tag:theconversation.com,2011:/us/topics/kekerasan-seksual-44462/articlesKekerasan seksual – The Conversation2024-03-27T03:38:06Ztag:theconversation.com,2011:article/2261022024-03-27T03:38:06Z2024-03-27T03:38:06ZDisparitas pemidanaan: mengapa pelaku kekerasan seksual bisa mendapat hukuman berbeda-beda untuk kasus serupa?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/584641/original/file-20240327-20-cm4rr0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C8%2C5751%2C3819&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Ilustrasi korban kekerasan seksual.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/stop-violence-against-women-concept-stopping-1390573145">Tinnakorn jorruang/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Praktik hukum di Indonesia masih menunjukkan adanya <a href="http://mappifhui.org/wp-content/uploads/2017/10/Disparitas-Tindak-Pidana-Korupsi.pdf">disparitas pemidanaan</a>, yakni ketika ada dua orang atau lebih melakukan tindak pidana yang serupa, dengan modus dan cara yang sama, tetapi divonis jenis atau besaran hukuman yang berbeda. </p>
<p>Pada dasarnya, <a href="https://link.springer.com/book/10.1007/978-3-642-32388-1">tidak semua disparitas pemidanaan adalah buruk</a>, karena hampir tidak ada perkara yang benar-benar sama.</p>
<p>Menjadi masalah ketika terdapat rentang perbedaan hukuman yang sangat jauh terhadap perkara yang serupa, terlebih lagi perbedaan tersebut disebabkan oleh <a href="https://us.sagepub.com/en-us/nam/how-do-judges-decide/book232267">prasangka dan bias oleh hakim</a> dengan mempertimbangkan <a href="https://us.sagepub.com/en-us/nam/how-do-judges-decide/book232267">faktor-faktor yang tidak relevan</a>.</p>
<p>Kami melakukan penelitian mengenai disparitas pemidanaan kasus perkosaan dan pencabulan terhadap anak dan orang dewasa pada putusan-putusan di seluruh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Militer dari tahun 2019 hingga 2021. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan proses analisisnya menggunakan pendekatan yuridis normatif (berdasarkan teori dan asas hukum sekarang telaah peraturan perundang-undangan).</p>
<h2>Temuan penelitian</h2>
<p>Untuk tindak pidana perkosaan, dari 350 putusan yang terdiri dari 363 terdakwa, diperoleh 33 (tiga puluh tiga) kategori karakteristik yang serupa. Sedangkan pada tindak pidana pencabulan, dari 303 putusan yang terdiri dari 307 terdakwa, diperoleh 18 (delapan belas) kategori karakteristik yang serupa.</p>
<p>Variabelnya terdiri atas jumlah korban, status disabilitas korban, usia korban, kondisi ketidakberdayaan korban, cara melakukan tindak pidana, status terdakwa sebagai orang yang dipercayakan untuk mengurus korban, tindak pidana yang diawali dengan ancaman atau tidak serta dampak terhadap korban.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/584644/original/file-20240327-28-b7jv5t.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/584644/original/file-20240327-28-b7jv5t.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/584644/original/file-20240327-28-b7jv5t.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/584644/original/file-20240327-28-b7jv5t.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/584644/original/file-20240327-28-b7jv5t.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/584644/original/file-20240327-28-b7jv5t.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/584644/original/file-20240327-28-b7jv5t.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Aktivis melakukan aksi di depan gedung DPR-MPR RI di Senayan, Jakarta, pada Desember 2021 untuk mendesak disahkannya RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/jakarta-indonesia-december-22-2021-activists-2094852571">Toto Santiko Budi/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Total disparitas pemidanaan pada perkara perkosaan yang kami temukan adalah sebesar 88%, sedangkan dalam perkara pencabulan adalah sebesar 80%.</p>
<p>Contohnya adalah <a href="https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/download_file/924b564c923a4d3f91e194bd561264f9/pdf/zaec316de1d7963298bb313332303535">Putusan Pengadilan Negeri Purwakarta</a> yang terdakwanya divonis penjara 132 bulan (11 tahun). Sementara dalam putusan <a href="https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/download_file/0038a9f2cdea5016e8d482cdbc476e10/pdf/3775e9941f7a77deb9131a81ca9af7f8">Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta</a>, terdakwa divonis penjara selama delapan bulan. Perbedaan vonis kedua pelaku tersebut adalah 120 bulan (10 tahun).</p>
<p>Padahal, kedua putusan tersebut sama-sama dipidana berdasarkan Pasal 285 KUHP dan mempunyai karakteristik perkara berdasarkan variabel yang serupa.</p>
<h2>Mengapa terjadi disparitas?</h2>
<p>Setidaknya ada empat faktor yang dapat menyebabkan terjadinya disparitas pemidanaan.</p>
<p><strong>1. Tumpang tindih peraturan</strong> </p>
<p>Indonesia masih memiliki permasalahan terkait tumpang tindihnya muatan peraturan perundang-undangan. </p>
<p>Misalnya tindak pidana eksploitasi seksual terhadap anak, diatur dalam <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Details/38723/uu-no-35-tahun-2014">UU Perlindungan Anak</a>, <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Details/39849/uu-no-21-tahun-2007">UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang</a>, dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (<a href="https://peraturan.bpk.go.id/Details/207944/uu-no-12-tahun-2022">UU TPKS</a>). Masing-masing aturan tersebut memuat ancaman hukuman yang berbeda-beda. Konsekuensinya, dapat terjadi perbedaan hukuman pada perkara serupa karena penegak hukum menggunakan aturan yang berbeda.</p>
<p>Ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada juga kerap kali saling bertentangan atau tidak sejalan.</p>
<p>Misalnya, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2017 terkait <a href="https://jdih.mahkamahagung.go.id/legal-product/sema-nomor-1-tahun-2017/detail">Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (SEMA 1/2017)</a> mengatur bahwa jika pelakunya sudah dewasa dan korbannya adalah anak, maka Hakim dapat menjatuhkan pidana di bawah ancaman minimal dengan pertimbangan ada perdamaian antara pelaku/keluarga pelaku dengan korban/keluarga korban, pelaku dan korban sudah menikah, atau perbuatan dilakukan suka sama suka.</p>
<p>SEMA 1/2017 tersebut bermasalah karena rentan menciptakan reviktimisasi atau proses seorang korban kekerasan seksual menjadi korban kembali jika ada upaya pemaafan, perdamaian, bahkan pernikahan pelaku dan korban anak.</p>
<p>Aturan tersebut juga bertentangan dengan <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Details/209695/perma-no-3-tahun-2017">PERMA 3/2017</a> tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, yang mengatur pertimbangan hakim dalam menangani perkara perempuan berhadapan dengan hukum. Pertimbangannya termasuk dampak psikis yang dialami korban, ketidakberdayaan fisik dan psikis korban, relasi kuasa yang mengakibatkan korban/saksi tidak berdaya, riwayat kekerasan dari pelaku terhadap korban/saksi, dan lain sebagainya.</p>
<p>Pada konteks kasus kekerasan seksual, <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Details/207944/uu-no-12-tahun-2022">UU TPKS</a> juga secara tegas menyatakan bahwa perkawinan anak dan pemaksaan perkawinan korban dengan pelaku perkosaan merupakan termasuk tindak pidana pemaksaan perkawinan.</p>
<p>Perbedaan materi muatan antara SEMA 1/2017, PERMA 3/2017, dan UU TPKS tersebut tentu akan berdampak pada perbedaan pertimbangan hakim dan bermuara pada perbedaan hukuman. SEMA 1/2017 perlu menyesuaikan aturan lainnya yang mendukung upaya pencegahan kekerasan seksual maupun reviktimisasi korban.</p>
<p><strong>2. Internal hakim</strong></p>
<p>Dalam praktik hakim bisa memiliki bias gender, termasuk memiliki <a href="https://scholar.harvard.edu/files/matthewclair/files/clair_winter_how_judges_think_about_racial_disparities.pdf">preferensi subjektif</a> terhadap jenis kejahatan atau individu tertentu.</p>
<p><a href="https://scholar.harvard.edu/files/matthewclair/files/clair_winter_how_judges_think_about_racial_disparities.pdf">Pengalaman hidup dan latar belakang</a> hakim juga dapat memengaruhi pandangan mereka terhadap hukuman. Misalnya, hakim yang memiliki pengalaman pribadi dengan kejahatan tertentu mungkin memiliki sudut pandang yang berbeda dalam menangani kasus serupa. </p>
<p>Tingkat <a href="https://www.jstor.org/stable/2657267">toleransi hakim</a> terhadap risiko kejahatan, dimana hakim cenderung memberikan hukuman yang lebih berat untuk meminimalkan risiko kejahatan masa depan.</p>
<p><strong>3. Faktor eksternal</strong></p>
<p><a href="https://lontar.ui.ac.id/detail?id=20136069">Faktor eksternal</a> dapat mencakup lingkungan, situasi politik dan ekonomi, serta adanya intervensi publik atau media massa.</p>
<p>Misalnya, penanganan kasus kekerasan seksual semakin menguat untuk meningkatkan responsivitas terhadap opini publik pada kasus-kasus tersebut. Tingkat responsivitas terhadap situasi sosial ini tentu akan berdampak pada tingkat penegakkan hukum.</p>
<p><a href="http://repository.unibi.ac.id/236/1/FUNGSI%20MEDIA%20MASSA%20DALAM%20HEGEMONI%20MEDIA.pdf">Intervensi dari publik atau media massa</a> juga sangat berpengaruh. Media massa khususnya memiliki fungsi sebagai pusat informasi, yang menyediakan dan menyampaikan informasi terkait peristiwa, kejadian, realitas, dan lainnya yang terjadi di masyarakat.</p>
<p>Contohnya <a href="https://www.bbc.com/indonesia/majalah-49473807">kasus pemerkosaan dan pembunuhan terhadap YY</a> (14 tahun) di Bengkulu yang diperkosa dan dibunuh oleh 14 orang. Dalam kasus yang sempat menggemparkan publik ini, satu pelaku divonis hukuman mati dan empat diantaranya divonis penjara 20 tahun.</p>
<p>Barangkali faktor media bukan menjadi faktor utama yang memengaruhi tingkat hukuman. Namun, kasus-kasus besar yang diangkat media secara masif tentu berdampak pada tingkat responsivitas publik termasuk pada upaya penegakan hukumnya. </p>
<p><strong>4. Diskriminasi</strong></p>
<p>Salah satu faktor dari disparitas pemidanaan yang tidak bertanggung jawab adalah diskriminasi. </p>
<p>Diskriminasi dapat dilakukan secara langsung, yang menyasar karakteristik pelaku seperti ras, etnis, agama, jenis kelamin tertentu menjadi dasar pemberat hukumannya oleh hakim.</p>
<p>Misalnya di <a href="https://www.sagepub.com/sites/default/files/upm-binaries/27008_4.pdf">Amerika Serikat</a>, orang kulit hitam dan etnis Hispanik dihukum lebih berat daripada orang kulit putih. Tentunya perbedaan hukuman ini tidak diatribusikan sesuai dengan faktor-faktor lain yang relevan untuk dipertimbangkan secara hukum.</p>
<p>Diskriminasi oleh hakim bisa juga datang dari <a href="https://www.sagepub.com/sites/default/files/upm-binaries/27008_4.pdf">aturan atau kebijakan yang secara tidak langsung mendiskriminasi</a> individu/kelompok berdasarkan karakteristik tertentu. Ini yang disebut sebagai <a href="https://www.mind.org.uk/information-support/legal-rights/disability-discrimination/types-of-discrimination/">diskriminasi tidak langsung</a>.</p>
<p>Meskipun hakim bersifat independen, namun keleluasaan hakim dalam menjatuhkan hukuman dengan mempertimbangkan faktor yang tidak relevan justru akan menghasilkan diskriminasi dan dapat menjadi alasan disparitas pemidanaan yang tidak bertanggung jawab.</p>
<h2>Perlunya pedoman pemidanaan</h2>
<p>Guna mencegah terjadinya <a href="https://mappifhui.org/buku-saku-perma-1-tahun-2022-tentang-pedoman-pemidanaan-pasal-2-dan-pasal-3-undang-undang-pemberantasan-tindak-pidana-korupsi">disparitas yang tidak bertanggungjawab</a>, sistem peradilan memerlukan pedoman pemidanaan bagi hakim untuk menentukan hukuman. <a href="https://robinainstitute.umn.edu/articles/what-are-sentencing-guidelines">Pedoman Pemidanaan</a> ialah standar yang diterapkan untuk menetapkan hukuman yang rasional dan konsisten dalam yurisdiksi tertentu.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/584649/original/file-20240327-26-ssozzz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/584649/original/file-20240327-26-ssozzz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/584649/original/file-20240327-26-ssozzz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/584649/original/file-20240327-26-ssozzz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/584649/original/file-20240327-26-ssozzz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/584649/original/file-20240327-26-ssozzz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/584649/original/file-20240327-26-ssozzz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Aktivis melakukan protes dengan menabur bunga di depan gedung DPR-MPR RI di Senayan, Jakarta, untuk menunjukkan darurat kekerasan seksual.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/jakarta-indonesia-december-22-2021-flowers-2094863275">Toto Santiko Budi/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Adanya pedoman pemidanaan diharapkan <a href="https://robinainstitute.umn.edu/articles/what-are-sentencing-guidelines">dapat menciptakan</a> hukuman yang <a href="https://www.jstor.org/stable/10.1086/671134">proporsional, konsisten, transparan, dan akuntabel</a> terhadap pelaku tindak pidana, serta mengurangi disparitas pemidanaan.</p>
<p>Sebenarnya sudah ada beberapa aturan yang mengakomodasi pedoman bagi aparat penegak hukum, misalnya dalam KUHP, <a href="https://mappifhui.org/wp-content/uploads/2021/03/Pedoman-Kejaksaan-RI-Nomor-1-Tahun-2021.pdf">Pedoman Kejaksaan No. 1 Tahun 2021</a>, maupun [PERMA No. 3 Tahun 2017]. </p>
<p>Namun belum ada pedoman pemidanaan yang spesifik terhadap tindak pidana kekerasan seksual, sehingga masih diperlukan pedoman pemidanaan khusus bagi hakim. Pedoman tersebut harus menempatkan kepentingan korban sebagai prioritas utama, mempertimbangkan <a href="https://www.sentencingcouncil.org.uk/sentencing-and-the-council/about-sentencing-guidelines/">kerugian korban</a> dan <a href="https://www.judiciary.uk/guidance-and-resources/revised-sentencing-guidelines-for-child-sexual-offences-published/">aspek kesalahan pelaku</a>.</p>
<p>Pedoman pemidanaan tersebut tidak bertentangan dengan <a href="https://mappifhui.org/buku-saku-perma-1-tahun-2022-tentang-pedoman-pemidanaan-pasal-2-dan-pasal-3-undang-undang-pemberantasan-tindak-pidana-korupsi">asas kemandirian hakim (<em>judiciary independence</em>)</a>, karena pedoman pemidanaan hanya memberikan rentang hukuman dan faktor-faktor relevan yang perlu dipertimbangkan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/226102/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Disparitas pemidanaan banyak terjadi pada putusan perkara kekerasan seksual. Ini tidak selamanya buruk, tetapi ada beberapa faktor penyebab yang membuat putusan tersebut layak dipertanyakan.Arianda Lastiur Paulina, Peneliti, Indonesia Judicial Research Society Siti Ismaya, Peneliti, Indonesia Judicial Research Society Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2122372023-09-08T00:29:12Z2023-09-08T00:29:12ZPerempuan lebih cenderung mengidentifikasi sebagai biseksual - dapatkah riset tentang gairah seksual jelaskan mengapa?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/544644/original/file-20230824-23-cfsmy5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Perempuan lebih cenderung mengambil pendekatan yang cair dengan seksualitas mereka.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/lgbt-lesbian-couple-love-moments-happiness-1607320003">NDAB Creativity/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Seksualitas perempuan masih sangat kurang dibahas dalam ilmu pengetahuan dan masih <a href="https://elemental.medium.com/the-enduring-myth-of-complicated-female-sexuality-736db9233fd0">dianggap sebagai subjek yang “tabu”</a>. Seringkali, pengalaman laki-laki dianggap sebagai norma dalam <a href="https://doi.org/10.1111/0022-4537.00159">penelitian ilmiah</a>, tapi ada perbedaan penting dalam seksualitas antara laki-laki dan perempuan.</p>
<p>Pada 2020, <a href="https://www.ons.gov.uk/peoplepopulationandcommunity/culturalidentity/sexuality/bulletins/sexualidentityuk/2020">sekitar 3,2% dari populasi di Inggris</a> yang berusia di atas 16 tahun diidentifikasi sebagai lesbian_, gay_, atau biseksual. Namun dalam hal biseksualitas, terdapat perbedaan yang mencolok antara laki-laki dan perempuan: perempuan jauh lebih mungkin untuk mengidentifikasi diri mereka sebagai biseksual dibandingkan dengan laki-laki (1,6% perempuan dibandingkan dengan 0,9% laki-laki).</p>
<p>Demikian pula, <a href="https://www.asanet.org/wp-content/uploads/savvy/documents/press/pdfs/AM_2015_McClintock_News_Release_FINAL.pdf">sebuah penelitian</a> yang dilakukan di University of Notre Dame menemukan bahwa <a href="https://www.dailyrecord.co.uk/news/science-technology/women-more-likely-become-bisexual-6313595">perempuan tiga kali lebih mungkin</a> untuk mengidentifikasi diri mereka sebagai biseksual. “Perempuan memiliki kemungkinan yang lebih besar daripada laki-laki untuk tertarik pada laki-laki dan perempuan,” kata peneliti Elizabeth McClintock, saat membahas hasil penelitian tersebut. “Hal ini mengindikasikan bahwa seksualitas perempuan mungkin lebih fleksibel dan adaptif daripada laki-laki.”</p>
<p>Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa perempuan jauh lebih mungkin untuk <a href="https://escholarship.org/uc/item/09h684X2">mengidentifikasi diri sebagai biseksual</a> daripada laki-laki. Namun, sulit untuk mengatakan mengapa hal ini bisa terjadi. Mungkinkah karena perempuan lebih <a href="https://www.bbc.co.uk/news/health-34744903">secara alamiah biseksual</a>? Atau mungkinkah fakta bahwa perempuan lebih diterima secara budaya untuk menjadi berbeda secara seksual, atau mengidentifikasi diri sebagai <a href="https://www.nbcnews.com/feature/nbc-out/lesbians-more-accepted-gay-men-around-world-study-finds-n1118121">lesbian</a> atau <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5082634/">biseksual</a> daripada laki-laki yang mengidentifikasi diri sebagai sesuatu yang lain selain heteroseksual.</p>
<p>Tentu saja, sulit untuk memisahkan antara budaya dan biologis, tapi penelitian tentang perbedaan jenis kelamin dalam gairah genital mungkin dapat memberi tahu kita lebih banyak.</p>
<h2>Gairah biseksual perempuan</h2>
<p><a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/14681990500238802">Gairah seksual genital</a> atau gairah fisiologis adalah respons tubuh terhadap konten seksual. Pada laki-laki, hal ini diukur dengan perubahan pada lingkar penis. Pada perempuan, hal ini diukur dengan menggunakan perubahan aliran darah di vagina.</p>
<p><a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1111/j.0956-7976.2004.00750.x">Penelitian tentang gairah seksual genital</a> telah menemukan bahwa perempuan lebih cenderung menunjukkan pola biseksual dalam gairah seksual mereka dibandingkan dengan laki-laki, terlepas dari orientasi seksual mereka. Studi 2016 menemukan bahwa laki-laki lebih cenderung mengalami gairah seksual terhadap satu jenis kelamin. Sedangkan perempuan lebih cenderung menunjukkan gairah seksual genital sebagai respons terhadap video seksual laki-laki dan perempuan.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Dua perempuan di tempat tidur bersama." src="https://images.theconversation.com/files/507123/original/file-20230130-12-68bz1j.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=189%2C43%2C5544%2C3785&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/507123/original/file-20230130-12-68bz1j.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/507123/original/file-20230130-12-68bz1j.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/507123/original/file-20230130-12-68bz1j.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/507123/original/file-20230130-12-68bz1j.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/507123/original/file-20230130-12-68bz1j.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/507123/original/file-20230130-12-68bz1j.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Penelitian mengindikasikan bahwa identitas seksual perempuan lebih ‘fleksibel’ daripada laki-laki.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.pexels.com/photo/happy-couple-lying-on-bed-4914976/">Pexels/Rodnae productions</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Pola gairah yang lebih biseksual pada perempuan telah terlihat di banyak bidang penelitian gairah lainnya termasuk <a href="https://www.livescience.com/36594-pupil-dilation-sexuality-homosexual.html">pelebaran pupil</a>, dan <a href="https://www.psypost.org/2018/02/brain-scan-study-bisexual-heterosexual-women-equally-aroused-male-female-50707">respons otak</a>.</p>
<p>Laboratorium kami di University of Essex secara terus menerus menemukan bahwa perempuan lebih cenderung memiliki respons fisik biseksual daripada laki-laki. <a href="https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0040256">Penelitian yang dipimpin oleh Gerulf Rieger</a>, menemukan bahwa perempuan heteroseksual menunjukkan respons gairah seksual yang sama terhadap video seksual laki-laki dan video seksual perempuan. Hal ini terjadi meskipun semua perempuan dalam penelitian tersebut mengatakan bahwa mereka hanya tertarik pada laki-laki.</p>
<p>Teori yang paling menonjol tentang mengapa perempuan menunjukkan pola gairah biseksual adalah apa yang dikenal sebagai <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/21189352/">hipotesis persiapan</a>. Hipotesis yang diajukan pada 2011 oleh peneliti <a href="http://www.sciencesoup.net/blog/lets-talk-about-sexual-arousal">Kelly Suschinsky</a> dan <a href="https://uniweb.uottawa.ca/members/940">Martin Lalumière</a> ini menyatakan bahwa karena pemerkosaan dan kekerasan seksual telah banyak terjadi di sepanjang sejarah manusia, perempuan telah berevolusi menjadi terangsang secara fisiologis oleh situasi seksual - meskipun mereka tidak menyukai atau merasa jijik dengan situasi tersebut. </p>
<p>Hal ini diyakini karena gairah fisiologis memungkinkan vagina menjadi terlumasi, sehingga mengurangi kemungkinan cedera genital yang dapat terjadi melalui kekerasan seksual. </p>
<p>Satu studi yang tampaknya mendukung teori ini menemukan bahwa perempuan menunjukkan gairah genital saat menonton seks binatang (<a href="https://psycnet.apa.org/record/2007-17941-013">simpanse bonobo</a>). Namun, <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0301051118301078?via%3Dihub">studi 2018</a>
dari 20 perempuan menemukan bahwa menonton film eksplisit secara seksual tidak secara otomatis menyebabkan pelumasan vagina. </p>
<p>Penelitian ini masih perlu direplikasi, karena <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s10508-020-01859-9">rumit untuk mengukur lubrikasi vagina</a>, tapi hasilnya menunjukkan bahwa mungkin ada kekurangan dalam pemikiran ilmiah bahwa perempuan terangsang oleh apapun yang berbau seksual. Memang, kemungkinan banyak perempuan yang membaca ini merasa bahwa mereka tidak membutuhkan penelitian untuk mengatakan bahwa mereka tidak terangsang oleh situasi seksual apapun. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Dua perempuan berkulit hitam berciuman." src="https://images.theconversation.com/files/507141/original/file-20230130-6879-707210.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/507141/original/file-20230130-6879-707210.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/507141/original/file-20230130-6879-707210.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/507141/original/file-20230130-6879-707210.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/507141/original/file-20230130-6879-707210.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/507141/original/file-20230130-6879-707210.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/507141/original/file-20230130-6879-707210.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Perempuan lebih cenderung mengidentifikasi diri sebagai biseksual daripada lesbian.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.pexels.com/search/gay%20women/">Pexels/Rodnae productions</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Teori lain yang sedang kami selidiki adalah apakah empati dapat menjadi penjelasan untuk gairah biseksual perempuan. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/19476221/">secara alamiah lebih berempati</a> daripada laki-laki, terutama terhadap perempuan lain. </p>
<p>Perempuan juga lebih mampu <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/24040846/">menyelaraskan emosi mereka sendiri</a> dengan emosi orang lain. Ini berarti perempuan mungkin lebih mampu memahami dan merasakan apa yang dirasakan orang lain. Dan dalam hal perasaan seksual, hal ini dapat berarti bahwa jika seorang perempuan menonton video seksual dari seorang perempuan yang sedang terangsang, ia juga dapat menjadi terangsang karena empatinya.</p>
<p>Meskipun teori baru ini masih dipelajari, jelas bahwa karena kompleksitas faktor budaya dan biologis yang terlibat, dan karena keterbatasan hipotesis yang ada saat ini untuk menjelaskan pola gairah, kesimpulan yang dapat diambil hanya sejauh ini. </p>
<p>Dan meskipun penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan jauh lebih mungkin untuk mengidentifikasi diri sebagai biseksual dan mengalami lebih banyak gairah biseksual daripada laki-laki, penelitian lebih lanjut diperlukan sebelum kita benar-benar dapat memahami mengapa hal ini terjadi.</p>
<hr>
<p><em>Rahma Sekar Andini dari Universitas Negeri Malang menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/212237/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Chloe Tasker menerima dana dari South East Network for Social Sciences (SeNSS).</span></em></p>Seksualitas perempuan mungkin lebih fleksibel dan adaptif daripada laki-laki.Chloe Tasker, PhD Candidate in Psychology, University of EssexLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2116712023-08-29T08:21:52Z2023-08-29T08:21:52ZPsikologi pedofil: mengapa orang bisa tertarik secara seksual pada anak di bawah umur?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/542919/original/image-20160526-17516-1o1h33.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Pelaku kejahatan seksual terhadap anak tidak memiliki tanduk dan ekor. Sebagian besar, mereka terlihat dan bertindak seperti kita semua.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="http://www.shutterstock.com/pic-131412323/stock-photo-internet-maniac.html?src=HPHPhjGHXSxDA-iFk6PbKw-1-31">Shutterstock/JoeBakal</a></span></figcaption></figure><p>Berlandaskan kapasitas saya sebagai seorang kriminolog forensik yang pernah bekerja dengan kepolisian di Australia dan Inggris untuk mengidentifikasi para predator seksual yang menyerang anak-anak, banyak orang bertanya pada saya tentang bagaimana cara membedakan seorang pedofil dari orang lain pada umumnya.</p>
<p>Satu hal yang dapat saya beritahu pada kalian, bahwa secara kiasan, mereka tidak memiliki “tanduk dan ekor”, sehingga mereka akan selalu terlihat normal saja seperti kita semua. Hanya satu perbedaannya: mereka memiliki ketertarikan seksual pada anak-anak.</p>
<h2>Apa itu pedofil?</h2>
<p>Pedofil (seperti yang didefinisikan oleh <a href="http://www.dsm5.org/Pages/Default.aspx">Buku Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental jilid 5</a>) adalah individu yang secara khusus atau semata-mata tertarik secara seksual pada anak-anak praremaja yang umumnya berusia kurang dari 13 tahun.</p>
<p>Ketertarikan tersebut dapat diklasifikasi berdasarkan daya tarik yang ada pada anak-anak, dan tergantung juga pada pada tahap perkembangan ketertarikan seksual orang dewasa. Misalnya, jenis pedofil yang memiliki ketertarikan seksual pada anak-anak yang sedang berada di puncak masa pubertas dikenal sebagai “hebefil”. Sementara mereka yang tertarik secara seksual kepada anak-anak yang telah mencapai pubertas disebut “ephebofil”.</p>
<p>Tidak semua pedofil adalah pelaku kejahatan seksual terhadap anak, dan sebaliknya, tidak semua pelaku kejahatan seksual terhadap anak adalah pedofil. Beberapa orang yang melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak <a href="https://www.psychology.org.au/inpsych/2013/october/davis/">sama sekali tidak tertarik pada anak-anak</a>. Pelecehan adalah masalah kesempatan: anak dijadikan pengganti pelampiasan seksual karena tidak ada orang dewasa yang tersedia, atau pelecehan yang dilakukan bertujuan untuk menunjukkan dominasi dan kendali atas manusia lain.</p>
<p>Jadi, untuk memperjelas, saya akan membatasi diskusi ini pada mereka yang memiliki ketertarikan pada anak-anak yang menjadi pelaku pelecehan seksual terhadap anak.</p>
<h2>Bagaimana cara mereka mendekati anak-anak?</h2>
<p>Hampir <a href="http://aic.gov.au/publications/current%20series/tandi/421-440/tandi429.html">90% dari anak-anak yang mengalami pelecehan seksual, pelakunya</a>* adalah orang yang mereka kenal. </p>
<p>Dari 10% sisanya, beberapa merupakan korban dari perdagangan seks yang diperjualbelikan oleh pelaku untuk mendapatkan uang. Satu berita yang tengah menjadi sorotan belakangan ini di Australia adalah <a href="http://www.9news.com.au/national/2016/05/25/12/37/melbourne-man-allegedly-travelled-to-los-angeles-to-buy-a-six-year-old-boy-for-sex">seorang laki-laki di Melbourne diduga melakukan perjalanan ke Los Angeles</a>, Amerika Serikat (AS), untuk membeli seorang anak laki-laki berusia enam tahun untuk berhubungan seks.</p>
<p>Ironisnya, ini ternyata bukan hal yang jarang terjadi. Organisasi kepolisian internasional atau Interpol mencatat adanya <a href="http://www.interpol.int/Crime-areas/Crimes-against-children/Sex-offenders">peningkatan jumlah orang yang melakukan perjalanan ke luar negeri</a> untuk melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak; proses ini yang dikenal dengan istilah “wisata seks anak”.</p>
<p>Wisata seks telah menjadi fenomena di abad ke-21 sebagai akibat dari meningkatnya dan makin murahnya perjalanan antarnegara, dan Australia memiliki jumlah wisatawan seks yang cukup besar. Banyak orang percaya bahwa mereka tidak akan tertangkap jika mereka bepergian ke (sering kali) negara berkembang untuk melecehkan anak-anak karena hukum Australia tidak berlaku di luar negeri. Tapi ini salah.</p>
<p>Setiap warga Australia yang bepergian ke luar negeri untuk melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak akan menghadapi tuntutan yang sama seperti jika mereka melakukan pelecehan di dalam negeri. Polisi Federal sangat menyadari aktivitas jahat ini dan telah <a href="http://www.afp.gov.au/media-centre/news/afp/2000/july/child-sex-tourism---no-place-to-hide">berhasil mengadili</a> sejumlah individu di bawah undang-undang Pariwisata Seks Anak.</p>
<h2>Apakah mereka akan mengulangi perbuatannya?</h2>
<p>Jika bicara tentang preferensi perilaku menyimpang para predator seks, beberapa dari mereka bahkan tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan adalah salah. Mereka benar-benar meyakini bahwa itu adalah bentuk ekspresi kasih sayang mereka pada anak-anak.</p>
<p>Fakta ini memang mengejutkan bagi mereka yang tidak memiliki ketertarikan seksual terhadap anak-anak, tapi inilah yang dikatakan seorang pelaku kejahatan seksual berantai pada saya tentang alasan ia melakukannya. Dia tahu bahwa masyarakat menganggap apa yang dia lakukan itu salah, tapi dia tidak mengerti mengapa dianggap salah.</p>
<p>Tingkat residivisme pelaku kejahatan seksual terhadap anak juga cukup tinggi. <a href="http://www.abc.net.au/news/2015-08-26/nsw-govt-considers-chemical-castration-of-sex-offenders/6725220">Sekitar 17% pelaku predator anak</a> kemungkinan akan melakukan kejahatan lagi dalam waktu dua tahun. Mereka yang benar-benar percaya bahwa kontak seksual yang mereka lakukan pada anak-anak tidak berbahaya sangat kecil kemungkinannya untuk bisa direhabilitasi.</p>
<p>Pemerintah telah mempertimbangkan “<a href="https://theconversation.com/sex-abuse-victims-deserve-better-than-media-driven-policy-16948">kebiri kimiawi</a>” - obat untuk mengurangi libido - sebagai pilihan hukuman bagi hakim di Australia. Namun, ini akhirnya dijadikan pilihan sukarela untuk para pelaku dan kami tahu ini tidak berhasil. Seringkali, pelaku kejahatan seksual terhadap anak didorong oleh keinginan untuk mendominasi dan mengendalikan, bukan hanya hasrat seksual.</p>
<h2>Jadi mengapa mereka melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak?</h2>
<p>Ada sejumlah alasan potensial.</p>
<p>Beberapa orang yang pernah mengalami pelecehan seksual saat kecil besar kemungkinan akan menjadi pelaku kejahatan. <a href="http://www.aic.gov.au/publications/current%20series/tandi/421-440/tandi440.html">Studi menunjukkan</a> antara 33% dan 75% pelaku kejahatan seksual terhadap anak mengaku pernah mengalami pelecehan seksual saat mereka masih anak-anak.* </p>
<p>Aplikasi praktis dari informasi ini adalah bahwa mencegah pelecehan seksual terhadap anak akan mengurangi, tetapi tidak menghapus, potensi kejadian di kemudian hari. </p>
<p>Namun, ada pula orang lain yang tidak pernah dilecehkan saat masih kecil tetapi menganggap anak-anak menarik secara seksual. Penelitian menunjukkan bahwa mungkin ada alasan biologis untuk ini. <a href="http://rsbl.royalsocietypublishing.org/content/10/5/20140200.full?sid=aa702674-974f-4505-850a-d44dd4ef5a16">Data yang dipublikasikan di Biology Letters</a> menemukan bahwa otak para pedofil menganggap wajah yang belum dewasa sebagai sesuatu yang menarik. </p>
<p>Meningkatkan pemahaman kita tentang cara kerja otak pedofil pada akhirnya akan membantu mengidentifikasi mereka yang memiliki ketertarikan seksual terhadap anak-anak.</p>
<h2>Ada berapa banyak predator anak di luar sana?</h2>
<p>Kami tidak bisa memastikan berapa banyak orang yang memiliki preferensi seksual terhadap anak-anak.</p>
<p>Satu-satunya cara untuk mengukur minat seksual pada anak-anak adalah dengan memetakan jumlah situs web, yang terus meningkat, yang melayani pelaku kejahatan seksual dari semua jenis, termasuk pelaku kejahatan seksual anak, dan mereka yang kedapatan mengakses materi pelecehan seksual anak.</p>
<p>Sebagai gambaran, pada 2015, kerja sama Interpol dengan jaringan kepolisian di seluruh dunia telah <a href="http://www.interpol.int/Member-countries/News/N201605">berhasil menangkap lebih dari 4.000 pelaku</a> yang telah mengakses gambar-gambar pelecehan seksual terhadap anak.</p>
<p>Sangat sulit untuk memperkirakan proporsi pelaku kejahatan seksual pada populasi umum, karena hanya sedikit orang yang mengakui adanya ketertarikan seksual pada anak-anak. Seorang peneliti klinis <a href="http://www.apa.org/pubs/books/4317136.aspx">memperkirakan ada sekitar 2%</a> pada sampel sukarelawan laki-laki di Eropa.</p>
<p>Ada beberapa harapan bahwa para dokter dapat membantu mengidentifikasi orang-orang dengan kecenderungan ini melalui analisis fungsi otak. Semoga suatu hari nanti kita dapat lebih mudah memahami penyebab hasrat seksual yang tidak pantas ini terhadap anak-anak, dan mencegah siklus pelecehan terus berlanjut.</p>
<hr>
<p><em>* Koreksi: Dalam artikel asli terdapat kesalahan yang mengatakan bahwa penelitian menunjukkan antara 33% dan 75% korban pelecehan seksual anak akan menjadi pelaku. Kesalahan ini telah dikoreksi dengan mengatakan bahwa penelitian menunjukkan antara 33% dan 75% pelaku pelecehan seksual terhadap anak melaporkan bahwa mereka dilecehkan secara seksual ketika masih kecil.</em> </p>
<p><em>Artikel ini juga awalnya menyatakan 90% anak-anak dilecehkan secara seksual oleh seseorang yang mereka kenal, bukan 90% anak-anak yang dilecehkan secara seksual.</em></p>
<hr>
<p><em>Rahma Sekar Andini dari Universitas Negeri Malang menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/211671/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Xanthe Mallett tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Beberapa pelaku kejahatan seksual terhadap anak bahkan tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan itu salah. Sebagian dari mereka adalah pedofil. Apa itu pedofil?Xanthe Mallett, Forensic Criminologist, University of NewcastleLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2114462023-08-29T02:13:05Z2023-08-29T02:13:05Z3 sebab satgas pencegahan kekerasan seksual di universitas rentan derita eksploitasi kerja<p>Pada 2021, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Nadiem Makarim, mengeluarkan <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/188450/permendikbud-no-30-tahun-2021">regulasi</a> terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi. Kalangan mahasiswa dan dosen menyambut hal ini dengan <a href="https://www.thejakartapost.com/paper/2021/10/31/students-lecturers-laud-campus-sexual-violence-decree.html">animo tinggi</a>.</p>
<p>Bila dibandingkan dengan regulasi serupa terkait tindak pidana kekerasan seksual yang menghabiskan waktu <a href="https://nasional.tempo.co/read/1582527/kilas-balik-10-tahun-perjalanan-uu-tpks">10 tahun hingga berhasil diundangkan</a>, peraturan menteri ini jauh lebih berhasil dari segi waktu perumusan dan implementasiannya yang ‘hanya’ memakan waktu <a href="https://nasional.kompas.com/read/2021/11/12/19195901/nadiem-proses-penyusunan-permendikbud-ppks-15-tahun-dan-libatkan-banyak">kurang dari 2 tahun</a>.</p>
<p>Walaupun keberhasilan ini patut diapresiasi, regulasi ini tetap menghadapi masalah dalam proses implementasinya yang terlalu lambat.</p>
<p>Hingga awal tahun 2023, dari <a href="https://pddikti.kemdikbud.go.id/">4.475 perguruan tinggi di Indonesia</a> hanya <a href="https://merdekadarikekerasan.kemdikbud.go.id/ppks/pengumuman/">202 perguruan tinggi</a>, atau kurang dari 5%, yang berhasil memiliki panitia seleksi untuk membentuk satuan tugas Pencegahan dan Penganganan Kekerasan Seksual (satgas PPKS).</p>
<p>Padahal, regulasi tersebut mengatur bahwa seluruh perguruan tinggi di Indonesia harus telah membentuk satgas PPKS pada 3 September 2022, dengan komposisi satgas yang terdiri dari dosen, mahasiswa, dan staf pendukung atau tenaga kependidikan.</p>
<p>Selain lambatnya implementasi peraturan, terdapat permasalahan laten lainnya yaitu kerentanan satgas PPKS terhadap eksploitasi kerja. Dalam hal ini, eksploitasi kerja mengacu pada keberadaan pekerjaan yang dilakukan tanpa adanya kompensasi material yang pasti dari pemberi kerja.</p>
<p>Artikel ini membahas 3 alasan yang menyebabkan kerentanan tersebut.</p>
<p><strong>1. Minim elaborasi hak dan kompensasi</strong></p>
<p><a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/188450/permendikbud-no-30-tahun-2021">Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia nomor 30 tahun 2021</a> yang mendasari pembentukan satgas PPKS, mengatur otoritas dan tanggung jawab satgas PPKS dengan cukup rinci.</p>
<p>Tanggung jawab ini meliputi; menyusun pedoman pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, melakukan survei berkala, melakukan sosialisasi, menindaklanjuti laporan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi, hingga mengkoordinasi proses pemberian perlindungan terhadap saksi dan korban.</p>
<p>Peraturan menteri ini kemudian diturunkan ke dalam <a href="https://merdekadarikekerasan.kemdikbud.go.id/ppks/peraturan/">buku panduan</a> yang secara eksplisit mengatur hak yang dimiliki oleh satgas PPKS. Hak tersebut mencakup pemulihan dari kelelahan emosional dan trauma lanjutan yang diderita satgas, perlindungan dalam aktivitas kerjanya, fasilitas sarana dan prasarana dari perguruan tinggi untuk mendukung aktivitas kerja, serta peningkatan kapasitas kerja sebagai satgas.</p>
<p>Dari penjabaran hak-hak tersebut, terlihat bahwa hak yang dimiliki oleh satgas PPKS terbatas pada perlindungan dari risiko kerja yang ditimbulkan, bukan kompensasi atas kerja yang dilakukan. Misalnya, pemulihan dari kelelahan emosional dan trauma lanjutan merupakan perlindungan yang sudah sepatutnya dimiliki untuk meminimalisir risiko kerja penerimaan laporan dan pendampingan korban. Dalam hal ini, pemberian hak atas keamanan kerja tidak dapat disetarakan dengan kompensasi yang patut diterima atas hasil kerja yang dilakukan.</p>
<p>Selain itu, hak yang diperoleh atas waktu dan energi yang dicurahkan untuk melaksanakan tanggung jawabnya sebagai satgas PPKS tidak dielaborasi secara jelas. Buku panduan hanya menjelaskan bahwa satgas berhak atas angka kredit pelaksanaan pengabdian kepada masyarakat, prestasi kerja, atau penulisan rekam jejak kerja dalam Surat Keterangan Pendamping Ijazah (SKPI). </p>
<p>Di satu sisi, elaborasi terkait hak yang sangat minim ini dapat menimbulkan interpretasi yang beragam. Di sisi lain, penjabaran hak yang sangat terbatas ini sangat timpang bila dibandingkan dengan penjabaran mekanisme pelaksanaan tugas yang begitu terperinci.</p>
<p><strong>2. Ketiadaan mekanisme penegakan peraturan dan pengawasan</strong></p>
<p>Hingga pertengahan 2023, belum semua perguruan tinggi mematuhi regulasi yang dikeluarkan untuk membentuk satgas PPKS di tahun 2022. Walaupun panduan PPKS telah menjabarkan adanya sanksi administratif yang dapat dikenakan kepada perguruan tinggi yang tidak melaksanakan regulasi, keterlambatan dalam membentuk satgas ini tetap terjadi karena tidak adanya mekanisme penegakan peraturan yang tegas.</p>
<p>Lemahnya usaha penegakan peraturan ini terlihat dalam kasus <a href="https://drive.google.com/file/d/1hzngYk73kR6RhA7kkYZlrpfI0nYbfjp2/view">penghentian penerimaan laporan oleh satgas PPKS di Universitas Indonesia</a> akibat kelalaian pimpinan universitas dalam menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk mendukung kinerja PPKS yang telah berjalan selama lebih dari 6 bulan. </p>
<p>Meski tidak sesuai dengan regulasi yang ada, tanpa adanya mekanisme pengawasan yang jelas dari kementerian, pengabaian dari pimpinan universitas ini dapat berlangsung cukup lama tanpa terdeteksi. </p>
<p>Dengan ketiadaan mekanisme penegakan peraturan dan pengawasan yang baik, pimpinan perguruan tinggi dapat dengan leluasa mengalihkan seluruh tanggung jawab yang dibebankan oleh kementerian kepada satgas tanpa turut berkontribusi dalam kerja satgas seperti yang terjadi di Universitas Indonesia.</p>
<p>Dari kasus tersebut, <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230726160333-20-978175/satgas-kekerasan-seksual-disetop-ui-kemendikbudristek-turun-tangan">respons Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi</a> baru muncul setelah terjadi penghentian laporan. </p>
<p>Hal ini menunjukkan bahwa ketiadaan anggaran operasional untuk satgas PPKS yang berlangsung lebih dari 6 bulan tersebut luput dari pengawasan kementerian. Di samping itu, hal ini juga mengindikasikan adanya pengalihan tanggung jawab pimpinan perguruan tinggi kepada satgas PPKS tanpa keinginan untuk memberikan dukungan yang serius.</p>
<p><strong>3. Ketiadaan penghargaan yang cukup untuk <em>emotional labor</em></strong></p>
<p><a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/15358593.2018.1438644"><em>Emotional labor</em></a> adalah bentuk aktivitas bekerja yang membutuhkan pengaturan emosi tertentu dan umumnya banyak dilakukan oleh pekerja di industri jasa. </p>
<p>Secara khusus untuk pekerja di perguruan tingi, <em>emotional labor</em> dibutuhkan baik oleh dosen maupun tenaga kependidikan untuk melakukan transfer pengetahuan dengan baik, maupun untuk memberikan pelayanan yang menunjang transfer pengetahuan tersebut.</p>
<p>Sebagai contoh, dosen seringkali dituntut untuk tidak hanya melakukan transfer ilmu pengetahuan, namun juga menjadi teman diskusi bagi berbagai permasalahan yang dialami mahasiswa, baik personal maupun akademik, serta menjadi penasihat karir untuk mahasiswa yang akan segera menyelesaikan perkuliahan.</p>
<p>Di perguruan tinggi tempat saya bekerja, dosen-dosen baru diberikan pelatihan singkat terkait dasar-dasar konseling untuk mempersiapkan dosen dalam menghadapi sesi konsultasi dengan mahasiswa. </p>
<p>Namun demikian, perguruan tinggi di Indonesia tidak didorong untuk memprioritaskan penggunaan <em>emotional labor</em> dalam aktivitas kerjanya karena <a href="https://www.banpt.or.id/wp-content/uploads/2019/09/Lampiran-05-PerBAN-PT-3-2019-Pedoman-Penilaian-IAPT-3_0.pdf">kualitas perguruan tinggi</a> diukur dari produk-produk yang memiliki nilai jual nyata seperti kepemilikan dokumen administrasi yang lengkap, jumlah publikasi di tingkat nasional dan internasional, jumlah proyek dan kerjasama yang dihasilkan, serta lulusan yang siap untuk masuk ke dalam pasar tenaga kerja. </p>
<p>Artinya, <em>emotional labor</em> yang dilakukan oleh pekerja kampus seringkali menjadi kerja tambahan yang tidak mendapat kompensasi apapun dari perguruan tinggi dengan dalih bahwa pekerja kampus merupakan <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0896920516641733">pengabdian diri yang dilakukan atas dasar kecintaan terhadap pendidikan</a>.</p>
<p>Hal serupa rentan dialami oleh satgas PPKS yang lingkup kerjanya tidak terbatas pada pekerjaan administratif seperti membuat survei dan laporan, namun juga <em>emotional labor</em> seperti melakukan pendampingan dan perlindungan terhadap korban maupun saksi.</p>
<p>Dengan kata lain, eksploitasi kerja dapat terjadi karena kompensasi atas kinerja satgas PPKS hanya diukur dari pekerjaan administratif yang dihasilkan tanpa mempertimbangkan <em>emotional labor</em> yang dilakukan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/211446/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Mireille Marcia Karman tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Dibentuknya satuan tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (satgas PPKS) di lingkungan perguruan tinggi merupakan langkah positif. Tapi implementasinya masih diwarnai kerentanan. Mengapa?Mireille Marcia Karman, Assistant Professor, Universitas Katolik ParahyanganLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2121202023-08-24T06:24:00Z2023-08-24T06:24:00ZBelajar dari Kanada: kaum muda membutuhkan lebih banyak dukungan untuk mengatasi bahaya seksual ‘online’<iframe style="width: 100%; height: 100px; border: none; position: relative; z-index: 1;" allowtransparency="" allow="clipboard-read; clipboard-write" src="https://narrations.ad-auris.com/widget/the-conversation-canada/young-people-need-more-support-coping-with-online-sexual-harms" width="100%" height="400"></iframe>
<p>Teknologi digital dan internet telah menjadi bagian kehidupan sehari-hari bagi banyak anak muda di Kanada dan seluruh dunia. Meskipun peningkatan jumlah hubungan yang terbentuk membawa banyak manfaat, hal ini juga dapat membuka peluang bahaya dan penyalahgunaan <em>online</em> bagi generasi muda. Karena itu, penting untuk memberikan dukungan yang berarti guna melindungi mereka dari kekerasan seksual.</p>
<p>Pada tahun 2020, organisasi kemanusiaan <em>Plan International</em> <a href="https://www.planinternational.nl/uploaded/2020/09/SOTWGR2020-CommsReport-EN.pdf?x10967">melakukan survei terhadap lebih dari 14.000 anak perempuan dan perempuan</a> berusia 15-25 di 22 negara, termasuk Kanada. Lima puluh delapan persen peserta melaporkan mengalami beberapa bentuk pelecehan online secara pribadi, termasuk pelecehan seksual.</p>
<p>Orang-orang yang mengalami masalah ini melaporkan <a href="https://www.cigionline.org/publications/supporting-safer-digital-spaces/">dampak buruk yang signifikan</a> terhadap kesejahteraan mereka, termasuk <a href="https://webfoundation.org/2020/11/the-impact-of-online-gender-based-violence-on-women-in-public-life/">harga diri rendah, peningkatan kecemasan, stres</a> dan bahkan <a href="http://www.bwss.org/wp-content/uploads/2014/05/CyberVAWReportJessicaWest.pdf">usaha menyakiti diri sendiri</a>.</p>
<p>Selanjutnya, penelitian menunjukkan bahwa tingkat pelecehan seksual meningkat drastis di antara orang-orang dengan satu atau beberapa identitas terpinggirkan seperti ras, <a href="https://www.cigionline.org/static/documents/SaferInternet_Special_Report.pdf">orientasi seksual</a> atau keterbatasan fisik.</p>
<p>Kaum muda yang <a href="https://mediasmarts.ca/sites/default/files/2023-07/report_ycwwiv_trends_recommendations.pdf">mengalami diskriminasi semacam ini</a> dapat menghadapi risiko masalah kesehatan mental signifikan yang lebih tinggi.</p>
<p>Meskipun dampak buruknya sangat parah, sebagian besar pendidikan, dukungan sosial, dan undang-undang di Kanada tidak memberikan alat dan perlindungan yang diinginkan dan dibutuhkan generasi muda.</p>
<p>Orang tua, guru, perusahaan teknologi, organisasi masyarakat sipil, dan pemerintah sedang berjuang mencari cara untuk mendukung generasi muda dalam kasus-kasus ini. Jadi, di mana letak kesalahan kita?</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/540262/original/file-20230731-104526-v5p4rm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="A young woman looks at a phone with an upset look." src="https://images.theconversation.com/files/540262/original/file-20230731-104526-v5p4rm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/540262/original/file-20230731-104526-v5p4rm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/540262/original/file-20230731-104526-v5p4rm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/540262/original/file-20230731-104526-v5p4rm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/540262/original/file-20230731-104526-v5p4rm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=501&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/540262/original/file-20230731-104526-v5p4rm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=501&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/540262/original/file-20230731-104526-v5p4rm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=501&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Pelecehan dan kekerasan <em>online</em> dapat berdampak negatif terhadap kesehatan mental dan harga diri remaja.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Kita perlu menggunakan kata-kata yang tepat</h2>
<p><a href="https://1332d589-88d9-46fd-b342-d3eba2ef6889.usrfiles.com/ugd/1332d5_0b255967851a48c580f8a3c23e786399.pdf">Penelitian kami menunjukkan</a> bahwa istilah seperti <em>cyberbullying</em> atau perundungan siber tidak lagi mencakup dampak buruk yang dialami generasi muda di dunia digital. Penggunaan istilah ini dapat meremehkan keseriusan masalah karena lebih memunculkan gagasan tentang ejekan di halaman sekolah dan bukan bentuk kekerasan seksual yang lebih serius yang dapat dialami remaja.</p>
<p>Bentuk kekerasan seksual digital ini dapat mencakup <a href="https://doi.org/10.1007/978-3-030-83734-1_31">menerima gambar eksplisit yang tidak diminta</a>, pelecehan seksual, pemerasan seksual yang eksploitatif, dan distribusi gambar intim tanpa persetujuan. Banyak dari perilaku ini berada di luar apa yang rata-rata orang bayangkan ketika mereka memikirkan <em>cyberbullying</em>. Sehingga, diperlukan terminologi baru yang secara akurat menggambarkan apa yang dialami remaja.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/be-careful-with-photos-talk-about-sex-how-to-protect-your-kids-from-online-sexual-abuse-139971">Be careful with photos, talk about sex: how to protect your kids from online sexual abuse</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Sebagai sekelompok ilmuwan yang mempelajari tantangan unik dalam menjalani hubungan dan pengalaman seksual secara <em>online</em>, kami mengadopsi istilah “kekerasan seksual yang difasilitasi teknologi” untuk menggambarkan dampak buruk seksual yang dialami remaja di ruang digital.</p>
<p>Situs web kami menawarkan <a href="https://www.diydigitalsafety.ca/resources">pusat sumber daya</a> untuk membantu mendukung generasi muda dan mengatasi kekerasan seksual yang difasilitasi teknologi.</p>
<p>Melalui proyek penelitian lima tahun yang kami lakukan, <a href="https://www.diydigitalsafety.ca/"><em>Digitally Informed Youth (DIY) Digital Safety</em></a>, kami akan berinteraksi dengan generasi muda dan orang dewasa yang mendukung mereka. Ini adalah proyek penelitian pertama di Kanada yang secara khusus mengkaji kekerasan seksual yang difasilitasi teknologi di kalangan remaja berusia 13-18 tahun. Kami bertujuan untuk memahami tantangan mereka, cara mereka mengatasinya, dan ide solusi mereka.</p>
<p><a href="https://www.diydigitalsafety.ca/publications">Penelitian kami</a> menekankan bahwa mengatasi masalah ini memerlukan pengakuan terhadap kehidupan digital dan fisik generasi muda yang terintegrasi dan mengakui bahwa teknologi sebagai alat dapat memfasilitasi bahaya sekaligus dapat dimanfaatkan untuk memerangi bahaya tersebut.</p>
<h2>Kurangnya penelitian di Kanada</h2>
<p>Para pendidik dan pembuat kebijakan harus memahami permasalahan ini dalam konteks unik masyarakat Kanada. Meskipun semakin banyak penelitian di Kanada mengenai kekerasan seksual yang difasilitasi teknologi, sebagian besar penelitian mengenai topik ini dilakukan di negara-negara seperti Amerika Serikat atau Australia.</p>
<p>Secara khusus, hanya ada sedikit penelitian mengenai apa yang dialami oleh generasi muda di Kanada saat <em>online</em>, terminologi apa yang harus kita gunakan untuk mengidentifikasi dampak buruk ini, dan dukungan apa yang dianggap efektif bagi generasi muda. Selain itu, beberapa generasi muda di Kanada menghadapi tantangan karena mereka tinggal di komunitas terpencil atau kurang memiliki akses terhadap sumber daya pendukung.</p>
<p>Penting untuk memiliki penelitian berbasis bukti yang kontekstual sehingga para pendidik dapat berbicara dengan generasi muda tentang hak-hak mereka, memahami perilaku apa yang berbahaya dan mengetahui bagaimana generasi muda harus menanggapi perilaku seksual <em>online</em> yang melecehkan. Suara dan perspektif anak muda harus dimasukkan dalam analisis ini.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/540270/original/file-20230731-227785-volgbk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="One person placing their hands around another's." src="https://images.theconversation.com/files/540270/original/file-20230731-227785-volgbk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/540270/original/file-20230731-227785-volgbk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/540270/original/file-20230731-227785-volgbk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/540270/original/file-20230731-227785-volgbk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/540270/original/file-20230731-227785-volgbk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/540270/original/file-20230731-227785-volgbk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/540270/original/file-20230731-227785-volgbk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Mendukung generasi muda berarti menciptakan solusi berdasarkan kepercayaan dan dialog terbuka.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Dukungan yang konsisten dan dapat diakses</h2>
<p>Seiring berkembangnya teknologi, sistem hukum Kanada telah memperkenalkan undang-undang untuk mengatasi kekerasan seksual terhadap remaja dan orang dewasa, seperti undang-undang pidana yang melarang <a href="https://laws-lois.justice.gc.ca/eng/acts/c-46/section-163.1.html">pornografi anak</a>, <a href="https://laws.justice.gc.ca/eng/AnnualStatutes/2007_20/FullText.html">memikat anak</a>, <a href="https://laws-lois.justice.gc.ca/eng/acts/c-46/section-162.HTML"><em>voyeurisme</em></a> atau perilaku seksual di mana seseorang merasakan kepuasan saat mengintip orang lain telanjang, mandi, atau berhubungan seksual, dan <a href="https://www.justice.gc.ca/eng/rp-pr/other-autre/cndii-cdncii/p6.html">distribusi gambar intim tanpa persetujuan</a>.</p>
<p>Namun, generasi muda masih menerima <a href="https://doi.org/10.1177/0964663917724866">pesan yang membingungkan</a> tentang bagaimana undang-undang ini berlaku bagi mereka dan perilaku seksual mana yang berbahaya. Misalnya, banyak anak muda menerima <a href="https://needhelpnow.ca/app/en/resources_involving_safe_adult">pesan tidak akurat yang menyalahkan korban</a> tentang gambar tubuh yang mereka ambil.</p>
<p>Intervensi hukum mungkin merupakan respons yang tepat dalam beberapa kasus paling serius dari kekerasan seksual yang difasilitasi teknologi. Namun <a href="https://doi.org/10.1177/17416590221142762">kaum muda membutuhkan lebih dari sekadar tindakan hukum</a>. Kenyataannya, banyak yang mencari berbagai bentuk dukungan dari sekolah, teman, <a href="https://mediasmarts.ca/sites/default/files/2023-07/report_ycwwiv_trends_recommendations.pdf">keluarga</a>, organisasi nirlaba dan organisasi layanan korban.</p>
<p>Saat ini, kurikulum dan kebijakan sekolah di Kanada menangani kekerasan seksual yang difasilitasi teknologi dengan berbagai cara. Pendekatannya sangat bervariasi antar provinsi dan wilayah. Di beberapa daerah, kurikulum dan kebijakan terkait kekerasan seksual yang difasilitasi teknologi sangat sedikit atau bahkan tidak ada.</p>
<p>Dengan teknologi yang terus menjadi bagian dari kehidupan generasi muda, kebijakan dan kurikulum sekolah harus diperbarui untuk mengatasi realitas hubungan generasi muda yang semakin terdigitalisasi.</p>
<p>Untuk memperbarui kebijakan dan kurikulum sekolah secara efektif, beberapa peneliti mempromosikan konsep <a href="https://doi.org/10.1080/14681811.2023.2204223">“warga negara seksual”</a> di kalangan generasi muda. Ini berarti mendorong mereka untuk menjalani kehidupan dan hubungan mereka dengan landasan etika dan interpersonal yang kuat. Model ini beralih dari penyampaian pesan yang menyalahkan korban dan hanya sekedar pantangan menjadi berfokus pada membina hubungan dan komunikasi yang sehat.</p>
<p>Memotivasi generasi muda untuk berpikir kritis tentang risiko <em>online</em> adalah sebuah pendekatan yang memberdayakan. Hal ini membantu mereka mengakui pengaruh stereotip atau prasangka terhadap seseorang berdasarkan karakteristik tertentu, kesenjangan dan standar ganda seksis dalam diskusi dan bagaimana hal-hal tersebut berdampak pada akses individu terhadap kekuasaan dan sumber daya.</p>
<p>Mengandalkan taktik menakut-nakuti dengan hukum atau metode pengawasan yang dilakukan oleh pengasuh dan perusahaan teknologi <a href="https://mediasmarts.ca/sites/default/files/2023-07/report_ycwwiv_trends_recommendations.pdf">merusak kepercayaan antara generasi muda dan orang dewasa dalam kehidupan mereka</a>. Hal ini juga menimbulkan kekhawatiran di kalangan generasi muda tentang bagaimana platform menggunakan data yang dikumpulkan dari mereka.</p>
<p>Sebaliknya, kita memerlukan solusi berdasarkan kepercayaan dan dialog terbuka. Juga bagi orang tua, pendidik, perusahaan teknologi, dan pembuat kebijakan untuk melibatkan generasi muda sebagai langkah pertama menciptakan perubahan budaya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/212120/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Penelitian Alexa Dodge menerima dana dari Dewan Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora Kanada (SSHRC).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Christopher Dietzel menerima dana dari iMPACTS: Kolaborasi untuk Mengatasi Kekerasan Seksual di Kampus; Hibah Kemitraan Dewan Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora Kanada (SSHRC) 895–2016-1026 (Direktur Proyek, Shaheen Shariff, Ph.D., Profesor James McGill, Universitas McGill).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Kaitlynn Mendes menerima dana dari Dewan Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora Kanada (SSHRC) dan Program Ketua Penelitian Kanada.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Penelitian Suzie Dunn mendapat dana dari Social Sciences and Humanities Research Council of Canada (SSHRC).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Estefania Reyes tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Pendekatan baru diperlukan untuk mengatasi cakupan pelecehan yang dialami remaja saat ‘online’.Estefania Reyes, PhD student, Sociology, Western UniversityAlexa Dodge, Assistant Professor of Criminology, Saint Mary’s UniversityChristopher Dietzel, Postdoctoral fellow, the Sexual Health and Gender Lab, Dalhousie UniversityKaitlynn Mendes, Canada Research Chair in Inequality and Gender, Western UniversitySuzie Dunn, Assistant Professor, Law, Dalhousie UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2068712023-06-02T06:03:23Z2023-06-02T06:03:23ZKekerasan seksual berbasis elektronik : bagaimana UU TPKS melindungi korban?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/529705/original/file-20230602-23-rvxpbm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption"></span> </figcaption></figure><p>Kekerasan seksual tidak hanya terjadi secara fisik, namun juga terjadi ke ranah elektronik atau <em>online</em>. Kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE) sendiri dapat didefinisikan sebagai tindakan melakukan perekaman dan atau mengambil gambar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau persetujuan orang yang menjadi objek perekaman. </p>
<p>Salah satu kasus kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE) yang belakangan ramai diperbincangkan adalah <a href="https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20230525082313-277-953728/apa-itu-revenge-porn-yang-dialami-rebecca-klopper">kasus yang sedang dialami oleh seorang aktris lokal bernama Rebecca Klopper</a>. Rebecca menjadi korban setelah sebuah video intim yang berdurasi kurang dari satu menit menampilkan seorang perempuan yang diduga adalah Rebecca.</p>
<p><a href="https://kbr.id/nasional/10-2022/komnas-perempuan-kekerasan-seksual-berbasis-elektronik-meningkat-108-kali-lipat/110006.html">Laporan Komisi Nasional Perempuan</a> menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual berbasis elektronik mengalami peningkatan yang sangat tajam dalam kurun waktu 2017 - 2021. Dari hanya 16 laporan pada tahun 2017, jumlahnya meningkat drastis menjadi 1.721 pada tahun 2021.</p>
<p>Pemerintah sebenarnya sudah membuat peraturan untuk menangani kasus kekerasan seksual ini dalam <a href="https://jdih.setkab.go.id/PUUdoc/176736/Salinan_UU_Nomor_12_Tahun_2022.pdf">Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual</a>. Undang-undang ini sudah disahkan oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan April tahun 2022.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/pakar-menjawab-uu-tpks-sudah-sah-apa-yang-patut-dirayakan-dan-apa-yang-kurang-181330">Pakar Menjawab: UU TPKS sudah sah! Apa yang patut dirayakan dan apa yang kurang?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Lalu, bagaimana UU tersebut mengatur permasalahan kekerasan seksual berbasis elektronik? Seperti apa bentuk perlindungan terhadap korban?</p>
<p>Dalam episode terbaru <em>SuarAkademia</em> kali ini, kita berbincang dengan M. Fatahillah Akbar, dosen dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/uu-ite-untuk-kasus-kekerasan-seksual-tepatkah-144876">UU ITE untuk kasus kekerasan seksual, tepatkah?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Simak episode lengkapnya hanya di <em>SuarAkademia</em> – ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/206871/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Kekerasan seksual tidak hanya terjadi secara fisik, namun juga terjadi ke ranah elektronik atau online. Kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE) sendiri dapat didefinisikan sebagai tindakan melakukan…Muammar Syarif, Podcast ProducerLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2035042023-04-10T07:42:39Z2023-04-10T07:42:39Z‘Saya memilih jalan lebih jauh’: banyak perempuan muda pertama kali alami pelecehan di jalan saat memakai seragam<p>Apakah kamu ingat saat pertama kali mengalami pelecehan di ruang publik? Apa yang muncul di benak kamu? Apakah kamu ingat saat itu umur berapa, atau kamu sedang apa? Bisa jadi juga, kamu belum pernah mengalami ini. </p>
<p>Di negara seperti Australia, tempat kami mengajar, <a href="https://australiainstitute.org.au/report/everyday-sexism/">sebanyak 87% perempuan muda</a> sudah pernah mengalami pelecehan di tempat umum.</p>
<p>Dalam <a href="https://www.streetharassmentjustice.com">riset terbaru kami</a> terkait pelecehan di jalanan, kami berbicara dengan 47 perempuan dewasa dan individu LGBTQ+ tentang ingatan paling awal mereka ketika merasa menjadi objek seksual, tidak nyaman, atau tidak aman di jalan. Banyak partisipan mengatakan mereka pertama kali mengalami pelecehan di jalan ketika sedang memakai seragam. Kami mendengar variasi frase seperti “kejadiannya ketika saya memakai seragam sekolah” berulang kali dari para responden.</p>
<p>Bagi banyak orang, <a href="https://theconversation.com/whistling-and-staring-at-women-in-the-street-is-harassment-and-its-got-to-stop-38721">pelecehan di jalan</a> mulai terjadi atau menjadi lebih sering ketika memakai seragam saat tingkat pendidikan menengah atas. Tapi, beberapa partisipan merefleksikan pengalaman ketika mereka bahkan lebih muda lagi, ketika memakai seragam pada jenjang sekolah dasar.</p>
<p>Berbagai studi dari Inggris telah menunjukkan bahwa <a href="https://plan-uk.org/street-harassment/its-not-ok">35% anak perempuan</a> yang memakai seragam sekolah pernah dilecehkan secara seksual di ruang publik. Sayangnya, meski sekolah punya peran penting dalam kehidupan sehari-hari anak muda, dan meski mereka banyak mengalami insiden di jalanan, saat ini masih minim perhatian terhadap pelecehan yang dialami remaja dan anak muda saat memakai seragam.</p>
<p>Temuan dari <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/09540253.2023.2193206">riset baru kami</a> menunjukkan bahwa pelecehan yang terkait dengan pengalaman sekolah adalah isu serius yang selama ini jarang dibahas.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/urgensi-memberantas-kekerasan-seksual-di-sekolah-salah-satu-dosa-besar-dunia-pendidikan-181202">Urgensi memberantas kekerasan seksual di sekolah -- salah satu dosa besar dunia pendidikan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Di luar gerbang sekolah</h2>
<p>Kita tahu bahwa anak muda mengalami pelecehan <a href="https://researchdirect.westernsydney.edu.au/islandora/object/uws:55181/">seksual</a>, <a href="https://www.glsen.org/sites/default/files/2019-10/GLSEN%202015%20National%20School%20Climate%20Survey%20%28NSCS%29%20-%20Executive%20Summary.pdf">homofobik, maupun transfobik</a> dari rekan sejawat mereka dan bahkan guru ketika di sekolah.</p>
<p>Tapi, para partisipan juga memberi tahu kami terkait pelecehan yang terjadi di luar lingkungan sekolah. Pelakunya adalah orang asing (biasanya laki-laki dewasa, atau sekelompok laki-laki dewasa), ketika mereka mengenakan seragam dan, oleh karena itu, dengan jelas dikenali sebagai anak sekolahan.</p>
<p>Ini bentuknya beragam, dari <em>catcalling</em> (melontarkan komentar seksual ketika berpapasan), memelototi, bersiul, membuntuti dengan kendaraan, masturbasi di tempat umum atau menggesekkan kemaluan pada korban atau penyintas (biasanya ketika berangkat ke sekolah memakai transportasi umum), hingga serangan seksual dan pemerkosaan.</p>
<p>Salah satu responden tingkat pendidikan menengah atas mengatakan:</p>
<blockquote>
<p>berjalan dari sekolah ke rumah […] itulah saat paling sering terjadi pelecehan yang saya alami […] Begitu saya berhenti memakai seragam, kejadiannya berkurang. Jadi, ini menjijikkan karena beragam alasan.</p>
</blockquote>
<p>Sebagaimana ungkapan responden lain, pengalaman-pengalaman ini sangat menakutkan tidak hanya karena apa yang sedang terjadi saat itu, tapi juga karena pelaku bisa “tahu kamu sekolah di mana” dengan melihat seragam.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Close-up of a uniform jacket, shirt and tie." src="https://images.theconversation.com/files/518101/original/file-20230329-18-cx7vs0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/518101/original/file-20230329-18-cx7vs0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/518101/original/file-20230329-18-cx7vs0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/518101/original/file-20230329-18-cx7vs0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/518101/original/file-20230329-18-cx7vs0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/518101/original/file-20230329-18-cx7vs0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/518101/original/file-20230329-18-cx7vs0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Riset di Inggris menemukan 35% anak perempuan pernah mengalami pelecehan saat memakai seragam di tempat umum.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Robin Worrall/Unsplash</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0/">CC BY-NC</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Dianggap ‘seksi’</h2>
<p>Kenapa anak muda – terutama perempuan muda dan anak perempuan – secara rutin sering mengalami pelecehan saat memakai seragam sekolah? Kami menemukan bahwa hal ini didorong secara kebudayaan melalui stigma “anak sekolahan (perempuan) yang seksi” (“<em>sexy school girl</em>”). </p>
<p>Sebagaimana dijelaskan salah satu narasumber:</p>
<blockquote>
<p>ketika kita ke pencarian gambar Google dan mencari “murid laki-laki” (<em>school boy</em>), hasil yang akan keluar adalah gambar anak laki-laki berusia lima tahun, tapi kemudian pencarian “murid perempuan” (<em>school girl</em>) akan menghasilkan foto kostum anak sekolah perempuan yang seksi.</p>
</blockquote>
<p>Para partisipan mendiskusikan pengalaman mereka menjadi sasaran karena dilihat sebagai sosok yang rentan dan (secara paradoks) polos sekaligus objek seksual.</p>
<blockquote>
<p>Ini adalah bagian dari daya tariknya bagi mereka (para pelaku), kepolosan seorang anak sekolah perempuan, dan seorang anak perempuan yang merasa takut dalam situasi itu tampak menggairahkan bagi mereka, dan mereka benar-benar menikmati itu.</p>
</blockquote>
<p>Narasumber lain menceritakan pada kami:</p>
<blockquote>
<p>Saya berubah dari anak yang polos jadi anak yang merasa tidak nyaman dan tidak tahu kenapa saya dijadikan objek seksual – dan saya tidak memahami itu karena saya belum paham makna dari seks yang sebenarnya.</p>
</blockquote>
<p>Karena berusia sangat muda, banyak partisipan seringkali tidak memiliki kerangka atau bahasa untuk memahami pengalaman mereka. Bagi banyak di antara mereka, pengalaman ini merupakan rutinitas yang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka begitu saja.</p>
<p>Seringkali, baru setelah bertahun-tahun setelah pengalaman membekas ini, mereka kemudian bisa mengartikulasikannya sebagai pelanggaran seksual dan merefleksikan dampaknya.</p>
<h2>Mencoba menghindari pelecehan</h2>
<p>Sepanjang riset wawancara kami, banyak partisipan mendiskusikan bagaimana mereka mengubah penampilan mereka atau mengubah rute yang mereka tempuh ke sekolah. Mereka kerap fokus pada mengubah perilaku mereka sendiri dan <a href="https://policy.bristoluniversitypress.co.uk/the-right-amount-of-panic">membuat hidup mereka lebih sengsara</a> sebagai upaya menghindari pelecehan lebih lanjut. Misalnya:</p>
<blockquote>
<p>Saya memilih jalan lebih jauh. Saya pergi melewati jalanan utama, menghindari jalan kecil, bahkan ketika jalannya lebih jauh, agar bisa ekstra aman.</p>
</blockquote>
<p>Dalam jangka panjang, para partisipan umumnya mendeskripsikan perasaan tidak aman, senantiasa terjaga, dan cenderung tidak mempercayai laki-laki di ruang publik.</p>
<h2>‘Bagaimana jika ada pedofil di kereta?’: respons sekolah</h2>
<p>Sayangnya, ketika ada laporan, sekolah kerap melanggengkan pandangan bahwa para korban-penyintas adalah pihak yang bertanggung jawab atas pelecehan yang mereka alami.</p>
<p>Berbagai partisipan memberi tahu kami bagaimana mereka kerap diingatkan tentang kebijakan seragam sekolah (misalnya kewajiban terkait panjang rok atau seragam) ketika mereka meminta bantuan dari guru.</p>
<p>Seorang partisipan menceritakan pengalaman ketika guru mereka bertanya:</p>
<blockquote>
<p>Kenapa kamu memakai rok (pendek) seperti ini? Kamu sedang mencoba menarik perhatian siapa? Bagaimana jika ada pedofil di kereta saat pulang dari sekolah dan mereka berpikir “ini hari keburuntunganku”.</p>
</blockquote>
<p>Beberapa yang lainnya tidak mencari bantuan dari guru karena masalah terkait penampilan di sekolah – mereka merasa pasti akan disalahkan atas apa yang terjadi.</p>
<p>Respons semacam ini mengajarkan pada anak muda untuk berpikir bahwa pelecehan di jalanan, dan bentuk-bentuk lain dari kekerasan berbasis gender, adalah salah mereka. Ini juga memberi tahu mereka bahwa tubuh mereka adalah titik risiko yang perlu dikelola dan dijaga supaya menghindari pelecehan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kasus-pemaksaan-jilbab-bagaimana-iklim-politik-pengaruhi-kebijakan-seragam-sekolah-188087">Kasus pemaksaan jilbab: bagaimana iklim politik pengaruhi kebijakan seragam sekolah</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Pelecehan berseragam tidaklah ‘normal’</h2>
<p>Meski sekolah dan konteks yang berkaitan dengan sekolah sering menjadi tempat terjadinya gangguan (<em>harm</em>) bagi para partisipan kami, sekolah tetap punya peran yang sangat penting. Pelecehan terhadap murid berseragam tak seharusnya dipandang sebagai bagian yang “normal” dalam proses pendewasaan anak.</p>
<p>Ada kebutuhan mendesak untuk menghadirkan suatu kerangka bagi anak muda untuk memahami pengalaman-pengalaman mereka.</p>
<p>Upaya pendidikan harus menantang ide bahwa pelecehan sebaiknya ditahan-tahan dan dilewati saja sebaik mungkin. Sebaliknya, sekolah harus membantu anak muda memahami bahwa pelecehan adalah bentuk kekerasan, dan menawarkan ruang yang aman dan mendukung untuk bisa berbicara dengan rekan sejawat dan orang dewasa tenang pengalaman mereka. </p>
<p>Ini harusnya dimasukkan sebagai bagian dari pendidikan seks dan hubungan (<em>relationships</em>) yang sudah ada, dengan <a href="https://www.bodysafetyaustralia.com.au/">cara yang tepat usia</a>.</p>
<p>Yang juga penting, respons terhadap pelecehan tak boleh menyalahkan anak muda itu sendiri. Sudah saatnya praktik-praktik usang, seperti mengukur panjang seragam, tak lagi dilakukan.</p>
<p>Seperti ungkapan salah satu partisipan riset kami, “panjang rok saya tidak mempengaruhi seberapa baik saya belajar”.</p>
<hr>
<p><em>Jika merasa bahwa kamu atau orang yang kamu kenal membutuhkan bantuan, silakan membuka <a href="https://carilayanan.com">portal Cari Layanan</a>.</em></p>
<p><em>Di sana, kalian bisa melakukan pencarian bantuan penanganan kekerasan yang tepat berdasarkan kategori kasus dan layanan yang dibutuhkan, beserta lokasi kantor terdekat dan kontaknya – dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH-APIK) hingga Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/203504/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Bianca Fileborn menerima pendanaan dari Australian Research Council, ACON, dan Victorian Department of Justice and Community Services. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Jess Hardley tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Riset baru menunjukkan bahwa pelecehan terhadap anak muda ketika memakai seragam sekolah adalah isu serius yang masih jarang mendapat perhatian.Bianca Fileborn, Senior Lecturer in Criminology, The University of MelbourneJess Hardley, Research Assistant in Criminology, The University of MelbourneLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2014092023-03-08T13:33:05Z2023-03-08T13:33:05Z4 langkah untuk mempercepat pembentukan satgas antikekerasan seksual di perguruan tinggi Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/514199/original/file-20230308-16-is0csn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/surakarta-indonesia-february-23-2023-poster-2265736609">(Karim Jabbar/Shutterstock)</a></span></figcaption></figure><p>Dalam satu dekade terakhir, upaya global untuk memberantas kekerasan seksual di sektor pendidikan tinggi terus meningkat. Upaya ini melibatkan partisipasi mahasiswa, staf universitas, hingga pemerintah.</p>
<p>Di Nigeria, misalnya, menyusul <a href="https://www.youtube.com/watch?v=we-F0Gi0Lqs">film dokumenter</a> yang mengungkap pelanggaran dan pelecehan seksual dari dua dosen di University of Lagos, tekanan publik berhasil memaksa pemerintah menerbitkan <a href="https://edition.cnn.com/2020/07/08/africa/nigeria-sexual-harassment-bill/index.html">Undang-Undang Pelecehan Seksual (SB-77)</a> pada tahun 2020 yang menyasar pelecehan di lingkungan pendidikan tinggi.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/we-F0Gi0Lqs?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
</figure>
<p>Pada Februari 2022, tiga mahasiswa S3 menuntut Harvard University di Amerika Serikat (AS) karena mengabaikan laporan mereka terkait pelecehan seksual dari seorang profesor antropologi. Para profesor fakultas tersebut berujung <a href="https://www.nytimes.com/2022/02/09/us/harvard-sexual-harassment-letter.html">menarik dukungan awal yang sempat mereka berikan</a> kepada rekan mereka, dan <a href="https://www.reuters.com/legal/us-backs-students-claiming-harvard-ignored-professors-sexual-harassment-2022-09-07/">Departemen Hukum AS</a> menyatakan dukungan terhadap gugatan ketiga mahasiswa.</p>
<p>Pengalaman-pengalaman di atas bisa jadi inspirasi untuk menggencarkan upaya-upaya serupa di seluruh dunia, termasuk Indonesia.</p>
<p>Indonesia adalah rumah bagi sekitar 4.500 perguruan tinggi dan sekitar 7 juta mahasiswa – jumlah <a href="https://www.share-asean.eu/sites/default/files/SHARE%20Infographic%20HE%20in%20ASEAN_Apr%202019.pdf">terbesar di Asia Tenggara</a>.</p>
<p>Beberapa bulan sebelum sahnya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (<a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/207944/uu-no-12-tahun-2022">UU TPKS</a>) pada tahun 2022, pemerintah juga menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (<a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/188450/permendikbud-no-30-tahun-2021">Permendikbudristek PPKS</a>). Ini adalah upaya merespons munculnya berbagai kasus pelecehan dan pemerkosaan – segelintir puncak dari <a href="https://theconversation.com/not-only-in-america-sexual-violence-on-campuses-is-widespread-in-indonesia-108511">gunung es kekerasan seksual</a> – di kampus-kampus Indonesia.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/permendikbudristek-ppks-apa-manfaatnya-bagi-pemberantasan-kekerasan-seksual-di-kampus-172698">Permendikbudristek PPKS: apa manfaatnya bagi pemberantasan kekerasan seksual di kampus?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Ada dua komponen kunci dalam Permendikbudristek PPKS. Pertama, pembuatan panel seleksi yang kemudian akan membentuk dan menetapkan suatu “<a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/188450/permendikbud-no-30-tahun-2021">Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual</a>” (Satgas PPKS) di setiap perguruan tinggi. Kedua, baik panel seleksi maupun satgas harus melibatkan tak hanya dosen dan staf, tapi juga mahasiswa.</p>
<p>Sayangnya, <a href="https://merdekadarikekerasan.kemdikbud.go.id/pengumuman/">catatan Kemendikbudristek</a> menunjukkan bahwa para perguruan tinggi di Indonesia masih lamban dalam membentuk panel seleksi dan satuan tugas. Dari sekitar 4.500 institusi, baru 189 (kurang dari 5%) yang telah membuat panel seleksi. Kurang dari setengahnya telah mendirikan Satgas PPKS.</p>
<p>Meski angka ini masih sangat kecil, prosesnya cukup baik dalam menggandeng beragam pemegang kepentingan – termasuk 432 mahasiswa, 640 staf pengajar, dan 311 staf administratif (per Desember 2022).</p>
<p>Berbekal pelibatan dan kolaborasi lintas pihak semacam ini, kami merekomendasikan empat hal yang bisa dilakukan pemerintah dan perguruan tinggi untuk mempercepat implementasi Permendikbudristek PPKS.</p>
<p><strong>Pertama</strong>, Kemendikbudristek harus menggencarkan sosialisasi terhadap ribuan universitas, sekolah tinggi, hingga politeknik yang belum membentuk Satgas PPKS.</p>
<p>Pemerintah harus lebih agresif dalam mengkomunikasikan urgensi dari regulasi yang ada melalui diskusi, lokakarya (<em>workshop</em>), atau <a href="https://www.youtube.com/watch?v=5R4NOdH0L6Q">seminar</a>. Mereka perlu menggarisbawahi langkah-langkah awal yang bisa segera diambil institusi.</p>
<p>Seiring terungkapnya <a href="https://koran.tempo.co/read/nasional/473224/menunggu-ketok-palu-sanksi-administratif-dari-menteri-terhadap-pelaku-kekerasan-seksual">kasus demi kasus</a> kekerasan seksual di lingkungan kampus sepanjang 2021 hingga 2022, Inspektur Jenderal Kemendikbudristek, Chatarina Girsang, menginisiasi lokakarya dengan beberapa universitas dan menekankan pentingnya <a href="https://itjen.kemdikbud.go.id/web/sosialisasikan-ppks-irjen-kasus-kekerasan-seksual-di-kampus-timbulkan-luka-dalam-bagi-penyintas">merespons kasus kekerasan seksual</a> secara cepat dan adil. Lokakarya tersebut juga menjelaskan bagaimana Satgas PPKS bisa membantu upaya tersebut.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, di level kampus, para rektor bisa menawarkan insentif kepada pengajar dan staf universitas untuk mempercepat pembentukan satgas.</p>
<p>Salah satu caranya adalah menghitung kontribusi mereka sebagai jam atau poin tambahan dalam pengabdian masyarakat – salah satu dari tiga mandat <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/40266/uu-no-14-tahun-2005">Tri Dharma Perguruan Tinggi</a> selain mengajar dan meneliti.</p>
<p>Tapi, pimpinan universitas juga wajib memastikan bahwa panel dan satgas tersebut diisi oleh orang-orang dengan rekam jejak yang bersih dan komitmen yang kuat dalam melawan kekerasan seksual. </p>
<p>Sejumlah kecil akademisi dan mahasiswa, misalnya, telah <a href="https://news.detik.com/berita/d-5815353/ragam-suara-mahasiswa-soal-permen-ppks-isu-seks-bebas-jadi-sorotan">menyuarakan</a> <a href="https://lpminstitut.com/2021/11/22/menangkis-logika-penolak-permendikbud-ppks/">penolakan</a> atau keraguan terhadap Permendikbudristek PPKS. Mereka beranggapan bahwa aturan tersebut sebaiknya tak hanya menjerat tindak pelecehan dan pemerkosaan yang bersifat “tanpa persetujuan”, tapi juga hubungan seks konsensual dengan dalih interpretasi keagamaan.</p>
<p>Universitas Negeri Jakarta (UNJ) cukup <a href="https://radioedukasi.kemdikbud.go.id/read/3220/unj-resmi-bentuk-satgas-sementara-ppks.html">cepat dalam mengadopsi</a> komponen-komponen kunci dalam Permendikbudristek PPKS. Namun, di saat yang sama, perguruan tinggi tersebut menggelar webinar tentang “<a href="https://fis.unj.ac.id/universitas-negeri-jakarta-menggelar-webinar-nasional-kampus-sehat-bebas-lgbt-dan-free-sex/">kampus sehat yang bebas dari LGBT dan seks bebas</a>”. Hal ini berlawanan dengan semangat antidiskriminasi dalam peraturan tersebut.</p>
<p>Kami juga berbicara dengan aktivis hak perempuan dari <a href="https://politikal.id/dukung-kemendikbudristek-ri-jaringan-muda-setara-luncurkan-kanal-cerita-permen-ppks">Jaringan Muda Setara</a>, yang sejak 2015 telah berjuang mendorong regulasi antikekerasan seksual di lingkungan kampus. Mereka menemukan bahwa beberapa penentang Permendikbudristek PPKS justru duduk di panel seleksi atau satuan tugas kampus mereka.</p>
<p><strong>Ketiga</strong>, mahasiswa bisa mengorganisasi diri untuk secara kolektif mengawasi komitmen dan upaya yang telah dilakukan oleh pimpinan universitas.</p>
<p>Tahun lalu, Korps Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)-Wati atau disingkat <a href="https://www.suarahimpunan.com/kabar/surati-perguruan-tinggi-kohati-gorontalo-desak-terapkan-permendikbud-penanganan-kekerasan-seksual/2/">KOHATI di Gorontalo, Sulawesi Utara</a>, bersama dengan <a href="https://megapolitan.kompas.com/read/2022/09/01/12094641/bem-ui-desak-rektor-ari-kuncoro-bentuk-satgas-ppks-ini-tanggapan-pihak?page=all">Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia</a> “menyentil” lambannya aksi rektor perguruan tinggi mereka dalam menerapkan Permendikbudristek PPKS. Mereka mengumpulkan dukungan melalui petisi dan juga menggelar demonstrasi di lingkungan kampus.</p>
<p><strong>Keempat</strong>, organisasi hak perempuan yang bergerak di bidang pemberantasan kekerasan seksual bisa mengambil peran penting.</p>
<p>Berbagai <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200210135051-20-473253/kemendikbud-didemo-soal-kekerasan-seksual-di-kampus">demonstrasi dan pawai (<em>march</em>)</a> yang mereka lakukan menjadi salah satu alasan kunci yang membuat media dan pemerintah mulai menaruh perhatian pada isu kekerasan seksual kampus secara serius. Para organisasi ini berperan mengumpulkan momentum yang pada akhirnya berujung pada penerbitan Permendikbudristek PPKS.</p>
<p>Pada tahun 2022, organisasi seperti <a href="https://www.instagram.com/p/CjxxhJZPt4l/?utm_source=ig_web_copy_link">Perempuan Mahardhika</a> melanjutkan upaya ini dengan mengadakan serangkaian lokakarya dengan komunitas kampus tentang implementasi Permendikbudristek PPKS. <a href="https://www.suarakeadilan.org/publikasi/36-suara-keadilan/235-kolaborasi-uu-tpks-dan-permendikbud-30-tahun-2021">Universitas Gadjah Mada (UGM)</a> dan <a href="https://www.ibn.ac.id/pelatihan-satgas-pencegahan-dan-penanganan-kekerasan-seksual/">Universitas Multimedia Nusantara (UMN)</a> juga mengadakan seminar, berkolaborasi dengan kelompok hak perempuan serta pemerintah.</p>
<p>Kemendikbudristek pun bisa terus berkolaborsi dengan pihak-pihak di atas untuk membantu dalam pelaporan dan penilaian terkait kualitas Satgas PPKS yang beroperasi di tiap perguruan tinggi. Dengan begini, para organisasi ini bisa membantu menjadi perpanjangan tangan dan “mata” di lapangan, serta menyediakan informasi langsung yang tidak bisa didapat hanya dari balik meja kementerian.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/201409/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Sabina Puspita menerima dana dari Institutes For Advanced Research (IFAR) dan Yayasan Monash University, Indonesia untuk melakukan penelitian. Sabina Puspita juga pernah bertugas sebagai Analis Kebijakan Kemendikbudristek dari Maret 2020 hingga Desember 2021.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Muhammad Fajar menerima dana dari Institute for Advanced Research-Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. </span></em></p>Upaya meberantasan kekerasan seksual di lingkungan kampus memerlukan inisiatif dari para perguruan tinggi, aksi dari pemerintah, dan aktivisme di level akar rumput.Sabina Puspita, Monash Herb Feith Indonesian Engagement Centre Associate Director and IFAR Research Fellow, Monash UniversityMuhammad Fajar, Research fellow, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1998942023-02-14T10:27:56Z2023-02-14T10:27:56ZTerlanjur cinta: riset tunjukkan bagaimana korban kekerasan berbasis gender terjebak dalam hubungan toksik<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/510028/original/file-20230214-24-m2xn5f.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://unsplash.com/photos/7KQe_8Meex8">(Unsplash/Eric Ward)</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Banyak pasangan merayakan Hari Valentine sebagai hari penuh cinta dan romansa. Pada kenyataannya, menjalin hubungan tak selalu tentang masa-masa indah saja. <a href="https://www.unwomen.org/en/what-we-do/ending-violence-against-women/facts-and-figures">Satu dari tiga perempuan</a> di dunia pernah mengalami kekerasan fisik dan seksual di dalam hubungan. Jumlah ini belum termasuk kekerasan emosional, verbal, dan psikologis.</p>
<p>Di ruang digital, misalnya, <a href="https://komnasperempuan.go.id/catatan-tahunan-detail/catahu-2022-bayang-bayang-stagnansi-daya-pencegahan-dan-penanganan-berbanding-peningkatan-jumlah-ragam-dan-kompleksitas-kekerasan-berbasis-gender-terhadap-perempuan">Komnas Perempuan</a> mencatat kenaikan angka <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.2466/21.16.PR0.116k22w4">kekerasan berbasis gender <em>online</em> (KBGO)</a>, dari 97 kasus pada tahun 2018 menjadi 855 kasus pada 2021. KBGO melingkupi pelecehan secara digital, pemerasan dengan konten seksual (<a href="https://theconversation.com/sextortion-bentuk-kekerasan-seksual-online-yang-memakan-banyak-korban-tapi-payung-hukumnya-masih-lemah-191966"><em>sextortion</em></a>), hingga kontrol digital oleh pasangan hingga menyebabkan rasa tertekan.</p>
<p>Meski demikian, literatur menunjukkan bahwa banyak orang <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s10896-010-9338-0#citeas">tetap mau bertahan</a> dalam hubungan kekerasan yang jelas merugikan mereka. Mengapa?</p>
<p>Dalam <a href="https://connect.springerpub.com/content/sgrpa/13/2/202">penelitian</a> yang saya dan beberapa kolega lakukan pada tahun 2022, kami menemukan bahwa perempuan dewasa muda yang menjadi korban KBGO justru bisa semakin berinvestasi dan berkomitmen dalam hubungan toksik, hingga “terlanjur cinta” untuk keluar dari hubungan tersebut. Hal ini bisa diprediksi lewat beberapa hal.</p>
<p>“<a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/0022103180900074?via%3Dihub"><em>The Investment Model</em></a>” yang diusung oleh Caryl Rusbult, profesor psikologi Vrije Universiteit di Belanda, misalnya, menjelaskan bahwa orang memiliki komitmen untuk bertahan dalam hubungan karena tiga faktor: (1) kepuasan terhadap hubungan, (2) investasi baik secara waktu, emosi, ataupun finansial, dan (3) kualitas hubungan lain di luar pasangannya – misalnya keluarga, teman, atau potensi hubungan lain di masa depan.</p>
<p>Ini berarti semakin puas seseorang di dalam hubungan, semakin besar investasinya, dan semakin rendah kualitas alternatif hubungannya, maka semakin tinggi komitmen seseorang untuk bertahan di dalam hubungan. Tapi bagaimana dinamika ini berlaku dalam hubungan kekerasan?</p>
<h2>Investasi, kepuasan, dan komitmen dalam hubungan berkekerasan</h2>
<p>Penelitian kami melibatkan 86 perempuan heteroseksual berusia 18-24 tahun di Indonesia, yang sebelumnya telah kami saring dengan skor ≥5 dalam setidaknya salah satu item instrumen <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/26493569/"><em>Cyber Dating Abuse Questionnaire</em></a> (mengalami setidaknya sepuluh insiden kekerasan dalam setahun terakhir).</p>
<p>Dalam riset, kami menemukan bahwa dalam hubungan berkekerasan, individu yang menjadi korban justru akan <a href="https://psycnet.apa.org/record/1989-01841-001">berusaha lebih keras untuk “memperbaiki” hubungannya</a>. Karena merasa sudah terlanjur berinvestasi banyak secara emosi, waktu, dan finansial, mereka mengeluarkan tambahan energi – jauh lebih banyak ketimbang pasangan yang “sehat” – untuk memperjuangkan agar hubungan mereka dapat terus berlangsung.</p>
<p>Secara paradoks, hal ini pula lah yang semakin meningkatkan investasi mereka di dalam hubungan berkekerasan tersebut. Sehingga, berdasarkan <em>the investment model</em>, komitmennya terhadap hubungan akan meningkat. </p>
<p>Menariknya, individu-individu ini juga melaporkan kepuasan di dalam hubungan yang relatif tinggi. Padahal, <a href="https://psycnet.apa.org/record/1996-27008-00">studi sebelumnya</a> menunjukkan individu yang berada dalam hubungan berkekerasan memiliki kepuasan hubungan yang rendah. Tingginya tingkat kepuasan ini mungkin terjadi karena individu merasa bahwa perilaku kekerasan yang mereka alami – terutama kontrol dan pemantauan yang dilakukan pasangannya – seolah merupakan hal yang normal. </p>
<p>Bisa jadi, akibat paparan kekerasan yang terjadi berulang kali dan “dinormalisasi” dalam hubungan tersebut, korban menganggap perilaku pasangan mereka <a href="https://www.psicothema.com/pi?pii=4270">sebagai bentuk cinta, perhatian, atensi, dan kasih sayang</a>. </p>
<p><a href="https://www.psicothema.com/pi?pii=4270">Studi tahun 2015</a> dari tim peneliti psikologi Spanyol, misalnya, berargumen bahwa banyak pasangan dalam hubungan berkekerasan, terutama pasangan muda, memegang mitos terkait kasih sayang yang terdistorsi dan tidak realistis yang pada akhirnya meningkatkan kemungkinan timbulnya perilaku agresif. Obsesi, amarah, dan tindakan mengontrol seperti senantiasa menuntut lokasi atau jadwal kegiatan pasangan, misalnya, dimaknai sebagai bentuk kasih sayang.</p>
<p>Dalam konteks digital, para korban bisa semakin menjustifikasi “mitos” di atas jika dibarengi dengan ancaman oleh pasangannya. Dalam banyak kasus KBGO yang masuk ke <a href="https://komnasperempuan.go.id/catatan-tahunan-detail/catahu-2022-bayang-bayang-stagnansi-daya-pencegahan-dan-penanganan-berbanding-peningkatan-jumlah-ragam-dan-kompleksitas-kekerasan-berbasis-gender-terhadap-perempuan">Komnas Perempuan</a>, banyak korban mengaku diancam dengan penyebaran foto dan video personal mereka jika menolak berhubungan seksual atau jika memutuskan hubungan.</p>
<h2>Ladang subur kekerasan</h2>
<p>Temuan lain yang menarik dalam penelitian kami adalah, para korban yang mengalami KBGO ternyata juga berujung melakukan perilaku serupa kepada pasangannya – baik ancaman maupun kontrol atau pelanggaran privasi.</p>
<p>Ini selaras dengan literatur terdahulu yang menemukan bahwa dalam hubungan berkekerasan, perilaku semacam itu lama-lama bisa <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/29294929/">dianggap sebagai norma yang wajar</a>. Bisa jadi juga, korban ingin <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/15564886.2020.1734996?journalCode=uvao20">membalas dendam terhadap perilaku pasangannya</a>.</p>
<p>Tentu, kami tidak menafikan bahwa ada banyak kasus kekerasan yang bersifat satu arah akibat ketimpangan relasi kuasa yang besar di dalam hubungan. Namun, temuan ini juga menunjukkan bahwa hubungan berkekerasan juga bisa bersifat “<em>bidirectional</em>” atau berlaku dua arah.</p>
<h2>Tindak lanjut</h2>
<p>Penelitian kami menunjukkan masih banyak masyarakat yang belum sadar akan fenomena KBGO. Masyarakat tidak menganggap serius perilaku KBGO ketika belum tampak secara langsung.</p>
<p>Pasangan yang mengontrol karena memiliki kecemburuan berlebih, misalnya, masih <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/26493569/">dianggap sebagai ekspresi cinta yang diromantisasi</a>. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena penelitian menunjukkan bahwa orang yang berawal melakukan KBGO, ternyata juga <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0886260519851172">memiliki kemungkinan untuk melakukan kekerasan di dalam konteks luring</a>. </p>
<p>Lalu, apa saja yang perlu dilakukan oleh para pemegang kepentingan untuk merespons hal ini? </p>
<p><strong>Pertama</strong>, berbagai pihak perlu semakin banyak mengedukasi masyarakat terkait dengan bentuk-bentuk KBGO. Ini termasuk oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Kementerian Pendidikan (Kemdikbudristek), lembaga pendidikan, hingga organisasi dan komunitas yang bergerak di isu ini.</p>
<p>Edukasi ini terutama perlu menyasar remaja dan kelompok dewasa muda, mengingat studi menunjukkan bahwa usia ini adalah <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0886260519851172">usia rentan terjadinya KBGO</a>.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, di sisi lain, Komnas Perempuan juga harus lebih cermat dalam menangkap perkembangan bentuk-bentuk kekerasan di lapangan. Dalam konteks KBGO, jangan sampai yang tercatat hanya KBGO yang bersifat langsung, namun gagal merekam kasus yang berbasis digital – misalnya kontrol dan pemantauan di ruang maya. </p>
<p><strong>Ketiga</strong>, pada level kebijakan, pemerintah juga perlu memberikan landasan hukum yang kuat untuk mencegah terjadinya KBGO dan melindungi para korban.</p>
<p>Selama ini, korban yang melapor malah berujung mengalami “<a href="https://theconversation.com/pakar-menjawab-kenapa-banyak-korban-kekerasan-seksual-malah-minta-maaf-atau-menarik-laporannya-177460">reviktimisasi</a>” karena dikriminalisasi dengan <a href="https://www.dpr.go.id/doksetjen/dokumen/-Regulasi-UU.-No.-11-Tahun-2008-Tentang-Informasi-dan-Transaksi-Elektronik-1552380483.pdf">Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)</a> atas tuduhan pencemaran nama baik pelaku, atau dengan <a href="https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2008_44.pdf">UU Pornografi</a> atas tuduhan penyebaran konten asusila.</p>
<p>Hal ini tentu membuat para korban KBGO semakin enggan menempuh jalur hukum. Orientasi pencegahan kekerasan dan perlindungan korban perlu menjadi jaminan dan agenda utama pemerintah, parlemen, dan penegak hukum. Ini termasuk dalam implementasi <a href="https://jdih.setkab.go.id/PUUdoc/176736/Salinan_UU_Nomor_12_Tahun_2022.pdf">Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS)</a> yang terbit tahun lalu – yang menurut beberapa peneliti masih <a href="https://theconversation.com/sextortion-bentuk-kekerasan-seksual-online-yang-memakan-banyak-korban-tapi-payung-hukumnya-masih-lemah-191966">menyisakan lubang-lubang hukum</a> dalam penanganan kekerasan seksual.</p>
<p>Jadi, sebelum tenggelam pada romansa Valentine, mungkin ini saatnya berefleksi pada hubungan yang kita miliki: Apakah saya atau orang terdekat saya pernah atau sedang mengalami KBGO?</p>
<hr>
<p><em>Jika kalian atau orang yang kalian kenal mengalami kekerasan berbasis gender online (KBGO), kami menyarankan kalian bisa menghubungi beberapa sumber daya di bawah ini:</em></p>
<ul>
<li><em><a href="https://awaskbgo.id">Awas KBGO</a></em></li>
<li><em><a href="https://aduan.safenet.or.id/accounts/login/?next=/aduan">Pusat pengaduan SAFEnet</a> (+62)8119223375</em></li>
</ul><img src="https://counter.theconversation.com/content/199894/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Cantyo Atindriyo Dannisworo terafiliasi dengan Yayasan Pulih.</span></em></p>Banyak orang tetap mau bertahan dalam hubungan kekerasan yang jelas merugikan mereka. Mengapa?Cantyo Atindriyo Dannisworo, Lecturer in Psychology, PhD student, and Adult Clinical Psychologist, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1981642023-01-20T03:09:38Z2023-01-20T03:09:38ZBagaimana caranya membasmi budaya toksik dalam e-sports?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/505498/original/file-20230120-22-k6zlm0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Suatu tim _gaming_ tingkat perguruan tinggi di AS berlatih bermain League of Legends.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://newsroom.ap.org/login?returnUrl=%2Fdetail%2FLeagueofLegendsEsports101%2F82e5316f00e046da906c96a16d9f07d7%2Fphoto%3FQuery%3DLeague%2520of%2520legends%26mediaType%3Dphoto%26sortBy%3D%26dateRange%3DAnytime%26totalCount%3D225%26currentItemNo%3D13">(AP Photo/M. Spencer Green)</a></span></figcaption></figure><p>Dalam kehidupan sehari-hari, kita kemungkinan jarang mendengar orang berteriak kepada kita, “Sana balik ke dapur dan masak aja!” Tapi jika kamu adalah seorang perempuan yang bermain <em>online game</em>, ungkapan semacam ini – atau bahkan yang lebih parah – sangat sering muncul.</p>
<p>Apalagi saat pandemi COVID-19 mendorong gencarnya kehidupan daring dan juga memicu <a href="https://www.washingtonpost.com/video-games/2020/05/12/video-game-industry-coronavirus/">pertumbuhan <em>online gaming</em></a>, pelecehan di ruang tersebut maupun sudut internet lainnya <a href="https://webfoundation.org/2020/07/theres-a-pandemic-of-online-violence-against-women-and-girls/">makin meningkat</a>. Pada 2020, sebanyak <a href="https://www.statista.com/statistics/232383/gender-split-of-us-computer-and-video-gamers/">41% pemain <em>video game</em></a> di Amerika Serikat (AS), negara saya mengajar, merupakan perempuan.</p>
<p>Meski terjadi di ruang digital, pelecehan <em>online</em> bisa punya <a href="https://repository.law.umich.edu/mlr/vol108/iss3/3/">dampak di dunia nyata bagi para korban</a>, termasuk tekanan dan stres emosional maupun fisik. Ini membuat perusahaan <em>video game</em> maupun para pemainnya berupaya mendorong teknik-teknik manajemen komunitas yang lebih baik untuk mencegah pelecehan.</p>
<p>Sebagai seorang <a href="https://scholar.google.com/citations?user=7IEXEiwAAAAJ&hl=en">peneliti yang mempelajari <em>gaming</em></a>, saya menemukan bahwa norma budaya yang tepat bisa menghasilkan komunitas daring yang lebih sehat, bahkan dalam dunia yang sangat kompetitif seperti <em>e-sports</em> (olahraga daring kompetitif termasuk <em>game online</em>).</p>
<p>Taruhannya cukup besar. Dunia <em>e-sports</em> kini menuai pendapatan tahunan lebih dari <a href="https://www.forbes.com/sites/jamesayles/2019/12/03/global-esports-revenue-reaches-more-than-1-billion-as-audience-figures-exceed-433-million/#7c218d871329">US$ 1 milyar</a> (lebih dari Rp 15 triliun). Liga-liga profesional, serta liga tingkat perguruan tinggi maupun SMA kini semakin berkembang, terutama pada saat pandemi ketika <a href="https://www.theguardian.com/sport/2020/apr/11/esports-ride-crest-of-a-wave-as-figures-rocket-during-covid-19-crisis">perkembangan olahraga tradisional melambat</a>.</p>
<h2>Sejarah pelecehan</h2>
<p>Dalam beberapa tahun ke belakang, beragam reportase dari <a href="https://www.nytimes.com/2020/06/23/style/women-gaming-streaming-harassment-sexism-twitch.html">The New York Times</a>, <a href="https://www.wired.com/story/twitch-streaming-metoo-reckoning-sexual-misconduct-allegations/">Wired</a>, hingga <a href="https://www.insider.com/twitch-sexual-assault-misconduct-allegations-video-gaming-community-streamers-harassment-2020-7">Insider</a> dan media lainnya melaporkan kentalnya seksisme, rasisme, homofobia, dan bentuk-bentuk diskriminasi lain di ruang daring. </p>
<p>Namun, isu-isu ini bukanlah hal baru. Masalah serupa sempat mencuat pada 2014 saat skandal <a href="https://www.washingtonpost.com/news/the-intersect/wp/2014/10/14/the-only-guide-to-gamergate-you-will-ever-need-to-read/">Gamergate</a>, gerakan berbasis Twitter yang melecehkan pemain, perancang, dan jurnalis <em>video game</em> perempuan.</p>
<p>Seksisme pun sudah menjadi hal umum bahkan sebelum Gamergate. Misalnya, pemain <em>game</em> profesional Miranda Pakozdi mengundurkan diri dari timnya menyusul <a href="https://www.nytimes.com/2012/08/02/us/sexual-harassment-in-online-gaming-stirs-anger.html?_r=1">pelecehan seksual</a> dari pelatihnya pada 2012. Sang pelatih, Aris Bakhtanians, menyatakan bahwa “<a href="https://kotaku.com/competitive-gamers-inflammatory-comments-spark-sexual-h-5889066">pelecehan seksual adalah bagian dari budaya [<em>game</em> perkelahian]</a>” dan sangat susah dihilangkan.</p>
<p>Beberapa pihak lain mengatakan bahwa <a href="https://doi.org/10.1016/j.chb.2006.09.001">anonimitas</a> dalam ruang-ruang <em>online gaming</em>, ditambah dengan <a href="https://syslab.cs.washington.edu/papers/lol-chi15.pdf">sifat kompetitif</a> para pemain, meningkatkan kemungkinan perilaku toksik. Data survei dari <a href="https://www.adl.org/media/14643/download">Liga Defamasi Amerika (ADL)</a> menemukan setidaknya 37% pemain perempuan pernah menghadapi pelecehan berbasis gender.</p>
<p>Namun demikian, ada juga komunitas <em>online</em> yang positif. Studi dari pengacara dan mantan perancang pengalaman pengguna (UX) di Microsoft, <a href="https://www.osborneclarke.com/lawyers/rebecca-chui/">Rebecca Chui</a> menemukan bahwa <a href="https://doi.org/10.4101/jvwr.v7i2.7073">komunitas <em>online</em> yang anonim</a> pada dasarnya tidak toksik. Lebih tepatnya, budaya pelecehan bisa muncul jika norma komunitas mengizinkannya terjadi. Ini berarti perilaku buruk di ruang daring bisa diatasi secara efektif.</p>
<p>Pertanyaannya adalah, bagaimana caranya?</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/353945/original/file-20200820-20-1f601qz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="An arena full of people watching an international videogame tournament" src="https://images.theconversation.com/files/353945/original/file-20200820-20-1f601qz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/353945/original/file-20200820-20-1f601qz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/353945/original/file-20200820-20-1f601qz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/353945/original/file-20200820-20-1f601qz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/353945/original/file-20200820-20-1f601qz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/353945/original/file-20200820-20-1f601qz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/353945/original/file-20200820-20-1f601qz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Liga <em>e-sports</em> profesional, serta liga tingkat perguruan tinggi maupun sekolah kini semakin berkembang, termasuk turnamen internasional seperti yang diadakan di Paris pada gambar ini.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://newsroom.ap.org/detail/FranceLeagueofLegendsFinals/6bf32ff641ad4aa1985d33b0b5eddec9/photo?Query=League%20of%20legends&mediaType=photo&sortBy=&dateRange=Anytime&totalCount=225&currentItemNo=7">AP Photo/Thibault Camus</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Strategi koping para pemain</h2>
<p>Dalam riset berbasis wawancara yang saya lakukan terhadap pemain perempuan, saya menemukan bahwa para pemain punya <a href="https://doi.org/10.1177%2F1555412015587603">banyak strategi untuk mengindari atau merespons pelecehan <em>online</em></a>.</p>
<p>Misalnya, beberapa hanya bermain dengan teman dekat atau menghindari menggunakan <em>chat</em> suara demi menyembunyikan gender mereka. Pemain lain memilih mengasah permainan hingga jago dalam <em>game</em> favorit mereka, demi menutup ruang pelecehan. Penelitian dari ilmuwan media lain, seperti <a href="https://adanewmedia.org/2013/06/issue2-gray/">Kishonna Gray</a> dan <a href="https://doi.org/10.1177%2F0731121419837588">Stephanie Ortiz</a>, menemukan pola serupa lintas ras dan seksualitas.</p>
<p>Strategi-strategi ini, sayangnya, punya beberapa keterbatasan. Misalnya, sekadar mengabaikan atau tak mengacuhkan perilaku toksik berarti membiarkannya terus terjadi. Di sisi lain, melawan balik para pelaku pelecehan sering menimbulkan pelecehan yang lebih parah lagi.</p>
<p>Strategi semacam ini juga bisa menempatkan beban untuk mengatasi pelecehan di pundak korban, ketimbang pada pelaku atau komunitas. Ini bisa mendorong para korban untuk semakin keluar dari ruang daring.</p>
<p>Seiring para responden saya meraih tanggung jawab lebih dalam pekerjaan atau keluarga mereka, misalnya, mereka tak lagi punya tenaga untuk menghadapi pelecehan dan memutuskan berhenti bermain. Studi saya menemukan perusahaan <em>game</em> perlu mengintervensi komunitas mereka supaya para pemain yang menjadi korban tak memikul beban itu sendirian.</p>
<h2>Bagaimana para perusahaan bisa bertindak</h2>
<p>Perusahaan <em>game</em> kini semakin meningkatkan kepedulian terhadap strategi manajemen komunitas. Salah satu penerbit besar, Electronic Arts (EA) mengadakan <a href="https://www.cnet.com/news/gaming-can-be-toxic-toward-women-and-minorities-electronic-arts-wants-to-help-fix-that/">konferensi manajemen komunitas</a> pada 2019, dan perusahaan seperti <a href="https://www.cnet.com/news/microsofts-xbox-team-has-a-plan-to-fight-toxic-gamers/">Microsoft</a> dan <a href="https://www.pcmag.com/news/intel-levels-up-ai-to-battle-toxicity-in-online-games">Intel</a> mengembangkan alat-alat untuk mengelola ruang daring. Sekelompok perusahaan pengembang <em>game</em> juga membentuk <a href="https://fairplayalliance.org/about/">Fair Play Alliance</a>, suatu koalisi yang bekerja untuk mengatasi pelecehan dan diskriminasi dalam dunia <em>gaming</em>.</p>
<p>Tapi, intervensi-intervensi ini wajib mengakar pada pengalaman para pemain. Banyak perusaahaan menerapkan intervensi melalui praktik seperti pelarangan (<em>banning</em>) atau pemblokiran terhadap pelaku pelecehan. Misalnya, platform siaran langsung Twitch pernah menerapkan <em>ban</em> terhadap beberapa kreator menyusul dugaan pelecehan seksual.</p>
<p>Langkah seperti ini bisa jadi langkah awal, tapi para peleceh yang dikenai pemblokiran atau <em>ban</em> sering membuat akun baru dan semudah itu kembali pada perilaku mereka. Pemblokiran juga berarti mengelola pelecehan setelah terjadi ketimbang menghentikannya di sumbernya, sehingga ini perlu dikombinasikan dengan beberapa pendekatan potensial lain.</p>
<p>Pertama, perusahaan perlu mengembangkan alat yang mereka sediakan bagi pemain untuk mengelola identitas <em>online</em> mereka.</p>
<p>Banyak partisipan menghindari <em>chat</em> suara untuk membatasi pelecehan berbasis gender. Tapi ini seringkali mempersulit mereka dalam berkompetisi. Beberapa <em>game</em> seperti Fortnite, League of Legends, and Apex Legends menerapkan <a href="https://www.pcgamer.com/apex-legends-ping-system-is-a-tiny-miracle-for-fps-teamwork-and-communication/">sistem “ping”</a> yang mengizinkan pemain mengkomunikasikan informasi permainan secara cepat, tanpa memerlukan suara. Alat serupa bisa dibangun ke dalam sistem permainan <em>online game</em> lainnya.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1110949804526452741"}"></div></p>
<p>Opsi lain yang disarankan para responden saya adalah mempermudah pemain untuk berkelompok dengan teman-teman dekat mereka, sehingga mereka selalu punya seseorang yang bisa membantu melindungi mereka dari pelecehan. Mekanisme pengelompokan terutama bisa efektif saat disesuaikan dengan setiap <em>game</em> secara spesifik.</p>
<p>Misalnya, dalam <em>game</em> seperti Overwatch dan League of Legends, pemain perlu memainkan peran-peran yang berbeda supaya tim mereka berimbang. Pelecehan bisa terjadi jika para anggota tim yang dipasangkan secara acak kemudian ingin memainkan karakter yang sama.</p>
<p>Overwatch memperkenalkan <a href="https://us.forums.blizzard.com/en/overwatch/t/guide-how-to-use-the-looking-for-group-system/127114">sistem pengelompokan</a> yang mengizinkan pemain untuk memilih karakter mereka, kemudian dipasangkan dengan pemain yang telah memilih peran lain. Ini tampaknya bisa <a href="https://www.theguardian.com/games/2018/aug/17/tackling-toxicity-abuse-in-online-video-games-overwatch-rainbow-seige">mengurangi <em>chat</em> yang bersifat melecehkan</a>.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/351423/original/file-20200805-477-13giwws.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="Screenshot of videogame League of Legends showing clasped hands" src="https://images.theconversation.com/files/351423/original/file-20200805-477-13giwws.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/351423/original/file-20200805-477-13giwws.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=377&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/351423/original/file-20200805-477-13giwws.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=377&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/351423/original/file-20200805-477-13giwws.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=377&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/351423/original/file-20200805-477-13giwws.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=474&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/351423/original/file-20200805-477-13giwws.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=474&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/351423/original/file-20200805-477-13giwws.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=474&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Contoh insentif untuk perilaku baik dalam <em>game</em> League of Legends.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.flickr.com/photos/15838163@N00/9375189766">Daniel Garrido/Flickr</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Terakhir, perusahaan juga perlu mengubah norma-norma kultural yang mendasar. Misalnya, penerbit League of Legends yakni Riot Games pernah menerapkan suatu sistem “<a href="https://www.vox.com/2015/7/7/11564110/doing-something-about-the-impossible-problem-of-abuse-in-online-games">tribunal</a>” yang mengizinkan pemain melihat laporan insiden dan menggunakan hak suara untuk menentukan apakah perilaku tersebut bisa diterima dalam komunitas.</p>
<p>Meski sayangnya Riot Games sayangnya menutup sistem tersebut, melibatkan anggota komunitas dalam solusi apapun adalah ide bagus. Perusahaan juga perlu mengembangkan panduan komunitas yang jelas, mendorong perilaku positif melalui hal-hal seperti penghargaan (<em>in-game achievements</em>), dan merespons isu yang tengah berkembang secara cepat dan tegas.</p>
<p>Jika <em>e-sports</em> terus berkembang tanpa para perusahaan mengatasi lingkungan toksik dalam <em>game</em> mereka, perilaku melecehkan dan diskriminatif kemungkinan akan terus tertanam. Untuk menghindari ini, para pemain, pelatih, tim, liga, perusahaan, hingga platform siaran langsung harus berinvestasi pada upaya-upaya manajemen komunitas yang lebih baik.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/198164/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Amanda Cote tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Melawan seksisme dan bentuk pelecehan lain dalam online game kuncinya adalah standar komunitas.Amanda Cote, Assistant Professor of Media Studies/Game Studies, University of OregonLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1974062023-01-13T04:25:32Z2023-01-13T04:25:32ZRiset di Bandung dan Padang: mayoritas korban kekerasan seksual berusia 10-19 tahun, pelaku kenal korban, dan lambat dilaporkan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/504197/original/file-20230112-27936-50xlpy.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Kampanye hentikan pelecehan seksual di Stasiun Manggarai, Jakarta, 22 Desember 2022, saat memperingati Hari Ibu.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://branda.antaranews.com/data/content_photo_wire.php?pubid=1671708614&getcod=dom">ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/foc</a></span></figcaption></figure><p>Kasus <a href="https://merdekadarikekerasan.kemdikbud.go.id/kekerasan-seksual/#:%7E:text=Kekerasan%20Seksual%20adalah%20setiap%20perbuatan,mengganggu%20kesehatan%20reproduksi%20seseorang%20dan">kekerasan seksual</a> makin sering diberitakan oleh media massa. Makin banyak korban berani bersuara dan menuntut keadilan. </p>
<p>Di media massa, tindakan pidana itu kerap ditulis dalam banyak istilah seperti pencabulan, pelecehan, sodomi, pemerkosaan, dan berbagai istilah lain yang mengindikasikan ada pemaksaan, ancaman, intimidasi, dan relasi kuasa yang tidak seimbang antara pelaku dan korban dalam konteks hubungan seksual. </p>
<p>Pertanyaannya: bagaimana sebenarnya karakteristik kasus kekerasan seksual, termasuk korban, pelaku, dan waktu, dari sudut pandang medis? Dan bagaimana pula reaksi korban dan keluarganya terhadap masalah serius ini?</p>
<p><a href="https://www.researchgate.net/publication/343552209_Karakteristik_Kasus_Kekerasan_Seksual_di_Rumah_Sakit_Tipe_A_di_Jawa_Barat_dan_Sumatera_Barat">Riset saya</a> – berdasarkan data 150 rekam medis korban kekerasan seksual yang diperiksa di Rumah Sakit Umum Pendidikan (RSUP) Hasan Sadikin Bandung, Jawa Barat dan RSUP Djamil Padang, Sumatera Barat – menunjukkan bahwa mayoritas korban berusia 10-19 tahun, pelaku orang dekat yang dikenal oleh korban, waktu kejadian siang hari, dan kasusnya kerap kali terlambat dilaporkan ke penegak hukum dan petugas kesehatan. </p>
<p>Data riset ini saya ambil dari rekam medis kasus korban kekerasan seksual selama periode 2014-2018 yang berkunjung ke rumah sakit tersebut untuk mendapatkan layanan <a href="https://www.halodoc.com/artikel/kenali-perbedaan-dokter-forensik-dan-medikolegal">medikolegal</a>, yakni layanan terkait kasus hukum yang memerlukan evaluasi medis independen dan kesaksian ahli. </p>
<p>Mengetahui karakteristik kasus kekerasan seksual yang diperiksa di rumah sakit akan membantu kita untuk penegakan hukum, pemulihan korban, dan pencegahan kejahatan serupa terulang ke depan. </p>
<h2>Karakter kasus kekerasan seksual</h2>
<p>Riset ini menunjukkan lebih dari 80% korban kekerasan seksual merupakan perempuan, belum menikah, dan didominasi oleh kelompok anak-anak dan remaja dengan kelompok usia terbanyak 10-19 tahun di RSUP Djamil Padang. </p>
<p>Lebih mengejutkan, korban kekerasan seksual yang diperiksa di RSUP Hasan Sadikin Bandung berusia lebih muda, yakni pada kelompok usia 0-9 tahun. </p>
<p>Hal ini menunjukkan bahwa anak berpotensi lebih besar menjadi korban kekerasan seksual dibandingkan usia dewasa. Di samping lebih rendahnya pengetahuan tentang kekerasan seksual pada anak, persepsi ini dikaitkan dengan kerentanan mental anak yang lebih mudah diberikan ancaman, paksaan maupun bujuk rayu. </p>
<p>Anak-anak sering kali tidak memiliki keberanian untuk menolak, apalagi jika pelaku merupakan orang yang ia kenal.</p>
<p>Masyarakat perlu menyadari bahwa sebagian besar pelaku kekerasan seksual bukan hanya sekadar orang yang dikenal namun juga dipercaya oleh korban, misalnya pacar, tetangga, guru bahkan ayah kandung sendiri. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/derita-anak-pekerja-migran-ditinggalkan-orang-tua-menjadi-korban-kekerasan-seksual-190210">Derita anak pekerja migran: ditinggalkan orang tua, menjadi korban kekerasan seksual</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Jika diamati menurut waktu kejadian, kekerasan seksual dapat terjadi kapan saja, bahkan sebagian besar korban-korban kekerasan seksual di kedua rumah sakit utama ini, mengalami peristiwa kekerasan seksual pada siang hari. </p>
<p>Data riset menunjukkan kasus kekerasan seksual lebih banyak terjadi pada siang hari (51%) dibanding malam hari (38%). Temuan ini berbeda dengan <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32454301/">data kekerasan seksual di Jerman</a> yang menyatakan 60% kekerasan seksual terjadi pada malam hari. </p>
<p>Tempat-tempat privat seperti rumah, kos, atau hotel lebih sering dijadikan tempat beraksi bagi pelaku dibandingkan tempat-tempat umum.</p>
<p>Temuan lainnya adalah sebagian besar korban kekerasan seksual baru datang memeriksakan diri dalam rentang lebih dari 24 jam hingga 1 minggu setelah peristiwa kekerasan seksual. Kondisi ini mungkin dapat mewakili kondisi di rumah sakit lainnya di Indonesia yakni korban cenderung tidak segera melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya. </p>
<p>Tanpa disadari, keterlambatan pemeriksaan ini mengakibatkan hilangnya peluang untuk mendapatkan bukti kekerasan seksual secara medis. Hal ini berujung pada lemahnya penuntutan terhadap pelaku di ranah pidana.</p>
<p>Tidak dapat dimungkiri bahwa faktor budaya masyarakat Indonesia menjadi penyebab utama keterlambatan ini. Adanya stigma negatif, terbukanya aib, rasa malu, dan takut dikucilkan, sering kali menjadi alasan bagi para korban dan keluarganya mengurungkan niatnya melaporkan kekerasan seksual yang dialami.</p>
<p>Kita harus merangkul korban kekerasan seksual agar mereka kuat menghadapi masalah ini dan kita bantu mencari keadilan melalui pelaporan ke polisi dan pemeriksaan medis untuk bukti di pengadilan. </p>
<h2>Perlu penanganan yang tepat dan cepat</h2>
<p>Peristiwa kekerasan seksual dapat menimbulkan dampak psikologis terutama pada korban anak. Hal ini perlu menjadi perhatian khusus bagi pihak berkepentingan.</p>
<p>Gangguan stres, depresi, dan kecemasan pascatrauma yang dialami korban, dapat berujung pada ide bunuh diri atau bahkan korban dapat menjadi pelaku kriminal di kemudian hari.</p>
<p>Mengingat dampak yang cukup besar tersebut, penanganan korban kekerasan seksual harus dilakukan secara multidisiplin (kolaborasi dokter forensik, psikolog, hukum), sehingga kebutuhan korban dapat terpenuhi secara holistik dan terintegrasi, baik kebutuhan medis, psiko-sosial dan medikolegal.</p>
<p>Tidak hanya mengutamakan kompetensi pemeriksaan medis, namun juga mengutamakan pengumpulan dan menjaga keutuhan barang bukti. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/pakar-menjawab-kenapa-banyak-korban-kekerasan-seksual-malah-minta-maaf-atau-menarik-laporannya-177460">Pakar Menjawab: kenapa banyak korban kekerasan seksual malah minta maaf atau menarik laporannya?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Penanganan korban kekerasan seksual yang tepat, cepat dan terarah akan sangat membantu dalam memahami bagaimana terjadinya luka dan apakah luka tersebut sesuai dengan riwayat kronologis yang disampaikan korban.</p>
<p>Secara hukum, penyelesaian kasus kekerasan seksual di Indonesia telah diatur dalam <a href="https://www.hukumonline.com/klinik/a/delik-aduan-lt4f9bb33933005">KUHP</a>, <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/38723/uu-no-35-tahun-2014">Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak,</a>, <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/40597/uu-no-23-tahun-2004">UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT)</a> dan <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/207944/uu-no-12-tahun-2022#:%7E:text=UU%20ini%20mengatur%20mengenai%20Pencegahan,seksual%20dapat%20terlaksana%20dengan%20efektif.">UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual</a>. </p>
<p>Kementerian Kesehatan Indonesia telah <a href="https://gizikia.kemkes.go.id/assets/file/pedoman/Algoritma%20Tatalaksana%20Yankes%20Bagi%20Korban%20Kekerasan%20Seksual.pdf">membuat panduan tata laksana korban kekerasan seksual bagi pelayanan Kesehatan</a>.</p>
<p>Selain itu, kita perlu meningkatkan peran Pusat pelayanan Terpadu (PPT) atau Pusat Krisis Terpadu (PKT) di level provinsi dan kabupaten dan kota sebagai unit khusus pelayanan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk kekerasan seksual. </p>
<p>Konsep pelayanan terpadu ini mengutamakan layanan 24 jam yang multidisiplin (kerja tim) dan komprehensif dengan memperhatikan kebutuhan korban. Jenis pelayanan mencakup pemeriksaan fisik, penanganan luka-luka fisik, penanganan gangguan psikologis akut, penanganan untuk pencegahan penyakit menular seksual dan HIV, pelayanan kesehatan reproduksi, pelayanan medikolegal, konseling psikososial (untuk semua tipe rumah sakit), dan konseling hukum (terutama untuk rumah sakit tipe A yang memiliki jangkauan pelayanan lebih luas). </p>
<h2>Tantangan</h2>
<p>Salah satu kendala saat ini adalah baru beberapa rumah sakit di Indonesia yang pembiayaan layanan korban kekerasan seksual dijamin oleh pemerintah daerah (digratiskan), sementara masih ada yang dibebankan kepada pihak korban. Pemeriksaan untuk forensik <a href="https://theconversation.com/cermin-kasus-brigadir-yosua-dan-stadion-kanjuruhan-siapa-yang-menanggung-biaya-pemeriksaan-forensik-189701">biasanya ditanggung oleh kepolisian</a>.</p>
<p>Selain itu, kasus yang dapat ditangani dengan baik hanya pada kasus yang dilaporkan ke polisi. Sementara masih banyak kasus kekerasan seksual di masyarakat yang belum terjaring, baik karena ketidaktahuan ataupun menutupi aib.</p>
<p>Kita berharap UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dapat meningkatkan efektivitas penanggulangan kekerasan seksual. Di level pendidikan tinggi,
<a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/188450/permendikbud-no-30-tahun-2021">Peraturan Menteri Pendidikan No. 30 Tahun 2021 </a> mewajibkan setiap perguruan tinggi membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan kampus. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/permendikbudristek-ppks-apa-manfaatnya-bagi-pemberantasan-kekerasan-seksual-di-kampus-172698">Permendikbudristek PPKS: apa manfaatnya bagi pemberantasan kekerasan seksual di kampus?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Edukasi kesehatan reproduksi dan pencegahan kekerasan seksual pada anak di rumah maupun sekolah, membiasakan anak menceritakan aktivitasnya kepada orang tua, pengawasan dan kontrol lingkungan sosial anak, menjadi beberapa upaya preventif terjadinya kekerasan seksual. </p>
<p>Kita perlu meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat baik secara langsung ataupun melalui media sosial tentang kekerasan seksual agar lebih banyak pihak yang berani melapor (<em>speak up</em>) akan kekerasan seksual yang diketahuinya. </p>
<p>Media skrining berupa motode atau aplikasi ramah anak perlu kita kembangkan untuk digunakan di sekolah-sekolah, sebagai bentuk deteksi dini bagi pihak sekolah dalam mengenali anak-anak yang berisiko menjadi korban kekerasan seksual. Media ini diharapkan dapat dipakai secara rutin di sekolah, untuk memandu guru mengenali anak-anak yang berisiko mengalami kekerasan seksual.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/197406/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Noverika Windasari tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Sebagian besar pelaku kekerasan seksual bukan hanya sekedar orang yang dikenal tapi juga dipercaya oleh korban seperti pacar, tetangga, guru bahkan ayah kandung sendiri.Noverika Windasari, Dosen Departemen Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran, Universitas AndalasLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1919662022-11-25T02:32:08Z2022-11-25T02:32:08Z‘Sextortion’: bentuk kekerasan seksual ‘online’ yang memakan banyak korban, tapi payung hukumnya masih lemah<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/496235/original/file-20221118-12-mthiqb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">(Unsplash/Eric Ward)</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Teknologi digital menambah ruang bagi munculnya kekerasan seksual, salah satunya adalah apa yang kerap disebut sebagai ‘<a href="https://komnasperempuan.go.id/uploadedFiles/1466.1614933645.pdf"><em>sextortion</em></a>’.</p>
<p><em>Sextortion</em>, yang merupakan gabungan dari ’<em>sexual</em>‘ (seksual) dan ’<em>extortion</em>‘ (pemerasan), merupakan bentuk pemerasan yang meliputi ancaman untuk menyakiti, mempermalukan, atau merugikan korban jika mereka tidak memenuhi tuntutan seksual pelaku.</p>
<p>Pelaku juga bisa mengancam untuk menyebarkan konten seksual privat milik korban untuk <a href="https://core.ac.uk/download/pdf/303865319.pdf">memeras uang atau tuntutan seksual lain</a> dari mereka. Modus ini, misalnya, bisa berawal dari hubungan konsensual yang disertai konten intim yang kemudian disalahgunakan pelaku, <em>catfishing</em> (menggunakan identitas palsu), hingga peretasan.</p>
<p>Aturan hukum beberapa negara seperti <a href="https://law.justia.com/codes/utah/2021/title-76/chapter-5b/part-2/section-204/">Amerika</a> <a href="https://www.revisor.mn.gov/statutes/cite/609.3458">Serikat</a> (<a href="https://www.legis.state.pa.us/cfdocs/legis/LI/consCheck.cfm?txtType=HTM&ttl=18&div=0&chpt=31&sctn=33&subsctn=0">AS</a> memasukkan <em>sextortion</em> sebagai <a href="https://scholarship.law.unc.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1408&context=ncjolt">kategori kejahatan siber</a> (<em>cybercrime</em>). Meski demikian, payung hukum kejahatan ini di beberapa negara tersebut pun masih belum maksimal. Di AS, misalnya, <a href="https://www.brookings.edu/research/closing-the-sextortion-sentencing-gap-a-legislative-proposal/">riset menunjukkan</a> masih ada banyak gap penanganan hukum tindak <em>sextortion</em> antara tingkat federal dan negara bagian.</p>
<p>Di Indonesia, sayangnya, saya belum menemukan riset yang mengulas kondisi payung hukum <em>sextortion</em>. Tapi, <a href="http://pdrh.law.ui.ac.id/opac/fh/template.jsp?inner=daftartipekoleksi.jsp?id=3#">kajian kualitatif yang sempat saya lakukan</a> semasa studi di Universitas Indonesia (belum dipublikasikan) menawarkan sedikit gambaran.</p>
<p>Misalnya, dalam berbagai aturan yang ada – dari <a href="https://bpsdm.kemendagri.go.id/Assets/Uploads/laporan/8766a8aa21d7469c338306d12eeb320b.pdf">Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)</a>, <a href="https://www.dpr.go.id/doksetjen/dokumen/-Regulasi-UU.-No.-11-Tahun-2008-Tentang-Informasi-dan-Transaksi-Elektronik-1552380483.pdf">Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)</a>, hingga <a href="https://jdih.setkab.go.id/PUUdoc/176736/Salinan_UU_Nomor_12_Tahun_2022.pdf">Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS)</a> – belum mampu menjadi landasan hukum untuk melindungi warga dari tindak <em>sextortion</em> dengan baik.</p>
<p>Padahal, kasus <em>sextortion</em> merupakan <a href="https://nasional.kompas.com/read/2022/07/12/08051031/penyebaran-dan-pemerasan-dengan-konten-intim-mendominasi-kasus-kekerasan">salah satu bentuk kekerasan seksual <em>online</em> yang paling marak</a> di Indonesia.</p>
<p>Modusnya bermacam-macam, mulai dari <a href="https://news.detik.com/berita/d-5482048/ngerinya-pemerasan-seksual-pasutri-di-medan-jadi-korban-pelaku-yang-sama">pemerasan seksual siber bermodus <em>video call sex</em> (VCS)</a> seperti kasus di Medan hingga ancaman penyebaran rekaman relasi seksual <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-53011324">yang diambil tanpa sepengetahuan korban</a> setelah bertemu lewat aplikasi kencan.</p>
<h2>Meninjau payung hukum ’<em>sextortion</em>‘ dalam KUHP dan UU ITE</h2>
<p>Sebenarnya, secara umum (<em>lex generali</em>), payung hukum tindak pemerasan di Indonesia diatur dalam KUHP. Sementara, pemerasan yang dilakukan dengan menggunakan teknologi atau informasi elektronik, secara khusus (<em>lex specialis</em>) diatur dalam UU ITE. </p>
<p>Menurut Pasal 368 ayat (1) KUHP, pemerasan merupakan kejahatan terhadap harta kekayaan. Sarana terjadinya pemerasan dalam KUHP adalah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.</p>
<p>Jika mengacu pada definisi dalam KUHP tersebut, <em>sextortion</em> tidak dapat dikategorikan sebagai pemerasan karena tidak selalu menyangkut harta kekayaan. </p>
<p>Ukuran ancaman kekerasan yang dimaksud dalam KUHP pun adalah mengakibatkan orang pingsan atau tidak berdaya, sementara bentuk ancaman dalam <em>sextortion</em> berbeda. Pelaku biasanya dengan sengaja melecehkan korban melalui konten intim milik korban yang mereka miliki, dan menggunakannya sebagai bahan ancaman untuk menyebarluaskan dan memaksa korban memenuhi keinginan pelaku.</p>
<p><a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0886260520909186">Riset menunjukkan</a> bahwa selain menginginkan barang berupa uang atau konten intim tambahan, pelaku <em>sextortion</em> juga kerap menuntut korban untuk berhubungan seksual. Sayangnya, permintaan hubungan seksual bukan termasuk unsur “barang” dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP.</p>
<p>Selain itu, ada celah lain dalam KUHP, yakni Pasal 369 ayat (1) mengenai ancaman pencemaran nama baik dan ancaman membuka rahasia.</p>
<p>Pencemaran nama baik yang dimaksud dalam pasal ini terdiri dari penistaan, penistaan dengan surat, penghinaan ringan, pengaduan palsu atau pengaduan ringan, dan perbuatan fitnah. Namun, ancaman pencemaran nama baik dan ancaman menyebarkan rahasia semacam ini bukanlah bentuk <em>sextortion</em>.</p>
<p>Sementara itu, ada UU ITE yang mengatur kejahatan pemerasan yang menggunakan sistem elektronik. Akan tetapi, Pasal 27 ayat (4) UU ITE belum cukup mengkriminalisasi <em>sextortion</em>.</p>
<p>Konsep informasi atau dokumen elektronik hanya meliputi muatan pemerasan dan pengancaman secara umum saja, bukan dengan menggunakan konten intim.</p>
<p>Pasal 29 UU ITE sebenarnya sudah menjabarkan bentuk ancaman, yakni berupa kekerasan yang melibatkan dampak fisik, psikis, atau kerugian ekonomi, serta tindakan menakut-nakuti seseorang. Tapi, pasal ini juga belum cukup, karena hakikat dari ’<em>sextortion</em>‘ bukan ancaman fisik atau psikis maupun menakut-nakuti korban, melainkan adanya pemerasan dengan risiko penyebarluasan konten intim yang kemudian memunculkan ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban.</p>
<p>Hal-hal di atas menunjukkan bahwa UU ITE masih relatif abai terhadap motif di balik suatu tindakan, serta kurang memiliki perspektif gender. Akibatnya, kerap terjadi kendala dalam menentukan pasal untuk menjerat berbagai bentuk <a href="https://awaskbgo.id/wp-content/uploads/2022/03/Jauh-Panggang-dari-Api_Menilik-Kerangka-Hukum-KBGO-di-Indonesia.pdf">Kekerasan Berbasis Gender Siber (KBGS)</a>.</p>
<p>Sebagai gambaran, dalam putusan Pengadilan Negeri (PN) <a href="https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/0e3925a361f7e61e21aab18c370ce911.html">di Sleman</a> pada tahun 2018 dan <a href="https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/634137bcf4083795aedb30a22936b5a1.html">di Makassar</a> pada tahun 2019, fokus dakwaan Jaksa Penuntut Umum maupun putusan Majelis Hakim sebatas pada penyerbaluasan konten yang melanggar, bukan tindak pemerasan seksual itu sendiri.</p>
<p>Pada kasus di Sleman, misalnya, hakim memidana pelaku berdasarkan Pasal 29 UU Pornografi (atas penyebarluasan materi pornografi) dan Pasal 45B UU ITE (atas ancaman kekerasan dan menakut-nakuti). Pada kasus di Makassar, hakim memidana pelaku berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UU ITE (penyebarluasan materi asusila).</p>
<h2>Bagaimana dengan UU TPKS yang khusus mengatur kekerasan seksual?</h2>
<p>Dengan <a href="https://theconversation.com/pakar-menjawab-uu-tpks-sudah-sah-apa-yang-patut-dirayakan-dan-apa-yang-kurang-181330">adanya UU TPKS</a> yang mengatur tentang berbagai jenis tindak pidana kekerasan seksual, apakah sudah cukup untuk menjerat kasus <em>sextortion</em>?.</p>
<p>Sebenarnya, Pasal 14 ayat (1) UU TPKS terkait kekerasan seksual berbasis elektronik telah mengatur pemerasan dengan berbagai wujud.</p>
<p>Pertama, melibatkan rekaman, gambar, atau tangkapan layar bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetujuan subjek di konten tersebut (huruf a). Kedua, melibatkan transmisi informasi dan/atau dokumen elektronik bermuatan seksual di luar kehendak penerima (huruf b). Ketiga, melibatkan penguntitan dan/atau pelacakan menggunakan sistem elektronik (huruf c).</p>
<p>Dalam UU TPKS, cakupan pemerasan mengalami perluasan dan mengakui bahwa pemerasan berbau seksual melibatkan beragam wujud ancaman. Perluasan tersebut telah membuka ruang untuk mengakomodasi kasus <em>sextortion</em>.</p>
<p>Meski demikian, UU TPKS juga tak luput dari kekurangan. Aturan ini tidak secara gamblang mengatur perbuatan <em>sextortion</em> itu sendiri dan masih menimbulkan area abu-abu, karena tidak memuat penjelasan mengenai apa saja yang digolongkan sebagai informasi elektronik dan dokumen elektronik yang bermuatan seksual.</p>
<p>UU TPKS juga memunculkan ambiguitas lain karena tidak menjelaskan apakah pemerasan atau pengancaman merujuk pada pengertian di KUHP sebagai ketentuan <em>lex generali</em> atau bukan.</p>
<h2>Perlu penyempurnaan hukum</h2>
<p>Dengan <em>status quo</em> saat ini, aparat penegak hukum hanya bisa menggunakan pasal-pasal yang sangat umum dan ambigu – seperti pasal penyebarluasan konten di UU ITE – dalam memutuskan kasus <em>sextortion</em>.</p>
<p>Demi memperbaiki konstruksi hukum pada kasus <em>sextortion</em>, aparat mestinya secara spesifik mempertimbangkan perbuatan pemerasan seksual oleh pelaku.</p>
<p>Hadirnya UU TPKS pada tahun ini sebenarnya menjadi momentum yang baik untuk pemberantasan kekerasan seksual. Tapi, aturan ini masih perlu penyempurnaan dan penjelasan mengenai unsur-unsur pasal di dalamnya, serta penambahan delik pokok dari perbuatan <em>sextortion</em>, guna mengisi kekosongan hukum.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/191966/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Arianda Lastiur Paulina tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Sextortion merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual online yang paling marak di Indonesia. Tapi sudah cukup kuatkah payung hukum penaganannya di Indonesia?Arianda Lastiur Paulina, Asisten Peneliti Indonesia Judicial Research Society, Indonesia Judicial Research Society Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1905842022-11-12T12:43:10Z2022-11-12T12:43:10ZRemaja Indonesia rentan di Tinder: berikut panduan bagi anak muda dan orang tua untuk mengatasi risiko kencan daring<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/494921/original/file-20221112-9652-g8lhdt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://unsplash.com/photos/CNOo9ZMBqRM">(Unsplash/Pratik Gupta)</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Hadirnya platform digital telah mengubah sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia, tak terkecuali cara kita menjalani hubungan asmara. Aplikasi kencan memberi kemudahan untuk mencari pasangan yang sesuai kriteria kita.</p>
<p>Tinder, misalnya, masih menjadi aplikasi kencan yang paling populer <a href="https://www.businessofapps.com/news/tinder-retains-highest-market-share-in-dating-apps-reaching-72-of-maus/">di dunia</a> maupun <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/02/24/tinder-aplikasi-kencan-daring-paling-banyak-digunakan-di-indonesia">di Indonesia</a>. </p>
<p>Meski belum ada datanya di Indonesia, <a href="https://castfromclay.co.uk/models-research/main-findings-social-media-demographics-uk-usa-2018/">survei tahun 2021 di dunia Barat</a> menunjukkan mayoritas pengguna Tinder (35%) berusia 18-24 tahun, yakni remaja dan dewasa muda.</p>
<p>Kehadiran banyak remaja – yang masih rentan dalam hal <a href="https://theconversation.com/fwb-zina-dan-klamidia-konten-dan-percakapan-di-medsos-tunjukkan-lemahnya-pemahaman-netizen-akan-pendidikan-seksual-185739">pendidikan seksual</a>, <a href="https://theconversation.com/data-bicara-mayoritas-remaja-laki-laki-dan-perempuan-di-indonesia-tidak-gunakan-alat-kontrasepsi-186139">kesehatan seksual</a>, hingga <a href="https://theconversation.com/riset-usia-16-24-tahun-adalah-periode-kritis-untuk-kesehatan-mental-remaja-dan-anak-muda-indonesia-169658">kesehatan mental</a> – di aplikasi seperti Tinder patut membuat kita hati-hati. Bagaimana caranya agar kita, baik remaja, anak muda, maupun orang tua, bisa tetap menghindari risiko yang muncul dalam penggunaan aplikasi kencan?</p>
<h2>Pahami risiko kencan daring</h2>
<p>Fase remaja merupakan fase yang erat kaitannya dengan pencarian jati diri. Dalam fase ini, beberapa karakter mulai muncul dan juga menjadi dominan pada remaja – salah satunya adalah <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0272735814001330">impulsivitas</a>.</p>
<p>Impulsivitas ini perlu menjadi perhatian karena <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0272735814001330">berdasarkan riset</a>, remaja pada fase ini: (1) banyak melakukan eksplorasi terkait seksualitas, (2) mengalami perubahan biologis yang kemudian menggencarkan perilaku impulsif serta pencarian rasa penghargaan (<em>reward seeking</em>), dan (3) mulai memperoleh kebebasan lebih dalam bersosialisasi.</p>
<p>Ketika menggunakan aplikasi kencan, kecenderungan perilaku ini dapat mengekspos remaja pada beberapa risiko, baik psikologis maupun fisiologis.</p>
<p><strong>Pertama</strong>, pelecehan seksual adalah risiko yang paling umum dihadapi oleh para pengguna aplikasi kencan – terutama perempuan.</p>
<p><a href="https://www.pewresearch.org/fact-tank/2020/03/06/young-women-often-face-sexual-harassment-online-including-on-dating-sites-and-apps/">Survei tahun 2019</a> di Amerika Serikat (AS), misalnya, menemukan 57% responden usia 18-34 pernah mendapatkan pesan atau gambar bernuansa seksual yang tidak mereka inginkan. Media juga mendokumentasikan beberapa <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-53011324">kasus pengguna di Indonesia</a> yang menerima kata-kata kotor hingga mendapat kiriman foto kemaluan yang tidak diinginkan dari lawan <em>chat</em>. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kekerasan-seksual-di-internet-meningkat-selama-pandemi-dan-sasar-anak-muda-kenali-bentuknya-dan-apa-yang-bisa-dilakukan-152230">Kekerasan seksual di internet meningkat selama pandemi dan sasar anak muda: kenali bentuknya dan apa yang bisa dilakukan?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p><strong>Kedua</strong>, potensi kekerasan juga bisa menghantui pengguna aplikasi kencan, misalnya setelah mereka memutuskan untuk bertemu pasangan secara langsung.</p>
<p>Di Inggris, misalnya, praktik kriminal yang melibatkan <a href="https://www.refinery29.com/en-gb/2019/04/229777/crimes-involving-dating-apps">kekerasan setelah bertemu via aplikasi kencan</a> naik sekitar dua kali lipat selama 2015-2018.</p>
<p>Sementara di Indonesia, beberapa pengguna melaporkan bahwa mereka pernah mendapat <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-53011324">pemerasan (<em>sextortion</em>) dari pasangan</a> – bahkan setelah baru satu kali bertemu – melalui ancaman penyebaran rekaman relasi seksual mereka yang diambil tanpa sepengetahuan korban. Dalam beberapa kasus, korbannya bahkan masih SMA.</p>
<p><strong>Ketiga</strong>, tak hanya pelecehan dan kekerasan, ada juga risiko kesehatan seksual. </p>
<p>Studi tahun 2017 di AS menunjukkan orang berusia 18-25 tahun yang menggunakan aplikasi kencan <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s13178-017-0297-6">dua kali lebih mungkin</a> melakukan hubungan seksual tanpa pengaman. Temuan serupa juga terjadi <a href="https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0165394">di Hongkong</a>, bahwa penggunaan aplikasi kencan di antara mahasiswa berkaitan dengan berkurangnya tingkat penggunaan kondom.</p>
<p>Di Indonesia, meski penulis belum menemukan data spesifik untuk konteks aplikasi kencan, <a href="https://genus.springeropen.com/articles/10.1186/s41118-020-00081-8">penelitian tahun 2020</a> yang mengkaji riwayat seksual anak muda di Jakarta – banyak di antaranya bisa jadi bertemu via aplikasi kencan – menemukan hanya 40% responden lajang yang aktif secara seksual rutin memakai kondom selama berhubungan seks sebulan terakhir.</p>
<p>Selain ketiga hal tersebut, pengguna aplikasi kencan juga terekspos beberapa risiko lainnya – dari <a href="https://www.merdeka.com/jatim/3-fakta-penipuan-berkedok-kencan-daring-di-kediri-empat-korban-rugi-rp83-juta.html">penipuan finansial</a>, <em>catfishing</em> atau <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-53011324">penggunaan profil palsu</a>, sampai risiko psikologis seperti <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-53011324">turunnya persepsi nilai diri (<em>self-esteem</em>)</a> akibat perilaku dan kata-kata negatif lawan <em>chat</em> atau pasangan kencan.</p>
<h2>Tips untuk pengguna muda</h2>
<p>Manfaatkanlah fitur-fitur yang ditawarkan aplikasi kencan. Beberapa fitur dirancang untuk memberikan kemudahan dan keamanan bagi pengguna, serta dapat disesuaikan dengan preferensi personal masing-masing.</p>
<p>Semua aplikasi kencan – termasuk Tinder, Bumble, hingga OKCupid – biasanya menawarkan <em>feed</em> yang dapat kita personalisasi. Seorang pengguna bisa saja mengecualikan orang yang hanya mencari hubungan seks kasual atau yang jarak usianya terlalu jauh.</p>
<p>Dalam melakukan <em>swipe right</em> (menyukai profil calon pasangan), penyaringan melalui foto profil dan biodata menjadi sangat penting. Apabila foto dan biodata seseorang <a href="https://theconversation.com/right-swipes-and-red-flags-how-young-people-negotiate-sex-and-safety-on-dating-apps-128390">tampak tidak jelas atau palsu</a>, hal ini perlu menjadi <em>red flags</em> (pertanda buruk yang sebaiknya kita hindari).</p>
<p>Aplikasi seperti Tinder dan Bumble kini juga memiliki fitur <a href="https://www.help.tinder.com/hc/en-us/articles/360034941812-Photo-Verification">lencana atau tanda khusus</a> bagi mereka yang telah melakukan verifikasi identitas – mirip dengan saat kita mendaftar akun bank digital atau <em>e-wallet</em>.</p>
<p>Setelah kita <em>match</em> (saling menyukai) dan ngobrol dengan pengguna lain, lalu memutuskan untuk bertemu secara langsung, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk mengantisipasi risiko negatif. </p>
<p>Di antaranya, kita bisa <a href="https://theconversation.com/right-swipes-and-red-flags-how-young-people-negotiate-sex-and-safety-on-dating-apps-128390">menceritakan secara detail tempat pertemuan kencan kita</a> kepada teman dan/atau keluarga, atau membagikan lokasi langsung (<em>live location</em>). Jika ada hal buruk terjadi, teman dan/atau keluarga menjadi lebih mudah dalam memberikan pertolongan.</p>
<p>Hal yang juga perlu menjadi perhatian pengguna, khususnya anak muda, adalah mengatur ekspektasi di dunia kencan daring. Melakukan kencan daring bisa memberikan kita perasaan puas dan menyenangkan apabila bertemu dengan orang yang sesuai dengan preferensi personal kita.</p>
<p>Namun, tak jarang ini dapat berujung pada perasaan stres, frustrasi, atau bahkan meragukan diri sendiri (<em>self-loathing</em>) akibat <a href="https://theconversation.com/right-swipes-and-red-flags-how-young-people-negotiate-sex-and-safety-on-dating-apps-128390">penolakan atau pelecehan</a>. Pengguna perlu “beristirahat” dan mencari kegiatan lain untuk menjaga kondisi mentalnya. Tidak menutup kemungkinan, kita juga bisa mengakses fasilitas kesehatan mental – misalnya bercerita <a href="https://theconversation.com/terapi-online-berpotensi-menurunkan-tingkat-depresi-90553">ke psikolog</a> – terkait masalah yang kita hadapi dalam menggunakan aplikasi kencan.</p>
<h2>Tips untuk orang tua</h2>
<p>Selain remaja, orang tua juga perlu memahami potensi risiko kencan daring yang dapat terjadi pada anak mereka. Orang tua merupakan salah satu aktor penting dalam <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/29461684">pembentukan perilaku dan pemahaman pada remaja</a>, selain teman sebaya.</p>
<p>Orang tua perlu memahami, misalnya, bahwa remaja sangat mungkin memulai inisiasi dan <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0272735814001330">eksplorasi terkait seksualitas</a> – terlebih di zaman kencan daring. Tapi, di sisi lain, pastikan juga bahwa anak sudah mencapai usia dewasa atau usia pengambilan keputusan (<em><a href="https://theconversation.com/menilik-konsep-consent-dalam-ilmu-hukum-benarkah-mendorong-hubungan-seks-di-luar-pernikahan-158081">age of consent</a></em>). Aplikasi seperti Tinder dan Bumble, misalnya, mensyaratkan pengguna <a href="https://www.help.tinder.com/hc/en-us/articles/360040592771-How-does-age-verification-work-">minimal berusia 18 tahun</a>.</p>
<p>Mengingat salah satu potensi risiko kencan daring adalah perilaku seksual berisiko, orang tua perlu <a href="https://theconversation.com/memecah-tabu-melindungi-anak-dari-kekerasan-seksual-pentingnya-edukasi-kesehatan-reproduksi-sejak-dini-181253">hadir sebagai teman dan membuka keran diskusi</a> terkait isu seksualitas yang selama ini mungkin tertutup karena dianggap tabu.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/fwb-zina-dan-klamidia-konten-dan-percakapan-di-medsos-tunjukkan-lemahnya-pemahaman-netizen-akan-pendidikan-seksual-185739">FWB, zina, dan klamidia: konten dan percakapan di medsos tunjukkan lemahnya pemahaman netizen akan pendidikan seksual</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Berdasarkan <a href="https://archive.org/details/LaporanSDKI2017Remaja">Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)</a> tahun 2017, sedikit sekali remaja perempuan mendapat informasi tentang pubertas, misalnya, dari ayah (1,7%) dan ibu (17,3%). Angkanya bahkan lebih rendah lagi untuk remaja laki-laki, baik dari ayah (1,7%) ataupun ibu (3,9%).</p>
<p>Selain karena dianggap tabu, masih banyak orang tua yang menganggap anaknya <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/15267431.2016.1181068">belum siap menerima informasi terkait isu seksualitas</a>, atau bingung bagaimana menyampaikan isu ini kepada anak mereka.</p>
<p>Padahal, ada banyak sumber yang bagus di internet yang bisa membantu orang tua berdiskusi mengenai seksualitas dengan anak mereka. Di antaranya adalah <a href="https://www.education.vic.gov.au/Documents/school/teachers/teachingresources/social/physed/tshparents.pdf">panduan yang dikembangkan tim peneliti La Trobe University</a> yang telah lama dipakai di Australia.</p>
<p>Seperti dua sisi mata koin, aplikasi kencan membawa manfaat sosial sekaligus risiko buruk.</p>
<p>Tapi, yang jelas, orang tua sebaiknya tidak menghakimi anak mereka yang menggunakan aplikasi kencan. Sebaliknya, mereka perlu terbuka berdiskusi mengenai ekspektasi dan risiko yang akan dihadapi anak mereka dalam kencan <em>daring</em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/190584/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Andhika Ajie Baskoro tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Aplikasi kencan memberi kemudahan untuk mencari pasangan yang sesuai kriteria kita. Tapi bagaimana caranya remaja, anak muda, dan orang tua, bisa menghindari risiko yang muncul selama kencan daring?Andhika Ajie Baskoro, Researcher, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1812532022-04-18T03:43:41Z2022-04-18T03:43:41ZMemecah tabu, melindungi anak dari kekerasan seksual: pentingnya edukasi kesehatan reproduksi sejak dini<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/457858/original/file-20220413-16-f3qwns.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Aktivis Persatuan Rakyat Untuk Pembebasan Perempuan berunjuk rasa di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, 8 Maret 2022 untuk menuntut RUU Tindak Pidana kekerasan seksual disahkan.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1646724641"> ANTARA FOTO/Novrian Arbi/aww</a></span></figcaption></figure><p>Kita perlu menormalisasi upaya pendidikan terkait seksualitas dengan bahasa yang mudah dipahami dan tidak vulgar. Ini bertujuan untuk memecah tabu di masyarakat seputar pembicaraan seksualitas dan pendidikan reproduksi di kalangan anak dan remaja.</p>
<p>Kisah <a href="https://regional.kompas.com/read/2022/03/31/190000378/di-balik-viralnya-video-pak-ribut-guru-sd-di-lumajang-pakar-ungkap?page=all">Pak Ribut</a>, seorang guru SD di Lumajang yang mencoba mengedukasi anak didiknya terkait seksualitas perlu mendapat perhatian. Kisah tersebut sempat memancing reaksi kontroversi di media sosial.</p>
<p>Padahal, upaya yang dilakukan Pak Ribut sebagai pendidik perlu diapresiasi. Ia menggunakan bahasa yang lugas tapi tidak vulgar sehingga mudah dipahami oleh peserta didik. </p>
<p>Pendidikan kesehatan reproduksi membutuhkan upaya demikian agar peserta didik tidak merasa canggung untuk membahas terkait seksualitas.</p>
<p><a href="https://archive.org/details/LaporanSDKI2017Remaja">Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia - Kesehatan Reproduksi Remaja</a> pada 2017 menunjukkan sekitar 54% remaja laki-laki dan 20% remaja perempuan tidak pernah berdiskusi sama sekali tentang kesehatan reproduksi dengan siapa pun sebelum mereka mengalami menstruasi atau mimpi basah pertama kali.</p>
<h2>Kekerasan seksual di tengah tabu seksualitas</h2>
<p>Pemberitaan viral Pak Ribut seakan menegaskan kembali pentingnya edukasi diberikan sejak dini. Namun, sebagian masyarakat belum memahami urgensinya dan menganggapnya tabu. </p>
<p>Padahal, kenyataan menunjukkan <a href="https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/25/3826/profil-anak-indonesia-tahun-2021">kasus dan pemberitaan kekerasan</a> seksual terhadap anak semakin marak. Kita berharap <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220412153417-32-783804/poin-poin-penting-uu-tpks-yang-disahkan-dpr">Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang baru disahkan oleh parlemen bisa menurunkan kasus kekerasan seksual</a> sehingga para korban mendapatkan keadilan. </p>
<p>Tren jumlah korban kekerasan terhadap anak <a href="https://nasional.kompas.com/read/2022/01/20/12435801/laporan-kasus-kekerasan-terhadap-anak-dan-perempuan-meningkat-3-tahun#:%7E:text=Angka%20laporan%20kasus%20kekerasan%20terhadap,pada%202020%2C%20dan%20menjadi%2015.972.">meningkat dari tahun-tahun</a>. Pada 2019 ada 12.285 kasus, lalu naik jadi 12.425 (2020) dan pada 2021 melonjak hingga 15.972 kasus. Pada Januari 2022 saja jumlah kekerasan seksual terhadap anak bahkan <a href="https://nasional.kompas.com/read/2022/03/04/17062911/kemenpppa-797-anak-jadi-korban-kekerasan-seksual-sepanjang-januari-2022?page=all">mencapai 797 kasus</a>. </p>
<p><a href="https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/25/3826/profil-anak-indonesia-tahun-2021">Dokumen Profil Anak Indonesia 2021</a> juga menyebutkan hampir separuh (46,7%) kasus kekerasan yang terjadi pada anak adalah dalam bentuk kekerasan seksual. Ini merupakan peringatan bagi semua pihak.</p>
<p>Hal yang membuat semakin pilu adalah, pelaku kekerasan seksual tersebut umumnya merupakan orang terdekat, bahkan <a href="https://megapolitan.kompas.com/read/2022/03/02/14530171/keluarga-dan-korban-pemerkosaan-oleh-ayah-kandung-di-depok-sudah-berada?page=all">ayah kandung</a>. Ada juga pelaku lainnya seperti gurunya sendiri, yang mengakibatkan <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-59581586">korban mengalami kehamilan</a>.</p>
<p>Apabila permasalahan ini tidak dicarikan solusi segera, tidak menutup kemungkinan semakin banyak anak yang menjadi korban maupun pelaku kekerasan seksual. </p>
<p>Di level lembaga pendidikan, masyarakat dan keluarga, kita perlu mengajarkan kesehatan reproduksi untuk anak sehingga mereka dapat memahami pesan-pesan penting terkait kepemilikan tubuh, batasan-batasan tubuh, serta <a href="https://theconversation.com/menilik-konsep-consent-dalam-ilmu-hukum-benarkah-mendorong-hubungan-seks-di-luar-pernikahan-158081"><em>consent</em>(persetujuan)</a>_ . Pengetahuan yang benar seputar hal-hal tersebut akan memandu anak-anak untuk mengenali risiko dan ancaman yang datang kepadanya.</p>
<p>Dengan memahami itu semua, kita berharap anak memiliki bekal pengetahuan sehingga terhindar dari kekerasan seksual, baik sebagai korban maupun pelaku.</p>
<h2>Penolakan terhadap pendidikan kesehatan reproduksi</h2>
<p>Pengabaian pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja dan anak-anak dapat memengaruhi pemahaman mereka terhadap kepemilikan tubuh, batasan-batasan tubuh, dan juga potensi kekerasan seksual yang diterima oleh mereka. </p>
<p>Anak-anak sudah semestinya memahami pendidikan kesehatan reproduksi sesuai dengan usia. Harapannya, dia dapat mengambil keputusan terkait kepemilikan tubuhnya dan terhindar dari berbagai kekerasan seksual. Melihat kondisi demikian, pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif mutlak menjadi keharusan.</p>
<p>Akan tetapi, tidak semua masyarakat menganggap urgensi pendidikan kesehatan reproduksi. Bahkan ada pandangan bahwa pendidikan kesehatan reproduksi justru pintu masuk hubungan seksual bagi remaja sehingga harus ditinggalkan. </p>
<p>Pandangan ini menganggap pendidikan reproduksi yang komprehensif hanya dipahami sebatas hubungan seksual semata. Padahal pendidikan reproduksi bermakna sangat luas dan dapat menjadi pencegahan dalam kekerasan seksual.</p>
<p>Pandangan lainnya adalah adalah tabu apabila suatu pihak mengajarkan sesuatu <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S014521341930211X">berbau seksualitas</a> kepada anak-anak.</p>
<p>Dari <a href="https://archive.org/details/LaporanSDKI2017Remaja">data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia - Kesehatan Reproduksi Remaja</a> pada 2017, peran orang tua sebagai sumber informasi pubertas bagi remaja juga dipertanyakan. Hanya sedikit remaja putri yang mengakui sumber informasi pubertas mereka dari ibu (17,3%) dan ayah (1,7%). Angka ini jauh di bawah peran guru (78,7%), teman (25,1%), dan internet (21,5%) sebagai sumber informasi. </p>
<p>Remaja putra lebih memprihatinkan, hanya 3,9% yang mengaku mendapat informasi pubertas dari ibu dan 2,7% dari ayah. Ini jauh kalah dominan dibandingkan peran guru (63,2%), teman (40,5%), dan internet (19,3%). </p>
<p>Situasi ini tentu saja berdampak pada tidak memadainya pengetahuan mereka terkait kesehatan reproduksi, seperti terkait pubertas, masa subur, risiko kehamilan, anemia pada remaja.</p>
<p>Kecanggungan orang tua dan masih adanya pandangan keliru tersebut berakibat penolakan terhadap pendidikan reproduksi yang memang dibutuhkan oleh anak, termasuk remaja. Tentu saja, anak harus menanggung konsekuensi atas ketidaktahuannya terhadap apa yang semestinya mereka pahami terkait dengan kepemilikan tubuh, batasan-batasan tubuh, dan potensi kekerasan seksual yang dialami.</p>
<h2>Bukan hanya tugas guru</h2>
<p>Dalam lingkup keluarga, hasil <a href="http://lipi.go.id/publikasi/remaja-dan-perilaku-berisiko-di-era-digital-penguatan-peran-keluarga/37457">survei Pusat Penelitian Kependudukan LIPI (sekarang BRIN)</a> pada 2017 menemukan mayoritas responden remaja 15-24 tahun di Kota Medan tidak pernah mendiskusikan isu terkait pubertas (78,6%) dan seksualitas (81,4%) kepada ayah mereka. Sementara itu, mereka yang tidak pernah mendiskusikannya dengan ibu mencapai 40,7% (pubertas) dan 55,9% (seksualitas).</p>
<p>Hal ini dipertegas temuan survei yang menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyebutkan guru (81,8%), teman (59,4%), dan internet (50,9%) sebagai sumber informasi mereka terkait pubertas, jauh lebih tinggi dibandingkan peran ibu (46,6%) dan ayah (20,9%).</p>
<p>Di era digital, internet dan media sosial memang menjadi sumber informasi yang nyaman bagi remaja dan anak terkait kesehatan reproduksi. Studi di <a href="https://www.yth.org/wp-content/uploads/YTH-youth-health-digital-age.pdf">Barat</a> juga sudah banyak menunjukkan bahwa edukasi kesehatan reproduksi remaja berbasis internet dan media sosial juga berperan penting dalam peningkatan pengetahuan, sikap, dan perilaku remaja.</p>
<p>Namun begitu, anak-anak dan remaja mesti dibekali kemampuan literasi agar bisa menyaring informasi yang bertebaran. </p>
<p>Dalam konteks Indonesia, literasi media digital menjadi semakin penting. Sebab, analisis <a href="https://datareportal.com/reports/digital-2021-indonesia">We Are Social & Hootsuite (2021)</a> menunjukkan dari total 274 juta penduduk Indonesia, 73,7% merupakan pengguna internet dan 61,8% merupakan pengguna aktif media sosial. Rata-rata waktu yang dihabiskan untuk mengakses internet dan media sosial adalah 8 jam 52 menit dan 3 jam 14 menit dalam sehari.</p>
<h2>Perlu peran serta semua pihak</h2>
<p>Edukasi terkait pengetahuan reproduksi bukan hanya tugas sekolah, melainkan juga semua pihak, baik itu keluarga, masyarakat, dan pemerintah. </p>
<p>Mengacu pendekatan (model) ekologi yang <a href="https://apps.who.int/iris/handle/10665/112750">dikembangkan WHO</a> untuk melihat determinan kesehatan dan perkembangan remaja, semua pihak, baik individu anak dan remaja itu sendiri, keluarga, teman sebaya, lingkungan sosial, lingkungan kebijakan, maupun lingkungan yang lebih makro seperti globalisasi di era digital perlu mengambil peran dalam memenuhi hak kesehatan reproduksi anak dan remaja. </p>
<p>Di tengah masyarakat yang masih menganggap tabu pendidikan kesehatan reproduksi, kita perlu upaya bersama untuk terus menyampaikan pesan akan pentingnya pemahaman terkait seksualitas. Selain itu, kita perlu membiasakan upaya edukasi terkait seksualitas dengan bahasa yang sederhana dan edukatif.</p>
<p>Jika ruang-ruang pembicaraan terkait seksualitas semakin terbuka, maka pemahaman anak dan remaja terhadap isu tersebut semakin dalam. Hal ini tentu berdampak positif terhadap pengetahuan mereka terkait dengan kepemilikan tubuh, batasan-batasan tubuh, serta mereka dapat mengungkapkan <em><a href="https://theconversation.com/menilik-konsep-consent-dalam-ilmu-hukum-benarkah-mendorong-hubungan-seks-di-luar-pernikahan-158081">consent</a></em> sekaligus menghargai <em>consent</em> orang lain.</p>
<p>Kondisi demikian akan membuat mereka melindungi diri mereka sendiri dan sebagai pencegahan untuk tidak melakukan kekerasan seksual terhadap orang lain. Pada akhirnya, mereka akan terhindar menjadi korban maupun pelaku kekerasan seksual.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/181253/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kita perlu membiasakan upaya edukasi terkait seksualitas dengan bahasa yang sederhana dan edukatif.Angga Sisca Rahadian, Peneliti Kependudukan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)Zainal Fatoni, Peneliti Demografi Sosial, Pusat Riset Kependudukan BRIN, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1812022022-04-14T17:00:10Z2022-04-14T17:00:10ZUrgensi memberantas kekerasan seksual di sekolah – salah satu dosa besar dunia pendidikan<p>Parlemen akhirnya mengesahkan <a href="https://www.dpr.go.id/doksileg/proses2/RJ2-20170201-043128-3029.pdf">Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS)</a> setelah diperjuangan oleh masyarakat dan elemen sipil selama kurang lebih 10 tahun.</p>
<p>Namun, payung hukum yang mengatur lingkup, penanganan, dan pemidanaan kekerasan seksual ini bukan tujuan akhir. Indonesia menghadapi tugas besar untuk mengimplementasikan dan membudayakannya dalam berbagai lini dan ranah kehidupan – termasuk dunia pendidikan.</p>
<p>Hal ini penting mengingat banyaknya kasus kekerasan seksual di kalangan anak, remaja, dan pelajar dalam beberapa tahun terakhir.</p>
<p>Sepanjang 2021, misalnya, menurut catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), <a href="https://nasional.kompas.com/read/2022/03/04/17062911/kemenpppa-797-anak-jadi-korban-kekerasan-seksual-sepanjang-januari-2022?page=all">sebanyak 8.730 anak</a> menjadi korban kekerasan seksual (naik 25% dari tahun sebelumnya).</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/data-bicara-negara-gagal-lindungi-mayoritas-korban-yang-alami-kekerasan-seksual-di-lingkungan-terdekat-180040">Data Bicara: negara gagal lindungi mayoritas korban yang alami kekerasan seksual di lingkungan terdekat</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Data di atas tentu adalah “puncak gunung es.” Demi menjaga nama baik, masyarakat cenderung kukuh menutup aib keluarga atau lembaga pendidikan yang terlibat kasus.</p>
<p>Tetapi, kini kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan – <a href="https://nasional.tempo.co/read/1543981/kpai-mencatat-18-kasus-kekerasan-seksual-di-sekolah-sepanjang-2021">sekolah</a>, <a href="https://sulsel.suara.com/read/2022/01/31/140847/3-siswi-madrasah-di-kabupaten-konawe-jadi-korban-kekerasan-seksual-guru">madrasah</a>, hingga <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211209082552-12-731811/daftar-kasus-kekerasan-seksual-di-pesantren-indonesia">pesantren</a> – mulai banyak terungkap melalui berita dan media sosial.</p>
<p>Kita belum lupa, misalnya, akan kasus <a href="https://news.detik.com/berita/d-6018388/komnas-perempuan-tak-sepakat-herry-wirawan-dijatuhi-hukuman-mati">guru pesantren Herry Wirawan</a> yang memperkosa 13 murid perempuan yang ia asuh.</p>
<p>Menteri Pendidikan (Mendikbudristek) Nadiem Makarim pun telah menyebut kekerasan seksual sebagai <a href="https://www.kompas.com/edu/read/2021/03/08/180000771/mendikbud--masih-ada-3-dosa-besar-dalam-dunia-pendidikan-indonesia">salah satu dari tiga dosa besar pendidikan</a> di Indonesia – selain intoleransi dan perundungan.</p>
<p>Sebagai tempat dan ‘rumah kedua’ tempat anak dan remaja tumbuh besar dan berkembang, sekolah harus muncul sebagai salah satu aktor utama dalam pemberantasan kekerasan seksual. Terbitnya UU TPKS bisa jadi momentum penting untuk mewujudkannya.</p>
<h2>Memberantas dosa besar dunia pendidikan</h2>
<p>Sebenarnya, Kementerian Pendidikan sudah memulai langkah awal untuk meredam kekerasan seksual di ranah pendidikan ketika tahun lalu <a href="https://jdih.kemdikbud.go.id/sjdih/siperpu/dokumen/salinan/salinan_20211025_095433_Salinan_Permen%2030%20Tahun%202021%20tentang%20Kekerasan%20Seksual%20fix.pdf">menerbitkan Peraturan Menteri</a> tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. </p>
<p>Inisiatif ini juga perlu dipertimbangkan untuk diperluas ke tingkat sekolah dasar dan menengah (SD hingga SMA).</p>
<p>Apalagi jauh sebelum Permen tersebut terbit, sudah ada <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/38723/uu-no-35-tahun-2014">UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak</a> yang dapat menjadi payung hukum untuk menciptakan lingkungan ramah anak yang bebas dari berbagai bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual.</p>
<p>Hanya dengan mengacu pada Pasal 9 Ayat (1a) UU tersebut, misalnya, sesungguhnya setiap sekolah bisa diwajibkan mempunyai kebijakan PPKS terhadap anak baik di dalam maupun di luar sekolah.</p>
<p>Kini, terbitnya UU TPKS semakin menambah landasan hukum maupun momentum untuk pelaksanaan hal tersebut.</p>
<p>Sekolah bisa menyusun sendiri kebijakan PPKS sesuai dengan kondisi lingkungannya dengan mengikutsertakan semua pemangku kepentingan. Kebijakan yang dibuat sendiri dipercaya akan lebih mendorong penyusun untuk bertanggung jawab dalam melaksanakannya.</p>
<p>Mulai di tingkat SD/MI, kebijakan anti-kekerasan seksual dapat digabung dengan kebijakan kekerasan terhadap anak secara umum, dan kemudian semakin spesifik pada kekerasan seksual seiring anak memasuki jenjang SMP/MTs dan SMA/MA/SMK.</p>
<p>Sekolah dapat membentuk gugus tugas – serupa dengan yang diterapkan banyak kampus pasca terbitnya Permendikbudristek tentang PPKS – untuk mensosialisasikan, mencegah, dan menangani kasus.</p>
<p>Yang juga tak kalah penting bagi pemerintah dan lembaga pendidikan adalah mewajibkan pengajaran anti-kekerasan seksual dan batasan relasi antara anak dengan orang lain, sebagai bagian penting dari <a href="https://theconversation.com/di-tengah-masyarakat-yang-religius-banyak-orang-tua-di-indonesia-mendukung-pendidikan-kesehatan-seksual-di-sekolah-168670">pendidikan kesehatan seksual</a>.</p>
<p>Hasil riset Indonesia Judicial Research Society (IJRS) yang <a href="http://ijrs.or.id/refleksi-penanganan-kekerasan-seksual-di-indonesia-indeksasi-terhadap-putusan-pengadilan-tahun-2018-2020/">membedah 735 putusan pengadilan</a> selama 2018-2020, misalnya, menemukan mayoritas korban (76,6%) adalah anak berusia kurang dari 18 tahun, dengan banyak pelaku merupakan orang di lingkungan terdekat anak seperti pacar, teman, keluarga, hingga guru. Namun, sejauh ini belum ada materi kurikulum yang membekali anak untuk merespons kekerasan seksual.</p>
<p>Padahal, <a href="https://theconversation.com/di-tengah-masyarakat-yang-religius-banyak-orang-tua-di-indonesia-mendukung-pendidikan-kesehatan-seksual-di-sekolah-168670">riset telah menunjukkan</a> bagaimana kini banyak orang tua di Indonesia telah mendukung pendidikan kesehatan seksual di sekolah.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/di-tengah-masyarakat-yang-religius-banyak-orang-tua-di-indonesia-mendukung-pendidikan-kesehatan-seksual-di-sekolah-168670">Di tengah masyarakat yang religius, banyak orang tua di Indonesia mendukung pendidikan kesehatan seksual di sekolah</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Membangun budaya anti-kekerasan seksual di sekolah</h2>
<p>Pada Februari 2022, kami di SMERU Research Intitute mengadakan serangkaian lokakarya kebijakan PPKS untuk para staf. Lokakarya ini diadakan dalam rangka penyusunan, pemberlakuan, dan pembudayaan kebijakan PPKS dalam organisasi SMERU maupun partner kerjanya.</p>
<p>SMERU melakukan ini karena menyadari bahwa budaya suatu organisasi sangat mempengaruhi norma, nilai, dan rutinitas yang membangun perilaku sosial para anggotanya – termasuk dalam <a href="https://www.dfat.gov.au/international-relations/themes/preventing-sexual-exploitation-abuse-and-harassment">aspek anti-kekerasan seksual</a>.</p>
<p>Sama seperti SMERU, lembaga pendidikan seperti sekolah pun <a href="https://theconversation.com/tak-hanya-nasionalisme-dan-religiositas-budaya-sekolah-kunci-sesungguhnya-dari-pendidikan-karakter-begini-cara-memupuknya-176895">merupakan suatu organisasi</a>. Kebijakan anti-kekerasan seksual yang baik dapat memupuk budaya baru di organisasi sekolah. </p>
<p>Sekolah sebagai lembaga pendidikan memiliki peran strategis dalam proses transformasi sosial para murid dan guru, utamanya menyadarkan tentang hak individu atas tubuhnya sendiri dan cara menghormati hak tersebut. Kesadaran ini akan berdampak pada pemahaman bahwa tubuh orang lain bukanlah objek untuk <a href="https://theconversation.com/tertinggal-zaman-pemaknaan-perkosaan-dan-pencabulan-dalam-hukum-di-indonesia-169846">dikomentari, diobjektifikasi, dan dieksploitasi</a>.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bukan-hanya-soal-kekerasan-memaknai-ketidakberdayaan-dalam-perkosaan-171011">Bukan hanya soal kekerasan: memaknai ketidakberdayaan dalam perkosaan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Selain itu, kebijakan anti-kekerasan seksual juga dapat menyadarkan adanya <a href="https://theconversation.com/bukan-hanya-soal-kekerasan-memaknai-ketidakberdayaan-dalam-perkosaan-171011">relasi kuasa maupun privilese dalam struktur gender</a> yang rentan disalahgunakan. Kita bisa melihatnya pada kuasa antara guru dan murid, maupun antara siswa laki-laki dan perempuan. Aspek ini pun dijelaskan dalam Permendikbudristek tentang PPKS maupun UU TPKS.</p>
<p>Dengan memahami dinamika relasi kuasa dan gender tersebut, murid sebagai generasi masa depan dapat memiliki kesadaran sosial yang lebih baik untuk menciptakan masyarakat yang lebih berkeadilan.</p>
<p>Tujuan dari kebijakan PPKS di sekolah adalah mencegah kekerasan seksual terhadap anak dan remaja. Namun, melalui pengenalannya secara rutin kepada murid seiring mereka tumbuh dewasa, dalam jangka panjang diharapkan mereka dapat berkontribusi signifikan untuk mengurangi kasus kekerasan seksual dalam masyarakat.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/181202/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Sebagai ‘rumah kedua’ di mana anak tumbuh besar, sekolah harus muncul sebagai salah satu aktor utama dalam pemberantasan kekerasan seksual. Terbitnya UU TPKS bisa jadi momentum untuk mewujudkannya.Syaikhu Usman, Peneliti Utama, SMERU Research InstituteHani Yulindrasari, Sekretaris Satuan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Pendidikan IndonesiaHeni Kurniasih, Senior Researcher, SMERU Research InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1774602022-02-23T06:04:55Z2022-02-23T06:04:55ZPakar Menjawab: kenapa banyak korban kekerasan seksual malah minta maaf atau menarik laporannya?<p>Korban kekerasan seksual di Indonesia selama ini sering menemui jalan terjal dalam memperjuangkan kasusnya untuk mencapai keadilan.</p>
<p>Berdasarkan <a href="https://theconversation.com/nikahin-aja-penanganan-kasus-pemerkosaan-dan-kekerasan-seksual-selama-ini-belum-fokus-pada-pemulihan-dan-hak-korban-163011">satu studi tahun 2020</a> dari Indonesian Judicial Research Society (IJRS) dengan sampel 1.586 responden yang terlibat kasus kekerasan seksual, sebanyak 57% kasus tidak mendapat penyelesaian. Banyak korban lainnya juga berujung dinikahkan dengan korban atau diminta “berdamai”.</p>
<p>Kita juga ingat perjuangan “<a href="https://theconversation.com/kasus-agni-kerentanan-pers-mahasiswa-di-indonesia-111550">Agni</a>” di Universitas Gadjah Mada (UGM), <a href="https://theconversation.com/kuatnya-budaya-victim-blaming-hambat-gerakan-metoo-di-indonesia-107455">Baiq Nuril</a> di Lombok, dan <a href="https://projectmultatuli.org/kasus-pencabulan-anak-di-luwu-timur-polisi-membela-pemerkosa-dan-menghentikan-penyelidikan/">seorang ibu di Sulawesi Selatan</a> yang ketiga anaknya diperkosa. Para korban justru disalahkan, dihukum atas “penyebaran muatan asusila”, atau dianggap mengalami gangguan kejiwaan.</p>
<p>Belum lama ini, terduga korban pelecehan seksual oleh presenter dan penyiar radio Gofar Hilman, juga <a href="https://www.kompas.com/hype/read/2022/02/13/094803966/kronologi-kasus-dugaan-pelecehan-seksual-gofar-hilman-yang-berujung?page=all">berujung minta maaf</a> dan menarik laporan atas dugaan kasus yang menimpanya.</p>
<p>Meski belum ada bukti jelas bahwa korban tersebut ditekan, beberapa akademisi menjelaskan bagaimana aparat di Indonesia secara umum lebih banyak berpihak pada pelaku ketimbang korban kekerasan seksual.</p>
<p>Aparat dan pelaku kerap menyalahkan dan meneror korban, sehingga banyak korban berujung meminta maaf, menarik laporannya, atau bahkan dikriminalisasi balik.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengantre-viral-perjuangan-korban-kekerasan-seksual-di-indonesia-167913">Mengantre viral: perjuangan korban kekerasan seksual di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>DARVO: taktik andalan pelaku dan aparat</h2>
<p>Dalam salah satu episode podcast SuarAkademia, peneliti IJRS, Bestha Ashila mengungkapkan adanya pola dari pelaku kekerasan seksual dan aparat penegak hukum ketika korban melaporkan suatu kasus.</p>
<p>“Biasanya ada taktiknya, kita kenal namanya ‘DARVO’: <em>deny</em>, <em>attack</em>, lalu <em>reverse victim and offender</em>,” katanya.</p>
<iframe style="border-radius:12px" src="https://open.spotify.com/embed/episode/61snwviLgvQEF6fOlqO6Wv?utm_source=generator&theme=0" width="100%" height="152" frameborder="0" allowfullscreen="" allow="autoplay; clipboard-write; encrypted-media; fullscreen; picture-in-picture"></iframe>
<p>“Istilahnya pertama pasti menyangkal, ‘<em>enggak</em> saya <em>nggak</em> melakukan’. Kemudian menyerang balik korban, dan juga membalikkan kasus tersebut, dilaporkan balik. Konsepnya mirip <a href="https://theconversation.com/gaslighting-from-partners-to-politicians-how-to-avoid-becoming-a-victim-121828"><em>gaslighting</em></a> (menyerang dan mempertanyakan kredibilitas).”</p>
<p>Bestha mencontohkan wujud nyata pola DARVO pada kasus dugaan kekerasan seksual yang terjadi di Dewan Pengawas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS-TK) pada 2018 silam.</p>
<p>Kala itu, korban bercerita ke media bahwa ia <a href="https://tirto.id/kekerasan-seksual-di-dewas-bpjs-tk-keberanian-amel-adalah-lilin-dhxX">dilecehkan berkali-kali</a> dan juga <a href="https://megapolitan.kompas.com/read/2019/12/09/10110951/kasus-dugaan-pelecehan-seksual-eks-dewas-bpjs-tk-dari-saling-lapor-hingga?page=all">diperkosa sebanyak empat kali</a> oleh bosnya yang bernama Syafri Baharuddin selama kurun waktu 2016-2018.</p>
<p>“Kasus itu sudah dilaporkan ke kepolisian, dan tim internal kantor bertindak bikin tim panel untuk memeriksa pelaku,” kata Bestha.</p>
<p>“Korban juga mengajukan gugatan hukum [..] tapi justru dilaporkan balik sama bosnya dengan alasan penyebaran berita bohong sampai berdampak ke korban yang dirawat di rumah sakit jiwa.”</p>
<p>“Akhirnya penyelesaiannya dengan mediasi antara korban dan pelaku. Pelaku akhirnya mencabut laporan terhadap korban, dan <a href="https://megapolitan.kompas.com/read/2019/12/09/10110951/kasus-dugaan-pelecehan-seksual-eks-dewas-bpjs-tk-dari-saling-lapor-hingga?page=all">korban bikin pernyataan</a> bahwa ia tidak pernah mengalami perkosaan,” tuturnya.</p>
<p>Studi psikologi dari Sarah Harsey di University of California Santa Cruz di Amerika Serikat (AS) yang melakukan <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/10926771.2020.1774695">eksperimen dengan lebih dari 300 mahasiswa</a> pada 2020 menemukan bahwa taktik DARVO mengubah pandangan partisipan terhadap korban kekerasan seksual. Mereka menjadi lebih skeptis dan cenderung menyalahkan korban.</p>
<p>Sebelumnya pada 2016, riset lain dari Harsey juga menemukan bahwa taktik DARVO <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/10926771.2017.1320777">lebih banyak menimpa korban perempuan</a> dan membuat mereka lebih rawan untuk menyalahkan diri sendiri.</p>
<p>Pola semacam DARVO juga terlihat dalam kasus Agni di UGM yang <a href="https://www.balairungpress.com/2018/11/nalar-pincang-ugm-atas-kasus-perkosaan/">justru disalahkan manajemen kampus</a> karena dianggap bertindak ceroboh dan telah membuat malu nama UGM di masyarakat.</p>
<p>Saat guru Baiq Nuril melaporkan rekaman pelecehan yang dilakukan kepala sekolahnya, ia juga justru <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181114133306-12-346485/kronologi-kasus-baiq-nuril-bermula-dari-percakapan-telepon">dijerat menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)</a> dengan dalih menyebar muatan asusila.</p>
<p>“Kedua kasus tersebut hanyalah puncak gunung es dari budaya <em>victim blaming</em> yang cukup kuat terhadap korban tindak kekerasan seksual di Indonesia,” tulis pengajar komunikasi Iwan Awaluddin Yusuf dalam <a href="https://theconversation.com/kuatnya-budaya-victim-blaming-hambat-gerakan-metoo-di-indonesia-107455">artikel yang terbit</a> di <em>The Conversation Indonesia</em> (TCID) pada 2018 lalu.</p>
<h2>Berkali-kali menjadi korban</h2>
<p>Dalam artikel yang terbit di TCID tahun lalu, Arsa Ilmi Budiarti dari IJRS mengatakan bahwa <a href="https://www.westcoastleaf.org/wp-content/uploads/2018/11/We-Are-Here-Executive-Summary.pdf">mekanisme pelaporan kekerasan seksual</a> ke kepolisian belum didukung perspektif perlindungan korban yang baik.</p>
<p>“Alih-alih memperoleh perlindungan dan bantuan, saat melaporkan kekerasan seksual yang dialami, para korban justru mengalami menjadi korban kembali (reviktimisasi) serta harus menghadapi pertanyaan yang seringkali menyudutkan, tidak empatik, hingga melecehkan,” tulis Arsa.</p>
<p>Bahkan, dalam <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41676366">wawancara dengan BBC Indonesia</a> pada 2017, mantan Kepala Polri Tito Karnavian pernah menyatakan bahwa korban pemerkosaan bisa ditanya penyidik “apakah nyaman” selama pemerkosaan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/siapkah-polisi-menjadi-garda-terdepan-mekanisme-pelaporan-kekerasan-seksual-169726">Siapkah polisi menjadi garda terdepan mekanisme pelaporan kekerasan seksual?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p><a href="https://catalogue.nla.gov.au/Record/3892315">Riset Lidwina Inge Nurtjahyo dan Sulistyowati Irianto</a> dari Universitas Indonesia (UI) mengamini bahwa ini adalah perilaku yang lumrah diterapkan oleh aparat penegak hukum di Indonesia.</p>
<p>Tak hanya di antara aparat kepolisian, Bestha pun mengatakan sikap ini kembali terulang dalam beberapa putusan hakim di pengadilan.</p>
<p>“Bahkan ada pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan dan merendahkan perempuan sendiri. Ada yang sampai ditanya riwayat seksualnya, yang riwayat seksual itu berpengaruh terhadap putusan hakim,” katanya.</p>
<p>“Ketika korban ditanya oleh hakim, dianggapnya itu bukan perempuan baik-baik sehingga ada kasus pelaku dibebaskan. Hakim menganggap bahwa korban ini sudah tidak perawan, kemudian perempuan ini nakal dan suka mabuk-mabukan. Jadi ada lagi <em>victim blaming</em>.”</p>
<p>Menurut Arsa, polisi seharusnya menciptakan suasana yang kondusif dan nyaman bagi korban untuk menceritakan masalahnya.</p>
<p>“Polisi seharusnya memastikan keberadaan pendamping korban, jaminan keselamatan korban, adanya pernyataan atau pertanyaan yang tidak menghakimi dan menghargai korban hingga jaminan terwujudnya akses keadilan,” ujarnya.</p>
<p>Pada perkara kekerasan seksual di mana korban kerap takut dan malu untuk melapor – bahkan diteror untuk meminta maaf dan mencabut laporannya – maka peran pihak-pihak yang harusnya bisa dipercaya inilah yang dapat mendorong supaya penanganan kasus lebih adil dan inklusif bagi korban.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/177460/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Pelaku kekerasan seksual dan aparat penegak hukum kerap menyalahkan dan meneror korban, sehingga banyak korban berujung meminta maaf, menarik laporannya, atau bahkan dikriminalisasi balik.Luthfi T. Dzulfikar, Youth + Education EditorLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1675582022-01-12T07:00:44Z2022-01-12T07:00:44ZPenyintas kekerasan seksual menemukan ruang aman, dukungan, dan penghiburan di media sosial<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/439588/original/file-20220106-25-rg5n7t.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=94%2C152%2C2393%2C1639&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption"></span> <span class="attribution"><span class="source">Rifqi Riyanto/INA Photo Agency/Sipa USA</span></span></figcaption></figure><p>Dalam konteks masyarakat Indonesia yang agamis dan normatif, realita kekerasan seksual seolah menjadi sesuatu yang absurd dan ada di luar nalar.</p>
<p>Masih banyak orang yang percaya kekerasan seksual <a href="https://thisisgender.com/miskonsepsi-kekerasan-seksual/">tidak mungkin terjadi dalam masyarakat beragama</a>. Mitos lain yang kerap dirujuk untuk meremehkan kekerasan seksual adalah bahwa kekerasan seksual tidak mungkin terjadi dalam <a href="https://today.line.me/id/v2/article/EjyKPv">masyarakat yang memiliki budaya Timur seperti Indonesia</a>. </p>
<p>Temuan saya dan tim penelitian di Universitas Indonesia menggambarkan kenyataan yang berbeda. Dengan argumen bahwa internet merupakan ruang yang lain, studi ini diawali dengan keyakinan bahwa platform sosial media menyediakan ruang untuk menampilkan realitas yang dimungkiri - <a href="https://www.mdpi.com/2075-4698/10/3/51">misalnya, kekerasan seksual</a> - oleh masyarakat dominan. </p>
<p>Data penelitian kami menunjukkan kasus kekerasan seksual banyak terjadi tanpa memandang agama, hubungan sosial dan cara berpakaian. Perkosaan, pelecehan seksual, dan penyiksaan seksual terjadi dengan pelaku orang-orang terdekat dan dipercaya oleh korban. </p>
<p>Data ini sejalan dengan ramainya kasus kekerasan seksual yang diungkap ke ruang publik, yang sumbernya bukan dari media arus utama melainkan akun-akun pribadi pada platform media sosial. </p>
<p>Sedikit berbeda dengan penelitian di luar Indonesia yang justru menggambarkan <a href="https://scholarsarchive.byu.edu/facpub/4155/">media sosial menjadi ruang kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan</a>, <a href="https://fslmjournals.taylors.edu.my/facebook-group-types-and-posts-indonesian-women-free-themselves-from-domestic-violence/">data</a> <a href="https://www.atlantis-press.com/proceedings/aprish-19/125957147">penelitian kami</a> justru menunjukkan perempuan penyintas kekerasan seksual di Indonesia membagikan pengalaman kelamnya di Twitter dan Facebook untuk mencari tempat nyaman berbagi ketakutan, kekhawatiran, kesedihan dan kemarahan. </p>
<p>Di media sosial Indonesia, korban dan penyintas kekerasan seksual menemukan ruang aman yang memberi dukungan dan penguatan, serta menghindari stigma dan tekanan masyarakat. </p>
<h2>Media sosial sebagai ruang aman</h2>
<p>Dalam studi, tim peneliti melakukan pengamatan pada platform sosial media Facebook dan Twitter. Selain itu, tim peneliti juga melakukan wawancara pada sejumlah perempuan penyintas kekerasan seksual. </p>
<p>Temuan studi ini menunjukkan bahwa perempuan di Indonesia mempercayai bahwa platform media sosial adalah tempat yang tepat untuk membagikan pengalaman kekerasan seksual. </p>
<p>Walaupun para penyintas memahami bahwa sosial media tidak selalu memberikan perlindungan dan dukungan, namun mereka yakin media sosial tetap memberi ruang yang menerima realita alternatif, yang seringkali ditolak oleh masyarakat dominan. </p>
<p>Ilmuwan sosial menyatakan <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/1741659016652445">perempuan penyintas cenderung melakukan pengungkapan kekerasan seksual melalui platform daring</a> untuk melawan dan menanggapi pelecehan. </p>
<p>Berkaitan dengan itu Nancy Fraser, <a href="https://www.newschool.edu/nssr/faculty/Nancy-Fraser/">profesor filsafat dan politik</a> di New School for Social Research, Amerika Serikat, memperkenalkan konsep <a href="https://criticallegalthinking.com/2016/11/06/nancy-fraser-subaltern-counterpublics/">ruang publik tandingan</a> (<em>counterpublic subaltern</em>), yang menggambarkan sebuah ruang tempat anggota kelompok sosial yang dipinggirkan dan ditekan menemukan apa yang mereka butuhkan, yang tidak mereka dapatkan dari masyarakat dominan. </p>
<p>Salah satu subjek penelitian kami, DH, membagikan pengalamannya sebagai penyintas kekerasan seksual. Dalam postingannya DH mengundang pembaca untuk memberikan dukungan berupa solusi: </p>
<blockquote>
<p>“[..] Saya sama dia pacaran sudah bertahun-tahun, jadi dia nggak terima saya putusin. Dia memperkosa saya, dia pukul saya. Jadi untuk pertama kalinya dia melecehkan saya. Beberapa minggu kemudian dia kembali lagi melakukan itu kepada saya karena ketauan saya mau pulang kampung karena sudah merasa menjadi wanita yang sangat kotor. [..] Saya ketakutan saya benar-benar dihantui rasa bersalah, penyesalan, dan malu. Tolong beri solusinya dan saya mohon jangan bully saya.” (DH, penyintas)</p>
</blockquote>
<p>Postingan DH mendapatkan 27 emoji positif dan 23 <em>likes</em>. Dari 31 komentar, DH mendapatkan 17 dukungan berupa informasi apa yang sebaiknya harus dilakukan, penilaian situasi, dan dukungan penguatan. </p>
<p>Penyintas lain, NN, menggunakan menceritakan kekerasan seksual ayah tirinya. Postingan NN yang membagikan pengalaman sebagai penyintas mendapatkan 256 respon emoji positif dan 151 komentar yang mendukung.</p>
<blockquote>
<p>“Waktu SMP kelas 3 saya digrepe bapak tiri. Saat diintrogasi nggak ngaku, bilangnya saya halusinasi, di grepe ama Jin. Ngadu ke ibu tapi ibu saya ujung-ujungnya balik lagi ke orang sialan itu.” (NN, penyintas)</p>
</blockquote>
<p>Respon yang diperoleh DH dan NN menggambarkan bagaimana media sosial tidak hanya menyediakan tempat bagi kisah personal para penyintas, namun juga menawarkan ruang aman bagi para penyintas kekerasan seksual. </p>
<p>Hasil penelitian ini menunjukkan penyintas meyakini bahwa media sosial akan memberikan kenyamanan yang memperkecil ruang ancaman dan pelecehan. </p>
<p>Melalui media sosial, penyintas menemukan penguatan emosional dan psikologis, dan cenderung dapat menghindari tekanan struktur dominan. </p>
<p>Walaupun penelitian ini masih menemukan bentuk pengawasan norma dominan dari masyarakat (melalui respon negatif), namun pada saat yang sama penyintas juga menemukan bantuan hukum, psikologis, dan keamanan digital. </p>
<h2>Stigma dan pembungkaman terhadap perempuan korban kekerasan</h2>
<p>Mengapa perempuan memilih sosial media sebagai ruang aman? Perempuan penyintas dalam studi ini menyadari berbagai stigma dalam masyarakat dominan yang lahir dari <a href="https://thisisgender.com/wp-content/uploads/2020/09/010-RPH-CGS-Consent-Sexual-Ttd-Azalia.pdf">mitos tentang seksualitas dan perempuan</a>, sehingga mencari ‘ruang aman’ lain. </p>
<p>Perempuan penyintas dalam studi ini mengenali stigma yang berkaitan erat dengan seksualitas dan perempuan. Salah satu subjek penelitian berpendapat bahwa seksualitas dan hak perempuan yang berkaitan dengan seksualitas adalah salah satu topik yang sulit mendapat ruang diskusi dalam masyarakat dominan. </p>
<blockquote>
<p>“Kalau aku cerita, pasti akan mereka bilang salah sendiri kamu pakai baju ketat.” (AA, penyintas)</p>
</blockquote>
<p>Para penyintas dalam studi ini menyebutkan ada dua mitos terkait seksualitas. </p>
<p>Pertama, seksualitas adalah hal privat (dan suci). Kedua, seksualitas tabu dibicarakan dan seks tabu dilakukan di luar institusi pernikahan. </p>
<p>Mitos seksualitas tersebut menghasilkan narasi-narasi pemujaan semu terhadap perempuan seperti perempuan punya tugas mulia sebagai ibu dan istri atau perempuan yang baik akan menjaga keperawanan. </p>
<p>Akibatnya ada tuntutan bahwa perempuan baik-baik hanya melakukan hubungan seksual dan hamil dalam lembaga pernikahan. Sebaliknya, logika dominan yang sama mendudukan laki-laki dalam posisi mulia, bertugas memimpin dan melindungi keluarga, termasuk istri dan anak-anaknya. </p>
<blockquote>
<p>“Pasti orang berpendapat saya pantas mendapat kekerasan seksual dari suami, karena saya bukan istri yang baik.”(RA, penyintas)</p>
</blockquote>
<p>Pada banyak kesempatan, kekerasan seksual sulit diungkapkan karena dikaitkan dengan standar moralitas yang merujuk perempuan sebagai simbol kesucian dan kehormatan. </p>
<p>Akibatnya, perempuan penyintas kekerasan seksual seringkali dianggap berbuat aib dan disalahkan sebagai penyebab terjadinya tindakan kekerasan. Stigma tersebut yang mendorong penyintas perempuan memilih bungkam. </p>
<h2>Alternatif perlindungan dan dukungan</h2>
<p>Temuan penelitian ini menegaskan bahwa penyintas kekerasan seksual sulit menemukan perlindungan dan dukungan dalam struktur masyarakat dominan. </p>
<p>Minimnya penguatan dari struktur dominan mendorong perempuan penyintas kekerasan seksual mencari ruang aman lain, yaitu media sosial. </p>
<p>Walaupun data penelitian menunjukkan penyintas kekerasan seksual memperoleh dukungan dan penguatan dari ranah daring, kasus-kasus kekerasan seksual tetap membutuhkan dukungan dari struktur dominan. </p>
<p>Temuan penelitian ini sekaligus menguatkan alasan mengapa Rancangan Undang-Undang (RUU) Pencegahan Kekerasan Seksual (PKS) penting untuk segera disahkan. </p>
<p>Kita telah melihat adanya gerakan yang menolak pengesahan RUU PKS dengan alasan RUU itu mempromosikan perilaku seks bebas dan mendorong penyimpangan terhadap norma-norma agama dan adat ketimuran.</p>
<p>Gerakan ini justru menguatkan stigma dan mitos yang selama ini menjadi penghalang penyintas kekerasan seksual untuk mendapatkan penguatan dan perlindungan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/167558/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Endah Triastuti tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Di media sosial, korban dan penyintas kekerasan seksual menemukan penguatan emosional dan psikologis, dan cenderung dapat menghindari tekanan masyarakat.Endah Triastuti, Lecturer, Researcher, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1726982021-11-26T10:26:55Z2021-11-26T10:26:55ZPermendikbudristek PPKS: apa manfaatnya bagi pemberantasan kekerasan seksual di kampus?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/434132/original/file-20211126-1794-x5zcn9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption"></span> </figcaption></figure><iframe src="https://open.spotify.com/embed/episode/5lzeS735b6xKMrQFPq7mtw?utm_source=generator" width="100%" height="232" frameborder="0" allowfullscreen="" allow="autoplay; clipboard-write; encrypted-media; fullscreen; picture-in-picture"></iframe>
<p>Beberapa waktu lalu, Nadiem Makarim menerbitkan <a href="https://jdih.kemdikbud.go.id/sjdih/siperpu/dokumen/salinan/salinan_20211025_095433_Salinan_Permen%2030%20Tahun%202021%20tentang%20Kekerasan%20Seksual%20fix.pdf">Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021</a> tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi.</p>
<p>Peraturan ini mewajibkan perguruan tinggi <a href="https://nasional.kompas.com/read/2021/10/27/11162451/nadiem-terbitkan-aturan-pencegahan-dan-penanganan-kekerasan-seksual-di">memperkuat penanganan kekerasan seksual</a> lewat pendampingan, perlindungan, sanksi administratif, serta pemulihan korban.</p>
<p>Banyak pihak menganggap regulasi ini sebagai langkah baik di tengah rekam jejak yang buruk terkait kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus.</p>
<p>Baru-baru ini, misalnya, kembali muncul kasus di <a href="https://tirto.id/pelecehan-seksual-mahasiswi-unri-dahulukan-pengusutan-kasus-korban-glaH">Universitas Riau (UNRI)</a> dan juga <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211122173330-20-724566/ui-buka-suara-soal-dugaan-pelecehan-seksual-guru-besar">Universitas Indonesia (UI)</a>.</p>
<p>Untuk membedah lebih dalam tentang peraturan menteri ini dan artinya bagi kampus-kampus di Indonesia, pada episode <a href="https://open.spotify.com/episode/5lzeS735b6xKMrQFPq7mtw?si=3b3310d0247144fe">podcast SuarAkademia</a> kali ini, kami berbicara dengan dosen hukum dan gender di UI, Lidwina Inge Nurtjahyo.</p>
<p>Inge menceritakan tentang gunung es kekerasan seksual di berbagai kampus, berbagai tantangan pemrosesan kasus selama ini, serta bagaimana kampus bisa mulai menjalankan amanat Permendikbud-Ristek PPKS sekaligus mengatasi <a href="https://news.detik.com/berita/d-5803334/tudingan-legalkan-zina-dibantah-ini-pasal-pasal-kontroversial-permen-ppks">resistensi dari beberapa pihak</a> yang masih menentang aturan ini.</p>
<p>Simak episode lengkapnya di <a href="https://open.spotify.com/episode/5lzeS735b6xKMrQFPq7mtw?si=3b3310d0247144fe">SuarAkademia</a> – ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/172698/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Untuk membedah peraturan menteri tentang penanganan kekerasan seksual di kampus yang belum lama ini diterbitkan, pada episode SuarAkademia kali ini, kami ngobrol dengan Lidwina Inge Nurtjahyo dari UI.Luthfi T. Dzulfikar, Youth + Education EditorLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1710112021-11-26T05:04:15Z2021-11-26T05:04:15ZBukan hanya soal kekerasan: memaknai ketidakberdayaan dalam perkosaan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/433078/original/file-20211122-15-1twqxjf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C3994%2C2658&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">M Agung Rajasa/Antara Foto</span></span></figcaption></figure><p>Bulan lalu, seorang anak perempuan (20 tahun) dari seorang tersangka mengaku telah <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211018131905-12-709184/kesaksian-anak-tersangka-ditiduri-kapolsek-demi-ayah-bebas">diperkosa oleh kepala Kepolisian Sektor (Polsek) Parigi</a>, Sulawesi Tengah, yang menjanjikan status bebas untuk sang ayah yang tengah ditahan dalam kasus pencurian hewan ternak. </p>
<p>Korban mengaku telah dirayu berkali-kali dan dijanjikan uang oleh si perwira polisi. Setelah setuju bertemu dengan pelaku di sebuah hotel, korban kemudian diperkosa dan diberikan uang.</p>
<p>Ada perdebatan mengenai pasal yang dapat dikenakan terhadap perbuatan pelaku. Banyak yang berpendapat bahwa pelaku dapat dikenakan <a href="https://nasional.tempo.co/read/1519284/komnas-perempuan-minta-kasus-pemerkosaan-oleh-kapolsek-parigi-masuk-pidana/full&view=ok">Pasal 285 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)</a> tentang perkosaan di luar pernikahan dengan memperluas makna kekerasan menjadi tidak sebatas kekerasan fisik namun juga kekerasan psikis. </p>
<p>Di lain sisi, peristiwa ini dapat dianggap <a href="https://m.tribunnews.com/amp/regional/2021/10/19/update-kasus-kapolsek-parigi-perkosa-anak-tahanan-pelaku-dipecat-chat-whatsapp-jadi-bukti?page=2">memenuhi ketentuan Pasal 284 KUHP</a> terkait perbuatan zina yang dilakukan oleh laki-laki yang sudah menikah. Namun, Pasal 284 akan turut menjerat korban sebagai pihak yang ikut melakukan perzinaan. </p>
<p>Selain kasus di atas, peristiwa serupa <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211026123350-12-712453/istri-tersangka-dicabuli-polisi-kapolsek-dan-jajaran-dicopot">juga terjadi di Kabupaten Deli Serdang</a>, Sumatera Utara, pada bulan yang sama. Dalam kasus ini, anggota Polsek Kutalimbaru mencabuli seorang istri dari tersangka narkoba di sebuah hotel setelah pelaku meminta korban untuk bertemu dengan alasan ingin membicarakan kasus suaminya. </p>
<h2>Kekerasan seksual: memahami kompetensi dalam persetujuan</h2>
<p>Persetujuan (<em>consent</em>) selalu identik dengan keleluasaan seseorang untuk memberikan persetujuan dan kapasitasnya dalam memberikan persetujuan. Keleluasaan seseorang dalam memberikan persetujuan tidak terlepas dari kapasitas orang tersebut dalam memberikan persetujuan. </p>
<p>Dalam konteks kekerasan seksual, hal ini juga berarti bahwa suatu tindakan seksual yang dilakukan tanpa persetujuan adalah kekerasan seksual.</p>
<p>Kendati demikian, dalam beberapa kondisi, persetujuan yang diberikan dengan bebas oleh korban tidak lagi menjadi penting dalam menentukan apakah suatu tindakan termasuk ke dalam kekerasan seksual atau tidak. Kondisi yang dimaksud adalah ketika orang tersebut memang tidak memiliki kapasitas untuk memberikan persetujuan <em>(non competent consent).</em></p>
<p>Konsep <em>non competent consent</em> berangkat dari pemahaman bahwa setiap tindakan dari individu harus dilakukan dengan kesadaran penuh, maka pihak yang menyetujui harus mempunyai kompetensi dirinya adalah pihak yang cakap di depan hukum. </p>
<p>Terdapat sejumlah ukuran yang dapat dipergunakan dalam menentukan kapasitas individu untuk memberikan persetujuan. </p>
<p>Sebagian besar negara bagian di Amerika Serikat (AS), mengkategorikan <a href="https://evawintl.org/wp-content/uploads/Rape-and-Sexual-Assault-Analyses-and-Laws.pdf">mereka yang masuk ke dalam <em>non competent consent</em> adalah</a> anak-anak (bawah 18 tahun), orang dewasa rentan (berusia di atas 70 tahun), orang yang tidak memiliki kapasitas mental, orang tak berdaya, orang yang tidak sadarkan diri, dan orang dalam keadaan mabuk. </p>
<p>Ketika pihak-pihak di atas melakukan suatu tindakan seksual (seperti persetubuhan), tindakan tersebut sudah termasuk sebagai kekerasan seksual, terlepas dari adanya persetujuan yang diberikan. Persetujuan tidak lagi relevan untuk dipertanyakan dalam kondisi ini. </p>
<p>Maka penting untuk menilik lebih jauh apakah seseorang yang melakukan aktivitas atau tindakan seksual memiliki kapasitas atau kompetensi untuk memberikan persetujuan. </p>
<p>Yang harus dipastikan adalah apakah tindakan atau aktivitas seksual tersebut dilakukan di bawah keadaan-keadaan yang koersif. </p>
<p>Keadaan koersif tidak hanya sebatas pada kekerasan secara fisik, tetapi juga pada kekerasan psikis, maupun bentuk lainnya, <a href="https://www.casematrixnetwork.org/cmn-knowledge-hub/elements-digest/art-7/7-1-g-6/3/">antara lain</a> ancaman kekerasan yang menimbulkan ketakutan, rangkaian kebohongan, bujuk rayu, pemerasan, penyalahgunaan kekuasaan atau adanya relasi kuasa, dan intimidasi.</p>
<p>Kekerasan secara psikis tidak selamanya timbul melalui kekerasan atau ancaman kekerasan.</p>
<p>Sangat jelas, bahwa pelaku di Parigi telah menyalahgunakan kekuasaannya atas korban. Ini kerap terjadi pada kasus pelaku memiliki relasi kuasa dengan korban.</p>
<p>Relasi kuasa merupakan hubungan sosial yang tidak setara antara satu pihak dengan pihak lainnya: salah satu pihak memiliki kuasa lebih atas pihak lainnya. </p>
<p>Relasi kuasa menimbulkan ketidakberdayaan korban. Pada umumnya, pelaku akan memanfaatkan kerentanan, kepercayaan, dan ketergantungan korban kepadanya. Oleh karena itu, ketidakberdayaan korban juga menjadi salah satu bentuk dari <em>non competent consent</em>. </p>
<p>Dalam kasus di Parigi, persetujuan yang korban berikan merupakan bentuk keterpaksaan.</p>
<p><a href="https://case.edu/equity/sexual-harassment-title-ix/consent-incapacitation-coercion">Kondisi tidak berdaya</a> terjadi ketika seseorang tidak memiliki kapasitas untuk memahami bahwa hal yang terjadi terhadapnya merupakan tindakan atau aktivitas seksual dan akibatnya korban <a href="https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/view/236">terpaksa menerima tindakan yang akan diperbuat terhadap dirinya</a>.</p>
<p>Ketidakberdayaan dapat didasari oleh kapasitas mental dan fisik seseorang, kondisi disabilitas, atau atas dasar pengaruh alkohol atau narkotika. </p>
<p>Ukuran ketidakberdayaan bersifat subjektif sebab titik kondisi tidak berdaya setiap orang berbeda-beda dengan penyebab yang berbeda-beda pula.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kasus-kpi-potret-abainya-aparat-pada-korban-kekerasan-seksual-di-indonesia-168666">Kasus KPI: potret abainya aparat pada korban kekerasan seksual di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Ketentuan tentang perkosaan</h2>
<p>Di Indonesia, <a href="https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/wetboek-van-strafrecht-wvs/document/lt4c7b80e3e064d">Pasal 285 KUHP</a> tentang pemaksaan hubungan seksual dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan umum digunakan untuk mengatur tindak pidana perkosaan. </p>
<p>Namun, pengaturan tentang kekerasan seksual dalam bentuk persetubuhan tidak hanya terbatas pada Pasal 285 itu. </p>
<p>Terdapat beberapa pengaturan lain yang mengatur tindak pidana persetubuhan dalam KUHP, salah satunya adalah <a href="https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/wetboek-van-strafrecht-wvs/document/lt4c7b80e3e064d">Pasal 286</a>.</p>
<blockquote>
<p>“Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”</p>
</blockquote>
<p>Berbeda dengan Pasal 285 yang menekankan pada adanya kekerasan atau ancaman kekerasan, Pasal 286 mengatur kekerasan seksual sebagai tindakan yang dilakukan pada seorang perempuan yang berada dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. </p>
<p>Sayangnya, kondisi ketidakberdayaan dalam Pasal 286 selama ini hanya didefinisikan sebatas <a href="https://e-journal.fh.unmul.ac.id/index.php/risalah/article/download/209/121">ketidakberdayaan fisik</a>, yaitu mabuk, pingsan, sakit, atau kondisi lain yang menyebabkan korban tidak dapat mengadakan perlawanan sedikit pun.</p>
<p>Kendati demikian, terbuka kemungkinan Pasal 286 untuk ditafsirkan secara lebih luas daripada kondisi ketidakberdayaan fisik. </p>
<p>Secara luas, <a href="https://letsbeclear.ucf.edu/more-information/sexual-assault-and-consent/">ketidakberdayaan <em>(incapacitation)</em></a> dalam suatu hubungan seksual adalah kondisi seseorang tidak dapat membuat keputusan secara rasional dan masuk akal karena kondisi ketidakberdayaan fisik dan psikistidak sadar atau tidak paham apa yang ia alami adalah suatu hubungan seksual.</p>
<p>Kondisi korban di Parigi bisa termasuk kondisi ketidakberdayaan psikis yang disebabkan adanya kondisi relasi kuasa. Dengan demikian, Pasal 286 dapat digunakan untuk menjerat si perwira polisi.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/siapkah-polisi-menjadi-garda-terdepan-mekanisme-pelaporan-kekerasan-seksual-169726">Siapkah polisi menjadi garda terdepan mekanisme pelaporan kekerasan seksual?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Peran penting hakim dalam pemaknaan suatu ketentuan</h2>
<p>Perluasan makna ketidakberdayaan dalam Pasal 286 merupakan salah satu contoh bentuk penafsiran ekstensif yang dapat dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan.</p>
<p>Penafsiran ekstensif bersifat <a href="http://repository.unair.ac.id/38254/1/gdlhub-gdl-s3-2010-christiant-11234-th4009-k.pdf">memperluas makna yang terdapat dalam suatu aturan hukum</a> dengan tetap berpegang pada maksud asli dari aturan hukum. </p>
<p>Penafsiran semacam ini cukup <a href="https://journal.trunojoyo.ac.id/pamator/article/download/2408/1995">sering digunakan oleh hakim</a> dalam memutus perkara yang tidak ada atau tidak jelas ketentuan hukumnya.</p>
<p>Ini sejalan dengan mandat hakim miliki, yakni tidak semata menjadi corong dari undang-undang tapi juga mengadili dan memutus perkara bahkan ketika tidak ada hukum yang mengaturnya — atau kalau pun ada, aturan hukum tersebut masih kurang jelas. </p>
<p>Karena itu juga, hakim diwajibkan untuk menggali dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat, sebagaimana diamanatkan oleh <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Download/28122/UU%20Nomor%2048%20Tahun%202009.pdf">Undang-Undang (UU) tentang Kekuasaan Kehakiman</a>.</p>
<p>Perluasan makna suatu ketentuan bisa dilakukan hakim, bahkan seharusnya dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam menangani suatu kasus yang belum secara tegas diatur. </p>
<p>Ini demi menjamin keadilan bagi orang-orang seperti para korban kekerasan seksual yang berada di bawah ketidakberdayaan psikis maupun relasi kuasa.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/tertinggal-zaman-pemaknaan-perkosaan-dan-pencabulan-dalam-hukum-di-indonesia-169846">Tertinggal zaman: pemaknaan perkosaan dan pencabulan dalam hukum di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Tidak berhenti di penafsian</h2>
<p>Penggunaan penafsiran terhadap ketentuan UU yang ada dapat menjadi solusi sementara untuk menutup kekosongan maupun ketidakjelasan hukum. </p>
<p>Akan tetapi, akar permasalahannya masih ada: aturan hukum yang sudah <a href="https://theconversation.com/tertinggal-zaman-pemaknaan-perkosaan-dan-pencabulan-dalam-hukum-di-indonesia-169846">tertinggal zaman</a>, tidak relevan, dan tidak lagi mampu mengakomodasi permasalahan kekerasan seksual yang ada di Indonesia.</p>
<p>Upaya untuk merumuskan aturan kekerasan seksual yang lebih komprehensif dan akomodatif sedang dilakukan melalui pembahasan rancangan UU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). </p>
<p>Pembaruan terhadap hukum pidana juga tengah dilakukan melalui revisi KUHP, termasuk di dalamnya tindak pidana kekerasan seksual seperti <a href="http://reformasikuhp.org/data/wp-content/uploads/2015/02/RKUHP-FULLL.pdf">perkosaan dan perbuatan cabul</a>.</p>
<p>Harapannya, pembaruan pengaturan kekerasan seksual dapat menghadirkan jaminan perlindungan bagi korban-korban kekerasan seksual yang masih belum dilindungi oleh aturan hukum yang ada.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/171011/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Penting untuk menilik lebih jauh apakah seseorang yang melakukan aktivitas atau tindakan seksual memiliki kapasitas atau kompetensi untuk memberikan persetujuan (consent).Maria Isabel Tarigan, Research fellow, Indonesia Judicial Research Society Naomi Rehulina Barus, Research assistant, Indonesia Judicial Research Society Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1698462021-10-27T02:04:35Z2021-10-27T02:04:35ZTertinggal zaman: pemaknaan perkosaan dan pencabulan dalam hukum di Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/428461/original/file-20211026-13-1yztirt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=39%2C0%2C4382%2C2899&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Novrian Arbi/Antara Foto</span></span></figcaption></figure><p>Kasus dugaan pemerkosaan tiga anak oleh ayah kandungnya di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, kembali mendapat sorotan. Kepolisian mengatakan bahwa yang terjadi terhadap tiga anak berumur di bawah 10 tahun terkait <a href="https://nasional.tempo.co/read/1516918/bukan-pemerkosaan-polri-sebut-kasus-di-luwu-timur-dugaan-pencabulan/full&view=ok">bukan pemerkosaan, melainkan pencabulan</a>. </p>
<p>Melalui <a href="https://nasional.tempo.co/read/1516918/bukan-pemerkosaan-polri-sebut-kasus-di-luwu-timur-dugaan-pencabulan/full&view=ok">konferensi pers daring pada Rabu, 13 Oktober 2021</a>, Kepala Biro Penerangan Masyarakat dari Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, Brigadir Jenderal Rusdi Hartono, menjelaskan lebih lanjut bahwa dugaan ini didasarkan pada hasil visum di Puskesmas Malili yang diterima pada 15 Oktober 2019. </p>
<p>Menurut hasil wawancara polisi terhadap salah satu dokter, didapati bahwa tidak ada kelainan pada organ kelamin dan dubur korban. </p>
<p>Di lain pihak, dokter yang berbeda di Rumah Sakit Vale Sorowako menemukan peradangan di sekitar vagina dan dubur korban. Dalam perjalanannya, Kepolisian Resor Luwu Timur menghentikan penyelidikan kasus pemerkosaan karena dinilai kurang bukti.</p>
<p>Pernyataan polisi tersebut mendapatkan <a href="https://www.suara.com/news/2021/10/13/093538/polri-sebut-kasus-3-anak-di-luwu-bukan-pemerkosaan-tapi-pencabulan-publik-ngegas-emosi">respon negatif dari masyarakat luas</a> terkait perbedaan antara ‘pencabulan’ dan ‘pemerkosaan’, serta ancaman hukuman terkait.</p>
<p>Sebenarnya apa perbedaan antara tindak pidana perkosaan dan pencabulan? Apa dampaknya secara hukum dari penggunaan kedua istilah tersebut?</p>
<h2>Perkosaan dan pencabulan</h2>
<p>Secara umum, perkosaan dan pencabulan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). </p>
<p>Perkosaan diatur dalam <a href="https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/wetboek-van-strafrecht-wvs/document/lt4c7b80e3e064d">Pasal 285 KUHP</a> sebagai berikut.</p>
<blockquote>
<p><em>“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”</em></p>
</blockquote>
<p>Lalu, pencabulan diatur dalam <a href="https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/wetboek-van-strafrecht-wvs/document/lt4c7b80e3e064d">Pasal 289 KUHP</a> sebagai berikut.</p>
<blockquote>
<p><em>“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”</em></p>
</blockquote>
<p>Dapat kita lihat bahwa ada perbedaan mendasar antara perkosaan dan pencabulan, yakni bahwa perkosaan merupakan suatu tindakan “persetubuhan”, sedangkan pencabulan merupakan suatu “perbuatan cabul” yang <strong>bukan</strong> merupakan persetubuhan.</p>
<p>Lantas, apa yang dimaksud sebagai ‘persetubuhan’ maupun ‘perbuatan cabul’?</p>
<p>Salah satu definisi persetubuhan diutarakan oleh <a href="https://e-journal.fh.unmul.ac.id/index.php/risalah/article/download/209/121">R. Soesilo dengan mengacu pada Arrest Hoge Raad</a> (putusan Mahkamah Agung Belanda) pada 5 Februari 1912, yakni “peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi alat kelamin laki-laki harus masuk ke dalam alat kelamin perempuan sehingga mengeluarkan air mani.”</p>
<p>Buku R. Soesilo tentang KUHP merupakan salah satu buku ‘klasik’ di dunia hukum Indonesia.</p>
<p>Lebih lanjut, riset <a href="http://mappifhui.org/wp-content/uploads/2016/12/Reformasi-Pengaturan-Tindak-Pidana-Perkosaan.pdf">Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia – Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI)</a> pada 2016 terhadap 50 putusan peradilan terkait perkosaan menunjukkan bahwa seluruh putusan tersebut mendefinisikan persetubuhan sebagai “penetrasi terhadap vagina oleh penis”, terlepas ada atau tidaknya air mani.</p>
<p>Akan tetapi, 41 dari 50 putusan yang diteliti tetap menyinggung keberadaan sperma atau air mani - baik yang dikeluarkan di dalam vagina maupun di luar - dalam pertimbangannya.</p>
<p>R. Soesilo juga mendefinisikan perbuatan cabul, yakni segala perbuatan yang melanggar kesusilaan atau kesopanan, atau dapat pula merupakan suatu perbuatan keji yang masuk dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya mencium, meraba anggota kemaluan, meraba buah dada, dan sebagainya.</p>
<p>Hingga saat ini, definisi perkosaan dan pencabulan telah mengalami perkembangan. </p>
<p>Pada tahun 2004, Undang-Undang (UU) Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga <a href="https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/24.pdf">( PKDRT)</a> menetapkan sebuah ketentuan dalam Pasal 46 yang yang menutup kekosongan hukum dalam KUHP yang awalnya hanya mengatur perkosaan sebagai perbuatan yang dilakukan di luar ikatan perkawinan.</p>
<p>Tidak hanya itu, Pasal 76D dan 76E <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Download/28052/UU%20Nomor%2035%20Tahun%202014.pdf">UU Perlindungan Anak</a> tahun 2002 — dan diperbarui pada 2014 — mengatur pula bahwa unsur kekerasan atau ancaman kekerasan tidak dibutuhkan dalam membuktikan adanya perkosaan atau pencabulan terhadap anak. </p>
<p>Sepanjang terdapat bukti bahwa perbuatan cabul atau persetubuhan terhadap anak tersebut terjadi, pelaku sudah dapat dijerat dengan pemidanaan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/pembahasan-ruu-pks-menilik-proses-dan-permasalahan-legislasi-142561">Pembahasan RUU PKS: menilik proses dan permasalahan legislasi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Masalah pemaknaan istilah</h2>
<p>Pemaknaan perkosaan dan pencabulan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia masih menimbulkan masalah.</p>
<p>Pemaknaan persetubuhan dalam perkosaan, misalnya, masih terbatas pada penetrasi penis dan vagina — dan dalam banyak kasus — sampai mengeluarkan air mani. </p>
<p>Penafsiran ini akan menyulitkan proses pembuktian pada kasus persetubuhan yang dilakukan dengan memakai kondom, atau ketika <a href="https://www.google.com/url?q=https://www.hopkinsmedicine.org/health/conditions-and-diseases/azoospermia&sa=D&source=docs&ust=1635219748124000&usg=AOvVaw3HSEd4koydNQPWqc15rSHz">pelaku (laki-laki) menderita azoospermia</a> — yakni kegagalan pembentukan sperma atau tidak adanya spermatozoa di dalam semen.</p>
<p>Tidak hanya itu, dengan definisi perkosaan saat ini, maka tindakan pelaku yang menggesekkan atau menempelkan alat kelaminnya ke alat kelamin perempuan (tidak sampai masuk) tidak dapat diklasifikasikan sebagai tindakan persetubuhan. </p>
<p>Sama halnya dengan penetrasi alat kelamin laki-laki atau penetrasi benda selain alat kelamin ke anggota tubuh lain pada korban, misalnya mulut (oral) maupun anus (anal). Perbuatan-perbuatan ini hanya akan dijerat sebagai pencabulan.</p>
<p>Pasal 285 KUHP juga secara spesifik menyebutkan perkosaan sebagai tindakan yang dilakukan kepada perempuan, sedangkan Pasal 289 tidak membatasi klasifikasi pelaku dan korban dalam perbuatan cabul - baik laki-laki maupun perempuan, keduanya dapat menjadi korban maupun pelaku.</p>
<p>Hal ini berarti bahwa persetubuhan yang dilakukan kepada laki-laki — selain dalam konteks rumah tangga atau terhadap anak — tidak dapat diklasifikasikan sebagai perkosaan, melainkan sebagai pencabulan.</p>
<p>Padahal, ancaman pidana maksimal pada pencabulan adalah 9 tahun; ini 3 tahun lebih rendah dibanding ancaman pidana pada perkosaan.</p>
<p>Perkosaan maupun pencabulan secara umum juga mensyaratkan adanya paksaan dalam bentuk kekerasan dan ancaman kekerasan oleh pelaku. </p>
<p>Padahal, jika kita berkaca pada definisi global, suatu tindakan seksual kepada orang sudah termasuk sebagai kekerasan seksual <a href="https://www.google.com/url?q=https://rapecrisis.org.uk/get-informed/about-sexual-violence/sexual-consent/&sa=D&source=docs&ust=1635219748125000&usg=AOvVaw2nbMHnbDUtmLaQsZpn2Hfo">ketika dilakukan tanpa persetujuan (<em>consent</em>) dari orang lain tersebut</a>.</p>
<p>Konsep persetujuan dalam hal ini juga berarti bahwa orang lain tersebut memiliki kapasitas untuk memberikan persetujuannya, salah satunya adalah bahwa ia berada dalam <a href="https://www.kompas.com/sains/read/2020/12/11/190700723/penting-untuk-dipahami-apa-itu-consent-atau-persetujuan-seksual-?page=all">kondisi yang sadar, sukarela, dan tidak mengalami keadaan koersif</a>. </p>
<p>Keadaan koersif dalam hal ini tidak sebatas paksaan berupa kekerasan atau ancaman kekerasan namun juga <a href="https://www.google.com/url?q=http://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/42495/9241545615_eng.pdf;jsessionid%3D2AA4C9F51DA6C6C4BEDA9A579BB1A2D4?sequence%3D1&sa=D&source=docs&ust=1635219748117000&usg=AOvVaw3lHc-1RwRaGJkV34M4jZya">tipu muslihat, relasi kuasa, dan tipu daya</a>.</p>
<p>Kondisi-kondisi ini masih belum diakomodasi dalam pemaknaan perkosaan dan pencabulan sebagai kekerasan seksual dalam tataran peraturan perundang-undangan di Indonesia.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/menilik-konsep-consent-dalam-ilmu-hukum-benarkah-mendorong-hubungan-seks-di-luar-pernikahan-158081">Menilik konsep "consent" dalam ilmu hukum: benarkah mendorong hubungan seks di luar pernikahan?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Perlu pendefinisian ulang</h2>
<p>Saat ini, pengaturan mengenai tindak pidana, termasuk tindak pidana kekerasan seksual, sedang dirumuskan ulang melalui rancangan undang-undang.</p>
<p>Ini menjadi momentum untuk mendefinisikan ulang tindak pidana kekerasan seksual, terutama perkosaan. Masih banyak kondisi dan kebutuhan yang belum dapat diakomodasi dalam pemaknaan tindak pidana perkosaan saat ini.</p>
<p>Sebagai pembanding, <a href="https://www.bjs.gov/arrests/templates/introduction.cfm">Federal Bureau Investigation (FBI)</a> di Amerika Serikat (AS), awalnya mendefinisikan perkosaan sebagai hubungan seksual yang dilakukan kepada perempuan secara paksa dan bertentangan dengan keinginannya. Definisi ini berlaku sejak tahun 1980-an sampai dengan 2013.</p>
<p>Melalui <a href="https://ucr.fbi.gov/crime-in-the-u.s/2013/crime-in-the-u.s.-2013/violent-crime/rape/rapemain_final.pdf">Uniform Crime Report (UCR)</a> pada 2013, FBI melakukan pembaruan terhadap definisi perkosaan. </p>
<p>Tindak pidana perkosaan menurut FBI kini memiliki definisi dan cakupan yang lebih luas, yakni <em>penetrasi, sekecil apapun, terhadap vagina atau anus dengan menggunakan anggota tubuh atau benda, atau penetrasi oral dengan alat kelamin orang lain, tanpa persetujuan dari korban</em>.</p>
<p>Definisi ini dapat dipertimbangkan oleh pembuat kebijakan di Indonesia. </p>
<p>Selain menghapus klasifikasi spesifik terhadap pelaku dan korban, definisi ini juga memperluas cakupan persetubuhan serta menekankan pada pentingnya persetujuan.</p>
<p>Ketiadaan persetujuan dari korban — dengan cara apapun — sudah cukup untuk menjerat pelaku atas tindak pidana perkosaan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/169846/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Apa perbedaan antara tindak pidana perkosaan dan pencabulan? Apa dampaknya secara hukum dari penggunaan kedua istilah tersebut?Maria Isabel Tarigan, Research fellow, Indonesia Judicial Research Society Naomi Rehulina Barus, Research assistant, Indonesia Judicial Research Society Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1697262021-10-14T03:51:14Z2021-10-14T03:51:14ZSiapkah polisi menjadi garda terdepan mekanisme pelaporan kekerasan seksual?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/426355/original/file-20211014-21-1n8a3u5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C3712%2C1976&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Prasetia Fauzani/Antara Foto</span></span></figcaption></figure><p>Pekan kemarin, jagat media sosial diramaikan dengan hasil reportase Project Multatuli tentang <a href="https://projectmultatuli.org/kasus-pencabulan-anak-di-luwu-timur-polisi-membela-pemerkosa-dan-menghentikan-penyelidikan/">proses pelaporan kasus tiga anak korban perkosaan di Luwu Timur, Sulawesi Selatan</a>. </p>
<p>Reportase ini menggambarkan perjalanan seorang ibu yang berupaya untuk mencari keadilan bagi ketiga anaknya dengan melaporkan kasus tersebut ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan Kepolisian Resor Luwu Timur hingga Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan. Namun, upaya tersebut tidak membuahkan hasil dan bahkan melalui proses yang sangat menyedihkan.</p>
<p>Kisah ini kemudian memunculkan berbagai respons dari masyarakat yang diikuti dengan ramainya tagar <a href="https://twitter.com/hashtag/PercumaLaporPolisi">#PercumaLaporPolisi</a> di berbagai platform media sosial. </p>
<p>Kesaksian-kesaksian yang muncul dengan tagar tersebut menggambarkan ketidakpuasan, kekecewaan, dan ketidakpercayaan masyarakat ketika berurusan dengan polisi dalam berbagai perkara termasuk kasus kekerasan seksual. </p>
<h2>(Tidak) melaporkan kekerasan seksual</h2>
<p>Ramainya #PercumaLaporPolisi menunjukkan ada anggapan di masyarakat bahwa urusan melaporkan masalah hukum kepada lembaga negara bukan hal yang mudah dilakukan. </p>
<p>Temuan penelitian mengkonfirmasi hal ini. <a href="http://ijrs.or.id/indeks-terhadap-keadilan-di-indonesia-tahun-2019/">Indeks Akses terhadap Keadilan di Indonesia tahun 2019 </a> menunjukkan bahwa 38% masyarakat Indonesia yang mengalami masalah hukum memilih untuk tidak melakukan apapun terhadap masalah hukumnya. Mereka khawatir dan takut jika melapor, maka masalahnya akan jadi lebih rumit. </p>
<p>Menariknya, sebagian besar masyarakat (60,5%) yang mau melaporkan masalah hukumnya, justru memilih untuk melapor ke lembaga non-negara atau ke mekanisme informal seperti ke keluarga atau ke pengurus Rukun Tetangga, Rukun Warga, atau desa, kelurahan setempat.</p>
<p>Studi tersebut juga menemukan bahwa sebagian besar (52%) anggota masyarakat yang enggan melakukan apa pun terhadap masalah hukumnya tersebut adalah perempuan. </p>
<p>Temuan ini dikuatkan oleh hasil <a href="http://ijrs.or.id/laporan-studi-kuantitatif-barometer-kesetaraan-gender/">Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender</a> dari International NGO Forum Indonesia (INFID) dan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) pada 2020 yang menunjukkan bahwa 57,3% responden dengan pengalaman kekerasan seksual — yang mayoritas adalah perempuan — memutuskan untuk tidak melaporkan perkara kekerasan seksual yang dialami. </p>
<p>Alasan mereka beragam, mulai dari takut, malu, hingga tidak tahu harus melapor ke mana. </p>
<p>Sebagian besar responden (57%) yang mengalami kekerasan seksual mengatakan pada akhirnya tidak memperoleh penyelesaian dalam masalah yang mereka alami. </p>
<p>Jika pun ada penyelesaian, hasil yang didapat tidak mengutamakan kepentingan terbaik korban contohnya seperti dengan membayar sejumlah uang hingga <a href="https://theconversation.com/nikahin-aja-penanganan-kasus-pemerkosaan-dan-kekerasan-seksual-selama-ini-belum-fokus-pada-pemulihan-dan-hak-korban-163011">dinikahkan dengan pelaku kekerasan seksual</a>.</p>
<p>Di sisi lain, ada hambatan dari sisi penegak hukum. </p>
<p>Mayoritas responden menganggap penanganan aparat penegak hukum terhadap perkara kekerasan seksual itu cenderung responsif. Namun responden yang menjawab demikian adalah mereka belum pernah mengalami kekerasan seksual. </p>
<p>Sebaliknya, mayoritas responden yang beranggapan aparat tidak responsif adalah mereka pernah mengalami kekerasan seksual. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengantre-viral-perjuangan-korban-kekerasan-seksual-di-indonesia-167913">Mengantre viral: perjuangan korban kekerasan seksual di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Polisi di garda terdepan</h2>
<p>Di sisi lain, riset yang sama menunjukkan bahwa 43,8% responden yang tahu harus melapor ke mana ketika mengalami kekerasan seksual akhirnya lebih memilih untuk melapor ke polisi apabila mereka mengalami kekerasan seksual. </p>
<p>Bahkan, temuan Indeks Akses terhadap Keadilan di Indonesia tahun 2019 juga menunjukkan bahwa secara umum (72,1%) masyarakat percaya kepada kepolisian untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang dialami. </p>
<p>Ini menunjukkan bahwa di satu sisi, ada harapan dan ekspektasi besar dari masyarakat terhadap kepolisian. Namun, di sisi lain bisa saja masyarakat sebetulnya tidak punya pilihan lain untuk melaporkan perkara kekerasan seksual yang dialaminya. </p>
<p>Kantor-kantor polisi tersebar hingga level administratif paling bawah untuk memudahkan masyarakat untuk membuat pelaporan masalah hukum. Sehingga dapat dikatakan, bahwa kepolisian merupakan garda terdepan dalam pelaporan kekerasan seksual. </p>
<p>Sayangnya, mekanisme pelaporan yang telah disediakan oleh kepolisian untuk penanganan kekerasan seksual <a href="http://www.westcoastleaf.org/wp-content/uploads/2018/11/We-Are-Here-Executive-Summary.pdf">belum didukung adanya perspektif perlindungan korban yang baik dari beberapa anggota polisi</a>. </p>
<p>Alih-alih memperoleh perlindungan dan bantuan, saat melaporkan kekerasan seksual yang dialami, para korban justru mengalami menjadi korban kembali serta harus menghadapi pertanyaan yang seringkali menyudutkan, tidak empati, hingga melecehkan. </p>
<p>Selain itu, tidak hanya polisi namun juga aparat penegak hukum secara umum <a href="http://repository.upstegal.ac.id/3617/2/Dinar%20Mahardika%20%26%20Erwin_Perlindungan%20hukum.pdf">cenderung abai terhadap kondisi psikologis korban</a> yang menyebabkan korban yang mengalami kekerasan seksual harus menghadapi proses hukum yang panjang dengan perilaku aparat yang tidak empatik.</p>
<p>Wajar bila para korban memutuskan untuk mengandalkan mekanisme informal atau pihak-pihak di luar negara untuk penyelesaian permasalahan hukumnya. </p>
<p>Maka menjadi pertanyaan, apakah polisi dapat benar-benar siap menjadi garda terdepan pelaporan perkara kekerasan seksual? </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kasus-kpi-potret-abainya-aparat-pada-korban-kekerasan-seksual-di-indonesia-168666">Kasus KPI: potret abainya aparat pada korban kekerasan seksual di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Menyiapkan polisi</h2>
<p>Ketika terdapat korban kekerasan seksual yang melapor, petugas polisi seharusnya menciptakan suasana yang kondusif dan nyaman bagi korban untuk menceritakan masalahnya. Polisi seharusnya memastikan keberadaan pendamping korban, jaminan keselamatan korban, adanya pernyataan atau pertanyaan yang tidak menghakimi dan menghargai korban hingga jaminan terwujudnya akses keadilan. </p>
<p>Ini bukan sesuatu yang baru; semua poin ini telah tercantum dalam <a href="https://ntb.polri.go.id/reskrimum/wp-content/uploads/sites/22/2018/03/peraturan-kapolri-nomor-3-tahun-2008-tentang-pembentukan-ruang-pelayanan-khusus-dan-tata-cara-pemeriksaan-saksi-dan-korban.pdf">Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No. 3 tahun 2008</a> tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana yang dikhususkan untuk perempuan dan anak. </p>
<p>Selain itu, langkah-langkah untuk memastikan perlindungan korban perempuan dan anak juga telah ditetapkan dalam berbagai pengaturan seperti <a href="https://www.bphn.go.id/data/documents/14uu031.pdf">Undang-Undang (UU) No. 31 Tahun 2014 dan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban</a>; <a href="https://www.kpai.go.id/hukum/undang-undang-uu-ri-no-11-tahun-2012-tentang-sistem-peradilan-anak">UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak</a>; dan <a href="https://www.bphn.go.id/data/documents/14uu035.pdf">UU No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan terhadap UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak</a>. </p>
<p>Polisi sebagai aparat hukum negara perlu menelaah kembali dan menerapkan prinsip-prinsip perlindungan korban, perempuan, dan anak sesuai berbagai UU tersebut ketika menangani pelaporan perkara kekerasan seksual.</p>
<p>Selain itu, dalam mekanisme pelaporan kekerasan seksual, secara lebih khusus, polisi perlu juga memperhatikan kondisi fisik, psikis maupun kebutuhan pemulihan korban. </p>
<p>Ini dapat dilakukan dengan memastikan adanya penasihat/pendamping hukum, pendamping psikologis hingga pendamping sosial bagi korban.</p>
<p>Untuk memahami kondisi-kondisi tersebut, polisi dapat meminta rekomendasi atau mendorong adanya peran dari pemangku kepentingan lain seperti psikolog, dokter, pekerja sosial, maupun pendamping di penyedia layanan setempat. </p>
<p>Hal-hal ini dapat berimplikasi pada proses penyelesaian perkara secara keseluruhan. Langkah-langkah ini dapat dan telah dilakukan oleh aparat penegak hukum lain sehingga hal ini juga sangat mungkin dilakukan oleh polisi. </p>
<p>Berbagai tindakan polisi yang tidak empatik, diskrimatif, dan tidak melindungi korban masih kerap dilaporkan. Maka peningkatan kapasitas secara mendalam dan komprehensif tentang penanganan perkara yang melibatkan perempuan dan anak masih perlu dan harus terus dilakukan baik kepada calon anggota polisi maupun polisi yang telah bertugas. </p>
<p>Yang tidak kalah penting juga adalah penguatan di sektor non-negara, mengingat terdapat kecenderungan yang tinggi dari masyarakat dalam melaporkan masalah hukum ke pihak-pihak di luar negara. </p>
<p>Penguatan tokoh atau aktor yang dipercaya masyarakat dapat diberikan untuk menerima, merespons atau bahkan meneruskan pelaporan masalah hukum. </p>
<p>Apalagi, pada perkara kekerasan seksual di mana korban yang takut dan malu untuk melapor, maka peran pihak-pihak yang dipercaya inilah yang dapat mendorong akses terhadap keadilan yang lebih luas.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/169726/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Arsa Ilmi Budiarti tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Urusan melaporkan masalah hukum kepada lembaga negara bukanlah hal yang mudah dilakukan. Namun, polisi harus siap menjadi garda terdepan khususnya di pelaporan kekerasan seksual.Arsa Ilmi Budiarti, Peneliti, Indonesia Judicial Research Society Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1679132021-10-01T03:30:56Z2021-10-01T03:30:56ZMengantre viral: perjuangan korban kekerasan seksual di Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/423064/original/file-20210924-17-1kroyt7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Sigid Kurniawan/Antara Foto</span></span></figcaption></figure><p>Dugaan kasus kekerasan seksual terhadap <a href="https://grafis.tempo.co/read/2794/kronologi-dugaan-pelecehan-seksual-dan-perundungan-terhadap-pegawai-kpi">seorang pegawai laki-laki di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)</a> membuat publik marah. </p>
<p>Kasus itu menjadi perhatian publik karena korban bercerita di media sosial, lalu kemudian viral. Korban merasa tidak memiliki jalan lain untuk memperoleh keadilan.</p>
<p>Sama seperti halnya perempuan korban kekerasan seksual, laki-laki yang menjadi korban juga mendapatkan <a href="https://www.amnesty.id/susahnya-menjadi-korban-kekerasan-seksual-di-indonesia/">stigma sosial</a> yang secara khusus mempertanyakan maskulinitasnya. </p>
<p>Stigma sosial yang berakar pada internalisasi <a href="https://www.rutgers.international/sites/rutgersorg/files/PDF/E4A-National-Report-single.pdf">norma gender yang merugikan</a> ini membuat korban sulit mengakses keadilan. </p>
<p>Survei daring tentang kekerasan seksual yang diadakan Lentera Sintas Indonesia dan Magdalene pada 2016 menemukan bahwa 93% penyintas kekerasan seksual <a href="https://magdalene.co/story/93-persen-penyintas-tak-laporkan-pemerkosaan-yang-dialami-survei">tidak pernah melaporkan kasus mereka ke aparat penegak hukum</a>. Korban cenderung takut bersuara karena malu, adanya <a href="https://metro.tempo.co/read/1448448/korban-pelecehan-seksual-takut-lapor-komnas-perempuan-relasi-kuasa/full&view=ok">relasi kuasa tidak seimbang</a> serta <a href="https://theconversation.com/tantangan-dalam-pengungkapan-dan-penanganan-kasus-kejahatan-seksual-pada-setahun-pandemi-covid-19-159828">pembuktian kasus</a> yang rumit. </p>
<p>Indonesia membutuhkan hukum tentang kekerasan seksual yang lebih spesifik dan menyeluruh agar menjadi viral tidak menjadi satu-satunya jalan keluar.</p>
<h2>Mencari keadilan lewat media sosial</h2>
<p>Melalui unggahannya di media sosial, sang pegawai KPI mengaku <a href="https://grafis.tempo.co/read/2794/kronologi-dugaan-pelecehan-seksual-dan-perundungan-terhadap-pegawai-kpi">telah mengambil berbagai upaya untuk mendapatkan keadilan</a> namun hasilnya nihil. </p>
<p>Kronologi yang ia bagikan kemudian <a href="https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/429859/viral-pelecehan-seksual-di-kpi-dpr-minta-pelaku-dikukum-tegas">menjadi viral</a> dan <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210902202909-12-689072/polisi-periksa-sopir-usut-kasus-pelecehan-seksual-di-kpi">mendapatkan perhatian</a>. </p>
<p>Ini bukan kali pertama cerita mengenai kekerasan seksual viral di media sosial dan mendapatkan perhatian publik. Urutan ceritanya kurang lebih sama dan berulang. </p>
<p><em>Pertama</em>, korban merasa <a href="https://magdalene.co/story/perempuan-korban-kekerasan-seksual-sulit-cari-keadilan-hukum">sulit mengakses keadilan</a> dengan berbagai alasan seperti kurangnya alat bukti, anjuran untuk menyelesaikan secara “kekeluargaan”, dan tidak mendapatkan penyelesaian yang memuaskan. </p>
<p><em>Kedua</em>, kekerasan seksual berulang dan dialami oleh lebih banyak orang. Hal ini terlihat pada kasus <a href="https://metro.tempo.co/read/1501836/pelecehan-seksual-dan-perundungan-di-kpi-komisioner-serahkan-ke-polisi/full&view=ok">kekerasan seksual di KPI yang berulang</a> pada orang yang sama, dan kasus <a href="https://tirto.id/testimoni-kekerasan-seksual-174-penyintas-79-kampus-29-kota-dmTW">kekerasan seksual di lingkungan kampus</a> yang menimpa lebih banyak mahasiswa. </p>
<p><em>Ketiga</em>, korban merasa belum puas dan mencoba mencari keadilan melalui jalan lain yakni dengan membagikan ceritanya di media sosial. Dalam beberapa kasus, tidak selalu korban yang secara langsung bercerita (atau istilah populernya <em><a href="https://magdalene.co/story/shaming-pelaku-kekerasan-seksual-bisa-efektif-tapi-berisiko-bagi-korban">spill the tea</a></em>), teman atau pendamping korban juga berperan dalam membagikan cerita tersebut. </p>
<p><em>Keempat</em>, setelah korban maupun penyintas membagikan ceritanya di media sosial ada dua kemungkinan yang terjadi yakni menjadi viral atau terkubur dalam belantara ruang siber.</p>
<p>Kasus kekerasan seksual yang menjadi viral patut dirayakan, setidaknya karena membuat publik memberikan dukungan dan menaruh perhatian pada kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi.</p>
<p>Meski demikian, menjadi viral baru sebuah awalan untuk proses penyelesaian kasus yang panjang dan berliku. </p>
<p>Cerita viral tidak selalu berakhir bahagia. Beberapa cerita berakhir tanpa penyelesaian dan bahkan berujung pada <a href="https://nasional.kompas.com/read/2019/07/30/09564421/7-tahun-baiq-nuril-berawal-dari-pelecehan-tersangka-uu-ite-hingga-terima?page=all">kriminalisasi korban</a> dengan <a href="https://tirto.id/korban-pelecehan-seksual-dijerat-uu-ite-oleh-satpol-pp-surabaya-cUkX">Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)</a>. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kasus-kpi-potret-abainya-aparat-pada-korban-kekerasan-seksual-di-indonesia-168666">Kasus KPI: potret abainya aparat pada korban kekerasan seksual di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Aktivisme tagar</h2>
<p>Aktivisme tagar (<em>hashtag activism</em>) sebagai sebuah tindakan untuk membangun dukungan publik atau menunjukkan perlawanan (protes massa) melalui media sosial telah berkembang sebagai pendekatan yang populer. </p>
<p>Aktivisme tagar adalah fenomena unik abad ke-21: orang-orang yang memiliki tujuan spesifik <a href="https://www.amazon.com/HashtagActivism-Networks-Gender-Justice-Press/dp/0262043378">menggunakan media sosial — khususnya Twitter — untuk mendorong perubahan sosial</a>. </p>
<p>Aktivisme tagar juga memungkinkan perubahan di dunia nyata terjadi.</p>
<p>Berbeda dengan praktik aktivisme pada umumnya, <a href="https://www.researchgate.net/publication/326655352_Social_Media_and_Hashtag_Activism">aktivisme tagar tidak memerlukan tindakan apa pun dari pengguna selain ‘berbagi’ atau ‘menyukai’ unggahan di media sosial</a>.</p>
<p>Aktivisme ini memberikan kesempatan bagi orang biasa — yang tidak memiliki akses ke bentuk-bentuk kekuasaan tradisional — menciptakan narasi baru maupun narasi tandingan yang politis dan <a href="https://mitpress.mit.edu/books/hashtagactivism">menarik sekutu</a>. </p>
<p>Meski membuka peluang bagi siapa pun, aktivime tagar khususnya di Twitter memiliki mesin logika sendiri. </p>
<p>Dalam beberapa kasus, tokoh publik (selebriti, aktris, <em>influencer</em>, politikus, pejabat) memiliki peranan dalam memperluas jejaring aktivisme di internet.</p>
<p>Dalam isu kekerasan seksual, aktivisme tagar menjadi menarik karena memberi ruang bagi perbincangan isu yang selama ini terkurung di ruang privat. </p>
<p>Selain berfungsi sebagai medium untuk mengorganisasi dan menggalang dukungan untuk korban, aktivisme tagar secara tidak langsung membangun kesadaran publik terkait diskursus dan urgensi kekerasan seksual. </p>
<p>Hal ini tercermin pada aktivisme tagar <a href="https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4296200/gerakan-kitaagni-korban-tuntut-pemerkosa-di-drop-out">#KitaAgni</a> dan <a href="https://tirto.id/kekerasan-seksual-di-kampus-djiR">#NamaBaikKampus</a> yang menjadi medium bersuara bagi korban dan penyintas, ruang advokasi, dan perbincangan kritis isu kekerasan seksual di lingkungan kampus. </p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1060411409287135232"}"></div></p>
<h2>Tantangan kebijakan</h2>
<p>Membagikan cerita kekerasan seksual di media sosial menjadi jalan alternatif yang dipilih korban dan penyintas untuk mendapatkan keadilan - atau setidaknya untuk sekadar diakui pengalamannya. </p>
<p>Namun, apakah korban kekerasan seksual harus menunggu cerita mereka viral terlebih dulu untuk mendapatkan respons dari aparat penegak hukum? </p>
<p>Jika media sosial telah bergerak maju dan membuka kesempatan bagi korban untuk bersuara, bagaimana dengan sistem hukum?</p>
<p>Sejauh ini, Indonesia belum memiliki <a href="https://www.voaindonesia.com/a/indonesia-belum-miliki-uu-komprehensif-yang-beri-akses-keadilan-pada-perempuan-korban/4818757.html">payung hukum</a> yang secara spesifik dan komprehensif mengatur tentang kekerasan seksual. <a href="https://nasional.kompas.com/read/2021/07/12/15224231/kejahatan-seksual-marak-terjadi-kuhp-dinilai-perlu-disempurnakan?page=all">Hukum yang ada</a> hanya mengatur tindak pidana perkosaan dan perbuatan cabul yang tertuang dalam Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (KUHP). </p>
<p>Pengaturan tersebut juga belum mengakomodasi berbagai bentuk kekerasan seksual lainnya seperti; perkosaan terhadap laki-laki, pemaksaan aborsi, perkosaan dalam perkawinan, eksploitasi seksual, dan lain-lain. </p>
<p>KUHP masih <a href="https://hukum.tempo.co/read/1055000/pelecehan-seksual-dalam-hukum-kita/full&view=ok">berfokus pada penghukuman pelaku</a> alih-alih secara bersamaan memfasilitasi pemulihan bagi korban kekerasan seksual.</p>
<p>Pada pelaksanaannya, laporan korban kekerasan seksual sering kali tidak diterima, <a href="http://indonesianfeministjournal.org/index.php/IFJ/article/view/235">proses hukum yang berjalan lambat atau bahkan terhenti di tengah jalan</a>, hingga adanya sikap seksisme yang dihadapi korban dan para pendamping hukum. </p>
<p><a href="http://indonesianfeministjournal.org/index.php/IFJ/article/view/233/243">KUHP tidak secara eksplisit berorientasi kepada kepentingan korban</a>. Korban masih dilihat sebagai pihak yang membantu mengungkapkan perkara semata, bukan pihak yang telah mengalami kerugian sehingga perlu mendapat perlindungan dan pemulihan.</p>
<p>Lebih jauh, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (yang kemudian diubah namanya menjadi <a href="https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-komnas-perempuan-tentang-ruu-tindak-pidana-kekerasan-seksual-jakarta-10-september-2021">RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual</a>) yang diperjuangkan oleh masyarakat sipil pun masih dalam tahap penyusunan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) setelah <a href="https://mediaindonesia.com/humaniora/238773/ruu-pks-gagal-disahkan">gagal disahkan dalam masa persidangan DPR periode 2014-2019</a>. </p>
<p>Kita mengharap RUU ini menjadi payung hukum untuk melindungi dan memberikan jaminan <a href="http://indonesianfeministjournal.org/index.php/IFJ/article/view/97">akses keadilan, kebenaran, dan pemulihan bagi korban</a> kekerasan seksual (perempuan, laki-laki, anak, kelompok minoritas) di berbagai ranah. </p>
<p>Namun, sayangnya draf RUU yang baru masih luput dari banyak <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210903131110-32-689315/kompaks-ruu-pks-ganti-nama-jadi-tpks-85-pasal-hilang">substansi dan prinsip mendasar</a>.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/ruu-penghapusan-kekerasan-seksual-masuk-prioritas-dpr-tapi-masyarakat-masih-memiliki-pemahaman-berbeda-beda-158303">RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masuk prioritas DPR, tapi masyarakat masih memiliki pemahaman berbeda-beda</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>RUU Penghapusan Kekerasan Seksual pada awalnya dirancang untuk menggunakan pendekatan keadilan restoratif (<em>restorative justice</em>), artinya penyelesaian perkara berbasis <a href="https://icjr.or.id/menikahkan-korban-dengan-pelaku-kekerasan-seksual-bukan-restorative-justice/">pemulihan bagi korban, pelaku, dan masyarakat</a>. </p>
<p>Meski demikian, pemerintah tidak cukup ambisius dalam memerangi kekerasan seksual di Indonesia; bahkan anggota tim ahli DPR mengatakan bahwa penghapusan kekerasan seksual <a href="https://tirto.id/ketentuan-penting-ruu-pks-hilang-dpr-harus-dengarkan-masyarakat-gjaE">mustahil dilakukan</a>.</p>
<p>Payung hukum terkait kekerasan seksual adalah kebutuhan mendesak. Kita tidak bisa lagi membiarkan korban dan penyintas berjuang sendirian, menunggu cerita mereka viral, dan terancam UU ITE dalam perjalanannya. </p>
<p>RUU Penghapusan Kekerasan Seksual semestinya ditinjau ulang dengan basis riset dan bukti empiris pengalaman korban, pendamping, dan ahli.</p>
<p>Hukum harus bergerak maju, mencegah terjadinya keberulangan kasus pada masa depan, dan memulihkan masyarakat.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/167913/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Indonesia membutuhkan hukum tentang kekerasan seksual yang lebih spesifik dan menyeluruh agar menjadi viral tidak menjadi satu-satunya jalan keluar.Nikodemus Niko, Kandidat Doktor Ilmu Sosiologi, Universitas PadjadjaranAndi Misbahul Pratiwi, Peneliti Pusat Riset Gender, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1686662021-09-24T09:51:14Z2021-09-24T09:51:14ZKasus KPI: potret abainya aparat pada korban kekerasan seksual di Indonesia<iframe src="https://open.spotify.com/embed/episode/61snwviLgvQEF6fOlqO6Wv" width="100%" height="232" frameborder="0" allowtransparency="true" allow="encrypted-media"></iframe>
<p>Awal bulan ini, muncul cerita kekerasan seksual yang terjadi pada <a href="https://tirto.id/duduk-perkara-perundungan-pelecehan-seksual-pegawai-kpi-pusat-gjas">seorang pegawai laki-laki di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)</a>. Korban diduga mengalami pemukulan, ditelanjangi, hingga dipotret kemaluannya oleh para senior di kantornya.</p>
<p>Kasus ini menambah <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-58505749">daftar panjang</a> kasus kekerasan seksual di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan.</p>
<p>Pada tahun 2018, misalnya, terjadi kasus <a href="https://theconversation.com/tidak-hanya-di-amerika-kekerasan-seksual-di-kampus-juga-marak-di-indonesia-108344">kekerasan seksual yang menimpa “Agni”</a> di Universitas Gadjah Mada (UGM). Kasus lainnya menyusul termasuk pelecehan terhadap <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181114133306-12-346485/kronologi-kasus-baiq-nuril-bermula-dari-percakapan-telepon">guru honorer Baiq Nuril</a>, berbagai kasus kekerasan seksual di kampus seperti <a href="https://tirto.id/kekerasan-seksual-di-uin-malang-dukungan-dan-ancaman-bagi-korban-dW75">UIN Malang</a> dan <a href="https://tirto.id/merunut-pelecehan-seksual-iain-kediri-korban-berharap-keadilan-gi5V">IAIN Kediri</a>, hingga kasus pemerkosaan oleh <a href="https://theconversation.com/nikahin-aja-penanganan-kasus-pemerkosaan-dan-kekerasan-seksual-selama-ini-belum-fokus-pada-pemulihan-dan-hak-korban-163011">Amri Tanjung</a> terhadap seorang perempuan di bawah umur beberapa bulan lalu.</p>
<p>Berbagai kasus di atas memiliki benang merah; para korban kesulitan mendapatkan keadilan dan dalam beberapa kasus bahkan dikriminalisasi balik.</p>
<p>Dalam episode terbaru <a href="https://open.spotify.com/show/2Iqni2kGMzbzeJxvKiTijD?si=rTTTMjejTT2DuzemiFtm9w&dl_branch=1">podcast SuarAkademia</a>, kami berbicara dengan <a href="https://theconversation.com/profiles/bestha-inatsan-ashila-946861/articles">Bestha Inatsan Ashila</a>, peneliti di <em>Indonesian Judicial Research Society</em> (IJRS), tentang lemahnya penanganan terhadap korban kekerasan seksual di Indonesia.</p>
<p>Bestha menceritakan tentang belum baiknya perlindungan bagi korban laki-laki, abainya penegak hukum saat ada laporan kasus, hingga cara-cara yang bisa kita lakukan untuk membantu korban kekerasan seksual.</p>
<p>Simak episode lengkapnya di <a href="https://open.spotify.com/show/2Iqni2kGMzbzeJxvKiTijD?si=rTTTMjejTT2DuzemiFtm9w&dl_branch=1">SuarAkademia</a> – ngobrol isu terkini bareng akademisi dan peneliti.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/168666/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Dalam episode terbaru SuarAkademia, kami berbicara dengan Bestha Inatsan Ashila dari Indonesian Judicial Research Society_(IJRS), tentang lemahnya penanganan korban kekerasan seksual di Indonesia.Luthfi T. Dzulfikar, Youth + Education EditorLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1630112021-07-02T09:01:23Z2021-07-02T09:01:23Z“Nikahin aja!”: penanganan kasus pemerkosaan dan kekerasan seksual selama ini belum fokus pada pemulihan dan hak korban<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/409456/original/file-20210702-23-o59ddi.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1581316513">(ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)</a></span></figcaption></figure><p>Beberapa saat yang lalu, masyarakat dihebohkan berita anak anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bekasi bernama Amri Tanjung (21 tahun) yang ditetapkan sebagai tersangka kasus <a href="https://megapolitan.kompas.com/read/2021/05/25/14295401/anak-anggota-dprd-bekasi-tersangka-pemerkosa-remaja-berniat-nikahi-korban?page=all">pemerkosaan dan eksploitasi secara seksual</a> seorang anak perempuan di bawah umur.</p>
<p>Kontroversi juga muncul karena pelaku berniat menghapus kesalahannya dengan cara menikahkan korban.</p>
<p>Kasus seperti itu bukan yang <a href="https://komnasperempuan.go.id/pemetaan-kajian-prosiding-detail/naskah-akademik-rancangan-undang-undang-tentang-penghapusan-kekerasan-seksual">pertama</a> <a href="https://komnasperempuan.go.id/pemetaan-kajian-prosiding-detail/naskah-akademik-rancangan-undang-undang-tentang-penghapusan-kekerasan-seksual">kali terjadi</a>.</p>
<p>Kekerasan seksual menimbulkan kerugian ekonomi dan sosial, serta berdampak pada penderitaan fisik dan psikologis. Korban juga terpapar risiko terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan dan infeksi penyakit menular seksual.</p>
<p>Dengan berbagai risiko berlapis dan berjangka panjang, korban dan keluarganya membutuhkan sistem <a href="http://ijrs.or.id/laporan-studi-kuantitatif-barometer-kesetaraan-gender/">penanganan, perlindungan, dan pemulihan</a> yang berkualitas.</p>
<p>Solusi menikahkan korban dengan pelaku tidak hanya merampas korban dari berbagai hak yang dimilikinya, tapi juga menunjukkan betapa sistem hukum di Indonesia belum memihak pada korban kekerasan seksual.</p>
<h2>Mengabaikan hak korban</h2>
<p>Dalam kasus kekerasan seksual di Indonesia, menikahkan pelaku dan korban adalah hal yang sering terjadi.</p>
<p>Berdasarkan rangkaian studi <a href="http://ijrs.or.id/laporan-studi-kuantitatif-barometer-kesetaraan-gender/">Barometer Kesetaraan Gender Tahun 2020</a> dari <em>Indonesian Judicial Research Society</em> (IJRS) yang salah satunya berbicara dengan 1.586 responden yang terlibat kasus kekerasan seksual, hanya terdapat 19,2% kasus di mana pelaku dipenjara.</p>
<p>Sebanyak 26.2% korban kekerasan seksual dalam berbagai kasus tersebut justru dinikahkan dengan pelaku sebagai penyelesaian kasus – sisanya bahkan tidak mendapatkan penyelesaian masalah di mana pelaku hanya membayar sejumlah uang.</p>
<iframe src="https://flo.uri.sh/visualisation/6613055/embed" title="Interactive or visual content" class="flourish-embed-iframe" frameborder="0" scrolling="no" style="width:100%;height:350px;" sandbox="allow-same-origin allow-forms allow-scripts allow-downloads allow-popups allow-popups-to-escape-sandbox allow-top-navigation-by-user-activation" width="100%" height="400"></iframe>
<div style="width:100%!;margin-top:4px!important;text-align:right!important;"><a class="flourish-credit" href="https://public.flourish.studio/visualisation/6613055/?utm_source=embed&utm_campaign=visualisation/6613055" target="_top"><img alt="Made with Flourish" src="https://public.flourish.studio/resources/made_with_flourish.svg"> </a></div>
<p>Hal ini dilakukan dengan <a href="https://komnasperempuan.go.id/pemetaan-kajian-prosiding-detail/naskah-akademik-rancangan-undang-undang-tentang-penghapusan-kekerasan-seksual">dalih yang beragam</a>, dari menutup aib keluarga, agar anak yang dilahirkan memiliki ayah, hingga menghindari tanggung jawab pidana.</p>
<p>Padahal, menikahkan korban dengan pelaku berpotensi menimbulkan kekerasan yang berulang bagi korban, baik secara emosional, fisik, maupun seksual, serta merampas hak korban untuk memulihkan dirinya.</p>
<p>Alih-alih fokus pada pemulihan dan kebutuhan korban, solusi pernikahan justru mengkerdilkan kekerasan dan trauma yang dialami korban.</p>
<h2>Kesalahpahaman tentang “<em>restorative justice</em>”</h2>
<p>Survey tahun 2016 yang dilakukan <a href="http://mappifhui.org/2019/06/17/penelitian-konsistensi-putusan-perempuan-masyarakat-pemantau-peradilan-indonesia-fakultas-hukum-universitas-indonesia-mappi-fhui">Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI-FHUI)</a> menemukan bahwa 51.6% dari sekitar 2000 responden menganggap pernikahan antara pelaku dan korban kekerasan seksual bisa menjadi alasan yang layak untuk meringankan hukuman pelaku.</p>
<p>MaPPI-FHUI juga menemukan bahwa banyak putusan hakim menggunakan alasan tersebut sebagai landasan untuk meringankan hukuman – seakan kerugian yang dialami korban sebagian terhapuskan dengan terjadinya pernikahan.</p>
<p>Di sini, masih ada anggapan yang keliru terkait <em>restorative justice</em> (keadilan restoratif), yakni konsep keadilan berbasis pemulihan hak yang sering digaungkan oleh aparat penegak hukum.</p>
<p>Nampaknya, mereka mendefinisikan konsep tersebut hanya sebatas pada upaya penyelesaian konflik secara damai di luar pengadilan.</p>
<p>Padahal, menurut European Forum for Restorative Justice, <a href="https://www.euforumrj.org/sites/default/files/2020-11/Thematic%20Brief%20on%20Restorative%20Justice%20and%20Sexual%20Violence.pdf">keadilan restoratif</a> sesungguhnya adalah pendekatan yang berpusat pada pemulihan atas kerugian yang disebabkan oleh kejahatan tindak pidana. </p>
<p>Artinya, menikahkan korban dengan pelaku justru bertentangan dengan konsep keadilan restoratif karena tidak menghadirkan keadilan dan kepastian hukum yang muncul melalui proses hukum.</p>
<p>Bahkan, jalan pintas ini cenderung tidak memberi ruang dialog antara kedua pihak sehingga membungkam suara korban.</p>
<p>Oleh karena itu, penerapan keadilan restoratif pada kasus kekerasan seksual <a href="https://icjr.or.id/icjr-ijrs-dan-leip-sayangkan-pernyataan-menko-polhukam-tentang-restorative-justice-pada-kasus-perkosaan/">harus fokus melakukan setidaknya tiga hal</a>: memberikan ruang bagi korban untuk menyampaikan kerugian yang dialami, membuat pelaku menyadari dampak dari kesalahannya, untuk pelaku kemudian menjalani konsekuensinya secara hukum.</p>
<p>Di Indonesia, belum ada cetak biru yang jelas dari pemerintah terkait penerapan keadilan restoratif pada kasus kekerasan seksual. </p>
<p>Namun, negara lain sudah menerapkannya dengan praktik yang beda-beda – ada yang dilakukan setelah pelaku dipidana ataupun bersamaan dengan proses pengadilan hukum pelaku.</p>
<p>Di Arizona, Amerika Serikat (AS), misalnya, ada <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0886260513511537">sebuah program bernama RESTORE</a>, yaitu praktik keadilan restoratif berbentuk konferensi (duduk bersama) yang ditujukan bagi kejahatan seksual yang dilakukan orang dewasa.</p>
<p>Dalam program ini, jaksa memberi rujukan, meminta persetujuan, dan akhirnya memfasilitasi korban dan pelaku agar bertemu dalam pertemuan yang aman dan konstruktif. Proses ini berjalan bersamaan dengan proses pengadilan secara terintegrasi sampai pelaku menyelesaikan masa tahanan.</p>
<p>Inti dari RESTORE adalah ganti rugi yang harus dilakukan pelaku terhadap korban.</p>
<p>Pelaku dipastikan harus menaati perjanjian saat konferensi untuk membayar ganti rugi dan permintaan lain korban, misalnya untuk tidak mengontak korban atau tidak mengunjungi korban setelah keluar tahanan, mengikuti konseling, dan seterusnya.</p>
<p>Dalam studi yang sama dari IJRS sebelumnya, misalnya, <a href="http://ijrs.or.id/laporan-studi-kuantitatif-barometer-kesetaraan-gender/">mayoritas masyarakat (56.8%)</a> Indonesia berpendapat bahwa hukuman yang tepat bagi pelaku kekerasan seksual bukan hanya penjara tapi juga pembayaran ganti rugi terhadap korban.</p>
<p>Namun, kita harus ingat bahwa penerapan unsur keadilan restoratif seperti ini juga tidak selalu cukup untuk memulihkan hak korban, terutama jika agenda utamanya adalah perdamaian antara kedua belah pihak – suatu cara berpikir yang masih kental dalam masyarakat Indonesia. </p>
<p>Misalnya, konferensi <a href="https://doi.org/10.1093/bjc/azn013">rentan menimbulkan reviktimisasi</a> – di mana korban kembali mengalami trauma dan kekerasan selama proses hukum – apalagi bila pelaku tidak kooperatif dan fasilitator tidak bijak dalam mengawasi pihak yang berpartisipasi dalam konferensi tersebut. Ada juga risiko di mana korban justru mendapat beban psikologis untuk memaafkan pelaku sehingga tujuan pemulihan tidak lagi berperspektif kebutuhan korban.</p>
<p>Oleh karena itu, konferensi seperti ini pun harus difasilitasi oleh pekerja sosial, penegak hukum, dan konselor terlatih.</p>
<h2>Negara bertanggungjawab mengutamakan pemulihan dan kebutuhan korban</h2>
<p>Berbagai hal di atas menunjukkan sistem peradilan pidana belum memberi penanganan yang efektif dan mudah diakses bagi korban kekerasan seksual.</p>
<p>Pada akhirnya, <a href="http://www.jstor.org/stable/j.ctt1ws7wbh.16">lebih dari 80% korban</a> sama sekali tidak terlibat dalam sistem peradilan pidana. </p>
<p>Penanganan kasus kekerasan seksual seharusnya lebih berpihak pada korban, keluarga korban, dan saksi. Penanganan juga harusnya dibarengi dengan <a href="https://komnasperempuan.go.id/instrumen-modul-referensi-pemantauan-detail/13-pertanyaan-kunci-tentang-pemulihan-makna-luas">sistem perlindungan, pendampingan, dan pemulihan</a> yang komprehensif dan berkelanjutan.</p>
<p>Di sini, negara lewat perangkat hukum dan aparat penegak hukum merupakan <a href="https://inlis.kemenpppa.go.id/opac/detail-opac?id=3298">aktor yang sangat penting</a> karena memiliki kewenangan dan kemampuan dalam memberikan jaminan keamanan bagi korban.</p>
<p>Kepolisian yang merupakan garda terdepan dalam pelaporan kekerasan seksual, misalnya, harus tegas dalam menindaklanjuti laporan kasus.</p>
<p>Mereka harus menghindari memberikan saran agar korban berdamai – bahkan menikah dengan pelaku – dan sebaliknya merujuk korban mendapatkan layanan medis dan psikologis yang layak, dan memberikan hak-haknya agar akses keadilan bagi korban dapat terwujud.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/163011/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Solusi menikahkan korban dan pelaku tidak hanya merampas korban dari berbagai hak yang dimilikinya, tapi juga menunjukkan betapa sistem hukum di Indonesia belum memihak pada korban kekerasan seksual.Bestha Inatsan Ashila, Peneliti, Indonesia Judicial Research Society Marsha Maharani, Research Assistant, Indonesia Judicial Research Society Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1598282021-05-31T07:58:54Z2021-05-31T07:58:54ZTantangan dalam pengungkapan dan penanganan kasus kejahatan seksual pada setahun pandemi COVID-19<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/403280/original/file-20210528-19-xxr72u.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Mahasiswi melakukan aksi unjuk rasa anti kekerasan seksual terhadap perempuan, di Padang, Sumatra Barat.</span> <span class="attribution"><span class="source">Iggoy el Fitra/Antara Foto</span></span></figcaption></figure><p>Setelah satu tahun lebih pandemi melanda, tantangan bagi korban kekerasan seksual di Indonesia semakin berat. <a href="https://www.emerald.com/insight/content/doi/10.1108/JAP-07-2020-0029/full/html">Studi global</a> menyebutkan bahwa pandemi ini membawa situasi sangat berbahaya bagi perempuan.</p>
<p>Pemerintah Indonesia sudah menerbitkan <a href="https://infeksiemerging.kemkes.go.id/download/Protokol_Penanganan_Kasus_Kekerasan_terhadap_Perempuan_di_Masa_Pandemi_COVID-19.pdf">protokol penanganan kekerasan terhadap perempuan</a> di masa pandemi COVID-19. Meski demikian, masih banyak perempuan korban yang <a href="https://komnasperempuan.go.id/uploadedFiles/1463.1614929011.pdf">tidak dapat menjangkau layanan</a> ini. </p>
<p>Kejahatan seksual tidak hanya terjadi pada ruang nyata, namun juga terjadi di dunia maya dengan adanya <a href="https://lm.psikologi.ugm.ac.id/2021/03/satu-tahun-pandemi-meningkatnya-kekerasan-basis-gender-online/">penggunaan gawai</a> secara intensif untuk kegiatan daring. Korban <a href="https://id.safenet.or.id/wp-content/uploads/2019/11/Panduan-KBGO-v2.pdf">kekerasan berbasis gender online</a> (KGBO) <a href="https://theconversation.com/kekerasan-seksual-di-internet-meningkat-selama-pandemi-dan-sasar-anak-muda-kenali-bentuknya-dan-apa-yang-bisa-dilakukan-152230">meningkat drastis</a> pada masa pandemi ini. </p>
<p><a href="https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fgwh.2020.00004/full">Kekerasan berbasis gender</a> adalah salah satu dampak pandemi yang paling terabaikan, dengan ketersediaan layanan yang tidak memadai. </p>
<h2>Darurat kejahatan seksual, sebatas pernyataan?</h2>
<p><a href="https://www.dw.com/id/pemerkosaan-berjamaah-indonesia-darurat-kekerasan-seksual/a-19233807">Presiden Joko Widodo “Jokowi”</a> mendeklarasikan darurat kejahatan seksual di Indonesia sejak 2016, namun hingga kini, produk hukum perlindungan korban yang lebih baik masih belum ada.</p>
<p><a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/08/06/12593331/sejak-2017-kasus-kekerasan-seksual-didominasi-kdrt-dan-persetubuhan">Antara 2017</a> dan 2020, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan didominasi oleh kekerasan dalam rumah tangga (KDR) dan perkosaan. </p>
<p>Ini situasi yang berlangsung sebelum pandemi melanda. </p>
<p>Pada masa pandemi, perempuan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dan mereka sangat <a href="https://www.tempo.co/dw/2347/di-masa-pandemi-corona-perempuan-indonesia-lebih-rentan-alami-kdrt">rentan mengalami KDRT</a>. Mereka <a href="https://theconversation.com/bagai-berburu-rusa-solidaritas-dan-kerja-sama-akan-menyelamatkan-kita-di-tengah-pandemi-134159">terpaksa</a> untuk berada bersama dengan pelaku kekerasan untuk waktu yang lebih lama. </p>
<p>Rancangan Undang-Undang <a href="https://tirto.id/ruu-pks-mandek-dibahas-dpr-justru-ingin-cabut-dari-prolegnas-2020-fMwj">Penghapusan Kekerasan Seksual</a> hingga kini belum juga disahkan.</p>
<p>Artinya pemerintah sendiri belum serius menangani kejahatan seksual. Indonesia adalah <a href="https://theconversation.com/mendorong-langkah-serius-negara-untuk-penghapusan-kekerasan-seksual-di-tempat-kerja-141787">satu-satunya negara di Asia Tenggara</a> yang belum memiliki payung hukum perundang-undangan yang secara khusus menaungi penanganan korban kejahatan seksual secara komprehensif.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/riset-ungkap-pemangku-kepentingan-dan-publik-mendukung-pencegahan-kekerasan-seksual-159914">Riset ungkap pemangku kepentingan dan publik mendukung pencegahan kekerasan seksual</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Gunung es data kasus</h2>
<p><a href="https://komnasperempuan.go.id/uploadedFiles/1466.1614933645.pdf">Data Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan</a> (Komnas Perempuan) mengungkapkan bahwa terjadi penurunan signifikan jumlah kasus yang terhimpun di dalam Catahu 2021. Ini kemungkinan karena selama pandemi lembaga penyedia layanan memiliki keterbatasan dalam penanganan dan pendokumentasian kasus.</p>
<p>Padahal <a href="https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/catahu-2020-komnas-perempuan-lembar-fakta-dan-poin-kunci-5-maret-2021">pengaduan kasus</a> kekerasan terhadap perempuan menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam masa pandemi 2020.</p>
<p>Akses korban terhadap berbagai layanan bantuan seperti bantuan hukum, bantuan psikologis, dan bantuan sosial juga menjadi terhambat.</p>
<p><a href="https://komnasperempuan.go.id/uploadedFiles/1466.1614933645.pdf">Hasil survei Komnas Perempuan</a> menyebutkan bahwa rumah tangga yang pengeluarannya meningkat memiliki peluang semakin sering mengalami kekerasan —- terutama kekerasan fisik dan seksual —- yang mengindikasikan persoalan ekonomi berpotensi memicu terjadinya kekerasan di dalam rumah tangga pada masa pandemi.</p>
<p><a href="https://www.emerald.com/insight/content/doi/10.1108/JAP-07-2020-0029/full/html">Bagi banyak perempuan</a>, kebijakan pembatasan sosial lebih merugikan daripada virus itu sendiri karena mereka secara psikologis dan fisik terbelenggu oleh pelaku kekerasan di dalam rumah mereka. Sementara korban kesulitan untuk melapor.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/perempuan-dan-anak-masih-kesulitan-ketika-berurusan-dengan-hukum-pedoman-baru-bagi-jaksa-bisa-membantu-157327">Perempuan dan anak masih kesulitan ketika berurusan dengan hukum; pedoman baru bagi jaksa bisa membantu</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Stigma sosial menyulitkan korban bersuara</h2>
<p>Korban kejahatan seksual rentan mengalami <a href="https://tirto.id/melawan-stigma-dan-prasangka-terhadap-perempuan-indonesia-ckko">stigma</a> sehingga mereka cenderung <a href="https://nasional.tempo.co/read/1149346/cerita-kelam-korban-kekerasan-seksual-melawan-trauma-dan-stigma/full&view=ok">takut dan trauma</a> melaporkan kejadian kekerasan yang dialaminya. </p>
<p>Stigma yang cenderung diterima korban yaitu dari lingkungan sosial, bahkan di institusi tempat mereka memperjuangkan keadilan. Oleh karena itu, penting bagi <a href="https://ojs.uma.ac.id/index.php/mercatoria/article/view/1499">aparat penegak hukum</a> yang menangani kasus kekerasan seksual untuk memiliki perspektif korban.</p>
<p><a href="https://www.remotivi.or.id/mediapedia/631/pemberitaan-pemerkosaan-laki-laki-memelihara-masalahnya">Korban kejahatan seksual</a> yang berjenis kelamin laki-laki juga cenderung mendapat stigma sosial karena anggapan umum bahwa laki-laki tidak mungkin menjadi korban. </p>
<p>Padahal korban kejahatan seksual <a href="http://news.unair.ac.id/2020/01/29/kekerasan-seksual-tak-pandang-gender-pinky-saptandari-sosiolog-unair-angkat-bicara/">tidak pandang gender</a>. Laki-laki menjadi <a href="https://tirto.id/bukan-cuma-perempuan-laki-laki-juga-bisa-jadi-korban-perkosaan-esct">korban</a> kekerasan seksual adalah nyata adanya. </p>
<p>Pada banyak kasus, korban kekerasan seksual cenderung tidak melaporkan jika pelaku kekerasan merupakan <a href="https://tirto.id/orang-terdekat-adalah-pelaku-kekerasan-seksual-cjBL">kerabat dekat</a>. Atas dalih menjaga nama baik keluarga, korban kekerasan seksual dibungkam di dalam rumah untuk tidak bersuara.</p>
<p>Situasi pandemi semakin <a href="https://www.un.org/en/un-coronavirus-communications-team/gender-equality-time-covid-19">memperburuk ketimpangan gender</a>. <a href="https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20201209131257-284-579916/pandemi-covid-19-buat-posisi-perempuan-kian-terpuruk">Stigma terhadap perempuan</a> semakin parah. <a href="http://ijrs.or.id/perempuan-dan-anak-masih-kesulitan-ketika-berurusan-dengan-hukum-pedoman-baru-bagi-jaksa-bisa-membantu/">Sikap menyalahkan korban</a> juga membuat mereka sulit bersuara.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/ruu-penghapusan-kekerasan-seksual-masuk-prioritas-dpr-tapi-masyarakat-masih-memiliki-pemahaman-berbeda-beda-158303">RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masuk prioritas DPR, tapi masyarakat masih memiliki pemahaman berbeda-beda</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Pembuktian kasus yang rumit</h2>
<p>Tanpa ada pandemi saja, <a href="https://theconversation.com/perempuan-dan-anak-masih-kesulitan-ketika-berurusan-dengan-hukum-pedoman-baru-bagi-jaksa-bisa-membantu-157327">perempuan dan anak</a> yang mengalami kekerasan seksual menghadapi banyak hambatan mendapatkan keadilan. </p>
<p><a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/08/06/13310811/bareskrim-pembuktian-kasus-jadi-tantangan-dalam-penanganan-kekerasan-seksual">Pembuktian kasus</a> menjadi hambatan dalam pengungkapan kekerasan seksual di masa pandemi.</p>
<p>Korban menjadi cenderung diam dan tidak melapor karena minimnya alat bukti kasus. Misalnya, kasus kekerasan gender berbasis online yang sudah masuk ke pengadilan pun menghadapi kendala penanganan karena sulitnya proses pembuktian yang menggunakan <a href="https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20210107203520-284-590941/1178-kasus-kekerasan-perempuan-terjadi-selama-2020">forensik digital</a>.</p>
<p>Contoh lain, misalnya, kasus kejahatan seksual perkosaan yang korbannya laki-laki dewasa, pembuktian kasusnya cukup rumit karena <a href="https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt52f372d86a213/bila-pria-menjadi-korban-pelecehan-seksual/">perkosaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana</a> hanya mengenal perbuatan laki-laki yang memaksa perempuan bersetubuh dengan kekerasan atau ancaman. </p>
<p>Laki-laki korban perkosaan tidak memiliki akses keadilan, serta mengalami <a href="https://lifestyle.kompas.com/read/2020/01/07/150320320/pria-korban-perkosaan-alami-trauma-yang-lebih-besar?page=all">trauma yang besar</a>.</p>
<p><a href="https://komnasperempuan.go.id/uploadedFiles/1466.1614933645.pdf">Hambatan korban</a> dalam mengakses keadilan semakin berlapis-lapis ketika terduga pelaku adalah pejabat publik/tokoh publik atau atasan di tempat kerja. Takut dipecat, takut dilaporkan atas dasar pencemaran nama baik, dan lainnya menjadi pertimbangan yang sulit bagi <a href="https://www.kompas.com/global/read/2020/05/11/210551670/mengapa-perempuan-korban-pelecehan-seksual-cenderung-enggan-melapor?page=all">korban</a>.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/menilik-konsep-consent-dalam-ilmu-hukum-benarkah-mendorong-hubungan-seks-di-luar-pernikahan-158081">Menilik konsep "consent" dalam ilmu hukum: benarkah mendorong hubungan seks di luar pernikahan?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Terbatasnya akses layanan</h2>
<p>Akses layanan bagi korban kekerasan seksual pada masa pandemi ini menjadi terbatas. Pada satu sisi, <a href="https://infeksiemerging.kemkes.go.id/download/Protokol_Penanganan_Kasus_Kekerasan_terhadap_Perempuan_di_Masa_Pandemi_COVID-19.pdf">korban kekerasan</a> harus tetap mendapatkan bantuan dari pihak penyedia layanan. Namun pada sisi lain, petugas layanan yang menangani mengalami dilema dan harus membuat antisipasi yang cermat agar tidak memperburuk penularan COVID-19.</p>
<p>Stres, jaringan sosial dan perlindungan sosial yang buruk, dan akses ke layanan yang terbatas dapat memperburuk keadaan <a href="https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/331699/WHO-SRH-20.04-eng.pdf">risiko kekerasan bagi perempuan</a>.</p>
<p>Korban <a href="https://www.refworld.org/cgi-bin/texis/vtx/rwmain/opendocpdf.pdf?reldoc=y&docid=478f7ccb2">kekerasan berbasis gender</a> berada dalam risiko tinggi mengidap masalah kesehatan yang parah dan pulih dalam waktu lama, termasuk kematian karena luka-luka yang mereka derita atau tindakan bunuh diri. </p>
<p>Sementara, banyak perempuan banyak yang tidak menggunakan layanan lapor secara daring karena kurangnya <a href="https://aptika.kominfo.go.id/2020/07/literasi-digital-kurangi-kesenjangan-akses-digital-perempuan/">literasi digital dan akses digital</a>.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kuatnya-budaya-victim-blaming-hambat-gerakan-metoo-di-indonesia-107455">Kuatnya budaya _victim blaming_ hambat gerakan #MeToo di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Langkah dari komunitas terkecil</h2>
<p>Pemerintah semestinya melakukan langkah-langkah dan tindakan minimum secara terkoordinasi untuk mencegah dan menangani Kekerasan Berbasis Gender pada masa darurat (wabah).</p>
<p>Pertama, mempercepat akses dan literasi digital perempuan. Penting untuk menyebarluaskan kesadaran dalam menggunakan layanan berbasis digital, misalnya <em>call center</em> pengaduan seperti di negara lain yang memungkinkan siapa saja melaporkan kejadian darurat kekerasan atau kejahatan berbasis gender. </p>
<p>Selain itu, juga penting menata ulang kebijakan pemerintah dalam mendukung percepatan akses digital hingga ke pelosok desa di Indonesia.</p>
<p>Kedua, meningkatkan kewaspadaan terhadap kejahatan seksual pada level desa atau kelurahan. </p>
<p>Kejahatan atau kekerasan seksual yang terjadi pada masa pandemi ini kemungkinan lebih banyak terjadi di ruang lingkup komunitas terkecil atau keluarga. </p>
<p>Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran pemerintah lokal (desa/kelurahan/RT/RW) untuk menangkal kejahatan seksual terjadi di wilayahnya. Desa/kelurahan tidak hanya bersiaga terhadap COVID-19 saja, tetapi juga bersiaga terhadap kejahatan seksual di lingkungannya.</p>
<p>Ketiga, pemberlakuan hukum adat. Pada kejadian kejahatan/kekerasan seksual di ranah adat, komunitas harus menegakkan hukum adat seberat-beratnya bagi pelaku. </p>
<p>Ini adalah bentuk sikap tidak menoleransi kejahatan seksual dalam bentuk apapun di lingkungan desa atau lingkungan adat. Meski demikian, hukum adat perlu berlaku beriringan dengan <a href="https://www.antaranews.com/berita/775203/hukum-adat-dinilai-gagal-berikan-keadilan-pada-perempuan-korban-kekerasan">hukum pidana</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/159828/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Nikodemus Niko tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kekerasan berbasis gender adalah salah satu dampak pandemi yang paling terabaikan, dengan ketersediaan layanan yang tidak memadai.Nikodemus Niko, Mahasiswa Doktor Sosiologi, Universitas PadjadjaranLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.