiden atau wakil presiden bukanlah ajang <a href="https://www.jawapos.com/politik/013097446/ahok-kritik-pedas-langkah-gibran-dicalonkan-maju-jadi-cawapres-prabowo-subianto-ini-bukan-coba-coba">untuk belajar atau coba-coba</a>. Jika jabatan kepala atau wakil kepala negara digunakan sebagai tempat belajar menjadi pemimpin, itu tujuan yang salah.</p>
<p>Jika ada yang mengatakan bahwa perubahan hanya bisa dimulai oleh kaum muda, meskipun yang punya privilese, ini sama saja menganggap Indonesia tidak memiliki anak muda jalur berprestasi. Padahal jika kita lihat catatan sejarah, SBY dan Jokowi adalah contoh politikus dan pemimpin yang memulai karier dari bawah, bukan dari jaringan dinasti.</p>
<p>Padahal juga, Indonesia sudah memiliki sistem partai politik, yang punya skema kaderisasi untuk mencetak kaum muda berprestasi untuk siap menjadi pemimpin. Cara ini yang sesuai dalam sistem demokrasi. “Menyelipkan” anggota keluarga, tanpa proses kaderisasi partai terlebih dahulu, justru akan merusak kualitas demokrasi.</p>
<h2>4. Meritokrasi jadi barang langka</h2>
<p>Meritokrasi (atau cara memperoleh kekuasaan berdasarkan prestasi, kecerdasan dan usaha) seharusnya menjadi salah satu cara utama untuk mencetak pemimpin masa depan. Melalui meritokrasi, pemimpin dapat membangun struktur pemerintahan yang didasarkan pada kemampuan dan prestasi individu, bukan hanya berdasarkan faktor politik atau nepotisme.</p>
<p>Pada era ketidakpastian global saat ini, penting memilih pemimpin dari jalur meritokrasi agar ia benar-benar memahami pengetahuan akan tantangan kompleks seperti perubahan iklim, ekonomi global, dan krisis kesehatan. Jika ia paham, ia akan dapat membuat keputusan yang bijak, dengan mempertimbangkan dampak jangka panjang dan kepentingan masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya kepentingan individu, kelompok, atau golongan tertentu.</p>
<p>Kita semua pasti setuju, bahwa Indonesia tidak kekurangan figur publik hebat yang lahir dari meritokrasi, seperti <a href="https://www.merdeka.com/jabar/tiga-tokoh-indonesia-ini-disebut-sebut-berangkat-dari-nol-berikut-kisahnya.html">Dahlan Iskan</a>, <a href="https://www.msn.com/id-id/berita/other/biodata-chairul-tanjung-si-tukang-fotokopi-yang-kini-namanya-disebut-bisa-jadi-kuda-hitam-pilpres/ar-AA18WjJa">Rachmat Gobel</a>, dan <a href="https://www.merdeka.com/jabar/tiga-tokoh-indonesia-ini-disebut-sebut-berangkat-dari-nol-berikut-kisahnya.html">Chairul Tanjung</a>. Namun, partai politik agaknya akan sulit menyadari ini kembali selama masih fokus pada tokoh yang diperlukan hanya untuk menggerek elektabilitas partai.</p>
<h2>Pemilih harus lebih kritis</h2>
<p>Kaesang dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum PSI pernah mengharapkan bahwa Pilpres 2024 perlu berjalan dengan santun dan <a href="https://www.beritasatu.com/bersatu-kawal-pemilu/1073683/kaesang-minta-prabowo-dan-gibran-jadikan-pilpres-2024-santun-dan-santuy">“santuy”</a> (santai).</p>
<p>Perlu dicatat bahwa pemilu bukanlah ajang bersantai-santai. Memilih pemimpin masa depan bukanlah perkara sepele. Jika pemilih membuat kesalahan dalam memilih calon pemimpin, ada kemungkinan besar mimpi Indonesia emas akan sulit terwujud dan generasi muda dapat saja menjadi kelompok yang paling terdampak karena pemimpin mereka terpilih dari jalur yang tidak semestinya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/216437/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Dadang I K Mujiono tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Pilpres 2024 juga bisa mengancam demokrasi Indonesia. Pemilih harus lebih kritis dalam menentukan pilihan.Dadang I K Mujiono, Faculty member of International Relations Department, Universitas MulawarmanLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2158132023-10-20T03:29:01Z2023-10-20T03:29:01ZMasihkah pemilu menjadi tonggak demokrasi? Kuncinya ada di tangan pemilih yang kritis<p><em>Survei Agenda Warga dari New Naratif mengundang lebih dari 1.400 orang dari seluruh Indonesia untuk menyampaikan aspirasi mereka tentang apa saja isu yang dianggap paling penting bagi masyarakat. Artikel ini diterbitkan ulang sebagai bagian dari kolaborasi The Conversation Indonesia dan New Naratif untuk menanggapi hasil survei tersebut.</em></p>
<hr>
<p>Pemilihan Umum (Pemilu) Indonesia selalu menghadirkan beragam fenomena menarik, mulai dari pencarian <a href="https://www.thejakartapost.com/opinion/2023/10/06/why-a-three-horse-race-is-a-better-for-indonesian-democracy.html">format koalisi</a> yang dinamis, pengutamaan <a href="https://carnegieendowment.org/2023/10/05/indonesia-s-2024-presidential-election-could-be-last-battle-of-titans-pub-90711">kepentingan elit</a>, <a href="https://www.abc.net.au/news/2019-10-20/jokowi-prabowo-friends-again-after-bitter-election/11606424">perubahan pola interaksi antaraktor</a> yang terlihat kontras selama dan sesudah pemilu, hingga tren dinasti politik.</p>
<p>Deretan fenomena itu telah membuat agenda pemilu tampak hanya sebagai wujud demokrasi prosedural dengan suguhan perebutan kekuasaan. Padahal, jika diskursus publik dibawa ke tingkat lebih dalam, pemilu seharusnya menjadi tonggak penting bagi pendalaman kualitas demokrasi Indonesia.</p>
<p><a href="https://newnaratif.com/id/masyarakat-indonesia-berbicara-5-isu-terpenting-yang-dihadapi-indonesia-pada-tahun-2023/">Hasil survei Agenda Warga</a> yang dilangsungkan sepanjang 2023 menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia menginginkan perbaikan penerapan demokrasi. Isu soal kesadaran dan partisipasi politik, serta upaya mendorong politik ke arah yang tak lagi berorientasi pada moralitas namun berfokus pada pembangunan demokrasi yang lebih kuat dan sehat, banyak mendapat sorotan warga.</p>
<p>Dalam hal ini, sudah waktunya kita para pemilih yang harus menjadi lebih kritis dalam memilih kandidat dan “membaca” maksud-maksud tersirat para elit politik. Jangan sampai kita justru terjebak dalam politik pecah belah.</p>
<h2>Pemilu dan demokratisasi</h2>
<p><a href="https://www.amazon.com/Democratization-Elections-New-Mode-Transition/dp/0801893194">Para peneliti telah meyakini</a> bahwa pemilu secara berkala dapat menopang demokratisasi. Sebab, perhelatan pemilu turut <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/13510347.2017.1369964">mensosialisasikan nilai-nilai demokrasi</a> seperti kebebasan, keterbukaan, dan persamaan. Adanya pemilu juga telah menyadarkan masyarakat terhadap hak-hak politiknya.</p>
<p>Namun, sebagian ahli justru <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0010414018758763">memandang pesimis</a> relasi pemilu dan demokratisasi. Mereka berargumen pemilu bukan menjadi pembuka keran demokratisasi, tetapi malah <a href="https://www.annualreviews.org/doi/abs/10.1146/annurev.polisci.11.060106.095434">menjadi instrumen rezim</a> untuk memperkuat kekuasaannya melalui mobilisasi perangkat negara guna memenuhi kepentingan elektoralnya.</p>
<p>Fenomena dinasti politik yang sedang hangat menjadi perbincangan publik belakangan ini merupakan contoh bagaimana rezim penguasa menggunakan prosedur pemilu untuk melanggengkan kekuasaannya.</p>
<p>Di negara demokrasi mapan sekalipun, seperti Amerika Serikat (AS), pemilu bahkan memfasilitasi munculnya <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0010414013512600">politikus-politikus populis</a> dan <a href="https://carnegieendowment.org/2020/08/18/political-polarization-in-south-and-southeast-asia-old-divisions-new-dangers-pub-82430">menciptakan polarisasi</a> pemilih dengan sentimen partisan ekstrem. <a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/0002716218818782">Dialog konstruktif</a> untuk mengatasi persoalan negara bersama-sama pun kerap menemui jalan buntu karena masyarakat lebih <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/1354068821992488">mementingkan afiliasi ideologi politiknya</a>. Konsekuensinya, kualitas demokrasi mengalami kemunduran.</p>
<p>Ini semua bisa terjadi karena pemilu sebagai pendorong demokratisasi tentunya tidak berdiri sendiri. Terdapat variabel-variabel lain untuk menyokongnya, termasuk soliditas oposisi, koherensi masyarakat sipil, media massa yang kritis dan independen, budaya masyarakat egaliter, serta peran aktif kaum intelektual dalam mengoreksi kebijakan.</p>
<p>Kombinasi komponen-komponen tersebut tentunya menjadi kekuatan pendorong demokratisasi sekaligus penguatan demokrasi.</p>
<h2>Demokrasi elektoral Indonesia</h2>
<p>Transformasi sistem politik Indonesia ke sistem demokrasi telah membuka ruang partisipasi yang lebih luas dan kompetitif. Pada level akar rumput, masyarakat jadi memiliki banyak pilihan calon pemimpin. Mereka juga bisa lebih aktif menuntut kepedulian dan tanggung jawab politikus yang terpilih dalam pemilu.</p>
<p>Dengan kata lain, sistem demokrasi yang salah satunya diwujudkan dalam pemilu berkala sebenarnya dimaksudkan untuk membuat masyarakat lebih berdaulat dalam menentukan figur yang mereka anggap kompeten untuk memperbaiki situasi nasional.</p>
<p>Pada tataran elit, sistem demokrasi juga membuka peluang hadirnya <a href="https://www.newmandala.org/20-years-reformasi/">elit-elit politik baru</a> di berbagai level kekuasaan. Distribusi kekuasaan tersebar ke spektrum yang lebih luas, tidak hanya terpusat pada satu orang sebagai patron utamanya. </p>
<p>Sayangnya, demokrasi elektoral Indonesia juga menghasilkan kondisi paradoks. Pemilu yang membawa semangat kompetisi, keterbukaan, kejujuran, transparansi, dan akuntabilitas belum sepenuhnya berdampak pada tata kelola pemerintahan berbasis meritokrasi (berdasarkan prestasi dan kompetensi).</p>
<p><a href="https://www.thejakartapost.com/indonesia/2023/05/16/its-a-family-affair-political-dynasties-take-center-stage-in-2024-polls.html">Praktik politik kekerabatan</a> yang kemudian <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0967828x16659571">membentuk dinasti</a> justru tumbuh dengan subur. <a href="https://link.springer.com/book/10.1007/978-981-13-6779-3">Politik uang</a> sebagai benih korupsi juga menjadi intens dalam setiap perhelatan pemilu.</p>
<p>Hal yang lebih disayangkan, partai politik yang seharusnya menjadi institusi penggerak demokrasi kini justru turut berkontribusi pada anomali tersebut. Partai terjebak dalam <a href="https://www.thejakartapost.com/opinion/2023/09/27/as-indonesian-democracy-matures-its-politics-feels-like-take-your-child-to-work-day.html">budaya politik feodalisme</a>, termasuk dalam dinasti politik, sehingga gagal menumbuhkan semangat egalitarian dalam tata kelola organisasinya. </p>
<h2>Pemilih sebagai penentu masa depan demokrasi</h2>
<p>Terlepas dari segala kekurangannya, demokrasi Indonesia tentunya masih lebih baik dibandingkan negara-negara demokrasi baru yang mengalami <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/13510347.2019.1582029?src=recsys">pembalikan ke rezim otoriter</a>. Konsolidasi demokrasi merupakan proses panjang. Memperkuat kesepakatan bersama terkait demokrasi sebagai aturan main politik kita menjadi hal mendesak. </p>
<p>Mengingat demokrasi menempatkan rakyat sebagai kerangka utama konseptualnya, kesadaran pemilih menjadi titik awal untuk mendorong penguatan demokrasi kita.</p>
<p>Mengharapkan elit politik tentunya lebih sulit karena persilangan kepentingan di antara mereka telah berakibat pada <a href="https://bookshop.iseas.edu.sg/publication/2067">stagnasi</a> dan <a href="https://bookshop.iseas.edu.sg/publication/2446">penurunan kualitas demokrasi</a>.</p>
<p>Sementara itu, partai politik memang memiliki posisi krusial dalam demokrasi Indonesia. Namun tanpa dukungan pemilih, jalan parpol menuju kekuasaan juga akan menghadapi hambatan serius berupa rendahnya legitimasi.</p>
<p>Pemilu 2024 menghadirkan <a href="https://nasional.tempo.co/read/1692894/kpu-sebut-60-persen-pemilih-indonesia-di-pemilu-2024-didominasi-kelompok-muda">komposisi pemilih muda</a> yang jauh lebih besar dibandingkan pemilih usia tua.</p>
<p>Pergeseran generasi pemilih ini akan berdampak pada perubahan pola perilaku pemilih. Pemilih muda tentunya lebih rasional dalam memutuskan pilihan politik mengingat mereka menikmati pendidikan lebih tinggi, kecakapan memanfaatkan teknologi, akses informasi lebih beragam, serta berpartisipasi dalam perdebatan publik seputar wacana politik dan kebijakan di media sosial.</p>
<p>Namun, publik harus tetap menjadi pemilih rasional, yang menempatkan tawaran program kebijakan maupun rekam jejak kandidat sebagai pertimbangan utamanya. Pemilih perlu aktif menagih rencana aksi gagasan kebijakan kandidat sekaligus menilai apakah programnya logis dan realistis atau <a href="https://www.thejakartapost.com/indonesia/2023/09/15/presidential-hopefuls-offer-populist-promises.html">hanya retorika populis</a>.</p>
<p>Kehadiran <a href="https://www.cambridge.org/core/books/voting-behavior-in-indonesia-since-democratization/95033839A6065AE1153591E0215BFEBE">pemilih kritis</a> merupakan indikator penting untuk peningkatan kualitas demokrasi. Pemilih menjadi filter agar kandidat terpilih merupakan figur dengan kapasitas terbaik dan integritas tinggi.</p>
<p>Singkatnya, pemilih memiliki kuasa dalam menentukan konfigurasi kekuatan politik melalui pemilu.</p>
<h2>Tiga agensi untuk menggerakkan pemilih</h2>
<p>Ada tiga agensi yang berperan penting merealisasikan hal ini.</p>
<p>Pertama adalah kelompok akademisi yang harus aktif merangsang kesadaran kepada pemilih melalui pemikiran dan kerja intelektualnya. Kegiatan pengabdian masyarakat merupakan salah satu manifestasinya.</p>
<p>Kedua, media massa harus menjalankan fungsinya secara independen dan menyajikan informasi yang tajam, akurat, dan berimbang sehingga bisa menjadi referensi yang efektif bagi pemilih sebelum menetapkan pilihan.</p>
<p>Ketiga, organisasi masyarakat sipil perlu <a href="https://www.kompas.id/baca/polhuk/2022/04/01/masyarakat-sipil-dan-tantangan-berat-konsolidasi-demokrasi">mengkonsolidasikan kekuatannya</a> sekaligus mengundang partisipasi aktif masyarakat guna mengawasi pemilu adil, jujur, terbuka.</p>
<p>Organisasi masyarakat sipil menjadi <a href="https://www.kompas.id/baca/opini/2021/12/08/konsolidasi-organisasi-masyarakat-sipil?status=sukses_login&%3Butm_source=kompasid&%3Butm_medium=login_paywall&%3Butm_campaign=login&%3Butm_content=https%3A%2F%2Fwww.kompas.id%2Fbaca%2Fopini%2F2021%2F12%2F08%2Fkonsolidasi-organisasi-masyarakat-sipil%3Floc%3Dheader%3Floc%3Dheader&%3Bstatus_login=login">penyeimbang pemerintah</a> agar kekuasaan tidak berkembang menjadi otoriter. <a href="https://www.researchgate.net/publication/338169226_Diskursus_Masyarakat_Sipil_dan_Reformasi_Militer_di_Indonesia">Sejarah mencatat</a> bahwa koalisi masyarakat sipil berperan besar dalam mendorong agenda reformasi Indonesia.</p>
<p>Ketiga agensi tersebut perlu aktif berkolaborasi membangun pengetahuan pemilih tentang <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S026137941930304X">realitas politik Indonesia</a>. </p>
<p>Pemilih perlu menyadari bagaimana elit <a href="https://brill.com/view/journals/bki/174/2-3/article-p159_1.xml?language=en">memobilisasi sentimen pemilih</a> guna meningkatkan daya tawar untuk bisa tetap memperoleh kekuasaan. Pengetahuan akan kondisi ini penting agar pemilih tidak terjerumus ke dalam politik yang bertujuan memecah belah mereka sendiri.</p>
<p>Pemilih bukanlah objek pertarungan elit, tetapi kekuatan penentu pendalaman kualitas demokrasi kita–kebebasan masyarakat sipil, kepastian hukum, keadilan ekonomi, dan <em>good government</em>. Pada pemilu 2024, tentunya kesempatan pemilih untuk mendorong agenda-agenda tersebut terbuka lebar.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/215813/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Andhik Beni Saputra tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Sudah waktunya kita menjadi pemilih yang kritis dalam pemilu. Jangan sampai kita justru terjebak dalam politik pecah belah.Andhik Beni Saputra, Lecturer, Universitas AndalasLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2133202023-09-12T07:48:08Z2023-09-12T07:48:08ZJelang pemilu 2024: perlunya menjaga independensi, memperkuat kolaborasi, dan memperdalam substansi<p>Perdebatan publik di Indonesia yang terjadi belakangan ini bisa menjadi pratinjau atas situasi di masa pemilihan umum (pemilu) tahun 2024. Sayangnya, perdebatan ini masih terpaku pada isu-isu sekunder dan dipenuhi oleh hoaks dan disinformasi yang minim pembahasan substansial mengenai masalah kemiskinan, ketimpangan, perubahan iklim, kesehatan, pendidikan, lingkungan hidup, dan ketimpangan gender.</p>
<p>Dalam kasus polusi udara misalnya, para kandidat masih menyajikan solusi yang tidak menyentuh akar permasalahan iklim tetapi justru memunculkan risiko beradaptasi dengan perkembangan teknologi yang membebani lingkungan hidup dan warga. Sementara tekanan terhadap kebebasan akademik di kampus juga semakin memperlemah suara-suara kritis yang ada.</p>
<p>Begitulah kira-kira benang merah dari diskusi panel yang diadakan oleh <em>The Conversation Indonesia</em> (TCID) dalam rangka perayaan ulang tahunnya yang ke-6 pada 8 September 2023 di <a href="https://www.ifi-id.com/jakarta/#/">Institut Francais Indonesia (IFI) Jakarta</a>. </p>
<p>Diskusi yang dimoderasi oleh editor lingkungan TCID, Robby Irfany Maqoma ini menghadirkan sejumlah pakar seperti Herlambang Wiratraman (Dosen Hukum, Universitas Gadjah Mada), Saras Dewi (Dosen Ilmu Lingkungan, Universitas Indonesia), Chairil Abdini (Tim Koordinasi Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang/RPJP 2025-2045), dan Ika Krismantari (<em>Content Editor</em>, <em>The Conversation Indonesia</em>).</p>
<h2>Publik perlu ruang diskusi yang demokratis</h2>
<p>Para panelis mengemukakan bahwa salah satu penyebab minimnya perdebatan yang substansial menjelang pemilu di Indonesia adalah kurangnya ketersediaan ruang yang mendukung.</p>
<p>Saras menggarisbawahi adanya polarisasi dan pertikaian di media sosial yang tidak memberikan ruang bagi pertukaran pemikiran yang lebih mendalam. Ruang di media sosial kini dikuasai oleh isu-isu yang terpolarisasi sehingga tidak lagi memberikan kesempatan bagi warga untuk mendiskusikan hal-hal yang lebih berdampak terhadap mereka.</p>
<p>“Di media sosial, kita mulai melihat perdebatan yang sangat membuka polarisasi yang tidak sehat di masyarakat. Sedikit sekali di dalam perlagaan politik, saya melihat hal substansial yang disampaikan oleh orang-orang yang berkepentingan untuk mengajukan dirinya sebagai kandidat,” ungkap Saras.</p>
<p>Sementara itu, Herlambang menyebutkan bahwa kebebasan akademik yang semestinya memungkinkan pembentukan wacana yang lebih kritis juga mulai terbatasi dengan adanya tekanan politik yang hegemonis. Padahal, kebebasan di lingkungan kampus dapat mencerminkan kebebasan yang ada di masyarakat.</p>
<p>“Kebebasan berekspresi dan berpendapat atau bentuk-bentuk kebebasan lain, ini paralel dengan situasi demokrasi yang merosot kualitasnya, sementara politik otoriter semakin menguat,” jelas Herlambang.</p>
<p>Hal ini senada dengan pendapat Ika yang menyebutkan bahwa pemilik media dengan kepentingan bisnis atau politik tertentu dapat membatasi perdebatan publik.</p>
<p>“Saya melihat, dengan lanskap media yang ada pada saat ini, diskursus pembicaraan publik didominasi oleh kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan politis,”</p>
<p>Terkait hal ini, Chairil menegaskan bahwa semua permasalahan ini terjadi karena kita melupakan visi misi kita sebagai bangsa, atau sibuk dengan visi misi sendiri-sendiri bukan visi misi bersama. Absennya perlindungan terhadap akademia, contohnya, tidak sesuai dengan misi Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah indonesia. Chairil menambahkan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah menyusun RPJP yang sudah melalui proses konsultasi publik kepada akademisi, rektor, gubernur dan media, tetapi gaungnya tidak muncul karena kita tidak menganggapnya penting.</p>
<p>Oleh karena itu diperlukan usaha-usaha untuk menjaga independensi, memperkuat kolaborasi dan memperdalam substansi, terutama di masa menjelang pemilu ini.</p>
<p>Para panelis sepakat bahwa kebijakan-kebijakan yang ada perlu menyasar pada solusi yang sampai ke akar, bukan hanya di permukaan. Lalu kebebasan akademik perlu mendapatkan perlindungan, terutama dengan adanya intensitas serangan yang semakin menguat tatkala berurusan dengan ritual politik seperti pemilu. Dari sisi media, tugas media sebagai pilar demokrasi perlu dikuatkan kembali agar bisa memastikan tersedianya ruang untuk mengingatkan bahwa ada isu-isu yang harus diangkat untuk kemudian dipecahkan oleh para kandidat.</p>
<h2>Upaya menghadirkan diskusi publik</h2>
<p>Selaras dengan pemikiran tersebut, TCID meluncurkan buku berjudul <a href="https://cdn.theconversation.com/static_files/files/2789/Bunga_Rampai_Final_v2.pdf?1694053523">“Membangun Perdebatan yang Inklusif dan Progresif: 32 Artikel Pilihan Jelang Pemilu 2024” </a> sebagai hasil akumulasi 6 tahun kolaborasi TCID dengan peneliti dan akademisi. Buku ini mengelompokkan artikel-artikel ke dalam tujuh tema besar, termasuk politik, lingkungan, kesetaraan gender, dan pendidikan, dengan harapan bahwa pemahaman mendalam atas isu-isu ini akan menjadi dasar perdebatan yang lebih bermakna menjelang pemilu 2024.</p>
<p>Menurut Saras, buku ini bisa menjadi asupan dan juga pegangan yang sangat penting sehingga publik bisa berdiskusi dan melihat isu-isu yang ada secara tidak terisolasi tapi sebagai irisan di mana isu yang satu erat kaitannya dengan isu yang lain.</p>
<p>Diskusi dan peluncuran buku ini dihadiri oleh puluhan tamu undangan yang terdiri dari akademisi, peneliti, awak media, dan juga perwakilan dari jejaring TCID seperti Jules Irrmann (Konselor Kerja Sama dan Kebudayaan Kedutaan Besar Prancis di Indonesia, Direktur IFI), Jatna Supriatna (Ketua Dewan Pembina <em>The Conversation Indonesia</em>) dan Fathul Wahid (rektor Universitas Islam Indonesia). Acara kemudian ditutup dengan penampilan dari <a href="https://www.thejakartapost.com/life/2021/08/06/out-of-the-darkness-ananda-badudu-celebrates-life-on-debut-release.html">Ananda Badudu</a>, musisi sekaligus mantan jurnalis.</p>
<img src="https://counter.theconversation.com/content/213320/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
The Conversation Indonesia mengadakan diskusi panel dan peluncuran buku dalam rangka ulang tahunnya yang ke-6.Hayu Rahmitasari, Education & Culture EditorLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2107922023-08-09T04:33:32Z2023-08-09T04:33:32ZPerlukah TNI ikut menjaga pertandingan sepak bola, konser musik dan kegiatan sipil lainnya? Bagi negara demokrasi, ini tidak lazim<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/541246/original/file-20230804-15-dgf5zq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C4826%2C3213&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Latihan Gabungan TNI di Pusat Latihan Tempur Marinir di Jawa Timur.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://branda.antaranews.com/data/content_photo_wire.php?pubid=1690887301&getcod=dom">Budi Candra Setya/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Tentara Nasional Indonesia (TNI), sebagai komponen pertahanan nasional, telah sejak lama turut terlibat dalam upaya keamanan dan melebur dalam kehidupan sipil di Indonesia. Contohnya, kita sudah sering menjumpai pawai karnaval, laga sepak bola, bahkan konser musik yang dijaga ketat oleh militer. </p>
<p>Bagi warga asing seperti dari Amerika Serikat (AS) dan Eropa, yang dilabeli sebagai negara demokrasi maju, praktik ini bisa dipertanyakan. Sebab, sejatinya urusan pertahanan dan keamanan negara harus dipisahkan satu sama lain.</p>
<p>Sedangkan bagi masyarakat di Indonesia, fenomena ini seakan lumrah. Urusan pertahanan dan keamanan dianggap sama sehingga terkesan tidak memiliki batasan yang jelas. </p>
<p>Padahal, Indonesia pun sebenarnya telah berupaya memisahkan fungsi keamanan dan pertahanan melalui <a href="https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/v2/lt4ffe8d256bf00/ketetapan-mpr-nomor-vi-mpr-2000-tahun-2000">Tap MPR VI/2000</a> tentang Pemisahan TNI dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Fungsi pertahanan nasional diemban oleh TNI sedangkan fungsi keamanan menjadi tanggung jawab Polri.</p>
<p>Perlahan, jika keterlibatan militer di ranah sipil ini terus terjadi, dikhawatirkan akan menimbulkan gesekan dan persoalan di tataran implementasi. Ini juga akan mengganggu profesionalisme TNI sendiri dan, lebih jauh lagi, kehidupan demokrasi dan prinsip supremasi sipil di Indonesia.</p>
<h2>Kehadiran TNI: dari arus mudik sampai konser dangdut</h2>
<p>Adanya <a href="https://news.republika.co.id/berita/rt29d9436/tni-kerahkan-18-ribu-prajurit-bantu-pengamanan-mudik-libur-lebaran">posko-posko penjagaan militer</a> pada periode arus mudik setiap tahunnya sudah menjadi pemandangan umum masyarakat Indonesia.</p>
<p>Posko-posko ini dibangun di sejumlah titik, termasuk perbatasan daerah, yang mereka anggap <a href="https://www.kompas.tv/regional/398853/ada-penembak-jitu-di-titik-rawan-menjaga-keamanan-mudik-lebaran">“rawan”</a>.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/541870/original/file-20230809-14-s2ch1q.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/541870/original/file-20230809-14-s2ch1q.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=397&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/541870/original/file-20230809-14-s2ch1q.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=397&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/541870/original/file-20230809-14-s2ch1q.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=397&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/541870/original/file-20230809-14-s2ch1q.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=499&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/541870/original/file-20230809-14-s2ch1q.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=499&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/541870/original/file-20230809-14-s2ch1q.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=499&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Pemusnahan senjata rakitan sisa Perang Dunia II di Maluku Utara oleh Kapolda Maluku Utara Irjen Pol Midi Siswoko (kiri) didampingi Danrem 152 Baabullah Ternate Brigjen TNI Elkines Villando Dewangga (kanan).</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://branda.antaranews.com/data/content_photo_wire.php?pubid=1691392504&getcod=dom">Andri Saputra/Antara Foto</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Sementara dalam konser musik, mulai dari <a href="https://www.liputan6.com/news/read/2315230/3300-polisi-dan-tni-amankan-konser-bon-jovi">pop</a> sampai <a href="https://soloraya.solopos.com/nella-kharisma-konser-di-karanganyar-249-aparat-keamanan-diterjunkan-1396294">dangdut</a>, biasanya ada anggota TNI berseragam lengkap turut <a href="https://tribratanews.gorontalo.polri.go.id/polres-kota-gorontalo/1673/konser-musik-hiburan-berjalan-aman-kapolresta-gorontalo-kota-ucapkan-terima-kasih-untuk-sinergitas-tni-polri-dan-instansi-terkait/">berjaga</a> di tengah keramaian.</p>
<p>Bagi negara-negara Barat, yang menganut <a href="https://www.jstor.org/stable/45346973">teori hubungan militer-sipil demokratis</a>, praktik ini sebenarnya tidak wajar. Sebab, mereka dengan mutlak memisahkan peran militer dari kehidupan sipil. <a href="https://www.jstor.org/stable/45292887">Penelitian</a> menunjukkan bahwa penekanan pembatasan peran militer dalam kehidupan sipil sangat diperlukan bagi negara demokrasi yang “dewasa”.</p>
<p>Landasan hukum Indonesia pun, melalui <a href="https://www.dpr.go.id/dokblog/dokumen/F_20150616_4760.PDF">Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI</a>, telah mengatur batasan intervensi TNI di ranah sipil. Hal ini sejalan dengan semangat Reformasi TNI yang melatar belakangi pembentukan UU TNI.</p>
<p>Oleh karena itu, pelibatan TNI dalam penjagaan di kegiatan sipil sama saja dengan <a href="https://ylbhi.or.id/informasi/siaran-pers/petisi-bersama-koalisi-masyarakat-sipil-restrukturisasi-dan-reorganisasi-tni-tidak-boleh-bertentangan-dengan-agenda-reformasi-tni/">mengkhianati</a> UU TNI dan <a href="https://pbhi.or.id/75-tahun-tni-kemunduran-reformasi-tni/">semangat Reformasi TNI</a>.</p>
<p>Lalu, pertanyaannya adalah mengapa ini bisa tetap terjadi?</p>
<h2>Sejarah TNI sebagai ‘angkatan rakyat’</h2>
<p>Militer Indonesia memiliki sejarah yang unik dibandingkan militer di negara-negara lain. Mengutip <a href="https://etd.ohiolink.edu/apexprod/rws_olink/r/1501/10?clear=10&p10_accession_num=osu148726460321841">disertasi Profesor Salim Said</a>, bahwa dalam sejarahnya, TNI merupakan “institusi yang dibentuk oleh rakyat”, bukan oleh penguasa.</p>
<figure class="align-left ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/541871/original/file-20230809-16-izp6d6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/541871/original/file-20230809-16-izp6d6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/541871/original/file-20230809-16-izp6d6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/541871/original/file-20230809-16-izp6d6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/541871/original/file-20230809-16-izp6d6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/541871/original/file-20230809-16-izp6d6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/541871/original/file-20230809-16-izp6d6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Aparat gabungan TNI-Polri melakukan penjagaan terhadap penonton pertandingan Persija vs Persebaya di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://branda.antaranews.com/data/content_photo_wire.php?pubid=1690725607&getcod=dom">Asprilla Dwi Adha/Antara Foto</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Militer Indonesia lahir selepas <a href="https://www.academia.edu/34691836/Indonesian_National_Revolution_Records_in_the_National_Archives_of_the_Netherlands">Perang Revolusi Nasional 1945-1949</a> dari <a href="https://bnn.go.id/hut-tni-77-tni-adalah-kita/">gabungan</a> laskar-laskar militer otonom yang melebur mandiri.</p>
<p>Panglima TNI (saat itu masih bernama Tentara Keamanan Rakyat/TKR) pertama Jenderal Sudirman terpilih melalui proses penunjukan oleh para prajurit, bukan oleh Presiden Sukarno. Karena dibentuk oleh unsur rakyat, TNI lekat dengan citra “mengayomi masyarakat”.</p>
<p>Setelah Jenderal Sudirman wafat tahun 1950, terjadi perdebatan besar tentang bagaimana masa depan militer Indonesia – yang namanya kemudian berubah menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada 1962. Perdebatannya mengerucut pada pilihan apakah TNI harus terlibat penuh dalam pemerintahan, seperti di Amerika Latin, atau menjadi fungsi pertahanan profesional saja seperti militer di Eropa.</p>
<p>Jenderal A.H. Nasution, Kepala Staf TNI Angkatan Darat saat itu, akhirnya memberi solusi “<a href="https://kumparan.com/pagili-ahmad/politik-jalan-tengah-1zk6eCOTXt7">Jalan Tengah</a>” dengan memberikan <a href="https://lib.litbang.kemendagri.go.id/index.php?p=show_detail&id=1321">TNI dua fungsi</a>: penyelenggara keamanan-pertahanan sekaligus stabilisator kehidupan bernegara. </p>
<p>Solusi tersebut kemudian diterjemahkan oleh Presiden Suharto dalam kebijakan <a href="https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/adabiya/article/download/6776/4069">Dwifungsi ABRI</a> pada masa Orde Baru. Prajurit TNI aktif ditugaskan menempati sejumlah jabatan publik struktural dan terlibat dalam ranah sipil, termasuk urusan menangkap maling.</p>
<p>Selama Orde Baru, konsep Dwifungsi ini menimbulkan <a href="https://www.kompas.com/skola/read/2021/03/19/133958069/dwifungsi-abri-sejarah-dan-penghapusan">banyak masalah</a>, termasuk dalam <a href="https://lib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-109146.pdf">penggunaan alat-alat kekerasan</a> yang dikuasai militer. Situasi tersebut kemudian mendorong munculnya desakan dari masyarakat untuk melakukan Reformasi TNI.</p>
<p>Setelah Suharto lengser tahun 1998, Presiden Abdurrahman Wahid pada 1999 menginisiasi Reformasi TNI dengan memisahkan peran militer dan polisi. TNI berfokus menjalankan fungsi pertahanan. Sementara Polri menjalankan fungsi keamanan dengan mengacu pada penegakan supremasi hukum dan prinsip hak asasi manusia (HAM).</p>
<p>Sejak saat itu, Dwifungsi ABRI dihapus, prajurit militer aktif kembali ke barak sebagai tentara profesional, tidak boleh masuk ke ranah sipil, politik, dan pemerintahan. <a href="https://peraturan.go.id/id/tap-mpr-no-vi-mpr-2000-tahun-2000">Tap MPR VI/2000</a> yang mengatur pemisahan fungsi TNI dan Polri ini masih berlaku hingga hari ini. </p>
<figure class="align-right ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/541872/original/file-20230809-19-od1v06.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/541872/original/file-20230809-19-od1v06.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=396&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/541872/original/file-20230809-19-od1v06.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=396&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/541872/original/file-20230809-19-od1v06.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=396&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/541872/original/file-20230809-19-od1v06.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=498&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/541872/original/file-20230809-19-od1v06.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=498&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/541872/original/file-20230809-19-od1v06.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=498&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Upaya pemadaman karhutla di Aceh Barat oleh aparat dari Polri dan TNI.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://branda.antaranews.com/data/content_photo_wire.php?pubid=1690629601&getcod=dom">Syifa Yulinnas/Antara Foto</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Namun, rupanya pemisahan ini tidak berlaku secara total.</p>
<p>Pasal 2 ayat (3) Tap MPR VI/2000 menyebutkan kemungkinan adanya kerja sama dan saling membantu antara Polri dan TNI. Juga munculnya ide besar bahwa, dalam beberapa urusan, prajurit TNI memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah-masalah keamanan negara.</p>
<p>Ketentuan ini kemudian diakomodasi melalui pemberlakukan UU TNI dan <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/44418">UU Polri</a>. Konsep inilah yang pada hari ini dikenal dengan jargon “<a href="https://tribratanews.malut.polri.go.id/2023/05/07/kapolri-dan-panglima-sepakat-sinergitas-tni-polri-kunci-sukses-keamanan-ktt-asean/">Sinergitas TNI-Polri</a>”. Sinergitas tersebut banyak diwujudkan melalui tugas perbantuan TNI dalam aktivitas pengamanan Polri. </p>
<h2>Gesekan sipil-militer</h2>
<p>Pengamanan acara sipil oleh militer tak selamanya melahirkan rasa aman.</p>
<p><a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-63118080">Tragedi Kanjuruhan</a> menjadi salah satu bukti kacaunya upaya pengamanan kegiatan sipil oleh militer. Pada tangkapan video amatir, terekam <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20221005154551-20-856731/anggota-tni-tendang-suporter-arema-saat-tragedi-kanjuruhan-minta-maaf">prajurit TNI menendang penonton</a> yang sedang lari karena panik terkena gas air mata.</p>
<p>Kita juga kerap mendapati berita ada anggota TNI melakukan kekerasan terhadap warga sipil. Contohnya kasus <a href="https://megapolitan.kompas.com/read/2020/03/07/20104111/penusukan-pria-di-tanjung-priok-oleh-oknum-tni-bermula-dari?page=all">pengeroyokan oleh 11 prajurit TNI</a> terhadap pemuda di Tanjung Priok tahun 2020 silam. Juga ada kasus viral seorang <a href="https://nasional.kompas.com/read/2023/04/25/16261231/kasus-prajurit-tni-tendang-motor-seorang-ibu-di-bekasi-ternyata-pelaku-yang">prajurit TNI menendang motor</a> ibu-ibu dan terlibat adu mulut di jalan raya.</p>
<p>Kemungkinan besar kondisi ini terjadi akibat <a href="https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1455-jalan-tengah">pola pikir Orde Baru</a> ketika Dwifungsi ABRI masih berlaku, yakni bahwa tentara adalah warga kelas utama sedangkan sipil adalah warga kelas dua.</p>
<p>Selain itu, pada dasarnya, prajurit TNI tidak dibekali latihan berinteraksi dengan sipil. Kalaupun ada, <a href="https://tni.mil.id/view-25111-prajurit-tni-dalam-penerapan-hak-asasi-manusia-ham.html">minim sekali</a>. Mereka digembleng dengan didikan disiplin militer karena fungsi utamanya sebagai prajurit memang pada bidang pertahanan negara. Meminjam istilah US Army, mereka adalah prajurit yang disiapkan menjadi <em><a href="https://www.sfgate.com/science/article/THE-SCIENCE-OF-CREATING-KILLERS-Human-2514123.php">trained killer</a></em>.</p>
<p>Prajurit menjadi <em>trained killer</em> bukanlah suatu konotasi negatif. Prajurit militer memang <a href="https://www.cambridge.org/core/journals/international-theory/article/abs/license-to-kill-is-legitimate-authority-a-requirement-for-just-war/2D077862D84B283F52A0F91C6F31CF1D">dilatih untuk ‘siap membunuh’ lawan</a> demi menjaga pertahanan dan integrasi negara, terutama dalam kondisi perang. Singkatnya, mereka disiapkan untuk bertaruh nyawa demi melindungi kedaulatan negara. Sehingga, prajurit TNI tidak cocok ditugaskan untuk mengamankan masyarakat sipil di masa damai.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/541873/original/file-20230809-23-myp09b.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/541873/original/file-20230809-23-myp09b.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/541873/original/file-20230809-23-myp09b.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/541873/original/file-20230809-23-myp09b.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/541873/original/file-20230809-23-myp09b.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/541873/original/file-20230809-23-myp09b.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/541873/original/file-20230809-23-myp09b.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Prajurit TNI bersiap melakukan penembakan pesawat menggunakan rudal Mistral Latihan Gabungan (Latgab) TNI di Pusat Latihan Tempur Marinir, Karang Tekok Situbondo, Jawa Timur.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://branda.antaranews.com/data/content_photo_wire.php?pubid=1690885207&getcod=dom">Budi Candra Setya/Antara Foto</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Jika prajurit militer terlibat di ranah sipil, akan rentan bagi mereka untuk “keceplosan” menerapkan standar militer kepada masyarakat umum. Kemungkinan terburuknya adalah terjadi penghilangan nyawa warga sipil.</p>
<h2>Mendamba sebuah perbaikan</h2>
<p>Sinergitas antarlembaga negara memang dibutuhkan untuk mencapai tujuan nasional yang baik. Namun, ikut terlibatnya TNI dalam upaya pengamanan sipil menimbulkan beberapa masalah, termasuk terjadinya gesekan antara sipil dan militer.</p>
<p>Masalah-masalah ini harus segera diselesaikan oleh pemerintah. Apalagi, saat ini agenda <a href="https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/44510/t/Wacana+Revisi+UU+TNI%2C+Legislator+Nilai+Butuh+Proses+yang+Panjang">revisi UU TNI</a> tengah digodok oleh DPR RI dan pemerintah. Penugasan TNI untuk menjaga konser dangdut, arus mudik, serta kegiatan sipil lainnya harus dievaluasi. </p>
<p>Pilihannya mungkin ada dua: (1) membekali prajurit dengan prinsip-prinsip dasar HAM dalam pengamanan sipil, membenahi sistem peradilan militer, dan mempertegas pembedaan kewenangan TNI dan Polri, atau (2) mengembalikan sepenuhnya prajurit TNI ke barak, murni sebagai aktor pertahanan nasional. </p>
<p>Apapun pilihannya, harus dilakukan sesuai dengan konsep negara hukum-demokrasi yang berlaku di Indonesia.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/210792/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Rahadian Diffaul Barraq Suwartono tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Tentara berjaga di acara konser menjadi pemandangan lumrah bagi warga Indonesia. Pernahkah kita bertanya-tanya mengapa ini terjadi?Rahadian Diffaul Barraq Suwartono, Pengajar di Departemen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia (UII) YogyakartaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2082972023-06-25T02:25:56Z2023-06-25T02:25:56ZGeorge Soros lepas harta ke anak: wariskan filantropi, donasi miliaran dolar, serbuan antisemitisme dan teori konspirasi<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/533841/original/file-20230625-88742-4znwte.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C3072%2C2041&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">George Soros pada sebuah acara di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 2006.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/kuala-lumpur-december-15-george-soros-38657317">Adrin Shamsudin/shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>George Soros, investor miliarder sekaligus filantropis terkemuka, menyerahkan kendali bisnisnya yang sebesar US$25 miliar (sekitar Rp 375 triliun), termasuk Open Society Foundations, kepada salah satu putranya, <a href="https://www.reuters.com/business/finance/billionaire-george-soros-hands-control-empire-son-wsj-2023-06-11/">Alexander Soros</a>. </p>
<p>Sebagai sosiolog yang meneliti tentang <a href="https://scholar.google.com/citations?user=CeaQNawAAAAJ&hl=en">imigran dan minoritas di Eropa serta teori-teori konspirasi tentang mereka</a>, saya mempelajari bagaimana Soros menjadi kambing hitam dan momok bagi para nasionalis dan populis, sekaligus target bagi orang-orang yang membenci dan menyebarkan pandangan antisemitisme (sikap permusuhan terhadap orang-orang Yahudi).</p>
<p>Teori-teori konspirasi tak berdasar kadang mengaburkan warisan Soros sebagai salah satu donatur terbesar dunia untuk tujuan seperti pendidikan tinggi, hak asasi manusia, dan demokratisasi negara-negara bekas komunis di Eropa.</p>
<h2>Sukses setelah menderita</h2>
<p>Lahir pada 1930 di keluarga Yahudi Hungaria, <a href="https://www.georgesoros.com/the-life-of-george-soros/">Soros selamat dari pendudukan Nazi</a> dan Holocaust. Usai Perang Dunia II, Soros pindah dari Budapest ke Inggris dan berkuliah di London School of Economics sembari bekerja paruh waktu di kerjaan-kerjaan berupah rendah. Ia berimigrasi ke Amerika Serikat (AS) pada 1956 dan memperoleh kewarganegaraannya lima tahun kemudian. </p>
<p>Soros menjadi investor dan manajer dana investasi sukses pada dekade 1970an.
Memasuki dekade 1990an, ia telah <a href="https://www.bloomberg.com/billionaires/profiles/george-soros">bergelimang harta</a> dan memantapkan dirinya sebagai salah satu pemodal penting dunia.</p>
<p>Namun, dedikasinya pada filantropi dan dukungannya pada kebebasan berpolitik yang membuatnya dikenal orang-orang. </p>
<h2>Filantropi dalam jumlah besar</h2>
<p>Pada 1980an, Soros memulai kontribusinya terhadap gerakan politik dan sosial untuk menggeser <a href="https://www.rferl.org/a/1092438.html">pemerintahan komunis dengan masyarakat demokratis</a> di negara-negara Eropa Timur. Menyadari pentingnya pergerakan akar rumput dalam membuat perubahan, dukungannya memungkinkan banyak aktivis untuk melawan opresi dan mengadvokasi hak asasi manusia. </p>
<p>Dia juga melakukan donasi besar-besaran untuk mendukung pendidikan.</p>
<p>Aksi filantropi pertama Soros adalah ketika pada 1979, ia mendanai beasiswa untuk para pelajar kulit hitam di Afrika Selatan, yang kala itu masih menerapkan kebijakan apartheid. Pada 1980an, ia membantu mempromosikan pertukan ide di Hungaria Komunis dengan mendanai <a href="https://www.opensocietyfoundations.org/george-soros">kunjungan para pemikir libera Hungaria ke universitas-universitas Barat</a>.</p>
<p>Ketika dia mendonasikan $250 juta ke <a href="https://www.nytimes.com/2001/10/14/world/soros-gives-250-million-to-university-in-europe.html">Central European University di Budapest</a> pada 2001, sumbangannya menjadi yang terbesar untuk hibah pendidikan kala itu.</p>
<figure class="align-left zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/532260/original/file-20230615-11155-bgix4y.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="A middle-aged man in a suit and tie holds a book." src="https://images.theconversation.com/files/532260/original/file-20230615-11155-bgix4y.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/532260/original/file-20230615-11155-bgix4y.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=901&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/532260/original/file-20230615-11155-bgix4y.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=901&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/532260/original/file-20230615-11155-bgix4y.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=901&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/532260/original/file-20230615-11155-bgix4y.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1132&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/532260/original/file-20230615-11155-bgix4y.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1132&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/532260/original/file-20230615-11155-bgix4y.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1132&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">George Soros telah menyumbangkan jutaan dolar untuk mendukung demokrasi di Uni Soviet dan Eropa Timur pada tahun 1991.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://newsroom.ap.org/detail/GeorgeSoros1991/06a793b63ee14ed5bac5410a814b4ff1/photo?Query=george%20soros%201991&mediaType=photo,video,graphic,audio&sortBy=arrivaldatetime:desc&dateRange=Anytime&totalCount=3&currentItemNo=2">AP Photo</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Soros mendirikan apa yang sekarang dikenal sebagai Open Society Foundations pada 1993. Nama jaringan hibah internasional ini terinspirasi oleh buku <a href="https://press.princeton.edu/books/paperback/9780691210841/the-open-society-and-its-enemies"><em>The Open Society and Its Enemies</em></a> (Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya) yang ditulis Karl Popper pada 1945. Popper berargumen bahwa individu berkembang pesat dalam masyarakat yang terbuka karena mereka dapat mengekspresikan diri dengan bebas dan menguji ide-ide mereka, sementara masyarakat yang tertutup akan berujung pada kebuntuan.</p>
<p>Secara luas <a href="https://www.opensocietyfoundations.org">tujuan dari sebagian besar filantropi Soros</a> adalah untuk mendukung masyarakat yang toleran, dengan pemerintah yang akuntabel dan memungkinkan setiap orang untuk berkampanye, memprotes, menyumbang kepada kandidat yang mereka sukai atau bahkan mencalonkan diri.</p>
<p>Kini, yayasan-yayasan Soros mendukung organisasi hak asasi manusia di lebih dari 100 negara. Programnya membiding berbagai macam masalah global, seperti darurat kesehatan masyarakat hingga pertumbuhan ekonomi di negara-negara berpenghasilan rendah.</p>
<p>Soros masuk ke dalam 500 orang terkaya di dunia versi Bloomberg, dengan <a href="https://www.bloomberg.com/billionaires/">kekayaan pribadi melebihi $7 miliar</a> per 2023. Akan tetapi, hartanya bisa jauh lebih besar seandainya ia tak <a href="https://www.opensocietyfoundations.org/george-soros">merelakan $32 miliar</a> untuk Open Society Foundations sejak 1984.</p>
<h2>Mitos konspirasi antisemitisme</h2>
<p>Dukungan Open Society Foundations terhadap gerakan-gerakan progresif seperti <a href="https://www.cnbc.com/2023/01/04/nonprofit-financed-by-billionaire-george-soros-donated-140-million-to-political-groups-in-2021.html">America Votes dan Demand Justice</a> memantik amarah para konservatif yang tak sepakat dengan tujuan gerakan-gerakan tersebut.</p>
<p>Tak hanya itu, kekayaan dan pengaruh Soros membuatnya menjadi target dari berbagai teori konspirasi. </p>
<p>Ia <a href="https://www.haaretz.com/us-news/2021-12-16/ty-article/.premium/fox-news-removes-soros-puppet-master-cartoon-following-adl-complaint/0000017f-eb9f-d3be-ad7f-fbbfce090000">digambarkan sebagai dalang</a> yang menggerakkan peristiwa-peristiwa di dunia dari balik layar demi keuntungannya sendiri. Tuduhan-tuduhan tak berdasar ini kerap menyasar identitasnya sebagai keturunan Yahudi, <a href="https://www.ajc.org/translatehate/Soros">memicu suara-suara kebencian dan ekspresi antisemit yang telah berumur ratusan tahun</a>.</p>
<p>Saat arus pengungsi dari Suriah masuk ke Eropa pada 2015, misalnya, Perdana Menteri Hungaria Viktor Orbán menuduh Soros memiliki rencana jahat untuk memfasilitasi “<a href="https://bridge.georgetown.edu/research/factsheet-viktor-orban/">pengambilan alih Eropa oleh Islam</a>” dengan para migran Suriah.</p>
<p>Mantan Perdana Menteri Slowakia Robert Fico juga menyalahkan Soros atas protes kebebasan pers yang terjadi di negaranya setelah <a href="https://www.euractiv.com/section/elections/news/fico-blames-soros-for-provoking-instability-in-slovakia/">pembunuhan jurnalis investigasi Ján Kuciak dan tunangannya pada 2018</a>.</p>
<p>Pada 2015, partai sayap kanan All-Polish Youth <a href="https://www.taylorfrancis.com/chapters/edit/10.4324/9781003048640-9/eternal-george-soros%20-armin-langer">membakar patung Soros yang berpakaian seperti Yahudi Hasid</a> dan memegang bendera Uni Eropa, meskipun sang filantropis itu dibesarkan oleh keluarga yang tidak religius, tidak pernah berpakaian dengan gaya sekte Hasidik ultra-Ortodoks dan <a href="https://www.wsj.com/articles/george-soros-heir-son-alexander-soros-e3c4ca13">bukan pendukung kuat isu-isu terkait Yahudi</a>.</p>
<p>Seperti yang saya jelaskan dalam <a href="https://www.degruyter.com/document/doi/10.1515/9783110729740-008/html">sebuah bab buku tentang nasionalisme dan populisme</a>, Soros juga banyak diserang oleh berbagai teori konspirasi AS. Kevin McCarthy, politisi asal California yang kini jadi juru bicara DPR, menuduh Soros berusaha membeli pemilu paruh waktu 2018. Pada tahun yang sama, pemimpin Asosiasi Senapan Nasional, Wayne LaPierre menuding Soros merencanakan gerakan sosialis untuk mengambil alih AS, memantik kembali mitos antisemitisme awal abad ke-20 tentang plot Yahudi-Bolshevik.</p>
<p>Pada tahun itu juga, <a href="https://www.dw.com/en/trump-kavanaugh-protesters-paid-by-billionaire-soros/a-45773204">Donald Trump yang saat itu menjawabat sebagai presiden mengunggah cuitan keliru</a> bahwa Soros mendanai aksi demonstrasi terhadap penunjukkan Brett Kavanaugh sebagai Hakim Mahkamah Agung. </p>
<p>Teori-teori tak berdasar ini juga menginspirasi aksi para ekstremis: Pada 2010, ekstremis sayap kanan merencanakan serangan ke yayasan progresif asal San Fransisco, Tides Foundation. Rencananya gagal dan berujung pada <a href="https://www.sfgate.com/crime/article/Shooter-in-freeway-gunbattle-gets-401-years-in-5374656.php">baku tembak dengan polisi</a>. Ia kemudian dihukum 401 tahun penjara. Ekstremis itu salah percaya bahwa Soros menggunakan Tides “untuk semua jenis aktivitas jahat”.</p>
<p>Pada 2018, ekstremis lainnya mengirimkan <a href="https://www.washingtonpost.com/outlook/2018/10%20/24/conspiracy-theories-about-soros-arent-just-false-theyre-anti-semitic/">bom pipa ke rumah Soros di pinggiran kota New York</a>. Tak ada yang terluka dalam peristiwa ini, namun pelakunya <a href="https://www.theguardian.com/us-news/2019/aug/05/cesar-sayoc-sentencing-pipe-bombs-targets-trump-critics">divonis 20 tahun penjara</a>.</p>
<p>Banyak ekstremis sayap kanan lainnya yang berupaya menjustifikasi <a href="https://www.timesofisrael.com/adl-soros-conspiracies-central-to-alarming-attacks-against-congressional-jews/">serangan mereka terhadap orang-orang Yahudi</a> dan kelompok minoritas lainnya dengan teori konspirasi anti-Soros – termasuk pria yang <a href="https://www.adl.org/resources/blog/striking-similarities-between-gendron-and-tarrant-manifestos">membunuh 10 warga kulit hitam di sebuah supermarket pada 2022</a>.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/532261/original/file-20230615-17-2yudaq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="A subway station with multiple posters featuring the face of a smiling man over a row of empty seats." src="https://images.theconversation.com/files/532261/original/file-20230615-17-2yudaq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/532261/original/file-20230615-17-2yudaq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=351&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/532261/original/file-20230615-17-2yudaq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=351&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/532261/original/file-20230615-17-2yudaq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=351&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/532261/original/file-20230615-17-2yudaq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=442&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/532261/original/file-20230615-17-2yudaq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=442&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/532261/original/file-20230615-17-2yudaq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=442&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Pemerintah Hungaria menggunakan foto George Soros yang sedang tersenyum untuk melancarkan kampanye anti-imigrasi, yang menurut para kritikus menyerbarkan pesan antisemit.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://newsroom.ap.org/detail/HungarySorosBillboards/629bac72ce2d4362aba039458135d665/photo?Query=george%20soros%20hungary&mediaType=photo,video,graphic,audio&sortBy=arrivaldatetime:desc&dateRange=Anytime&totalCount=84&currentItemNo=37">AP Photo/Pablo Gorondi</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Warisan yang kompleks</h2>
<p>Tak semua kritik terhadap Soros bersifat antisemit.</p>
<p>Meski saya percaya bahwa dukungan Soros terhadap kebebasan dan komitmennya untuk memberdayakan kelompok termarginalisasi layak dipuji, saya juga berpikir bahwa wajar saja mempertanyakan sumber kekayaan Soros dan metode yang ia gunakan untuk mengumpulkannya. </p>
<p>Selayaknya miliarder lain, kekayaan keluarga Soros membantu mengabadikan <a href="https://theconversation.com/why-inequality-is-growing-in-the-us-and-around-the-world-191642">ketimpangan pendapatan</a> dan <a href="https://theconversation.com/us-election-what-are-super-pacs-and-what-role-does-money-play-in-the-race-65559">pengaruh politik yang terpusat</a> di tangan orang-orang kaya. Saya percaya bahwa pengaruh besar ini mengganggu jalannya demokrasi yang sesungguhnya.</p>
<p>George Soros pastinya telah membantu mendanai kegiatan yang telah memupuk nilai-nilai demokrasi melalui sumbangan amal. Namun demikian, dukungan finansialnya dalam dunia politik–termasuk dengan memberikan hadiah bagi tujuan dan kandidat Partai Demokrat seperti Mantan Presiden <a href="https://archive.nytimes.com/thecaucus.blogs.nytimes.com/2012/09/27/soros-gives-1-million-to-democratic-super-pac/?smid=tw-nytimes">Barack Obama</a>, Mantan Menteri Luar Negeri <a href="https://www.politico.com/story/2013/10/george-soros-hillary-clinton-098796">Hillary Clinton</a> dan Presiden <a href="https://www.nytimes.com/2020/07/16/us/politics/joe-biden-fund-raising.html">Joe Biden</a> – telah membuatnya menjadi sosok yang terpolarisasi.</p>
<p>Ketika para mega donor dari preferensi politik apa pun memberikan sumbangan besar kepada seorang kandidat atau partai, hadiah mereka dapat membentuk agenda dan mengganggu proses demokrasi.</p>
<p>Dalam wawancara pertamanya sebagai pimpinan Open Society Foundations, Alex Soros yang berusia 37 tahun mengatakan pada The Wall Street Journal bahwa ia “<a href="https://www.wsj.com/articles/george-soros-heir-son-alexander-soros-e3c4ca13">lebih politis</a>” daripada ayahnya dan dia kemungkinan akan memberikan donasi politik yang memajukan hak memilih dan hak aborsi.</p>
<p>Masih belum jelas bagaimana putra Soros tersebut berencana untuk menghentikan gambaran jahat tentang kegiatan filantropi keluarganya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/208297/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Penulis mengetahui individu dan organisasi yang menerima atau pernah menerima dukungan keuangan dari Open Society Foundations.</span></em></p>Donasi Soros berdasar pada pandangan bahwa manusia berkembang pesat dalam masyarakat terbuka karena mereka dapat dengan bebas mengekspresikan diri.Armin Langer, Assistant Professor of European Studies, University of FloridaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2050472023-05-16T07:48:32Z2023-05-16T07:48:32ZRefleksi pelaksanaan desentralisasi dan pilkada: Mengapa pemerataan pembangunan daerah belum berhasil?<p>Ramainya sorotan publik terhadap <a href="https://news.detik.com/berita/d-6704538/jokowi-ke-lampung-hari-ini-cek-jalan-rusak-yang-viral">masalah infrastruktur jalan di Provinsi Lampung</a> harusnya menjadi pemantik bagi pemerintah daerah lainnya untuk merefleksikan kembali sejauh mana tujuan otonomi daerah telah tercapai.</p>
<p>Otonomi daerah merupakan produk penting dari langkah penghapusan sentralisasi politik yang dijalankan selama masa Orde Baru.</p>
<p><a href="https://www.kompas.com/stori/read/2022/05/12/012500579/sejarah-berlakunya-otonomi-daerah-di-indonesia?page=all">Sejak awal penerapannya</a>, otonomi daerah bertujuan mendorong hadirnya pemimpin daerah yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat di masing-masing daerah dan mampu menjawab tantangan pembangunan di tingkat lokal. Salah satu instrumen pentingnya adalah pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung.</p>
<p>Pilkada <a href="https://regional.kompas.com/read/2022/01/27/200758078/sejarah-pilkada-dari-2015-hingga-2019">pertama kali</a> diselenggarakan pada Juni 2005 dan diharapkan menjadi <a href="https://catalogue.nla.gov.au/Record/4275482">alat demokratisasi di tingkat lokal</a> yang dapat mendorong pemerataan pembangunan dan pelayanan publik.</p>
<p>Faktanya, walaupun <a href="https://www.jstor.org/stable/10.5728/indonesia.96.0011">beberapa studi</a> mengonfirmasi bahwa pilkada telah mendorong lahirnya berbagai kebijakan yang menyasar kepentingan masyarakat di daerah, namun beberapa riset lainnya mengungkap bahwa pemerataan pembangunan tetap belum berjalan dengan baik.</p>
<h2>Evaluasi pelaksanaan pilkada</h2>
<p>Sejumlah penelitian menemukan bahwa dengan adanya pilkada sebagai praktik demokrasi yang berjalan sebagai wujud desentralisasi politik, lahir berbagai <a href="https://gsdrc.org/document-library/leaders-elites-and-coalitions-the-politics-of-free-public-services-in-decentralised-indonesia/">kebijakan baru</a> yang mampu mengakomodasi <a href="https://gsdrc.org/document-library/leaders-elites-and-coalitions-the-politics-of-free-public-services-in-decentralised-indonesia/">kepentingan kelompok marginal</a>.</p>
<p>Namun, harus diakui bahwa banyak juga daerah yang tidak berkembang di tangan kepala daerah yang kurang mampu mendorong perubahan.</p>
<p><a href="https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/368993/kemendagri-evaluasi-pilkada-tahun-2005-2020">Riset Puskapol UI (2020)</a> yang mengevaluasi pelaksanaan pilkada dari 2005 hingga 2020 menemukan ada tiga cara pandang yang berbeda dalam merefleksikan pelaksanaan pilkada. </p>
<p><em>Pertama</em>, pilkada memberikan dampak positif karena telah mendorong akuntabilitas vertikal antara pemimpin daerah dengan masyarakatnya. </p>
<p>Di bidang <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/13510347.2013.873791">kesehatan</a>, contohnya, politikus kerap menawarkan skema pelayanan kesehatan yang lebih baik dan bermanfaat untuk masyarakat di daerah. Meskipun bersifat politis dan mereka melakukannya demi memperoleh dukungan pemilih, pada akhirnya kebijakan tersebut dapat diterapkan dan bermanfaat bagi peningkatan pelayanan publik. </p>
<p><em>Kedua</em>, pilkada memberikan dampak negatif terhadap kinerja pemerintah daerah karena mendorong terjadinya <a href="http://jurnal.um-tapsel.ac.id/index.php/nusantara/article/view/3218">politisasi birokrasi</a>, seperti mobilisasi dukungan pada masa kampanye dan adanya promosi jabatan yang bersifat <em>non-merit system</em> (tidak berdasarkan prestasi dan kinerja) sebagai transaksi setelah terpilih. Ini membuka pintu terjadinya penyimpangan kekuasaan, politisasi anggaran, dan akhirnya berdampak pada terabaikannya kepentingan publik. </p>
<p>Beberapa riset menunjukkan ada persoalan serius dalam tata kelola pemerintah daerah setelah penerapan pilkada, seperti <a href="https://www.jstor.org/stable/25798782">persoalan korupsi</a> dan <a href="https://www.jstor.org/stable/41288789">rendahnya transparansi</a>, <a href="https://www.researchgate.net/publication/346405118_Funding_pilkada_Illegal_campaign_financing_in_Indonesia%27s_local_elections">jual beli jabatan</a>, hingga rendahnya orientasi pelayanan publik.</p>
<p><em>Ketiga</em>, pilkada tidak memberikan dampak yang berarti bagi perbaikan kualitas pelayanan publik di tingkat lokal. Artinya, pilkada belum mampu menjadi suatu rekayasa sosial untuk menghasilkan pemimpin daerah yang mampu meningkatkan kinerja pemerintahan dan pelayanan publik di tingkat lokal. </p>
<p>Di beberapa daerah, pilkada dapat menjadi pintu untuk perbaikan pembangunan, contohnya seperti yang dilakukan Gubernur Jakarta <a href="https://kumparan.com/kumparannews/sederet-capaian-anies-mengubah-wajah-jakarta-selama-5-tahun-1ytzaFyqPdP/2">Anies Baswedan</a>, Gubernur Jawa Barat <a href="https://regional.kompas.com/read/2021/07/22/13435781/dinilai-efektif-kebijakan-ridwan-kamil-atasi-covid-19-disorot-media?page=all">Ridwan Kamil</a>, Gubernur Jawa Tengah <a href="https://www.beritasatu.com/bersatu-kawal-pemilu/1039901/ini-sederet-prestasi-dan-terobosan-ganjar-pranowo-di-jawa-tengah">Ganjar Pranowo</a>, dan Gubernur Jawa Timur <a href="https://nasional.tempo.co/read/1623685/inspirasi-perempuan-kepala-daerah-khofifah-indar-parawansa">Khofifah Indar Parawansa</a>.</p>
<p>Selain itu, ada juga kepala daerah lainnya yang, menurut pengamatan dari media, dianggap menunjukkan keberpihakan pada masyarakat dalam melawan perusakan lingkungan, seperti Bupati Trenggalek <a href="https://www.mongabay.co.id/2021/10/04/kala-bupati-beberkan-alasan-tegas-tolak-tambang-emas-trenggalek/">Mochamad Nur Arifin</a> dan Wakil Bupati Kepulauan Sangihe <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210611133722-32-653129/wabup-sangihe-tolak-tambang-emas-hingga-wafat-di-pesawat">Helmud Hontong</a> (kini sudah meninggal). </p>
<p>Namun sayangnya, banyak daerah lainnya yang belum merasakan dampak positif pilkada.</p>
<h2>Penyempitan ruang kompetisi politik</h2>
<p>Mengapa praktik demokrasi di tingkat lokal ini belum sepenuhnya memberikan dampak positif secara merata? Untuk menjawab ini, kita perlu menelusuri permasalahan di hulu dalam pelaksanaan pilkada itu sendiri.</p>
<p>Salah satu isu yang menentukan peluang terpilihnya pemimpin daerah yang berkualitas dan berintegritas adalah <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/13510347.2021.1952991">keterbukaan ruang kompetisi politik</a> yang disediakan oleh aturan main pilkada.</p>
<p>Namun, <a href="https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/368993/kemendagri-evaluasi-pilkada-tahun-2005-2020">riset Puskapol UI</a> menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan pilkada tahun 2005 hingga 2020, ruang kompetisi politik semakin menyempit. Ini disebabkan oleh regulasi dan praktik dalam proses kandidasi. </p>
<p>Pencalonan kandidat kepala daerah masih <a href="https://www.researchgate.net/publication/341944558_Less_democracy_more_centralism_the_selection_of_Candidates_by_Golkar_and_PDIP_in_Indonesian_subnational_executive_elections_2005-2020">tersentralisasi oleh partai politik di tingkat pusat</a>. Ini membuat demokrasi internal parpol dalam menentukan kandidat menjadi kurang berjalan efektif sehingga membuat proses kaderisasi jadi buruk. </p>
<p>Penyempitan ruang kompetisi politik juga dapat dilihat pada beratnya persyaratan pencalonan, baik melalui jalur kepartaian maupun perorangan, hingga mahalnya biaya pencalonan. </p>
<p>Fenomena menyempitnya ruang kompetisi politik ini pada akhirnya membuat pilkada didominasi oleh calon-calon yang memiliki dana besar atau kedekatan personal dengan elit partai, khususnya di tingkat pusat, terlepas dari integritas dan kualitas kepemimpinan mereka. Situasi inilah yang membuat implementasi pilkada, walaupun tidak di semua daerah, belum dapat melahirkan karakter pemimpin yang berorientasi kepentingan publik.</p>
<p>Konsekuensi logis lainnya adalah munculnya fenomena calon tunggal yang didominasi oleh petahana, kekerabatan politik, hingga politik uang, serta berkembangnya oligarki di pemerintahan daerah. Semua konsekuensi tersebut jauh dari tujuan pilkada untuk menghasilkan pemimpin daerah yang berkualitas.</p>
<h2>Bukan berarti harus mundur</h2>
<p>Lalu, apakah sistem pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah perlu dikembalikan ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) seperti pada masa sebelum tahun 2005?</p>
<p>Dengan tegas, jawabannya tidak.</p>
<p>Walaupun pilkada belum memberikan dampak sempurna, tidak lantas kita harus mundur ke belakang.</p>
<p>Pilkada telah menjadi sebuah mekanisme politik yang telah memberikan warna yang berbeda dari praktik pemilihan kepala daerah oleh DPRD pada masa Orde Baru. Jika mekanisme pemilihannya dikembalikan ke DPRD, ada kekhawatiran oligarki politik akan menguat dan partisipasi politik masyarakat makin melemah. </p>
<p>Sebelum menerapkan pilkada, pemilihan kepala daerah oleh DPRD cenderung berlangsung secara elitis, hanya melibatkan segelintir elit di daerah dengan kuatnya intervensi pemerintah pusat dalam menentukan kandidat terpilih yang dikehendakinya. Sistem pemilihan kepala daerah oleh DPRD juga tetap menyuburkan praktik suap dalam proses pencalonan di internal parpol.</p>
<p>Maka dari itu, peningkatan kualitas pembangunan di daerah hendaknya dimulai dari perbaikan proses pencalonan untuk dapat membuka ruang kompetisi yang lebih luas. Melalui perbaikan proses tersebut, penerapan pilkada tidak hanya membuka ruang kompetisi, tetapi juga memberikan sebuah arti baru dari bekerjanya kedaulatan rakyat.</p>
<p>Rakyat jadi memiliki kesempatan memberikan ganjaran atau hukuman dalam siklus pilkada. Berjalannya akuntabilitas vertikal ini akan “memaksa” kepala daerah untuk melahirkan inovasi-inovasi program yang berkaitan dengan kepentingan publik, walaupun motifnya tetap untuk mendulang popularitas demi terpilih kembali.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/205047/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Fuadil 'Ulum tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Masalah infrastruktur jalan di daerah sedikit banyak menunjukkan pilkada sebagai mekanisme desentralisasi politik belum berdampak pada pemerataan pembangunan di daerah.Fuadil 'Ulum, Researcher at the Center for Political Studies, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2031202023-04-02T07:20:31Z2023-04-02T07:20:31ZDemokrasi ‘deliberatif’? Riset di Nepal menunjukkan model ini bisa memantik anak muda dunia untuk menggunakan hak pilih mereka<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/518879/original/file-20230402-20-va79gg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Kaum muda mempersiapkan prioritas isu menjelang suatu forum perdebatan politik di Lalitpur, Nepal.</span> <span class="attribution"><span class="source">(Tom O'Neill)</span>, <span class="license">Author provided</span></span></figcaption></figure><p>Selepas pemilu lokal di Nepal pada awal 2022, surat kabar <em>Kathmandu Post</em> mengekspresikan kekhawatiran bahwa minat warga Nepal untuk menggunakan hak pilih mereka <a href="https://kathmandupost.com/national/2022/05/15/nepalis-in-general-love-to-vote-why-is-turnout-low-then-disenchantment">terus memudar</a>.</p>
<p>Di seantero negeri, tingkat partisipasi pemilu jatuh 10% – dari 74% pada 2017 menjadi 64% pada 2022.</p>
<p>Di Kanada, tempat saya mengajar, angkanya bahkan lebih buruk. <a href="https://toronto.ctvnews.ca/ontario-records-lowest-voter-turnout-in-election-history-1.5931440">Pemilu di Ontario pada Juni 2022</a>, khususnya, hanya menarik partisipasi kurang dari setengah populasi pemilih.</p>
<p>Ketidakpedulian terkait pemilu adalah <a href="https://doi.org/10.1038/nature.2017.22106">fenomena global</a>. Banyaknya pemilih yang apatis bisa semakin membuka jalan bagi para autokrat dan kelompok kepentingan yang berpengaruh untuk secara sinis memanipulasi hasil pemilu.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1531200491945766913"}"></div></p>
<p>Apati politik di antara kaum muda mengindikasikan ketidakpercayaan terhadap budaya politik kontemporer.</p>
<p>Sosiolog Jerman, <a href="https://doi.org/10.1016/j.alcr.2015.03.001">Karl Mannheim</a>, pernah berargumen bahwa kaum muda perlu mengadaptasi institusi sosial zaman dulu ke realitas kontemporer pada era mereka hidup.</p>
<p>Tapi anak muda di seluruh dunia saat ini berhadapan dengan isu-isu yang hampir tidak pernah dihadapi orang tua mereka, termasuk pasar kerja yang rentan, permintaan yang makin besar terhadap pendidikan tinggi, teknologi yang makin mengglobal, hingga relasi gender yang bergeser. Wajar saja, mereka mempertanyakan bagaimana berbagai institusi demokratis yang telah berumur bisa tetap relevan dengan kebutuhan mereka.</p>
<p>Nepal termasuk demokrasi baru, dan institusi-institusi tersebut diraih dengan jerih payah setelah <a href="https://www.aljazeera.com/news/2008/4/8/timeline-of-nepals-civil-war-2">beberapa dekade perang sipil dan perjuangan politik</a>. Itulah kenapa warga Nepal terlibat dalam pemilu mereka dengan tingkat partisipasi yang patut membuat negara-negara demokrasi lain malu. Tapi, tentu demokrasi tak hanya sekadar tentang penggunaan hak pilih.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="A man in a colourful fez and wearing a mask pushes a ruler inside a ballot box," src="https://images.theconversation.com/files/484186/original/file-20220913-26-k8vjfl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C7391%2C4160&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/484186/original/file-20220913-26-k8vjfl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=410&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/484186/original/file-20220913-26-k8vjfl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=410&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/484186/original/file-20220913-26-k8vjfl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=410&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/484186/original/file-20220913-26-k8vjfl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=515&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/484186/original/file-20220913-26-k8vjfl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=515&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/484186/original/file-20220913-26-k8vjfl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=515&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Seoran petugas pemilu menggunakan penggaris untuk merapikan isi kotak suara dalam pemilu lokal di Kathmandu, Nepal pada Mei 2022. Warga Nepal di seantero negeri menggunakan hak suara mereka untuk memilih perwakilan kota dan anggota komite pengembangan desa.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(AP Photo/Niranjan Shrestha)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Warga yang membuat keputusan</h2>
<p>Dalam suatu demokrasi representatif, pemilih menggunakan hak suara mereka untuk memilih politikus atau partai mana yang akan mewakili mereka untuk untuk membuat keputusan dan kebijakan terkait berbagai isu dan realitas kontemporer. Politikus dan partai punya kuasa yang besar untuk mendefinisikan apa saja isu dan realitas tersebut, dan bagaimana sebaiknya meresponsnya.</p>
<p>Mempertarungkan dan memanipulasi kekuasaan tersebut telah menjadi fokus utama di banyak demokrasi. </p>
<p>Tapi, akibatnya, kita menjadi kehilangan potensi deliberatif dari demokrasi. Ini adalah ketika warga negara memperdebatkan isu kontemporer di antara mereka sendiri sehingga keputusan yang mereka setujui bersama lebih berbobot dan lebih disepakati secara luas.</p>
<p>Sebagai profesor di bidang kajian kaum muda, saya telah <a href="https://digitalcommons.macalester.edu/himalaya/vol39/iss2/6/">meneliti partisipasi politik</a> bersama sebuah tim aktivis muda Nepal melalui serangkaian majelis kaum muda yang diadakan di banyak daerah di negara tersebut pada 2018 dan 2019.</p>
<p>Dalam majelis yang deliberatif ini, atau sering disebut sebagai “<em>mini-publics</em>”, sekelompok warga negara dipilih untuk secara akurat merefleksikan keberagaman populasi. Mereka ditugaskan untuk “mendeliberasikan” (membahas) suatu isu kontemporer. Mereka kemudian menentukan posisi atau pandangan umum, yang kemudian digunakan untuk mendukung keputusan yang dibuat para wakil politik mereka.</p>
<p>Majelis deliberatif telah lama digunakan di seluruh dunia. Misalnya, ini digunakan untuk merespons isu seperti perancangan anggaran secara partisipatif (<em>participatory budgeting</em>) <a href="https://doi.org/10.1177/0032329201029001003">di Porto Alegre, Brasil</a>, kemudian reformasi konstitusional <a href="https://www.citizensassembly.ie/en/dublin-assembly/about/about-dublin-ca.html">di Irlandia</a>, hingga reformasi elektoral <a href="https://doi.org/10.1017/S1537592713000674">di British Columbia, Kanada</a>.</p>
<p>Kita merancang majelis kaum muda yang merefleksikan keberagaman di Nepal. Lebih dari 200 anak muda berpartisipasi. Mereka berasal dari kasta <em>Brahmin-Chhetri</em> (elit politik tradisional di negara tersebut); para <em>Adivasi Janajati</em> (kelompok-kelompok etnis dan adat di Nepal); para <em>Madhesi</em> (kelompok orang yang khas secara kebudayaan dan linguistik yang hidup di dataran perbatasan dengan india); dan para <em>Dalit</em> (kasta yang dianggap “<em>untouchable</em>” atau “haram disentuh” yang selama berabad-abad harus menjalani pekerjaan kasar dan terpaksa terlibat “perbudakan utang”).</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Three young women dressed in colourful Indigenous garb smile at the camera." src="https://images.theconversation.com/files/484202/original/file-20220913-14-wguk65.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/484202/original/file-20220913-14-wguk65.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/484202/original/file-20220913-14-wguk65.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/484202/original/file-20220913-14-wguk65.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/484202/original/file-20220913-14-wguk65.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/484202/original/file-20220913-14-wguk65.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/484202/original/file-20220913-14-wguk65.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Kaum muda dari kelompok adat di Nepal merayakan festival Ubhauli di Kathmandu pada Mei 2022.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Perdebatan panas</h2>
<p>Bahkan, ada komposisi yang berimbang antara laki-laki dan perempuan. Para partisipan juga meliputi mereka yang mengidentifikasi diri sebagai LGBTQ atau menyandang disabilitas – dua komunitas di negara tersebut yang jarang sekali mendapat pengakuan.</p>
<p>Dalam majelis, para partisipan bertugas menyusun deklarasi kolektif yang mengidentifikasi lima prioritas yang perlu ditangani kepemimpinan politik Nepal.</p>
<figure class="align-right zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/484204/original/file-20220913-12-1r22zb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="Two grey-haired men, one wearing a fez, shake hands." src="https://images.theconversation.com/files/484204/original/file-20220913-12-1r22zb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/484204/original/file-20220913-12-1r22zb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=431&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/484204/original/file-20220913-12-1r22zb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=431&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/484204/original/file-20220913-12-1r22zb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=431&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/484204/original/file-20220913-12-1r22zb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=541&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/484204/original/file-20220913-12-1r22zb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=541&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/484204/original/file-20220913-12-1r22zb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=541&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Perdana Menteri Nepal, Sher Bahadur Deuba berjabat tangan dengan Perdana Menteri India, Narendra Modi di New Delhi, India pada April 2022.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(AP Photo/Manish Swarup)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Perdebatan yang mendahului deklarasi ini sengit dan seringkali panas. Ini menunjukkan bahwa kaum muda Nepal memiliki visi yang bermacam-macam terkait bagaimana mendefinisikan dan merespons bebagai masalah kontemporer di Nepal.</p>
<p>Akan tetapi, majelis menyepakati perlunya kesetaraan yang lebih luas. Mereka juga menginginkan reformasi budaya politik Nepal yang kini didominasi oleh laki-laki kasta tinggi yang berpengaruh, serta sarat dengan nepotisme.</p>
<p>Tentu, jika hanya mengandalkan deklarasi-deklarasi ini saja, nilainya akan terbatas tanpa ada tindak lanjut dari para pembuat kebijakan. Namun, dengan menggunakan <em>mini-publics</em> yang deliberatif sebagai model, para delegasi kaum muda mempresentasikan deklarasi mereka kepada suatu panel berisi pemimpin politik dari ketiga level pemerintahan di Nepal.</p>
<p>Meski demikian, demokrasi deliberatif belum menjadi aspek dalam budaya politik Nepal. Para pemimpin lebih familier dengan kegiatan memobilisasi kaum muda untuk aksi politik, ketimbang benar-benar mendengarkan kaum muda.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kaum-muda-diremehkan-di-panggung-politik-kita-perlu-dorong-peran-dan-pengakuan-mereka-sebagai-pemimpin-dan-politikus-159644">Kaum muda diremehkan di panggung politik: kita perlu dorong peran dan pengakuan mereka sebagai pemimpin dan politikus</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Beberapa pemimpin yang diundang ke majelis, dengan santun mendengarkan deklarasi para kaum muda, kemudian sekadar memberikan pidato umum layaknya sedang berbicara dalam suatu acara kampanye politik. Tapi, beberapa lainnya tertantang oleh para delegasi muda dan merespons isu-isu prioritas mereka.</p>
<p>Majelis kaum muda yang kami buat masih bersifat eksperimental. Para pemimpin politik yang menghadirinya pun tidak punya kewajiban untuk menindaklanjuti hal-hal yang disampaikan. Tapi, eksperimen ini menunjukkan bahwa deliberasi dan dialog bisa memantik partisipasi politik.</p>
<p>Dalam suatu <a href="https://www.youtube.com/watch?v=s6khEuBg0FA&ab_channel=TomONeill">video dokumenter</a> tentang riset kami, kaum muda di Nepal menunjukkan bahwa mereka adalah advokat yang artikulatif, kompeten, dan penuh semangat, baik bagi diri mereka maupun untuk komunitas sekitar.</p>
<p>Pada masa ketika norma-norma demokratis tampaknya terus menurun di seluruh dunia, demokrasi deliberatif adalah satu obat yang menurut riset kami layak untuk diperjuangkan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/203120/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Tom O'Neill menerima pendanaan dari Social Sciences and Humanities Research Council of Canada.</span></em></p>Pada masa ketika norma-norma demokratis tampaknya terus memudar di seluruh dunia, demokrasi delibaratif adalah satu obat yang menurut riset kami layak untuk diperjuangkan.Tom O'Neill, Professor, Department of Child and Youth Studies, Brock UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2021312023-03-20T09:25:05Z2023-03-20T09:25:05Z20 tahun invasi AS: Janji George Bush atas demokrasi di Irak dan Timur Tengah gagal terwujud<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/516303/original/file-20230320-20-lcsjf0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">tahun invasi irak</span> </figcaption></figure><p>Presiden George W. Bush dan pemerintahannya mengklaim berbagai alasan untuk membenarkan <a href="https://www.britannica.com/event/Iraq-War">invasi Amerika Serikat (AS) ke Irak tahun 2003</a>.</p>
<p>Beberapa bulan sebelum invasi AS dimulai, <a href="https://www.cfr.org/backgrounder/iraq-justifying-war">Presiden Bush mengatakan bahwa konflik yang sedang berlangsung</a> bertujuan untuk memberantas terorisme dan <a href="https://www.washingtonpost.com/politics/2019/03/22/iraq-war-wmds-an-intelligence-failure-or-white-house-spin/">menyita senjata pemusnah masal</a> - juga karena <a href="https://georgewbush-whitehouse.archives.gov/news/releases/2003/11/20031106-2.html">kurangnya “kemerdekaan”</a> di Timur Tengah, yang terlihat dari lemahnya pemerintahan partisipatif di wilayah tersebut. </p>
<p>Alasan-alasan tersebut sebagian besar tidak berdasar, jika berkaca pada berbagai kejadian di AS pada tahun-tahun berikutnya setelah invasi tersebut. </p>
<p>Pada tahun 2004, Menteri Luar Negeri AS saat itu, Colin Powell, merenungkan lemahnya alasan di balik <a href="https://www.nytimes.com/2004/05/17/world/powell-says-cia-was-misled-about-weapons.html">argumen utama yang mendorong dilakukannya invasi</a>: salah satunya adalah dugaan bahwa ada senjata pemusnah massal. Ia mengakui bahwa “ternyata sumber-sumber tersebut tidak akurat, salah, dan dalam beberapa kasus: sengaja menyesatkan.” </p>
<p>Kenyataannya, <a href="https://www.nbcnews.com/id/wbna7634313">Irak tidak memiliki senjata pemusnah massal</a> seperti yang dituduhkan oleh Powell dan yang lainnya pada saat itu. </p>
<p>Namun, retorika pemerintahan Bush untuk membangun Timur Tengah yang lebih bebas, terbuka, dan demokratis tetap bertahan setelah klaim senjata pemusnah massal terbukti salah. Klaim ini lebih sulit untuk dievaluasi–setidaknya dalam jangka pendek. <a href="https://georgewbush-whitehouse.archives.gov/news/releases/2003/02/20030226-11.html">Bush meyakinkan</a> masyarakat AS pada 2003 bahwa “sebuah rezim baru di Irak akan menjadi contoh yang dramatis dan inspiratif tentang kebebasan bagi negara-negara lain di kawasan itu.” </p>
<p>Bush berfokus pada narasi kebebasan ini <a href="https://www.bbc.com/news/world-middle-east-11107739">selama invasi darat</a> dilakukan. Pasukan koalisi yang terdiri dari hampir 100 ribu tentara AS dan sekutunya dengan cepat <a href="https://www.theguardian.com/world/2021/jul/08/toppling-saddam-hussein-statue-iraq-us-victory-myth">menggulingkan rezim Saddam Hussein</a>. </p>
<p>“Berdirinya negara <a href="https://georgewbush-whitehouse.archives.gov/news/releases/2003/11/20031106-2.html">Irak yang bebas</a> di jantung Timur Tengah akan menjadi peristiwa penting dalam revolusi global yang demokratis,” kata Bush pada bulan November 2003. Ia juga mengatakan bahwa AS akan mengejar “strategi kebebasan di Timur Tengah.”</p>
<p>Dua puluh tahun kemudian, ada baiknya kita melihat bagaimana penerapan strategi ini di Irak dan di seluruh Timur Tengah setelah operasi ‘pemerdekaan’ ini.</p>
<p>Pada tahun 2003, seperti yang dikatakan oleh Bush, terjadi “defisit kebebasan” di Timur Tengah ketika <a href="https://www.eui.eu/documents/rscas/research/mediterranean/mrm2008/09ws-description.pdf">rezim-rezim otoriter yang represif mendominasi wilayah tersebut</a>. Namun, terlepas dari pergolakan yang luar biasa di Timur Tengah selama dua dekade terakhir, nyatanya masih banyak rezim otoriter yang masih berkuasa secara kuat.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/516091/original/file-20230317-26-u42lcl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="Sekelompok pria tampak melakukan protes di jalan dan mengibarkan bendera Irak." src="https://images.theconversation.com/files/516091/original/file-20230317-26-u42lcl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/516091/original/file-20230317-26-u42lcl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/516091/original/file-20230317-26-u42lcl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/516091/original/file-20230317-26-u42lcl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/516091/original/file-20230317-26-u42lcl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=504&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/516091/original/file-20230317-26-u42lcl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=504&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/516091/original/file-20230317-26-u42lcl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=504&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Warga Irak berdemonstrasi untuk menunjukkan dukungan kepada Saddam Hussein pada bulan Februari 2003 di Baghdad, Irak.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://media.gettyimages.com/id/1798778/photo/activists-in-iraq-rally-for-peace.jpg?s=1024x1024&w=gi&k=20&c=oPWRXG5RzA-kS2bmMT5D9rlLapEelUW5FMqeyCxxqKQ=">Oleg Nikishin/Getty Images</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Mengukur ‘kesenjangan kebebasan’</h2>
<p>Para <a href="https://scholar.google.com/citations?user=1waDubkAAAAJ&hl=en">akademikus ilmu politik seperti saya</a> mencoba menilai karakter demokratis atau otoriter suatu pemerintahan dengan beberapa cara.</p>
<p>Kelompok nirlaba <a href="https://freedomhouse.org/report/freedom-world">Freedom House</a> mengevaluasi negara-negara berdasarkan lembaga-lembaga demokratisnya. Mereka juga melihat apakah pemilihan umum (pemilu) yang bebas dan adil, serta pemenuhan hak-hak sipil serta kebebasan rakyat: kebebasan berbicara, kebebasan berkumpul, dan kebebasan pers.</p>
<p>Freedom House <a href="https://freedomhouse.org/reports/freedom-world/freedom-world-research-methodology">memberi peringkat pada setiap negara</a> dan tingkat demokrasinya dalam skala dari 2 hingga 14, dari “sebagian besar bebas” hingga “paling tidak bebas.” </p>
<p>Salah satu cara untuk mengetahui tingkat demokrasi di kawasan ini adalah dengan berfokus pada <a href="https://www.cfr.org/backgrounder/arab-league">23 negara yang tergabung dalam Liga Arab</a>, sebuah organisasi regional yang meliputi Afrika Utara, pesisir Laut Merah, dan Timur Tengah. </p>
<p>Pada 2003, rata-rata skor Freedom House <a href="https://freedomhouse.org/sites/default/files/2020-02/Freedom_in_the_World_2003_complete_book.pdf">untuk anggota Liga Arab</a> adalah 11,45 - jauh lebih otoriter daripada rata-rata global 6,75 pada saat itu. </p>
<p>Dengan kata lain, laporan Freedom House pada tahun 2003 <a href="https://freedomhouse.org/sites/default/files/2020-02/Freedom_in_the_World_2003_complete_book.pdf">mengklasifikasikan sekitar 46%</a> negara di dunia ini masuk ke dalam kategori “bebas”, tapi tidak ada negara di Liga Arab yang memenuhi ambang batas tersebut.</p>
<p>Misalnya, <a href="https://www.brookings.edu/blog/order-from-chaos/2021/03/08/heavy-lies-the-crown-the-survival-of-arab-monarchies-10-years-after-the-arab-spring/">beberapa negara Arab, seperti Arab Saudi</a>, menerapkan sistem pemerintahan monarki pada masa itu. Sedangkan negara lainnya <a href="https://www.theguardian.com/world/2020/dec/14/arab-spring-autocrats-the-dead-the-ousted-and-those-who-survived">seperti Libya</a> diperintah oleh diktator. </p>
<p>Rezim Hussein di Irak yang <a href="https://www.pbs.org/tpt/dictators-playbook/episodes/saddam-hussein/">berkuasa selama hampir 30 tahun</a> cocok dengan pola kedua ini. Hussein adalah bagian dari kudeta tahun 1968 yang dipimpin oleh <a href="https://www.britannica.com/topic/Baath-Party">partai politik Baath</a>, kelompok yang menginginkan <a href="https://www.encyclopediaofmigration.org/en/the_bath_party_in_iraq/">semua negara Arab</a> membentuk satu negara yang bersatu. </p>
<p>Di sisi lain, kelompok Baath juga dikenal sebagai pelanggar hak asasi manusia (HAM). Mereka mengandalkan <a href="https://www.opec.org/opec_web/en/about_us/164.htm">kekayaan minyak Irak</a> dan <a href="https://news.stanford.edu/2018/03/29/baath-party-archives-reveal-brutality-saddam-husseins-rule/">taktik represif terhadap warga sipil</a> untuk <a href="http://news.bbc.co.uk/2/hi/middle_east/2745001.stm">mempertahankan kekuasaan</a>. </p>
<p><a href="https://www.reuters.com/world/middle-east/saddam-hussein-fell-then-violence-iraq-spiralled-2023-03-14/">Jatuhnya rezim Hussein pada April 2003</a> menghasilkan Irak yang secara nominal lebih demokratis. Walau begitu, <a href="https://carnegieendowment.org/sada/21172">setelah memerangi serangkaian pemberontakan sektarian</a> di Irak selama delapan tahun, AS pada akhirnya malah mewariskan <a href="https://www.washingtonpost.com/world/national-security/all-us-troops-to-leave-iraq/2011/10/21/gIQAUyJi3L_story.html">pemerintahan yang lemah dan terpecah belah</a> . </p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/516142/original/file-20230318-5624-50d8gi.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="Deretan surat kabar menunjukkan gambar seorang pria berjenggot dengan kata-kata seperti 'Kami menangkapnya' dan 'Saddam ditangkap'. .'" src="https://images.theconversation.com/files/516142/original/file-20230318-5624-50d8gi.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/516142/original/file-20230318-5624-50d8gi.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=380&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/516142/original/file-20230318-5624-50d8gi.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=380&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/516142/original/file-20230318-5624-50d8gi.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=380&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/516142/original/file-20230318-5624-50d8gi.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=477&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/516142/original/file-20230318-5624-50d8gi.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=477&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/516142/original/file-20230318-5624-50d8gi.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=477&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Sebuah kios yang menjual koran memberitakan penangkapan Saddam Hussein, mantan pemimpin Irak, oleh pasukan AS pada tahun 2003.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://media.gettyimages.com/id/2811512/photo/papers-run-story-on-saddam-capture.jpg?s=1024x1024&w=gi&k=20&c=1H9qDW1rPW1wVPbyKH3HUrgRll8pRZ36ZhzVeS-rM6A=">Graeme Robertson/Getty Images</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Irak pascainvasi</h2>
<p><a href="https://www.reuters.com/article/us-iraq-usa-pullout-idUSTRE7BE0EL20111215">Invasi AS pada 2003</a> berhasil menggulingkan rezim yang brutal. Namun pembangunan demokrasi baru yang sehat dan berkembang di negara ini ternyata lebih menantang. </p>
<p><a href="https://www.usip.org/publications/2003/05/religious-politics-iraq">Persaingan antara</a> tiga kelompok utama Irak - Muslim Sunni, Syiah, serta Kurdi yang merupakan etnis minoritas terbesar di negara ini - melumpuhkan upaya awal reorganisasi politik. </p>
<p>Meskipun Irak saat ini memiliki konstitusi, parlemen, dan perhelatan pemilu secara teratur, negara ini masih berjuang dalam <a href="https://www.brookings.edu/opinions/bdc-snapshots-the-iraqi-states-crisis-of-legitimacy/">isu-isu seperti legitimasi rakyat</a> dan aspek-aspek praktis pemerintahan, seperti akses <a href="https://www.unicef.org/iraq/what-we-do/education#:%7E:text=Decades%20of%20conflict%20and%20under,Iraqi%20children%20out%20of%20school.">pendidikan dasar</a> untuk anak-anak. </p>
<p>Bahkan, pada 2023, <a href="https://freedomhouse.org/country/iraq/freedom-world/2023">Freedom House</a> meranking demokrasi Irak “Tidak Bebas”.</p>
<p>Sejak <a href="https://www.theguardian.com/world/2011/oct/21/obama-us-troops-withdrawal-iraq">penarikan militer AS pada 2011</a>, Irak mengalami satu krisis politik tak berkesudahan. Selama 2014 hingga 2017, sebagian besar wilayah Irak bagian barat dikuasai oleh <a href="https://www.wilsoncenter.org/article/timeline-the-rise-spread-and-fall-the-islamic-state">kelompok militan ekstremis ISIS</a>. </p>
<p>Pada 2018 dan 2019, <a href="https://www.reuters.com/article/us-iraq-protests-economy-analysis-idUSKBN1WH1S8">korupsi pemerintahan yang merajalela</a> menyebabkan serangkaian <a href="https://www.bbc.com/news/world-middle-east-50595212">protes antipemerintah</a> yang memicu penumpasan kerumunan demonstran yang menggunakan <a href="https://www.washingtonpost.com/world/middle_east/fear-spreads-among-iraqi-protesters-as-government-cracks-down-keeps-death-toll-secret/2019/11/11/be210a28-03f9-11ea-9118-25d6bd37dfb1_story.html">tindakan kekerasan </a>oleh pemerintah. </p>
<p>Protes tersebut <a href="https://www.npr.org/2021/10/11/1045092941/iraq-election-results-sadr">mendorong penyelenggaraan pemilihan parlemen lebih awal pada November 2021</a>. Sayangnya, pemerintah Irak belum dapat membentuk pemerintahan koalisi yang mewakili semua kelompok politik yang bersaing. </p>
<p>Walaupun krisis terbaru Irak berhasil menghindarkan negara itu dari perang saudara, sifat militerisasi partai-partai politik Irak juga <a href="https://www.brookings.edu/blog/order-from-chaos/2023/03/01/shiite-rivalries-could-break-iraqs-deceptive-calm-in-2023/">menimbulkan risiko kekerasan elektoral yang terus berlanjut</a>. </p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/516141/original/file-20230318-14-aztvn4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="A man pushes a cart in a desolate looking area with sandy, dirt ground and blue skies." src="https://images.theconversation.com/files/516141/original/file-20230318-14-aztvn4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/516141/original/file-20230318-14-aztvn4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/516141/original/file-20230318-14-aztvn4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/516141/original/file-20230318-14-aztvn4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/516141/original/file-20230318-14-aztvn4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/516141/original/file-20230318-14-aztvn4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/516141/original/file-20230318-14-aztvn4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Seorang pria Irak mendorong gerobak di Mosul setelah pemerintah Irak merebut kembali kendali dari ISIS pada tahun 2017.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://media.gettyimages.com/id/632292674/photo/topshot-iraq-conflict-mosul.jpg?s=1024x1024&w=gi&k=20&c=Nhx4QWu-dMm2zA-P6RdP4cf62WwjFwQMUkSrHcfjkf4=">Ahmad Al-Rubaye/AFP via Getty Images</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Timur Tengah pascainvasi</h2>
<p>Di saat Irak terus menghadapi tantangan politik yang mendalam, ada baiknya kita memperhatikan upaya AS dalam mempromosikan demokrasi regional secara lebih lengkap. </p>
<p>Pada tahun 2014, gerakan protes yang meluas terkait <a href="https://www.npr.org/2011/12/17/143897126/the-arab-spring-a-year-of-revolution">Arab Spring</a> (Kebangkitan dunia Arab) <a href="https://www.cfr.org/article/arab-spring-ten-years-whats-legacy-uprisings">menggulingkan diktator di Tunisia, Mesir, Yaman, dan Libya</a>. Di negara-negara lain <a href="https://www.bbc.com/news/world-12482680">seperti Maroko </a> dan <a href="https://www.bbc.com/news/world-12482679">Yordania</a>, para raja menawarkan konsesi kepada rakyat. Mereka tetap memegang kendali dengan, misalnya, menunda pemotongan belanja publik dan mengganti menteri-menteri di pemerintahan. </p>
<p>Namun, upaya mempertahankan demokrasi yang stabil terbukti sulit, bahkan ketika Arab Spring tampaknya berhasil mengubah rezim politik. </p>
<p><a href="https://www.bbc.com/news/world-middle-east-19256730">Di Mesir, kelompok militer</a> memperkuat kembali kekuasaannya. Negara ini tergelincir kembali ke otoritarianisme. </p>
<p><a href="https://www.cfr.org/backgrounder/yemen-crisis">Di Yaman, kekosongan politik</a> yang diciptakan oleh aksi-aksi demonstrasi menandai perang saudara yang dahsyat. </p>
<p>Rata-rata skor demokrasi Freedom House untuk <a href="https://freedomhouse.org/countries/freedom-world/scores">anggota Liga Arab</a> saat ini adalah 11,45 - sama dengan skor sebelum invasi Irak. </p>
<p>Sulit untuk mengetahui apakah upaya promosi demokrasi ala telah mempercepat atau memperlambat perubahan politik di Timur Tengah. Sulit pula untuk mengetahui apakah pendekatan berbeda akan memberikan hasil yang lebih baik. Namun, data - setidaknya yang diukur para ilmuwan sosial - kuat menunjukkan bahwa cita-cita menjadikan Irak sebagai inspirator bagi pembenahan yang demokratis di Timur Tengah belum terwujud untuk saat ini.</p>
<hr>
<p><em>Demetrius Adyatma Pangestu dari Universitas Bina Nusantara menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/202131/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Brian Urlacher terafiliasi dengan North Dakota Dem/NPL. Dia bekerja sebagai wakil ketua untuk Distrik 18. </span></em></p>Pemerintahan Bush menginvasi Irak dengan harapan menjadikannya negara demokrasi. Namun, menurut beberapa indikator ilmu sosial, Irak jadi tidak lebih demokratis daripada sebelum tahun 2003.Brian Urlacher, Department Chair and Professor, Political Science & Public Administration, University of North DakotaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2011592023-03-10T01:42:42Z2023-03-10T01:42:42ZDemokrasi langsung seperti referendum tidak selalu lebih baik<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/513602/original/file-20230306-28-ljhmui.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">demokrasi langsung</span> </figcaption></figure><p>Pada bulan Agustus tahun 2022 ada sebuah referendum yang dilakukan di negara bagian Amerika serikat yaitu Kansas. Referendum ini mengundang banyak penolakan dari warga setempat khususnya mengenai rencana untuk memasukkan <a href="https://www.npr.org/sections/2022-live-primary-election-race-results/2022/08/02/1115317596/kansas-voters-abortion-legal-reject-constitutional-amendment">“istilah anti-aborsi”</a> ke dalam konstitusi negara bagian Kansas. Hal ini menjadi salah satu bagian di tengah keputusan-keputusan yang serupa yang akan dibuat mengenai isu hak aborsi di beberapa bulan ke depan. Kumpulan kasus ini terjadi setelah Mahkamah Agung Amerika Serikat membatalkan putusan penting Roe v Wade.</p>
<p>Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah referendum dan inisiatif rakyat adalah hal baik untuk demokrasi? Pertanyaan ini mungkin tampak seperti pertanyaan yang aneh untuk diajukan terutama di masa pada saat banyak orang merasa demokrasi sedang terancam <a href="https://www.cbsnews.com/news/cbs-news-poll-americans-democracy-is-under-threat-opinion-poll-2022-09-01/">baik di Amerika Serikat (AS)</a> maupun <a href="https://freedomhouse.org/sites/default/files/2022-02/FIW_2022_PDF_Booklet_Digital_Final_Web.pdf">di seluruh dunia</a>.</p>
<p>Sebagai seseorang <a href="https://political-science.uchicago.edu/directory/susan-stokes">peneliti isu demokrasi</a>, saya tahu jawabannya tidak sederhana itu. Jawabannya sangat tergantung pada jenis inisiatif dan alasan mengapa hal itu diadakan.</p>
<p>Sebagai penjelasan awal, <a href="https://uchicago.shinyapps.io/democracy-tools/_w_8dbdb816/#!/referendums">referendum</a> dan <a href="https://www.ncsl.org/research/elections-and-campaigns/initiative-process-101.aspx">inisiatif rakyat</a> adalah mekanisme dari demokrasi langsung di mana anggota masyarakat memberikan suara pada isu-isu yang diputuskan secara bersama di dalam sistem perwakilan baik itu legislatif maupun pemerintah. Sebuah referendum biasanya dilakukan oleh pemerintah yang mengajukan pertanyaan yang akan di jawab pada pemungutan suara, Sementara itu inisiatif rakyat – <a href="https://www.ncsl.org/research/elections-and-campaigns/chart-of-the-initiative-states.aspx">lebih umum terjadi di tingkat negara bagian</a> di AS dan pemungutan suara berasal dari luar pemerintahan serta biasanya didorong dengan petisi.</p>
<p><em>Chicago Center on Democracy</em>, sebuah organisasi di <a href="https://democracy.uchicago.edu">Universitas Chicago</a> yang saya pimpin, baru-baru ini meluncurkan situs <a href="https://uchicago.shinyapps.io/democracy-tools/">web</a> yang melacak banyak dinamika dari implementasi demokrasi langsung selama setengah abad terakhir ini. </p>
<h2>Demokrasi langsung: menolong masyarakat atau membalaskan dendam?</h2>
<p>Fakta bahwa mayoritas negara demokrasi masih mempertahankan bentuk demokrasi langsung adalah bukti legitimasi suara rakyat yang didengar, walaupun kenyatannya, sebagian besar keputusan yang dibuat diputuskan oleh para pemimpin kita. Seringkali, pemerintah nasional menyerukan referendum untuk menanyakan pertanyaan dan isu yang penting kepada warganya. </p>
<p>Lalu mengapa pemerintah memutuskan untuk menyerahkan suatu keputusan di tangan rakyat?</p>
<p>Dalam beberapa kasus ternyata mereka tidak mempunyai pilihan. Beberapa negara seperti <a href="https://humanrights.gov.au/our-work/constitutional-reform-faqs-about-australian-constitution">Australia</a> mengharuskan amandemen konstitusi untuk disetujui terlebih dahulu dalam referendum.</p>
<p>Dalam kasus lain, suara semacam itu bersifat opsional. Contohnya ketika Perdana Menteri Inggris David Cameron tidak berkewajiban untuk melakukan <a href="https://www.parliament.uk/business/publications/research/eu-referendum/background-uk-eu-referendum-2016/">referendum 2016 mengenai kelanjutan keanggotaan Uni Eropa</a> (UE) Inggris. Contoh lain bisa kita lihat pada saat Presiden Kolombia Juan Manuel Santos mendapat banyak dukungan legislatif saat ingin meratifikasi kesepakatan damai dengan kelompok pemberontak melalui putusan kongres. Tapi pada akhirnya dia menyerahkan keputusan final itu kepada rakyatnya. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Referendum di UK adalah contoh demokrasi langsung" src="https://images.theconversation.com/files/484900/original/file-20220915-18-fzyk0n.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/484900/original/file-20220915-18-fzyk0n.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/484900/original/file-20220915-18-fzyk0n.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/484900/original/file-20220915-18-fzyk0n.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/484900/original/file-20220915-18-fzyk0n.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=504&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/484900/original/file-20220915-18-fzyk0n.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=504&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/484900/original/file-20220915-18-fzyk0n.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=504&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Referendum yang menjadi senjata makan tuan bagi Perdana Menteri David Cameron.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com/detail/news-photo/pro-brexit-supporters-outside-stormont-in-belfast-as-the-uk-news-photo/1197857920?adppopup=true">Brian Lawless/PA Images via Getty Images</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Salah satu alasan mengapa para pemimpin negara secara sukarela menempatkan keputusan mengenai isu-isu penting di tangan para pemilih adalah untuk menyelesaikan perselisihan di dalam partai politik mereka sendiri. Pemungutan suara Brexit adalah contoh kasusnya. Partai Konservatif Inggris pada saat itu <a href="https://theconversation.com/the-road-to-brexit-how-euroscepticism-tore-the-conservative-party-apart-from-within-108846">sangat terbelah opininya</a> atas keanggotaan Inggris di UE dan seperti yang kemudian diakui Cameron dalam <a href="https://www.theguardian.com/politics/2019/sep/15/five-things-we-learned-from-david-cameron-memoir-boris-johnson-michael-gove-referendum">memoarnya</a>, posisinya sebagai kepala partai dan perdana menteri pada saat itu memang sedang terancam.</p>
<p>Dalam hal ini, pemerintah pada dasarnya menggunakan rakyatnya sebagai “wasit” untuk memutuskan perselisihan internal. Ini tentu saja langkah berisiko tinggi. Bagi Cameron, langkah ini ternyata membuatnya harus turun dari jabatan perdana menteri inggris. Dan ironisnya, enam tahun kemudian Inggris <a href="https://www.independent.co.uk/news/uk/politics/brexit-problems-six-years-eu-referendum-b2107160.html">masih harus berurusan dengan efek domino yang buruk</a> dari hasil pemilihan suara itu.</p>
<p>Terkadang, para pemimpin negara akan mencari dukungan publik pada isu-isu yang mereka prediksi akan dikritik banyak oleh oposisi mereka. Presiden Santos (Kolombia) telah memprediksi akan ada banyak pandangan oposisi dari rencana perdamaian itu, termasuk oposisi dari orang-orang kaya Kolombia. Dia menggunakan rakyat sebagai kekuatannya untuk melindungi kebijakan tersebut. Tetapi sayang sekali strategi itu menjadi bumerang. <em>Colombia accord</em> dikalahkan dan sejak keputusan itu diputuskan, banyak sekali upaya-upaya untuk mengimplementasikan perjanjian itu berhadangan dengan <a href="https://www.crisisgroup.org/latin-america-caribbean/andes/colombia/060-shadow-no-peace-after-colombia-s-plebiscite">perlawanan kuat dari oposisi</a>. </p>
<p>Tetapi apakah dua contoh ini menggambarkan kelemahan fatal dari referendum dan demokrasi langsung? Mungkin tidak.</p>
<p>Meskipun beredar <a href="https://www.theguardian.com/commentisfree/2016/oct/10/colombian-referendum-farc-guerrillas-brexit">banyak disinformasi</a> sebelum kedua pemungutan suara itu dilakukan, hasil dari kedua itu sebenarnya mencerminkan preferensi rakyat dengan cukup akurat. Selain itu, hasil final dari kedua isu di atas juga memberikan pembelajaran bahwa memberikan pengambilan keputusan atas isu-isu penting kepada rakyat itu tidak selalu memberikan hasil yang menyenangkan. </p>
<p>Sayangnya, ketika sebuah referendum gagal, hal ini dapat dimanfaatkan pihak lain untuk memberikan efek yang buruk terhadap isu tersebut. Misalnya, Ketika Brasil mengadakan referendum mengenai <a href="https://participedia.net/case/5553">pembatasan kepemilikan senjata</a> pada tahun 2005 dan hasilnya gagal. <a href="https://foreignpolicy.com/2022/02/08/bolsonaro-pro-gun-bill-policies-brazil-senate-vote-congress-cac/">Presiden Jair Bolsonaro yang anti akan pembatasan kepemilkan senjata</a> menggunakan kegagalan ini untuk melonggarkan pembatasan senjata api, mengklaim bahwa kegagalan referendum memperbolehkan ia untuk melakukannya. </p>
<h2>Demokrasi langsung bisa menjadi alat demagogi</h2>
<p>Namun, terkadang perdana menteri atau presiden memang bisa menjadi pihak pemenang dalam suatu referendum. Contohnya ketika semacam referendum dilakukan di Australia pada tahun 2017 untuk <a href="https://www.theguardian.com/australia-news/datablog/ng-interactive/2017/nov/15/same-sex-marriage-survey-how-australia-voted-electorate-by-electorate">menekan badan legislatif agar melegalkan pernikahan sesama jenis</a>. Politikus konservatif dengan menggunakan logika “wasit” yang sama seperti kasus Brexit bersedia mengadakan pemungutan suara. Walaupun mereka menentang pernikahan sesama jenis mereka tetap ingin mengikuti kehendak publik daripada terus memperpanjang masalah yang sangat memecah belah secara internal partai ini.</p>
<p>Pada akhirnya perdana menteri yang merupakan pendukung pernikahan sejenis, memilih untuk survei pos daripada referendum formal. Langkah yang diambil pemimpin Australia ternyata berhasil, mayoritas suara yang sangat besar menyatakan dukungan terhadap pernikahan sesama jenis. </p>
<p>Belajar dari setiap permasalahan ala Kolombia yang ada, di mana seorang pemimpin mengadakan referendum opsional tetapi gagal, kita dapat menyarankan pada pemerintah untuk menyelesaikan masalah lewat pemungutan suara populer agar menghasilkan hasil yang punya kekuatan dan menang. Persetujuan publik dapat membuat suatu kebijakan kebal terhadap atau setidaknya melemahkan oposisi di kemudian hari. Cara ini termanisfestasi dalam kasus pernikahan sesama jenis di Irlandia yang disahkan melalui referendum pada 2015. Tahun berikutnya, Irlandia menyelesaikan masalah mengenai akses aborsi, membatalkan larangan dengan mayoritas suara dua pertiga. </p>
<p>Referendum tidak hanya digunakan oleh para pemimpin demokratis tetapi juga oleh para otokrat dan demagog. Presiden Rusia Vladimir Putin menempatkan serangkaian reformasi konstitusional di hadapan para pemilih pada tahun 2020, salah satu isu <a href="https://www.npr.org/2020/07/01/886440694/referendum-in-russia-passes-allowing-putin-to-remain-president-until-2036">yang berhasil dihasilkan</a> adalah penghapusan aturan batas masa jabatan Putin sebagai presiden. </p>
<p>Tuduhan adanya <a href="https://www.themoscowtimes.com/2020/07/03/data-scientist-claims-staggering-fraud-at-russias-constitution-vote-a70769">penipuan dan intimidasi</a> menjamur setelah dilakukannya pemungutan suara itu, sebuah situasi yang sangat kecil kemungkinannya terjadi di sebuah negara yang melanggengkan demokrasi langsung dan menjunjung tinggi aspirasi masyarakat. </p>
<h2>Demokrasi langsung mendorong kebijakan agar sesuai dengan keinginan orang-orang</h2>
<p>Tidak ada yang namanya referendum nasional di Amerika Serikat (AS). Tetapi pemilih di Amerika memiliki banyak pengalaman dengan inisiatif dan juga dengan referendum di tingkat negara bagian. Suara-suara ini berpotensi memaksa pemerintah untuk mengikuti keinginan pemilih di dalam kasus-kasus di mana para legislator menolak kebijakan populer.</p>
<p>Namun, beberapa masalah dapat muncul dari praktik ini di dalam negara yang menerapkan demokrasi langsung. Meskipun mungkin aspirasi-aspirasi itu adalah inisiatif rakyat, <a href="https://calmatters.org/commentary/my-turn/2020/11/citizens-ballot-initiative-should-belong-to-citizens-not-special-interests/">pengaruh partai politik; pihak berkepentingan; pelobi; dan uang besar</a> dapat mengubahnya menjadi sesuatu yang sangat berbeda, seperti yang terjadi di California pada 1990-an dimana <a href="https://www.ppic.org/publication/californias-initiative-process-100-years-old/">kepuasan publik menurun</a> dalam dinamika pembuatan inisiatif rakyat tersebut.</p>
<p>Tetapi akhir-ahkir ini sepertinya kita telah melihat rangkaian inisiatif rakyat yang tampaknya lebih menjanjikan di mana, mayoritas warga menuntut agar badan legislatif negara bagian mereka masing masing untuk membawa kebijakan yang lebih sejalan dengan opini publik. Contohnya seperti pemilih di Florida yang <a href="https://www.brennancenter.org/our-work/research-reports/voting-rights-restoration-efforts-florida">menyetujui hak suara bagi para mantan narapidana</a>, Pemilih di Arizona yang menyetujui anggaran lebih besar untuk sekolah umum, pemilih di Missouri yang memaksa anggota legislatif yang enggan untuk <a href="https://www.npr.org/sections/health-shots/2020/08/05/898899246/missouri-voters-approve-medicaid-expansion-despite-resistance-from-republican-le">memperluas pusat kesehatan di negara bagian mereka</a>. Semua inisiatif ini didukung oleh dukungan publik yang populer.</p>
<p>Baru-baru ini, warga Kansas <a href="https://apnews.com/article/kansas-abortion-vote-recount-e874f56806a9d63b473b24580ad7ea0c">mengatakan “tidak”</a> dalam referendum yang berupaya untuk memasukkan istilah <em>pro-life</em> ke dalam konstitusi negara mereka. </p>
<h2>‘Biarkan rakyat yang memutuskan!’</h2>
<p>Potensi berhasilnya mekanisme demokrasi langsung dalam meningkatkan representasi warga negara akan bergantung pada konteks di mana mereka diadakan, termasuk cara mereka menempatkan isu yang ada dan motif yang membuat mereka menempatkan isu itu di kotak pemilihan suara.</p>
<p>Di satu sisi ada autokrat ektrim seperti Putin yang sering mengadakan pemilihan suara untuk menambah kekuasaan dan lama masa jabatannya. Di sisi lain ada warga negara yang frustrasi terhadap legislator yang kebijakannya jauh dari yang diingini publik. Di antara dua sisi itu ada pemerintah yang ingin menghasilkan kebijakan dengan bantuan dukungan rakyat dan partai-partai yang mengangkat tangan mereka di tengah-tengah perpecahan internal dan berkata, “Biarkan rakyat yang memutuskan.”</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/201159/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Susan Stokes tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Referendum dan inisiatif rakyat bisa menjadi jalan yang populer untuk menekan para politisi untuk mendengarkan rakyatnya – hal itu juga bisa menjadi praktik propagandaSusan Stokes, Professor of Political Science, University of ChicagoLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2004632023-03-05T12:02:16Z2023-03-05T12:02:16ZPerdamaian di Ukraina tidak bergantung pada Putin atau Zelenskyy – rakyat Ukraina yang menentukan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/513462/original/file-20230304-20-93xkiy.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C667%2C444&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">FF BB E BF D ED AE CA</span> <span class="attribution"><span class="source">Emilio Morenatti/AP</span></span></figcaption></figure><p>Invasi Rusia ke Ukraina telah berlangsung lebih dari satu tahun. Karena tampaknya tidak ada dari kedua belah pihak yang akan menang besar dalam perang ini, setidaknya dalam waktu dekat, banyak yang kini menyerukan negosiasi untuk penyelesaiannya.</p>
<p>Misalnya, Cina <a href="https://www.theguardian.com/world/2023/feb/18/chinese-peace-plan-for-ukraine-greeted-cautiously-by-the-west">menjanjikan</a> untuk segera menyediakan rincian rencana perdamaian.</p>
<p>Pertanyaan kritis yang mendasari negosiasi penyelesaian adalah: bagaimana menyeimbangkan pemenuhan tuntutan kedua negara agar tercapai perdamaian yang stabil dan bertahan lama?</p>
<p>Jawabannya ada pada “pemain” yang seringkali diabaikan: masyarakat Ukraina.</p>
<p>Untuk alasan hukum dan politik, <a href="https://www.constituteproject.org/constitution/Ukraine_2019?lang=en">demokrasi konstitusional</a> Ukraina mengharuskan segala kesepakatan damai diratifikasi oleh rakyatnya. Jika mereka diabaikan, kemungkinan untuk mewujudkan kesepakatan damai sangat kecil.</p>
<h2>Negosiasi menggantung karena aneksasi Rusia</h2>
<p>Memasuki tahun kedua perang Rusia-Ukraina, negosiasi-negosiasi bilateral perihal kendali wilayah perbatasan Ukraina – yang diakui secara internasional – masih kerap menemui jalan buntu.</p>
<p>Pada 30 September 2022, Rusia <a href="https://www.theguardian.com/world/2022/sep/30/putin-russia-war-annexes-ukraine-regions">merebut secara ilegal</a> empat wilayah bagian timur dan selatan Ukraina.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/should-the-west-negotiate-with-russia-the-pros-and-cons-of-high-level-talks-193297">Should the West negotiate with Russia? The pros and cons of high-level talks</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali November lalu, Presiden Ukraina Volodomyr Zelenskyy <a href="https://www.aljazeera.com/news/2022/12/28/what-is-zelenskyys-10-point-peace-plan">menawarkan</a> 10 poin rencana perdamaian yang menyerukan Rusia untuk memulihkan integritas teritorial Ukraina dan menarik semua angkatan bersenjatanya dari negara itu. Zelenskyy mengatakan ini “tidak bisa dinegosiasikan”.</p>
<p>Presiden Rusia Vladimir Putin <a href="https://www.newsweek.com/vladimir-putin-volodymyr-zelensky-peace-deal-depends-key-shift-russia-ukraine-war-1770477">mengatakan</a> ia bersedia untuk bernegosiasi, tetapi kemudian Kremlin menambahkan bahwa Ukraina harus mengakui otoritas Rusia atas empat wilayah Ukraina. </p>
<p>Sebagai tanggapan, semakin banyak suara dari kaum “<a href="https://www.washingtonpost.com/opinions/2022/12/02/how-biden-help-ukraine-zelensky/">realis</a>” dan <a href="https://www.peaceinukraine.org">anti-perang</a> yang menyerukan Presiden AS Joe Biden – atau negara Barat secara lebih luas – untuk berusaha menengahi negosiasi antara Ukraina dan Rusia dan menghentikan kekerasan. Ini termasuk mendorong Ukraina untuk bersikap lebih “<a href="https://www.foreignaffairs.com/ukraine/ukraine-war-will-end-negotiations">fleksibel</a>” dalam proses negosiasi.</p>
<p>Cina juga <a href="https://www.theguardian.com/world/2023/feb/18/chinese-peace-plan-for-ukraine-greeted-cautiously-by-the-west">mengajukan</a> rencana perdamaian untuk mendorong negosiasi dan mengakhiri perang. Rencana tersebut akan fokus pada penegakkan prinsip-prinsip kedaulatan dan integritas teritorial, tetapi juga dengan mempertimbangkan kepentingan keamanan Rusia.</p>
<p>Tawaran Cina tersebut telah memicu banyak <a href="https://www.brookings.edu/blog/order-from-chaos/2022/12/06/ukraine-is-the-victim-negotiations-should-be-kyivs-decision/">debat moral</a> tentang apakah Ukraina perlu bernegosiasi atas status wilayah kedaulatannya.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1627621854616625152"}"></div></p>
<h2>Peran rakyat Ukraina yang terlupakan</h2>
<p>Diskusi-diskusi yang sudah ada sejauh ini telah melewatkan satu realitas penting. Kesepakatan perdamaian tidak bisa hanya menjadi pakta diplomatik antara Ukraina, Rusia, Cina, dan negara Barat, tapi juga membutuhkan dukungan rakyat Ukraina, baik atas alasan hukum maupun politik.</p>
<p>Secara hukum, Ukraina adalah negara demokrasi konstitusional. Artinya, setiap penyerahan resmi wilayah kedaulatan Ukraina (termasuk Krimea) membutuhkan adanya perubahan konstitusi dan, oleh karena itu, sebuah referendum. Faktanya, <a href="https://www.refworld.org/pdfid/44a280124.pdf">Pasal 156 Konstitusi Ukraina</a> mengharuskan perubahan mendasar tersebut untuk dimasukkan ke dalam <em>all-Ukrainian referendum</em> (referendum yang diputuskan melalui <em>voting</em> oleh seluruh masyarakat Ukraina).</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/how-can-russias-invasion-of-ukraine-end-heres-how-peace-negotiations-have-worked-in-past-wars-180778">How can Russia's invasion of Ukraine end? Here's how peace negotiations have worked in past wars</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Secara politis, setiap kesepakatan perdamaian yang stabil harus mendapat dukungan publik yang luas, atau tidak akan digubris oleh pemimpin berikutnya.</p>
<p>Zelenskyy sangat menyadari hal ini. Pada Maret 2022, dia bersedia berjanji kepada Rusia bahwa Ukraina tidak akan pernah bergabung dengan NATO dengan imbalan jaminan keamanan dalam bentuk lain dari AS dan Eropa. Namun ia juga mengatakan bahwa pada akhirnya keputusan ini bukan keputusannya sendiri, tapi harus melalui <a href="https://www.bbc.com/news/world-europe-60901024">ratifikasi</a> oleh rakyatnya.</p>
<p>Ini masuk akal secara politis: serangkaian konsesi dalam kesepakatan damai dengan Rusia yang tidak menguntungkan Ukraina akan mengakhiri karier politik Zelenskyy dan kemungkinan besar akan dibatalkan oleh presiden berikutnya.</p>
<p>Peran rakyat Ukraina dalam hukum dan politik ini tidak mengejutkan. Mereka sebagian besar diabaikan dalam <a href="https://www.aljazeera.com/news/2022/2/9/what-is-the-minsk-agreement-and-why-is-it-relevant-now">Perjanjian Minsk</a>, kesepakatan yang disusun oleh para diplomat dari Ukraina, Rusia dan Eropa untuk menyelesaikan konflik yang pecah setelah pencaplokan Krimea oleh Rusia serta pemberontakan di wilayah Donbas, bagian timur Ukraina, yang didukung Rusia.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/511299/original/file-20230221-20-oqgidk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/511299/original/file-20230221-20-oqgidk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=425&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/511299/original/file-20230221-20-oqgidk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=425&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/511299/original/file-20230221-20-oqgidk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=425&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/511299/original/file-20230221-20-oqgidk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=534&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/511299/original/file-20230221-20-oqgidk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=534&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/511299/original/file-20230221-20-oqgidk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=534&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Pemimpin Rusia, Ukraina, Prancis, dan Jerman berkumpul di Minsk pada tahun 2015 untuk merundingkan penghentian pertempuran antara kelompok separatis - yang didukung Rusia - dan pasukan Ukraina.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Alexander Zemlianichenko/AP</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Apalagi Pasal 11 Perjanjian Minsk II <a href="https://www.chathamhouse.org/2020/05/minsk-conundrum-western-policy-and-russias-war-eastern-ukraine-0/minsk-2-agreement">mewajibkan</a> Ukraina mengamandemen konstitusinya untuk mendesentralisasikan kewenangan atas dua wilayah di Donbas.</p>
<p>Perjanjian ini gagal karena kurangnya dukungan dari rakyat Ukraina. Reformasi desentralisasi <a href="https://www.washingtonpost.com/news/worldviews/wp/2015/08/31/ukrainians-are-fighting-in-the-streets-over-a-new-constitution/">sangat kontroversial</a> dan memicu protes keras. Peluang untuk melakukan reformasi pun tertutup.</p>
<p>Terlebih lagi, dalam referendum tahun 2019, rakyat Ukraina <a href="https://www.voanews.com/a/ukraine-amends-constitution-to-cement-eu-nato-course/4776669.html">memasukkan</a> komitmen untuk “keanggotaan penuh” di NATO ke dalam Konstitusi Ukraina. Ini semakin mengacaukan implementasi Perjanjian Minsk.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/russia-says-peace-in-ukraine-will-be-on-our-terms-but-what-can-the-west-accept-and-at-what-cost-187349">Russia says peace in Ukraine will be ‘on our terms’ – but what can the West accept and at what cost?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Mayoritas rakyat Ukraina menolak memberikan tanahnya kepada Rusia</h2>
<p>Para pihak yang menginginkan kesepakatan damai harus menerima kenyataan bahwa tercapainya kesepakatan tersebut bukan hanya dari hasil tawar-menawar dan negosiasi diplomatik yang cerdas. Dalam upaya mencapai kesepakatan damai, harus diperhitungkan juga realitas demokrasi Ukraina dan peran penting rakyatnya dalam politik.</p>
<p>Mengabaikan peran rakyat Ukraina akan menjadi kesalahan fatal. Ada <a href="https://www.brookings.edu/articles/the-russia-ukraine-war-and-its-ramifications-for-russia/">bukti kuat</a> yang menunjukkan bahwa perang tersebut memperdalam rasa permusuhan terhadap Rusia di antara masyarakat Ukraina. Akibatnya, semakin tidak mungkin bahwa Ukraina akan mendukung aneksasi Rusia atas wilayah kedaulatan Ukraina.</p>
<p>Jajak pendapat juga menunjukkan sebanyak 84% orang Ukraina saat ini <a href="https://www.rferl.org/a/ukrainian-unity-identity-poll-russian-invasion/32001348.html">menolak</a> konsesi teritorial apa pun ke Rusia.</p>
<p>Sikap Ukraina bisa saja berubah seiring waktu, terutama jika kesepakatan damai dibuat sedemikian rupa sehingga mendapatkan dukungan dari rakyatnya. Tetapi, tidak diragukan lagi, kebutuhan akan dukungan rakyat akan membatasi jumlah konsesi yang dapat dibuat Ukraina dan mempersulit penyusunan rincian kesepakatan damai apa pun.</p>
<p>Namun, apabila hal ini diabaikan, sulit untuk menghindari akibat yang lebih serius: tanpa perubahan besar dalam waktu singkat – seperti kemenangan luar biasa bagi salah satu pihak atau pergantian kepemimpinan di Rusia – maka stabilitas dan kesepakatan damai akan semakin sulit dicapai.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/200463/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>William Partlett tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Demokrasi konstitusional Ukraina mensyaratkan kesepakatan perdamaian apa pun untuk diratifikasi oleh rakyatnya. Jika rakyat diabaikan, peluang mewujudkan kesepakatan damai akan jauh lebih kecil.William Partlett, Associate Professor, The University of MelbourneLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1988932023-02-02T01:45:58Z2023-02-02T01:45:58ZMengapa negara Barat memberikan bantuan militer bernilai triliunan ke Ukraina, tetapi mengabaikan Myanmar?<p>Dua tahun setelah <a href="https://theconversation.com/myanmars-military-reverts-to-its-old-strong-arm-behaviour-and-the-country-takes-a-major-step-backwards-154368">kudeta Myanmar pada 1 Februari 2021</a>, kuatnya dan berkembangnya perlawanan militer di negara tersebut hampir tidak mendapat perhatian dari luar negeri.</p>
<p>Kelompok oposisi pro-demokrasi, yang digawangi oleh Pemerintah Persatuan Nasional Myanmar (National Unity Government/NUG) – terdiri dari berbagai kelompok, tentara, milisi, dan individu yang berbeda – kesulitan untuk menarik perhatian global, bahkan walaupun keberhasilannya di medan perang cukup signifikan.</p>
<p>Yang paling menonjol adalah <a href="https://www.irrawaddy.com/news/burma/myanmars-civilian-acting-president-demands-international-arms-assistance.html">permohonan bantuan senjata dari kelompok oposisi tersebut</a> kepada negara-negara Barat guna membantu melawan kebrutalan yang dilakukan oleh junta militer. Namun permohonan tersebut diabaikan.</p>
<p>Tanggapan negara Barat terhadap perang Rusia-Ukraina sangat berbeda dibanding terhadap konflik Myanmar. Kedua konflik ini memang tidak serupa, namun sangat mengejutkan jika melihat betapa Ukraina telah sangat menyita perhatian komunitas internasional, sementara Myanmar hampir sepenuhnya terabaikan.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1618247798612426752"}"></div></p>
<h2>Tidak adanya tokoh karismatik dalam perang</h2>
<p>Mungkin salah satu penyebab kurang populernya konflik Myanmar berkaitan dengan ada tidaknya seorang pemimpin yang bisa menjadi ikon. Sejak sosok pemimpinnya, <a href="https://www.theguardian.com/world/2022/dec/30/myanmar-court-jails-aung-san-suu-kyi-for-extra-seven-years-in-final-closed-trial">Aung San Suu Kyi, digulingkan</a> dan tokoh publik lainnya dipenjara, pasukan perlawanan Myanmar kini tidak memiliki tokoh publik yang dapat dikenali oleh negara lain.</p>
<p>NUG memiliki seorang penjabat presiden, Duwa Lashi La, yang sesekali muncul di <a href="https://www.youtube.com/watch?v=Aw59uKsHL30">YouTube</a> dan media sosial. Ia memiliki reputasi yang kuat di antara etnis Kachin di bagian utara Myanmar, namun di panggung global, bahkan nasional, ia hampir tidak dikenali.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/Aw59uKsHL30?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption">Pemimpin NUG Duwa Lashi La mengumumkan perang melawan junta militer pada September 2021.</span></figcaption>
</figure>
<p>Ini jauh berbeda dengan situasi di Ukraina. Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky telah bertransformasi menjadi seorang komandan selama masa perang dan itu membuat dirinya memiliki profil global yang sangat berpengaruh. Ia telah mampu memberikan pidato, yang ditulis dengan hati-hati, di depan <a href="https://www.youtube.com/watch?v=bPfFYvAFlU8">parlemen asing</a>. Pidatonya membangkitkan semangat, baik untuk rakyat Ukraina maupun pada <a href="https://www.bbc.com/news/world-europe-64321281">pertemuan internasional penting</a>.</p>
<p>Upayanya untuk terus-menerus memfokuskan kembali perhatian pada fase pertempuran di Ukraina telah menginspirasi rakyatnya sendiri, dan membuat bendera Ukraina menjadi simbol perlawanan yang kuat dalam menghadapi tirani.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/HYKqInuA98o?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption">Volodymyr Zelensky berpidato di depan parlemen Australia.</span></figcaption>
</figure>
<h2>Kurangnya narasi sederhana</h2>
<p>Ukraina juga telah menguasai medan perang di dunia digital. Para pemimpinnya menyederhanakan narasi dan punya cara yang ampuh untuk menggambarkan bagaimana perjuangan “kebaikan” melawan “kejahatan”, yang membuat negara-negara demokrasi Barat merasa tertuntut untuk menawarkan dukungan simbolis dan material.</p>
<p>Sementara di Myanmar, kompleksitas yang mencakup etnis, linguistik, geografis, ideologis, sejarah, dan banyak lagi telah membuat narasi semacam itu jauh lebih sulit untuk dilakukan dan dipertahankan.</p>
<p><a href="https://www.bbc.com/news/world-asia-60820215">Kejahatan genosida terhadap etnis Rohingya</a> pada 2017, yang <a href="https://theconversation.com/aung-san-suu-kyis-extraordinary-fall-from-grace-104250">terjadi di bawah kepemimpinan Suu Kyi</a>, juga telah mengotori kisah yang sederhana tentang seorang peraih Nobel Perdamaian yang berhadapan dengan militer Myanmar yang brutal.</p>
<p>Pemerintahan Suu Kyi memang tidak melakukan pengawasan ataupun punya kendali atas militer yang melakukan pembantaian tersebut, tetapi hal ini tak ada artinya. Keputusan Suu Kyi yang <a href="https://www.eastasiaforum.org/2020/03/26/the-folly-of-aung-san-suu-kyis-bad-apple-defence/">keras kepala membela</a> tindakan militer tersebut di Mahkamah Internasional pada 2019 telah mengubah opini internasional secara dramatis.</p>
<p>Kini, dengan perlakuan Myanmar terhadap Rohingya, menjadi pertanyaan apakah Suu Kyi – atau pemerintahannya yang terpilih secara demokratis – pantas mendapatkan simpati dan dukungan dari negara Barat seperti yang pernah mereka terima.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/aung-san-suu-kyis-extraordinary-fall-from-grace-104250">Aung San Suu Kyi's extraordinary fall from grace</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Terpinggirkan di panggung global</h2>
<p>Lokasi geografis juga penting. Dalam penalaran strategis global, isu Myanmar hampir selalu hanya menjadi diskusi selingan di antara negara Barat.</p>
<p>Sebaliknya, selama satu abad atau lebih, Ukraina selalu menjadi titik persaingan strategis, terutama dalam duel antara kekuatan Barat dan Moskow. Karena itulah negara Barat melihat serangan Rusia, yang memiliki senjata nuklir, terhadap Ukraina selama dekade terakhir ini sebagai ancaman geopolitik tingkat tinggi.</p>
<p>AS bahkan <a href="https://theconversation.com/us-will-give-military-tanks-to-ukraine-signaling-western-powers-long-term-commitment-to-thwarting-russia-198555">berkomitmen</a> memberikan total bantuan senilai US$50 miliar (Rp 744 triliun) ke Ukraina pada tahun 2022, yang sekitar setengahnya terkait dengan bantuan militer.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/us-will-give-military-tanks-to-ukraine-signaling-western-powers-long-term-commitment-to-thwarting-russia-198555">US will give military tanks to Ukraine, signaling Western powers' long-term commitment to thwarting Russia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Dengan Myanmar dianggap sebagai titik konflik yang kurang signifikan, sebagian besar komunitas internasional (termasuk badan regional negara-negara Asia Tenggara, ASEAN) enggan memberikan dukungan militer kepada para pejuang yang tengah melawan junta militer di Myanmar.</p>
<p>Secara historis, <a href="https://www.thedefensepost.com/2022/07/18/myanmar-fighters-improvised-weapons/">senjata-senjata yang diselundupkan ke Myanmar</a> untuk mendukung tentara anti-pemerintah masuk melalui negara-negara tetangga, terutama Thailand dan India. Namun saat ini, para pemimpin di Bangkok dan New Delhi enggan terlalu terlibat dalam kekacauan Myanmar. Mereka juga harus mengawasi pemberontakan yang terjadi di internal mereka sendiri.</p>
<p>Jika senjata dan bahan keperluan perang benar-benar mengalir ke Myanmar saat ini, mereka diselundupkan secara diam-diam, sebisa mungkin tanpa diketahui.</p>
<p>Karena negara Barat tidak secara terbuka <a href="https://thediplomat.com/2022/02/why-doesnt-the-west-sell-weapons-to-myanmars-anti-junta-rebels/">memasok senjata untuk kubu perlawanan dengan memasok senjata</a>, para pejuang <a href="https://www.aljazeera.com/news/2022/11/8/myanmar-fighters-say-injuries-make-willpower-stronger">melakukan</a> pengumpulan dana masyarakat untuk dapat membeli senjata serta menggunakan bahan peledak yang disatukan dengan logam bekas.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1590160997653807104"}"></div></p>
<p>Sementara itu, junta militer telah membangun <a href="https://www.dw.com/en/china-russia-arming-myanmar-junta-un-expert-says/a-60868089">gudang senjata yang sangat besar</a> yang amunisinya dibeli dari Rusia dan Cina, atau diproduksi sendiri di dalam negeri menggunakan <a href="https://www.bbc.com/news/world-asia-64250674">persediaan dari perusahaan asal AS, Jepang, dan Prancis</a>.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Military trucks loaded with missiles" src="https://images.theconversation.com/files/506513/original/file-20230126-20-o0bdsw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/506513/original/file-20230126-20-o0bdsw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/506513/original/file-20230126-20-o0bdsw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/506513/original/file-20230126-20-o0bdsw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/506513/original/file-20230126-20-o0bdsw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/506513/original/file-20230126-20-o0bdsw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/506513/original/file-20230126-20-o0bdsw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Truk militer bermuatan misil dalam upacara peringatan Hari Kemerdekaan ke-75 Myanmar di bulan Januari.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Aung Shine Oo/AP</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Geopolitik juga penting ketika menyangkut pengadilan internasional.</p>
<p>Ada dua kasus genosida berturut-turut yang berkaitan dengan Myanmar dan Ukraina yang sedang diproses oleh Pengadilan Internasional di Den Haag. Kasus Ukraina, walaupun masih kurang dari 12 bulan setelah laporan diterima, telah mendapatkan intervensi formal oleh <a href="https://www.icj-cij.org/en/case/182/intervention">hampir semua negara Barat – total 33 negara</a>.</p>
<p>Sebaliknya, kasus Myanmar terkait Rohingya sudah masuk ke Pengadilan Internasional sejak 2019, tapi tidak ada <a href="https://www.icj-cij.org/en/case/178">satu negara pun</a> yang telah secara resmi melakukan intervensi, meskipun beberapa negara sempat menunjukkan kemungkinan untuk melakukannya.</p>
<h2>Kesempatan untuk mendukung demokrasi</h2>
<p>Alasan lain mengapa respons internasional, khususnya di ASEAN, sangat tentatif terhadap konflik Myanmar adalah karena mereka menganggap bahwa para pelaku kudeta Myanmar pada akhirnya akan memiliki kekuatan yang cukup untuk terus berkuasa di negara itu.</p>
<p>Tapi kita harus mempertanyakan apakah anggapan tersebut benar. Pada awal 2023, setelah dua tahun terjadinya protes dan kekerasan, junta militer terlihat sangat rentan.</p>
<p>Negara-negara yang cenderung berpengaruh di ASEAN, terutama <a href="https://www.benarnews.org/english/news/malaysian/asean-slams-myanmar-for-executions-07262022135128.html">Malaysia</a> dan <a href="https://thediplomat.com/2022/11/indonesian-fm-says-myanmar-military-to-blame-for-countrys-crisis/">Indonesia</a>, mulai menegur keras militer Myanmar.</p>
<p>Sepertinya mereka tidak ingin reputasi seluruh kawasan itu ternodai oleh kebrutalan junta di Myanmar. Mereka juga menyadari bahwa kekuatan anti-rezim tengah berupaya mengambil alih kekuasaan dan memegang posisi yang signifikan.</p>
<p>Dengan kondisi tersebut, masyarakat internasional perlu bergerak lebih cepat untuk mempertimbangkan masa depan Myanmar setelah perang ini berakhir. Ini termasuk secara dramatis membatasi kemampuan militer Myanmar untuk mendapatkan legitimasi internasional, meningkatkan upaya untuk membuat para jenderal kekurangan pasokan senjata dan sumber daya keuangan, serta mendukung penuntutan kejahatan perang ini di Pengadilan Internasional.</p>
<p>Pada saat yang sama, kekuatan revolusioner Myanmar membutuhkan dukungan – baik di medan perang maupun dalam upaya sipil untuk membangun kembali masyarakat yang mengalami trauma.</p>
<p>Untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun, invasi di Ukraina telah dengan jelas menunjukkan bahwa kekuatan militer Barat berhasil digunakan untuk mendukung demokrasi yang tengah ditekan.</p>
<p>Andai sebagian kecil saja dari dukungan untuk Ukraina diberikan kepada para pejuang demokrasi di Myanmar, mereka akan punya kesempatan untuk membangun negara demokrasi yang berkembang pesat di jantung Asia suatu hari nanti.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/198893/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Nicholas Farrelly menerima dana dari Australian Research Council untuk kegiatan yang berfokus pada Myanmar. Ia bagian dari Dewan Australia-ASEAN, yang merupakan badan pemerintah Australia. Artikel ini adalah pandangan pribadinya.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Adam Simpson tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Perlawanan Myanmar terhadap rezim militer yang brutal hampir tidak dilirik oleh Barat. Padahal sikap mereka terhadap Ukraina menunjukkan kekuatan militer Barat dapat membantu kelompok pro-demokrasi.Nicholas Farrelly, Professor and Head of Social Sciences, University of TasmaniaAdam Simpson, Senior Lecturer, International Studies, University of South AustraliaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1944492022-11-14T02:06:45Z2022-11-14T02:06:45ZApakah penurunan demokrasi global terkait dengan media sosial? Kami menyisir bukti untuk mencari tahu<p>Ada dua pola pikir umum tentang demokrasi di era <em>online</em>. Pertama, internet adalah <a href="https://dx.doi.org/10.1353/jod.2017.0064">teknologi pembebasan</a> dan akan membawa kita ke era demokrasi global. Kedua, kita dapat memilih antara ikut bermedia sosial atau hidup berdemokrasi, tetapi <a href="https://www.nytimes.com/2021/01/29/opinion/sunday/facebook-surveillance-society-technology.html">tidak bisa keduanya</a> sekaligus.</p>
<p>Mana yang lebih benar? Tidak diragukan bahwa demokrasi di seluruh dunia kini <a href="https://www.v-dem.net/documents/19/dr_2022_ipyOpLP.pdf">sedang mengalami kemunduran</a>. Bahkan negara-negara yang selama ini demokrasinya kita anggap stabil baru-baru ini mengalami peristiwa yang sangat bertentangan dengan prinsip demokrasi dan supremasi hukum, seperti <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Penyerbuan_Gedung_Kapitol_2021#:%7E:text=Pada%206%20Januari%202021%2C%20pendukung,dalam%20pemilihan%20umum%20presiden%202020.">serangan kekerasan di US Capitol</a>, gedung Kongres Amerika Serikat (AS), pada tahun 2021.</p>
<p>Untuk memahami peran media sosial dalam proses kemunduran demokrasi ini, kami melakukan <a href="https://doi.org/10.1038/s41562-022-01460-1">tinjauan menyeluruh</a> terhadap sejumlah bukti yang menghubungkan media sosial dengan sepuluh indikator kesejahteraan demokratis (<em>democratic wellbeing</em>). Indikator tersebut adalah partisipasi politik, pengetahuan, kepercayaan, paparan berita, ekspresi politik, kebencian, polarisasi, populisme, struktur jaringan, dan misinformasi.</p>
<p>Kami meninjau hampir 500 studi yang meliputi berbagai platform dan berbagai negara di seluruh dunia, dan menemukan beberapa pola besar yang muncul. Penggunaan media sosial ternyata berkorelasi dengan peningkatan keterlibatan politik, peningkatan polarisasi, populisme, dan ketidakpercayaan pada institusi.</p>
<h2>Bukti yang beragam</h2>
<p>Kajian kami lebih menekankan pada penelitian yang membangun hubungan sebab akibat antara media sosial dan indikator kesejahteraan demokratis, bukan hanya korelasi.</p>
<p>Sekadar membahas korelasinya memang menarik, tetapi ini tidak dapat membuktikan apakah suatu hal, peristiwa, atau pola, benar-benar disebabkan oleh penggunaan media sosial atau tidak.</p>
<p>Misalnya, kita menemukan adanya hubungan antara penggunaan media sosial dan ujaran kebencian. Ini karena orang yang melontarkan ujaran kebencian ternyata memang lebih banyak menggunakan media sosial, bukan karena penggunaan media sosial itu memicu ujaran kebencian.</p>
<p>Hubungan sebab akibat dapat dibangun dengan beberapa cara, misalnya melalui eksperimen lapangan skala besar. Peserta eksperimen bisa kita minta untuk <a href="https://doi.org/10.1016/j.chb.2020.106332">mengurangi penggunaan Facebook menjadi 20 menit per hari</a> atau <a href="https://dx.doi.org/10.1257/aer.20190658">tidak menggunakannya sama sekali</a> selama sebulan. Dua cara itu terbukti bisa meningkatkan kesejahteraan, bahkan tidak menggunakan Facebook sama sekali bisa mengurangi polarisasi politik secara signifikan.</p>
<h2>Makin terlibat, makin terpolarisasi</h2>
<p>Kami menemukan bahwa dari 496 studi yang kami kaji – yang sebagian besar bersifat korelasi ketimbang hubungan sebab akibat – ada efek positif maupun negatif. Seperti yang sering terjadi dalam sains, polanya memang rumit tetapi masih bisa kita tafsirkan.</p>
<p>Sisi positifnya, kami menemukan penggunaan media digital berhubungan dengan keterlibatan politik yang lebih tinggi dan paparan terhadap berita yang lebih beragam. <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/1461444819828718">Satu studi di Taiwan</a> menemukan bahwa penggunaan media sosial yang berorientasi informasi dapat meningkatkan partisipasi politik. Namun, ini hanya terjadi jika penggunanya percaya bahwa aktivitas <em>online</em> individu dapat mempengaruhi situasi politik.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/clickbait-extremism-mass-shootings-and-the-assault-on-democracy-time-for-a-rethink-of-social-media-187176">Clickbait extremism, mass shootings, and the assault on democracy – time for a rethink of social media?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Sisi negatifnya, kami menemukan banyak bukti bahwa media sosial dapat mendorong polarisasi dan populisme, serta mengurangi kepercayaan publik terhadap institusi negara. Efeknya terhadap tingkat kepercayaan pada institusi dan media sangat terasa. Selama pandemi, penggunaan media digital <a href="https://www.mdpi.com/2076-393X/9/6/593">berkaitan</a> dengan keraguan masyarakat terhadap vaksin COVID-19.</p>
<p>Dampak negatif lainnya dari penggunaan media sosial, dalam berbagai konteks politik dan di berbagai platform, adalah meningkatnya polarisasi politik.</p>
<p>Kami menemukan bahwa peningkatan polarisasi berkaitan dengan paparan informasi di media sosial yang menyajikan berbagai sudut pandang yang berlawanan. Dengan kata lain, melihat unggahan berisi pesan-pesan dari lawan politik pun tidak meredam polarisasi politik – bahkan justru membuatnya semakin intens.</p>
<h2>Berkaitan dengan kekerasan</h2>
<p>Kami juga menemukan adanya hubungan yang kuat antara penggunaan media sosial dengan populisme. Penggunaan media sosial yang lebih banyak berpengaruh pada meningkatnya perolehan suara untuk partai-partai populis.</p>
<p>Studi di Austria, Swedia dan Australia menemukan bukti adanya kaitan antara peningkatan penggunaan media sosial dan radikalisasi sayap kanan di dunia maya. Studi di Jerman dan Rusia juga membuktikan adanya hubungan sebab akibat, bahwa media digital dapat meningkatkan insiden kejahatan dan kebencian antaretnis.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/meet-breadtube-the-youtube-activists-trying-to-beat-the-far-right-at-their-own-game-156125">Meet BreadTube, the YouTube activists trying to beat the far-right at their own game</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Penelitian di Jerman, misalnya, menemukan pemadaman lokal Facebook (karena kesalahan teknis atau gangguan internet) telah menurunkan angka kekerasan di daerah tersebut. Para penelitinya <a href="https://dx.doi.org/10.2139/ssrn.3082972">memperkirakan</a> dengan berkurangnya sentimen antipengungsi di media sosial sebesar 50%, insiden kekerasan berkurang sebanyak 12,6%.</p>
<p>Sebaran dampak penggunaan media sosial di seluruh dunia juga bisa terlihat. Dampak positif terkait partisipasi politik dan konsumsi informasi yang paling menonjol dapat kita temui di negara-negara demokrasi baru, seperti di Amerika Selatan, Afrika, dan Asia. Sementara dampak negatifnya lebih banyak ditemukan di negara demokrasi mapan, seperti di Eropa dan Amerika Serikat (AS).</p>
<h2>Tidak ada jawaban sederhana</h2>
<p>Jadi, kembali ke pertanyaan awal: apakah internet adalah teknologi pembebasan? Atau apakah media sosial justru tidak sejalan dengan demokrasi?</p>
<p>Jawabannya tidak sesederhana ‘ya’ atau ‘tidak’. Namun, ada bukti bahwa media digital memang mempengaruhi perilaku politik secara global. Bukti ini menimbulkan kekhawatiran akan dampak buruk media sosial terhadap demokrasi.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/the-digital-town-square-what-does-it-mean-when-billionaires-own-the-online-spaces-where-we-gather-182047">The 'digital town square'? What does it mean when billionaires own the online spaces where we gather?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Facebook, Twitter, dan media sosial lainnya tidaklah bertentangan dengan demokrasi. Kesejahteraan demokratis, bagaimanapun, mengharuskan para ilmuwan mempelajari dengan cermat efek sosial dari media sosial. Pihak yang harus mengevaluasi dan mengatur dampak tersebut adalah masyarakat dan para pembuat kebijakan, bukan sekelompok kecil <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Acquisition_of_Twitter_by_Elon_Musk">orang-orang super kaya</a>.</p>
<p>Sudah ada beberapa langkah kecil namun penting untuk mengendalikan dampak buruk penggunaan media sosial. Di antaranya adalah <a href="https://ec.europa.eu/info/strategy/priorities-2019-2024/europe-fit-digital-age/digital-services-act-ensuring-safe-and-accountable-online-environment/europe-fit-digital-age-new-online-rules-platforms_en">UU Layanan Digital Uni Eropa</a> dan <a href="https://www.protocol.com/bulletins/platform-accountability-act-senate">Platform Accountability and Transparency Act (PATA)</a> yang tengah diajukan di AS, meskipun nasib peraturan ini masih belum jelas.</p>
<p><a href="https://theconversation.com/au/topics/social-media-and-society-125586" target="_blank"><img src="https://images.theconversation.com/files/479539/original/file-20220817-20-g5jxhm.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=144&fit=crop&dpr=1" width="100%"></a></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/194449/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Stephan Lewandowsky menerima dana dukungan keuangan dari European Research Council (ERC Advanced Grant 101020961 PRODEMINFO), dari Yayasan Humboldt melalui penghargaan penelitian, Yayasan Volkswagen, Yayasan John Templeton, dan dari Komisi Eropa (berupa dana hibah Horizon 2020 964728 JITSUVAX). Ia juga menerima dana dari Jigsaw (inkubator teknologi yang dibuat oleh Google) serta dari Badan Riset dan Inovasi, pemerintah Inggris (melalui Center of Excellence, REPHRAIN). Beliau sering berkolaborasi dengan peneliti di Pusat Penelitian Gabungan Komisi Eropa (Joint Research Center of the European Commission).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Lisa Oswald menerima dana dari Yayasan Beasiswa Akademik Jerman (German Academic Scholarship Foundation).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Philipp Lorenz-Spreen menerima dana dari Volkswagen Foundation. Beliau adalah salah satu anggota jajaran dewan dari lembaga non-profit Prosocial Design Network. Ia kerap berkolaborasi dengan para peneliti di Pusat Penelitian Bersama Komisi Eropa (Joint Research Centre of the European Commission).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Ralph Hertwig menerima dana dari Volkswagen Foundation dan Komisi Eropa (hibah HORIZON 2022 GA 101094752). Beliau aktif berkolaborasi dengan para peneliti di Pusat Penelitian Bersama Komisi Eropa (Joint Research Centre of the European Commission).</span></em></p>Internet dianggap sebagai teknologi pembebasan dan dituduh merusak demokrasi. Penelitian menunjukkan anggapan dan tuduhan tersebut ada benarnya.Stephan Lewandowsky, Chair of Cognitive Psychology, University of BristolLisa Oswald, Doctoral researcher in computational social science, Hertie SchoolPhilipp Lorenz-Spreen, Research Scientist, Center for Adaptive Rationality, Max Planck Institute for Human DevelopmentRalph Hertwig, Director, Center for Adaptive Rationality, Max Planck Institute for Human DevelopmentLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1744092022-04-22T12:45:35Z2022-04-22T12:45:35ZAktivisme mahasiswa 10 tahun terakhir: banyak golput, menjaga jarak dari politik praktis, tapi peka isu demokrasi dan HAM<p>Mahasiswa punya peran penting dalam proses demokrasi. Partisipasi mereka selalu menarik untuk dilihat dan dipelajari terutama terkait dengan aktivisme sosial politik.</p>
<p>Di Indonesia, mahasiswa tampil dalam berbagai momen yang menentukan arah bangsa, dari <a href="https://tirto.id/sejarah-demonstrasi-mahasiswa-yang-mengancam-menumbangkan-rezim-eiBo">Era Tritura 1966</a> yang diikuti berdirinya rezim Orde Baru sampai gerakan <a href="https://historia.id/galeri/articles/potret-demonstrasi-dari-masa-ke-masa-PyjRo">Reformasi 1998</a> yang menandai lahirnya rezim demokrasi.</p>
<p>Bagaimana potret aktivisme mahasiswa pada era modern?</p>
<p>Saya bersama tim dari Program Studi Ilmu Politik di Universitas Brawijaya menggelar <a href="https://www.researchgate.net/publication/356775084_Aktivisme_dan_Partisipasi_Mahasiswa_Pasca_Reformasi_Kajian_Awal">survei</a> tentang aktivisme mahasiswa untuk mendapatkan gambaran termutakhir mengenai pola partisipasi politik mereka, identifikasi ideologi dan keyakinan, dan penilaian umum mereka terhadap rezim politik – terutama dalam 10 tahun terakhir.</p>
<p>Survei ini kami lakukan secara daring pada periode Agustus-Oktober 2020 terhadap mahasiswa aktif minimal semester 3 yang tersebar di 26 perguruan tinggi di Indonesia baik swasta, negeri, umum ataupun keagamaan.</p>
<p>Terdapat 497 responden yang mengisi kuisioner secara lengkap dan terverifikasi. </p>
<p>Kami menemukan bahwa aktivisme mahasiswa tampak masih menjaga jarak dari politik elektoral (pemilu) dan segenap kegiatan perebutan kekuasaan melalui partai politik, namun peka terhadap isu demokrasi dan hak asasi manusia (HAM).</p>
<h2>Partisipasi elektoral yang rendah</h2>
<p>Pertama, kami menanyakan mahasiswa mengenai keterlibatan aktif mereka dalam proses politik elektoral, dalam hal ini pemilu selama satu dekade ke belakang.</p>
<p>Dari jawaban yang disampaikan, jumlah mahasiswa yang mencoblos hanya 27%, sementara 73% lainnya mengaku tidak terlibat (golput). Ini senada dengan <a href="https://www.republika.co.id/berita/qmprp1428/lsi-partisipasi-pemilih-berpendidikan-rendah-tertinggi">temuan survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI)</a> yang menemukan partisipasi pemilih berusia di bawah 21 tahun saat Pilkada 2020 hanya sebesar 39%. </p>
<p>Menurut saya, partisipasi elektoral yang rendah ini bisa jadi disebabkan dua kondisi: mahasiswa mungkin menolak terlibat dalam politik partisan, atau ingin menegaskan independensi mereka dari mobilisasi politik.</p>
<p>Selain itu, terdapat juga indikasi kuat bahwa mahasiswa yang merantau memiliki keterbatasan dalam mengurus pendaftaran pemilu.</p>
<p>Studi tahun 2019 di Malang, Jawa Timur, misalnya, menemukan bahwa lebih dari setengah (51,6%) mahasiswa responden <a href="https://core.ac.uk/download/pdf/229621922.pdf">kekurangan informasi mengenai formulir A5</a> (memilih di lokasi berbeda dari domisili asal), dan sebagian lainnya memilih golput karena malas melalui tahapan administrasi untuk formulir tersebut.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/459299/original/file-20220422-18-cb8nhf.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/459299/original/file-20220422-18-cb8nhf.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/459299/original/file-20220422-18-cb8nhf.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=490&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/459299/original/file-20220422-18-cb8nhf.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=490&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/459299/original/file-20220422-18-cb8nhf.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=490&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/459299/original/file-20220422-18-cb8nhf.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=616&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/459299/original/file-20220422-18-cb8nhf.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=616&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/459299/original/file-20220422-18-cb8nhf.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=616&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Gambar 1: Keterlibatan dalam politik elektoral.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Aminuddin & Ramadlan, 2021(</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Bagi mereka yang terlibat dalam pemilu pun, secara umum kami menemukan tiga pola penting.</p>
<p>Pertama, para mahasiswa tersebut menyatakan pentingnya keterlibatan dalam politik elektoral dengan cara mencoblos saat pemilu atau pilkada (total 97% setuju).</p>
<p>Banyak dari mereka menganggap ajang tersebut sebagai satu-satunya mekanisme yang sah dalam perebutan kekuasaan (total 83% setuju).</p>
<p>Kedua, meski demikian, para mahasiswa memiliki tingkat persetujuan yang sangat rendah terkait keterlibatan dalam mobilisasi atau kampanye politik (total 55% tidak setuju), menjadi <em>buzzer</em> atau konsultan politik (total 67% tidak setuju), serta relawan bagi partai dan kandidat (total 51% tidak setuju).</p>
<p>Mereka bahkan cenderung tidak ingin terlibat dalam gugatan sengketa pemilu (total 64% tidak setuju).</p>
<p>Sekalipun mereka terlibat mobilisasi, para mahasiswa melakukannya sebatas sebagai bentuk <a href="https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/politico/article/view/30478/29359">solidaritas kekerabatan</a> yang kuat dengan sesama mahasiswa, atau terlibat secara tidak langsung seperti memberi dukungan logistik ke tempat pemungutan suara (TPS). </p>
<p>Ketiga, mahasiswa cenderung lebih menyetujui keterlibatan dalam bentuk aktivitas pengawasan pemilu, serta pemberian edukasi dan literasi politik terhadap masyarakat (total 88% setuju).</p>
<p>Ini adalah tanda bahwa idealisme mahasiswa terhadap penyelenggaraan pemilu yang berkualitas sebenarnya masih sangat tinggi.</p>
<p>Di sini, sosialisasi dan ajakan yang masif dari lembaga seperti <a href="https://bawaslu.go.id/en/berita/tiga-pilihan-partisipasi-mahasiswa-dalam-pilkada-2020">Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)</a> menjadi penting agar mahasiswa mendapat pengetahuan dan akses untuk berpartisipasi dalam pengawasan pemilu.</p>
<p>Sementara, perluasan edukasi dan literasi politik lebih banyak berkaitan dengan kampanye anti politik uang (<em>money politics</em>) yang masif melalui berbagai kegiatan kemahasiswaan, termasuk pengabdian masyarakat dan <a href="https://jurnal.kpk.go.id/index.php/integritas/article/view/611">Kuliah Kerja Nyata (KKN)</a>. </p>
<p>Berdasarkan hal-hal di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa sikap apolitis mahasiswa terhadap proses elektoral lebih banyak disebabkan upaya mereka untuk menjaga jarak dari tarikan kepentingan aktor politik praktis – terutama partai politik beserta caleg yang mereka usung.</p>
<h2>Peka isu demokrasi dan HAM</h2>
<p>Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, muncul gejolak demonstrasi mahasiswa bersama dengan gerakan buruh dan kelompok masyarakat lainnya dalam menyuarakan isu-isu nasional.</p>
<p>Gerakan mahasiswa ini terlihat saat muncul upaya <a href="https://www.antaranews.com/berita/2472481/tujuh-tahun-jokowi-ratusan-mahasiswa-gelar-aksi-sampaikan-12-tuntutan">pelemahan KPK</a>, terganggunya hak pekerja akibat <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-54611952">UU Cipta Kerja</a>, serta <a href="https://www.idntimes.com/news/indonesia/santi-dewi/kemunduran-demokrasi-di-bawah-kepemimpinan-jokowi/1">merosotnya kebebasan berekspresi</a> di Indonesia.</p>
<p>Secara umum, isu-isu tersebut terkait erat dengan demokrasi dan HAM, serta mendapatkan respons serta sambutan luas di berbagai daerah. </p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/459300/original/file-20220422-16-egvfdt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/459300/original/file-20220422-16-egvfdt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/459300/original/file-20220422-16-egvfdt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=463&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/459300/original/file-20220422-16-egvfdt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=463&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/459300/original/file-20220422-16-egvfdt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=463&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/459300/original/file-20220422-16-egvfdt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=582&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/459300/original/file-20220422-16-egvfdt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=582&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/459300/original/file-20220422-16-egvfdt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=582&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Gambar 2: Pandangan terhadap rezim politik.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Aminuddin & Ramadlan, 2021)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Penilaian mahasiswa terhadap kinerja rezim politik memperlihatkan hal yang tidak jauh berbeda dengan berbagai demonstrasi di atas.</p>
<p>Para responden dalam survei kami menyatakan penolakan (total 65% tidak setuju) saat kami tanya apakah kehidupan politik di Indonesia semakin demokratis dalam satu dekade terakhir.</p>
<p>Mereka juga mendukung pernyataan bahwa penegakan keadilan hukum berjalan dengan buruk (total 80% setuju) selama periode ini.</p>
<p>Tren di atas bisa jadi merupakan cerminan dari ideologi sosial politik mahasiswa. Berdasarkan survei kami, mahasiswa memang cenderung punya preferensi yang kuat terhadap isu-isu demokrasi dan HAM.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/459302/original/file-20220422-18-obztzn.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/459302/original/file-20220422-18-obztzn.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/459302/original/file-20220422-18-obztzn.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=806&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/459302/original/file-20220422-18-obztzn.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=806&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/459302/original/file-20220422-18-obztzn.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=806&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/459302/original/file-20220422-18-obztzn.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1013&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/459302/original/file-20220422-18-obztzn.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1013&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/459302/original/file-20220422-18-obztzn.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1013&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Gambar 3: Tingkat kesetujuan terhadap isu sosial politik.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Aminuddin & Ramadlan, 2021)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Para responden, misalnya, menyatakan dukungan kuat terhadap kebebasan berbicara dan berorganisasi (total 97,5% setuju), pembatasan terhadap keistimewaan pejabat (total 94,7% setuju), kebebasan memilih agama dan kepercayaan (total 81,7% setuju), hingga kebebasan untuk menentukan orientasi seksual dan gender (total 71,4% setuju).</p>
<p>Bahkan, mayoritas juga menolak menguatnya peran oligarki (total 58% tidak setuju) hingga menguatnya pengaruh otoritas keagamaan dalam urusan politik (total 65,4% tidak setuju).</p>
<h2>Kekuatan politik yang masih signifikan</h2>
<p>Penelitian ini memberikan potret terkini terhadap aktivisme politik mahasiswa dalam kurun 10 tahun terakhir. Di sini, kita bisa melihat beberapa kesimpulan umum.</p>
<p>Terlepas dari tingginya angka golput di kalangan mahasiswa, mereka sebenarnya masih mempertahankan idealisme dengan cara menjaga jarak dengan politik praktis.</p>
<p>Idealisme ini juga terlihat dari kenyataan bahwa mereka lebih suka terlibat dalam pemberian edukasi dan penguatan literasi politik, ketimbang masuk dalam pusaran mobilisasi dan dukungan terhadap partai dan kandidat.</p>
<p>Hal ini juga terwujud dalam berbagai pilihan aksi – mulai demonstrasi sampai perdebatan publik di media sosial – terutama terkait topik yang erat dengan kualitas demokrasi dan perlindungan HAM di Indonesia.</p>
<p>Idealisme ini, beserta jumlah mereka yang juga cukup besar, membuat mahasiswa tetap sebagai kekuatan politik yang signifikan dan patut diperhitungkan dalam perpolitikan Indonesia ke depannya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/174409/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Riset kami menemukan bahwa aktivisme mahasiswa masih menjaga jarak dari politik elektoral dan perebutan kekuasaan melalui partai politik, namun peka terhadap isu demokrasi dan hak asasi manusia (HAM).M Faishal Aminuddin, Senior Lecturer, Department of Political Science, Universitas BrawijayaM Fajar Shodiq Ramadlan, Dosen, Universitas BrawijayaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1815792022-04-20T03:13:47Z2022-04-20T03:13:47ZMengapa masa jabatan Presiden harus dibatasi?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/458751/original/file-20220420-24727-6mgarp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=137%2C5%2C3856%2C2491&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Seruan mahasiswa tolak penundaan pemilu 2024.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1648464033">Muhammad Adimaja/Antara Foto</a></span></figcaption></figure><iframe style="border-radius:12px" src="https://open.spotify.com/embed/episode/6MYSQpOS29XLMZx0H7VJba?utm_source=generator" width="100%" height="232" frameborder="0" allowfullscreen="" allow="autoplay; clipboard-write; encrypted-media; fullscreen; picture-in-picture"></iframe>
<p><a href="https://nasional.kompas.com/read/2022/03/04/11361721/parpol-usung-wacana-pemilu-ditunda-dan-jokowi-3-periode-bisa-jadi-tumbal?page=all">Jajaran petinggi negara dan elit partai politik</a> gencar menggaungkan wacana-wacana untuk <a href="https://theconversation.com/tiga-alasan-mengapa-penundaan-pemilu-2024-harus-ditolak-178652">menunda pemilihan umum (pemilu) 2024</a> maupun <a href="https://kabar24.bisnis.com/read/20220313/15/1510034/wacana-presiden-3-periode-pengamat-usulan-oligarki">memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga periode</a>. </p>
<p>Wacana tersebut pertama kali diungkapkan <a href="https://ekonomi.bisnis.com/read/20220114/9/1488951/kontroversi-penundaan-pemilu-bahlil-itu-bukan-pendapat-saya">oleh Menteri Investasi, Bahlil Lahaladia</a>, yang mengklaim bahwa para pengusaha meminta pemilu 2024 diundur demi menjaga kepastian dan stabilitas perekonomian dan investasi di tanah air.</p>
<p>Bak gayung bersambut, partai koalisi pendukung pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, diikuti Menteri Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, juga menggaungkan rencana penundaan pemilu agar Jokowi dapat berkuasa lebih lama lagi. </p>
<p>Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menegaskan bahwa wacana penundaan pemilu dan perpanjangan periode jabatan presiden bertentangan dengan prinsip demokrasi.</p>
<p>Di negara demokrasi manapun, masa jabatan pemimpin selalu dibatasi hanya sampai jangka waktu tertentu. Pembatasan tersebut bertujuan untuk menghindari adanya penyalahgunaan kekuasaan dan maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme.</p>
<p>Dalam episode ini, kami berdiskusi lebih lanjut dengan Titi tentang wacana penundaan pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi menjadi tiga periode dan bagaimana seharusnya masyarakat merespons.</p>
<p>Dengarkan obrolan lengkapnya di SuarAkademia - <em>ngobrol</em> seru isu terkini, bareng akademisi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/181579/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Di negara demokrasi manapun, masa jabatan pemimpin selalu dibatasi hanya sampai jangka waktu tertentu.Nurul Fitri Ramadhani, Politics + Society Editor, The Conversation IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1741202022-01-04T05:08:02Z2022-01-04T05:08:02ZMengapa meme di Twitter lebih positif (dan bergerak jauh lebih cepat) dari yang kita kira<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/439281/original/file-20220104-13-rrhr1k.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="http://www.nyphotographic.com/">Nick Youngson</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Pernahkah kamu memeriksa timeline Twitter dan bertanya-tanya apa yang dibicarakan semua orang? Kamu tidak membuka Twitter baru beberapa jam dan tiba-tiba timeline dipenuhi dengan orang-orang berbagi meme tentang sesuatu sama sekali baru.</p>
<p>Kami <a href="https://jdsr.se/ojs/index.php/jdsr/article/view/95">mempelajari “momen memetik” ini</a> di Amerika Serikat (AS) untuk memahami bagaimana meme muncul dengan cepat dan spontan sebagai respons terhadap peristiwa utama yang cenderung berfokus pada hal sosial. Kami menemukan bahwa meme bergerak lebih cepat dari yang kita duga, terkadang muncul, menyebar dengan liar, dan mulai hilang dalam waktu kurang dari sehari.</p>
<p>Twitter dan media sosial lainnya terkenal sebagai situs pelecehan, rasisme, trolling, dan konten <em>toxic</em> lainnya, tapi kami menemukan dalam studi ini bahwa sangat sedikit materi seperti ini yang bergerak cepat.</p>
<p>Kami menduga bahwa kecepatan gerakan meme-meme itu dapat mengurangi jumlah <em>engagement</em> negatif pada media sosial. Meme-meme seperti itu mungkin merupakan elemen yang kurang dihargai di budaya media sosial yang positif – sehingga memberikan petunjuk tentang bagaimana platform media sosial dapat berkembang.</p>
<h2>Meme babi liar</h2>
<p>Kami mengamati dua momen memetik di AS. Yang paling populer adalah meme “30-50 feral hogs (30-50 babi liar)”, yang dimulai setelah akhir pekan atas penembakan massal di AS pada Agustus 2019.</p>
<p>Merespon penembakan tersebut, dan khususnya pada peran senapan serbu otomatis dalam peristiwa tersebut, musisi Jason Isbell mentweet:</p>
<blockquote>
<p>Jika Anda di sini memperdebatkan definisi “senjata serbu”, Anda adalah bagian dari masalah. Anda tahu apa itu senjata serbu, dan Anda tahu Anda tidak membutuhkannya.</p>
</blockquote>
<p>Tweet itu menjadi populer, disukai dan di-retweet ribuan kali.</p>
<p>Di antara balasan-balasannya, ada satu tweet yang menonjol. William McNabb, yang saat itu bukan pengguna terkenal, menjawab:</p>
<blockquote>
<p>Pertanyaan bagi orang-orang di pedesaan Amerika – Bagaimana cara membunuh 30–50 babi liar yang menerobos ke halaman saya dalam 3-5 menit sementara anak-anak kecil saya sedang bermain?</p>
</blockquote>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1158045307562856448"}"></div></p>
<p>Respon yang terkesan absurd, dan juga format tweet tersebut, membuatnya menjadi bahan meme yang ideal. Permainan lelucon kemudian dimulai selepas itu, dan meme dengan cepat berkembang dan mulai merujuk pada meme Twitter lainnya.</p>
<p>Misalnya, meme tersebut dapat digabungkan bersama lirik lagu, atau sebagai alternatif judul film. Meskipun sangat lucu, meme tersebut menyoroti argumen-argumen lemah tentang senjata api cepat bertenaga tinggi, dan juga mengarah pada diskusi tentang masalah serius lainnya, seperti perusakan ekologis yang disebabkan oleh <a href="https://gimletmedia.com/shows/reply-all/n8hw3d/149-3050-feral-hogs">babi liar di banyak pedesaan Amerika</a>. Babi liar menghancurkan tanaman, dan merusak vegetasi asli.</p>
<p>Sebagai peneliti, kami berdua telah menyaksikan meme seperti ini muncul dan menghilang dengan cepat di <em>feed</em> kami berkali-kali. Kami ingin memahami bagaimana meme ini sebenarnya berfungsi.</p>
<h2>Bagaimana cara mempelajari meme Twitter?</h2>
<p>Untuk mulai menguraikan dinamika “momen memetik” ini, kami harus mengambil pendekatan yang sedikit berbeda untuk mengumpulkan data Twitter. Pada masa lalu, meme sering terorganisasi oleh tagar, tetapi karena sekarang hal itu jarang terjadi, kami melakukan pencarian kata-kata yang terkait dengan meme populer di Twitter.</p>
<p>Misalnya, kami mengumpulkan tweet yang berisi istilah “30-50 feral hogs”, dan kami menemukan total 54.086 tweet dalam seminggu setelah pertama kali muncul.</p>
<p>Kami kemudian membuat grafik tweet ini dari waktu ke waktu untuk mempelajari dinamikanya. Hasilnya sangat mengejutkan – meme muncul dengan tajam dan dengan kecepatan luar biasa, dan kemudian diikuti oleh penurunan yang cepat.</p>
<p>Dalam kasus meme “30-50 feral hogs”, puncak awalnya hanya berlangsung 12 jam – kurang dari satu hari – sebelum menghilang dengan cepat.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/437077/original/file-20211213-27-s3yj8z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/437077/original/file-20211213-27-s3yj8z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=492&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/437077/original/file-20211213-27-s3yj8z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=492&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/437077/original/file-20211213-27-s3yj8z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=492&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/437077/original/file-20211213-27-s3yj8z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=619&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/437077/original/file-20211213-27-s3yj8z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=619&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/437077/original/file-20211213-27-s3yj8z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=619&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Puncak meme itu terjadi tidak sampai sehari.</span>
</figcaption>
</figure>
<p>Beberapa meme dipicu oleh pengguna profil berstatus tinggi yang membuat “template” yang disalin oleh pengguna lain, tetapi meme “30-50 feral hogs” adalah kebalikannya. Saat Jason Isbell (tanpa disadari) terlibat dalam tren ini, sebagian besar tweet populer awal dibuat oleh pengguna dengan pengikut sedikit.</p>
<p>Tweet awal yang paling populer adalah dari akun @BarbiturateCat. Ia mereplikasi <em>template</em> situs kencan, yang pengguna dapat memilih antara menjadi “laki-laki”, “perempuan” atau “30-50 babi liar”, dan mencari “laki-laki”, “perempuan” atau “halaman dengan anak-anak kecil tanpa pengawasan untuk diterobos dalam 3-5 menit”.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1158450759576502273"}"></div></p>
<p>Tweet populer lainnya adalah dari akun @nomiddlesliders yang mengutip serta sedikit mengubah lagu Paradise City oleh Guns N ‘Roses lewat tweet: “<em>take me down to the paradise city where the hogs are feral and there’s 30–50</em>”.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1158482758991323136"}"></div></p>
<p>Dari sini, meme berkembang ke berbagai arah yang berbeda.</p>
<h2>Kenapa kami mempelajari meme Twitter?</h2>
<p>Kenapa mempelajari meme di Twitter penting? Kita seringkali menganggap meme sebagai hal sepele atau bagian yang biasa dari platform online, tidak lebih penting daripada masalah sosial yang mendesak.</p>
<p>Kondisi media sosial yang menghasilkan efek viral, seperti kecepatan, sering disalahkan atas banyaknya elemen <em>toxic</em> yang ada, seperti penyebaran informasi yang salah.</p>
<p>Penelitian kami memberikan perspektif berbeda tentang bagaimana kecepatan berfungsi dalam budaya digital. Kecepatan dua meme yang kami pelajari tumbuh dan “meledak” tampaknya menciptakan ruang <em>engagement</em> yang berisiko rendah, namun lucu dan sehat, yang sering dianggap “kurang penting” di platform media sosial.</p>
<p>Momen memetik ini juga menunjukkan bagaimana ruang media sosial seperti Twitter dapat menjadi “<a href="http://networkedpublics.org/">ruang publik yang saling berhubungan</a>”. Ini adalah ruang online yang dihasilkan oleh <em>engagement</em> pengguna dengan aturan dan cara mereka sendiri untuk muncul dan merespons dengan hal yang tidak selalu sesuai dengan aturan algoritme platform.</p>
<p>Momen memetik juga berfungsi sebagai batu loncatan untuk <a href="https://www.theguardian.com/us-news/2019/aug/05/feral-hogs-memes-twitter-30-50-running-into-my-yard-small-kids">diskusi lebih dalam</a> di berbagai bentuk media lainnya, yang menggarisbawahi kekuatan politik dan budaya meme.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/meme-soal-depresi-dapat-menjadi-cara-orang-menghadapi-penyakit-mental-132600">Meme soal depresi dapat menjadi cara orang menghadapi penyakit mental</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Belajar dari meme</h2>
<p>Bahaya media sosial dan internet mendapat banyak perhatian lebih luas , tetapi penting juga bagi kita untuk berfokus pada bagaimana media sosial dapat menghasilkan keterlibatan dan percakapan yang bermutu.</p>
<p>Media sosial tidak selamanya <em>toxic</em>. Dengan memeriksa secara empiris beberapa contoh saat media sosial berfungsi secara positif (seperti yang terjadi dalam penelitian kami), kita dapat menemukan cara potensial untuk merancang platform media sosial yang memperkuat <em>engagement</em> sosial yang positif.</p>
<p>Ini akan memerlukan perubahan pada cara pengaturan konten oleh algoritme, dan menyempurnakannya untuk membedakan antara <em>engagement</em> positif dan negatif dengan lebih baik. <a href="https://techcrunch.com/2021/10/06/twitter-intense-tweet-warning-prompt/">Twitter sudah mencoba</a> untuk melakukan ini.</p>
<p>Perubahan pada desain platform dapat memberikan jalan keluar dari upaya panjang yang tidak kunjung berhasil untuk memoderasi aspek media sosial yang merusak.</p>
<hr>
<p><em>Rachel Noorajavi menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/174120/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Meme viral yang bergerak cepat dapat menciptakan hubungan singkat yang berisiko rendah namun lucu dan sehat, di platform media sosial yang buruk.Naomi Smith, Lecturer in Sociology, Federation University AustraliaSimon Copland, PhD Student -- Sociology, Australian National UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.