tag:theconversation.com,2011:/us/topics/hak-perempuan-44689/articlesHak Perempuan – The Conversation2024-03-08T07:14:57Ztag:theconversation.com,2011:article/2190112024-03-08T07:14:57Z2024-03-08T07:14:57ZPunya anak atau tidak itu pilihan, namun perempuan masih menghadapi paksaan sosial untuk menjadi ibu<p>Bagi kamu yang berusia 20 atau 30-an dan sedang berada dalam hubungan jangka panjang, kemungkinan besar kamu pernah mendapat pertanyaan “kapan punya anak?”. Di banyak negara, termasuk Inggris dan Indonesia, masih ada ekspektasi sosial dari masyarakat bahwa perempuan pada akhirnya akan, bahkan harus, menjadi seorang ibu. </p>
<p>Banyak orang yang <a href="https://today.yougov.com/politics/articles/40911-does-society-pressure-men-and-women-have-children">memiliki anak</a> karena tekanan orang tua yang <a href="https://academic.oup.com/psychsocgerontology/article/75/10/2250/5601159">menantikan kehadiran cucu</a>. Menjadi orang tua tampaknya telah menjadi standar baku, seperti yang digambarkan di dalam film dan televisi, dan bahkan dalam rekomendasi kesehatan masyarakat. </p>
<p>Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2021 sempat membuat gempar, karena menyarankan agar semua perempuan usia subur menghindari alkohol <a href="https://www.independent.co.uk/life-style/women/who-alcohol-women-pregnancy-report-b1867960.html">jika ingin hamil</a>. </p>
<p>Asumsi dan tekanan ini makin menguat tergantung pada usia dan waktu. Di Inggris dan Wales, misalnya, <a href="https://www.ons.gov.uk/peoplepopulationandcommunity/birthsdeathsandmarriages/livebirths/bulletins/birthcharacteristicsinenglandandwales/2021">pada 2021</a>, usia rata-rata penduduk menjadi orang tua adalah 30,9 tahun untuk perempuan dan 33,7 tahun untuk laki-laki. </p>
<p>Bandingkan dengan <a href="https://www.ons.gov.uk/peoplepopulationandcommunity/birthsdeathsandmarriages/livebirths/bulletins/birthcharacteristicsinenglandandwales/2017#:%7E:text=Usia%20rata-rata%20pertama,%20atau%20kelahiran%20berikutnya%20pada%202017">angka tahun 2017</a> yaitu ketika usia rata-ratanya 28,8 tahun untuk perempuan dan 33,4 tahun untuk laki-laki. Meskipun rata-rata usia untuk menjadi orang tua meningkat, usia untuk menjadi ibu kini jauh lebih tinggi bagi perempuan. </p>
<p>Perempuan yang menjadi ibu di usia yang lebih tua kerap mendapatkan pandangan sosial yang berbeda. Mereka sering <a href="https://doi.org/10.1080/14680777.2012.678073">digambarkan sebagai orang yang egois</a> karena “memilih” menjadi ibu di usia yang lebih tua dan dianggap mempertaruhkan kesehatan bayi karena usianya tersebut. </p>
<p>Namun, bukti ilmiah menunjukkan bahwa menunda menjadi ibu tidak sesederhana itu. Perempuan menjadi ibu di usia <a href="https://doi.org/10.1177/0959353516639615">pertengahan 30-an</a> karena berbagai alasan. Beberapa di antaranya adalah membangun karier, tidak memiliki pasangan yang cocok, atau memang <a href="https://doi.org/10.1080/13698575.2013.827633">merasa tidak siap</a>.</p>
<p>Di sisi lain, ada juga stigma terhadap perempuan yang memiliki bayi pada usia yang “terlalu muda”. Stigma ini makin memburuk ketika sang ibu adalah seorang perempuan dari <a href="https://doi.org/10.1080/14680770701824779">kelas pekerja</a>.</p>
<h2>Kesenjangan pengasuhan anak berdasarkan gender</h2>
<p>Secara angka, umumnya laki-laki berusia lebih tua saat memiliki anak pertama. Laki-laki dapat terus menjadi ayah pada usia yang lebih tua daripada perempuan pada umumnya. Hanya saja mereka tidak menghadapi tekanan sosial atau “tenggat waktu” yang sama dengan perempuan dalam hal memiliki anak.</p>
<p>Kesenjangan gender ini berlanjut hingga menjadi orang tua. Tengoklah buku-buku tentang pengasuhan anak, narasinya mayoritas ditujukan untuk para ibu. </p>
<p>Bahkan, ketika ada gerakan menjadi “orang tua” yang setara secara gender, sebagian besar narasinya masih tetap <a href="https://doi.org/10.1177/0957926506063126">mengacu pada ibu saja</a>, bukannya pada ayah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam pengasuhan. Sementara itu, <a href="https://doi.org/10.1177/0957926500011002006">ayah</a> dipandang sebagai asisten paruh waktu yang “membantu” pengasuhan.</p>
<p>Mengasuh anak adalah pekerjaan sulit, memakan waktu, dan mahal. Budaya kerja di banyak negara tidak diatur untuk mendukung orang tua. Sering kali para ibu terpaksa mengurangi jam kerja mereka untuk mengambil alih pengasuhan anak <a href="https://www.jstor.org/stable/48656859">saat bayi lahir</a>. </p>
<p>Melalui <a href="http://www.palgrave.com/gb/book/9781137581563">penelitian</a>, saya menemukan media menggambarkan ayah yang tinggal di rumah (<em>stay-at-home fathers</em>) dipaksa untuk mengambil peran domestik karena tekanan ekonomi. Hal ini berbeda dengan apa yang dikatakan oleh para ayah yang menjadi pengasuh utama ini kepada saya—mereka melihat pengasuhan anak sebagai sebuah kemitraan yang setara. </p>
<p>Dalam kehidupan berkeluarga, sudah terjadi beberapa kemajuan menuju pengasuhan yang setara (termasuk antara <a href="https://doi.org/10.1146/annurev-devpsych-070220-122704">pasangan gay dan lesbian</a>). Namun, gagasan tentang ibu sebagai pengasuh utama tetap ada, dan itu berarti bahwa perempuan berusia 20-an dan 30-an masih menghadapi tekanan yang tidak semestinya tentang apakah (dan kapan) mereka harus mencoba untuk memiliki anak.</p>
<h2>Memilih untuk tidak memiliki anak</h2>
<p>Perempuan dan laki-laki harus dapat memilih jalan mereka sendiri apakah ingin menjadi orang tua atau tidak. Tentu saja, mengabaikan tekanan sosial lebih mudah diucapkan ketimbang dilakukan. </p>
<p>Ada beberapa bukti bahwa perempuan milenial dan generasi Z (Gen Z) cenderung memilih <a href="https://www.bbc.com/worklife/article/20230208-the-adults-celebrating-child-free-lives">tidak memiliki anak</a> (<em>childfree by choice</em>). Di Inggris, setengah dari total populasi perempuan tidak memiliki anak paling tidak hingga <a href="https://www.ons.gov.uk/peoplepopulationandcommunity/birthsdeathsandmarriages/conceptionandfertilityrates/bulletins/childbearingforwomenbornindifferentyearsenglandandwales/2020">usia 30 tahun</a>.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Pasangan muda tersenyum dan saling berpelukan sambil menggendong seekor anjing dachshund kecil." src="https://images.theconversation.com/files/559723/original/file-20231115-23-u0rfii.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/559723/original/file-20231115-23-u0rfii.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/559723/original/file-20231115-23-u0rfii.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/559723/original/file-20231115-23-u0rfii.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/559723/original/file-20231115-23-u0rfii.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/559723/original/file-20231115-23-u0rfii.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/559723/original/file-20231115-23-u0rfii.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Memilih tidak memiliki anak semakin populer dan diamini.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/happy-black-millennial-couple-hugging-standing-1354297076">fizkes/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Tentu saja hal ini memiliki implikasi sosial tersendiri. <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/15240657.2019.1559515">Penelitian Rebecca Harrington</a> menunjukkan bahwa perempuan yang memutuskan untuk tidak memiliki anak sering kali mendapat stigma. Mereka dianggap melawan konstruksi sosial bahwa “kodrat perempuan adalah sebagai pengasuh anak” dan seakan menghancurkan harapan sosial bahwa anak perempuan nantinya harus menjadi seorang ibu. </p>
<p><a href="https://doi.org/10.1080/02646839908404595">Pergeseran identitas</a> yang terjadi saat perempuan menjadi ibu dapat berdampak pada pertemanan, terutama antara orang tua dan relasi lainnya. Menjaga hubungan dengan orang lain bisa jadi sulit ketika harus mengelola tuntutan untuk merawat bayi yang masih kecil. Bagi teman yang tidak memiliki anak, kehadiran bayi <a href="https://www.thecut.com/article/adult-friendships-vs-kids.html">bukannya tanpa tantangan</a>.</p>
<p>Dengan segala kekurangannya, media sosial telah membantu mengubah arah diskusi. Pilihan untuk tidak memiliki anak menjadi lebih terlihat dan bahkan dirayakan melalui kampanye seperti <a href="https://www.instagram.com/wearechildfree_/">We Are Childfree</a>. Melihat komunitas <em>online</em> yang terdiri dari orang-orang yang berpikiran sama dengan pilihan hidup yang serupa dapat menunjukkan kepada kita bahwa menjadi orang tua bukanlah satu-satunya pilihan. </p>
<p>Langkah ini juga meyakinkan kita, terutama perempuan, bahwa kita tidak sendirian di jalan apa pun yang kita pilih.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/219011/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Abigail Locke tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Laki-laki dan perempuan menghadapi tekanan sosial yang berbeda dalam hal menjadi orang tua.Abigail Locke, Professor of Critical Social and Health Psychology, Keele UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2207802024-03-06T10:57:02Z2024-03-06T10:57:02ZSaatnya hilangkan stigma negatif pada perempuan yang menyusui di ruang publik<p>Pemberian ASI memberikan banyak manfaat, tidak hanya pada aspek kesehatan, tetapi juga aspek ekonomi. <a href="https://internationalbreastfeedingjournal.biomedcentral.com/articles/10.1186/s13006-020-00277-w">Studi</a> yang dilakukan di Spanyol menunjukkan bahwa setiap kenaikan satu poin persentase dalam tingkat pemberian ASI eksklusif, Sistem Kesehatan Nasional Spanyol dapat menghemat sebesar 5,6 juta euro atau setara Rp95 miliar. </p>
<p>Sayangnya, angka cakupan ASI eksklusif baik secara global maupun nasional belum cukup menggembirakan. <a href="https://www.who.int/indonesia/news/detail/03-08-2020-pekan-menyusui-dunia-unicef-dan-who-menyerukan-pemerintah-dan-pemangku-kepentingan-agar-mendukung-semua-ibu-menyusui-di-indonesia-selama-covid-19">Di Indonesia</a>, hanya satu dari dua bayi yang mendapatkan ASI eksklusif. </p>
<p>Ada sejumlah faktor penyebab belum maksimalnya angka cakupan ASI. Di Indonesia, salah satu faktor yang selama ini kurang mendapat perhatian adalah keterbatasan ruang menyusui di fasilitas publik maupun ruang-ruang perkantoran. </p>
<p>Kegiatan menyusui di ruang publik juga masih kerap <a href="https://theconversation.com/the-backwards-history-of-attitudes-toward-public-breastfeeding-54876">menuai perdebatan</a>. Hak perempuan untuk menyusui dan hak anak untuk mendapatkan ASI kemudian dibenturkan dengan norma-norma sosial seperti kesopanan dan ketabuan.</p>
<p>Memang, di satu sisi, perdebatan ini menandakan bahwa masyarakat semakin sadar akan pentingnya pemberian ASI untuk anak. Namun, di sisi lain, perdebatan semacam ini dapat membenturkan para perempuan atas pilihannya masing-masing. Ini kemudian memaksa perempuan memenuhi ekspektasi masyarakat.</p>
<p>Apa yang dapat dilakukan agar anak-anak tetap mendapatkan haknya, dan perempuan dapat menjalani pilihannya dengan leluasa? </p>
<h2>Perbanyak ruang menyusui</h2>
<p><a href="https://ejurnal.kependudukan.lipi.go.id/index.php/jki/article/view/40">Hasil studi</a> terkait keberadaan ruang menyusui di perkantoran di Jakarta menunjukkan sangat kurangnya ruang menyusui di tempat bekerja. Bahkan, memerah ASI pun dilakukan di toilet, yang sudah pasti tidak higienis.</p>
<p>Studi tersebut juga menemukan bagaimana ibu menyusui diolok-olok ketika sedang memerah ASI di meja kerjanya. Alih-alih memperoleh dukungan, ibu menyusui justru lebih sering mendapat komentar negatif dari rekan kerja. Padahal ia tak punya pilihan lain karena kantornya tidak menyediakan fasilitas ruang menyusui. </p>
<p>Menyusui maupun memerah ASI di ruang publik, belum sepenuhnya dianggap sebagai sesuatu yang positif, bahkan sebaliknya. Meskipun sang ibu menggunakan apron (kain penutup bagian leher sampai perut) untuk menutupi payudaranya, ibu tetap mendapatkan pandangan negatif. </p>
<p>Keterbatasan ruang menyusui yang ada di fasilitas publik serta anggapan negatif dalam menyusui di ruang publik sudah tentu berdampak pada pemberian ASI. Bagaimana cakupan ASI akan melampaui target yang telah ditetapkan, apabila ibu menyusui dihadapkan pada situasi serba salah seperti itu? </p>
<h2>Hilangkan stigma menyusui di ruang publik</h2>
<p>Secara kultural, menyusui menjadi hal yang tidak terpisahkan dari masyarakat Indonesia. Visualisasi ini misalnya diperlihatkan dalam Kartu Menuju Sehat (KMS) pada tahun 1980-an. KMS tersebut menampilkan foto seorang ibu yang tengah menyusui bayinya, tanpa sensor.</p>
<p>Berbagai penemuan benda prasejarah di Nusantara juga menunjukkan hal serupa. Misalnya, patung asli Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), berusia 14 abad bernama <a href="https://news.detik.com/berita/d-2715150/sang-penenun-patung-asli-flores-14-abad-ini-ada-di-museum-australia">Sang Penenun</a>. Patung tersebut berbentuk seorang ibu yang sedang menyusui anaknya. </p>
<p>Selain itu, ada juga beberapa arca ibu menyusui, seperti yang ditemukan di <a href="https://www.mongabay.co.id/2015/02/08/mampukah-pesona-situs-megalitik-di-lahat-bertahan-dari-kepungan-tambang/">situs Megalitik Pasemah, Kabupaten Lahat, Sumatra Selatan</a> dan di <a href="https://forumarkeologi.kemdikbud.go.id/index.php/fa/article/view/244/189">Pura Merantin, Nusa Penida, Bali</a>. Ini artinya, nenek moyang orang Indonesia sudah menganggap menyusui sebagai sebuah pengalaman reproduksi yang lumrah dibawa ke ruang publik.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/579085/original/file-20240301-24-gruasj.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/579085/original/file-20240301-24-gruasj.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/579085/original/file-20240301-24-gruasj.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/579085/original/file-20240301-24-gruasj.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/579085/original/file-20240301-24-gruasj.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/579085/original/file-20240301-24-gruasj.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/579085/original/file-20240301-24-gruasj.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Tampilan depan Kartu Menuju Sehat (KMS).</span>
</figcaption>
</figure>
<p>Namun belakangan, opini khalayak terpecah mengenai etis tidaknya menyusui di ruang publik. <a href="https://www.urbanjabar.com/hype/9211268496/denise-chariesta-kembali-dicibir-usai-konten-menyusuinya-dinilai-vulgar-warganet-cari-sensasi">Pada November 2023</a> misalnya, konten menyusui di kanal YouTube <em>influencer</em> Denise Chariesta dicibir karena dianggap tidak senonoh.</p>
<p>Pada Desember 2023, perdebatan juga sempat mewarnai media sosial X (dulunya Twitter), setelah seorang ibu dengan akun @Denald mengunggah pandangannya tentang keharusan masyarakat untuk menormalisasi menyusui di tempat umum.</p>
<p>Pro-kontra seputar menyusui di ruang publik tidak hanya terjadi di Indonesia. <a href="https://www.bbc.com/indonesia/dunia-37946858">Seorang ibu di Irlandia Utara,</a> misalnya, sempat dipersekusi saat menyusui anaknya di sebuah restoran. Selain itu, sebuah <a href="https://www.bbc.com/indonesia/majalah-40767431">foto Aliya Shagieva</a>, anak perempuan Presiden Kyrgyztan, yang sedang menyusui anaknya sempat memicu polemik di media sosial di negaranya.</p>
<p>Perdebatan mengenai menyusui di ruang publik tidak terlepas dari faktor sosial. Dalam norma sosial, tubuh perempuan ditempatkan sebagai objek seksual. Payudara hanya dilihat dalam kerangka fungsi seksualnya. Hal ini semakin kuat dengan adanya norma agama dan budaya, sehingga proses menyusui di ruang publik makin tidak bisa diterima. </p>
<p>Pandangan ini jelas berbenturan dengan anggapan bahwa menyusui merupakan proses alamiah untuk memberi makan pada bayi. </p>
<p>Terlepas dari perselisihan yang ada, bagaimana pun perempuan yang sedang menyusui hendaknya tidak mendapatkan stigma buruk. Reaksi-reaksi negatif dari sekitar yang diterima ibu ketika menyusui di ruang publik membuat ibu kapok menyusui di ruang publik, sehingga memilih untuk memberikan susu formula untuk bayinya. Bahkan lebih ekstremnya lagi, sampai <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/mcn.13407">memutuskan untuk berhenti menyusui</a>. </p>
<h2>Pentingnya pembenahan</h2>
<p>Setiap ibu memiliki preferensi masing-masing terkait di mana dan bagaimana ia akan menyusui, tanpa dibenturkan dengan pro-kontra dari lingkungannya.</p>
<p>Bagi ibu yang lebih nyaman menyusui di tempat tertutup, ruang laktasi bisa menjadi pilihan. Untuk memastikan kebutuhan mereka terpenuhi, pemerintah serta swasta harus turun tangan memastikan ketersediaan ruang laktasi yang mudah diakses.</p>
<p>Di lain pihak, ibu yang memilih untuk menyusui di ruang publik secara terbuka pun tidak boleh mendapatkan sentimen negatif.</p>
<p>Membuat masyarakat sadar untuk tidak menyerang ibu menyusui, misalnya dapat dilakukan oleh pemerintah dengan kampanye mengenai pentingnya ASI, atau kampanye yang mendukung pemberian ASI di ruang publik.</p>
<p>Selain itu, pemerintah juga perlu memberikan pendidikan seksualitas sedini mungkin. Pendidikan seksualitas akan membuat masyarakat di masa depan sadar untuk tidak memandang tubuh perempuan sebagai objek seksual.</p>
<p>Menyusui erat kaitannya dengan <a href="https://journal2.unusa.ac.id/index.php/JHS/article/view/483/435">kondisi psikologis sang ibu</a>. Yang terpenting adalah menciptakan ruang aman dan nyaman bagi ibu, agar proses menyusui dapat berjalan optimal.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/220780/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Perdebatan tentang menyusui di ruang publik telah membenturkan perempuan atas pilihannya masing-masing, dan memaksa perempuan memenuhi ekspektasi masyarakat.Wabilia Husnah, Peneliti, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)Angga Sisca Rahadian, Researcher, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2227482024-02-12T13:08:19Z2024-02-12T13:08:19ZApa yang gagal dilihat oleh ketiga capres-cawapres soal buruh perempuan?<p>Isu perburuhan dan perempuan belum menjadi diskursus serius bagi ketiga pasangan calon (paslon) dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Meski masing-masing paslon menawarkan visi dan misinya terkait buruh dan perempuan, masih ada ruang kosong yang perlu diisi untuk menjawab tantangan diskriminasi dan ketimpangan relasi ke depannya. </p>
<p>Paslon <a href="https://mmc.tirto.id/documents/2023/10/20/1241-amin-visi-misi-program.pdf">Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar</a>, misalnya, menawarkan apa yang mereka sebut sebagai “28 Simpul Kesejahteraan” bagi kelompok buruh dan perempuan. Agenda khusus dalam visi misi mereka ini menjanjikan sistem pengupahan yang adil, bantuan pangan, perlindungan sosial, program pelatihan dan beasiswa, perlindungan bagi buruh hingga pelibatan dalam proses perumusan kebijakan. </p>
<p>Pasangan ini juga menyatakan komitmennya dalam menjamin pemenuhan hak perempuan dari segi perlindungan terhadap tindak kekerasan, mulai dari proses pencegahan hingga rehabilitasi, implementasi cuti hamil dan melahirkan bagi ibu dan ayah, serta menyediakan fasilitas pengasuhan anak yang terjangkau dan ruang laktasi di ruang publik bagi ibu menyusui.</p>
<p>Paslon <a href="https://va.medcom.id/2023/pemilu/others/PRABOWOGIBRAN_VISI_MISI.pdf">Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka</a>, mencanangkan inklusivitas dan kesejahteraan buruh secara umum dari sisi penguatan sumber daya manusia (SDM), penegakan hak asasi manusia (HAM), pemerataan ekonomi, hingga reformasi hukum.</p>
<p>Mereka berkomitmen untuk menerapkan pemutusan kebijakan yang bersifat inklusif dan berperspektif gender serta memprioritaskan upaya pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, salah satunya dari segi penegakan hukum yang berlaku. Penguatan SDM dilakukan dengan memberikan bantuan pendidikan kepada anak-anak petani, nelayan, guru, hingga buruh untuk melanjutkan pendidikan dari jenjang S1 hingga S3. </p>
<p>Sementara itu, paslon <a href="https://visimisiganjarmahfud.id/assets/docs/Visi_Misi_Ganjar_Pranowo_dan_Mahfud_MD_031123.pdf">Ganjar Pranowo-Mahfud MD</a> menawarkan ide yang sedikit berbeda. Mereka menjanjikan kesejahteraan buruh dan perempuan melalui bantuan hunian dengan mekanisme pembayaran yang mudah dan murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, kesempatan dan perlindungan kerja bagi buruh, fasilitas pengasuhan anak yang terjangkau di sektor formal maupun informal hingga fasilitas cuti melahirkan bagi ibu dan suami dengan jaminan upah dan tunjangan tetap 100%. </p>
<p>Visi dan misi setiap paslon sejatinya telah mewadahi sebagian kebutuhan kelompok buruh, utamanya buruh perempuan. Lantas, apa yang kurang dari komitmen mereka?</p>
<h2>Masih ada kekosongan</h2>
<p><strong>Pertama</strong>, visi dan misi paslon Prabowo-Gibran tentang isu perburuhan dan perempuan baru sampai pada tahap normatif. Paslon ini baru pada tahap penggunaan terminologi inklusif dan berperspektif gender tanpa kepekaan untuk mewujudkannya dalam rumusan kebijakan yang konkret untuk membantu meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja perempuan.</p>
<p>Isu seperti <a href="https://www.ilo.org/global/topics/care-economy/WCMS_838653/lang--en/index.htm">fasilitas pengasuhan anak</a> maupun kebijakan cuti hamil dan melahirkan bagi ibu dan ayah masih luput dari perhatian. </p>
<p>Paslon ini juga belum mengelaborasi misi penegakan hukum untuk pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Hal yang patut menjadi perhatian adalah mekanisme penegakan hukum seperti apa yang akan dilakukan serta bagaimana memastikan bahwa hal tersebut dapat menjunjung aspek kesetaraan gender. </p>
<p><strong>Kedua</strong>, fasilitas pengasuhan anak yang ditawarkan Ganjar-Mahfud diproyeksikan akan menjangkau hingga ke level akar rumput, baik di sektor formal ataupun informal. Namun, paslon ini luput dalam meninjau kebutuhan lain yang tidak kalah penting bagi buruh perempuan, yaitu terkait <a href="https://internationalbreastfeedingjournal.biomedcentral.com/articles/10.1186/s13006-022-00499-0">ruang laktasi</a> yang nyaman di ruang kerja maupun ruang publik. </p>
<p><strong>Ketiga</strong>, fasilitas pengasuhan anak yang digagas oleh Anies-Muhaimin baru pada level <a href="https://news.detik.com/pemilu/d-7148366/anies-janjikan-daycare-di-kantor-dan-40-hari-cuti-melahirkan-bagi-suami">perkantoran dan perusahaan</a>. Fasilitas ini belum menjangkau buruh perempuan pada sektor informal, seperti buruh pertanian, kehutanan, dan perikanan yang <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2017/04/21/sektor-apa-yang-paling-banyak-serap-pekerja-wanita">lebih dari 30% pekerjanya</a> adalah buruh perempuan. </p>
<p>Tak hanya itu, ketiga paslon masih belum menjamin standar kualitas dan keterjangkauan fasilitas pengasuhan anak bagi kelompok miskin. </p>
<p>Sebelumnya, peraturan standar kualitas tempat pengasuhan anak telah diatur dalam <a href="https://repositori.kemdikbud.go.id/12860/1/Permendikbud%20No.%20137%20Tahun%202014%20-%20SN-PAUD.pdf">Permendikbud No 137/2004</a>, seperti standar ruangan yang aman dan bersih untuk anak, standar kompetensi staf dan rasio penjagaan staf terhadap anak, media belajar anak yang edukatif, hingga nutrisi yang diberikan. Sayangnya, peraturan ini telah dicabut dan tidak lagi berlaku secara hukum. </p>
<p><a href="https://kumparan.com/kumparannews/kpai-20-daycare-berkualitas-tak-baik-pemerintah-harus-turun-tangan-1sNDoSucXSs/1">Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)</a> mencatat sebanyak 20% tempat pengasuhan anak memiliki kualitas tidak baik dan 6% berada pada standar kualitas sangat tidak baik. Belum lagi, <a href="https://kumparan.com/kumparannews/riset-kpai-44-persen-daycare-di-9-provinsi-tak-berizin-1sNBIs25l7d/full">44%</a> tempat pengasuhan anak tidak memiliki izin yang sah secara hukum.</p>
<p>Implikasinya, keselamatan dan kesejahteraan anak-anak tidak terjamin, sehingga dapat mengganggu proses tumbuh kembangnya. Di samping itu, ketiadaan izin yang sah akan menyebabkan minimnya pengawasan dari pihak otoritas terhadap aktivitas tempat pengasuhan anak tersebut. </p>
<p>Tempat pengasuhan anak yang terjangkau seringkali memiliki standar kualitas yang rendah. Sementara, tempat pengasuhan anak yang berkualitas baik kerap dipatok dengan harga tinggi <a href="https://www.academia.edu/26451611/Social_Policy_and_Practices_of_Childcare_Services_in_Jakarta_An_Assessment">hingga bisa mencapai Rp3.000.000 per bulannya</a>. </p>
<p>Di luar itu semua, ketiga paslon belum memiliki gambaran terkait dengan mekanisme pelaporan apabila terjadi kasus kekerasan terhadap buruh perempuan. Adanya <a href="https://theprakarsa.org/pelanggaran-hak-buruh-perkebunan-sawit-studi-kasus-di-kalimantan-barat-dan-sulawesi-tengah/">subordinasi</a>–kondisi ketika satu gender dianggap lebih baik dibanding gender lainnya-menempatkan buruh perempuan pada posisi yang sangat rentan. </p>
<p>Akibatnya, penyelesaian kasus kekerasan terhadap buruh perempuan dan pelanggaran HAM lainnya masih belum berpihak kepada korban.</p>
<h2>Secercah harapan bagi buruh perempuan</h2>
<p>Terlepas dari kekurangannya, visi dan misi ketiga paslon menjadi secercah harapan bagi titik awal upaya perlindungan dan peningkatan kesejahteraan bagi kelompok buruh perempuan. Selama ini, regulasi yang mengatur dan menjamin kesejahteraan buruh perempuan di sektor informal masih belum optimal.</p>
<p>Ini penting mengingat banyaknya buruh perempuan yang bekerja pada sektor informal dengan risiko tinggi yang kerap terlewat dari upaya perlindungan dan pemenuhan hak.</p>
<p>Sebagai contoh, <a href="https://www.unicef.org/indonesia/media/4391/file">belum adanya regulasi</a> yang mewajibkan sektor perkebunan untuk menyediakan fasilitas pengasuhan anak menyebabkan <a href="https://www.unicef.org/indonesia/media/4391/file">buruh perempuan di sektor perkebunan sawit</a> tak memiliki akses terhadap fasilitas yang berkualitas dan terjangkau. </p>
<p>Akibatnya, mereka memilih untuk menitipkan anaknya kepada keluarga atau menyerahkan tanggung jawab sepenuhnya kepada anak pertamanya. Hal ini membuat pengawasan orangtua terhadap anak menjadi tidak ideal. <a href="https://theprakarsa.org/pelanggaran-hak-buruh-perkebunan-sawit-studi-kasus-di-kalimantan-barat-dan-sulawesi-tengah/">Penelitian</a> di Sulawesi Tenggara, misalnya, menemukan adanya kasus pelecehan terhadap anak yang disebabkan kurang optimalnya penjagaan anak akibat ketiadaan fasilitas tempat pengasuhann. </p>
<p>Ketimpangan relasi antara kelompok buruh dan pemberi kerja juga memperburuk kasus-kasus pelanggaran terhadap hak-hak buruh perempuan. </p>
<p>Sebagai contoh, <a href="https://theprakarsa.org/pelanggaran-hak-buruh-perkebunan-sawit-studi-kasus-di-kalimantan-barat-dan-sulawesi-tengah/">penelitian</a> yang dilakukan oleh <a href="https://theprakarsa.org/">The PRAKARSA</a> terhadap buruh perkebunan sawit di Kalimantan Barat dan Sulawesi Tengah menunjukkan masih banyak praktik-praktik pelanggaran.</p>
<p>Hal ini meliputi diskriminasi berbasis gender dari segi upah serta pemenuhan hak untuk mendapatkan cuti haid, kehamilan, melahirkan, dan hak untuk memberikan ASI yang layak. Belum lagi <a href="https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/06/16/buruh-perempuan-di-kebun-sawit-masih-rentan-alami-kekerasan-seksual">pelanggaran lainnya</a> yang masih menghantui buruh perempuan perkebunan sawit, seperti kurangnya akses terhadap perlindungan dan keselamatan kerja hingga kasus kekerasan di tempat kerja. </p>
<p>Pemimpin ke depannya harus menjadikan isu buruh perempuan dalam agenda pembangunan secara konkret, bukan hanya isu-isu politis. Mengingat, di ranah praktis, masih banyak buruh perempuan yang bekerja pada sektor berisiko tinggi yang berhak mendapat perlindungan dan pemenuhan kesejahteraan sebagai hak dasarnya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/222748/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Eka Afrina terafiliasi dengan The PRAKARSA</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Eksanti Amalia Kusuma Wardhani terafiliasi dengan The PRAKARSA. </span></em></p>Visi dan misi ketiga paslon menjadi secercah harapan bagi buruh perempuan, namun masih ada kekosongan dalam program yang mereka janjikan.Eka Afrina Djamhari, Peneliti Kebijakan Sosial, The PrakarsaEksanti Amalia Kusuma Wardhani, Junior Researcher, The PrakarsaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2152552023-10-10T08:32:07Z2023-10-10T08:32:07ZNobel Perdamaian: mengenal Narges Mohammadi dan perjuangan HAM ribuan perempuan di Iran<p>Narges Mohammadi, pejuang besar hak-hak perempuan Iran, dianugerahkan Nobel Perdamaian 2023 atas perjuangan panjangnya melawan penindasan terhadap perempuan di Iran.</p>
<p>Mohammadi sendiri saat ini tengah menjalani hukuman kurungan di penjara Evin di Teheran, ibu kota Iran, atas tuduhan menyebarkan propaganda melawan negara. Komite Nobel Norwegia <a href="https://www.nobelprize.org/prizes/peace/2023/press-release/">menghadiahkan nobel bergengsi tersebut</a> untuk “perjuangannya melawan penindasan perempuan di Iran dan untuk mempromosikan hak asasi manusia (HAM) dan kebebasan untuk semua”. </p>
<p>Penghargaan ini diberikan ketika para perempuan di seluruh penjuru Iran dan bahkan di seluruh dunia terus memprotes intimidasi yang terjadi setelah kematian <a href="https://theconversation.com/mahsa-amini-a-year-into-the-protest-movement-in-iran-this-is-whats-changed-212661">Mahsa Amini</a> di tangan “polisi moral” Iran, karena diduga melanggar aturan berpakaian perempuan di Republik Islam tersebut.</p>
<p>Komite mengatakan: “Moto yang diadopsi oleh para demonstran, ‘Kebebasan Hidup Perempuan”, dengan tepat mengekspresikan dedikasi dan karya Narges Mohammadi.“</p>
<p>Protes "Kebebasan Hidup Perempuan” (<em>Woman-Life-Freedom</em>) untuk menentang penindasan negara yang telah berlangsung begitu lama merupakan hal yang luar biasa. Namun, protes yang berlangsung selama setahun ini, gelombang terbaru dari beberapa dekade pertempuran yang dilakukan oleh para perempuan melawan otoritarianisme agama di Iran, tampaknya akan berubah menjadi pergeseran yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam “perang” melawan salah satu rezim yang paling represif dalam sejarah modern ini.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/the-protests-in-iran-are-part-of-a-long-history-of-womens-resistance-191551">The protests in Iran are part of a long history of women's resistance</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Setelah revolusi 1979 di Iran, para ulama Islam yang dipimpin oleh <a href="https://www.britannica.com/summary/Ruhollah-Khomeini">Ayatollah Ruhollah Khomeini</a> merebut kekuasaan pemerintahan. Rezim ini dengan cepat mengesahkan serangkaian undang-undang yang menindas <a href="https://www.jstor.org/stable/pdf/162994.pdf">ditujukan khusus untuk perempuan</a>. Namun, terlepas dari <a href="https://women.ncr-iran.org/2020/11/22/violence-against-women-in-iran/">kekerasan terhadap perempuan oleh rezim tersebut</a>, perempuan di Iran terus berada di garis depan dalam melawan penindasan.</p>
<p>Narges Mohammadi bergabung dalam perjuangan ini ketika masih menjadi mahasiswa pada awal tahun 1990-an. Setelah lulus dari jurusan fisika dan bekerja sebagai insinyur, ia mulai menyuarakan hak-hak perempuan dan menulis kolom di koran-koran reformis. </p>
<p>Mohammadi pertama kali ditangkap pada tahun 1998 akibat <a href="https://iliberty.org.uk/wp-content/uploads/2016/07/Narges-Mohammadi.pdf">kritiknya terhadap pemerintah Iran</a>. Pada tahun 2003, ia bekerja di Pusat Pembela HAM di Teheran, yang didirikan oleh Shirin Ebadi, pemenang Nobel perdamaian pada tahun itu sekaligus perempuan pertama dari dunia Islam yang <a href="https://www.nobelprize.org/prizes/peace/2003/ebadi/facts/">menerima penghargaan tersebut</a>.</p>
<p>Ia pernah ditangkap 13 kali dan dihukum lima kali sebelum akhirnya dijatuhi hukuman total <a href="https://www.nobelprize.org/prizes/peace/2023/press-release/">31 tahun penjara dan 154 kali cambukan</a>. Ia dipenjara di Teheran pada tahun 2022 ketika gelombang protes <em>Woman-Life-Freedom</em> mulai mendapatkan pengakuan global. </p>
<p>Mohammadi mengorganisir aksi solidaritas dengan sesama narapidana sehingga ia dihukum oleh otoritas penjara dan dilarang menerima pengunjung dan telepon. Meskipun demikian, ia berhasil menyelundupkan sebuah artikel yang ia tulis untuk <a href="https://www.nytimes.com/2023/09/16/opinion/narges-mohammadi-iran-women.html">New York Times</a>, yang terbit pada September 2023 dengan judul: “Semakin mereka mengurung kita, semakin kita kuat.”</p>
<h2>Suara perempuan bergema dalam protes</h2>
<p>Gerakan-gerakan yang dipimpin oleh perempuan sering kali efektif dalam memaksa perubahan demokratis. Banyak contohnya sepanjang sejarah dan terus berlanjut hingga saat ini. </p>
<p>Di Argentina dalam beberapa tahun terakhir, gerakan <em>#NiUnaMenos</em> (<em>Not One Less</em>, yang artinya “tidak boleh ada (perempuan) yang dibunuh”) oleh perempuan dan anak perempuan dalam <a href="https://www.opensocietyfoundations.org/voices/the-womens-movement-is-leading-reform-in-argentina">mencari keadilan atas rangkaian kejadian femisida</a> pada tahun 2019 langsung berujung pada pembentukan Kementerian Perempuan, Gender, dan Keberagaman yang baru oleh pemerintahan Presiden Alberto Fernández. Berkat kegigihan para perempuan Argentina dalam menyuarakan pendapat mereka, negara ini mulai menapaki jalan menuju perubahan. </p>
<p>Perempuan juga telah berperan penting dalam perjuangan HAM di Chili, baik sebelum maupun sesudah masa pemerintahan <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Military_dictatorship_of_Chile">diktator Pinochet</a>. Namun, gerakan feminis di Chili saat ini, yang juga sangat memperjuangkan hak-hak aborsi, sangat dipengaruhi oleh gerakan <em>#NiUnaMenos</em>. </p>
<p>Gerakan mereka membuahkan hasil, dengan dimasukannya perlindungan hukum untuk aborsi ke dalam konstitusi baru yang <a href="https://www.reuters.com/world/americas/chile-abortion-debate-gets-key-place-constitution-redraft-2022-03-16/">pada 2022</a> untuk menggantikan konstitusi yang sudah berumur puluhan tahun yang dibuat oleh rezim Pinochet.</p>
<p>Sebuah pemungutan suara telah menolak rancangan ulang konstitusi tersebut pada September 2022, tetapi perempuan terus berada di garis depan dalam perjuangan HAM <a href="https://www.reuters.com/world/americas/chile-voters-sour-right-wing-constitution-abortion-clause-stirs-debate-2023-10-06/">di tengah perdebatan yang terus berlanjut</a>.</p>
<h2>'Woman-Life-Freedom’</h2>
<p>Para perempuan Iran masih terus bergerak untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Satu tahun setelah munculnya gerakan <em>Woman-Life-Freedom</em>, masih belum dapat diprediksi apakah mereka akan berhasil menghadapi penindasan kejam dari kelompok ulama dan pendukung konservatifnya. </p>
<p>Namun, rasa tak terkalahkan rezim yang berkuasa serta marjinalisasi perempuan dari politik perlahan mulai berhasil diguncang. Bahkan ketika pihak keamanan mencoba menindak tegas para pengunjuk rasa, perjuangan melawan rezim patriarki akan terus berlanjut. </p>
<p>Bahkan jika protes tidak berujung pada runtuhnya rezim, suara-suara perempuan yang menuntut kebebasan berbicara, otonomi tubuh, dan keterlibatan politik mungkin dapat <a href="https://www.hrw.org/news/2023/06/26/unveiling-resistance-struggle-womens-rights-iran">mengubah lanskap sosial dan politik</a> di Iran. </p>
<p>Panel hadiah Nobel memberikan penghargaan kepada Narges Mohammadi atas kiprahnya selama lebih dari 30 tahun dalam memperjuangkan hak-hak perempuan Iran. Namun, panel tersebut juga <a href="https://www.nobelprize.org/prizes/peace/2023/press-release/">menjelaskan</a> bahwa penghargaan ini juga diperuntukkan bagi “ratusan ribu orang yang pada tahun sebelumnya telah berdemonstrasi menentang kebijakan rezim teokratis yang melakukan diskriminasi dan penindasan terhadap perempuan”.</p>
<p>Suara-suara perempuan kini menjadi ancaman serius bagi legitimasi teokrasi Iran. Orang-orang yang skeptis mungkin mengatakan bahwa di masa lalu, rezim ini selalu berhasil menggunakan kekerasan dan sensor untuk membungkam protes. </p>
<p>Namun gelombang protes baru ini telah bergema di seluruh dunia, meningkatkan profil perjuangan perempuan di jalan-jalan kota Iran dan mendorong perempuan di seluruh dunia untuk memperjuangkan hak-hak dan kebebasan mereka.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/215255/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Hind Elhinnawy tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Komite Nobel mengatakan bahwa Narges Mohammadi mewakili perjuangan ribuan wanita pemberani yang memperjuangkan hak-hak mereka.Hind Elhinnawy, Senior Lecturer, School of Social Sciences, Nottingham Trent UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2036672023-04-20T02:12:54Z2023-04-20T02:12:54ZMengapa perempuan Muslim mengenakan jilbab?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/520415/original/file-20230412-28-mah6y7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Bagi banyak perempuan Muslim, jilbab adalah sebuah perlawanan</span> <span class="attribution"><a class="source" href="http://www.apimages.com/metadata/Index/Sporty-Hijabs/aa0476173cbc4feeb301096b8c4ca73d/1/0">AP Photo/Robert F. Bukaty</a></span></figcaption></figure><p>Nazma Khan, yang berimigrasi ke Amerika Serikat dari Bangladesh pada usia 11 tahun, menghadapi rasa malu selama bertahun-tahun karena mengenakan jilbab di New York. </p>
<p>Maka, pada tahun 2013, ia mencetuskan Hari Hijab Sedunia - sebuah hari bagi perempuan Muslim dan non-Muslim untuk merasakan pengalaman mengenakan jilbab. </p>
<p>Dirayakan pada tanggal 1 Februari, hari ini merupakan ekspresi solidaritas dan dukungan untuk kebebasan beragama. </p>
<p>Sebagai <a href="https://scholar.google.com/citations?user=YjuF-z0AAAAJ&hl=en&oi=ao">seorang akademisi</a> dari <a href="https://www.sup.org/books/title/?id=8030">imigran Muslim</a>, saya juga telah lama memperjuangkan hak-hak perempuan untuk mengekspresikan diri mereka secara religius dalam memilih pakaian. Hijab bukan hanya tentang agama - perempuan mengenakannya untuk berbagai alasan yang dapat berubah, tergantung pada waktu dan konteks sosial.</p>
<h2>Apakah penutup kepala merupakan sebuah kewajiban dalam Islam?</h2>
<p>Tulisan-tulisan keagamaan Muslim tidak sepenuhnya jelas mengenai aturan tentang penutup kepala.</p>
<p>Berbagai ayat dalam Al-Quran, kitab suci umat Islam, dan Hadis, pernyataan yang dikaitkan dengan Nabi Muhammad, merujuk pada penutup kepala oleh istri-istri nabi. Namun <a href="https://yalebooks.yale.edu/book/9780300055832/women-and-gender-islam">para ulama tidak setuju</a> tentang apakah pernyataan-pernyataan ini hanya berlaku untuk istri-istri nabi atau untuk semua wanita Muslim. </p>
<p>Menurut beberapa orang, penutup kepala telah digunakan sebagai cara untuk <a href="http://www.iupress.indiana.edu/product_info.php?products_id=21306">mengekang hasrat seksual pria</a>. Namun, menutup kepala dan tubuh <a href="https://yalebooks.yale.edu/book/9780300055832/women-and-gender-islam">mendahului Islam</a>.
Wanita Yahudi, Kristen dan Hindu juga telah <a href="https://doi.org/10.1080/00263208908700787">menutupi kepala mereka</a> di berbagai waktu dalam sejarah dan di berbagai belahan dunia. </p>
<p>Tentu saja, jilbab <a href="https://www.sup.org/books/title/?id=5403">berkaitan dengan agama</a>. Banyak perempuan yang menutup kepala mereka dengan jilbab membicarakannya sebagai cara untuk menunjukkan <a href="https://anthrosource.onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1525/can.2001.16.2.202">ketundukan mereka kepada Tuhan</a> dan pengingat untuk berpegang teguh pada keyakinan Islam seperti bersikap jujur dan murah hati kepada mereka yang membutuhkan. </p>
<h2>Pakai jilbab untuk menegaskan identitas</h2>
<p>Namun, ada alasan lain untuk mengadopsi jilbab. </p>
<p><a href="https://yalebooks.yale.edu/book/9780300055832/women-and-gender-islam">Penjajah</a> Prancis dan Inggris mendorong perempuan Muslim untuk melepas penutup kepala dan meniru perempuan Eropa.
Akibatnya, di negara-negara Afrika Utara dan Timur Tengah, jilbab menjadi simbol identitas nasional dan penentangan terhadap Barat selama masa kemerdekaan dan gerakan <a href="https://www.cambridge.org/core/books/women-and-politics-in-iran/12BF17C0ABCB4F86A4F75A5193FF4AAC">nasionalis</a>. </p>
<p>Saat ini, beberapa wanita mengenakan jilbab untuk menunjukkan kebanggaan akan identitas etnis mereka. Hal ini terutama terjadi pada <a href="https://doi.org/10.1177/0891243203253541">imigran di Eropa</a> dan <a href="https://www.penguinrandomhouse.com/books/301068/how-does-it-feel-to-be-a-problem-by-moustafa-bayoumi/9780143115410/readers-guide/">Amerika Serikat</a> di mana telah terjadi peningkatan Islamofobia.</p>
<p>Dalam sebuah unggahan di Facebook untuk Hari Hijab Sedunia 2018 yang menjadi viral, seorang mahasiswi <em>Columbia College</em> di Amerika Serikat, Toqa Badran menulis,</p>
<blockquote>
<p>“Saya memakai jilbab ini karena ketika saya masih kecil saya disosialisasikan untuk merasa malu, bahkan malu dengan agama dan budaya saya. Saya diberitahu bahwa menjadi seorang Muslim berarti menjadi seorang teroris dan menjadi Muslim secara lahiriah berarti mendukung kekerasan dan penindasan… Saya mengerti bahwa saya tidak akan diterima selama saya mengenakan simbol-simbol warisan saya dan memilih untuk, dengan cara yang modern, merangkul nenek moyang saya.”</p>
</blockquote>
<p>Wanita Muslim <a href="https://global.oup.com/academic/product/muslims-in-america-9780195367560?cc=us&lang=en&">Afrika-Amerika</a> di Amerika Serikat terkadang mengenakan jilbab untuk menunjukkan afiliasi agama mereka. Mereka juga ingin menghilangkan anggapan bahwa semua orang Afrika-Amerika beragama Kristen, dan hanya <a href="https://www.racked.com/2017/5/1/15377034/blackness-hijab">orang yang berasal dari luar negeri</a> yang bisa menjadi Muslim. Faktanya, 13% Muslim dewasa di AS adalah <a href="http://www.pewforum.org/2017/07/26/demographic-portrait-of-muslim-americans/">orang Amerika berkulit hitam</a> yang lahir di negara tersebut.</p>
<h2>Berbagai alasan untuk mengenakan jilbab</h2>
<figure class="align-center ">
<img alt="Ilhan Omar menggunakan jilbab" src="https://images.theconversation.com/files/253737/original/file-20190114-43514-no4aq5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/253737/original/file-20190114-43514-no4aq5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/253737/original/file-20190114-43514-no4aq5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/253737/original/file-20190114-43514-no4aq5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/253737/original/file-20190114-43514-no4aq5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/253737/original/file-20190114-43514-no4aq5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/253737/original/file-20190114-43514-no4aq5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Anggota Kongres yang baru terpilih, Ilhan Omar, mengenakan jilbab.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="http://www.apimages.com/metadata/Index/New-Congress/d5208a077f2543f397a5e1ad48a940fb/4/0">AP Photo/Carolyn Kaster)</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Bagi banyak perempuan lain, jilbab telah menjadi alat perlawanan terhadap standar kecantikan feminin yang menuntut lebih banyak yang terbuka. Para pendukung pandangan ini berpendapat bahwa menanggalkan pakaian untuk kepentingan pandangan laki-laki <a href="https://www.researchgate.net/publication/282302709_Muslim_Women_in_America_and_Hijab_A_Study_of_Empowerment_Feminist_Identity_and_Body_Image">tidak sama dengan pembebasan</a>. </p>
<p>Menurut para peneliti, perempuan berhijab menyatakan bahwa para pemberi kerja harus berinteraksi dengan mereka berdasarkan kualifikasi mereka, bukan berdasarkan <a href="https://www.researchgate.net/publication/259906504_The_hijab_Boundary_work_and_identity_negotiations_among_immigrant_muslim_women_in_the_los_angeles_area">penampilan</a> mereka, dan oleh karena itu, jilbab memberikan kesetaraan di tempat kerja. Namun, di negara-negara Barat, perempuan merasa bahwa mengenakan penutup kepala membuat mereka lebih sulit untuk <a href="https://www.researchgate.net/publication/259906504_The_hijab_Boundary_work_and_identity_negotiations_among_immigrant_muslim_women_in_the_los_angeles_area">diterima bekerja</a>. </p>
<p>Akhirnya, bagi sebagian perempuan, jilbab adalah sebuah kenyamanan. Jilbab dapat mengurangi komentar dari orang lain tentang perempuan yang berada di tempat umum dan mengurangi insiden <a href="https://cup.columbia.edu/book/accommodating-protest/9780231072816">pelecehan di jalan dan di tempat kerja</a>.</p>
<p>Terlepas dari berbagai alasan yang rumit di balik penggunaan jilbab, ada beberapa orang yang secara rutin menyatakan bahwa perempuan yang mengenakan jilbab pasti <a href="https://www.researchgate.net/publication/282302709_Muslim_Women_in_America_and_Hijab_A_Study_of_Empowerment_Feminist_Identity_and_Body_Image">tertindas</a>.</p>
<p>Contoh-contoh perempuan berhijab di pemerintahan, seperti anggota Kongres yang baru terpilih, Ilhan Omar, atau atlet seperti atlet anggar Olimpiade, Ibtihaj Muhammad, dapat membantu menghilangkan stereotip ini.</p>
<hr>
<p><em>Demetrius Adyatma Pangestu dari Universitas Bina Nusantara menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/203667/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Caitlin Killian tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Jilbab bukan hanya tentang agama - para perempuan mengenakannya untuk berbagai alasan.Caitlin Killian, Professor of Sociology, Drew UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2015622023-03-10T11:59:06Z2023-03-10T11:59:06ZRibuan pelajar perempuan Iran diduga diracun: ranah baru dalam upaya pembungkaman hak pendidikan perempuan?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/514639/original/file-20230310-763-ak0c82.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span></figcaption></figure><p>Dunia internasional <a href="https://www.bbc.com/news/world-middle-east-64797957">semakin menyoroti</a> bertambahnya jumlah pelajar perempuan di Iran yang jatuh sakit selama beberapa bulan ke belakang, diduga akibat serangan kimia. Meski sumber-sumber menyebutkan angka yang berbeda-beda, per 7 Maret banyak laporan mencatat ada <a href="https://www.forbes.com/sites/ewelinaochab/2023/03/04/suspected-poison-attacks-on-girls-attending-schools-in-iran/?sh=21790691d7b3kb">lebih dari 1.000 kasus</a> keracunan. Ini terjadi di setidaknya 58 sekolah di 10 provinsi Iran.</p>
<p>Kasus-kasus paling awal dilaporkan di Kota Qom pada bulan November lalu. Jumlah kasusnya kemudian semakin bertambah, dengan <a href="https://www.bbc.com/news/world-middle-east-64816750">26 sekolah</a> melaporkan gelombang insiden keracunan hanya dalam seminggu ke belakang.</p>
<p>Para murid mengeluhkan gejala pernapasan, mual, pusing dan rasa lelah. Beberapa dari mereka sampai masuk rumah sakit. Para orang tua pun memutuskan merumahkan dulu anak perempuan mereka demi terhindar dari serangan-serangan ini.</p>
<p>Keresahan publik yang meningkat disertai perhatian dunia internasional membuat Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, <a href="https://www.aljazeera.com/news/2023/3/6/iran-supreme-leader-promises-punishment-for-schoolgirl-poisoning">secara publik mengutuk</a> serangan-serangan tersebut sebagai “kejahatan besar yang tidak bisa dimaafkan”. Ia menjanjikan investigasi dan hukuman secepatnya bagi mereka yang bertanggung jawab.</p>
<p>Hal ini menyusul pernyataan yang kontradiktif dari para pejabat pemerintah selama beberapa bulan ke belakang, <a href="https://www.iranintl.com/en/202303063539">penahanan seorang jurnalis</a> pada akhir pekan lalu yang menyelidiki isu tersebut, serta laporan akan <a href="https://edition.cnn.com/2023/03/06/middleeast/hfr-iran-suspected-poisoning-girls-schools-intl/index.html">penggunaan gas air mata</a> untuk membubarkan massa demonstrasi di Tehran pada Hari Minggu yang memprotes rangkaian serangan racun ini.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1632774287756075011"}"></div></p>
<p>Banyak pihak <a href="https://www.theguardian.com/global-development/2023/feb/27/iranian-authorities-investigate-the-poisoning-of-schoolgirls-said-to-be-revenge-for-hijab-protests">menganggap serangan-serangan ini</a> sebagai balasan terhadap gelombang protes yang tengah berlangsung di Iran sejak kematian Mahsa Amini pada bulan September. Berbagai pelajar, sebagian besar mahasiswa dan murid perempuan, ada <a href="https://www.iranintl.com/en/202211067462">di garda terdepan</a> dalam rangkaian demonstrasi tersebut.</p>
<p>Hingga 7 Maret, belum ada bukti langsung terkait siapa pelaku di balik insiden-insiden di atas, maupun metode serangannya. Salah satu kesulitan dan tantangan dalam membuktikannya adalah <a href="https://rsf.org/en/country/iran?utm_term=64058ea37afa4589b1bb08585f92b768&utm_campaign=FirstEdition&utm_source=esp&utm_medium=Email&CMP=firstedition_email">sangat terbatasnya kebebasan pers</a> di Iran. <a href="https://www.france24.com/en/asia-pacific/20230307-white-house-urges-un-to-investigate-iran-s-school-girls-poisoning">Dunia internasional</a> pun mendorong Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk turun tangan melakukan investigasi independen.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/iran-membara-sekali-lagi-perempuan-berada-di-barisan-terdepan-memperjuangkan-perubahan-transformatif-191424">Iran membara: Sekali lagi, perempuan berada di barisan terdepan memperjuangkan perubahan transformatif</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Ada beberapa pihak yang <a href="https://www.bbc.com/news/world-middle-east-64829798">mempertanyakan</a> apakah ini benar-benar serangan kimia. Mereka justru berspekulasi bahwa ini bukti adanya penyakit psikogenik (bersumber dari kondisi psikologis) yang terjadi secara massal.</p>
<p>Hal ini memang pernah terjadi sebelumnya – dalam suatu <a href="https://www.wsj.com/articles/iran-investigates-spate-of-alleged-poison-attacks-against-schoolgirls-d9fcbdf">investigasi dugaan peracunan murid perempuan di Afganistan</a> pada 2012-2016, PBB menyimpulkan bahwa penyebabnya kemungkinan besar adalah penyakit psikogenik massal, setelah mereka gagal menemukan jajak racun atau gas kimia.</p>
<p>Meski demikian, realitasnya adalah zat-zat beracun sangat cepat memudar, terutama nitrogen dioksida. <a href="https://www.wsj.com/articles/iran-investigates-spate-of-alleged-poison-attacks-against-schoolgirls-d9fcbdf5">Salah satu laporan pemerintah</a> di Iran mengindikasikan bahwa zat ini bisa jadi berperan dalam rangkaian insiden yang tengah berlangsung. Ada juga beberapa <a href="https://www.theguardian.com/world/2023/mar/06/what-do-we-know-suspected-poisonings-schoolgirls-iran">laporan saksi mata</a>, meski belum terkonfirmasi, yang melihat adanya objek-objek mencurigakan yang dilemparkan ke halaman-halaman sekolah.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/gW5PDU_niXY?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
</figure>
<h2>Ancaman global pendidikan perempuan</h2>
<p>Aasan lain mengapa peracunan yang disengaja terhadap para pelajar perempuan Iran ini kredibel adalah karakternya yang senada dengan tren global. Meski pendidikan, termasuk pendidikan perempuan, itu <a href="https://blogs.worldbank.org/arabvoices/iran-education-crises">cukup dihargai</a> di Iran, pelajar perempuan di seluruh dunia seringkali menjadi target serangan.</p>
<p>Suatu <a href="https://protectingeducation.org/publication/it-is-very-painful-to-talk-about-the-impact-of-attacks-on-education-on-women-and-girls/">laporan</a> dari Koalisi Global untuk Perlindungan Pendidikan dari Serangan meninjau serangan-serangan terhadap pendidikan perempuan selama 2014 hingga 2018 di daerah-daerah konflik dan instabilitas. Temuannya, pelajar maupun guru perempuan telah secara langsung menjadi sasaran serangan di setidaknya 18 negara. Ini termasuk Afganistan, Kamerun, Republik Afrika Tengah, Kolombia, Republik Demokratik Kongo, Mesir, India, Irak, Libia, Mali, Myanmar, Nigeria, Pakistan, Filipina, Sudan Selatan, Suriah, Venezuela, dan Yaman. </p>
<p>Pola dari serangan-serangan yang terjadi cukup luas dan beragam, termasuk <a href="https://www.aljazeera.com/news/2022/9/30/at-least-19-killed-in-kabul-blast-authorities">pengeboman sekolah perempuan</a> dan <a href="https://www.hrw.org/news/2017/10/16/girls-kidnapped-boko-haram-share-their-stories-un">penculikan murid perempuan</a>. Guru maupun pelajar pun telah diserang, baik itu dalam perjalanan menuju sekolah maupun ketika sudah sampai. Ada juga laporan terkait kekerasan seksual dan pernikahan paksa yang melibatkan murid maupun guru perempuan.</p>
<p>Salah satu kasus kekerasan terhadap perempuan yang paling terkenal adalah Malala Yousafzai yang ditembak di kepala pada tahun 2012 di Pakistan, karena dianggap “nekat” sekolah. Ada juga bentuk serangan yang tidak langsung, termasuk perombakan atau penutupan sekolah perempuan sehingga pendidikan bagi perempuan menjadi prioritas lebih rendah ketimbang pendidikan laki-laki. Selain itu ada pula ancaman-ancaman untuk membuat perempuan tetap di rumah, serta penerapan dan pemaksaan aturan berpakaian (<em>dress code</em>) yang membatasi perempuan.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/513921/original/file-20230307-22-qftdm4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/513921/original/file-20230307-22-qftdm4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/513921/original/file-20230307-22-qftdm4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/513921/original/file-20230307-22-qftdm4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/513921/original/file-20230307-22-qftdm4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/513921/original/file-20230307-22-qftdm4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/513921/original/file-20230307-22-qftdm4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Salah satu kasus kekerasan terhadap perempuan yang paling terkenal adalah penembakan terhadap Malala Yousafzai arena dianggap ‘nekat’ sekolah.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Nelson Antoine/AP/AAP</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Serangan terhadap sekolah telah mengingkat drastis dalam beberapa dekade terakhir. Tapi, <a href="https://protectedu.wpengine.com/wp-content/uploads/documents/documents_impact_of_attacks_on_education_nov_2019_exec_summary_lowres_webspreads.pdf">peningkatan serangan ini cukup tajam</a> pada sekolah yang dikhususkan untuk perempuan. Terlalu sering, serangan-serangan ini terjadi dengan impunitas.</p>
<h2>Dampak serangan terhadap pendidikan perempuan</h2>
<p>Bahkan, jika pun peracunan terhadap pelajar perempuan Iran belum menunjukkan bukti adanya dampak kesehatan serius, tetap ada efek psikologis jangka panjang ketika mereka menjadi target serangan sistematis dan berbasis gender, belum lagi konsekuensi fisik jangka panjang yang belum ketahuan.</p>
<p>Di samping dampak langsung terhadap hak setiap orang untuk mendapat pendidikan demi “<a href="https://www.ohchr.org/en/instruments-mechanisms/instruments/international-covenant-economic-social-and-cultural-rights#article-13">perkembangan penuh kepribadian manusia dan […] harkat martabat</a>”, serangan terhadap pendidikan punya efek yang mendalam dan bertahan lama pada para anak perempuan.</p>
<p>Anak perempuan yang hak pendidikannya dirampas menjadi lebih rentan terhadap pernikahan dini atau paksa, biasanya akibat otonomi seksual dan reproduksi yang makin terbatas. Ada juga peningkatan risiko kekerasan domestik dan kemiskinan. Serangan terhadap sekolah juga <a href="https://www.ohchr.org/sites/default/files/Documents/HRBodies/CEDAW/Report_attacks_on_girls_Feb2015.pdf">dilaporkan berkaitan</a> dengan meningkatnya kemungkinan mereka dipaksa masuk rekrutmen kelompok bersenjata dan menjadi korban perdagangan manusia atau seksual.</p>
<p>Lebih umum, pelanggaran hak pendidikan, dan diskriminasi gender sistemik berakibat pada anak dan perempuan dewasa punya lebih sedikit peluang untuk berpartisipasi secara bermakna dalam kehidupan politik, kebudayaan, dan sosial. Hal ini tidak hanya <a href="https://www.unicef.org/education/girls-education">mempengaruhi</a> anak perempuan atau perempuan dewasa secara individu, tapi juga masyarakat secara lebih luas.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/tidak-hanya-iran-indonesia-juga-masih-memanfaatkan-moralitas-untuk-mengontrol-tubuh-perempuan-191742">Tidak hanya Iran, Indonesia juga masih 'memanfaatkan' moralitas untuk mengontrol tubuh perempuan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Tidak ada solusi kilat</h2>
<p>Sayangnya, tidak ada solusi kilat untuk serangan terhadap pendidikan perempuan. Meski investigasi dan penuntutan terhadap para pelaku di Iran adalah langkah penting untuk menjamin akuntabilitas, ini tidak menyasar akar masalah.</p>
<p>Pendidikan perempuan yang kini tengah mengalami gempuran akan selalu jadi bagian dari diskriminasi meluas dan sistemik terhadap perempuan, serta sistem penindasan yang memperkuat perilaku berbasis stereotip terhadap anak perempuan dan perempuan dewasa.</p>
<p>Tapi, melindungi hak pendidikan mereka harus jadi poin kunci dari segala upaya menuju kesetaraan gender. Serangan-serangan yang mengerikan dan blak-blakan terhadap anak perempuan di sekolah, seperti di Iran, harus jadi lampu kuning perlunya perubahan segera.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/201562/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Shireen Daft tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Laporan-laporan terkini terkait peracunan lebih dari 1.000 pelajar perempuan di Iran tampaknya merupakan babak baru dalam upaya pembungkaman hak pendidikan perempuan.Shireen Daft, Lecturer, Macquarie Law School, Macquarie UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2003622023-03-01T02:32:04Z2023-03-01T02:32:04ZMasalah pakaian, ‘catcalling’, budaya patriarki: 3 faktor penghambat karier perempuan pegiat konservasi alam<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/511738/original/file-20230222-25-tz08fo.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Praktisi konservasi pemula (Lilis dan Elif) naik perahu kembali ke daratan utama setelah kegiatan pemantauan populasi kalong di Bualemo, Sulawesi Tengah.</span> </figcaption></figure><p><em>Artikel ini terbit untuk memperingati <a href="https://www.internationalwomensday.com/">Hari Perempuan Internasional</a> pada 8 Maret 2023.</em></p>
<p>Sektor konservasi alam masih <a href="https://conbio.onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/csp2.395">belum inklusif kepada perempuan</a>. Hal ini menghambat upaya mengatasi perubahan iklim dan penurunan biodiversitas (keanekaragaman hayati). </p>
<p>Padahal, <a href="https://www.ohchr.org/en/documents/reports/analytical-study-gender-responsive-climate-action-full-and-effective-enjoyment">keterlibatan perempuan</a> terbukti penting untuk memperkuat <a href="https://www.nature.org/en-us/about-us/who-we-are/our-science/how-women-contribute-to-conservation/">program pelestarian alam yang berkelanjutan</a>.</p>
<p>Sebagai peneliti yang terlibat dalam beberapa lembaga konservasi di Indonesia, saya melihat keterlibatan maupun kepemimpinan perempuan masih kurang karena berbagai hambatan.</p>
<p>Para pengambil kebijakan perlu menyadari hambatan ini serta mengatasinya untuk meningkatkan partisipasi dan kepemimpinan perempuan dalam konservasi biodiversitas.</p>
<h2>Tiga penghambat partisipasi perempuan</h2>
<p>Saya mengamati ada tiga hambatan perempuan untuk bergiat di sektor konservasi, mulai dari stigma, keamanan dalam bekerja, hingga kebijakan organisasi.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/511557/original/file-20230221-24-3rwx9q.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/511557/original/file-20230221-24-3rwx9q.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=390&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/511557/original/file-20230221-24-3rwx9q.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=390&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/511557/original/file-20230221-24-3rwx9q.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=390&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/511557/original/file-20230221-24-3rwx9q.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=490&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/511557/original/file-20230221-24-3rwx9q.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=490&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/511557/original/file-20230221-24-3rwx9q.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=490&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Penulis sedang mengecek koloni kelelawar di Sulawesi (kiri), dan pegiat konservasi Nuruliawati (kanan) sedang melakukan sensing di Sumatra sebagai bagian dari perencanaan wisata gajah yang memperhatikan prinsip kesejahteraan satwa.</span>
</figcaption>
</figure>
<p><strong>Hambatan pertama</strong> adalah adanya anggapan <a href="https://conbio.onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/csp2.36">perempuan tidak cocok memiliki pekerjaan dengan aktivitas yang berat</a> seperti di konservasi yang membutuhkan penelitian lapangan.</p>
<p>Pandangan yang beredar di masyarakat kita cenderung ‘memagari’ perempuan dalam bingkai pernikahan semata, di mana berkeluarga seolah-olah menjadi satu-satunya tujuan hidup.</p>
<p>Kalaupun bekerja, perempuan diharapkan berkegiatan yang membuatnya selalu di dalam ruangan. Ketika ingin beraktivitas di lapangan, perempuan kerap menghadapi hambatan struktural, misalnya: pengasuhan anak dan pengelolaan rumah tangga yang lebih dibebankan kepada perempuan. Akhirnya, perempuan pun ‘terpaksa’ memilih pekerjaan kantoran. </p>
<p>Anggapan dan ekspektasi sosial ini menyebabkan perempuan sulit membangun karier di bidang konservasi. </p>
<p>Perempuan menjadi salah satu kelompok dengan <a href="https://doi.org/10.21203/rs.3.rs-1132018/v1">risiko stres yang tinggi di sektor konservasi</a>. Perempuan lebih rentan tertekan secara mental akibat pertanyaan-pertanyaan yang menghakimi terkait status pernikahan dan berkeluarga, serta hal lain yang mungkin tidak sesuai dengan anggapan sosial.</p>
<p>Saya pun sering dicecar pertanyaan kenapa belum menikah. </p>
<p>Pertanyaan ini, sayangnya, kerap diajukan bukan untuk memahami pilihan saya, melainkan untuk menyalahkan keinginan saya bekerja di hutan untuk kegiatan konservasi. Saya dianggap tidak sukses karena belum menjadi pegawai negeri sipil, dan disarankan mengambil pekerjaan ‘feminin’ – misalnya di bank.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/perempuan-adat-krusial-bagi-hutan-tapi-jadi-korban-berlapis-krisis-iklim-195741">Perempuan adat krusial bagi hutan, tapi jadi korban berlapis krisis iklim</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p><strong>Hambatan kedua</strong> adalah risiko pelecehan seksual.</p>
<p>Keamanan pribadi menjadi perhatian utama bagi perempuan, apalagi ketika masyarakat kerap meminimalkan bahkan menormalkan pelecehan seksual.</p>
<p>Pekerjaan di sektor konservasi kerap mengharuskan pegiatnya untuk berkemah di hutan atau tinggal di tempat terpencil selama berpekan-pekan bahkan berbulan-bulan. Situasi ini membuat perempuan lebih rentan mengalami pelecehan seksual.</p>
<p>Pernah terjadi, saat saya berdua saja di mobil dengan supir setelah melakukan survei, pengemudi tersebut bertanya, “Mbak, tadi malam tidak pakai <em>bra</em> ya?”. </p>
<p>Saya tertegun. Rasa marah dan takut bercampur aduk. Saya merasa takut karena saat itu kami sedang melalui jalanan di tengah pegunungan. </p>
<p>Tak jarang beberapa orang mencoba menjodohkan saya dengan laki-laki lajang hingga yang sudah beristri. </p>
<p>Godaan (<em>catcalling</em>) maupun candaan yang bernada pelecehan juga menjadi makanan saya sehari-hari di lapangan. </p>
<p>Masalah yang saya alami merupakan gunung es dari <a href="https://conbio.onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/csp2.36">kerentanan perempuan di sektor konservasi.</a> Sebab, saya juga mendengar cerita senada dari kolega perempuan lainnya.</p>
<p>Tidak adanya ruang aman dan masih kentalnya budaya patriarki di struktur sosial, berisiko mengikis motivasi perempuan untuk terus berkarier di bidang konservasi.</p>
<p>Beberapa lembaga konservasi di Indonesia sudah memiliki kebijakan <em>safeguard</em> yang melek gender. Upaya perumusan strategi konservasi juga mulai inklusif terhadap perempuan seiring meningkatnya kesadaran gender. Walau demikian, kebijakan yang sama justru jarang terdengar untuk praktisi dan peneliti (staf) di internal lembaga konservasi. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/511615/original/file-20230222-29-i49d2i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/511615/original/file-20230222-29-i49d2i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/511615/original/file-20230222-29-i49d2i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/511615/original/file-20230222-29-i49d2i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/511615/original/file-20230222-29-i49d2i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/511615/original/file-20230222-29-i49d2i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/511615/original/file-20230222-29-i49d2i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Praktisi konservasi asli Sulawesi Tengah, Asnim Alyoihana Lanusi, yang berkiprah selama lebih dari 20 tahun di konservasi berbasis masyarakat. Asnim berkampanye soal kebanggaan satwa di Pulau Salibabu, Kepulauan Talaud, perbatasan utara Indonesia.</span>
</figcaption>
</figure>
<p><strong>Hambatan ketiga</strong> adalah kebijakan organisasi yang membatasi keterlibatan perempuan. </p>
<p>Di Indonesia, masih ada sejumlah organisasi yang menerapkan syarat gender tertentu yang menghalangi perempuan mengambil pekerjaan lapangan. Ini terjadi secara formal di lowongan pekerjaan yang mengutamakan laki-laki, maupun secara informal menugaskan perempuan di bagian administrasi dan laki-laki di lapangan. </p>
<p>Sekalipun bekerja di suatu lembaga konservasi, saya terkadang dianggap sebagai notulen semata dibandingkan peneliti utama dan pemimpin organisasi. Ada juga perempuan-perempuan lainnya yang diharapkan membuat kopi atau menyiapkan makanan di saat laki-laki yang dianggap lebih tahu berdiskusi mengenai isu-isu keanekaragaman hayati.</p>
<p>Pembatasan tersebut menjadi salah satu sebab mengapa <a href="https://conbio.onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/csp2.395">sektor konservasi masih didominasi laki-laki</a>.</p>
<p>Kondisi itu turut tercermin mulai dari jumlah peserta laki-laki di ruangan pertemuan, panel pembicara seminar (perempuan menjadi pembawa acara atau moderator), hingga di manajemen organisasi level atas yang sebagian besar diisi oleh laki-laki. </p>
<p>Dengan posisi dan tanggung jawab yang sama, laki-laki dapat dibayar lebih tinggi daripada perempuan. Laki-laki pun lebih sering diberikan posisi kepemimpinan daripada perempuan dengan kualifikasi yang sama.</p>
<h2>Perubahan organisasi dan solidaritas perempuan</h2>
<p>Sektor konservasi perlu berubah untuk menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif bagi perempuan. Kerentanan dan hambatan tidak seharusnya membenarkan rendahnya keterlibatan perempuan. Ini bukan masalah yang hanya diatasi oleh perempuan, melainkan pekerjaan bersama.</p>
<p>Pemahaman dan validasi tantangan yang dihadapi oleh perempuan di tingkat organisasi penting untuk menjadi langkah awal pembenahan.</p>
<p>Untuk membangun lingkungan yang inklusif, lembaga konservasi dapat mewajibkan pelatihan bias gender terhadap pekerja di konservasi, menghilangkan syarat spesifik gender dalam lowongan pekerjaan, serta mengembangkan protokol keamanan dan perlindungan staf perempuan (termasuk mekanisme khusus menangani pelecehan seksual). </p>
<p>Langkah lainnya adalah penyediaan infrastruktur yang dibutuhkan pekerja perempuan yang memiliki anak: ruang menyusui, tempat bermain anak, dan lainnya.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/riset-masih-ada-ketidaksetaraan-gender-dalam-program-pemberdayaan-masyarakat-pesisir-128934">Riset: masih ada ketidaksetaraan gender dalam program pemberdayaan masyarakat pesisir</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Para perempuan pun bisa melawan tantangan ini dengan bersolidaritas.</p>
<p><a href="https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fcosc.2022.1006437/full#B19">Studi terbaru saya</a> menjabarkan bahwa solidaritas antarperempuan dapat efektif meningkatkan keterlibatan perempuan di sektor konservasi. Upaya pendampingan langsung melalui skema <em>mentorship</em> (bimbingan) antarperempuan dapat menjadi pelecut semangat kaum hawa untuk bergelut dalam pelestarian keanekaragaman hayati.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/511737/original/file-20230222-24-zc2v88.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/511737/original/file-20230222-24-zc2v88.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/511737/original/file-20230222-24-zc2v88.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/511737/original/file-20230222-24-zc2v88.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/511737/original/file-20230222-24-zc2v88.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/511737/original/file-20230222-24-zc2v88.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/511737/original/file-20230222-24-zc2v88.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Lilis dan Elif, praktisi konservasi pemula sedang memasang jaring kabut untuk pemantauan kondisi kalong di Pulau Mantawalu Daka, Sulawesi Tengah.</span>
</figcaption>
</figure>
<p><em>Mentorship</em> dapat memberikan dukungan emosional yang dibutuhkan oleh praktisi pemula dalam mengatasi tantangan dan anggapan sosial yang sering dihadapi perempuan. Skema ini juga menyediakan langkah untuk membangun karier, meningkatkan kompetensi teknis, membangun jejaring, dan menjadikan pegiat ataupun peneliti konservasi lebih bersaing.</p>
<p>Akses internet dan penggunaan media sosial bisa menjadi sarana pendukung dengan meningkatkan visibilitas pencapaian perempuan.</p>
<p>Menyaksikan perempuan dapat menjadi pemimpin, menyadari perempuan memiliki ragam pilihan karier, bahkan sesederhana perempuan bisa ke hutan, bisa memotivasi perempuan generasi berikutnya untuk berani mengikuti langkah serupa. </p>
<p>Tengok saja Farwiza Farhan, pemimpin Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (HAkA) yang masuk <a href="https://time.com/collection/time100-next-2022/6213894/farwiza-farhan/">tokoh global berpengaruh versi TIME 100</a>; Asnim Alyoihana Lanusi, Direktur PROGRES –- organisasi lokal untuk perlindungan satwa Sulawesi; Marsya Christyanti Sibarani, Ketua Tambora Muda - jejaring pemuda pegiat konservasi Indonesia. Ada juga rentetan perempuan inspiratif lainnya yang tergabung di <a href="https://womensearthalliance.org/indonesia/">Women’s Earth Alliance</a>. </p>
<p>Peningkatan keterlibatan dan kepemimpinan perempuan di konservasi akan memicu dan mendorong pendekatan konservasi yang juga inklusif dan menyeluruh.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/200362/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Sheherazade tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Ada tiga hambatan perempuan untuk bergiat di sektor konservasi, mulai dari stigma, keamanan dalam bekerja, hingga kebijakan organisasi.Sheherazade, PhD student | Conservation scientist, University of California, BerkeleyLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1914242022-09-27T20:52:13Z2022-09-27T20:52:13ZIran membara: Sekali lagi, perempuan berada di barisan terdepan memperjuangkan perubahan transformatif<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/486705/original/file-20220927-17-70xwa5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=2%2C2%2C665%2C496&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Aksi protes di pusat kota Teheran, Iran, atas kematian seorang perempuan muda yang ditahan karena melanggar aturan konservatif negara tentang berpakaian.</span> <span class="attribution"><span class="source">(AP Photo)</span></span></figcaption></figure><p>Pada 16 September 2022, Mahsa Amini, perempuan berusia 22 tahun asal Iran, meninggal dunia di Teheran, Iran, saat berada dalam tahanan kepolisian setempat. Sebelumnya, Amini ditangkap oleh <em>Guidance Patrol</em>, “pasukan moral” Komando Penegakkan Hukum Republik Islam Iran yang mengawasi implementasi peraturan hijab. Saat itu ia <a href="https://www.cnn.com/2022/09/23/opinions/mahsa-amini-iran-protests-hair-women-nemat/index.html">dianggap tidak mengenakan hijab dengan benar</a>.</p>
<p>Berita kematian Amini kemudian disiarkan dan foto-foto dirinya dalam keadaan koma di rumah sakit tersebar di media sosial, menyulut kemarahan masyarakat Iran. </p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1571264656810905606"}"></div></p>
<p>Kematian Amini tidak hanya menggambarkan kekerasan sistematis polisi di Iran, tapi juga menampakkan brutalnya rezim yang tengah berkuasa terhadap perempuan dan kelompok minoritas. Amini merupakan seorang Kurdi, salah satu <a href="https://dckurd.org/2020/09/15/overlooked-by-the-inter/">kelompok etnis minoritas paling tertindas di Iran</a>. </p>
<p>Seluruh perempuan Iran yang merasa terus-menerus direndahkan karena gender mereka pastinya berempati dengan Amini. Namun, orang-orang Kurdi, terutama perempuannya, secara khusus dapat memahami makna politik di balik kematian Amini di tangan polisi dan cara negara merespon aksi-aksi protes yang terjadi.</p>
<p>Menyusul kematian Amini, rangkaian <a href="https://www.theguardian.com/global-development/2022/sep/23/how-iran-erupted-after-mahsa-amini-death-protests">demonstrasi besar-besaran</a> terjadi di 31 provinsi Iran. Ini termasuk Kurdistan dan Teheran, serta kota-kota seperti Rasht, Isfahan, dan Qom yang banyak <a href="https://www.theguardian.com/global-development/2022/sep/23/mahsa-amini-death-could-be-spark-broader-political-action-iran">dimukimi oleh kelompok-kelompok konservatif di Iran</a>.</p>
<p>Orang-orang turun ke jalan meneriakkan slogan-slogan yang menentang aturan wajib berhijab dan mengecam Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Khamenei. Puluhan orang <a href="https://bbc.in/3LFqH9N">telah meninggal dunia di tangan pasukan keamanan dan ratusan lainnya ditangkap</a>. Ini merupakan momen bersejarah di Iran.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Kerumunan besar dan mobil-mobil terlihat di jalan kota yang dipenuhi pepohonan dengan kepulan asap di beberapa tempat." src="https://images.theconversation.com/files/486507/original/file-20220926-27-3rh4qw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C3000%2C1998&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/486507/original/file-20220926-27-3rh4qw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/486507/original/file-20220926-27-3rh4qw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/486507/original/file-20220926-27-3rh4qw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/486507/original/file-20220926-27-3rh4qw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/486507/original/file-20220926-27-3rh4qw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/486507/original/file-20220926-27-3rh4qw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Pengunjuk rasa meneriakkan slogan-slogan dalam aksi protes atas kematian Mahsa Amini, yang ditahan oleh polisi moral di pusat kota Teheran, Iran, pada 21 September 2022. Foto ini diambil oleh individu yang tidak dipekerjakan oleh Associated Press dan diperoleh oleh AP di luar Iran.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(AP Photo)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Perempuan dalam revolusi</h2>
<p>Pemberontakan dengan skala seperti saat ini mungkin memang terlihat sebagai hal yang baru dan revolusioner. Namun, sebenarnya ini adalah bagian dari gerakan perlawanan perempuan Iran yang telah mengakar dan sudah berlangsung sejak lama.</p>
<p>Aturan hukum wajib berhijab mulai berlaku sejak tahun 1981, dua tahun <a href="https://www.brookings.edu/blog/order-from-chaos/2019/01/24/the-iranian-revolution-a-timeline-of-events/">setelah protes antirezim</a> yang memicu Revolusi Iran pada 1979. Aturan itu seakan menjadi hukuman bagi ratusan perempuan yang berpartisipasi dalam protes kala itu.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/iranian-women-risk-arrest-daughters-of-the-revolution-92880">Iranian women risk arrest: Daughters of the revolution</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Akibatnya, melepas hijab di depan umum <a href="https://www.radiofarda.com/a/29998175.html">dianggap perbuatan yang menantang pemerintah</a>.</p>
<p>Puluhan tahun kemudian, tepatnya pada 2017, seorang perempuan Iran bernama Vida Movahed menaiki sebuah podium di Jalan Enghelab, pusat kota Teheran, lalu <a href="https://iranhumanrights.org/2019/05/icon-of-irans-hijab-protest-movement-vida-movahedi-released-from-prison/">melepas hijabnya dan melambaikannya ke udara</a> sebagai tanda penolakan terhadap kewajiban berhijab.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1572001541472817153"}"></div></p>
<p>Aksinya itu kemudian diikuti oleh perempuan-perempuan lain, dan gerakan ini dengan cepat dikenal sebagai “Perempuan-Perempuan Jalan Revolusi” (<a href="https://www.nationalreview.com/2018/03/the-girls-of-revolution-street-waving-their-veils/"><em>The Girls of Revolution Street</em></a> atau <em>Dokhtaran e Khiaban e Enghelab</em>).</p>
<p>Gerakan tersebut menjadi simbol perlawanan para perempuan muda terhadap aturan wajib hijab Iran dan membuat <a href="https://en.radiofarda.com/a/iran-protest-against-hijab-veil/29011931.html">semakin banyak perempuan berani menentang negara dengan berpergian tanpa hijab</a>.</p>
<p>Kemenangan <a href="https://msmagazine.com/2021/06/18/iran-presidential-election-feminist-womens-rights/">Ebrahim Raisi, seorang Muslim garis keras, sebagai presiden pada pemilu 2020</a>, memberi pesan yang jelas: Perempuan akan semakin tertindas.</p>
<h2>Zan, Zendegi, Azadi: Perempuan, kehidupan, kebebasan</h2>
<p>Pemberontakan yang terjadi saat ini merupakan sebuah mata rantai dalam rangkaian protes lain yang berpotensi membawa perubahan besar di Iran, seperti halnya <a href="https://www.aljazeera.com/opinions/2013/6/12/what-happened-to-the-green-movement-in-iran">Gerakan Hijau (<em>Green Movement</em>) tahun 2009</a> yang pro-demokrasi, diikuti oleh beberapa <a href="https://www.nytimes.com/2022/09/24/world/middleeast/iran-protests-raisi-khamenei-hijab.html">pemberontakan besar pada 2018 dan 2019</a>. Sebagian besar aksi Gerakan Hijau dilaksanakan dengan damai, tetapi setiap terjadi represi oleh pasukan keamanan, pemberontakan menjadi semakin konfrontatif.</p>
<p>Perempuan telah mengambil peran dalam memimpin semua aksi protes tersebut. Ini menunjukkan tantangan nyata bagi rezim konservatif Iran. Perempuan menjadi pemimpin perubahan transformatif dan pelopor revolusi yang <a href="https://www.theguardian.com/global-development/2022/sep/23/mahsa-amini-death-could-be-spark-broader-political-action-iran">menantang legitimasi pemerintahan saat ini</a>.</p>
<p>Protes saat ini fokus pada dua tuntutan utama: martabat dan kebebasan. Keduanya belum menjadi bagian dari sistem politik di Iran selama ini, dan selalu hadir di hampir semua slogan selama pemberontakan ini, terutama “Perempuan, Kehidupan, Kebebasan.” Ini juga memperjelas bahwa tuntutan perubahan di Iran sangat kuat dan signifikan.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Seorang wanita memegang poster bertuliskan _Women, Life, Freedom_ pada pawai protes." src="https://images.theconversation.com/files/486525/original/file-20220926-25-diz3bl.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/486525/original/file-20220926-25-diz3bl.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=415&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/486525/original/file-20220926-25-diz3bl.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=415&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/486525/original/file-20220926-25-diz3bl.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=415&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/486525/original/file-20220926-25-diz3bl.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=522&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/486525/original/file-20220926-25-diz3bl.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=522&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/486525/original/file-20220926-25-diz3bl.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=522&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Anggota komunitas Iran dan pendukung mereka berkumpul dalam solidaritas dengan pengunjuk rasa di Iran di Ottawa, Kanada pada 25 September 2022.</span>
<span class="attribution"><span class="source">THE CANADIAN PRESS/Justin Tang</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Dalam setiap gelombang protes, tuntutan akan kebebasan semakin menguat, suara semakin keras, dan kesuksesan menjadi makin dekat. Sekali lagi, perempuan Iran berada di garis depan menuntut perubahan transformatif.</p>
<p>Dengan dukungan kuat dari laki-laki, kelompok politik dan etnis minoritas, serta kelompok lain yang kehilangan haknya saat ini, mereka memimpin negara menuju masyarakat yang lebih bebas dan lebih adil.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/191424/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Vrinda Narain merupakan Anggota Dewan dari sebuah organisasi penelitian, Women Living Under Muslim Laws.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Fatemeh Sadeghi tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Perempuan telah lama menuntut perubahan di Iran. Setelah kematian seorang perempan yang dianggap melanggar aturan hijab, pendemo perempuan memimpin Iran menuju masyarakat yang lebih bebas dan adil.Vrinda Narain, Associate Professor, Faculty of Law, Centre for Human Rights and Legal Pluralism; Max Bell School of Public Policy, McGill UniversityFatemeh Sadeghi, Research associate, Politics, UCLLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1434592020-08-05T07:04:31Z2020-08-05T07:04:31ZBuruh sawit perempuan dan laki-laki sama-sama bekerja dalam kondisi sulit, tapi berbeda nasib<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/350347/original/file-20200730-27-1wcs86k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.flickr.com/photos/cifor/36642500092/">Icaro Cooke Vieira/CIFOR</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Pekerja perempuan sangat berperan dalam perawatan kebun sawit, komoditas ekspor andalan Indonesia. Sayangnya, perlindungan pemerintah terhadap buruh sawit, khususnya buruh perempuan, masih minim hingga detik ini.</p>
<p>Koalisi Buruh Sawit mencatat dari 18 juta buruh perkebunan sawit, lebih dari setengahnya adalah buruh harian lepas dan <a href="https://www.infosawit.com/news/9740/koalisi-buruh-sawit--hilangkan-diskriminasi-buruh-perempuan-di-perkebunan-kelapa-sawit">sebagian besar</a> merupakan perempuan. </p>
<p>Berbagai lembaga <a href="http://sawitwatch.or.id/2020/04/01/siaran-pers-koalisi-buruh-sawit-untuk-hari-perempuan-internasional-hentikan-diskriminasi-terhadap-buruh-perempuan-di-perkebunan-sawit/">non-pemerintah</a> dan <a href="http://www.turc.or.id/wp-content/uploads/2018/07/Lembar-Fakta-Koalisi-Buruh-Sawit-Indonesia-2018.pdf">serikat buruh</a> telah lama mendengungkan isu ketidakadilan dan belum terpenuhinya hak-hak buruh perempuan, namun hingga kini belum terselesaikan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/di-tengah-pesatnya-industri-kelapa-sawit-di-indonesia-eksploitasi-buruh-anak-masih-terjadi-141611">Di tengah pesatnya industri kelapa sawit di Indonesia, eksploitasi buruh anak masih terjadi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Produsen sawit terbesar dunia</h2>
<p>Indonesia saat ini adalah produsen sawit <a href="https://apps.fas.usda.gov/newgainapi/api/report/downloadreportbyfilename?filename=Oilseeds%20and%20Products%20Annual_Jakarta_Indonesia_3-15-2019.pdf">terbesar dunia</a>.</p>
<p>Industri perkebunan di Indonesia telah berkembang pesat sejak 1990-an. Pada 2018, <a href="http://ditjenbun.pertanian.go.id/?publikasi=buku-publikasi-statistik-2018-2020">Kementerian Pertanian</a> mencatat bahwa dalam satu dekade luas perkebunan sawit berlipat dua menjadi sekitar 14 juta hektar.</p>
<p>Permintaan global akan minyak sawit pun terus meningkat dan berdampak pada peningkatan jumlah pekerja di perkebunan.</p>
<p>Pemerintah meyakini industri ini menjadi sektor yang menjanjikan dalam pembangunan karena mampu menyerap banyak tenaga kerja. </p>
<iframe style="height:1400px; width:100%; border: none;" src="https://databoks.katadata.co.id/datapublishembed/113955/perkebunan-sawit-mampu-menyerap-442-juta-tenaga-kerja" width="100%" height="400"></iframe>
<p>Walaupun pekerja laki-laki mendominasi industri ini, namun andil pekerja perempuan juga sangat penting. </p>
<p>Pekerja perempuan sangat berperan dalam perawatan kebun, di antaranya menebas gulma, menyemprot pestisida, memupuk dan memanen, mengangkut tandan buah segar, dan menyusun pelepah sawit yang jatuh dari pohon.</p>
<h2>Masalah yang dihadapi buruh perempuan</h2>
<p>Bekerja di perkebunan sawit bukan hal mudah karena membutuhkan tenaga fisik yang besar jika dibandingkan dengan bekerja di perkebunan lain. Selain itu, risiko terpapar bahan kimia berbahaya juga cenderung lebih tinggi. </p>
<p>Untuk mendapatkan kualitas minyak sawit yang optimal, tandan buah segar yang siap panen harus diolah dalam waktu 24 jam. </p>
<p>Buruh sawit perempuan ikut andil dalam proses memanen ini. Mereka harus mengangkat tandan buah sawit segar yang berat per buahnya mencapai 20 hingga 35 kilogram. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Tumpukan buah sawit dalam gerobak dorong." src="https://images.theconversation.com/files/350810/original/file-20200803-14-1ffvsn3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/350810/original/file-20200803-14-1ffvsn3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/350810/original/file-20200803-14-1ffvsn3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/350810/original/file-20200803-14-1ffvsn3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/350810/original/file-20200803-14-1ffvsn3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/350810/original/file-20200803-14-1ffvsn3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/350810/original/file-20200803-14-1ffvsn3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Tumpukan buah sawit dalam gerobak dorong.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.flickr.com/photos/cifor/36416997680/">Icaro Cooke Vieira/CIFOR</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Risiko kesehatan dan keselamatan kerja buruh sawit juga tinggi mengingat adanya kontak langsung dengan bahan kimia aktif dalam pupuk dan pestisida, serta keberadaan ular kobra di kebun sebagai predator hama tikus. </p>
<p>Kondisi kerja buruh laki-laki dan buruh perempuan di perkebunan sawit nyaris serupa. Mereka harus menghadapi kondisi topografi yang sulit serta tidak dilengkapi dengan peralatan kerja yang layak. </p>
<p>Meski kondisi dan kesempatan kerja sama, tapi nasib mereka jauh berbeda. </p>
<p>Menurut <a href="https://www.turc.or.id/menjawab-minimnya-partisipasi-perempuan-dalam-serikat-buruh-perkebunan-kelapa-sawit/">Trade Union Rights Centre</a>, lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada studi dan advokasi perburuhan, pekerja perempuan kerap mendapatkan perlakuan tidak adil; seperti diskriminasi dalam hal upah dan mengalami kekerasan seksual ketika bekerja.</p>
<p>Upah dan target pekerjaan yang mereka terima tidaklah sesuai. Bagi pekerja dengan status buruh harian lepas, upah hanya diberikan berdasarkan hari kerja. Jika mereka tidak masuk kerja, maka upah tidak diberikan. </p>
<p>Perempuan lebih banyak menjadi buruh harian lepas di perkebunan sawit dengan beberapa alasan. Salah satunya adalah tingginya tuntutan hasil panen dari perusahaan yang menyebabkan mereka di hari-hari tertentu harus membantu suami mereka dalam proses memanen sawit.</p>
<p>Perusahaan lebih suka mempekerjakan mereka sebagai buruh harian lepas karena buruh perempuan dianggap lebih murah dan perusahaan tidak perlu bertanggung jawab atas jaminan sosial mereka.</p>
<p>Padahal di sisi lain, perempuan memiliki tanggung jawab ganda: mencari nafkah dan mengurus keluarga. Hal ini menjadi dilema yang turut berkontribusi pada peran mereka di rumah tangga maupun sebagai buruh sawit. </p>
<p>Hak-hak normatif perempuan seperti cuti haid dan melahirkan juga belum dapat diakomodir sepenuhnya oleh perusahaan, terutama dengan status sebagai buruh harian lepas.</p>
<p>Para perempuan ini juga menghadapi beban lebih karena sistem bekerja yang tidak fleksibel, yang terkadang memaksa mereka harus memilih antara memenuhi kebutuhan keluarga atau mengurus rumah tangga. </p>
<p>Selain itu, tidak tersedianya fasilitas penitipan anak di tempat mereka bekerja serta tidak adanya fasilitas antar-jemput dari dan ke tempat kerja yang memadai, menjadi tantangan besar bagi perempuan ini. </p>
<p>Mereka harus menempuh jarak <a href="http://hari.or.id/news/2015/01/buruh-perkebunan-sawit-dan-kontroversi-sertifikasi-rspo/">puluhan kilometer</a> untuk mencapai perkebunan sawit. </p>
<p>Kondisi ini sangat diskriminatif dan bisa berujung pada pelanggaran hak asasi manusia.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/riset-baru-temukan-semua-produksi-minyak-nabati-mengancam-spesies-termasuk-minyak-kelapa-142680">Riset baru temukan semua produksi minyak nabati mengancam spesies termasuk minyak kelapa</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Dorongan masyarakat sipil</h2>
<p>Di dunia, inisiatif yang mengusung prinsip keberlanjutan (sustainability) di sektor sawit, seperti <em>Roundtable on Sustainable Palm Oil</em> (RSPO), telah memberikan perhatian terhadap aspek gender. </p>
<p><a href="https://www.rspo.org/files/resource_centre/keydoc/8%20id_RSPO%20Fact%20sheet.pdf">RSPO</a> adalah sebuah asosiasi nirlaba beranggotakan berbagai pemangku kepentingan di sektor industri sawit yang bertujuan untuk mengimplementasikan standar global untuk produksi minyak sawit berkelanjutan (<em>sustainable</em>). </p>
<p>Status “<em>sustainable</em>” diberikan melalui sertifikasi pabrik kelapa sawit (<em>palm oil mill</em>) yang telah mematuhi prinsip dan kriteria RSPO untuk produksi minyak sawit berkelanjutan, termasuk aspek gender. </p>
<p>Terkait aspek ini, perusahaan antara lain <a href="https://scroll.in/magazine/885136/no-country-for-women-the-dark-side-of-palm-oil-production-in-mizoram">wajib</a> memberikan upah yang setara; membentuk komite gender; dan menciptakan keamanan dan kelayakan tempat kerja agar tidak terjadi kekerasan dan diskriminasi berbasis gender. </p>
<p>Perusahaan juga harus membuat pelatihan yang mempertimbangkan kebutuhan spesifik gender; dan memberikan kesempatan yang sama bagi pekerja untuk mengikuti pelatihan dan berpartisipasi dalam memberikan suara dan mengambil keputusan. </p>
<p>Walau sebuah perusahaan bisa memiliki lebih dari satu pabrik, sertifikasi hanya berlaku pada satu pabrik; seiring waktu perusahaan harus mensertifikasi semua pabrik mereka.</p>
<p>Belum semua pabrik kelapa sawit di Indonesia memiliki sertifikat RSPO. Pada 2019, RSPO mencatat ada <a href="https://investor.id/business/78-juta-ton-cpo-indonesia-bersertifikasi-rspo">195</a> pabrik kelapa sawit bersertifikat di Indonesia. Pada 2015, ada total <a href="https://www.researchgate.net/publication/323505874_Processing_of_palm_oil_mill_wastes_based_on_zero_waste_technology#pf3">742</a> pabrik kelapa sawit di Indonesia.</p>
<h2>Kekosongan regulasi</h2>
<p>Namun, inisiatif seperti RSPO tidak akan efektif jika Indonesia sendiri tidak memiliki regulasi yang memadai untuk melindungi buruh perempuan.</p>
<p>Saat ini, RSPO sedang merencanakan untuk membuat panduan <em>“gender inclusivity”</em> (kebijakan yang tidak mendiskriminasi berbasis gender) bagi produsen sawit. </p>
<p>Rencana RSPO untuk mencapai <em>gender inclusivity</em> di ranah sawit tentu harus mengacu pada terhadap regulasi yang terlebih dahulu ada. </p>
<p>Indonesia telah memiliki inisiatif untuk membuat regulasi terkait pekerja perempuan di perkebunan sawit melalui <a href="https://www.komnasham.go.id/files/1475231474-uu-nomor-39-tahun-1999-tentang-%24H9FVDS.pdf">UU No. 39 tahun 1999</a> tentang hak asasi manusia dan UU No. 13 tahun 2003 tentang tenaga kerja.</p>
<p>Sayangnya, kedua UU ini <a href="https://www.infosawit.com/news/10087/regulasi-perlindungan-buruh-perkebunan-kelapa-sawit-masih-minim">belum maksimal</a> dalam melindungi buruh sawit perempuan.</p>
<p>Sehingga, suatu pabrik yang bersertifikasi RSPO belum tentu telah memenuhi hak-hak pekerja perempuan, karena adanya kekosongan regulasi dan belum adanya sistem pengawasan yang baik di Indonesia</p>
<p>Saat ini, perusahaan tidak dapat mengatasi permasalahan yang dialami buruh karena <a href="http://sawitwatch.or.id/2018/04/17/undang-undang-ketenagakerjaan-belum-melindungi-buruh-perkebunan-sawit/">belum adanya peraturan khusus</a> menyangkut buruh perkebunan sawit. </p>
<p>Undang-undang (UU) tenaga kerja yang ada saat ini, yaitu <a href="https://www.ilo.org/dyn/natlex/docs/ELECTRONIC/64764/71554/F1102622842/IDN64764.pdf">UU No. 13 tahun 2003</a>, lebih cocok diterapkan untuk buruh di sektor manufaktur. </p>
<p>Padahal karakter dan kondisi kerja buruh perkebunan khususnya sawit sangat berbeda. </p>
<p>Contohnya dalam <a href="https://www.merdeka.com/uang/upah-murah-dan-tanpa-uang-lembur-potret-kelam-buruh-sawit-tanah-air.html">penetapan upah</a>. </p>
<p>Berdasarkan undang-undang, upah minimum mengacu pada <a href="http://luk.tsipil.ugm.ac.id/atur/tk/Permennakertrans13-2012KebutuhanHidupLayak.pdf">kebutuhan hidup layak (KHL)</a> yang ditetapkan lewat standar kebutuhan pekerja lajang untuk hidup layak dalam satu bulan dengan 3.000 kilo kalori per hari. </p>
<p>Penetapan ini <a href="https://www.medcom.id/nasional/metro/5b2Vjl6b-di-balik-upah-murah-buruh-sawit-indonesia">tidak sebanding</a> dengan jumlah kalori yang diperlukan oleh buruh untuk bekerja di perkebunan sawit. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Buruh perempuan menabur pupuk di kebun sawit." src="https://images.theconversation.com/files/350353/original/file-20200730-23-1voqttc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/350353/original/file-20200730-23-1voqttc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/350353/original/file-20200730-23-1voqttc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/350353/original/file-20200730-23-1voqttc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/350353/original/file-20200730-23-1voqttc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/350353/original/file-20200730-23-1voqttc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/350353/original/file-20200730-23-1voqttc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Buruh perempuan menabur pupuk di kebun sawit.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.flickr.com/photos/cifor/35978787324/">Icaro Cooke Vieira/CIFOR</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/upaya-kerja-sama-internasional-untuk-tuntaskan-kasus-pelanggaran-ham-akibat-kebakaran-hutan-136687">Upaya kerja sama internasional untuk tuntaskan kasus pelanggaran HAM akibat kebakaran hutan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Apa yang harus dilakukan?</h2>
<p>Kekosongan regulasi bagi buruh sawit menandakan perhatian pemerintah di sektor ini masih sedikit, terutama yang terkait pada buruh perempuan. </p>
<p>Lebih lanjut, pemangku kepentingan di perusahaan belum sepenuhnya sadar akan pentingnya komitmen terhadap kesetaraan dan keadilan gender.</p>
<p>Kebijakan dan operasional perusahaan perkebunan sawit belum mempertimbangkan hak-hak pekerja perempuan ini, misalnya dengan menyediakan alat pelindung diri yang sesuai dengan anatomi dan fisiologis tubuh perempuan, memberikan ruang menyusui di tempat kerja, dan fasilitas kesehatan pendukung lainnya. </p>
<p>Apa yang harus berubah?</p>
<p><strong>Pertama</strong>, regulasi dalam sawit harus mengakomodasi masalah-masalah lintas sektor yang bisa menghubungkan semua faktor penting. </p>
<p>Regulasi tidak hanya mempertimbangkan kondisi lingkungan, tapi juga hak-hak pekerja perempuan. </p>
<p><strong>Kedua</strong>, perlu ada aturan yang mengakui keberadaan dan peran buruh perempuan sehingga tercipta keadilan dalam hal upah dan juga perlindungan keamanan. </p>
<p>Dengan membayar upah buruh perempuan secara adil, maka artinya perusahaan dan juga pemerintah sebagai pembuat kebijakan menghormati hak-hak mereka.</p>
<p><strong>Ketiga</strong>, perlu ada aturan yang memastikan bahwa buruh sawit perempuan terlibat dan ikut berpartisipasi dalam setiap proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pekerjaan mereka, baik di ranah domestik (mengurus rumah tangga) maupun ranah non-domestik (yang berkaitan langsung dengan sumber penghidupan mereka sebagai buruh sawit).</p>
<hr>
<p><em>Agradhira Nandi Wardhana berkontribusi dalam penerbitan artikel ini.</em> </p>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/143459/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Perlindungan pemerintah terhadap buruh sawit perempuan masih minim hingga detik ini.Andini Desita Ekaputri (Sita), Kandidat PhD, University of HawaiiLengga Pradipta, Researcher, Indonesian Institute of Sciences (LIPI)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1285252019-12-22T04:57:56Z2019-12-22T04:57:56ZRiset: 5 cara mengatasi bias gender di pondok pesantren<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/307385/original/file-20191217-58353-oqnekg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.flickr.com/photos/bentengnkri/27374558356/in/photolist-HGZLu5-fpBnf3-kFxFdL-fpAtyW-fpBAgd-fpmxFv-fpkQFV-fpmFGX-fpnU6Z-9RZM28-9TFuHk-pgxhmT-9TFvdt-9TJjnQ-9TJjz1-9TFuY2-9aNhxF-S3Gda6-2gRN7cm-2fJztww-dm9s2D-anmJm4-anmJkM-anmJkD-anmJkX-anmJkT-24nq2yT-9PzP99-2eU7BYo-2fJztBS-Rdn5TQ-4xVxcH-9PzNTo-2dstHG8-2aFTGZJ-2fPcu7x-2g6YEMA-9TJjQ5-fpnwAc-dewgaF-kFxsUs-9aNhyn-9aNhxv-kFw8zM-rYeJmt-kFvULF-kFvWQR-kFvrTV-kFvud4-kFxDoy">Flickr</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p><em>Artikel ini bagian dari rangkaian untuk memperingati Hari Ibu di Indonesia atau Hari Perempuan pada 22 Desember</em></p>
<hr>
<p>Berbagai lembaga dan organisasi yang bergerak dalam penguatan perempuan seperti <a href="https://www.nu.or.id/post/read/64377/alimat-wujudkan-kesetaraan-dan-perlindungan-keluarga-indonesia">Rahima, Alimat, Fatayat dan Fahmina Institute</a> telah melakukan advokasi mengenai kesetaraan gender ke berbagai pondok pesantren di Indonesia. Namun, pondok pesantren masih “tertinggal” dalam hal kesetaraan gender. </p>
<p>Zamakhsyari Dhofier, rektor Universitas Sains Al-Quran, Wonosobo, Jawa Tengah, <a href="https://books.google.co.id/books/about/Tradisi_pesantren.html?id=cFEJAQAAIAAJ&redir_esc=y">mengatakan</a> bahwa pesantren mampu menjadi motor penggerak dalam bidang pendidikan, politik, ekonomi, sosial dan budaya. </p>
<p>Sayangnya, di pesantren, kesetaraan gender masih dipahami sebagai nilai baru yang disuarakan oleh dunia Barat, bahkan dikhawatirkan dapat merusak tradisi yang telah mapan. Marhumah, Guru Besar ilmu hadis di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, <a href="http://digilib.uin-suka.ac.id/16739/">menemukan</a> bahwa pesantren masih cenderung menyebarkan ketidakadilan gender dalam pengajaran dan pendidikannya.</p>
<p>Saya melakukan kajian pustaka dengan menggunakan pendekatan feminis dan analisis gender dalam Islam dan menemukan bahwa banyak pondok pesantren yang belum sensitif gender. Penelitian ini dilakukan di tahun 2016 di pondok pesantren tradisional (salaf) di Sumenep, Madura.</p>
<p>Hasil penelitian yang diterbitkan di <a href="http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/psga/article/view/12812">Jurnal Harkat</a> pada 2018 ini menyarankan setidaknya lima strategi yang bisa dilakukan untuk merancang ulang kurikulum pengajaran berperspektif gender di pondok pesantren. </p>
<p>Kurikulum yang baru tersebut diharap bisa mewujudkan pengarusutamaan gender atau <em>gender mainstreaming</em> dalam pendidikan pesantren.</p>
<p>Penting bagi pondok pesantren untuk mewujudkan pendidikan yang mendorong kesetaraan gender karena pondok pesantren merupakan basis pengembangan ilmu-ilmu keislaman klasik dan modern yang berfungsi sebagai agen perubahan dalam pemberdayaan dan pengembangan umat. </p>
<p>Di Indonesia terdapat lebih dari 26.000 pondok pesantren dengan sekitar 1.4 juta santri bermukim di pondok pesantren dan 1.2 juta santri yang tidak bermukim di pondok pesantren, menurut <a href="https://ditpdpontren.kemenag.go.id/pdpp/statistik">data dari Kementerian Agama.</a></p>
<h2>Temuan bias gender di pesantren</h2>
<p>Pesantren masih cenderung menyebarkan ketidakadilan gender dalam pengajaran dan pendidikannya karena kuatnya dominasi peran tokoh sentral pesantren yaitu kyai dan nyai dalam mensosialisasikan nilai-nilai dan ajaran yang bias gender.</p>
<p>Metode pengajaran dalam pondok pesantren cenderung <em>top-down</em> dan minim ruang dialog atau tanya jawab. </p>
<p>Selain itu, kitab kuning, rujukan utama untuk bahan ajar di pesantren tradisional (salaf), cenderung bias gender. Kitab kuning merujuk pada kitab-kitab tradisional yang berisi pelajaran-pelajaran agama yang diajarkan di pesantren, termasuk fiqih, aqidah, tasawuf, tata bahasa arab, hadits, tafsir, dan ilmu sosial dan kemasyarakatan. Kertas kitab tersebut berwarna kuning karena dianggap lebih mudah dibaca ketika dahulu penerangan masih terbatas. </p>
<p>Materi kitab yang berkaitan tentang hak dan kewajiban suami istri mengisyaratkan keberpihakan nyata kepada laki-laki dan ketidakseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri. </p>
<p>Misalnya, dalam kitab kuning terdapat pembahasan tentang perkawinan (munakahat) yang merujuk pada teks surat An-Nisa’ ayat 3: “Maka nikahilah perempuan-perempuan yang kamu senangi dua, tiga atau empat” dan pada riwayat hidup Nabi Muhammad SAW yang memiliki sembilan istri. </p>
<p>Berdasarkan argumentasi tersebut, ulama pengarang kitab kuning “memperbolehkan” laki-laki memiliki istri lebih dari satu dan memberi janji surga bagi perempuan yang mau dimadu. </p>
<p>Pembacaan mengenai pernikahan dalam kitab kuning tersebut menafikkan realitas bahwa dalam poligami ada perasaan perempuan yang tersakiti, ada ketidakdilan nafkah lahir dan batin antara istri satu dengan yang lain dan kecemburuan sosial antara anak dari istri pertama dan kesekian. Realitas kehidupan perempuan dalam poligami tidak hadir dalam pembahasan kitab kuning. </p>
<p>Pada perkembangannya kemudian, kajian fiqih yang mengutamakan laki-laki dan memarginalkan perempuan menjadikan kajian keislaman terkesan membenci perempuan atau misoginis. </p>
<p>Fenomena ini bisa dijelaskan dengan konsep maskulinisasi epistemologi pengetahuan yang dikembangkan filsuf feminist asal Amerika Serikat, <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/j.1527-2001.1988.tb00198.x">Sandra Harding</a>. Konsep ini menjelaskan fenomena pengetahuan keagamaan yang diskriminatif terhadap perempuan.</p>
<p>Dalam maskulinisasi epistemologi pengetahuan, laki-laki yang memiliki kuasa atas reproduksi pengetahuan keagamaan. Itu menjelaskan mengapa seorang kyai bisa berceramah di atas mimbar dan menggunakan teks-teks agama yang berkesan membenci perempuan dan bias gender, contohnya dalam pembahasan poligami yang hanya melihat perempuan sebagai objek seksual. </p>
<h2>Yang bisa dilakukan</h2>
<p>Meski ada <a href="https://luk.staff.ugm.ac.id/atur/Permendiknas84-2008PengarusutamaanGender.pdf">Peraturan Menteri yang mengatur pengarusutamaan gender di bidang pendidikan</a> termasuk lembaga pendidikan Islam, konsep pengarusutamaan gender secara khusus ke dalam pendidikan jenjang pesantren yang fokus objeknya adalah santri saat ini belum ditemukan. </p>
<p>Untuk mengatasi masalah ini, kita bisa memulai dengan melakukan interpretasi teks dengan metode penafsiran (<em>hermeneutika</em>) teks alquran dan hadis yang sesuai dengan kebutuhan persoalan hidup perempuan–mendobrak maskulinisasi epistomologi pengetahuan yang terjadi saat ini. </p>
<p>Tafsir hermeneutika tentang poligami telah dilakukan oleh <a href="https://www.researchgate.net/publication/315810860_Nasr_Hamid_Abu_Zayd_as_a_Modern_Muslim_Thinker">Nasr Hamid Abu Zayd</a>, pemikir Islam modern asal Mesir, dalam bukunya Dawa'irul Khauf. Teks ayat poligami mengandung kekhawatiran kepada anak yatim karena banyaknya para sahabat yang wafat ketika perang di zaman nabi Muhammad. Dengan melihat struktur kebahasaan (teks dalam al-Qur'an), Nasr melihat bahwa perintah poligami bersifat temporal (mu'aqqad), tidak bermuatan perintah (tasyri’) dan tidak untuk selamanya (da'im). </p>
<p>Di Indonesia, reinterpertasi teks hukum Islam telah dilakukan oleh para ahli seperti <a href="https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/17/11/19/oznflw396-kang-husein-muhammad-kiai-feminis">Kyai Husein Muhammad</a>, <a href="https://beritagar.id/artikel/figur/apa-yang-anda-cari-ibu-musdah-mulia">Siti Musdah Mulia</a>, <a href="https://elsam.or.id/team/lies-marcoes-m-a/">Lies Marcoes</a>, <a href="https://theconversation.com/profiles/nur-rofiah-383103">Nur Rofiah</a>, <a href="https://beritagar.id/artikel/bincang/badriyah-fayumi-kami-tidak-melawan-ulama-laki-laki">Badriyah Fayumi</a>, dan <a href="http://nurcholishmadjid.org/assets/pdf/pengaruh/Percakapan-dengan-Faqihuddin-Abdul-Kodir.pdf">Faqihuddin Abdul Qadir</a>. </p>
<p>Kyai Husein Muhammad sebagai ahli kitab kuning telah melakukan revisi kajian hukum Islam, misalnya dalam isu perkawinan dan poligami, di kalangan pondok pesantren. Revisi kajian hukum Islam tersebut telah diterbitkan di banyak buku dan menjadi pedoman bacaan para pemerhati perempuan dari berbagai kalangan di Indonesia. </p>
<p>Ada setidaknya lima strategi yang bisa digunakan untuk membumikan gagasan pengarusutamaan gender di pesantren tradisional. </p>
<p><strong>1. Masukkan literatur karya ulama kontempoter dalam pembelajaran</strong> </p>
<p>Jadikan kitab kuning klasik sebagai “warisan” intelektual ulama masa dahulu dan bukan sebagai dasar pengambil keputusan (dogmatisme hukum) jika berbenturan dengan kondisi masa kini. Materi pengajaran pesantren tidak hanya berfokus kepada kitab kuning saja tapi juga menggunakan literatur karya ulama kontemporer yang kajian keagamaanya bersentuhan dengan hak asasi manusia, seperti karya Nasr Hamid Abu Zayd, Qasim Amin, Muhammad Syahrur, Khaled Abu El-Fadl, Abdillahi Ahmad An-Naim, Mahmud Muhammad Thoha dan lain sebagainya. </p>
<p><strong>2. Advokasi kebijakan kurikulum pesantren</strong> </p>
<p>Pemerhati atau aktivis pemberdayaan perempuan perlu terus mengadvokasi kebijakan kurikulum pesantren kepada pemangku otoritas pesantren yaitu kyai. Misalnya dengan cara memberikan penjelasan tentang urgensi pendidikan sensitif gender di pondok pesantren kepada kyai/nyai melalui kegiatan pengenalan pendidikan kesehatan reproduksi dan pernikahan anak.</p>
<p><strong>3. Adakan pelatihan penyadaran gender</strong> </p>
<p>Pondok pesantren bekerja sama dengan lembaga sosial yang peduli pada perempuan untuk mengadakan pelatihan atau <em>workshop</em> tentang penyadaran gender dan konsep pengarusutamaan gender kepada guru-guru di pesantren terutama kepada kyai, nyai, ustaz, dan ustazah.</p>
<p><strong>4. Tekankan konsep kesetaraan, keadilan, dan hak asasi manusia</strong> </p>
<p>Mengingatkan atau memberi saran kepada para kyai-kyai untuk selalu menekankan konsep kesetaraan (<em>al-musawa</em>), keadilan (<em>al-’adilah</em>) dan hak asasi perempuan (<em>al-harakah al-insaniyah</em>) dalam lingkungan pesantren melalui berbagai aktivitas baik dalam pengajaran maupun dalam kegiatan sehari-hari. Misalnya dalam pengajaran ada ruang dialog antara guru dan santri, dalam kehidupan sehari-hari kyai/nyai tidak menjadikan santri sebagai “pelayan/pembantu”. </p>
<p><strong>5. Kembangkan materi pembelajaran pesantren berbasis gender</strong> </p>
<p>Pemerintah dapat menyediakan pelatihan pengarusutamaan gender dalam pendidikan pesantren untuk para pemangku dan mengembangkan materi pembelajaran pesantren berperspektif gender. Alokasi anggaran dana yang khusus dari pemerintah pusat dan daerah kepada pesantren untuk mengadakan kegiatan pelatihan pengarusutamaan gender penting agar semua pihak saling bersinergi dan berkolaborasi untuk mewujudkan pesantren yang adil gender.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/128525/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Masthuriyah Sa'dan tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Di pesantren, kesetaraan gender masih dipahami sebagai nilai baru yang disuarakan oleh dunia Barat, bahkan dikhawatirkan dapat merusak tradisi yang telah mapan.Masthuriyah Sa'dan, Researcher, Indonesian Consortium for Religious Studies Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1290062019-12-20T04:12:17Z2019-12-20T04:12:17ZDi bawah bayang-bayang ibu: stigma, rasa malu, dan kesempatan sebagai janda<p><em>Artikel ini bagian dari rangkaian untuk memperingati Hari Ibu di Indonesia atau Hari Perempuan pada 22 Desember</em></p>
<hr>
<p>Minggu depan, kita akan merayakan ‘Hari Ibu’ untuk memperingati Kongres Perempuan Indonesia 1928 yang menandai keterlibatan perempuan dalam perjuangan kemerdekaan.</p>
<p><a href="https://news.detik.com/berita/d-4814155/iriana-jokowi-hingga-istri-para-menteri-jalan-sehat-peringati-hari-ibu">Acara publik, biasanya dipimpin oleh istri para pejabat tinggi</a>, diadakan untuk memperingati Hari Ibu. Tidak hanya menyampaikan pesan tentang nasib perempuan, tapi juga kekuatan dan peran mereka di negara ini.</p>
<p>Hari Ibu berdiri di atas citra ibu, sebagai istri dan ibu yang berbudi luhur; tapi ini bukan satu-satunya stereotip feminitas di Indonesia.</p>
<p>‘Janda’ adalah istilah yang mencakup perempuan yang ditinggal mati oleh pasangannya atau yang bercerai. Karena tidak lagi berada dalam pernikahan heteroseksual dan tidak memiliki pasangan laki-laki, janda telah kehilangan status ibu yang dihormati dan dianggap terbuka untuk berhubungan intim dengan lelaki lain. Dengan kata lain, janda adalah antitesis dari ibu yang ideal.</p>
<p><a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/13639811.2015.1111647">Studi oleh kami dan peneliti lain mengenai stigmatisasi janda</a> menemukan bahwa stereotip janda ada di jantung kehidupan perempuan di Indonesia. Sering kali stereotip tersebut menyebabkan para janda <a href="https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/why-divorce-doesnt-work-for-women/">menjalani kehidupan sulit</a> dan terpinggirkan di komunitas mereka. </p>
<h2>Stereotip ibu vs janda</h2>
<p>Stereotip mengenai ibu berkembang terutama selama periode Orde Baru Soeharto (1966-1998) dan sesudahnya. Negara telah menumbuhkan gagasan ideal feminitas berdasarkan citra ibu: perempuan yang patuh pada sifat biologis sebagai istri dan ibu yang penuh kasih.</p>
<p>Ideologi gender yang eksplisit ini menekankan pernikahan heteroseksual penuh kesetiaan. Bagi perempuan, menjadi seorang istri dan ibu adalah cara untuk berkontribusi kepada masyarakat. Bekerja dan menghasilkan uang dapat diperbolehkan asal tidak mengganggu tugas utama yang disematkan pada perempuan.</p>
<p>Ideologi negara ini pada dasarnya disampaikan selama Hari Ibu dan <a href="http://intersections.anu.edu.au/issue28/mahy.htm">Hari Kartini</a>, ketika orang Indonesia memperingati pahlawan pemberdayaan perempuan Raden Ajeng Kartini.</p>
<p>Dalam <a href="https://www.dukeupress.edu/fantasizing-the-feminine-in-indonesia">literatur feminis,</a> baik dari dalam Indonesia maupun oleh pengamat asing, citra ‘ibu’ yang dibangun oleh negara ini dikritik.</p>
<p>Kritik utamanya adalah bahwa kelompok-kelompok perempuan yang direstui negara seperti Dharma Wanita (organisasi istri pegawai negeri sipil) memperkuat paradigma resmi mengenai peran utama perempuan di wilayah domestik di atas peran sebagai warga negara yang setara dan mampu berkontribusi dalam arena publik.</p>
<p>Sementara itu, wacana resmi tidak menyampaikan citra janda. Namun, <a href="https://www.latrobe.edu.au/news/articles/2015/opinion/indonesian-women-face-divorce-stigma">penggambarannya lazim dalam budaya populer</a> dan hal ini mempengaruhi kehidupan nyata para janda.</p>
<p>Janda, terutama apabila masih muda dan menarik, dianggap tidak bermoral dan penuh berahi. Laki-laki berfantasi mengenai janda, sementara perempuan yang sudah menikah takut bahwa janda akan menggoda suami mereka. Budaya populer dan gosip dari mulut ke mulut mereproduksi citra ini, yang mengarah ke pengucilan dan stigma di kehidupan nyata.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/306313/original/file-20191211-95111-rd3nuq.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/306313/original/file-20191211-95111-rd3nuq.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=454&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/306313/original/file-20191211-95111-rd3nuq.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=454&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/306313/original/file-20191211-95111-rd3nuq.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=454&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/306313/original/file-20191211-95111-rd3nuq.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=570&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/306313/original/file-20191211-95111-rd3nuq.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=570&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/306313/original/file-20191211-95111-rd3nuq.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=570&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">‘Gara Gara Janda’, sebuah album dangdut. Musik ini sering menggambarkan daya tarik seksual para janda.</span>
<span class="attribution"><span class="source">'dari https://afrobitz.com'</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Penelitian etnografi</h2>
<p><a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/13639811.2015.1100872">Penelitian etnografi</a> kami mengeksplorasi bagaimana stereotip janda mempengaruhi identitas sosial dan pilihan mata pencaharian para janda di tiga komunitas berbeda: sebuah desa di Jawa, kota pertambangan di Kalimantan yang didominasi migran antar pulau, dan di antara orang Indonesia yang tinggal di Australia.</p>
<p>Situs-situs ini memiliki hubungan, yaitu perjalanan kehidupan yang mungkin membawa seorang perempuan menikah dan bercerai di kampung halamannya di Jawa, lalu bermigrasi ke Kalimantan untuk mencari pekerjaan, dan akhirnya bertemu dan menikah dengan seorang pekerja tambang asing dan ikut dengan suami barunya ke negara asalnya.</p>
<p>Sebagai seorang peneliti laki-laki di desa Jawa, Nicholas Herriman mengamati laki-laki yang mendiskusikan hasrat mereka pada janda. Para lelaki memberitahu satu sama lain tentang seorang janda lokal dan berpikir untuk merayu mereka. Laki-laki meyakini bahwa janda berpengalaman secara seksual, kesepian dan terbuka untuk hubungan seks, baik ‘gratis’ atau dibayar.</p>
<p>Terlepas apakah janda tersebut seorang pekerja seks komersial atau bukan, dia akan dilihat dengan anggapan yang sama. Patut dicatat, ketertarikan pada seorang ibu tidak ada dalam gosip antar lelaki ini.</p>
<p>Selain menjadi objek dalam gosip berahi, janda sering dikucilkan dari kegiatan sosial yang dilakukan oleh ibu-ibu yang dihormati. Namun, mereka juga terkadang merasa lega karena terbebas dari permintaan uang untuk rokok dan judi dari suami mereka terdahulu.</p>
<p>Beberapa janda bermigrasi untuk keluar dari stigma janda dan atau untuk mencari pilihan penghidupan yang lebih baik. Petra Mahy mewawancarai beberapa janda migran tersebut di sebuah kota pertambangan di Kalimantan. Dia menemukan bahwa stereotip itu tetap lazim bahkan dalam populasi migran multietnis di sana.</p>
<p>Para janda migran menceritakan bagaimana mereka perlu melindungi diri dari pendekatan oleh laki-laki, termasuk dari perkosaan, sambil berjuang untuk mencari nafkah.</p>
<p>Misalnya, seorang janda mengatakan dia menemukan lebih banyak kebebasan pribadi dan finansial setelah kematian suaminya. Namun dia selalu membawa gunting kecil untuk berjaga-jaga kalau terjadi situasi yang tidak diinginkan saat bersama laki-laki.</p>
<p>Seorang perempuan lain, seorang janda cerai yang menjadi pekerja seks komersial di usia dua puluhan, mengatakan sulit hidup sebagai janda ketika dia dulu di Jawa. Dia tidak memiliki tempat tinggal, orang-orang akan bergosip tentang dia dan para perempuan takut kalau suami mereka berbicara kepadanya. Paling tidak di Kalimantan, katanya, dia bisa mendapatkan uang secara tanpa orang tahu dan mengirimkan uang tersebut untuk menafkahi anak-anaknya. </p>
<p>Bahkan janda <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/glob.12177">yang bermigrasi ke negara lain</a> tidak dapat membebaskan diri mereka dari stereotip tersebut.</p>
<p>Monika Winarnita melakukan <a href="http://www.sussex-academic.com/sa/titles/SS_Asian/Winarnita.htm">penelitian di kalangan perempuan migran Indonesia di Australia</a>. Para perempuan ini membentuk kelompok tari budaya Indonesia. </p>
<p>Beberapa penari, sebelumnya janda, telah menikah kembali dengan laki-laki Australia kulit putih, masuk ke kehidupan yang aman secara finansial dengan suami mereka di Australia. Namun mantan janda ini tampaknya tidak mendapat hak atas status sosial tinggi yang disediakan untuk istri pejabat konsuler dan ibu lainnya yang sangat dihormati. Tentu ini disebabkan sebagian karena keangkuhan sosial. Tapi hal tersebut juga mencerminkan stereotip negatif tentang masa lalu mereka dan pandangan miring tentang bagaimana para mantan janda ini bertemu dengan suami kulit putih mereka.</p>
<p>Di ketiga situs, janda diasingkan dari berbagai kegiatan sosial utama, dan ini adalah salah satu alasan mengapa <a href="https://indonesiadevelopmentforum.com/2018/article/4858-pekka-women-head-families-are-poor-due-to-stigma">rumah tangga mereka termasuk di antara yang termiskin</a>.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/306276/original/file-20191211-95138-1h3th8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/306276/original/file-20191211-95138-1h3th8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/306276/original/file-20191211-95138-1h3th8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/306276/original/file-20191211-95138-1h3th8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/306276/original/file-20191211-95138-1h3th8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/306276/original/file-20191211-95138-1h3th8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/306276/original/file-20191211-95138-1h3th8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Almarhumah Lasmi binti Kasilan, seorang janda di Jawa. Izin untuk penggunaan foto dan hak cipta diberikan oleh fotografer Suzanne Liem dari bukunya The Widows of Rawagede</span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Sarana untuk perubahan</h2>
<p>Secara keseluruhan, penelitian kami menunjukkan bahwa stereotip janda melekat ke kehidupan perempuan Indonesia yang menyandang status ini. Mereka sering dikejar oleh laki-laki dengan anggapan bahwa mereka terbuka untuk hubungan seksual.</p>
<p>Beberapa janda berupaya menjaga reputasi mereka dengan menghadirkan citra yang baik, sambil berusaha memenuhi kebutuhan.</p>
<p>Meski harus diakui bahwa mengubah stereotip budaya yang mengakar itu sulit, bagi kami tampaknya hari-hari nasional seperti Hari Ibu memberikan kesempatan bagi para pemimpin Indonesia, organisasi masyarakat sipil, dan pembuat kebijakan untuk secara eksplisit mengakui kesulitan yang dihadapi oleh janda dan perempuan-perempuan lain yang hidup dalam kehidupan yang tidak menentu dan terpinggirkan di komunitas mereka.</p>
<p>Cara pandang alternatif dapat muncul seperti yang terjadi pada 2017 ketika <a href="http://online24jam.com/2017/12/22/85050/hari-ibu-gabungan-mahasiswi-di-palopo-perjuangkan-hak-janda/">siswa berdemonstrasi pada Hari Ibu</a> menuntut pengakuan akan kesulitan yang dihadapi oleh para janda.</p>
<p>Kehidupan janda lebih dari sekadar stigma, rasa malu, dan kesempatan yang diidentifikasikan di sini, seperti halnya kehidupan menjadi perempuan Indonesia lebih daripada sekadar menjadi ibu. Jadi mungkin sekarang saatnya untuk merefleksikan dan merangkul berbagai jenis identitas perempuan di Hari Ibu.</p>
<p><em>Aisha Amelia Yasmin menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/129006/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Monika Winarnita had received an Australian Postgraduate Award (APA) Scholarship, an Australian National University PhD Scholarship and a Postdoctoral Research Fellowship from the Canadian Social Science and Humanities Research Council (SSHRC) that could be relevant to the research subject of this article.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Petra Mahy received funding from the Australian Research Council and PT Kaltim Prima Coal. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Nicholas Herriman tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Stereotip janda melekat ke kehidupan perempuan Indonesia yang terpinggirkan di komunitasnya, memaksa mereka untuk menjalani kehidupan sulit.Monika Winarnita, Lecturer, Indonesian Studies, School of Humanities and Social Sciences, Deakin UniversityNicholas Herriman, Senior Lecturer in Anthropology, La Trobe UniversityPetra Mahy, Senior Lecturer, Department of Business Law and Taxation, Monash UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1283122019-12-04T09:28:04Z2019-12-04T09:28:04ZLaki-laki yang menganut paham maskulinitas seksis lebih cenderung melecehkan perempuan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/305102/original/file-20191204-70149-1nof4iw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Laki-laki yang berpegang teguh pada stereotip seksis lebih cenderung kasar terhadap perempuan.</span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span></figcaption></figure><p>Laki-laki yang berpegang teguh pada persepsi seksis yang kaku tentang apa itu laki-laki lebih mungkin untuk menggunakan dan membolehkan kekerasan terhadap perempuan.</p>
<p>Di sisi lain, laki-laki yang pemikirannya lebih fleksibel dan lebih terbuka pada kesetaraan gender dalam hal kejantanan akan cenderung memperlakukan perempuan dengan hormat. Mendorong model maskulinitas yang sehat dan lebih fleksibel adalah cara penting untuk mengakhiri kekerasan dalam rumah tangga dan seksual. </p>
<p>Pernyataan di atas mungkin ada dalam pemahaman orang banyak, tapi sebuah <a href="https://www.ourwatch.org.au/getmedia/b05b6b9e-ac25-40cf-bb89-6b9736a9a713/Men-in-focus-Summary-WEB.aspx">laporan baru</a> dari lembaga nirlaba Our Watch, yang berfokus pada kekerasan dalam rumah tangga memberikan bukti-bukti yang mendukung. Laporan tersebut mengkaji penelitian di Australia dan seluruh dunia tentang maskulinitas, dan mengutip 374 sumber. </p>
<p>Sebagian laki-laki tidak pernah menggunakan kekerasan terhadap perempuan. Namun, beberapa laki-laki jauh lebih mungkin untuk menggunakan kekerasan daripada yang lain. Bayangkan situasi berikut.</p>
<p>Anda adalah seorang perempuan heteroseksual muda dan Anda menginginkan seorang pacar. Kebetulan, ada 100 laki-laki di gedung sebelah, semuanya lajang, dan heteroseksual.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/risky-business-how-our-macho-construction-culture-is-killing-tradies-122867">Risky business: how our 'macho' construction culture is killing tradies</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Manakah dari mereka yang lebih cenderung untuk memperlakukan Anda dengan hormat, perhatian dan berkeadilan gender? Dan, di sisi lain, manakah yang lebih mungkin untuk melecehkan, mengendalikan, dan menyerang Anda?</p>
<p>Di antara 100 laki-laki tersebut, sejumlah kecilnya pernah menggunakan kekerasan. Tergantung penelitian mana yang jadi acuan, sekitar <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25144586">15</a> hingga <a href="https://psycnet.apa.org/record/2018-14193-001">20</a> sampai <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25735916">25</a> dari 100 laki-laki tersebut pernah memperkosa atau memaksa perempuan untuk berhubungan seks.</p>
<h2>Apa itu laki-laki</h2>
<p>Banyak faktor yang dapat diandalkan untuk memperkirakan risiko terjadinya kekerasan. <a href="https://www.ourwatch.org.au/getmedia/d53470da-fe17-4af1-baca-bedfd7f9b235/Change-the-story-framework-foundations-1-updated.pdf">Beberapa faktor kunci</a> berkaitan dengan maskulinitas, yaitu sikap dan perilaku yang secara stereotip dikaitkan dengan menjadi seorang laki-laki. </p>
<p><a href="https://jss.org.au/wp-content/uploads/2018/10/The-Man-Box-A-study-on-being-a-young-man-in-Australia.pdf">Idealisme lama</a> tentang kejantanan mencakup pemikiran bahwa laki-laki harus kuat, tegas, dan dominan dalam hubungan dan rumah tangga. Laki-laki harus tangguh dan terkontrol, sementara perempuan lebih rendah, atau bahkan jahat dan tidak jujur.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption">Menghentikan kekerasan terhadap perempuan dimulai dengan kesetaraan gender.</span></figcaption>
</figure>
<p>Laki-laki yang bersandar pada idealisme ini lebih cenderung untuk <a href="https://psycnet.apa.org/record/2017-11235-001">memukul, melecehkan</a>, <a href="https://link.springer.com/article/10.1007%2Fs11524-006-9061-6">memaksa</a>, dan <a href="https://jss.org.au/wp-content/uploads/2018/10/The-Man-Box-A-study-on-being-a-young-man-in-Australia.pdf">melecehkan perempuan secara seksual</a> dibanding laki-laki yang memandang perempuan setara dengan mereka.</p>
<p>Dan laki-laki yang percaya pada <a href="http://www.svri.org/sites/default/files/attachments/2016-02-29/RapePerpetration.pdf">hak seksual mereka atas tubuh perempuan</a> atau <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1359178917303142?via%3Dihub">mitos perkosaan</a> lebih mungkin untuk memperkosa perempuan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/when-mothers-are-killed-by-their-partners-children-often-become-forgotten-victims-its-time-they-were-given-a-voice-124580">When mothers are killed by their partners, children often become ‘forgotten’ victims. It’s time they were given a voice</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Lebih lanjut, lelaki yang teman laki-lakinya <a href="https://link.springer.com/article/10.1007%2Fs11121-017-0835-8">membolehkan atau menggunakan kekerasan</a> lebih mungkin melakukan hal yang sama.</p>
<h2>Risiko di tingkat masyarakat</h2>
<p>Namun, model kejantanan seksis adalah sebuah risiko juga di tingkat komunitas dan masyarakat. Masyarakat dengan dominasi laki-laki dan ketidaksetaraan gender sistemik memiliki tingkat kekerasan yang lebih tinggi terhadap perempuan.</p>
<p>Kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan seksual mencerminkan sistem sosial dan struktur di sekitarnya, termasuk ketidaksetaraan gender di tingkat <a href="https://www.liebertpub.com/doi/10.1089/vio.2018.0028">lingkungan</a> dan negara. Sebagai contoh, penelitian menemukan norma yang tidak berkeadilan gender dalam masyarakat di <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s00038-016-0876-y">Tanzania</a> dan <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0277953609004122">India</a> sejalan dengan tingkat kekerasan pasangan terhadap perempuan yang lebih tinggi.</p>
<p>Dan maskulinitas seksis tidak hanya menyebabkan terjadinya kekerasan langsung terhadap perempuan, tapi juga turut melanggengkan kekerasan itu.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/how-challenging-masculine-stereotypes-is-good-for-men-114300">How challenging masculine stereotypes is good for men</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Sebagian besar dari 100 laki-laki dari gedung sebelah tadi belum pernah menggunakan kekerasan. Namun, idealisme tradisional tentang maskulinitas memungkinkan beberapa dari mereka akan <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0886260509354503">menyalahkan perempuan</a> yang diperkosa, <a href="https://www.vichealth.vic.gov.au/search/bystander-interventions-to-prevent-violence-against-women-launch">tidak mencegah</a> perilaku yang mendukung kekerasan, <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.3149/jms.1601.3">menutup mata</a> terhadap laki-laki yang melakukan paksaan seksual, atau ikut tertawa pada lelucon yang <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/1077801216654017">ikut melanggengkan sikap sosial yang membolehkan pemerkosaan</a>.</p>
<p>Di antara 100 laki-laki tadi, <a href="https://www.ourwatch.org.au/getmedia/d53470da-fe17-4af1-baca-bedfd7f9b235/Change-the-story-framework-foundations-1-updated.pdf.aspx">banyak faktor lain</a>, di samping gender, yang membentuk kemungkinan mereka melakukan kekerasan. Hal ini termasuk kondisi sosial mereka, pengalaman masa kecil terhadap kekerasan, kesehatan mental, dan sebagainya.</p>
<p>Pendukung pencegahan kekerasan kini semakin mengadopsi pendekatan “<a href="https://www.mcwh.com.au/downloads/Intersectionality-Matters-Guide-2017.pdf"><em>intersectional</em></a>,” yaitu mengakui bahwa gender bersinggungan dengan wujud-wujud ketertinggalan dan privilese sosial lain ketika membentuk keterlibatan dalam tindak kekerasan dan viktimisasi.</p>
<h2>Maskulinitas pada dasarnya bersifat sosial</h2>
<p>Terdapat pemahaman yang menyebar luas bahwa untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan, kita harus <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/1097184X10363995">melibatkan laki-laki dan anak laki-laki</a>. Kita harus mendefinisikan kembali maskulinitas, mempromosikan ekspektasi sosial yang lebih sehat dan positif di antara laki-laki dan anak laki-laki. Dan laki-laki serta anak laki-laki itu sendiri akan mendapat manfaat dari perubahan seperti itu.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/Cme4FCXu9tU?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption">Bentuk-bentuk kekerasan nonfisik.</span></figcaption>
</figure>
<p>Maskulinitas, sikap, dan perilaku yang dikaitkan dengan laki-laki, pada dasarnya bersifat sosial, yakni diproduksi di masyarakat. Makna yang melekat pada kejantanan dan bentuk sosial kehidupan laki-laki sangat berbeda-beda di sepanjang sejarah dan seluruh budaya-budaya.</p>
<p>Ini berarti peran maskulinitas dalam kekerasan terhadap perempuan juga bersifat sosial, dan hal ini dapat diubah melalui upaya pencegahan yang menangani norma, praktik, dan struktur maskulinitas yang seksis.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/how-can-we-make-families-safer-get-men-to-change-their-violent-behaviour-113451">How can we make families safer? Get men to change their violent behaviour</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Kabar baik dari <a href="https://xyonline.net/content/new-book-engaging-men-and-boys-violence-prevention">jumlah penelitian yang bertumbuh pesat</a> adalah bahwa <a href="https://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(14)61683-4/fulltext">intervensi yang dirancang dengan baik</a> dapat membuat perubahan positif.</p>
<p>Program pendidikan tatap muka dapat memperbaiki sikap serta perilaku laki-laki dan anak laki-laki. Kampanye komunitas dapat mengubah norma sosial. Dan reformasi kebijakan serta hukum tentang diskriminasi, pekerjaan, dan pengasuhan anak dapat berkontribusi terhadap perubahan peran gender di tingkat masyarakat.</p>
<p>Pekerjaan pencegahan harus bersifat <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s10461-013-0565-2">transformatif gender</a>, yaitu menantang aspek seksis dan tidak sehat dari maskulinitas dan peran gender. Upaya tersebut harus dilakukan <a href="https://cofemsocialchange.org/wp-content/uploads/2018/11/TS6-Men-as-allies-and-activists.pdf">bersama dengan upaya dalam hak asasi perempuan</a>. Dan itu harus menjangkau tidak sekadar sejumlah kecil lelaki “jahat”, namun membuat perubahan dalam norma-norma maskulin di masyarakat, ketidaksetaraan gender sistemik, dan ketidakadilan sosial lainnya.</p>
<p><em>Aisha Amelia Yasmin menerjemahkan artikel ini dari Bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/128312/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>The report Men in Focus is produced by the national violence prevention organisation Our Watch. Dr Michael Flood has received funding from the Australia Research Council, Australian Primary Health Care Research Institute Foundation, and Victorian Government. However, no funding was received for the material featured in this article.</span></em></p>Seperempat laki-laki pernah memperkosa atau memaksa perempuan untuk berhubungan seksual.Michael Flood, Associate Professor, Queensland University of TechnologyLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1260302019-10-30T09:05:50Z2019-10-30T09:05:50ZDi balik toko ‘online’ ada kerja perempuan yang terabaikan<p>Transaksi belanja daring (<em>online</em>) di Indonesia terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir dan membuktikan bahwa kegiatan ini adalah bagian gaya hidup baru. </p>
<p>Lima tahun lalu, total nilai transaksi belanja daring tercatat <a href="https://inet.detik.com/business/d-2897117/orang-indonesia-rata-rata-habis-rp-825-ribu-buat-belanja-online">Rp 21 triliun</a>, dan pada 2017, angka itu sudah meningkat menjadi <a href="https://bisnis.tempo.co/read/898638/gubernur-bi-transaksi-belanja-online-capai-rp-75-triliun">Rp 75 triliun</a>. </p>
<p>Secara global, tahun lalu, diperkirakan ada 1,8 miliar orang di seluruh dunia yang membeli barang secara daring, dengan total nilai transaksi 2,8 triliun dolar AS dan diperkirakan akan terus tumbuh hingga <a href="https://www.statista.com/topics/871/online-shopping/">4,8 triliun dolar pada 2021</a>. </p>
<p>Selain <a href="https://www.amazon.com/">toko besar</a> <a href="https://www.ebay.com/">milik</a> <a href="https://shopee.com/">perusahaan besar</a>, ada juga toko daring berbasis media sosial (TDMS) seperti Instagram atau Facebook.</p>
<p>Bisnis berbasis media sosial ini menawarkan kemudahan karena hanya dengan gawai, akses internet, dan akun media sosial, ia dapat dijalankan dari mana saja, kapan saja. Ini lantas menarik banyak perempuan untuk terlibat di dalamnya. </p>
<p>Menurut survei pemantau lalu lintas internet <a href="https://nasional.kompas.com/read/2011/05/20/13024473/belanja.dan.jualan.online.dunianya.perempuan">Alexa</a> pada 2011, bisnis toko daring lebih diminati perempuan daripada laki-laki. Selain itu, survey oleh lembaga riset <a href="https://lifestyle.kompas.com/read/2018/03/22/155001820/80-persen-konsumen-belanja-online-orang-muda-dan-wanita?page=all">Snapcart </a> pada Januari 2018 di Indonesia menunjukkan bahwa 65% konsumen toko-toko daring ialah perempuan.</p>
<p>Selain menjadi konsumen, perempuan juga memiliki peran di sisi produksi, baik sebagai pemilik maupun pekerja.</p>
<p><a href="https://suedostasien.net/frauen-im-onlinegeschaeft-zwischen-hausarbeit-und-zweitjob/">Penelitian saya di enam kota di Indonesia pada 2018</a> menunjukkan bahwa para pekerja perempuan toko <em>online</em> ini berada di dalam kondisi kerja yang penuh kerentanan. </p>
<p>Perlu ada peraturan untuk melindungi mereka, dan perlu dibangun kesadaran para perempuan untuk meningkatkan posisi tawar dan perlindungan pada diri mereka sendiri.</p>
<h2>Kerentanan yang dihadapi</h2>
<p>Dalam pengamatan saya, ada tiga kategori pelaku ekonomi yang terlibat di dalam toko daring di media sosial. </p>
<p>Pertama, pemilik TDMS sekaligus produsen dari produk-produk yang dijual. Mereka membuat produk sendiri dan mendistribusikannya melalui TDMS milik mereka sendiri. Kedua, mereka yang bekerja sebagai <em>reseller</em> (membeli untuk menjual kembali) di TDMS yang mereka miliki. Ketiga, mereka yang memiliki TDMS dan merekrut pekerja serta bekerja sama dengan pihak lain seperti konveksi garmen rumahan.</p>
<p>Dari luar, bisnis ini sepertinya mudah dikerjakan, namun fleksibilitas dalam toko <em>online</em> menyembunyikan masalah besar. </p>
<p>Hasil penelitian kualitatif saya dalam bentuk wawancara mendalam terhadap 20 informan menunjukkan bahwa para perempuan yang bekerja di dalam bisnis TDMS bekerja dengan penuh kerentanan; mereka bekerja dengan jam kerja yang panjang dan tidak memiliki standar upah. </p>
<p>Bukan tanpa sebab perempuan yang paling banyak terlibat dalam bisnis ini. Bukan tanpa sebab pula kenapa rumah jadi tempat kerja utama dalam bisnis ini. </p>
<p>Agar tetap dapat mengurus keluarganya dengan baik, para perempuan mencoba mencari cara untuk menambah pendapatan bagi keluarga. Di sinilah mereka ‘menemukan’ bisnis TDMS. Mereka dapat tetap mengurus keluarga sambil menambah pemasukan keluarga. </p>
<p>Nancy Fraser, pengajar filsafat dan politik di New School for Social Research, AS, <a href="https://newleftreview.org/issues/II100/articles/nancy-fraser-contradictions-of-capital-and-care">menganalisis</a> soal penempatan perempuan sebagai penanggung jawab utama kerja-kerja reproduksi sosial (seperti merawat anak dan mengurus rumah).</p>
<p>Dengan kata lain, yang terjadi adalah <a href="https://indoprogress.com/2013/08/ruth-indiah-rahayu-feminisasi-dunia-kerja-menguntungkan-kapitalisme/">feminisasi kerja</a>, yaitu dorongan keterlibatan perempuan dalam toko bisnis <em>online</em> karena kebutuhan ekonomi yang menyatu dengan norma-norma patriarki.</p>
<p>Masalah lain: menyeimbangkan kerja domestik dan kerja untuk bisnis <em>online</em> itu sulit. Hal ini terutama saya temukan pada mereka yang bekerja sebagai <em>reseller</em>. Kesulitan ini terjadi karena mereka mengerjakan kerja domestik dan dagang, misalnya berkomunikasi dengan pelanggan, secara bersamaan. </p>
<p>Hal itu juga terjadi pada para pekerja yang direkrut oleh pemilik TDMS kategori ketiga. Para perempuan pemilik TDMS yang bekerja sama dengan pihak lain, seperti konveksi-konveksi garmen rumahan, biasanya merekrut pekerja perempuan dari daerah pedesaan atau pinggiran. </p>
<p>Feminisasi kerja terjadi ketika mereka direkrut karena mereka miskin dan karena mereka perempuan, sehingga dianggap memiliki fleksibilitas dan bekerja hanya untuk mencari ‘penghasilan tambahan’. </p>
<p>Di bawah sistem bisnis yang informal, para pekerja yang direkrut oleh pemilik TDMS kategori ketiga ini bekerja tanpa kontrak yang jelas dan tanpa perlindungan seperti asuransi kesehatan. </p>
<p>Mereka yang bekerja sebagai pengecek kualitas produk, pembungkus produk, administrator media sosial, atau pengirim produk ke perusahaan jasa pengiriman logistik ini menerima upah yang rendah dengan jam kerja yang panjang. </p>
<p>Selain feminisasi kerja, kondisi yang penuh kerentanan ini juga disebabkan karena kerja mereka tidak diakui sebagai kerja dalam arti sesungguhnya. </p>
<p>Seorang narasumber yang bekerja sebagai <em>reseller</em>, misalnya, mengaku tidak yakin kerjanya di TDMS adalah kerja sungguhan, meski dia setiap hari menghabiskan hingga delapan jam dalam mengoperasikan TDMS. Ia lebih melihat dirinya sebagai seorang ‘istri yang membantu suami’. </p>
<p>Ditarik lebih jauh, kesadaran ini muncul karena pada dasarnya kerja reproduksi sosial di rumah tangga tidak pernah diakui sebagai kerja. </p>
<p>Karena kerja reproduksi sosial di dalam rumah tangga tidak dianggap sungguhan, maka kerja-kerja reproduktif lainnya –termasuk kerja reproduktif di dalam TDMS– juga tidak diakui sebagai kerja sungguhan. Karena itu pula hak-hak pekerja dalam bisnis <em>online</em> cenderung diabaikan.</p>
<h2>Perlindungan dan pemberdayaan</h2>
<p>Karena kondisi kerja yang penuh kerentanan, maka perlu ada peraturan untuk melindungi mereka, misalnya memasukkan hak-hak mereka ke dalam regulasi ketenagakerjaan yang sudah ada, yaitu <a href="http://eodb.ekon.go.id/download/peraturan/undangundang/UU_13_2003.PDF">Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan</a>. </p>
<p>Para pekerja toko daring sendiri juga perlu mulai mengorganisir diri dan membentuk serikat pekerja. Di Amerika Serikat, <a href="https://www.cnbc.com/2019/08/22/how-amazon-is-fighting-back-against-workers-efforts-to-unionize.html">para pekerja perusahaan toko daring Amazon sudah mulai mengorganisir diri untuk memperjuangkan hak-hak mereka sebagai pekerja</a>. Serikat dibutuhkan untuk memperjuangkan pemenuhan hak-hak mereka sebagai pekerja.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/126030/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Fathimah Fildzah Izzati tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Para pekerja perempuan di balik toko online berada di dalam kondisi kerja yang penuh kerentanan.Fathimah Fildzah Izzati, Peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI, Indonesian Institute of Sciences (LIPI)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1222692019-08-27T14:02:46Z2019-08-27T14:02:46ZPerempuan Arab Saudi sedang berjuang untuk kebebasan - dan kesuksesan mereka terus bertambah<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/289034/original/file-20190822-170906-1isldtr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Dalia Yashar, satu dari para mahasiswa perempuan pertama yang menjalani pelatihan pilot komersial. Foto diambil pada 15 Juli 2018. Akan ada perempuan sebagai penumpang pertamanya.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://pictures.reuters.com/CS.aspx?VP3=SearchResult&VBID=2C0BXZS2IDLTQU&SMLS=1&RW=1440&RH=816&POPUPPN=4&POPUPIID=2C0BF1Q4JG7BH">Reuters/Hamad I Mohammed </a></span></figcaption></figure><p>Perempuan Arab Saudi akan diizinkan untuk <a href="https://www.nytimes.com/2019/08/01/world/middleeast/saudi-arabia-guardianship-women.html">memiliki paspor dan bepergian</a> tanpa izin dari kerabat laki-laki.</p>
<p>Peraturan ini diumumkan oleh pemerintah setempat pada awal Agustus lalu untuk mengurangi salah satu peraturan yang paling mengekang di negara itu, yaitu <a href="https://www.nytimes.com/2018/06/22/world/middleeast/saudi-women-guardianship.html">laki-laki memiliki kuasa atas kerabat perempuan mereka</a> dalam sebuah <a href="https://www.bbc.com/news/world-middle-east-46789875">sistem perwalian</a>. </p>
<p>Perempuan Arab Saudi juga akan <a href="https://www.theguardian.com/world/2019/aug/01/saudi-women-can-now-travel-without-a-male-guardian-reports-say">diperbolehkan</a> untuk mendaftarkan pernikahan, perceraian, dan kelahiran, serta menerima dokumen-dokumen keluarga tanpa harus mendapatkan izin wali laki-laki. Namun, mereka tetap memerlukan izin wali untuk <a href="https://time.com/5642228/saudi-arabia-ends-guardianship-system/">menikah, keluar dari penjara, dan keluar dari tempat perlindungan dari kekerasan rumah tangga</a>. </p>
<p>Adanya tekanan sosial membuat beberapa perempuan Arab Saudi masih membutuhkan izin dari keluarga untuk bepergian. Meskipun perempuan sudah <a href="https://theconversation.com/saudi-women-can-drive-but-are-their-voices-being-heard-99183">diperbolehkan mengemudi</a> pada 2008, izin dari keluarga tetap menyulitkan banyak perempuan Arab Saudi untuk berkendara sendiri.</p>
<p>Arab Saudi menerapkan interpretasi hukum Islam yang ketat yang memandang pemisahan peran berdasarkan jenis kelamin dan kuasa laki-laki sebagai <a href="https://www.jstor.org/stable/195431?seq=1#metadata_info_tab_contents">sesuatu yang vital dalam menjaga moral masyarakat Islam</a>. Namun perempuan Arab Saudi tidak mau menjadi sekadar korban dari rezim patriarkis ini.</p>
<p>Sebagai seorang <a href="https://www.researchgate.net/profile/Alainna_Liloia">peneliti yang mempelajari pergerakan perempuan di Timur Tengah</a>, saya memahami bahwa perempuan Arab Saudi – seperti pada populasi besar lainnya – merupakan kelompok manusia yang beragam dengan pemikiran dan pengalaman yang berbeda-beda. </p>
<p>Mereka sekolah, bekerja sebagai jurnalis dan <a href="https://gulfnews.com/world/gulf/saudi/meet-saudi-arabias-first-female-commercial-pilot-1.65002455">pilot maskapai</a>, <a href="http://english.alarabiya.net/en/life-style/travel-and-tourism/2018/03/25/Saudi-female-scuba-diving-pioneer-strives-to-push-forward-kingdom-s-tourism-plan.html">menyelam</a>, menongkrong bersama teman -– dan, semakin mendesak hukum untuk <a href="https://agsiw.org/saudi-womens-online-activism-one-year-guardian-campaign/">memperluas hak-hak perempuan</a>.</p>
<h2>Berjuang demi kesetaraan</h2>
<p>Kebebasan baru perempuan Arab Saudi adalah bagian dari reformasi yang lebih luas yang diluncurkan oleh Putra Mahkota Mohammad bin Salman untuk <a href="https://www.cnn.com/2017/10/25/opinions/can-bin-salman-really-change-saudi-opinion-ian-black/index.html">memodernisasi negara Muslim konservatif</a> yang berpenduduk 33 juta ini dan untuk meredakan perhatian internasional atas permasalahan hak asasi manusia.</p>
<p>Tetapi kemajuan di sisi hukum ini tetap <a href="https://www.theguardian.com/commentisfree/2019/aug/02/saudi-arabia-women-travel-consent-rights-feminist-movement">disertai dengan penindasan</a> terhadap aktivis perempuan Arab Saudi yang <a href="https://time.com/5644080/saudi-arabia-guardianship-women/">mendesak adanya reformasi sistem perwalian</a>. </p>
<p>Perempuan <a href="https://www.bbc.com/news/world-middle-east-44576795">berjuang</a> selama puluhan tahun untuk mendapatkan <a href="https://www.npr.org/templates/story/story.php?storyId=97541372">hak mengendarai mobil</a>, dan tahun lalu, sebelum larangan itu dicabut, beberapa aktivis <a href="https://www.npr.org/sections/thetwo-way/2018/05/20/612830493/saudi-womens-activists-arrested-ahead-of-driving-ban">ditangkap</a> karena secara terbuka mengemudi mobil. Bahkan, banyak yang <a href="https://www.nytimes.com/2019/06/24/world/middleeast/saudi-driving-ban-anniversary.html">masih ada di penjara</a>. </p>
<p>Perempuan Arab Saudi juga bersuara untuk menghapuskan sistem perwalian dengan mengedarkan <a href="https://www.theguardian.com/world/2016/sep/26/saudi-arabia-protest-petition-end-guardianship-law-women">petisi <em>online</em></a> dengan tagar #<em>IAmMyOwnGuardian</em> dan mengadakan <a href="https://broadly.vice.com/en_us/article/bjgxad/the-saudi-women-fighting-their-countrys-sexist-guardian-system">kelas-kelas</a> untuk memberikan edukasi kepada perempuan lainnya perihal undang-undang sistem perwalian. </p>
<p>Ada pula yang membuat <a href="https://money.cnn.com/2017/07/20/technology/saudi-app-women-rights/index.html">aplikasi bernama “<em>Know Your Rights</em>”</a> untuk memberi informasi mengenai hak-hak hukum perempuan.</p>
<p>Mereka juga memanfaatkan undang-undang yang melarang pencampuran laki-laki dan perempuan di tempat-tempat umum.</p>
<p>Di dalam <a href="https://www.metropolitiques.eu/The-Ladies-Kingdom-and-Its-Many.html">area khusus perempuan</a> yang berada di mal, taman, restoran, sekolah, dan kedai kopi, perempuan lebih leluasa mengekspresikan kebebasannya. Mereka dapat melepaskan abaya –- jubah hitam dan panjang yang harus dikenakan semua perempuan Arab Saudi –- dan berbicara terang-terangan tanpa pengawasan laki-laki.</p>
<p>Beberapa perempuan bahkan <a href="https://www.albawaba.com/loop/forget-reform-many-saudis-want-more-gender-segregation-1071380">meminta lebih banyak tempat-tempat khusus seperti ini</a> agar tersedia ruang bagi perempuan untuk keluar dari kekangan patriarkis.</p>
<h2>Pendidikan bagi perempuan</h2>
<p>Perempuan Arab Saudi telah <a href="http://www.pnu.edu.sa/en/University/Pages/Intro.aspx">memperoleh pendidikan tinggi sejak 1970-an</a>, tapi kesempatan untuk mengenyam pendidikan baru tumbuh secara nyata dalam 15 tahun terakhir.</p>
<p>Program beasiswa pendidikan ke luar negeri yang diluncurkan pada 2005 telah mengirimkan ribuan pelajar perempuan Arab Saudi setiap tahunnya ke <a href="https://english.alarabiya.net/en/perspective/features/2015/05/28/More-women-than-men-in-Saudi-universities-says-ministry.html">Amerika Serikat (AS), Inggris, Kanada, dan banyak negara lainnya</a>. </p>
<p>Universitas khusus perempuan pertama di Arab Saudi, <a href="http://www.pnu.edu.sa/en/Pages/default.aspx">Princess Noura bint Abdulrahman University</a>, berdiri pada 2010. Dengan kapasitas sekitar 60.000 mahasiswa – universitas khusus perempuan terbesar di dunia, universitas ini bertujuan untuk memberi pelajar-pelajar perempuan Arab Saudi <a href="https://www.fastcompany.com/3020619/this-gorgeous-campus-is-the-worlds-largest-womens-university-and-its-in-saudi-arabia">akses yang lebih baik</a> ke bidang-bidang yang dikuasai laki-laki, seperti kedokteran, ilmu komputer, manajemen, dan farmasi. </p>
<p>Pada 2015, jumlah pendaftar perempuan untuk masuk perguruan tinggi <a href="https://data.worldbank.org/indicator/SE.TER.ENRR?locations=SA">melebihi laki-laki</a>. Berdasarkan data <a href="https://english.alarabiya.net/en/perspective/features/2015/05/28/More-women-than-men-in-Saudi-universities-says-ministry.html">Kementerian Pendidikan Arab Saudi</a>, tercatat 52% mahasiswa di Arab Saudi adalah perempuan. </p>
<h2>Pekerja perempuan</h2>
<p>Peningkatan pada sektor pendidikan tidak sejalan dengan jumlah perempuan yang bekerja.</p>
<p>Berdasarkan data <a href="https://data.worldbank.org/indicator/SL.TLF.CACT.FE.ZS?locations=SA">Bank Dunia</a>, pada 2016, hanya 22% perempuan Arab Saudi yang bekerja di luar rumah, dibandingkan dengan 78% laki-laki yang bekerja.</p>
<p>Perempuan bisa – dan mampu – bekerja di hampir seluruh bidang seperti laki-laki, dengan pengecualian untuk bidang-bidang yang “berbahaya” seperti konstruksi atau mengumpulkan sampah. Sejak <a href="https://www.ispu.org/wp-content/uploads/2016/08/ISPU_Brief_WmnEmpwrmnt_619.pdf">hukum Islam</a> mengizinkan perempuan untuk memiliki dan mengatur sendiri propertinya, semakin banyak perempuan Arab Saudi melihat pekerjaan sebagai jalan menuju <a href="https://www.arabianbusiness.com/saudi-women-work-for-financial-independence-poll-464327.html">kebebasan finansial</a>.</p>
<p>Ada beberapa <a href="https://english.alarabiya.net/authors/Samar-Fatany.html">jurnalis perempuan Arab Saudi</a>, seperti Weam Al Dakheel, yang pada 2016 menjadi pembawa acara TV perempuan pertama dalam <a href="http://www.arabnews.com/node/1380966/media">program berita pagi di Arab Saudi</a>.</p>
<p>Ada pula pengacara perempuan Arab Saudi, seperti Nasreen Alissa, satu dari <a href="https://nasreenalissalaw.com/en/about/">sedikit perempuan yang memiliki firma hukum di Arab Saudi</a> dan pencipta aplikasi “<em>Know Your Rights</em>”</p>
<p>Dan menurut <a href="http://gpseducation.oecd.org/Content/EAGCountryNotes/EAG2016_CN_SAU.pdf"><em>Organization for Economic Cooperation and Development</em></a>, lebih setengah guru di Arab Saudi adalah perempuan. Sementara, setengah pekerja ritel di Arab Saudi juga merupakan perempuan. </p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/265187/original/file-20190321-93028-1713mom.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/265187/original/file-20190321-93028-1713mom.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/265187/original/file-20190321-93028-1713mom.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/265187/original/file-20190321-93028-1713mom.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/265187/original/file-20190321-93028-1713mom.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/265187/original/file-20190321-93028-1713mom.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/265187/original/file-20190321-93028-1713mom.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/265187/original/file-20190321-93028-1713mom.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Jurnalis Arab Saudi menanyai Menteri Luar Negeri AS John Kerry pada konferensi pers di Riyadh, 2016</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="http://www.apimages.com/metadata/Index/APTOPIX-Saudi-Arabia-US-Kerry/57146dfd377f4ac3913d1a36fd8dfff5/7/0">AP Photo/Jacquelyn Martin</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Pemerintah Arab Saudi telah menargetkan sebanyak <a href="https://vision2030.gov.sa/en">30% perempuan memiliki pekerjaan pada 2030</a>. Meski pembauran laki-laki dan perempuan kerap <a href="https://books.google.com/books/about/A_Society_of_Young_Women.html?id=NvGyAwAAQBAJ&printsec=frontcover&source=kp_read_button#v=onepage&q=socio-spatial&f=false">dilarang di tempat kerja</a>, perempuan adalah komponen kunci dalam <a href="http://www.arabnews.com/node/1448851/saudi-arabia">usaha “<em>Saudization</em>”</a> yang sedang berlangsung untuk mengganti pekerja-pekerja non-Saudi dengan pekerja-pekerja lokal. </p>
<h2>Pendekatan politis</h2>
<p>Arab Saudi secara perlahan melebarkan hak-hak perempuan sebagai bagian dalam <a href="https://books.google.com/books/about/A_Most_Masculine_State.html?id=JmafWmVNJAAC&source=kp_book_description">usaha <em>rebranding</em></a> untuk melawan pandangan negatif sebagai sarang terorisme dan fundamentalisme agama setelah penyerangan <em>World Trade Center</em> di New York, AS, pada 11 September 2001.</p>
<p>Perempuan telah membuat kemajuan di bidang politik dalam beberapa tahun terakhir. Pertama-tama, beberapa perempuan ditunjuk sebagai <a href="https://www.theguardian.com/world/2009/feb/16/saudi-cabinet-woman-minister">wakil menteri pendidikan pada 2009</a>, penasehat raja pada 2010, dan <a href="https://www.businessinsider.com/princess-reema-bint-bandar-is-saudi-arabias-first-female-ambassador-to-us-2019-2">duta besar Arab Saudi untuk Amerika Serikat pada 2019</a>. </p>
<p>Pada 2015, perempuan Arab Saudi diberikan hak untuk <a href="https://www.bbc.com/news/world-middle-east-35075702">memilih</a> dan ikut serta dalam pemilihan daerah. Hampir 1.000 perempuan maju sebagai kandidat anggota dewan; jumlah ini sekitar <a href="https://www.bbc.com/news/world-middle-east-35075702">14%</a> dari total kandidat. </p>
<p>Para calon perempuan pertama Arab Saudi kesulitan dalam meyakinkan pemilih – hanya 9% pemilih adalah perempuan. Kini, mereka hanya menduduki <a href="https://www.npr.org/sections/parallels/2015/12/14/459683623/saudi-women-elections-are-one-step-forward-on-a-long-road">20 dari total 2.000 kursi anggota dewan</a>. </p>
<p>Dua aktivis perempuan ternama yang mencalonkan diri, yaitu Loujain Hathloul dan Nassima Al-Sadah, <a href="https://www.theguardian.com/world/2015/nov/29/first-saudi-arabia-women-stand-election-begin-campaigning">didiskualifikasi</a> pada 2015 dengan alasan yang tidak jelas.</p>
<p>Di Arab Saudi yang patriarkis, para perempuan yang terpilih tetap menghadapi <a href="http://www.arabnews.com/node/1024376/saudi-arabia">hambatan besar untuk melaksanakan tugas, bahkan tugas-tugas mereka pun dibatasi</a>. Tugas mereka sebatas mengawasi pengumpulan sampah dan mengeluarkan bangunan izin. Beberapa bahkan harus menghadiri pertemuan dewan melalui video konferensi untuk menghindari berada di ruangan yang sama dengan laki-laki.</p>
<p>Hambatan-hambatan ini tidak menghentikan perempuan Arab Saudi dalam bekerja – baik di dalam maupun di luar sistem politik – untuk mengubah negaranya.</p>
<p>“Saya hanya seorang warga negara yang baik, yang mencintai negaranya, seorang anak perempuan yang mencintai keluarganya, pelajar yang tekun, dan pekerja yang rajin,” tulis seorang aktivis Nouf Abdulaziz dalam <a href="https://www.apnews.com/6befd1efd9434739bc7bac230f882477">sebuah surat yang diunggah secara <em>online</em></a> setelah penangkapannya pada Juni 2018. </p>
<p>Bahkan ketika berada di dalam penjara, dia tetap “mengharapkan yang terbaik” untuk Arab Saudi.</p>
<p><em>Franklin Ronaldo menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/122269/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Alainna Liloia tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kemenangan perempuan Arab Saudi terus berlanjut; mereka kini diperbolehkan punya paspor dan bepergian tanpa ijin wali lelaki. Perjuangan mereka menuntut haknya tidak akan selesai sampai disini.Alainna Liloia, Graduate Associate, Ph.D. Student, University of ArizonaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/922142018-03-13T09:09:06Z2018-03-13T09:09:06ZKepingan pengalaman hidup pekerja perempuan rumahan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/209696/original/file-20180309-30986-1k8sn42.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=6%2C1%2C719%2C463&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Seorang perempuan penganyam alat panggang bekerja di rumah sambil melakukan tugas rumah tangganya, menjaga anak</span> <span class="attribution"><span class="source">Dari mampu.or.id</span></span></figcaption></figure><p>Pekerja rumahan berada di sekitar kita dan lekat dengan keseharian kita. Mereka menjahit baju atau tas yang kita pakai, memproduksi peralatan dapur yang kita gunakan untuk memasak makanan favorit, hingga merangkai komponen elektronik gawai kesukaan kita. Mereka bekerja tidak hanya untuk industri skala rumahan tapi juga perusahaan multinasional.</p>
<p>Namun, informasi mengenai jumlah mereka masih berupa estimasi. Pemerintah Indonesia belum memasukkan pekerja rumahan dalam data statistik resmi negara, baik dalam sensus penduduk, maupun survey angkatan kerja nasional (Sakernas). </p>
<p>Dalam <a href="https://www.bps.go.id/statictable/2009/04/16/971/penduduk-15-tahun-ke-atas-menurut-status-pekerjaan-utama-1986---2017.html">data ketenagakerjaan BPS</a>, posisi pekerja rumahan berada di antara kategori “pekerja bebas di nonpertanian” dan “pekerja keluarga/tak dibayar”. Pada tahun 2017 jumlah pekerja di dua kategori ini mencapai lebih dari 22 juta jiwa atau 18% dari total 121 juta penduduk Indonesia yang bekerja.</p>
<iframe id="datawrapper-chart-WZ3Xi" src="https://datawrapper.dwcdn.net/WZ3Xi/1/" scrolling="no" frameborder="0" allowtransparency="true" style="width: 0; min-width: 100% !important;" height="527" width="100%"></iframe>
<p>Di antara jumlah ini, diperkirakan ada sekitar <a href="http://buruh-online.com/2017/12/turc-pekerja-rumahan-akibat-lambannya-penciptaan-lapangan-kerja.html">12 juta perempuan</a> yang menggeluti pekerjaan rumahan. <a href="http://www.ilo.org/jakarta/whatwedo/publications/WCMS_438251/lang--en/index.htm">Hasil studi di enam provinsi di Indonesia</a> juga menunjukkan bahwa pekerja rumahan didominasi oleh perempuan. </p>
<p>Luputnya pekerjaan rumahan dalam data statistik membuat profesi ini menjadi lebih berisiko. Karena tidak masuk dalam hitungan, posisi mereka tidak diakui dan tidak dilindungi pemerintah. Keterbatasan akses di ruang publik untuk bersuara dan berserikat membuat mereka semakin rentan dieksploitasi. </p>
<p>Saya bersama rekan satu tim melakukan <a href="http://www.smeru.or.id/id/content/penghidupan-perempuan-miskin-dan-akses-mereka-terhadap-pelayanan-umum">penelitian untuk program MAMPU</a>, sebuah kemitraan antara pemerintah Indonesia dan Australia untuk mendorong pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) melalui pemberdayaan perempuan dan pengembangan kepemimpinan perempuan. Dari <a href="http://www.smeru.or.id/id/content/dinamika-penghidupan-perempuan-miskin-studi-kasus-ketika-terjadi-perubahan-harga-bbm">penelitian tersebut</a>, saya akan menceritakan pengalaman tiga perempuan pekerja rumahan untuk membantu kita memahami kondisi kerja yang mereka hadapi sehari-hari. Nama mereka saya samarkan untuk menjaga privasi. </p>
<p>Setidaknya ada tiga permasalahan yang diemban oleh perempuan pekerja rumahan: upah yang rendah, waktu kerja yang tidak terbatas, dan ketiadaan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja.</p>
<h2>Upah yang rendah</h2>
<p>Indonesia belum memiliki regulasi tentang standar minimal upah bagi pekerja rumahan. Negosiasi upah minimum dalam forum kerjasama tripartit tidak berjalan karena pekerjaan rumahan belum diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Konsekuensinya, pekerja perempuan rumahan harus menerima upah yang rendah tanpa adanya ruang negosiasi dengan pemberi kerja.</p>
<p>Mawar (35) di Pangkajene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan, menerima Rp2.500 untuk setiap kilogram biji mente yang ia kupas. Upah ini turun dari sebelumnya Rp3.500 per kilogram di tahun 2014. Mawar tidak mengetahui dengan jelas apa alasannya. Ia dan rekan-rekan sesama pekerja tidak memprotes penurunan upah tersebut karena takut tidak dapat lagi mengupas biji mente, pekerjaan yang menjadi tumpuan pendapatan keluarganya selama lima tahun terakhir. </p>
<p>Sementara itu, Melati (54), seorang janda di Deli Serdang, Sumatra Utara, menerima Rp2.300 untuk setiap 1 bal (1000 lembar) kertas sembahyang umat Konghucu (Kertas Kimcua) yang ia rapihkan, lipat, dan kemas satu persatu. Dalam satu hari, ia bisa menyelesaikan sekitar 5 bal kertas, sehingga dalam sebulan upah yang didapat mencapai Rp300.000. Upah yang minim ini tidak berubah sejak awal ia terlibat dalam pekerjaan ini di tahun 2012. </p>
<p>Bagi Dahlia (37), di Cilacap, Jawa Tengah, upah menjahit gendongan bayi bagi sangat berharga untuk menambah pemasukan keluarga, selain kiriman suaminya yang menjadi buruh bangunan di Jakarta. Ia menerima Rp2.000 untuk setiap potong gendongan bayi yang ia selesaikan. Setiap minggu, ia bisa memproduksi sekitar 50 gendongan bayi dengan total upah berkisar Rp100.000 - Rp150.000. Dari jumlah ini, ia masih harus membeli benang dan membayar listrik mesin jahit yang ia tanggung sendiri. </p>
<p>Selama ini, upah pekerja rumahan ditentukan <a href="http://www.ilo.org/jakarta/whatwedo/publications/WCMS_438251/lang--en/index.htm">satu arah oleh pemberi kerja</a> (atau makelar). Persepsi patriarki bahwa pekerjaan perempuan adalah sumber penghasilan sekunder bagi rumah tangga juga turut berkontribusi atas rendahnya upah yang diberikan. <a href="http://e-journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/Penelitian/article/view/365/573">Sebuah studi</a> menemukan bahwa sebagian pemilik industri batik beranggapan bahwa pekerjaan membatik (oleh perempuan di rumah) hanya pekerjaan sampingan dan tidak membutuhkan keahlian khusus, sehingga wajar jika upahnya sedikit.</p>
<h2>Waktu kerja yang tidak terbatas</h2>
<p>Sementara para pekerja di sektor formal memiliki waktu kerja yang jelas dan berbatas, alokasi waktu kerja pekerja rumahan sepenuhnya <a href="http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.610.2434&rep=rep1&type=pdf">menjadi kuasa para pekerja sendiri</a>. Meskipun terdengar menguntungkan tapi pada kenyataannya sistem jam kerja seperti ini justru menambah beban buat pekerja perempuan rumahan karena mereka juga mengurusi pekerjaan rumah.</p>
<p>Empat tahun lalu, pekerjaan mengacip biji mente masih terpusat di rumah koordinator dari pukul 08.00 hingga 17.00 WITA. Namun, para pekerja, termasuk Mawar, meminta pekerjaan dilakukan di rumah masing-masing agar mereka tetap bisa mengerjakan tugas rumah tangga. Saat ini, Mawar biasa mengupas biji mente dari pukul 09.00 hingga 16.00 WITA. Durasi bisa lebih panjang, jika biji mente yang diterima ukurannya terlalu kecil. Pekerjaan mengacip biji mente selalu diselingi kegiatan mencuci, membersihkan rumah, dan menyiapkan makan bagi suami dan anak-anaknya.</p>
<p>Bagi Melati menjadi pelipat Kertas Kimcua adalah pilihan terbaik di usianya yang tidak lagi muda seperti saat dirinya masih menjadi buruh tani. Pekerjaan ini menurutnya juga ringan karena dirinya masih bisa mengerjakan pekerjaan rumah. Sejak pagi hingga sore hari, Melati harus mengurus pekerjaan rumah tangga, termasuk menyiapkan bekal bagi tiga anaknya yang bekerja sebagai buruh bangunan. Ia baru mulai melipat kertas pada malam hari ketika perempuan lain seusianya beristirahat. </p>
<p>Begitu juga Dahlia yang awalnya menjahit gendongan bayi di rumah pengepul. Namun, karena ia harus merawat anaknya yang berkebutuhan khusus, semua pekerjaannya dibawa ke rumah. Menurutnya itu lebih baik, karena ia bisa tetap mengawasi anaknya yang sekarang berusia 12 tahun dan mengalami gangguan pertumbuhan. Semua kegiatan rumah sehari-hari, harus ditangani olehnya sendiri karena suaminya berada di Jakarta dan hanya pulang dua bulan sekali.</p>
<p>Perempuan pekerja rumahan seringkali berasumsi bahwa waktu kerja yang fleksibel adalah keuntungan, padahal dalam banyak kasus pekerjaan mereka berujung pada: eksploitasi diri yang memberikan mereka beban ganda. Dalam upaya mencapai target produksi, mereka tetap harus menjalankan peran sebagai pengurus rumah tangga.</p>
<h2>Ketiadaan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja</h2>
<p>Perempuan miskin terlibat dalam kegiatan ekonomi cenderung memiliki status <a href="http://www.ilo.org/employment/Whatwedo/Publications/WCMS_117993/lang--en/index.htm">kesehatan yang lebih rendah</a>. Selain minimnya waktu untuk para pekerja perempuan itu sendiri, tidak adanya standar kesehatan dan keselamatan dalam pekerjaan rumahan membuat para pekerja dan anggota keluarganya memiliki <a href="http://www.ilo.org/jakarta/whatwedo/publications/WCMS_438251/lang--en/index.htm">risiko kesehatan yang tinggi</a>. </p>
<p>Risiko bekerja mengupas biji mente bagi Mawar adalah gatal-gatal akibat getah biji mente dan luka karena terkena alat pengupas mente. Oleh karena itu, ia harus menggunakan kapur dan sarung tangan yang ia sediakan sendiri. Apabila gatal, Mawar tidak mendapat bantuan dari pemberi kerja maupun koordinatornya. Membeli minyak gosok sendiri menjadi satu-satunya jalan untuk berobat. </p>
<p>Sementara itu, melipat Kertas Kimcua relatif tidak memiliki risiko kerja yang besar. Namun demikian, kelelahan akibat padatnya kegiatan sehari-hari, membuat Melati seringkali mengalami rematik dan anemia. Karena tidak memiliki jaminan kesehatan, ia harus mengeluarkan Rp100.000 untuk mendapatkan sebotol obat rematik <em>Propolis</em> yang telah dikonsumsinya selama satu tahun belakangan.</p>
<p>Sedangkan Dahlia mengaku tidak pernah mengalami sakit atau kecelakaan selama bekerja sebagai penjahit rumahan. Dirinya juga mengaku tidak pernah mendapatkan jaminan kesehatan maupun ketenagakerjaan dari pemberi kerjanya. Bahkan, Dahlia mengaku tidak begitu paham tentang jaminan ketenagakerjaan dan semacamnya.</p>
<p>Tidak adanya perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja merupakan konsekuensi bagi mereka yang bekerja di ranah informal, termasuk para pekerja perempuan rumahan. Di tengah risiko kerja dan kemiskinan yang tinggi, mereka yang tidak mendapat perlindungan cenderung tidak mengakses fasilitas kesehatan untuk berobat.</p>
<h2>Apa solusinya?</h2>
<p>Pekerja perempuan rumahan rentan terhadap risiko kerja yang mereka geluti. Kita bisa melihat bagaimana pentingnya bagi mereka untuk berserikat dan menyuarakan kepentingannya melalui kelompok advokasi dan organisasi pekerja. </p>
<p>Sementara itu, mempromosikan kesetaraan gender dalam rumah tangga juga penting untuk dilakukan, terutama terkait pembagian peran gender. Selain itu, program-program yang dapat membantu perempuan untuk meningkatkan kualifikasi serta akses mereka terhadap pekerjaan di luar rumah juga diperlukan untuk memperkuat posisi perempuan di dunia kerja.</p>
<p>Di sisi lain, pemerintah pusat maupun daerah perlu melakukan langkah tegas untuk memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap kontribusi perempuan pekerja rumahan bagi pembangunan. Status mereka selayaknya disejajarkan dengan para pekerja di sektor formal yang lain dengan konsekuensi memenuhi hak-hak mereka, yang diantaranya adalah hak akan penghasilan yang layak, hak mengambil cuti, dan hak mendapatkan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja. Memasukkan para pekerja perempuan rumahan ke dalam kerangka legal formal seperti UU Ketenagakerjaan dapat menjadi tindakan awal yang harus diikuti dengan penyediaan data yang akurat untuk memahami prevalensi dan kondisi pekerjaan pekerja rumahan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/92214/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Dinar Dwi Prasetyo terafiliasi dengan The SMERU Research Institute. Riset yang disebutkan dalam artikel adalah bagian dari program MAMPU (2012-2020), kemitraan antara pemerintah Australia dan Indonesia yang diimplementasikan oleh Cowater Sogema International Inc. atas nama Pemerintah Australia.</span></em></p>Pekerja rumahan menerima banyak beban risiko kerja disebabkan keterasingan mereka dari data statistik, pengakuan, dan regulasi pemerintah.Dinar Dwi Prasetyo, Researcher, SMERU Research InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/930112018-03-08T10:01:10Z2018-03-08T10:01:10ZApakah pakai cadar di universitas perlu dilarang?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/209283/original/file-20180307-146694-7avv6j.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=14%2C1%2C983%2C664&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga di Yogyakarta baru-baru ini melarang <a href="https://nasional.tempo.co/read/1066740/uin-sunan-kalijaga-yogya-larang-mahasiswi-bercadar">mahasiswi menggunaan cadar di kampus</a>. Dilaporkan, hingga saat ini ada sekitar 41 mahasiswi bercadar di seluruh fakultas.</p>
<p>Langkah ini dilakukan karena penggunaan cadar dipandang tidak sejalan dengan Islam Indonesia yang moderat sebagai visi perguruan tinggi tersebut. Di samping itu, penggunaan cadar juga dipandang membuat penggunanya seperti anonim sehingga menyulitkan pihak kampus untuk mengidentifikasi mahasiswi bercadar dalam memberikan pelayanan pendidikan.</p>
<p>Terlepas dari motivasi tersebut di atas, lagi-lagi pihak universitas hanya menyasar perempuan sebagai pengguna simbol-simbol identitas kelompok tertentu yang dipandang tidak sevisi. Betulkah simbol-simbol kelompok yang dikhawatirkan ini hanya ada pada perempuan? Jika cadar menyulitkan identifikasi penggunanya, betulkah hanya cadar yang demikian?</p>
<h2>Pilihan perempuan</h2>
<p>Pakaian bukan semata-mata selembar kain dan penggunaannya pun selalu disertai konteks. Bagi umat beragama, mungkin pakaian terkait erat norma-norma ajaran agama. Namun bagi pelaku bisnis, pakaian adalah ladang kapital. Bagi politikus, pakaian bisa menjadi simbol identitas penting untuk meraih dukungan.</p>
<p>Kita bisa saja berpakaian tanpa niatan khusus. Namun bagi sebagian orang, pakaian adalah media untuk menyampaikan pesan tertentu. Sebagai simbol, pakaian yang sama bisa memberikan pesan berbeda-beda. Demikian pula, pesan yang diterima orang lain yang melihatnya pun tidak selalu sama dengan penggunanya.</p>
<p>Menarik bahwa perempuan kerap menjadi obyek pengaturan terhadap cara berpakaian di berbagai belahan dunia. Di Arab Saudi, saat keluar rumah perempuan harus menutupi seluruh tubuhnya dengan menambahkan tambahan baju lapis luar berwarna hitam (abaya). Demikian pula di Indonesia, formalisasi syari’at Islam di berbagai daerah juga seringkali disertai dengan jilbasisasi perempuan.</p>
<p>Sebaliknya di Turki pada masa pemerintahan sekuler, perempuan yang bekerja di instansi pemerintah termasuk dosen di perguruan tinggi negeri jurusan agama dilarang berjilbab. Banyak yang mengganti jilbab dengan rambut palsu (wig). Hal yang sama terjadi di Prancis saat pemerintah melarang penggunaan simbol-simbol keagamaan di ruang publik. Ketika itu, di samping kalung salib, jilbab juga termasuk yang dilarang.</p>
<p>Dua pengalaman di atas menunjukkan bahwa perempuan sama-sama tidak diberi pilihan untuk menentukan jenis pakaian yang terbaik menurut keyakinannya sendiri. Di tempat yang melarangnya, perempuan yang berkeyakinan bahwa jilbab itu wajib tidak diberi ruang. Sebaliknya di tempat yang mewajibkannya, perempuan yang berkeyakinan bahwa jilbab itu tidak wajib juga tidak diberi pilihan. Pilihan yang berbeda dengan penguasa, tentu saja memiliki dampak peminggiran perempuan, baik sebagai umat beragama, warga negara, maupun sebagai mahasiswi di sebuah kampus.</p>
<p>Tentu saja, sebuah institusi pendidikan berhak menetapkan aturan yang berlaku di lingkungan kampus. Namun, peraturan yang didasarkan pada norma umum mestinya tidak hanya diberlakukan pada satu jenis kelamin tertentu. Misalnya kemudahan pemberian layanan, maka larangan menggunakan penutup wajah menjadi lebih relevan daripada hanya cadar, atau mewujudkan visi Islam Indonesia yang moderat, maka menumbuhkan tradisi berpikir kritis dalam beragama bagi seluruh mahasiswa menjadi lebih relevan.</p>
<h2>Mengontrol cara pandang</h2>
<p>Ayat Al-Quran dalam Surah An-Nur mengandung seruan bagi laki-laki dan perempuan untuk “menahan pandangannya dan memelihara alat kelaminnya”. Ayat ini kerap dipahami sebagai dasar untuk menundukkan mata (melihat tanah) ketika bertemu lawan jenis, atau lebih jauh lagi dengan menutupi tubuh perempuan termasuk mukanya dengan cadar supaya ketika dipandang tidak terlihat.</p>
<p>Menurut ahli semiotika al-Qur’an alumni al-Azhar Kairo, Dr. Amrah Kasim, pemaknaan kata <em>ghodldlul bashar</em> sebagai menundukkan mata adalah keliru. <em>Bashar</em> itu bukan mata melainkan kondisi mental saat melihat atau cara pandang. Ayat ini memberikan arahan agar kita tidak mamandang lawan jenis semata-mata sebagai objek seksual sehingga alat kelamin sulit terjaga dari zina. Lihatlah mereka sebagai makhluk spiritual dan intelektual sehingga dapat bergaul secara bermartabat layaknya manusia.</p>
<p>Cara pandang pada lawan jenis sebatas fisik atau biologis membuat manusia berperilaku seperti binatang yang memang tidak punya spiritualitas dan nalar dalam bertindak. Cara pandang seperti ini tidak akan menyelamatkan perempuan setertutup apa pun pakaiannya dan serendah apa pun mata laki-laki ditundukkan. Dalam sistem masyarakat yang patriarki, yang umumnya memandang perempuan sebagai objek seksual, apa pun kekhasan perempuan terus menerus mengingatkan orang yang memandangnya bahwa penggunanya adalah objek seksual, termasuk pakaian perempuan yang sangat rapat.</p>
<h1>Stop gunakan perempuan untuk simplifikasi</h1>
<p>Cara pandang pada perempuan sebagai makhluk intelektual dan spiritual yang diajarkan Islam juga menghendaki agar memandang perempuan sebagai subjek penuh dalam bermasyarakat, berbangsa, dan beragama. Hal ini meniscayakan keterlibatan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan agar cara pandang yang menyederhanakan persoalan besar menjadi hanya terkait dengan perempuan bisa dihindari. Termasuk di kampus.</p>
<p>Bukankah ada banyak hal penting dan mendasar dalam membangun keislaman Indonesia yang moderat di kampus selain soal cadar perempuan? Misalnya memperkuat struktur kurikulum yang memungkinkan kampus memiliki tradisi berpikir kritis dan komitmen kuat pada kemaslahatan publik. Sejak dini mahasiswa fakultas apa pun termasuk fakultas non-agama mesti mengenal, tidak harus sampai ahli, keragaman teks agama dan ilmu-ilmu alat untuk membacanya. Demikian pula ilmu-ilmu yang memungkinkan mereka kritis terhadap perubahan sosial dan bagaimana teks-teks keagamaan dihadirkan di sana.</p>
<p>Tradisi ini penting agar mahasiswa punya daya nalar memadai untuk mendeteksi aneka penyalahgunaan agama untuk kepentingan ekonomi, politik, maupun lainnya yang bertentangan dengan kemaslahatan publik yang menjadi kepentingan agama itu sendiri.</p>
<p>Jadi, persoalannya bukan semata-mata cadar yang hanya menyasar perempuan bukan?</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/93011/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Nur Rofiah tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Menarik bahwa pengaturan terhadap cara berpakaian perempuan terjadi di berbagai belahan dunia. Dan tidak hanya terjadi di negara Islam saja.Nur Rofiah, Lecturer of Quranic Study, Perguruan Tinggi Ilmu QuranLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/930092018-03-08T10:01:06Z2018-03-08T10:01:06ZCerita perempuan Prancis setelah menanggalkan niqab<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/209280/original/file-20180307-146666-5f0w3a.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=15%2C0%2C909%2C519&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Saliha (kiri) and Alexia pada 2012. Alexia tidak lagi mengenakan cadar. </span> <span class="attribution"><span class="source">Agnès De Feo</span>, <span class="license">Author provided</span></span></figcaption></figure><p>Hijab dan cadar terus menjadi perdebatan tajam di <a href="https://www.theguardian.com/world/2017/mar/14/headscarves-and-muslim-veil-ban-debate-timeline">Eropa</a>. Cara negara-negara Eropa menanggapi burqa dan niqab, yang menutupi wajah, berbeda-beda. <a href="https://www.theguardian.com/world/2013/sep/17/veil-womans-choice-theresa-may">Di Inggris diterima</a>. Prancis <a href="https://www.theguardian.com/world/2010/jan/31/french-muslim-burqa-veil-niqab">melarang</a>. Reaksi perempuan Muslim terhadap pembatasan tersebut berbeda-beda. Sebagian protes, sebagian menerima dengan enggan, dan ada juga yang <a href="https://www.spectator.co.uk/2017/03/the-right-to-ban-the-veil-is-good-news-for-everybody-including-muslims/">mendukung</a> larangan tersebut.</p>
<p>Namun apa yang terjadi ketika seorang perempuan yang telah mengenakan niqab, kadang selama bertahun-tahun, memutuskan untuk menanggalkannya?</p>
<p>Hanane dan Alexia—nama samaran untuk melindungi identitas mereka—keduanya lahir di Prancis. Hanane tumbuh di keluarga yang tidak mempraktikkan ajaran Muslim, sedangkan Alexia pindah agama menjadi Islam di usia 22 tahun. Selama lima tahun mereka berdua mengenakan niqab. Hanane mulai pada 2009, tepat sebelum Perancis melarang cadar seluruh wajah, sedangkan Alexia mengenakannya kemudian. Keduanya kini telah benar-benar menanggalkan niqab setelah sebelumnya menjadi pembela hak untuk mengenakan niqab. Transisi ini terjadi secara bertahap, dan disertai dengan jarak yang semakin jauh dari <a href="https://www.brookings.edu/blog/markaz/2016/07/15/islamism-salafism-and-jihadism-a-primer/">ideologi Salafi</a> ekstrem.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/207938/original/file-20180226-120971-17yc4d2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/207938/original/file-20180226-120971-17yc4d2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=372&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/207938/original/file-20180226-120971-17yc4d2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=372&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/207938/original/file-20180226-120971-17yc4d2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=372&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/207938/original/file-20180226-120971-17yc4d2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=468&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/207938/original/file-20180226-120971-17yc4d2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=468&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/207938/original/file-20180226-120971-17yc4d2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=468&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Hanane sekarang.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Agnès De Féo</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>‘Mulai hidup lagi’</h2>
<p>Pada 10 Januari, saat obral diskon Tahun Baru di Perancis, saya menjumpai Alexia dekat stasiun kereta Paris, Gare du Nord. Ia ingin membeli pakaian dan “mulai hidup lagi”. Di toko pertama ia membeli empat pasang celana yang pas badan, dan satu buah jaket. Ia kemudian menjajal beberapa pakaian Nepal yang dirancang sesuai selera Barat, termasuk jaket warna-warni dan celana dengan bagian bawah lebar.</p>
<p>Saat ia berjalan keluar dari ruang ganti, Alexia mengangguk pada dirinya di cermin: “Inilah saya sebenarnya. Saya akhirnya merasa seperti diri saya sendiri setelah bertahun-tahun terkungkung.” Dengan rambut yang menyapu wajahnya, ia terlihat seperti perempuan modern, benar-benar hidup. Saya terkesan dengan metamorfosisnya: sulit membayangkan bahwa ia mengenakan niqab selama lima tahun, dan merupakan salah satu perempuan paling radikal yang pernah saya temui. </p>
<p>Saya bertemu dengan Alexia pada Agustus 2011 dalam konteks <a href="https://ehess.academia.edu/Agn%C3%A8sDeFeo">penelitian saya soal cadar penuh</a> selama demonstrasi oleh kelompok Salafi Prancis <a href="http://www.liberation.fr/societe/2015/06/10/forsane-alizza-nous-entendions-creer-une-police-musulmane_1326640">Forsane Alizza</a> (secara harfiah artinya Pendekar Kebanggaan) di sebuah kota dekat Paris. Ia mengenakan niqab dan memperkenalkan dirinya sebagai istri dari salah seorang pemimpin kelompok tersebut. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/203250/original/file-20180124-107967-1arfh7v.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/203250/original/file-20180124-107967-1arfh7v.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=337&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/203250/original/file-20180124-107967-1arfh7v.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=337&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/203250/original/file-20180124-107967-1arfh7v.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=337&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/203250/original/file-20180124-107967-1arfh7v.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=423&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/203250/original/file-20180124-107967-1arfh7v.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=423&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/203250/original/file-20180124-107967-1arfh7v.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=423&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Acara kelompok Salafi Forsane Alizza pada Agustus 2011. Di tengah adalah pemimpinnya, Mohamed Achamlane, yang dipenjara pada 2015 atas konspirasi kriminal terkait perusahaan teroris.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Agnès De Féo</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Alexia mengingat saat itu:</p>
<blockquote>
<p>Kami menganggap semua pendukung Muslim di Republik Perancis itu kafir. Kami melakukan <em>takfir</em> (pengucilan) terhadap mereka yang tidak mempraktikkan ajaran Muslim seperti kami. Kami menentang <em>taghout</em> (penyembahan berhala dalam arti luas), misalnya negara dan institusi. Kami mendefinisikan diri sebagai <em>ghûlat</em>, yang berarti ‘ekstrimis’ dalam bahasa Arab.</p>
</blockquote>
<p>Perkiraan jumlah perempuan yang mengenakan niqab sangat bervariasi, dari beberapa ratus hingga <a href="http://www.lefigaro.fr/actualite-france/2009/09/09/01016-20090909ARTFIG00040-deux-mille-femmes-portent-la-burqa-en-france-.php">ribuan</a>. Dalam hal populasi Muslim Perancis sekali pun, persentase ini kecil.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/203251/original/file-20180124-107959-1gghw1o.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/203251/original/file-20180124-107959-1gghw1o.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=337&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/203251/original/file-20180124-107959-1gghw1o.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=337&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/203251/original/file-20180124-107959-1gghw1o.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=337&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/203251/original/file-20180124-107959-1gghw1o.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/203251/original/file-20180124-107959-1gghw1o.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/203251/original/file-20180124-107959-1gghw1o.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Hanane, yang saya temui di bagian sisi demonstrasi di depan Majelis Nasional Perancis, 2010.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Agnès De Féo</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>‘Niqab melindungi saya’</h2>
<p>Saya mengenal Hanane bahkan lebih lama daripada Alexia. Kami bertemu pada Januari 2010, saat demonstrasi mengenai perempuan dalam niqab di Place de la République di Paris, dan kemudian di depan Majelis Nasional. Dia dan yang lainnya memprotes usulan yang akan <a href="http://www.assemblee-nationale.fr/13/dossiers/dissimulation_visage_espace_public.%20asp">melarang menutupi wajah di tempat umum</a>.</p>
<p>Di awal 2017, Hanane menghubungi saya dan meminta saya untuk membantunya menulis buku tentang hidupnya. Dalam buku yang ingin ditulisnya, Hanane tidak ingin mencela niqab, melainkan untuk menceritakan kisah pemerkosaan yang dia sebutkan dilakukan berkali-kali oleh bapak mertuanya. Baginya, cerita ini membantu menjelaskan keterlibatannya dalam Salafisme.</p>
<blockquote>
<p>Agama membawa banyak hal yang membantu saya lepas dari trauma perkosaan. Saya berusia 19 sampai 20 tahun ketika saya mengenakan niqab. Saya melepasnya saat berusia 25 tahun. Dulu makin jauh saya melangkah, makin saya ingin menutupi diri. Niqab melindungi saya, saya seperti bersembunyi dari laki-laki. Saya bisa melihat mereka, tapi mereka tidak bisa melihat saya.</p>
</blockquote>
<p>Tidak seperti Alexia, yang memutuskan sendiri untuk mulai mengenakan cadar, Hanane ingat akan pengaruh dari lingkungan sosialnya saat itu:</p>
<blockquote>
<p>Kami adalah sekelompok gadis dan mengenakan niqab hampir bersamaan. Dalam kelompok kami, yang paling dulu adalah <a href="https://www.independent.co.uk/news/world/europe/paris-shootings-police-hunting-for-grocery-shop-gunmans-girlfriend-hayat-boumedienne-9969144.html">Ayat Boumédiène</a>, yang mengenakannya lebih dari dua tahun sebelum hukum (pelarangan niqab). Awalnya, semua normal tentangnya, dan kemudian dia mulai mengorganisasi pertemuan untuk mendorong kami mengangkat senjata. Adalah suaminya, Ahmadi Coulibaly, yang mengubah pemikirannya—dulu dia [Ahmadi] tidak menonjol sampai pada akhirnya dia dipenjara. Ayat ingin mengenalkan saya pada seorang laki-laki yang menurutnya harus saya nikahi, dia benar-benar memaksa. Lelaki itu kemudian dipenjara karena pembunuhan. Syukurlah saya tidak menurutinya—saya akan berada di Suriah hari ini bila mengiyakan.</p>
</blockquote>
<p>Pada 9 Januari 2015, Ahmadi Coulibaly menyerang <a href="https://www.huffingtonpost.com/2015/01/09/amedy-coulibaly-paris-kosher-market_n_6444418.html">pasar Hyper Cacher dekat Paris</a>. Boumédiène meninggalkan Paris seminggu sebelumnya, dan terlihat di <a href="https://www.theguardian.com/world/video/2015/jan/12/hayat-boumeddiene-shown-on-cctv-at-istanbul-airport-video">bandara Istanbul</a>. Dia masih dalam pelarian. Coulibaly membunuh lima orang dalam serangannya, dan tewas ketika polisi menyerang supermarket di mana ia menahan sandera.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/IJTyWhq_w40?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption">Trailer film film <em>Forbidden Veil</em>, disutradarai oleh Agnès De Féo dan diproduksi oleh Marc Rozenblum, 2017.</span></figcaption>
</figure>
<h2>‘Saya seperti keluar dari penjara’</h2>
<p>Ketika Perancis melarang cadar panjang dan penuh pada 2010, beberapa perempuan yang mengenakan niqab berganti ke jilbab, yang menutupi seluruh tubuh kecuali wajah, sedangkan yang lainnya <a href="http://www.slate.fr/story/153005/islam-pourquoi-quinquagenaires-virulentes-contre-niqab">menyerah pada tekanan publik</a> dan berhenti mengenakannya. Baik Alexia maupun Hanane berbeda: mereka berkata bahwa mereka telah sepenuhnya membuka lembaran baru. Alexia bahkan telah menjadi lawan sengit bagi cadar Islam dan Salafisme. Ia tetap mendefinisikan dirinya sebagai Muslim tapi kini membaca ayat-ayat dengan pandangan kritis. Hanane mengaku bahwa ia jadi kurang rajin dalam ritualnya: “Saya sering melewatkan shalat atau melakukannya terlambat. Beberapa hari saya bahkan tidak sempat shalat. Saat mengenakan niqab, saya sedikit lebih teratur, meski saya sering terlambat.”</p>
<p>Keduanya berkata mereka telah mengesampingkan bacaan lebih radikal yang sebelumnya mereka sukai, dan tidak lagi sering-sering membuka situs fundamentalis. Tapi proses ini tidak terjadi seketika—butuh waktu beberapa bulan. Alexia berkata, ia memutuskan untuk menanggalkan niqab atas saran dari seorang laki-laki yang berbagi hidup dengannya saat itu. Seorang mualaf Islam dan penganut Salafisme, dulunya ia merupakan pendukung pakaian konservatif untuk perempuan, namun demikian ia menyarankan Alexia untuk tidak lagi mengenakan niqab:</p>
<blockquote>
<p>Ketika ia melihat kondisi fisik saya, ia meminta saya untuk menanggalkan niqab—ia mengkhawatirkan kesehatan saya. Saya mengenakannya untuk menyenangkan Allah, tapi akibat kekurangan sinar matahari saya tidak lagi mensintesis vitamin D—kesehatan saya menurun. Saya mengikuti sarannya, tapi itu proses yang lama dan sulit. </p>
</blockquote>
<p>Alexia ingat:</p>
<blockquote>
<p>Ketika saya meanggalkan niqab, saya merasa seperti keluar dari penjara. Tapi tidak berarti saya terbebas—saya masih merasa buruk. Butuh waktu bertahun-tahun untuk melaluinya dan saya belum selesai membersihkan isi kepala saya. </p>
</blockquote>
<p>Hanane menanggalkan cadarnya setelah serangan terhadap majalah satir Perancis <a href="http://www.bbc.com/news/world-europe-30710883">Charlie Hebdo pada 2015</a> karena ia mengkhawatirkan keselamatan dirinya, lantaran menghadapi makin banyak cercaan di jalan. Ia mengatakan, bagian tersulit adalah pengucilan dari lingkungan sosialnya: </p>
<blockquote>
<p>Sejak saya menanggalkan cadar, banyak saudari Muslim tidak mau lagi berbicara dengan saya. Saya merasa mereka sombong dan tidak adil, karena siapa pun bisa memilih untuk menanggalkan cadarnya. Segelintir orang sesekali mengobrol dengan saya, tapi rasanya tidak seperti dulu lagi.</p>
</blockquote>
<p>Selama beberapa waktu Alexia kembali mengenakan cadar saat kembali ke lingkungan lamanya di timur laut Paris, di mana konservatisme sosial dan agama begitu kuat dalam komunitas tertentu. Kemudian dia akhirnya mengubah seluruh hidupnya.</p>
<blockquote>
<p>Hidup saya mulai berubah saat saya mendaftar di sebuah pusat kebugaran, yang memungkinkan saya keluar dari jaringan sosial Salafi yang merupakan satu-satunya sumber sosialisasi saya sebelumnya. Kemudian saya mendapat pekerjaan dan akhirnya mengucapkan selamat tinggal pada masa lalu saya.</p>
</blockquote>
<p>Dan di perkerjaan inilah ia bertemu dengan laki-laki yang akan dinikahinya. Ia bukan seorang Muslim, dan pernikahan mereka berlangsung di balai kota. Pilihan yang tak terpikirkan bagi perempuan ini, yang dulu pernah membenci institusi Perancis.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/202265/original/file-20180117-53328-1oxp5mh.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/202265/original/file-20180117-53328-1oxp5mh.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/202265/original/file-20180117-53328-1oxp5mh.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/202265/original/file-20180117-53328-1oxp5mh.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/202265/original/file-20180117-53328-1oxp5mh.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/202265/original/file-20180117-53328-1oxp5mh.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/202265/original/file-20180117-53328-1oxp5mh.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Alexia
mengunjungi stan di pameran tahunan untuk Muslim Perancis di Le Bourget, Paris utara, 2017.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Agnès De Féo</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Rasa yang getir</h2>
<p>Kalau dipikir-pikir, baik Alexia maupun Hanane tidak membicarakan “jalan keluar” mereka dari niqab sebagai pembebasan. Alih-alih, pengalaman telah meninggalkan mereka dengan rasa getir. Mereka berkata, dalam satu titik dalam kehidupan mereka, mereka meyakini pentingnya mengenakan cadar penuh: Alexia percaya bahwa ia tengah meraih kesempurnaan Muslim dan memberikan arti bagi hidupnya—ia membayangkan bertemu dengan laki-laki saleh dan berbudi luhur yang akan melindunginya dari kehidupannya sebagai ibu tunggal. Bagi Hanane, tujuannya adalah menyembuhkan luka masa remaja yang disebabkan oleh trauma keluarga dan pengasuhan.</p>
<p>Alexia kini merasa bahwa periode tersebut mengorbankan bertahun-tahun kehidupannya, dan memunculkan kemarahan terhadap propaganda yang berasal dari Arab Saudi. Ia menyalahkan seluruh sistem yang mendoktrinnya, meski ia sadar bahwa dalam arti tertentu, tindakannya bersifat sukarela. Menurutnya, Negara Islam (IS) mendapat keuntungan dari kenaifan mereka yang percaya bahwa mereka berkomitmen pada Salafisme untuk alasan yang sah dan masuk akal.</p>
<p>Meskipun keduanya melepas niqab, baik Hanane maupun Alexia tidak mendukung pelarangan 2010. Hanane baru-baru ini mengtakan pada saya: “Hukum itu kontraproduktif. Satu-satunya jalan keluar adalah dengan diri sendiri. Larangan tidak akan meyakinkan perempuan mana pun untuk menanggalkannya.” Alexia memiliki reaksi yang sama, berkata bahwa hukum telah menyebabkan beberapa perempuan mengisolasi dirinya dari lingkungan masyarakat dan bahwa beberapa orang mungkin memakainya sebagai gerakan pemberontakan.</p>
<p>Kesaksian dari mereka yang telah memilih untuk “menanggalkan niqab” amatlah jarang. Jumlah perempuan yang telah melakukannya sangat sedikit, dan mereka yang kemudian memilih untuk menanggalkannya sering kali harus memutus hubungan lama mereka dan menerima apa yang dalam banyak hal merupakan sebuah identitas baru—mereka mengubah alamat surat elektronik, nomor telepon, dan melanjutkan hidup sepenuhnya. Bagi mereka, cadar penuh dan panjang telah menjadi sesuatu yang tegas di masa lalu, mewakili tahap transisi dalam hidup mereka.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/93009/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Agnès De Féo adalah salah satu pendiri Sasana Productions dan mengajar di sekolaj jurnalisme di CFPJ. </span></em></p>Sejumlah perempuan yang pernah menggunakan dan membela hak penggunaan cadar tertutup penuh yang dikenal sebagai niqab memilih untuk berhenti menggunakannya. Dua perempuan membagi kisah mereka.Agnès De Féo, Sociologue, École des Hautes Études en Sciences Sociales (EHESS)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/869402017-11-09T10:29:06Z2017-11-09T10:29:06ZAustralia dan Indonesia perlu bekerja sama untuk melawan KDRT<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/193429/original/file-20171106-1046-12j07j7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C2500%2C1661&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Belajar dari satu sama lain. </span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>Di Bali pada 5 September 2017, seorang pria <a href="http://www.bbc.com/indonesia/trensosial-41251933">memotong kaki istrinya</a> menggunakan golok. Sang korban, Ni Putu Kariani, selamat dari serangan mengerikan tersebut tapi akan menderita cacat seumur hidup. </p>
<p>Sekitar sebulan setelah Putu mengalami serangan, Rachael Anne di Sydney <a href="http://www.news.com.au/national/nsw-act/crime/sydney-woman-in-critical-condition-after-throat-slashing-incident/news-story/8b5d52b381ef0286058e29d246c6e2cd">digorok</a>, diduga pelakunya adalah pasangannya. Seperti Putu, Rachael akan mengalami cacat dalam jangka waktu yang lama. Kita masih belum tahu apakah dia akan menderita lumpuh seluruh badan akibat serangan tersebut. </p>
<p>Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menimpa perempuan baik di Australia maupun Indonesia. Menurut Badan Statistik Australia, <a href="http://media.aomx.com/anrows.org.au/PSS_2016update.pdf">satu dari empat perempuan di Australia</a> pernah menderita kekerasan fisik atau seksual yang dilakukan oleh pasangan. Di Indonesia, <a href="http://www.unfpa.org/news/new-survey-shows-violence-against-women-widespread-indonesia">satu dari tiga</a> perempuan telah mengalami kekerasan fisik atau seksual dalam kehidupan mereka. </p>
<hr>
<p><em><strong>Baca juga:</strong> <a href="https://theconversation.com/pengabdi-setan-dan-kisah-hantu-perempuan-simbol-adanya-kekerasan-terhadap-perempuan-85417">‘Pengabdi Setan’ dan kisah hantu perempuan: simbol adanya kekerasan terhadap perempuan</a></em></p>
<hr>
<p>Australia dan Indonesia perlu bekerja sama untuk mengatasi masalah universal ini. Dana bantuan dari Australia semakin sedikit dan mungkin menyulitkan adanya kerja sama di tingkat antarpemerintah. Namun, aktivis di lapangan sebaiknya mengeksplorasi kemungkinan kerja sama untuk belajar dari satu sama lain dalam hal melawan KDRT. </p>
<h2>Menghitung pembunuhan perempuan</h2>
<p>Pada 2016, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melaporkan ada <a href="https://coconuts.co/jakarta/news/jakarta-cases-violence-women-2016-komnas-perempuan/">13.602 kasus</a> kekerasan terhadap perempuan, kebanyakan KDRT (75%). Namun, angka ini hanya mewakili sebagian dari kekerasan yang terjadi pada 2016 karena pelaporan rendah dan pengumpulan data tidak begitu baik. </p>
<p>Kasus Putu adalah satu dari banyak kejadian KDRT di Indonesia yang dicatat oleh aktivis hak perempuan <a href="https://www.google.com/url?q=http://www.abc.net.au/news/2016-10-27/australian-expat-collecting-indonesian-domestic-violence-data/7968524&sa=D&ust=1509272351580000&usg=AFQjCNEyO4_-5cGH0VyOUs4ARNW8_TM0tQ">Kate Walton</a> dalam inisiatif “<a href="https://www.facebook.com/menghitungpembunuhanperempuan/">Menghitung Pembunuhan Perempuan</a>” (Counting Dead Women). Ia memantau pemberitaan mengenai KDRT untuk menciptakan basis data mengenai kejadian KDRT. Ia juga membagi informasi yang terkumpul ke pemerintah dan LSM untuk meningkatkan kesadaran mengenai isu ini.</p>
<p>Data statistik tepercaya penting untuk melawan kekerasan terhadap perempuan. Namun, menghitung jumlah perempuan yang telah diserang, dilukai, atau dibunuh oleh pasangan hanya satu bagian dari usaha melawan kekerasan. </p>
<h2>Terlalu sedikit dan terlambat</h2>
<p>Pada 2004, Indonesia menetapkan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Undang-Undang ini secara umum mendefinisikan KDRT sebagai kekerasan yang tidak hanya mencakup kekerasan fisik, tapi juga psikis, ekonomi, dan seksual. </p>
<p>Namun, 12 tahun sejak pengesahannya, berbagai halangan untuk menjalankan Undang-Undang tetap ada. Proses hukum yang berbelit, sulitnya mendapatkan bukti medis, dan biaya yang harus dikeluarkan dalam proses pengadilan pidana dan agama dapat menjadi halangan bagi perempuan yang ingin bercerai untuk lari dari KDRT atau yang ingin melaporkan KDRT. </p>
<p>Tingkat pendidikan yang rendah atau kurangnya pemahaman soal hak, hambatan geografis dan ekonomi, dan perilaku atau budaya yang negatif terhadap hak perempuan dalam masyarakat juga membatasi akses terhadap keadilan. Lebih jauh lagi, perempuan yang mengalami KDRT mungkin takut adanya balasan atau stigma dari keluarga atau masyarakat. </p>
<hr>
<p><em><strong>Baca juga:</strong> <a href="https://theconversation.com/laki-laki-harus-dilibatkan-dalam-memerangi-kekerasan-terhadap-perempuan-85333">Laki-laki harus dilibatkan dalam memerangi kekerasan terhadap perempuan</a></em></p>
<hr>
<p>Di Indonesia, kebanyakan laporan KDRT ditangani melalui cara-cara non-hukum. Di tingkat lokal, keluarga atau pemimpin masyarakat sering menengahi melalui resolusi konflik tradisional. Ada juga <a href="http://ro.uow.edu.au/cgi/viewcontent.cgi?article=1748&context=lhapapers">laporan</a> bahwa polisi sering tidak mengindahkan pengaduan perempuan mengenai KDRT ketimbang menyelidiki terduga pelaku. </p>
<p>Kebanyakan kasus tidak sampai ke pengadilan. Kasus KDRT yang masuk ke meja hijau, kebanyakan diselesaikan di persidangan perceraian, ketimbang pengadilan pidana. </p>
<p>Di tingkat kelembagaan, penanganan KDRT di Indonesia bisa digambarkan sebagai terlalu sedikit dan terlambat. Saat ini, lubang-lubang di kebijakan dan program pemerintah diisi oleh LSM sesuai kemampuan terbaik mereka. </p>
<h2>Pelayanan garda depan</h2>
<p>Program-program untuk korban yang diberikan oleh <a href="http://yayasanpulih.org/en/coming-soon/">Yayasan Pulih</a> di Jakarta dan <a href="http://www.rifka-annisa.org/id/">Rifka Anisa</a> di Yogyakarta menyediakan pelayanan garda depan untuk perempuan Indonesia. Namun, kegiatan berbasis masyarakat untuk korban KDRT sebagian besar mengalami keterbatasan pendanaan. Skala dan kapasitas program-program seperti ini harus diperluas sesegera mungkin. </p>
<p>Pelayanan garda depan di Australia juga terus menerus mengalami <a href="http://www.smh.com.au/comment/the-governments-commitment-to-domestic-violence-funding-is-hollow-20170427-gvtjn0.html">pemotongan pendanaan</a> dan kapasitas yang ada seringkali kewalahan menangani banyaknya perempuan yang membutuhkan bantuan. </p>
<p>Namun, seperti disorot dalam penemuan <a href="http://www.rcfv.com.au/MediaLibraries/RCFamilyViolence/Reports/Final/RCFV-Summary.pdf">Royal Commission into Family Violence (2016)</a>, respons terhadap KDRT di Australia telah meningkat secara signifikan sepanjang dekade terakhir. Meski masih ada kegagalan dan keterbatasan, sistemnya membaik. Saat ini laporan ke polisi mengenai KDRT telah meningkat dan ada kesadaran masyarakat dan lembaga yang lebih besar mengenai dinamika KDRT. </p>
<p>Ada banyak hal yang Indonesia bisa pelajar dari Australia dalam melawan KDRT. Sayangnya, dengan terus menurunnya <a href="https://www.lowyinstitute.org/issues/australian-foreign-aid">dana bantuan Australia</a>, kerja sama dalam hal penanganan KDRT kemungkinan besar tidak akan meningkat di tingkat antarpemerintah. Namun, ada peluang untuk LSM dan aktivis Australia untuk bekerja sama secara langsung dengan LSM Indonesia untuk membantu mengatasi KDRT di tingkat masyarakat. </p>
<p>“Kerja sama” tidak berarti ekspor pengetahuan dan pendekatan Australia terhadap KDRT. Namun, kerja sama bermakna integrasi pengetahuan dari Australia dan Indonesia serta adaptasi pendekatan Australia ke dalam konteks budaya Indonesia. Kate Walton, yang berasal dari Australia, menjelaskan ketika bekerja dalam isu gender di Indonesia, organisasinya harus menimbang beragam elemen, tidak hanya gender tapi isu yang bertautan seperti agama, budaya, geografi, etnis, dan kelas sosial. </p>
<h2>Bagaimana sebaiknya respons kita?</h2>
<p>Perempuan, terlepas dari kekayaan, status sosial, tingkat pendidikan, agama atau etnis, terus menghadapi risiko tinggi KDRT. KDRT tidak hanya berbahaya bagi perempuan secara individual tapi juga memiliki dampak buruk bagi masyarakat Australia dan Indonesia. </p>
<p>Respons kita terhadap kekerasan menentukan kita sebagai sebuah masyarakat. Mungkin lebih mudah untuk memperlakukan kasus-kasus seperti Putu dan Rachael sebagai kasus unik, atau mengecilkan kasus-kasus tersebut sebagai masalah psikologis pelaku kekerasan. Namun itu salah. </p>
<p>KDRT cerminan relasi hubungan yang tak setara antara laki-laki dan perempuan. Struktur sosial patriarkis dan norma-norma gender baik di Australia dan Indonesia melanggengkan kekerasan terhadap perempuan.</p>
<p>Sementara tidak ada jawaban mudah untuk mengatasi KDRT, kerja sama antara Australia dan Indonesia dapat mengisi kurangnya pengetahuan serta meningkatkan kualitas praktik penanganan KDRT di masing-masing negara. </p>
<p>Kolaborasi antara aktivis di tingkat masyarakat memiliki potensi untuk meningkatkan kapasitas masyarakat untuk mencegah dan merespons KDRT. Perempuan dan laki-laki Australia dan Indonesia harus bekerja sama untuk mengakhiri KDRT.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/86940/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Balawyn Jones tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Aktivis hak perempuan dari Australia dan Indonesia harus mengeksplorasi kemungkinan kerja sama untuk belajar dari satu sama lain dalam melawan KDRT.Balawyn Jones, PhD Candidate and Research Fellow, The University of MelbourneLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/852822017-10-11T10:39:29Z2017-10-11T10:39:29ZSunat perempuan umum ditawarkan melalui klinik kelahiran di Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/189776/original/file-20171011-15748-1muboz3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Apapun bentuknya, sunat perempuan melanggar hak kesehatan anak perempuan. </span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span></figcaption></figure><p><a href="http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs241/en/">Perlukaan alat kelamin perempuan (<em>female genital cutting</em>)</a>, suatu tradisi kuno memotong, menggores, menusuk, atau melukai alat kelamin gadis-gadis muda, diyakini dipraktikkan terutama di sub Sahara Afrika dan Timur Tengah. Namun, <a href="http://www.unicef.org/media/files/FGMC_2016_brochure_final_UNICEF_SPREAD.pdf">laporan terbaru dari United National Children Fund</a> menunjukkan bahwa ternyata perlukaan serupa, walau bukan mutilasi, banyak terjadi di Indonesia. </p>
<p>Sekitar 60 juta perempuan atau separuh dari total perempuan di Indonesia, negara dengan populasi mayoritas Muslim terbesar di dunia, diperkirakan telah menjalani perlukaan alat genitalnya (sunat perempuan) semasa bayi.</p>
<p>Di Indonesia, praktik yang dikenal sebagai khitan atau sunat perempuan telah lama dipraktikkan di masyarakat oleh “penyunat” tradisional. Dalam 10-15 tahun terakhir, praktik ini juga dilakukan oleh para petugas kesehatan (nakes), atau istilahnya “medikalisasi”, sehingga hal yang tadinya ritual simbolik malah jadi melembaga sebagai praktik medis melukai alat kelamin bayi perempuan. </p>
<p>Banyak klinik bersalin kini menawarkan prosedur sunat bayi perempuan sebagai bagian dari paket pelayanan kelahiran, dilakukan segera setelah persalinan, tanpa biaya tambahan.</p>
<h2>Mengapa sunat perempuan begitu umum di Indonesia</h2>
<p>Di Indonesia, orang-orang menganggap sunat sebagai tindakan wajib dari agama dan bagian dari tradisi. Mayoritas Muslim di Indonesia menganut <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Shafi%27i">mazhab Syafii</a> yang mewajibkan sunat bagi anak laki-laki dan perempuan. </p>
<p>Pada 2006 pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan mencoba melarang praktik medikalisasi sunat perempuan. Namun para ulama bereaksi dengan mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa sunat perempuan merupakan bagian dari praktik keagamaan. Pada 2010, Kementerian Kesehatan Indonesia <a href="http://www.hukor.depkes.go.id/uploads/produk_hukum/PMK%20No.%201636%20ttg%20Sunat%20Perempuan.pdf">mengeluarkan peraturan yang mengizinkan petugas medis melakukan perlukaan di genital bayi perempuan</a>. </p>
<p>Argumen yang mendukung medikalisasi sunat perempuan adalah bahwa lebih baik petugas medis terlatih yang melakukan prosedur itu daripada mengambil risiko infeksi parah jika dilakukan oleh penyunat tradisional. Namun, medikalisasi oleh petugas kesehatan malah justru berbahaya karena bidan atau dokter cenderung menggunakan gunting dan benar-benar melukai kulit sekitar alat genital bayi perempuan secara nyata. Sementara, penyunat tradisional hanya melakukan ritual simbolik menggores sepotong kunyit atau jengger ayam, dengan menggunakan pisau lipat, tidak berani memotong alat genital bayi. </p>
<p>Pada 2014, Kementerian Kesehatan mencabut peraturan (izin) tersebut. Namun, lembaga medis terus melaksanakan prosedur sunat perempuan tersebut. Perlukaan genital bayi perempuan sekarang lebih sering dilakukan oleh petugas medis daripada penyunat tradisional.</p>
<p>Dalam sebuah penelitian <a href="http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/Pnacu138.pdf">Population Council Indonesia pada 2001-2002</a> tentang penyunatan perempuan, dari 2.215 kasus yang dilaporkan, 68% dilakukan oleh dukun bayi dan penyunat tradisional. Sisanya 32% dilakukan oleh tenaga medis, kebanyakan bidan. </p>
<p>Lima belas tahun kemudian, proporsi di atas sudah terbalik. Lebih banyak sunat perempuan dilakukan oleh tenaga medis daripada penyunat tradisional. Data dari <a href="http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%202013.pdf">Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskesdas) 2013</a> menunjukkan petugas medis melakukan lebih dari separuh atau 53,2% dari sunat perempuan yang dilaporkan. Dari persentase tersebut, 50,9% dilakukan oleh bidan, 2,3% oleh petugas medis lainnya, dan selebihnya sekitar 46,8% oleh dukun bayi atau penyunat tradisional.</p>
<h2>Dilakukan terhadap bayi</h2>
<p>Studi pada 2001-2002 menunjukkan bahwa 85,2% sunat perempuan dilakukan pada bayi perempuan baru lahir atau sebelum anak perempuan mencapai usia sembilan tahun. Survei 2013 mengkonfirmasi hal ini: 96,7% sunat perempuan dilakukan sebelum usia lima tahun, dan dari jumlah ini, 82,8% dilakukan saat bayi berusia antara 0-11 bulan.</p>
<p>Mayoritas dari perempuan dengan sunat perempuan tidak dapat mengingat proses atau rasa sakit saat ditanyai sebagai responden dewasa. Akibatnya, tidak ada bukti komplikasi fisik atau psikologis yang langsung kelihatan atau yang timbul dalam jangka panjang.</p>
<p>Pengamatan langsung terhadap prosedur sunat perempuan pada 2001-2002 menunjukkan bahwa tindakan medikalisasi sunat perempuan melibatkan rasa sakit karena goresan (24,3%) dan sayatan (49,2%), atau perlukaan dengan menggunting/memotong (22,4%) sebagian kulit atau mucosa disekitar labia dalam dekat clitoris. Terlihat ada juga peregangan (3%) dan sebagian kecil penusukan dan penindikan (1,1%).</p>
<h2>Keinginan orang tua</h2>
<p>Studi 2001-2002 menunjukkan bahwa 92% orang tua yang diwawancarai menginginkan praktik tersebut berlanjut. Data ini berasal dari delapan kabupaten di enam provinsi: Sumatra Barat, Banten, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Gorontalo, dan Sulawesi Selatan. Orang tua menyatakan tidak hanya menginginkan anak perempuan mereka menjalani sunat tapi juga cucu mereka di masa depan.</p>
<p>Survei Kesehatan Dasar Nasional 2013 menunjukkan hal yang sama, kebanyakan orang tua (90-94,9%) mempunyai keinginan serupa di sembilan provinsi di Indonesia, termasuk Aceh, Kalimantan Timur, sebagian besar Sulawesi dan Gorontalo, juga Maluku dan Maluku Utara. Dan 24 provinsi lainnya di Indonesia menunjukkan persentase yang lebih rendah.</p>
<h2>Berbeda dengan Afrika?</h2>
<p>Sulit untuk membandingkan praktik mutilasi alat kelamin perempuan atau pemotongan di Afrika dengan perlukaan alat kelamin bayi perempuan di Indonesia. </p>
<p>Studi Population Council 2001-2002 menunjukkan bahwa sebagian besar khitan tradisional di Indonesia terbatas pada simbolik atau hanya menggores, menggesek, dan menindik dengan jarum untuk menghasilkan setetes darah.</p>
<p>Sebaliknya, di Afrika, praktik ini dilaporkan melibatkan pemotongan untuk menghilangkan klitoris (atau lipatan kulit di sekitar klitoris) sebagian atau seluruhnya, dan kemudian dijahit untuk mempersempit lubang vagina (infibulasi) yang dapat menyebabkan komplikasi pada persalinan di kemudian hari.</p>
<p>Dari <a href="http://www.who.int/reproductivehealth/topics/fgm/overview/en/">klasifikasi jenis sunat perempuan WHO pada 1997</a>, praktik sunat perempuan di Indonesia mengacu pada tipe “tidak terklasifikasi” atau Tipe IV:</p>
<blockquote>
<p>“Semua prosedur berbahaya lainnya terhadap genital perempuan untuk tujuan non-medis”.</p>
</blockquote>
<h2>Hak asasi manusia</h2>
<p>Meski demikian, apapun bentuk perlukaan alat kelamin perempuan tidak dapat diterima.</p>
<p>Bahwa hal itu dilakukan tanpa persetujuan bayi atau gadis kecil dan tanpa manfaat kesehatan atau perintah agama yang jelas sudah cukup untuk mengklasifikasikan tindakan ini sebagai pelanggaran hak asasi manusia dan hak kesehatan bayi dan anak perempuan.</p>
<p>Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan dengan jelas pada 1997 bahwa mutilasi alat kelamin perempuan tidak boleh dilembagakan, dan bentuk perlukaan alat genital tidak seharusnya dilakukan oleh profesional kesehatan mana pun dalam lingkungan atau tempat pelayanan kesehatan. </p>
<p>Dengan mengizinkan dokter, bidan, dan perawat untuk mempraktikan sunat perempuan, Kementerian Kesehatan telah salah melegitimasi praktik tersebut secara medis, sehingga terjadi pelembagaan praktik medikalisasi di Indonesia. Walau peraturannya sudah dicabut, perlu upaya menghentikan medikalisasi sunat perempuan. </p>
<p>Pemerintah harus melakukan kampanye yang menginformasikan kepada masyarakat bahwa khitan perempuan tidak diwajibkan berdasarkan hukum Islam. Pemerintah juga harus memperbarui kurikulum pelatihan kebidanan untuk menghapus medikalisasi sebagai bagian praktik pelayanan ibu dan bayi baru lahir di fasilitas kesehatan untuk melahirkan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/85282/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Meiwita Budiharsana tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Sunat perempuan sudah lama dilakukan oleh penyunat tradisional di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, ritual itu makin dilembagakan dalam praktik medis.Meiwita Budiharsana, Lecturer, Faculty of Public Health, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.