tag:theconversation.com,2011:/us/topics/mahkamah-konstitusi-57733/articlesMahkamah Konstitusi – The Conversation2024-03-23T04:32:58Ztag:theconversation.com,2011:article/2233332024-03-23T04:32:58Z2024-03-23T04:32:58ZPolitik itu penuh negosiasi, tetapi etika dan legitimasi harga mati<p>Selama perhelatan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, kita semua sering mendengar penyebutan istilah ‘etika’. Penyebutan ini berangkat dari <a href="https://nasional.tempo.co/read/1845361/anggota-komite-ham-pbb-tanya-soal-dugaan-intervensi-jokowi-di-pilpres-2024-apakah-sudah-diinvestigasi">dugaan-dugaan kuat</a> bahwa pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengintervensi <a href="https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_mkri_9332_1697427438.pdf">putusan Mahkamah Konstitusi (MK)</a> terkait batas usia calon presiden dan wakil presiden dalam Undang-Undang Pemilu demi meloloskan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai cawapres dari capres Prabowo Subianto.</p>
<p>MK disebut-sebut telah melanggar kode etik, sehingga banyak pula masyarakat yang meragukan legitimasi hasil Pemilu ini.</p>
<p>Sebagai akademisi bidang hukum, saya bermaksud memberikan penjelasan normatif mengenai etika dan mengapa hal ini menjadi sangat penting untuk diperjuangkan saat ini.</p>
<p>Saya memulai tulisan singkat ini dengan adagium ‘<em>non omne quod licet honestum est</em>’ yang artinya, ‘<em>not all that is permitted, is honorable</em>’. Dalam Bahasa Indonesia, ini berarti ‘tidak semua yang diperbolehkan itu terhormat’. Adagium ini memiliki makna bahwa tuntutan etika atau moralitas berada di atas hukum.</p>
<h2>Apa itu etika?</h2>
<p>Menurut <a href="https://books.google.co.id/books?id=wSTf79ehWuAC&hl=id&source=gbs_navlinks_s">K. Bertens</a>, filsuf dan tokoh etika Indonesia, etika merupakan nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam berfikir, bersikap, dan mengatur tingkah lakunya. Nilai dan norma tersebut biasanya identik dengan akhlak dan moral. </p>
<p>Pada konteks <a href="https://lib.unnes.ac.id/41840/1/Etika%20Politik%20Edisi%20Kedua.pdf">politik</a>, etika menjadi pegangan nilai dan norma bagi penyelenggara negara dalam membuat kebijakan serta keputusan dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang bersih, bertanggung jawab, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) serta nilai-nilai demokrasi. </p>
<p>Seberapa jauh etika menjadi hal yang penting dalam berpolitik bergantung pada ‘legitimasi’ proses politiknya.</p>
<h2>Apa itu legitimasi?</h2>
<p><a href="https://www.annualreviews.org/doi/abs/10.1146/annurev.psych.57.102904.190038">Legitimasi</a> adalah bentuk pengakuan dan penerimaan publik terhadap kebijakan, regulasi, dan keputusan yang dibuat oleh penyelenggara negara melalui koridor hukum (<em>legitimate</em>). </p>
<p>Ada pula istilah legalitas, yaitu keabsahan dalam penyelenggaraan negara. Artinya, tindakan pemerintah dan penegakan hukum harus berdasarkan peraturan perundang-undangan (<em>legal</em>). </p>
<p>Legalitas dan legitimasi adalah <a href="https://www-jstor-org.proxy.library.uu.nl/stable/1147701">fondasi</a> untuk menciptakan dan memelihara <em>rule of law</em> (negara yang berlandaskan hukum) di suatu negara. Dengan kata lain, kedua unsur ini yang menjaga marwah negara hukum.</p>
<p>Pada konteks negara hukum, legalitas menjadi dasar bagi pemerintah untuk melakukan penyelenggaraan negara dan penegakan hukum secara memaksa (<em>force</em>), sementara legitimasi adalah pengakuan dan penerimaan publik terhadap kebijakan, regulasi, dan keputusan pemerintah yang muncul dengan kesadaran sendiri (<em>voluntary</em>).</p>
<p>Secara umum, hal-hal yang diakui dan diterima <em>(legitimate)</em> sudah pasti sah atau legal. Namun, ada kalanya hal-hal yang dipandang legal belum tentu diakui dan diterima (<em>legitimate</em>).</p>
<p>Ada tiga dasar <a href="https://books.google.co.id/books?id=MILOksrhgrYC&source=gbs_navlinks_s">legitimasi</a>. Pertama, <em>rational bureaucratic authority</em> yang artinya kebijakan, regulasi, dan keputusan harus dibuat melalui prosedur yang sesuai pada peraturan hukum yang berlaku. Proses yang beretika menjadi salah satu bagian dari peraturan tersebut. </p>
<p>Jika dikaitkan dengan kontestasi politik, maka teori ini mengisyaratkan agar segala keputusan yang dibuat dalam rangka pemilu harus dihasilkan dari proses yang sesuai dengan etika serta peraturan hukum yang berlaku.</p>
<p>Contohnya adalah <a href="https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_mkri_9332_1697427438.pdf">Putusan MK</a> terkait batas usia capres dan cawapres yang dibuat dalam sebuah proses yang melanggar etika karena Ketua Hakim pada saat itu, Anwar Usman, adalah paman dari Gibran. Dalam hal ini, Gibran adalah pihak yang diuntungkan oleh Putusan tersebut. Pelanggaran etika ini telah dibuktikan dalam <a href="https://s.mkri.id/public/content/mkmk/mkmk_putusan_1699360420_3a09ab30a7a22aa9d99d.pdf">keputusan</a> Majelis Kehormatan MK pada 7 November 2023. </p>
<p>Kedua adalah <em>charismatic authority</em>, yang merujuk pada personalitas penyelenggara negara yang harus menjunjung tinggi etika politik dalam mengambil keputusan dan dalam bertindak. </p>
<p>Contoh untuk konteks pemilu adalah penyelenggara negara harus bersikap etis dan tidak menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye. Hal ini kerap dipermasalahkan, salah satunya ketika pembagian <a href="https://nasional.kompas.com/read/2024/01/26/07150331/bagi-bagi-bansos-di-musim-kampanye-berbau-politis-hingga-diduga-menyandera?page=all">bansos</a> di tengah musim kampanye dinilai bermuatan politis. </p>
<p>Ketiga, <em>traditional authority</em>, yang berarti bahwa pelaksanaan penyelenggaraan negara harus mencerminkan nilai serta norma yang hidup dalam masyarakat (<em>socially accepted norms</em>).</p>
<p>Jika dikaitkan dengan pemilu, maka teori ini mengharuskan agar proses penyelenggaraanya tidak bertentangan dengan nilai dan norma masyarakat, termasuk keadilan. </p>
<p><a href="https://nasional.tempo.co/read/1836399/rentetan-aksi-demo-di-kpu-tolak-pemilu-curang-mahasiswa-hingga-buruh-turun-ke-jalan">Demonstrasi</a> yang akhir-akhir ini kerap dilakukan oleh kelompok masyarakat untuk memprotes soal adanya dugaan kecurangan dalam proses Pemilu 2024 dan menyuarakan Pemilu yang jujur dan adil, adalah tanda bahwa masyarakat saat ini memandang penyelenggaraan negara tidak sesuai dengan nilai dan norma masyarakat. </p>
<h2>Seberapa penting etika dalam berpolitik?</h2>
<p>Berdasarkan penjelasan di atas, etika adalah bagian dari setiap ukuran dasar legitimasi. Dengan demikian, etika menjadi hal penting dalam berpolitik karena dari situlah bentuk pengakuan serta penerimaan publik terhadap penyelenggaraan negara akan tumbuh. </p>
<p>Sebaliknya, jika etika tidak dijaga dengan baik dalam proses penyelenggaraan negara termasuk pemilu, maka legitimasi penyelenggaraan tersebut tidak akan tumbuh sebagaimana idealnya. Sebaliknya, malah akan cenderung menimbulkan <a href="https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-1-4939-3216-0_23">perasaan ketidakadilan</a>. </p>
<p>Jika etika tidak terjaga dan legitimasi dalam penyelenggaraan negara tidak terwujud, maka dampaknya akan ada terhadap komitmen untuk menjaga <em>rule of law</em> (prinsip negara hukum). </p>
<p><a href="https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2734103">Prinsip negara hukum</a> pada dasarnya melambangkan penyelenggaraan negara yang bebas dari tindakan sewenang-wenang, dan merupakan syarat penting untuk menjamin perlindungan HAM, khususnya hak demokratis setiap warga negara untuk memilih dan mendapatkan pemimpin melalui jalur yang adil.</p>
<p>Politik itu penuh negosiasi, namun etika merupakan elemen penting dalam berpolitik yang tidak bisa dikesampingkan, mengingat kaitan eratnya dengan legitimasi dan prinsip negara hukum. </p>
<p>Jika etika berpolitik tidak dapat dijaga hanya demi mencapai kekuasaan, ini akan menjadi preseden buruk bagi keberlangsungan demokrasi ke depannya. </p>
<p>Proses penyelenggaraan Pemilu kemarin sudah penuh kontroversi yang mengarah pada dikesampingkannya etika dan menyebabkan keraguan akan legitimasinya. Kini saatnya kita menjaga agar tidak terjadi pelanggaran etika lebih jauh atau kecurangan terhadap hasil pemilihannya.</p>
<p>Publik memegang peran penting untuk memastikan bahwa politik di negara kita dapat membuka lembaran baru yang bersih dari coretan etika.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/223333/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Devita Putri tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Etika menjadi hal penting dalam berpolitik karena dari situlah bentuk pengakuan serta penerimaan publik terhadap penyelenggaraan negara akan tumbuh.Devita Putri, Assistant Professor, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2172962023-11-14T01:22:24Z2023-11-14T01:22:24ZApa itu Hak Angket DPR? Dapatkah digunakan untuk batalkan putusan batas usia capres-cawapres?<p>Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Masinto Pasaribu, dalam rapat Rapat Paripurna hari Selasa, 31 Oktober 2023, <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20231101184514-12-1018805/hakim-mk-persilakan-dpr-pakai-hak-angket-buntut-putusan-syarat-capres">mengusulkan parlemen untuk menggunakan hak angket</a> terhadap <a href="https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_mkri_9332_1697427438.pdf">Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023</a>, tentang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres).</p>
<p>Putusan MK tersebut menetapkan bahwa Pasal 169 huruf q <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Details/37644/uu-no-7-tahun-2017">Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum</a>, yang mengatur bahwa batas minimum usia capres maupun cawapres saat pencaloan adalah “paling rendah 40 (empat puluh) tahun”, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.</p>
<p>Putusan ini telah menjadi kontroversi publik. Masyarakat meyakini bahwa putusan tersebut sengaja dibuat guna membuka jalan bagi putra sulung Presiden Joko “Jokowi” Widodo, Gibran Rakabuming Raka, untuk maju sebagai pasangan cawapres. Gibran saat ini telah ditetapkan sebagai cawapres dari capres Prabowo Subianto untuk bertanding dalam Pemilu 2024.</p>
<p>Menurut Masinton, putusan MK tersebut dapat mengakibatkan Indonesia mengalami tirani konstitusi. Tirani kekuasaan merupakan kekuasaan yang berpusat pada kekuasaan individu atau kelompok dan potensi pelanggaran UUD 1945 atas nama pragmatisme politik sempit semata.</p>
<p>Namun, apa itu hak angket? Bagaimana penerapannya? Dan apakah putusan peradilan, termasuk putusan MK, dapat menjadi objek angket DPR?</p>
<h2>Tentang hak angket DPR</h2>
<p>Hak angket pertama kali dikenal di Inggris pada pertengahan abad ke-14. Kemunculannya bermula dari tuntutan akan adanya hak untuk menyelidiki dan menghukum penyelewengan dalam administrasi pemerintahan. Ini kemudian disebut <em>right of impeachment</em> atau hak untuk menuntut seorang pejabat karena melakukan pelanggaran jabatan. </p>
<p>Di Indonesia, hak angket pertama kali diatur dalam <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Details/38102/uu-no-7-tahun-1950">UU Nomor 7 Tahun 1950</a> Tentang Perubahan Konstitusi Republik Indonesia Serikat Menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia. Lalu pada tahun 1954 diterbitkan <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Details/47924/uu-no-6-tahun-1954">UU Nomor 6 Tahun 1954</a> tentang Penetapan Hak Angket DPR yang memberikan wewenang bagi DPR untuk menyelidiki (<em>enquete</em>) aturan-aturan yang ada. </p>
<p>Regulasi hak angket terdapat dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa “Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.”</p>
<p>Hak angket kemudian diperjelas dalam Pasal 79 Ayat 3 <a href="https://peraturan.go.id/id/uu-no-13-tahun-2019">UU Nomor 13 Tahun 2019</a> Tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), yang menyatakan bahwa hak angket adalah “hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu UU dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal strategis dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan”.</p>
<p>Hak angket juga menjadi salah satu hak DPR yang melekat pada fungsi dan jabatannya, sehingga diletakkan sebagai hak institusi atau hak kelembagaan. </p>
<p>Contoh penggunaan hak angket DPR pada 2009 terhadap <a href="https://nasional.kompas.com/read/2022/02/05/00000001/3-hak-istimewa-dpr-dan-contohnya?page=all">Bank Century</a>. Kala itu, DPR menggunakan hak angket terkait pencairan dana bantuan oleh pemerintah untuk Bank Century senilai Rp 6,7 triliun yang dianggap mencurigakan.</p>
<h2>Dapatkah hak angket membatalkan putusan MK?</h2>
<p>Respons masyarakat terhadap putusan MK tentang batas usia capres-cawapres sangat luar biasa. Banyak kelompok masyarakat yang melakukan aksi protes terhadap dinasti politik–mengarah pada Jokowi yang tampaknya kini tengah mempersiapkan dinasti kekuasaan untuk anak-anaknya.</p>
<p>Tidak hanya itu, proses yang terjadi di MK pun diyakini memuat banyak pelanggaran etika. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) telah memutuskan Ketua MK Anwar Usman melakukan pelanggaran etika dan memberhentikannya dari jabatan Ketua MK.</p>
<p>Namun, jika merujuk pada UU MD3, disebutkan bahwa UU dan kebijakan pemerintah yang dimaksud sebagai objek hak angket dapat berupa kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian. Maka, MK sebagai lembaga yudikatif tidak masuk kategori/objek yang putusannya dapat diangket DPR.</p>
<p>Terkait kemungkinan pembatalan putusan MK, jika pun terbukti adanya cacat formil dan materiil dalam proses pengambilan keputusannya, putusan tersebut langsung berlaku begitu dinyatakan dalam lembaran negara. Semua putusan MK bersifat final dan mengikat, artinya langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.</p>
<p>Tidak bisa dibayangkan jika putusan MK dapat dibatalkan, maka akan timbul kegaduhan hukum dalam berbagai aspek kehidupan bernegara.</p>
<p>Dengan demikian, jelas secara bahwa hukum putusan MK itu tidak bisa dibatalkan, melainkan harus ditindaklanjuti oleh lembaga terkait guna mengisi kekosongan hukum.</p>
<p>UU sebagai produk hukum sering kali tidak jelas rumusan dan normanya, sehingga perlu penjelasan yang baik agar tidak menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaan. Jangan sampai lembaga legislatif seperti DPR salah kaprah dalam menginterpretasikan hak dan tugasnya sehingga membuat kegaduhan di tengah masyarakat.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/217296/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>mustakim tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Apa itu Hak Angket? Bagaimana penerapannya? Dan apakah putusan peradilan, termasuk putusan MK, dapat menjadi objek angket DPR?mustakim, Associate Professor Law, Universitas NasionalLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2172832023-11-09T03:01:43Z2023-11-09T03:01:43ZKetua MK Anwar Usman diberhentikan: mungkinkah putusan tentang batas usia minimal capres-cawapres diubah?<iframe style="border-radius:12px" src="https://open.spotify.com/embed/episode/10VxI31ZbP05j1ryOtsugP?utm_source=generator&theme=0" width="100%" height="152" frameborder="0" allowfullscreen="" allow="autoplay; clipboard-write; encrypted-media; fullscreen; picture-in-picture" loading="lazy"></iframe>
<p><a href="https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=19733&menu=2">Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menggelar sidang perdana terkait laporan dugaan pelanggaran kode etik</a> dan pedoman perilaku hakim yang ditujukan kepada Ketua MK Anwar Usman, Selasa 31 Oktober 2023 kemarin.</p>
<p>Dalam persidangan ini, MKMK mendatangkan empat pelapor, yakni Denny Indrayana, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yusuf, serta perwakilan dari 15 guru besar/akademisi yang tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS).</p>
<p>Alasan pelaporan terhadap Anwar Usman adalah karena pelapor mencurigai adanya konflik kepentingan dalam tindakan beliau saat memutuskan perkara aturan batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden. Mereka berpendapat bahwa putusan MK itu melanggar konstitusi.</p>
<p>Setelah melalui beberapa persidangan, <a href="https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=19751&menu=2">MKMK memutuskan Anwar terbukti melanggar prinsip-prinsip Sapta Karsa Hutama</a>: Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, serta Prinsip Kepantasan dan Kesopanan. Anwar juga diberhentikan dari jabatannya sebagai ketua MK.</p>
<p>Seperti apa tanggapan Akademisi mengenai putusan sidang MKMK tersebut?</p>
<p>Dalam episode SuarAkademia terbaru, kami berbincang dengan Jamaludin Ghafur, Dosen hukum tata negara dari Universitas Islam Indonesia (UII).</p>
<p>Jamal mengatakan putusan MKMK ini seharusnya bisa menjadi putusan yang memperbaiki citra lembaga MK di masyarakat. Kentalnya unsur pelanggaran etika yang terjadi di dalam MK membuat masyarakat sangat berharap MKMK mengambil langkah yang tepat.</p>
<p>Ketika ditanya apakah putusan sidang MKMK ini bisa mengubah <a href="https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=19753#:%7E:text=Berdasarkan%20Putusan%20Nomor%2090%2FPUU,umum%20termasuk%20pemilihan%20kepala%20daerah%E2%80%9D.">putusan sidang perkara nomor 90 tahun 2023</a>, Jamal berpendapat ini membutuhkan itikad baik dari seluruh <em>stakeholder</em> dalam pemilu untuk membahas hal mengenai batas usia minimal capres-cawapres ini.</p>
<p>Untuk membatalkan putusan sebelumnya, Jamal menyebutkan perlu proses panjang lagi apabila harus diajukan kembali ke MK sedangkan proses pemilu sudah berjalan. Proses ini akan memperpanjang proses pemilu dan bila terus berlarut bahkan bisa menyebabkan kekosongan kekuasaan (<em><a href="https://www.kompas.com/stori/read/2023/01/17/130000279/apa-itu-vacuum-of-power-?page=all">vacuum of power</a></em>).</p>
<p>Simak episode selengkapnya di SuarAkademia - ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/217283/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menggelar sidang perdana terkait laporan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim yang ditujukan kepada Ketua MK Anwar Usman, Selasa 31 Oktober…Muammar Syarif, Podcast ProducerLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2164372023-10-27T04:47:58Z2023-10-27T04:47:58Z4 alasan mengapa Pilpres 2024 bisa jadi ancaman bagi demokrasi Indonesia<p>Pada 2010, Profesor Edward Aspinall dari Departemen Politik dan Perubahan Sosial, Australia National University, menerbitkan sebuah artikel berjudul <a href="https://www.journalofdemocracy.org/articles/indonesia-the-irony-of-success/">“The Irony of Success.”</a>.</p>
<p>Dalam penelitiannya, Aspinall meramalkan bahwa setelah rezim Suharto jatuh tahun 1998, Indonesia akan kesulitan dalam mewujudkan demokrasi, karena dua alasan utama: (1) penempatan purnawirawan dan pejabat aktif TNI dan Polri dalam struktur eksekutif, dan (2) penempatan menteri-menteri dari partai pemenang suara terbanyak di DPR RI. Ini adalah dua prinsip yang masih terbawa dari pemerintahan Orde Baru. </p>
<p>Ternyata, pada era demokrasi sekarang ini, pola pemerintahan ala Orde Baru justru semakin berkembang. Wujudnya adalah dalam bentuk praktik dinasti politik, jaringan patronase, orang-orang kuat daerah (<em>local strongmen</em>), dan privilese. </p>
<p>Praktik tersebut makin terlihat dewasa ini, terutama dalam perhelatan Pemilihan presiden (Pilpres) 2024.</p>
<p>Rakyat Indonesia kini disajikan tiga pasangan calon (paslon): 1) Anies Rasyid Baswedan dan Abdul Muhaimin Iskandar; 2) Ganjar Pranowo dan Mohammad Mahfud Mahmodin; dan 3) Prabowo Subianto Djojohadikusumo dan Gibran Rakabuming Raka. </p>
<p>Proses penentuan paslon tersebut dipenuhi dengan intrik politik yang luar biasa. Bukan hanya <a href="https://www.youtube.com/watch?v=_gY0SFI9LG8">elite partai</a> yang bermanuver, tapi juga pejabat <a href="https://www.liputan6.com/pemilu/read/5404981/peran-jokowi-dan-luhut-pengaruhi-manuver-golkar-di-pilpres-2024">eksekutif</a> dan <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20231016135148-4-480921/tok-mk-kabulkan-syarat-capres-cawapres-pernah-kepala-daerah">yudikatif</a> terlibat, bahkan sampai mengubah peraturan perundang-undangan. <a href="https://news.republika.co.id/berita/s2m8jz409/alasan-mk-kabulkan-gugatan-batas-usia-caprescawapres-tidak-diatur-tegas-uud-1945">Pengabulan gugatan terkait batas minimal usia calon presiden/wakil presiden</a> dan <a href="https://nasional.kompas.com/read/2023/10/23/19332331/mk-tak-terima-gugatan-usia-capres-maksimal-70-tahun-mahfud-ya-sudah-pak">penolakan gugatan batas usia maksimal calon presiden 70 tahun</a> hanyalah beberapa contohnya.</p>
<p>Fenomena ini tentu sangat memprihatinkan dan akan mengancam kualitas demokrasi. Setidaknya ada empat alasan mengapa Pemilu 2024 nanti akan menjadi ujian, jika tidak ancaman, bagi demokrasi Indonesia.</p>
<h2>1. Dinasti politik dan penyalahgunaan kekuasaan</h2>
<p><a href="https://www.jstor.org/stable/26372044">Menurut Aspinall</a>, fenomena dinasti politik dimulai dengan munculnya “keluarga politik”, yakni ketika lebih dari satu anggota keluarga terpilih dalam jabatan politik. Suatu politik keluarga hanya dapat dianggap sebagai dinasti politik jika ia berhasil memperluas pengaruhnya di berbagai level pemerintahan, dan jika setelah masa jabatannya berakhir, ada anggota keluarga yang menggantikannya.</p>
<p>Di Indonesia, fenomena dinasti politik menjadi semakin marak, baik di tingkat daerah maupun nasional. </p>
<p>Untuk pejabat daerah misalnya, terdapat dinasti politik <a href="https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/jpi/article/view/9329">mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah</a> dan <a href="https://journal.ugm.ac.id/polgov/article/view/48305">mantan Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari</a>. Sedangkan di tingkat nasional, ada <a href="https://www.youtube.com/watch?v=Mpzgv2HuoE0">mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo</a>, dan saat ini sedang ramai diperbincangkan adalah dinasti politik Presiden Joko “Jokowi” Widodo.</p>
<p>Maraknya fenomena dinasti politik ini, menurut Profesor Politik Komparatif dari Universitas London (SOAS) di Inggris, Michael Buehler, mencerminkan adanya masalah dalam sistem politik Indonesia. Lebih lanjut, dinasti politik yang begitu luas adalah refleksi dari rusaknya integritas demokrasi, dominasi jaringan klientelistik dan jaringan informal atas partai politik, serta kegagalan dalam reformasi akibat <a href="https://www.insideindonesia.org/married-with-children">kuatnya perilaku koruptif dan predatoris</a>.</p>
<p>Dinasti politik telah menjadi masalah yang sulit dihilangkan di Indonesia. <a href="https://news.detik.com/pemilu/d-7000150/prabowo-semua-partai-termasuk-pdip-ada-dinasti-politik">Prabowo sendiri mengakui</a> bahwa hampir semua partai politik di Indonesia memiliki jejak dinasti politik, tetapi sayangnya, situasi ini tidak dianggap sebagai masalah serius. Padahal, dinasti politik bisa merusak prinsip meritokrasi (berlandaskan pada prestasi dan kompetensi) dan persaingan yang adil dalam politik, serta kualitas kaderisasi partai politik.</p>
<p>Saat ini tampaknya pemerintah, dan jaringan dinasti politiknya, telah menguasai arena penting, yakni legislatif, yudikatif dan eksekutif. Hanya satu arena yang belum dikuasai sepenuhnya, yaitu media.</p>
<h2>2. Konflik kepentingan</h2>
<p>Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batas minimal usia capres-cawapres adalah bukti nyata adanya <a href="https://nasional.kompas.com/read/2023/10/23/15331201/anwar-usman-bantah-terlibat-konflik-kepentingan-dalam-putusan-mk">konflik kepentingan di tubuh lembaga peradilan</a>.</p>
<p>Sebelum pemilihan presiden saja Ketua MK Anwar Usman mampu memengaruhi putusan hakim agar Gibran, anak sulung Jokowi yang <em>notabene</em> adalah keponakannya sendiri, lolos untuk memenuhi syarat maju dalam kontestasi Pilpres. Bayangkan jika hasil Pemilu 2024 nanti tidak menguntungkan bagi pasangan Prabowo-Gibran, sangat mungkin MK juga bisa memengaruhi putusan sengketa hasil Pilpres yang kemungkinan akan diajukan paslon tersebut.</p>
<p>Namun, sebelum kontroversi kepentingan politik keluarga Jokowi ini, Indonesia juga sudah dikenal dengan banyaknya pejabat yang terlibat dalam konflik kepentingan dalam kontestasi politik.</p>
<p><a href="https://www.jstor.org/stable/40376461">Suatu studi</a> mengungkapkan adanya konflik kepentingan antara mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan mantan Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak (AFI). Pada Pemilihan Gubernur Kalimantan Timur 2008, Presiden SBY disebut menggunakan kekuasaannya untuk memastikan kemenangan AFI.</p>
<p>Berdasarkan penelitian itu, kala itu SBY diduga menggunakan kewenangannya untuk <a href="https://www.jstor.org/stable/40376461">“merekomendasikan” Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)</a> untuk menyelidiki dan menahan Syaukani–lawan terkuat AFI–atas dugaan peningkatan biaya studi kelayakan pembangunan bandara Kutai Kartanegara dan pengadaan lahan untuk fasilitas baru yang diusulkan pemerintah daerah. </p>
<p>Dengan penangkapan Syaukani oleh KPK, AFI berhasil melenggang menjadi Gubernur Kalimantan Timur, meskipun dengan kontestasi politik yang sangat sengit. </p>
<p>Dari kasus ini, kita dapat belajar bahwa pemimpin negara bisa menggunakan segala kekuasaan yang dimilikinya untuk menjaga kepentingan mereka. Ini pastinya akan sangat menghambat perkembangan demokrasi di Indonesia untuk bisa menuju ke arah yang lebih baik.</p>
<h2>3. Mengandalkan usia, mengabaikan kaderisasi</h2>
<p>Maju dalam perhelatan Pilpres di usia 36 tahun, Gibran tercatat sebagai <a href="https://www.cnbcindonesia.com/lifestyle/20231025191343-36-483719/riwayat-pendidikan-gibran-rakabuming-cawapres-termuda-ri">cawapres termuda</a> dalam sejarah pemilu Indonesia. Namun, fenomena “mengutamakan yang muda” tidak hanya terjadi pada Gibran.</p>
<p>Putra sulung SBY, <a href="https://news.detik.com/berita/d-4940411/dinasti-partai-demokrat-dari-sby-ke-ahy">Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)</a>, kini menjadi Ketua Umum Partai Demokrat, hanya selang empat tahun setelah ia terjun ke politik–waktu yang terlalu singkat untuk kaderisasi.</p>
<p>Sama halnya dengan putra bungsu Jokowi, <a href="https://nasional.tempo.co/read/1777982/pengangkatan-kaesang-sebagai-ketum-psi-tambah-daftar-catatan-politik-dinasti">Kaesang Pangarep</a>. Ia didapuk menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dalam hitungan hari sejak mulai masuk ke dunia politik.</p>
<p>Saya pribadi berpendapat bahwa tidak ada salahnya Indonesia dipimpin oleh kaum muda, mengingat struktur demografi di Indonesia didominasi oleh kelompok muda. Namun, perlu dicatat bahwa status “anak muda” saja tidak cukup untuk bisa kompeten memimpin negara. Yang paling diperlukan adalah kemampuan, pengalaman dan kebijaksanaan. </p>
<p>Usia bukanlah jaminan bahwa seseorang layak untuk memimpin. Terlebih jika kandidat terpilih melalui jalur yang merusak demokrasi, seperti privilese dan dinasti.</p>
<p>Menjadi presiden atau wakil presiden bukanlah ajang <a href="https://www.jawapos.com/politik/013097446/ahok-kritik-pedas-langkah-gibran-dicalonkan-maju-jadi-cawapres-prabowo-subianto-ini-bukan-coba-coba">untuk belajar atau coba-coba</a>. Jika jabatan kepala atau wakil kepala negara digunakan sebagai tempat belajar menjadi pemimpin, itu tujuan yang salah.</p>
<p>Jika ada yang mengatakan bahwa perubahan hanya bisa dimulai oleh kaum muda, meskipun yang punya privilese, ini sama saja menganggap Indonesia tidak memiliki anak muda jalur berprestasi. Padahal jika kita lihat catatan sejarah, SBY dan Jokowi adalah contoh politikus dan pemimpin yang memulai karier dari bawah, bukan dari jaringan dinasti.</p>
<p>Padahal juga, Indonesia sudah memiliki sistem partai politik, yang punya skema kaderisasi untuk mencetak kaum muda berprestasi untuk siap menjadi pemimpin. Cara ini yang sesuai dalam sistem demokrasi. “Menyelipkan” anggota keluarga, tanpa proses kaderisasi partai terlebih dahulu, justru akan merusak kualitas demokrasi.</p>
<h2>4. Meritokrasi jadi barang langka</h2>
<p>Meritokrasi (atau cara memperoleh kekuasaan berdasarkan prestasi, kecerdasan dan usaha) seharusnya menjadi salah satu cara utama untuk mencetak pemimpin masa depan. Melalui meritokrasi, pemimpin dapat membangun struktur pemerintahan yang didasarkan pada kemampuan dan prestasi individu, bukan hanya berdasarkan faktor politik atau nepotisme.</p>
<p>Pada era ketidakpastian global saat ini, penting memilih pemimpin dari jalur meritokrasi agar ia benar-benar memahami pengetahuan akan tantangan kompleks seperti perubahan iklim, ekonomi global, dan krisis kesehatan. Jika ia paham, ia akan dapat membuat keputusan yang bijak, dengan mempertimbangkan dampak jangka panjang dan kepentingan masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya kepentingan individu, kelompok, atau golongan tertentu.</p>
<p>Kita semua pasti setuju, bahwa Indonesia tidak kekurangan figur publik hebat yang lahir dari meritokrasi, seperti <a href="https://www.merdeka.com/jabar/tiga-tokoh-indonesia-ini-disebut-sebut-berangkat-dari-nol-berikut-kisahnya.html">Dahlan Iskan</a>, <a href="https://www.msn.com/id-id/berita/other/biodata-chairul-tanjung-si-tukang-fotokopi-yang-kini-namanya-disebut-bisa-jadi-kuda-hitam-pilpres/ar-AA18WjJa">Rachmat Gobel</a>, dan <a href="https://www.merdeka.com/jabar/tiga-tokoh-indonesia-ini-disebut-sebut-berangkat-dari-nol-berikut-kisahnya.html">Chairul Tanjung</a>. Namun, partai politik agaknya akan sulit menyadari ini kembali selama masih fokus pada tokoh yang diperlukan hanya untuk menggerek elektabilitas partai.</p>
<h2>Pemilih harus lebih kritis</h2>
<p>Kaesang dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum PSI pernah mengharapkan bahwa Pilpres 2024 perlu berjalan dengan santun dan <a href="https://www.beritasatu.com/bersatu-kawal-pemilu/1073683/kaesang-minta-prabowo-dan-gibran-jadikan-pilpres-2024-santun-dan-santuy">“santuy”</a> (santai).</p>
<p>Perlu dicatat bahwa pemilu bukanlah ajang bersantai-santai. Memilih pemimpin masa depan bukanlah perkara sepele. Jika pemilih membuat kesalahan dalam memilih calon pemimpin, ada kemungkinan besar mimpi Indonesia emas akan sulit terwujud dan generasi muda dapat saja menjadi kelompok yang paling terdampak karena pemimpin mereka terpilih dari jalur yang tidak semestinya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/216437/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Dadang I K Mujiono tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Pilpres 2024 juga bisa mengancam demokrasi Indonesia. Pemilih harus lebih kritis dalam menentukan pilihan.Dadang I K Mujiono, Faculty member of International Relations Department, Universitas MulawarmanLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2158122023-10-18T08:07:59Z2023-10-18T08:07:59Z3 kejanggalan putusan MK dan bagaimana lembaga peradilan ini gagal mempertahankan independensi<p>Pada 16 Oktober 2023, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan yang menguji Pasal 169 huruf q <a href="https://www.mkri.id/public/content/pemilu/UU/UU%20No.7%20Tahun%202017.pdf">Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017</a> tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).</p>
<p>Berdasarkan putusan tersebut, batas usia minimal warga negara Indonesia untuk bisa mendaftarkan diri sebagai calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres) tetap 40 tahun, kecuali jika yang bersangkutan pernah menjadi kepala daerah.</p>
<p>Putusan ini sontak menjadi perhatian publik karena dianggap membuka pintu bagi dinasti politik. Yang paling terlihat jelas akan diuntungkan adalah keluarga Presiden Joko “Jokowi” Widodo.</p>
<p>Anak sulung beliau, Gibran Rakabuming Raka, disebut hendak dipinang oleh Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto untuk menjadi cawapres dalam Pemilu 2024. Saat ini Gibran berusia 36 tahun dan menjabat sebagai Walikota Solo.</p>
<p>Selain terlihatnya tujuan politik atas putusan tersebut, secara teknis juga terdapat sejumlah kejanggalan terhadap putusan uji materiil ini.</p>
<h2>1. Inkonsistensi terhadap <em>open legal policy</em></h2>
<p>Ada tujuh permohonan yang dibacakan oleh MK hari itu, salah satunya adalah permohonan uji materiil <a href="https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_mkri_9329_1697427307.pdf">No. 29/PUU-XXI/2023</a> yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI).</p>
<p>Dalam permohonan ini, para pemohon mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 169 huruf q tersebut diskriminatif, tidak ilmiah, dan bertentangan dengan <a href="http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2011/11/Penafsiran-Konstitusi.pdf">maksud asli (<em>original intent</em>) pembentukan UUD 1945</a> dan <a href="https://www.mkri.id/public/content/infoumum/naskahkomprehensif/pdf/naskah_Naskah%20Komprehensif%20Buku%204%20Jilid%201.pdf">Risalah Pembahasan Perubahan UUD 1945</a> yang menyebutkan bahwa batasan usia capres dan cawapres adalah 35 tahun, bukan 40 tahun. </p>
<p>Selain itu, terdapat permohonan dari Partai Garuda pada perkara <a href="https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_mkri_9330_1697427356.pdf">No. 51/PUU-XXI/2023</a> yang mendalilkan alasan yang sama. Dalam permohonan ini, pemohon meminta syarat alternatif tambahan, yakni “pernah menjadi penyelenggara negara” untuk dapat mengimbangi batas usia minimal 40 tahun.</p>
<p>Namun, semua permohonan tersebut ditolak oleh MK dengan dalih bahwa pembatasan usia capres dan cawapres merupakan <a href="https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_mkri_9332_1697427438.pdf">ranah dari pembentuk undang-undang (<em>open legal policy</em>)</a>.</p>
<p>Hal yang berbeda terjadi pada permohonan uji materiil <a href="https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_mkri_9332_1697427438.pdf">No. 90/PUU-XXI/2023</a>. Tanpa adanya argumentasi hukum yang jelas, MK justru menerima sebagian permohonan mengenai batas minimal usia capres dan cawapres dengan syarat berpengalaman sebagai pejabat negara yang dipilih melalui pemilihan umum (<em>elected officials</em>), termasuk pemilihan kepala daerah (pilkada), dengan alasan bahwa Presiden dan DPR telah menyerahkan sepenuhnya penentuan batas usia dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu kepada MK.</p>
<p>Putusan tersebut memperlihatkan inkonsistensi pertimbangan hukum MK dengan beberapa putusan permohonan senada. Hal ini juga menunjukkan adanya dilema penggunaan <em>open legal policy</em> oleh MK.</p>
<p>Sungguh inkonsistensi yang sangat aneh. Bagaimana mungkin lembaga hukum setinggi MK dapat mengubah pandangan hukumnya dalam waktu yang sangat singkat?</p>
<p>Salah satu majelis hakim konstitusi, Saldi Isra, <a href="https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_mkri_9332_1697427438.pdf">tegas menolak perubahan batas usia capres dan cawapres</a>. Ia pun terang-terangan menyatakan bahwa alih-alih MK–dalam hal ini Ketua MK Anwar Usman–menahan diri untuk tidak masuk ke dalam ranah legislatif (<em>judicial restraint</em>) dalam menentukan persyaratan batas usia minimum bagi capres dan cawapres, MK justru melakukan tebang pilih (<em>cherry picking</em>) terhadap permohonan tertentu.</p>
<h2>2. Lemahnya status hukum pemohon</h2>
<p>Permohonan uji materiil No. 90/PUU-XXI/2023 diajukan oleh <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20231016161051-12-1011930/profil-almas-mahasiswa-pengagum-gibran-yang-gugatannya-dikabulkan-mk">Almas Tsaqibbirru Re A</a>, seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta, pada 3 Agustus 2023.</p>
<p>Pemohon tidak menjelaskan kerugian konstitusional secara jelas. <a href="https://perludem.org/2023/10/17/tafsir-serampangan-inkonsistensi-logika-dan-konflik-kepentingan-mahkamah-konstitusi-dalam-putusan-no-90-puu-xxi-2023/">Pemohon juga bukan</a> orang yang sudah berusia cukup untuk menjadi calon kepala daerah, juga bukan seorang kepala daerah, maupun anggota legislatif.</p>
<p>Basis kerugian konstitusionalnya hanya didasarkan pada pengalaman dan keberhasilan Gibran Rakabuming Raka sebagai Walikota Solo. Dalil tersebut tentu tidak memiliki hubungan langsung dengan pemohon. Bila permohonan ini diajukan oleh Gibran, kerugian konstitusionalnya jelas karena dialami secara langsung sebagai pemohon.</p>
<p>MK biasanya sangat ketat perihal status dan kedudukan hukum (<em>legal standing</em>) pemohon. Namun dalam putusan ini MK terlihat “sangat ramah” dan bersedia memberi jalan lapang baginya untuk memenuhi syarat pemohon. Hal ini tentu bertentangan dengan syarat <em>legal standing</em> pemohon uji materiil MK yang menegaskan bahwa kerugian konstitusional harus dialami <a href="https://www.hukumonline.com/klinik/a/pengertian-ilegal-standing-i-dan-contohnya-lt581fe58c6c3ea/">langsung, spesifik, dan aktual</a>. </p>
<h2>3. Konflik kepentingan yang terlihat jelas</h2>
<p>Hakim Konstitusi Saldi Isra <a href="https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_mkri_9332_1697427438.pdf">menyebutkan</a> bahwa Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) Putusan No. 29-51-55/PUU-XXI/2023 dihadiri oleh seluruh Hakim MK kecuali Anwar Usman selaku Ketua MK. Hasilnya, para hakim bersepakat untuk menolak permohonan ini, dengan dua hakim yang memiliki pendapat yang berbeda (<em>dissenting opinion</em>).</p>
<p>Namun, pada permohonan uji materiil No. 90-91/PUU-XXI/2023, Ketua MK hadir dalam RPH sehingga beberapa hakim mendukung model alternatif yang dimohonkan pemohon.</p>
<p>Apa yang terjadi ini mencerminkan adanya konflik kepentingan (<em>conflict of interest</em>) dalam tubuh MK. Ini karena permohonan uji materil No. 90/PUU-XXI/2023 jelas menyebutkan nama keponakannya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai inspirasi pemohon dalam mengajukan permohonan uji materil terhadap ketentuan batas usia capres dan cawapres.</p>
<p>Anwar Usman sendiri adalah adik ipar Jokowi, yang artinya ia adalah paman dari Gibran. Sementara itu, <a href="https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2009_48.pdf">Pasal 17 ayat 5 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman</a> telah menegaskan bahwa seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa.</p>
<p>Artinya, Anwar sebenarnya punya tanggung jawab moral untuk tidak terlibat dalam persidangan permohonan uji materil No. 90/PUU-XXI/2023. Kenyataannya, ia justru terlibat dalam memutuskan langsung.</p>
<p>Melalui putusan ini, dapat dikatakan independensi MK semakin redup karena adanya pengaruh kehadiran Anwar. Musyawarah hakim yang seharusnya netral justru dinodai dengan konflik kepentingan.</p>
<p>Selain itu, pihak pemohon ternyata pun masih ada keterlibatan dengan Presiden Jokowi. Almas, pemohon gugatan, merupakan <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20231016161051-12-1011930/profil-almas-mahasiswa-pengagum-gibran-yang-gugatannya-dikabulkan-mk">putra Boyamin Saiman, Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI)</a>.</p>
<p>Boyamin sendiri pernah mengaku kepada media <a href="https://majalah.tempo.co/read/laporan-utama/169924/konflik-kepentingan-anwar-usman">Tempo</a> bahwa ia punya hubungan dan kedekatan yang panjang dengan Jokowi.</p>
<h2>Rangkaian politisasi MK</h2>
<p>Ini bukan pertama kalinya MK menunjukkan sikap politis dan diduga terlibat konflik kepentingan. </p>
<p>Sebenarnya penggembosan independensi MK secara masif dilakukan sejak adanya revisi UU MK yang dinilai <a href="https://pshk.or.id/aktivitas/revisi-uu-mahkamah-konstitusi-dinilai-cacat-formil/">cacat formil</a> karena sejak awal tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan tidak memenuhi syarat <em>carry over</em>, naskah akademik buruk, dan pembahasannya dilakukan secara tertutup serta tidak partisipatif dan dengan waktu yang sangat singkat, yakni hanya tiga hari.</p>
<p>Ada pula tindakan <a href="https://www.hukumonline.com/berita/a/mantan-hakim-konstitusi--pencopotan-aswanto-serangan-terhadap-kemandirian-mk-lt636b395c8bb1a/">pemberhentian sewenang-wenang oleh DPR</a> terhadap Hakim Konstitusi Aswanto dari jabatan hakimnya. Alasan pemberhentiannya <a href="https://kumparan.com/kumparannews/bambang-pacul-ungkap-alasan-hakim-mk-aswanto-diganti-kecewa-banyak-uu-dianulir-1yxVsuCqchA">sangat politis</a>, yakni karena DPR kecewa dengan kinerja Aswanto yang kerap menganulir produk undang-undang yang dibuat oleh DPR.</p>
<p>Setelah itu, publik semakin dibuat bertanya-tanya tentang independensi MK setelah <a href="https://www.dw.com/id/ketua-mk-adik-jokowi-menikah-di-tengah-perdebatan-politis/a-61937695">Anwar menikah dengan adik kandung Jokowi pada tahun 2022</a>.</p>
<h2>Runtuhnya produk reformasi</h2>
<p>Salah satu <a href="https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=8391">produk reformasi</a> adalah adanya lembaga peradilan independen untuk melindungi hak-hak konstitusional warga negaranya. </p>
<p>Pada awal pembentukannya, MK diharapkan untuk memperhatikan secara serius ide awal dari Hans Kelsen, filsuf hukum dari Austria, yang menghendaki agar <a href="https://www.mkri.id/public/content/infoumum/penelitian/pdf/hasilpenelitian_edit_111_Laporan%20Hasil%20Penelitian%20UNPAD%20Web.pdf">MK mampu menjadi penjaga konstitusi (<em>the guardian of constitution</em>)</a> dari kesewenang-wenangan institusi-institusi politik seperti Presiden dan lembaga legislatif yang kerap berjalan secara disfungsional. </p>
<p>Sayangnya, harapan terhadap produk reformasi tersebut kini mulai padam. MK tampaknya telah gagal menjadi lembaga peradilan yang independen, padahal lembaga peradilan yang independen adalah salah satu syarat berdirinya negara demokrasi yang berlandaskan hukum.</p>
<p>MK perlu merefleksikan kegagalannya dalam menjawab tuntutan reformasi. Lembaga peradilan seharusnya bebas dari semua tekanan, <a href="https://komisiyudisial.go.id/storage/assets/uploads/files/Buku-Bunga-Rampai-2018.pdf">termasuk tekanan politik</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/215812/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Fakhris Lutfianto Hapsoro tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Ada 3 kejanggalan dalam putusan MK tentang batas usia capres-cawapres. Independensi MK makin dipertanyakan.Fakhris Lutfianto Hapsoro, Lecturer of Constitutional Law, Sekolah tinggi Ilmu Hukum IBLAM JakartaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2157782023-10-17T08:47:57Z2023-10-17T08:47:57ZTerjebak dinasti politik: apa dampaknya dan bagaimana partai bisa lepas dari jerat ini?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/554197/original/file-20231017-25-js674m.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=4%2C1%2C1017%2C677&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Presiden Joko Widodo (kiri) dengan dua putranya, Gibran Rakabuming Raka (kedua kiri) dan Kesang Pangarep (ketiga kiri), makan siang bersama Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kanan) beserta anak dan jajarannya.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.instagram.com/p/CrVhCpYvVZD/?img_index=1">Akun Instagram @jokowi</a></span></figcaption></figure><p>Dinasti politik sering dianggap sebagai <a href="https://www.sup.org/books/title/?id=24504">antitesis</a> dari hadirnya demokrasi. Namun, tampaknya hal ini justru telah menjadi bagian dari demokrasi modern.</p>
<p>Mantan Presiden Mesir <a href="https://news.detik.com/internasional/d-4914463/profil-hosni-mubarak-eks-presiden-mesir-yang-meninggal-dunia">Hosni Mubarak</a> dan mantan pemimpin diktator Libya <a href="https://www.kompas.com/global/read/2021/09/18/141115270/muammar-gaddafi-diktator-libya-dan-kejatuhannya?page=all">Muammar Gaddafi</a>, misalnya, merupakan dua contoh pemimpin politik yang merancang dinasti mereka. Mereka mendorong anak-anaknya untuk melanjutkan kepemimpinan yang mereka bangun untuk terus memiliki kuasa dalam <a href="https://www.theguardian.com/world/2020/dec/14/arab-spring-autocrats-the-dead-the-ousted-and-those-who-survived">proses pemerintahan</a>.</p>
<p>Di Indonesia sendiri, istilah dinasti politik bukanlah hal yang asing kita dengar. Mulai dari dinasti <a href="https://news.republika.co.id/berita/mum051/sejarah-dinasti-atut-di-banten">Ratu Atut</a> di Banten, dinasti <a href="https://kumparan.com/nizar-azof/dinasti-politik-fuad">Fuad Amin</a> di Bangkalan, Madura, dinasti <a href="https://www.suara.com/lifestyle/2023/10/10/121529/dinasti-syahrul-yasin-limpo-di-pemerintahan-keluarganya-orang-yang-berkuasa-di-sulawesi-selatan">Limpo</a> di Sulawesi Selatan dan beberapa dinasti lainnya.</p>
<p>Hari ini, publik sedang melihat makin jelasnya langkah Presiden Joko “Jokowi” Widodo perlahan membangun dinasti politiknya dengan membawa kedua anaknya masuk ke dalam dunia politik. Terkini, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan batas usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) minimal tetap 40 tahun, kecuali jika sudah pernah menjabat kepala daerah.</p>
<p>Putusan ini diyakini banyak pihak sarat akan kepentingan dinasti politik Jokowi guna membuka jalan bagi putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka yang saat ini menjabat Wali Kota Solo, untuk bisa maju sebagai cawapres di Pemilu 2024. Terlebih lagi Ketua MK saat ini, Anwar Usman, adalah ipar Jokowi.</p>
<p>Sebelumnya, putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, terpilih menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) meskipun baru beberapa hari resmi bergabung dengan partai tersebut, bahkan baru saja terjun ke dunia politik.</p>
<p>Selain PSI, sejumlah partai di Indonesia pun tampaknya sudah terjebak di pusaran dinasti politik. Partai Demokrat, contohnya, kini dipimpin oleh Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), putra sulung Susilo Bambang Yudhoyono yang merupakan pendiri dan sosok penting dalam partai Demokrat sekaligus presiden yang berkuasa selama satu dekade (2004-2014). AHY meraih jabatan Ketua Umum Partai Demokrat kurang lebih empat tahun setelah ia terjun ke politik. Ini tentunya waktu yang sangat singkat.</p>
<p>Dinasti politik tampaknya sulit dihindari. Partai politik kerap terjebak melanggengkan dinasti politik dari internalnya, kebanyakan demi mempertahankan eksistensinya. Bisakah partai lepas dari jerat dinasti?</p>
<h2>Mengapa partai bisa terjebak dalam dinasti politik?</h2>
<p>Dalam buku yang berjudul <a href="https://www.amazon.com/Democratic-Dynasties-Family-Contemporary-Politics/dp/1107123445">“Democratic Dynasties”</a>, sejumlah penulis mencoba membahas dinasti politik yang terjadi di India–yang bisa menjadi gambaran dari dinamika politik yang terjadi hari ini di Indonesia.</p>
<p>Di India, dinasti politik dianggap sebagai fenomena modern yang sulit dihindari. Sebab, partai politik itu sendiri yang, baik langsung maupun tidak langsung, mendukung hadirnya proses dinasti di tubuh partai. Proses kaderisasi partai politik tampaknya justru mendorong terjadinya dinasti dengan mudah karena dinasti politik dianggap memberikan keuntungan tersendiri bagi <a href="https://www.amazon.com/Democratic-Dynasties-Family-Contemporary-Politics/dp/1107123445">partai</a>.</p>
<p>Di Indonesia, sejumlah partai politik <a href="https://pemerintahan.umm.ac.id/files/file/orang%20kuat%20partai%20di%20aras%20lokal.pdf">menganggap</a> bahwa mereka atau calon kader yang berada dalam garis keluarga dengan politikus senior telah memiliki reputasi tersendiri dan lebih mudah dikenal oleh publik, dan ini dilihat sebagai suatu keuntungan. Ini pada akhirnya membuat partai terus mendorong hadirnya keluarga politik bertumbuh di Indonesia.</p>
<p>Di samping itu, kader yang berasal dari dinasti politik biasanya telah memiliki akses sumber daya yang jauh lebih <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-55211990">mumpuni</a>. Mereka telah siap dengan sumber daya kampanye, mulai dari pendanaan, relawan, hingga dukungan media. </p>
<p>Selain itu, partai menganggap pihak keluarga kemungkinan lebih <a href="https://www.cambridge.org/core/journals/government-and-opposition/article/abs/politics-of-loyalty-understanding-voters-attitudes-after-primary-elections/300A24BC2A41EAE3A0F310ABFC70570F">loyal</a> dan dipercaya oleh elit partai, sehingga mereka punya akses terhadap proses kaderisasi yang lebih mudah dan cepat. Bahkan, jika partai tersebut telah memiliki sejarah panjang dan memiliki pengaruh yang kuat, kecenderungan timbulnya dinasti politik biasanya akan <a href="https://mediaindonesia.com/opini/339393/dinasti-politik">lebih kuat</a>. </p>
<p>Fenomena dinasti politik juga erat kaitannya dengan pihak tertentu yang mengambil keuntungan dengan adanya hubungan khusus dengan pengambil <a href="https://www.kompas.id/baca/riset/2020/08/03/melacak-akar-politik-dinasti">kebijakan</a> hingga akhirnya terbentuk <a href="https://www.jstor.org/stable/24575580">birokrasi patrimonial</a> (hubungan birokrasi antara patron dan klien yang bersifat pribadi). Kondisi ini membuat urusan yang semestinya dijalankan secara profesional, seperti putusan MK, berakhir dengan mengakomodasi kepentingan masing-masing.</p>
<p>Bagi partai politik, dinasti juga sering digunakan sebagai jalan pintas untuk menaikkan elektabilitas dan popularitas partai. Ini bisa menjadi strategi cepat untuk memenangkan pemilu.</p>
<h2>Dampak dinasti politik</h2>
<p>M.E. McMillan dalam bukunya yang berjudul <a href="https://link.springer.com/book/10.1057/9781137297891">“Fathers and Sons: The Rise and Fall of Political Dynasty in the Middle East”</a> mencoba menjabarkan bagaimana kekuasaan di banyak wilayah Timur, seperti Libya, Mesir, Arab Saudi dan lain-lain, negara tersebut dikonsentrasikan di tangan satu individu atau keluarga.</p>
<p>Di sana, banyak pemimpin yang akhirnya dengan sengaja melakukan dinasti politik demi membangun sistem yang dapat mengamankan kekuasaan mereka. Contohnya adalah Ali Abdallah Saleh, Presiden Yaman periode 1990–2012, yang pada akhir 2010 berniat <a href="https://www.aljazeera.com/news/2017/12/5/yemen-who-was-ali-abdullah-saleh">mengubah konstitusi</a> agar putranya bisa menggantikannya sebagai pemimpin. </p>
<p>Sama halnya dengan mantan pemimpin Irak, Saddam Hussein, yang meneruskan kepresidenan kepada salah satu dari dua putranya, Uday atau Qusayy. Untungnya, era Saddam dan semua pemikiran tentang dinasti Hussein berakhir setelah invasi AS ke Irak pada 2003. </p>
<p>Ini semua pada akhirnya menciptakan sistem yang membuat kekuasaan, hak istimewa, dan kemakmuran hanya dinikmati oleh sekelompok kecil elit. Sementara mayoritas penduduk dibiarkan kehilangan kendali atau tak lagi memiliki pengaruh. </p>
<p>Lebih jauh lagi, dinasti politik dapat meningkatkan risiko korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan kekuasaan. Sistem yang mengutamakan hubungan pribadi dan loyalitas daripada aturan formal dan transparansi akhirnya rentan terhadap praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.</p>
<p><a href="https://jiap.ub.ac.id/index.php/jiap/article/view/535">Penelitian</a> membuktikan bahwa semakin meningkatnya dinasti politik yang terjadi, semakin buruk akibatnya pada pertumbuhan ekonomi bahkan bisa melahirkan kemiskinan yang parah di suatu daerah. Dalam beberapa kasus, dinasti politik dapat <a href="https://jurnal.polines.ac.id/index.php/orbith/article/view/357">memfasilitasi praktik korupsi</a>, terutama jika keluarga memiliki kontrol yang kuat atas lembaga politik dan ekonomi.</p>
<p>Selain masalah ekonomi, masalah krisis kader dan kepemimpinan jelas akan menjadi tantangan dari partai politik tersebut. Jika partai <a href="https://journal3.uin-alauddin.ac.id/index.php/jpp/article/view/16079">bergantung pada dinasti politik</a>, ini dapat <a href="https://jurnal.unmer.ac.id/index.php/jkpp/article/view/436">menghalangi regenerasi dan inovasi</a> di dalam partai itu sendiri. </p>
<p>Jika posisi politik terus-menerus didominasi oleh anggota keluarga yang sama, kesempatan bagi individu yang berbakat dari luar keluarga untuk mendapatkan kesempatan memimpin jadi <a href="https://jurnal.unmer.ac.id/index.php/jkpp/article/view/436">terhalang</a>. Lagi pula, tidak ada jaminan jika anggota dari keluarga politik tertentu dapat mengulang kesuksesan pendahulunya. Pada akhirnya, ini dapat merugikan reputasi partai secara jangka panjang. </p>
<h2>Melepaskan diri dari dinasti politik</h2>
<p>Demi mencegah hal-hal buruk tersebut terjadi, partai semestinya mulai memikirkan upaya untuk mencegah terjadinya dinasti politik. </p>
<p>Beberapa upaya dapat ditempuh partai politik adalah mulai dari internal partai. Penting bagi partai politik untuk menetapkan aturan yang jelas tentang proses seleksi kandidat, termasuk batasan bagi anggota keluarga pemimpin partai untuk mencalonkan diri dalam posisi tertentu. Langkah ini perlu didukung dengan pendidikan politik kepada anggota dan kader partai tentang bahaya dinasti politik dan pentingnya regenerasi dalam kepemimpinan.</p>
<p>Tahapan tersebut akan efektif jika dilandasi dengan transparansi, sehingga prosesnya dapat dipantau dan dievaluasi oleh anggota partai dan publik.</p>
<p>Selain itu, sudah saatnya partai politik mengedepankan <a href="https://journal.univpancasila.ac.id/index.php/selisik/article/view/651">sistem meritokrasi</a> (berdasarkan prestasi dan kompetensi) dalam seleksi kandidat, sehingga kualifikasi, pengalaman, dan integritas yang menjadi pertimbangan utama, bukan hubungan keluarga.</p>
<p>Terakhir, partai politik butuh mendorong partisipasi aktif masyarakat dan media dalam mengawasi proses politik, termasuk seleksi kandidat oleh partai.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/215778/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Wawan Kurniawan tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Partai politik kerap kali sulit menghindari dinasti politik. Bisakah partai lepas dari jerat ini?Wawan Kurniawan, Peneliti di Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2072092023-06-16T18:33:52Z2023-06-16T18:33:52ZMengkritisi pertimbangan MK tentang perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/532347/original/file-20230616-21-f1f5xs.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C6000%2C3988&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/jakarta-indonesia-october-17-2020-kpk-1840677079">Vivi Octiasari/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Pada 25 Mei 2023 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk <a href="https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_mkri_9021_1684993548.pdf">mengubah masa jabatan</a> pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) <a href="https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=19196">menjadi 5 tahun </a>, dari yang sebelumnya 4 tahun. Pemohon dalam uji materi ini adalah Nurul Ghufron, Wakil Ketua KPK periode saat ini.</p>
<p>Menurut putusannya, terdapat dua alasan mengapa MK mengabulkan permohonan perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK.</p>
<p>Pertama adalah adanya perlakuan diskriminatif dan tidak adil terhadap KPK apabila menyamakannya dengan lembaga pemerintah independen lainnya yang sama-sama memiliki <em>constitutional importance</em>, yakni memiliki masa jabatan 5 tahun. Kedua adalah karena berdasarkan asas manfaat dan efisiensi, masa jabatan pimpinan KPK selama 5 tahun jauh lebih bermanfaat dan efisien sehingga dapat sesuai dengan satu periode jabatan presiden.</p>
<p>Putusan MK tersebut langsung menjadi <a href="https://www.antaranews.com/video/3586896/muhammadiyah-tolak-putusan-mk-perpanjang-masa-jabatan-pimpinan-kpk">sorotan dari berbagai pihak</a>. Banyak elemen yang <a href="https://www.metrotvnews.com/play/b3JCyGDq-novel-baswedan-berduka-mk-kabulkan-masa-jabatan-pimpinan-kpk-5-tahun">menyayangkan</a> putusan MK ini karena berdekatan dengan momentum Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, sehingga dinilai <a href="https://www.bbc.com/indonesia/articles/cljgjz0w8rro">sarat dengan kepentingan politik</a>.</p>
<p>Kekecewaan publik terhadap Putusan MK bisa dipahami, karena Ketua KPK periode 2019-2023, Firli Bahuri, kerap <a href="https://antikorupsi.org/id/article/mempertanyakan-kredibilitas-putusan-pelanggaran-kode-etik-ketua-kpk">berhadapan</a> dengan masalah kode etik. Namun, ia selalu lolos dari sanksi berat Dewan Pengawas KPK. Terlebih lagi, suara 9 hakim MK pun terpecah untuk putusan MK. Sebanyak 4 hakim MK menolak (<em>dissenting opinion</em>) perpanjangan masa jabatan Pimpinan KPK ini.</p>
<p>Meskipun putusan MK sudah tidak dapat diganggu gugat (<em>final and binding</em>), paling tidak ada beberapa kritik yang dapat kita sampaikan sebagai publik, sebagai sarana edukasi agar kita bisa lebih ketat dan kritis dalam mengawal kinerja MK.</p>
<h2>Kritik terhadap putusan MK</h2>
<p><strong><em>Pertama</em></strong>, MK bukan lembaga negara sepenuhnya demokratis karena tidak dipilih langsung oleh rakyat, sementara masa jabatan sangat berkaitan erat dengan domain perumusan kebijakan hukum terbuka (<em>opened legal policy</em>).</p>
<p>Dengan kata lain, perpanjangan masa jabatan pimpinan lembaga manapun seharusnya dilakukan melalui lembaga pembuat undang-undang, yakni lembaga legislatif, yang secara resmi didaulat sebagai wakil rakyat dan di dalamnya memiliki proses partisipasi publik.</p>
<p><strong><em>Kedua</em></strong>, dalil perlakuan diskriminatif dan tidak adil yang diterima oleh pimpinan KPK sebenarnya bisa terbantahkan dengan adanya ketidakseragaman masa jabatan sejumlah lembaga negara, seperti pimpinan Komisi Informasi (4 tahun) dan pimpinan Komisi Penyiaran Indonesia (3 tahun).</p>
<p>Terlebih lagi, definisi <a href="https://jurnalkonstitusi.mkri.id/index.php/jk/article/view/1212">perlakuan diskriminatif</a> memiliki kriteria khusus. Ini termasuk pembedaan berdasar atas alasan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik. Kriteria tersebut secara faktual tidak terjadi pada pimpinan KPK.</p>
<p><strong><em>Ketiga</em></strong>, jika memang masa jabatan pimpinan KPK perlu diperpanjang demi efektivitas kinerja mereka, ketentuan ini lebih baik diberlakukan untuk periode selanjutnya, bukan kepada pimpinan KPK aktif yang saat ini masih menjabat. Putusan seperti ini seharusnya menerapkan <a href="https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=3853888">asas non-retroaktif yang bersifat universal</a>, yakni ketika suatu aturan hukum tidak dapat berlaku surut.</p>
<p><strong><em>Keempat</em></strong>, mengubah masa jabatan pejabat aktif jelas akan mengancam independensi lembaga negara terkait, dan ini bisa menjadi preseden buruk di kemudian hari. Apalagi ini terjadi pada lembaga antirasuah, lembaga yang telah bertahun-tahun menjadi salah satu lembaga yang <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/08/30/survei-lsi-kpk-dan-presiden-jadi-lembaga-yang-paling-dipercaya-publik">paling dipercaya publik</a> berdasarkan hampir semua hasil survei.</p>
<p>Ke depannya, dikhawatirkan MK sewaktu-waktu bisa saja mengubah masa jabatan pimpinan lembaga negara yang sedang menjalankan tugasnya atas dasar kepentingan dan motif politik tertentu.</p>
<p>Kita semua percaya bahwa MK masih kokoh berdiri sebagai lembaga independen yang menjadi garda terdepan dalam mengawal konstitusi kita. Namun, jika demi kepentingan politik, apalagi menjelang tahun politik, segala sesuatunya bisa terjadi, sehingga tidak salah jika publik lebih waspada.</p>
<h2>Praktik perpanjangan masa jabatan pimpinan lembaga negara</h2>
<p>Praktik perpanjangan masa jabatan pimpinan lembaga negara kerap kali menjadi jurus andalan bagi penyelenggara negara guna seseorang untuk duduk di kursi kekuasaan lebih lama. </p>
<p>Dalam kurun waktu 3 tahun terakhir, setidaknya ada 3 kali upaya untuk mengubah masa jabatan lembaga negara, <a href="https://www.kompas.tv/video/301887/perpanjangan-masa-jabatan-hakim-mk-hingga-70-tahun-tuai-polemik">termasuk MK sendiri</a>, KPK, dan<a href="https://nasional.kompas.com/read/2022/08/30/07092931/wacana-perpanjangan-jabatan-presiden-tiga-periode-dilawan-demokrat">lembaga kepresidenan </a>, meskipun perpanjangan gagal diterapkan pada lembaga kepresidenan.</p>
<p>Perpanjangan masa jabatan hakim pada MK yang sedang aktif menjabat dilakukan pada 2020, dengan cara <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/147335/uu-no-7-tahun-2020">mengubah UU tentang Mahkamah Konstitusi</a>. Masa jabatan periodik hakim MK yang sebelumnya hanya 5 tahunan diubah dengan penentuan usia pensiun 70 tahun dengan keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 tahun.</p>
<p>Pada awal tahun 2022, para petinggi partai politik sempat menggaungkan gagasan perpanjangan masa jabatan presiden dan <a href="https://news.detik.com/berita/d-5961957/isu-penundaan-pemilu-inisiatif-ketum-partai-koalisi-atau-mau-jokowi">penundaan Pemilu 2024</a>. Elemen masyarakat sipil ramai-ramai menolak wacana tersebut karena diyakini akan membuka ruang untuk <a href="https://jurnal.fh.umi.ac.id/index.php/ishlah/article/view/43">penyalahgunaan kekuasaan</a> (<em>abuse of power</em>).</p>
<p>Perubahan masa jabatan presiden memang sulit diwujudkan karena harus melalui amendemen UUD 1945. Namun, sekali lagi, menjelang tahun politik, apa pun bisa terjadi.</p>
<p>Praktik perpanjangan masa jabatan hampir selalu dilakukan dengan balutan hukum, padahal sebenarnya telah <a href="http://radjapublika.com/index.php/IJERLAS/article/view/771">merusak independensi</a> dan mengikis demokrasi. Hal seperti ini banyak ditemui di negara-negara dengan rezim <a href="https://www.jstor.org/stable/26455917">legalisme otokratis (<em>autocratic legalism</em>)</a>, yaitu kondisi ketika kekuasaan suatu negara hanya dipegang oleh satu atau segelintir orang saja dan hukum disalahgunakan untuk melegitimasinya, seperti Turki dan Venezuela.</p>
<h2>Jalan tengah</h2>
<p>Kita tidak boleh terjebak menjadi rezim semacam itu. Pada kasus perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK ini, Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku pembuat UU bersepakat untuk menindaklanjuti putusan MK dengan memberlakukannya pada pimpinan KPK yang berikutnya.</p>
<p>Cara ini dilakukan agar, di satu sisi, pemerintah dan DPR tetap menghormati Putusan MK yang bersifat final dan mengikat, tetapi di sisi lain juga untuk melindungi independensi lembaga negara penegak hukum.</p>
<p>Dalam hal ini, Presiden perlu mengambil peran penting untuk menyelesaikan polemik ini dan menjamin bahwa independensi lembaga negara tidak dapat diganggu dengan cara apa pun. Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan yang tunduk pada konstitusi juga memiliki tanggung jawab dalam mewujudkan harapan bahwa reformasi hukum ketatanegaraan terus bergerak ke arah yang lebih baik.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/207209/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>M Addi Fauzani tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Perpanjangan masa jabatan seakan menjadi jurus andalan. Praktek yang dibalut dengan hukum tetapi malah mengikis demokrasi banyak ditemui di negara-negara dengan rezim legalisme otokratis.M Addi Fauzani, Dosen Departemen Hukum Tata Negara, Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK), Universitas Islam Indonesia (UII) YogyakartaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1726952021-11-30T01:59:22Z2021-11-30T01:59:22Z‘Inkonstitusional bersyarat’: putusan MK atas UU Cipta Kerja memunculkan tafsir ambigu<p>Pekan lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Undang-Undang (UU) No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja <a href="https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2021/11/26/uu-cipta-kerja-cacat-formil-buruh-minta-upah-minimum-dianulir">cacat formil</a> karena tidak sesuai dengan teknis pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. </p>
<p>Dalam proses pengesahannya, MK juga melihat UU Cipta Kerja (<em>omnibus law</em>) tidak memenuhi asas keterbukaan dalam proses pembahasan. Terutama menyangkut dengan partisipasi publik dalam proses pembentukan sangat minim dan adanya ketentuan yang berbeda di <a href="http://mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_mkri_8240_1637826598.pdf">RUU Cipta Kerja versi Paripurna dengan UU Cipta Kerja</a> .</p>
<p>Meski menyatakan UU itu cacat formil, MK tidak secara tegas-tegas membatalkan UU, melainkan “inkonstitusional bersyarat”. </p>
<p>MK memberi kesempatan pada pembentuk undang-undang (pemerintah dan DPR) untuk memperbaiki UU Cipta Kerja sesuai dengan tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan yang baku, dan tunduk pada asas-asas yang berlaku.</p>
<p>Putusan terhadap UU Cipta Kerja itu adalah putusan MK pertama yang mengabulkan permohonan pengujian formil suatu undang-undang. Sebelumnya, pengujian formil yang diajukan ke MK selalu berakhir dengan penolakan.</p>
<p>Sayangnya, meski permohonan uji formil ini dikabulkan, putusan inkonstitusional bersyarat yang dikeluarkan MK justru mengundang perdebatan karena memunculkan tafsir yang ambigu. </p>
<h2>Tafsir ganda</h2>
<p>Terkait keputusan yang bersyarat, MK dalam putusannya dapat menyatakan suatu ketentuan dalam UU sebagai konstitusional bersyarat (<em>conditionally constitutional</em>) atau inkonstitusional bersyarat (<em>conditionally unconstitutional</em>). </p>
<p><a href="https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt581c0c98aa2ee/pengertian-konstitusional-bersyarat-dan-inkonstitusional-bersyarat">Konstitusional bersyarat</a> bermakna bahwa suatu ketentuan dinyatakan tetap berlaku selama jangka waktu tertentu hingga tercapainya suatu kondisi baru sebagaimana yang ditetapkan oleh MK dalam putusannya. </p>
<p>Kondisi kedua, yaitu <a href="https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt581c0c98aa2ee/pengertian-konstitusional-bersyarat-dan-inkonstitusional-bersyarat">inkonstitusional bersyarat</a>, bermakna bahwa suatu ketentuan dinyatakan tidak berlaku sejak putusan tersebut dibacakan hingga kondisi yang diharapkan sudah tercapai, atau akan menjadi konstitusional apabila syarat sebagaimana ditetapkan oleh MK dipenuhi.</p>
<p>Namun, putusan MK atas UU Cipta Kerja menimbulkan perdebatan karena potensi tafsir ganda.Putusan itu berkebalikan dengan makna inkonstitusional bersyarat yang selama ini dipahami. </p>
<p>MK menyatakan bahwa UU tetap berlaku selama dua tahun ke depan, tapi pemberlakuannya dibatasi. </p>
<p>UU Cipta Kerja baru akan dinyatakan inkonstitusional secara permanen bila perbaikan sebagaimana yang dimaksud tidak dilakukan dalam waktu dua tahun.</p>
<p>Beberapa orang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja masih berlaku hingga batas waktu perbaikan, sementara kelompok yang lain justru menyatakan bahwa UU itu <a href="https://nasional.tempo.co/read/1533344/denny-indrayana-5-ambiguitas-putusan-mk-soal-uji-materi-uu-cipta-kerja/full&view=ok">tidak boleh lagi diberlakukan sama sekali</a>. </p>
<p>Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto, misalnya, ia menganggap bahwa UU Cipta Kerja tetap <a href="https://money.kompas.com/read/2021/11/25/165641026/uu-cipta-kerja-inkonstitusional-bersyarat-menko-airlangga-aturan-pelaksana?page=all">berlaku secara konstitusional</a> sampai batas waktu perbaikan berakhir.</p>
<p>Putusan MK pada kenyataannya memang menyatakan demikian. </p>
<p>Walau inkonstitusional, namun MK menyatakan secara tegas bahwa UU Cipta Kerja masih tetap berlaku hingga batas waktu dua tahun terlewati, sekalipun perbaikan tidak dilakukan dalam periode itu.</p>
<p>Hanya konteks berlakunya yang dibatasi, yakni melarang pemerintah mengeluarkan peraturan pelaksana baru, dan mengeluarkan kebijakan strategis dan berdampak luas yang didasarkan pada UU Cipta Kerja.</p>
<p>Pada sisi yang lain, <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211126201509-20-726675/ramai-ramai-kritik-putusan-mk-soal-uu-ciptaker">banyak akademisi yang justru menyatakan sebaliknya</a>. Menurut mereka, putusan inskonstitusional bersyarat yang dijatuhkan tidak dapat diartikan bahwa UU tersebut masih berlaku hingga batas waktu perbaikan berakhir.</p>
<p>Menurut mereka, putusan tersebut hanya memberikan peluang bagi pembentuk undang-undang untuk memperbaiki dan selama proses perbaikan belum selesai. UU Cipta Kerja tidak dapat diberlakukan karena statusnya saat ini adalah inkonstitusional.</p>
<p>Bila merujuk pada tafsir dari konstitusional bersyarat dan inkonstitusional bersyarat, UU Cipta Kerja memang inkonstitusonal hingga perbaikan sebagaimana yang diperintahkan MK dilaksanakan. </p>
<p>Dalam konteks ini, sifat inkonstitusional dari putusan tersebut melekat pada UU Cipta Kerja. UU ini baru akan menjadi konstitusional bila perintah perbaikan dari MK selesai dijalankan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/tiga-masalah-dalam-revisi-undang-undang-terkait-uu-cipta-kerja-161998">Tiga masalah dalam revisi undang-undang terkait UU Cipta Kerja</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Perbaikan luas</h2>
<p>Dalam putusannya, menurut MK perbaikan tidak hanya perlu dilakukan terhadap UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat. </p>
<p>Namun, secara formal, putusan tersebut juga menuntut pembentuk undang-undang untuk merumuskan aturan baku terkait penggunaan <em>omnibus law</em>, baik dalam bentuk dasar hukum yang memberikan legitimasi, maupun dari segi aturan teknis pembentukan peraturan perundang-undangan.</p>
<p>Selama ini, pembentukan peraturan perundang-undangan merujuk pada <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/39188/uu-no-12-tahun-2011">UU No. 12 Tahun 2011</a> tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan peraturan perubahannya UU No. 15 Tahun 2019. </p>
<p>Tapi UU tersebut belum mengakomodasi penggunaan undang-undang <em>omnibus</em>, yaitu penggunaan satu UU untuk mengatur banyak sektor atau mengatur sejumlah undang-undang lain. </p>
<p>Setelah aturan yang memberikan legitimasi pada penggunaan <em>omnibus</em> dirumuskan, baru proses perbaikan terhadap UU Cipta Kerja dapat dilakukan. </p>
<p>Tapi, bila membaca putusan MK secara utuh, perbaikan terhadap UU Cipta Kerja agar syarat-syarat formil terpenuhi tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat. </p>
<p>Perbaikan memerlukan proses yang bertahap karena MK juga menginginkan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik - dalam konteks ini asas keterbukaan terpenuhi - terutama dalam hal pemenuhan partisipasi publik.</p>
<p>Sebelumnya, dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja, partisipasi publik memang sangat minim. Bahkan pengesahan terhadap RUU tersebut dilakukan saat terjadi banyak penolakan akibat keinginan publik belum tertampung dalam proses legislasi penyusunan UU Cipta Kerja.</p>
<p>Pengesahan UU Cipta Kerja juga dilakukan dengan sangat tergesa-gesa, saat pembahasan belum selesai. Itu sebabnya, banyak terdapat perbedaan subtansi di RUU Cipta Kerja versi paripurna 5 Oktober 2020 dengan naskah UU Cipta Kerja saat ini.</p>
<p>Selain memerintahkan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja, MK ini juga sekaligus memberikan kritik terhadap pola pikir pemerintah yang selama ini memahami reformasi regulasi seolah-olah terbatas pada simplifikasi dan pemangkasan regulasi belaka.</p>
<p>Putusan MK ini menjadi ujian penting bagi politik legislasi pemerintah yang amat mengandalkan UU omnibus sebagai satu-satunya pilihan strategi untuk membenahi regulasi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/172695/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Antoni Putra tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Perbaikan atas UU Cipta Kerja juga memiliki prasyarat yang cukup besar.Antoni Putra, Researcher, Indonesian Center for Law and Policy Studies (PSHK)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1603552021-05-10T07:07:24Z2021-05-10T07:07:24ZKPK korban matinya kontrol lembaga peradilan terhadap kesewenangan pembentuk peraturan<p>Minggu lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk <a href="https://nasional.kompas.com/read/2021/05/04/15280191/mk-tolak-permohonan-uji-formil-uu-kpk-yang-diajukan-eks-pimpinan-kpk?page=all">menolak seluruhnya</a> permohonan uji formil terhadap revisi Undang-Undang (UU) tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).</p>
<p>Uji formil merupakan kewenangan MK untuk menilai apakah pembentukan suatu UU bertentangan dengan asas dan tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan. Jika dikabulkan, maka UU yang dimohonkan akan dinyatakan batal demi hukum sehingga tidak dapat diberlakukan. </p>
<p>Uji formil terhadap <a href="https://www.kpk.go.id/images/pdf/Undang-undang/UU-Nomor-19-Tahun-2019.pdf">UU No. 19 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK</a> diajukan oleh banyak kalangan yang terdiri dari pimpinan KPK periode 2015-2019, akademisi, aktivis penggiat anti korupsi dan advokat. Putusan MK tersebut keluar setelah proses selama 19 bulan.</p>
<p>Penolakan MK sayangnya dilakukan lewat pengujian yang tidak mendalam dan mencerminkan lumpuhnya pengawasan dan kontrol antara cabang-cabang kekuasaan.</p>
<h2>Tidak mendalam</h2>
<p>Dari sembilan hakim konstitusi, delapan hakim konstitusi satu suara untuk menolak permohonan uji formil revisi UU KPK, sedangkan satu hakim, yaitu Wahiduddin Adams, memiliki pendapat yang berbeda atau <em>dissenting opinion</em>.</p>
<p>Dalam pertimbangan putusannya, delapan hakim MK mementahkan semua dalil pemohon dan menyatakan bahwa revisi UU KPK sudah sesuai prosedur. </p>
<p>Ini sangat disayangkan karena hakim MK hanya menilai prosedur di permukaan saja dengan hanya berlandaskan pada keterangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan presiden tanpa mengkaji lebih mendalam terhadap nilai-nilai yang ada di Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. </p>
<p>Hakim Wahiduddin juga menyatakan bahwa seluruh tahapan prosedural pembentukan UU secara kasat mata memang telah ditempuh oleh pembentuk UU. </p>
<p>Namun, hampir pada setiap tahapan prosedur pembentukan Revisi UU KPK terdapat berbagai persoalan terkait konstitusi dan moral yang serius.</p>
<p>Persis seperti yang dikemukakan hakim Wahiduddin, MK seharusnya mengabulkan permohonan para pemohon karena memang revisi UU KPK ini memiliki berbagai macam keganjilan.</p>
<p>Pembuatan UU KPK dilakukan dengan waktu yang relatif singkat dan terburu-buru, misalnya dari <a href="https://www.youtube.com/watch?v=28MhMxm-6mo">fakta di persidangan</a> terbukti bahwa Daftar Inventaris Masalah (DIM) Revisi UU KPK diselesaikan oleh presiden hanya kurang dari 24 jam. </p>
<p>Dari Naskah Akademik yang ada, fakta persidangan juga menunjukkan bawah DPR dan presiden mengarahkan revisi pada pembentukan aturan baru bukan hanya melakukan perubahan. Hal ini dapat dilihat dari rumusan pengaturan UU KPK Baru yang secara nyata telah mengubah postur, struktur, arsitektur, dan fungsi KPK secara mendasar. </p>
<p>Masalah serius lainnya adalah minimnya partisipasi masyarakat yang sangat fundamental dalam pembentukan peraturan, apalagi peraturan terkait isu korupsi yang merupakan masalah serius bangsa Indonesia. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/upaya-pelemahan-kpk-telah-berlangsung-lebih-dari-satu-dekade-130396">Upaya pelemahan KPK telah berlangsung lebih dari satu dekade</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Lumpuhnya <em>checks and balances</em></h2>
<p>Dalam teori pemisahan kekuasaan <a href="https://www.britannica.com/topic/separation-of-powers">Trias Politica</a>, ada tiga cabang pembagian kekuasaan yakni, eksekutif, legislatif, dan yudisial. </p>
<p>Di Indonesia, kekuasaan eksekutif dijalankan oleh presiden, legislatif dijalankan oleh DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), kemudian yudisial dijalankan oleh Mahkamah Agung (MA) dan MK. </p>
<p>Untuk menjamin bahwa masing-masing kekuasaan tidak melampaui batas kekuasaannya, maka diperlukan suatu <em>checks and balances system</em> (sistem pengawasan dan keseimbangan): masing-masing kekuasaan saling mengawasi dan mengontrol. </p>
<p>Dalam konteks ketatanegaraan Indonesia dengan sistem presidensial, fungsi legislasi tetap mengacu pada adanya pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif, namun tidak diterapkan secara mutlak. </p>
<p>Sebelum amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, kekuasaan membentuk undang-undang berada di tangan presiden. Namun, amandemen tersebut meletakkan kekuasaan membentuk undang-undang berada di tangan DPR dengan tetap memberikan kewenangan legislasi kepada presiden. </p>
<p>Hal ini ditandai dengan adanya <a href="https://ilmuhukum.uinsgd.ac.id/wp-content/uploads/2019/10/Konstitusi_dan_Konstitusionalisme.pdf">wewenang presiden</a> untuk ikut serta dalam mengajukan suatu rancangan UU, membahas bersama dengan DPR untuk mencapai persetujuan bersama, dan mengesahkannya menjadi UU.</p>
<p>Dalam berbagai pembentukan perundang-undangan akhir-akhir ini, kita tidak melihat sistem pengawasan dan keseimbangan ini berjalan.</p>
<p>Untuk kasus revisi UU KPK, presiden dan DPR menyetujui bersama revisi tersebut di tengah penolakan besar oleh rakyat Indonesia – ditandai oleh <a href="https://theconversation.com/catatan-aktivis-98-untuk-demo-mahasiswa-2019-lanjutkan-perjuangan-124130">protes mahasiswa pada akhir 2019</a>. Penyusunannya pun <a href="https://theconversation.com/lima-argumen-revisi-uu-kpk-cacat-hukum-dan-harus-dibatalkan-130219">mengabaikan partisipasi publik</a>. </p>
<p>Praktik legislasi pada kasus revisi UU KPK, dimana masyarakat tidak dilibatkan dalam pembentukannya, biasa terjadi pada sistem politik totaliter. </p>
<p>Menurut mendiang guru besar ilmu sosial dan politik Miriam Budiadjo, dalam sistem totaliter, gagasan partisipasi masyarakat didasarkan pada pandangan elite politik bahwa rakyat perlu dibimbing dan dibina untuk mencapai stabilitas yang langgeng. Sehingga, pembentukan UU tidak perlu melibatkan masyarakat. </p>
<p>Masyarakat Indonesia yang keberatan pada suatu UU yang telah disahkan memang memiliki kesempatan untuk memohon pengujian lewat MK.</p>
<p>Namun kini kita bisa melihat bahwa ternyata MK pun tidak bisa menjadi pengoreksi antara kewenangan legislasi yang dipegang dua cabang kekuasaan yakni DPR dan presiden.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/status-asn-bagi-pegawai-semakin-melemahkan-kpk-144952">Status ASN bagi pegawai semakin melemahkan KPK</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Independensi MK</h2>
<p>Bagi suatu negara yang menerapkan prinsip-prinsip demokrasi, negara hukum, dan hak asasi manusia, pembentukan UU merupakan hal yang fundamental. </p>
<p>Indonesia sebagai salah satu negara yang menjamin prinsip-prinsip tersebut di dalam konstitusinya, sudah seharusnya memposisikan pembentukan UU seperti yang dikatakan filsuf Jean Jacques Rousseau, yaitu sebagai kehendak umum (<em>general will</em>) dari rakyat. </p>
<p>Putusan MK ini merupakan preseden buruk bagi pengujian formil di kemudian hari.</p>
<p>Padahal, saat ini kita bisa lihat pembentukan peraturan semakin ugal-ugalan, tanpa melibatkan partisipasi publik dan mengabaikan suara penolakan masyarakat. Contoh lainnya adalah pembentukan UU Cipta Kerja yang juga sedang <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210421114547-12-632715/662-pekerja-gugat-uu-cipta-kerja-ke-mk">diujikan</a> ke MK. </p>
<p>Di tengah kuatnya konsolidasi presiden dan DPR, dan <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/10/21/17455911/setahun-jokowi-maruf-lemahnya-oposisi-dan-tumbuhnya-suara-jalanan?page=all">tanpa adanya oposisi</a> di parlemen, nyaris setiap kebijakan legislasi yang kontroversial di masyarakat mulus sesuai kehendak politik pembentuknya bukan pada kebutuhan dan kehendak masyarakat.</p>
<p>Sesungguhnya rakyat hanya dapat berharap kepada MK untuk mendapatkan keadilan dari proses legislasi di Indonesia. Seharusnya Hakim MK mampu menerapkan konsep <a href="https://business-law.binus.ac.id/2020/07/02/judicial-activism-sepakbola/">aktivisme yudisial</a> dengan tidak melihat hukum sebagai teks undang-undang belaka melainkan menghidupkan kemaslahatan dalam tempat ia hidup. </p>
<p>Hakim MK seharusnya <a href="https://theconversation.com/peneliti-perpanjangan-masa-jabatan-penghargaan-presiden-dapat-mengganggu-independensi-hakim-mk-150962">independen</a> dan tidak terkooptasi kepentingan politik atau cabang kekuasaan lain dalam memutuskan suatu perkara pengujian UU.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/160355/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Nabila Yusuf tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Penolakan MK atas permohonan uji UU KPK dilakukan lewat pengujian yang tidak mendalam dan mencerminkan lumpuhnya pengawasan dan kontrol antara cabang-cabang kekuasaan.Nabila Yusuf, Researcher, Indonesian Center for Law and Policy Studies (PSHK) and Assistant lecturer, Indonesia Jentera School of Law, Indonesian Center for Law and Policy Studies (PSHK)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1479952020-10-16T10:32:57Z2020-10-16T10:32:57ZAda dua peluang membatalkan omnibus law UU Cipta Kerja sesuai hukum, mana yang lebih tepat?<p>Undang-Undang (UU) Cipta Kerja atau <em>omnibus law</em> Cipta Kerja telah resmi <a href="https://koran.tempo.co/read/berita-utama/458566/terburu-buru-mengesahkan-aturan-baru">disahkan</a> pemerintah bersama DPR pada 5 Oktober 2020. Tak hanya prosedur pembentukannya, mayoritas materi muatannya juga mengandung masalah. </p>
<p>Ini adalah proses legislasi buruk Dewan Perwakilan Rakyat yang kesekian kali, seperti halnya pengesahan <a href="https://theconversation.com/lima-argumen-revisi-uu-kpk-cacat-hukum-dan-harus-dibatalkan-130219">UU Komisi Pemberantasan Korupsi</a> (KPK), <a href="https://theconversation.com/lemahnya-regulasi-minerba-berpotensi-tingkatkan-angka-korban-tenggelam-di-lubang-bekas-tambang-141487">UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara</a> (Minerba), dan UU Mahkamah Konstitusi.</p>
<p>Mekanisme apa yang bisa digunakan untuk menjegal <em>omnibus law</em> Cipta Kerja agar tidak mengikat publik, merugikan buruh, merusak lingkungan, melegalkan korupsi investasi, dan tidak menjadikan presiden semakin kuat?</p>
<p>Dengan hukum yang tersedia hari ini, menggagalkan <em>omnibus law</em> Cipta Kerja hanya tersedia dua cara. </p>
<p>Pertama, mengajukan permohonan pengujian baik formil ataupun materil UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kedua, meminta presiden menggeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan UU Cipta Kerja.</p>
<p>Cara paling cepat adalah lewat Perppu, namun ini sangat tergantung Jokowi.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/selain-cipta-kerja-ada-tiga-omnibus-law-lain-yang-menunggu-disahkan-apa-layak-diteruskan-148009">Selain Cipta Kerja, ada tiga omnibus law lain yang menunggu disahkan. Apa layak diteruskan?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Peluang <em>judicial review</em> di Mahkamah Konstitusi</h2>
<p>Mengajukan permohonan ke MK adalah jalur konstitusional yang disediakan Undang Undang Dasar (UUD) 1945 apabila warga negara tidak setuju terhadap keberlakuan suatu undang-undang. </p>
<p>Jika melihat pada proses pembentukan UU Cipta kerja yang bermasalah pada tiga tahapan pembentukan undang-undang - yakni tahap perencanaan, penyusunan, dan pembahasan - rakyat bisa mengajukan pengujian formil UU Cipta Kerja ke MK. </p>
<p>Pengujian formil adalah pengujian terhadap proses pembentukan undang-undang yang tidak sejalan dengan <a href="http://www.dpr.go.id/jdih/uu1945">konstitusi </a>dan <a href="http://bphn.go.id/data/documents/11uu012.pdf">UU No. 12 tahun 2011 sebagaimana diubah UU No. 15 tahun 2019 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan</a> (UU PPP). </p>
<p>Keputusan uji formil dapat membatalkan UU Cipta Kerja secara keseluruhan. </p>
<p>Dalam proses pembahasan UU ini, DPR melakukan <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200928082342-32-551638/buruh-pergoki-dpr-rapat-ruu-cipta-kerja-di-hotel">rapat di hotel mewah</a> yang tidak bisa diakses publik. Dalam hal dokumentasi juga demikian; banyak sekali dokumen saat pembahasan tidak bisa diakses publik.</p>
<p>Padahal, Pasal 88 dan Pasal 96 UU PPP menghendaki adanya partisipasi publik dan keterbukaan dalam proses pembahasan. </p>
<p>Di tahap penyusunan, UU Cipta Kerja tidak melibatkan publik dan penyusunannya didominasi oleh pengusaha yang tergabung dalam <a href="https://tirto.id/daftar-anggota-satgas-omnibus-law-james-riady-hingga-erwin-aksa-enxx">satuan tugas UU Cipta Kerja</a>. </p>
<p>Begitu juga ketika peralihan dari tahap penyusunan ke tahap pembahasan yang dilakukan melalui penerbitan Surat Presiden (surpres) yang dikirim ke DPR. </p>
<p>Surat ini diduga mengalami cacat formil karena dikeluarkan dengan tidak layak. </p>
<p>Berbagai kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam <a href="https://kumparan.com/kumparannews/tim-advokasi-demokrasi-gugat-surpres-jokowi-soal-ruu-cipta-kerja-ke-ptun-1tLMDsw7Ie7">Tim Advokasi untuk Demokrasi</a> saat ini sedang <a href="https://sipp.ptun-jakarta.go.id/index.php/detil_perkara">menggugat</a> keabsahan surpres itu di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. </p>
<p>Jika PTUN Jakarta mengabulkan gugatan ini, tentu akan menambah bukti kuat bahwa telah terjadi pelanggaran formil saat penyusunan dan pembahasan UU Cipta Kerja dilakukan.</p>
<p>Selain memeriksa apakah prosedur pembuatan UU Cipta Kerja sesuai kaidah hukum, UU Cipta Kerja juga bisa diuji secara materil. </p>
<p>Pengujian materil adalah pengujian atas pasal, ayat, atau bagian dari UU Cipta Kerja yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. </p>
<p>Keputusan MK dapat membatalkan pasal, ayat, atau bagian undang-undang itu.</p>
<p>Seperti diketahui, UU Cipta Kerja banyak memuat pasal yang berpotensi bertentangan dengan UUD 1945. </p>
<p>Misalnya, ketentuan dalam BAB X tentang Investasi Pemerintah Pusat dan Kemudahan Proyek Strategis Nasional yang menyatakan bahwa pengurus dan pegawai lembaga pengelola investasi tidak dapat dituntut secara pidana ataupun perdata apabila terjadi kerugian keuangan negara saat melakukan investasi. </p>
<p>Ketentuan itu juga mengatur bahwa UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak bisa diberlakukan atas lembaga ini dan pihak manapun termasuk penegak hukum tidak dapat menyita aset dari lembaga pengelolaa investasi. </p>
<p>Pengecualian-pengecualian seperti ini tentu bertentangan konstitusi sehingga dapat diminta pembatalan melalui pengujian materiil ke MK.</p>
<p>Meski UU Cipta Kerja jelas memiliki beragam persoalan, bertarung di MK hari ini tidak mudah. </p>
<p>Bulan lalu, DPR dan presiden telah memberi “hadiah” pada MK <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/147335/uu-no-7-tahun-2020">revisi UU MK</a> berupa perpanjangan masa jabatan hakim MK hingga usia 70 tahun. </p>
<p>Ini diduga kuat diberikan sebagai bentuk gratifikasi legislasi yang dilakukan DPR bersama presiden kepada MK. Diduga, salah satu tujuan pemberian itu adalah agar UU Cipta Kerja tidak dibatalkan oleh MK jika nanti dilakukan pengujian ke MK.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengapa-uu-cipta-kerja-tidak-menciptakan-lapangan-kerja-tapi-memperkuat-oligarki-147448">Mengapa UU Cipta Kerja tidak menciptakan lapangan kerja tapi memperkuat oligarki</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Peluang penerbitan Perppu</h2>
<p>Selain <em>judicial review</em> ke MK, mendesak Presiden menerbitkan Perppu adalah cara konstitusional yang efektif untuk membatalkan UU Cipta Kerja dengan cepat. </p>
<p>Adanya kegentingan yang memaksa sebagai syarat diterbitkannya Perppu sudah terpenuhi. </p>
<p>Gejolak <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-54469444">penolakan</a> yang <a href="https://tirto.id/rakyat-indonesia-tolak-omnibus-law-6-pemda-15-dprd-surati-jokowi-f5Kk">meluas</a> hampir di seluruh Indonesia dan aparat yang semakin represif mengancam kestabilan negara.</p>
<p>Ahli hukum asal Belanda, Van Dullemen, dalam bukunya Staatsnoodrecht en Democratie menyebut <a href="http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/1273_Eksistensi_Perppu.pdf">empat syarat</a> hadirnya hukum darurat seperti Perppu yakni: eksistensi negara tergantung tindakan darurat; tindakan itu amat diperlukan dan tidak bisa digantikan dengan yang lain; bersifat sementara (berlaku sekali dalam waktu singkat untuk sekadar menormalkan keadaan); dan saat tindakan diambil, parlemen tidak dapat bersidang secara nyata dan bersungguh-sungguh. </p>
<p>Lebih lanjut Van Dullemen menekankan, pendekatan utama dalam mengeluarkan hukum darurat seperti Perppu ini adalah <em>salus populi suprema lex</em> (keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi). </p>
<p>Meski demikian, harus kita ingat bahwa UU Cipta Kerja adalah usulan presiden; sehingga peluang Jokowi mengeluarkan Perppu yang membatalkan tentu menjadi kecil.</p>
<h2>Peluang <em>legislative review</em></h2>
<p>Selain dua cara tadi, terdapat alternatif lain untuk mengubah UU Cipta Kerja agar sesuai dengan tuntutan masyarakat, yakni melalui <em>legislative review</em> atau perubahan melalui jalur normal di DPR. </p>
<p>Untuk hal ini, masyarakat bisa mendesak Fraksi Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) - yang menolak UU Cipta Kerja - untuk mengusulkan kembali UU Cipta Kerja diubah dengan cara memasukkannya ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas tahun 2021. </p>
<p>Akan tetapi, peluang menggunakan cara ini dipastikan menemui jalan terjal. </p>
<p>Demokrat dan PKS adalah fraksi yang suaranya minoritas di parlemen. Fraksi lain yang dari awal sudah menyetujui UU Cipta Kerja bisa diperkirakan tidak akan mau lagi membahas.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/uu-cipta-kerja-mengubah-konsep-diskresi-berdampak-buruk-pada-administrasi-pemerintahan-146583">UU Cipta Kerja mengubah konsep diskresi, berdampak buruk pada administrasi pemerintahan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Pilihan peluang</h2>
<p>Dari beberapa peluang yang tersedia, menurut saya mendesak Jokowi mengeluarkan Perppu adalah cara paling tepat. </p>
<p>Penerbitan Perppu tidak membutuhkan waktu, tenaga, dan sumber daya yang banyak, apalagi kewenangan itu tunggal berada di tangan presiden. </p>
<p>Sebagai inisiator UU Cipta Kerja, Jokowi harus menunjukkan diri bahwa dia pemimpin bertanggung jawab. </p>
<p>Untuk itu, tuntutan publik harus diarahkan kepada Jokowi, karena hanya di tangan presiden <em>omnibus law</em> Cipta Kerja bisa dibatalkan dengan cepat.</p>
<hr>
<p><em>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/147995/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Agil Oktaryal tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Secara hukum, ada dua menggagalkan omnibus law Cipta Kerja: lewat permohonan pengujian ke Mahkamah Konstitusi atau meminta presiden menggeluarkan Perppu untuk membatalkan.Agil Oktaryal, Researcher at PSHK and Lecturer at Indonesia Jentera School of Law, Indonesian Center for Law and Policy Studies (PSHK)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1377822020-05-13T06:33:30Z2020-05-13T06:33:30ZNegara rentan salah gunakan kewenangan selama pandemi: pentingnya MK adopsi sistem pengaduan konstitusional<p>Peran lembaga peradilan, khususnya peradilan konstitusi, menjadi makin krusial dalam pandemi.</p>
<p>Ini karena pemerintah bisa saja secara <a href="https://theconversation.com/penegak-hukum-indonesia-bertindak-sewenang-wenang-selama-pandemi-perlunya-sistem-pemidanaan-rasional-137604">sewenang-wenang</a> membuat aturan dan kebijakan yang merugikan masyarakat atau <a href="https://theconversation.com/yang-luput-dari-psbb-kewajiban-pemerintah-untuk-penuhi-hak-kesehatan-warga-136747">mengelak kewajiban</a> yang harus dilakukannya dengan dalih suasana darurat pandemi.</p>
<p>Peran peradilan konstitusi penting untuk mengevaluasi kebijakan negara dan permasalahan tata kelola pemerintahan agar memastikan hak dan kewajiban warga negara terpenuhi dengan adil bahkan selama pandemi. </p>
<p>Selama ini lembaga peradilan hanya memiliki dua jalur upaya hukum warga masyarakat dalam menuntut keadilan karena kelalaian pemerintah: gugatan perwakilan kelompok (<em>class action</em>) dan uji materi (<em>judicial review</em>).</p>
<p>Pada awal masa pandemi, beberapa pihak yang mewakili pengusaha usaha kecil dan menengah memang telah menempuh jalur hukum dengan mengajukan <a href="https://theconversation.com/explainer-seperti-apa-gugatan-class-action-di-indonesia-136051">gugatan <em>class action</em></a> terhadap kegagalan pemerintah dalam merespons pandemi. </p>
<p>Namun dampak hukumnya terbatas karena hanya memberikan penyelesaian pada para penggugat terkait dalam bentuk ganti rugi finansial. <em>Class action</em> bukanlah jalur yang tepat untuk menuntut ‘kompensasi politik’ atau perubahan dengan dampak yang lebih universal atas suatu keputusan politik.</p>
<p>Demikian juga <em>judicial review</em>. </p>
<p>Walau warga negara dapat melakukan <em>judicial review</em> ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melindungi hak konstitusionalnya, upaya tersebut hanya terbatas pada <a href="https://www.ifes.org/sites/default/files/law_no24_constitutional_court.pdf">pengujian atas konstitusionalitas undang-undang</a>. </p>
<p>Jalur ini tidak dapat digunakan untuk menguji segala keputusan atau tindakan aparatur negara yang berpotensi mencederai hak asasi manusia, yang mungkin saja berlandaskan pada produk hukum yang lebih rendah daripada undang-undang. </p>
<p>Dalam konteks inilah, pengaduan konstitusional (<em>constitutional complaint</em>) sebagai suatu mekanisme hukum perlu diadopsi.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/penegak-hukum-indonesia-bertindak-sewenang-wenang-selama-pandemi-perlunya-sistem-pemidanaan-rasional-137604">Penegak hukum Indonesia bertindak sewenang-wenang selama pandemi: perlunya sistem pemidanaan rasional</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Konsep <em>constitutional complaint</em></h2>
<p>Pada dasarnya, <em>constitutional complaint</em> dapat diartikan sebagai mekanisme langsung bagi warga negara untuk membuat pengaduan ke peradilan konstitusi manakala mereka merasa bahwa hak-hak konstitusionalnya telah tercederai atau terabaikan oleh kebijakan, keputusan, ataupun tindakan aparatur negara.</p>
<p>Peran lembaga peradilan yang memungkinkan warga untuk melakukan gugatan langsung pada negara muncul seiring gelombang demokratisasi di berbagai belahan dunia yang <a href="https://www.taylorfrancis.com/books/e/9780203115596/chapters/10.4324/9780203115596-6">meningkatkan peran lembaga peradilan dalam merespons kebijakan publik, tata kelola pemerintahan, dan permasalahan politik yang pelik</a>.</p>
<p>Pengaduan ini merupakan perwujudan perlindungan tertinggi atas hak asasi manusia dalam negara demokratis dimana segala keputusan, kebijakan, dan tindakan otoritas publik wajib didasarkan - pertama-tama dan terutama - pada konstitusi yang menggariskan antara kewenangan negara dengan hak dan kewajiban rakyatnya.</p>
<p>Dalam penanganan pandemi, ada kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia yang berpotensi mencederai hak konstitusional warga negara.</p>
<p>Misalnya, negara gagal dalam menyediakan <a href="https://www.channelnewsasia.com/news/asia/indonesia-covid19-doctors-nurses-at-risk-12573980">alat pelindung diri untuk tenaga medis</a> yang memadai dengan segera, sehingga turut meningkatkan jumlah dokter dan perawat yang berguguran dalam penanganan pasien.</p>
<p>Hal ini bertentangan dengan <a href="http://www.unesco.org/education/edurights/media/docs/b1ba8608010ce0c48966911957392ea8cda405d8.pdf">konstitusi Indonesia (Undang-Undang Dasar 1945)</a>, yang menjamin hak tiap warga negara untuk hidup dan melindungi kehidupannya, serta yang mewajibkan negara untuk menyediakan fasilitas kesehatan yang memadai.</p>
<p>Contoh yang lain adalah polisi yang melakukan penangkapan orang-orang yang diduga telah menghina presiden dan otoritas publik dalam mengekpresikan kekecewaannya terkait penanganan wabah oleh pemerintah, sebagaimana dialami oleh <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2020/04/24/activist-arrested-as-he-was-about-to-get-into-dutch-embassy-car-police.html">aktivis Ravio Patra</a> bulan lalu.</p>
<p>Aktivis hukum mengecam kepolisian karena <a href="http://icjr.or.id/enforcing-article-on-the-defamation-of-the-president-police-sets-their-face-against-constitutional-courts-decision/">secara terbuka melawan putusan MK tahun</a> <a href="http://hukum.unsrat.ac.id/etc/mk_013-022_2006.pdf">2006</a>) terkait penghinaan presiden dan kekuasaan umum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Penangkapan ini tentunya bertentangan dengan UUD 1945 tentang hak tiap warga negara untuk bebas berpendapat.</p>
<p>Pengadopsian <em>constitutional complaint</em> sebagai suatu mekanisme hukum akan mengukuhkan perlindungan hak tiap warga negara Indonesia, sebagaimana diatur dalam konstitusi dan perundang-undangan. </p>
<p>Dengan mekanisme ini, warga negara yang merasa hak konstitusionalnya tercederai atau dilanggar oleh kebijakan pemerintah dalam penanganan krisis pandemi sebagaimana diilustrasikan diatas, dapat secara langsung mengajukan permohonan ke MK. </p>
<p>Teknis pengajuan permohonan tentunya perlu diatur lebih lanjut dalam hukum acara persidangan yang berlaku di MK. </p>
<p>Di Jerman, pemohon mengajukan <em>constitutional complaint</em> kepada mahkamah konstitusi setempat <a href="https://www.bundesverfassungsgericht.de/EN/Homepage/_zielgruppeneinstieg/Merkblatt/Merkblatt_node.html"><em>Bundesverfassungsgericht</em></a> secara tertulis dengan menerangkan sejelas-jelasnya tindakan atau kebijakan otoritas publik yang berdampak negatif pada dirinya serta hak konstitusional yang dilanggar oleh kebijakan tersebut.</p>
<p>Di sana, mahkamah berwenang, antara lain, untuk menyatakan suatu tindakan otoritas publik sebagai tidak konstitusional atau membatalkan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait.</p>
<p>Satu kasus yang cukup populer di sana adalah pengajuan <em>constitutional complaint</em> atas <a href="https://www.ft.com/content/bba9ff90-c96e-11e4-b2ef-00144feab7de">larangan pemakaian hijab</a> terhadap guru sekolah di negara bagian North Rhine-Westphalia. Beberapa guru perempuan beragama Islam yang keberatan dan merasa dirugikan atas larangan tersebut mengajukan pengaduan.</p>
<p>Mahkamah konstitusi mengabulkan permohonan tersebut dan kemudian mengeluarkan <a href="https://www.bundesverfassungsgericht.de/SharedDocs/Downloads/EN/2015/01/rs20150127_1bvr047110en.pdf?__blob=publicationFile&v=4">putusan</a> yang menyatakan bahwa larangan tersebut inkonstitusional karena melanggar hak kebebasan beragama sebagaimana diatur dalam konstitusi Jerman. Putusan ini berdampak luas berupa <a href="https://www.bbc.com/news/world-europe-31867732">dicabutnya aturan larangan serupa</a> yang berlaku di beberapa negara bagian lain di sana.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/explainer-seperti-apa-gugatan-class-action-di-indonesia-136051">Explainer: Seperti apa gugatan _class action_ di Indonesia?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Mengadopsi <em>constitutional complaint</em></h2>
<p>Penanganan <em>constitutional complaint</em> oleh MK sebenarnya bukanlah konsep yang baru di Indonesia. Gagasan ini pernah mengemuka di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada masa amandemen konstitusi Indonesia zaman Reformasi. </p>
<p>Namun <a href="https://journal.umy.ac.id/index.php/jmh/article/view/1984">gagasan ini tidak berlanjut</a> karena adanya kekhawatiran tumpang tindih fungsi kehakiman dan perluasan kewenangan MK. </p>
<p>Pada kenyataannya, <a href="https://consrev.mkri.id/index.php/const-rev/article/view/514">di berbagai negara lain</a> sangat jarang peradilan konstitusi yang tidak memiliki kewenangan <em>constitutional complaint</em> mengingat fungsinya yang sangat penting dalam menjamin hak konstitusional warga negara.</p>
<p>Mantan hakim ketua MKRI, <a href="https://journal.umy.ac.id/index.php/jmh/article/view/1984">Hamdan Zoelva</a>, bahkan menyatakan bahwa semenjak didirikan, MK banyak menerima pengajuan kasus yang pada hakekatnya adalah <em>constitutional complaint</em> namun tidak dapat diterima karena tidak adanya kewenangan.</p>
<p>Idealnya, diperlukan amandemen konstitusi atau setidaknya revisi undang-undang yang mengatur <em>constitutional complaint</em> sebagai kewenangan kehakiman MK. </p>
<p>MK sendiri juga secara hukum berwenang untuk melakukan <a href="https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2847496">penafsiran konstitusi</a> guna memasukkan <em>constitutional complaint</em> sebagai bagian dari mekanisme <em>judicial review</em> yang telah dimilikinya. </p>
<p>Kesempatan untuk melakukan hal tersebut sejatinya muncul saat beberapa elemen masyarakat sipil tahun lalu mengajukan <a href="https://mkri.id/public/content/persidangan/resume/resume_perkara_1970_Perkara%20No.%2028%20-%20upload.pdf">permohonan pada MK</a> untuk menginterpretasikan kewenangannya sebagaimana termaktub dalam peraturan perundang-undangan terkait sehingga meliputi kewenangan untuk mengadili <em>constitutional complaint</em>. </p>
<p>Sayangnya, meskipun MK mengakui berwenang mengadili kasus tersebut namun permohonan tersebut tidak diterima karena pemohon dianggap tidak memiliki kedudukan hukum.</p>
<p>Dorongan dan dukungan bagi MK untuk mengambil inisiatif progresif sehingga <em>constitutional complaint</em> dapat diadopsi di Indonesia perlu terus dilakukan demi kemaslahatan warga negara. </p>
<p>Hanya waktu yang akan menjawab apakah MK akan terus berlaku sebagai ‘<em>judicial activist</em>’, memainkan peran aktif dalam membumikan demokrasi dan supremasi hukum di Indonesia seperti dicatat oleh ahli politik <a href="https://www.routledge.com/Routledge-Handbook-of-Southeast-Asian-Democratization-1st-Edition/Case/p/book/9781138939042">Bjoern Dressel</a>, ataukah dia akan secara bertahap menanggalkan jubah ‘kepahlawanannya’ sebagaimana ditulis oleh ahli hukum <a href="https://www.routledge.com/Law-and-Politics-of-Constitutional-Courts-Indonesia-and-the-Search-for/Hendrianto/p/book/9781138296428">Stefanus Hendrianto</a>.</p>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/137782/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Constitutional complaint perlu diadopsi sebagai mekanisme hukum untuk melindungi hak asasi warga negara yang terdampak kebijakan pemerintah.Kris Wijoyo Soepandji, Assistant Professor of Law. Theory of State Lecturer, Universitas IndonesiaFakhridho Susilo, PhD Candidate in Policy and Governance at the Crawford School of Public Policy, Australian National UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1345582020-03-27T05:13:20Z2020-03-27T05:13:20ZDua cara agar putusan Mahkamah Konstitusi selalu dipatuhi<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/323133/original/file-20200326-168899-6s8xk5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=429%2C423%2C3121%2C2256&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Bagus Indahono/EPA</span></span></figcaption></figure><p>Akhir Januari lalu, <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/01/28/12490461/banyak-putusan-mk-tak-dipatuhi-anwar-usman-pembangkangan-konstitusi?page=all">Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman mengungkapkan kekhawatirannya terhadap kondisi sistem peradilan konstitusi karena banyak putusan MK yang tidak dipatuhi. </a></p>
<p><a href="https://mkri.id/public/content/infoumum/penelitian/pdf/hasilpenelitian_101_Laporan%20Penelitian%20Kompetitif%20Trisakti.pdf">Penelitian</a> yang dilakukan lewat kerja sama antara MK dan Fakultas Hukum Universitas Trisakti menunjukkan bahwa antara 2013 dan 2018, dari total 109 putusan MK, terdapat 24 putusan (22%) yang tidak dipatuhi sama sekali.</p>
<p>Penelitian itu juga menemukan bahwa enam putusan (5.5%) hanya dipatuhi sebagian. Hanya 59 putusan (54.1%) saja yang dipatuhi seluruhnya, serta sisanya 20 putusan belum dapat diidentifikasi dengan jelas.</p>
<p>Untuk memastikan putusan MK dipatuhi ada dua hal yang bisa dilakukan. Sanksi perlu dibuat bagi subjek yang tidak melaksanakan putusan MK. Putusan MK juga perlu diperkuat kedudukannya dalam hierarki perundang-undangan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengapa-peradilan-indonesia-mengabaikan-putusan-mahkamah-konstitusi-107041">Mengapa peradilan Indonesia mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>1. Penetapan sanksi</h2>
<p>Pemerintah perlu menetapkan sanksi bagi subjek putusan yang tidak mematuhi putusan MK. Hal ini dapat dilakukan dengan cara merevisi <a href="https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/13664/nprt/538/undangundang-nomor-24-tahun-2003#">Undang Undang (UU) No. 24 Tahun 2003</a> tentang MK. Ketentuan tentang sanksi bisa dimasukkan menjadi bagian dari UU MK. </p>
<p>Cara lain untuk menetapkan sanksi bagi yang tidak mematuhi putusan MK adalah dengan membentuk <a href="https://www.komisiyudisial.go.id/frontend/news_detail/1032/banyak-penghinaan-pengadilan-hakim-minta-uu-contempt-of-court-segera-disahkan">UU Penghinaan terhadap Peradilan</a> (<em>contempt of court</em>) yang saat ini tidak dimiliki Indonesia. </p>
<p>Saat ini, putusan MK tidak memiliki daya paksa sama sekali. Tidak ada sanksi yang mengancam bila putusan MK tidak dilaksanakan. Ironis, mengingat putusan MK bersifat final dan mengikat.</p>
<h2>2. Masukkan putusan MK dalam hierarki peraturan perundang-undangan</h2>
<p>Selain penetapan sanksi, putusan MK harus dimasukkan ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara merevisi <a href="https://kelembagaan.ristekdikti.go.id/wp-content/uploads/2016/08/UU-12-Tahun-2011.pdf">UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan</a>. </p>
<p>Saat ini, hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut: </p>
<ol>
<li>UUD 1945</li>
<li>Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat</li>
<li>UU atau Peraturan Pemerintah Pengganti UU </li>
<li>Peraturan Pemerintah</li>
<li>Peraturan Presiden</li>
<li>Peraturan Daerah Provinsi</li>
<li>Peraturan Daerah Kabupaten/Kota</li>
</ol>
<p>Dalam pengujian UU, putusan MK merupakan putusan yang lahir akibat adanya UU yang diuji terhadap UUD 1945. Bila UU yang diuji tersebut bertentangan dengan UUD 1945, maka putusan tersebut akan dibatalkan MK melalui putusannya, dan terhadap putusan MK tersebut sudah tidak tersedia lagi upaya hukum yang dapat dilakukan. Oleh sebab itu, putusan MK seharusnya berada setingkat di atas UU. </p>
<h2>Putusan tidak dilaksanakan</h2>
<p>Tanpa dua hal tersebut keputusan MK sering diabaikan. Ada beberapa contoh menonjol putusan MK yang tidak dilaksanakan.</p>
<p>Salah satunya adalah putusan MK dalam pengujian undang-undang (<em>judicial review</em>) <a href="https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt53187f2d25845/mk-batalkan-aturan-pk-hanya-sekali/">tentang peninjauan kembali kasus pidana</a>. Pengujian ini diajukan oleh mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar.</p>
<p>Dalam putusan No. 34/PUU-XI/2013 ini, MK menyatakan bahwa peninjauan kembali dalam suatu kasus dapat dilakukan berkali-kali. </p>
<p>Namun, tak lama kemudian Mahkamah Agung (MA) merespons putusan ini dengan Surat Edaran MA (SEMA) yang bertolak belakang, <a href="https://icjr.or.id/berdasarkan-tiga-putusan-mahkamah-konstitusi-mahkamah-agung-harus-segera-mencabut-sema-no-7-tahun-2014/">yakni SEMA No. 7 Tahun 2014 yang membatasi pengajuan peninjauan hanya sekali.
</a></p>
<p><a href="https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5b6831999b2fc/aturan-pk-berkali-kali-minta-dimaknai-hanya-perkara-pidana/">MA beralasan bahwa peninjauan kembali juga diatur</a> dalam Undang-Undang (UU) No. 14 Tahun 1985 tentang MA dan UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.</p>
<p>Seharusnya, setelah adanya putusan tahun 2013 itu, secara <em>mutatis mutandis</em> putusan MK itu membatalkan ketentuan dalam dua UU tersebut. <a href="https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4bdfcd4e7c122/pengertian-mutatis-mutandis/"><em>Mutatis mutandis</em></a> dalam hal ini maksudnya adalah putusan MK juga berlaku terhadap ketentuan sama yang disebut dalam dua UU tersebut.</p>
<p>Rancangan UU (RUU) Cipta Kerja yang dibuat pemerintah juga berpotensi melanggar putusan-putusan MK jika disahkan–belum ditambah bahwa <a href="https://theconversation.com/dua-masalah-hukum-dalam-penyusunan-ruu-omnibus-law-cipta-lapangan-kerja-129979">penyusunannya bermasalah</a>.</p>
<p>Sedikitnya ada <a href="https://republika.co.id/berita/q6pxgf428/kode-inisiatif-31-pasal-ruu-omnibus-law-inkonstitusional%20https://mediaindonesia.com/read/detail/294598-31-pasal-di-ruu-ciptaker-dinilai-langgar-konstitusi">31 ketentuan RUU tersebut yang bertentangan dengan putusan MK</a> sebelumnya. </p>
<p>Salah satu yang paling terlihat adalah <a href="https://pshk.or.id/publikasi/siaran-pers/ruu-cipta-kerja-awal-langkah-penuh-masalah/">Pasal 166 dalam RUU tersebut yang menyebutkan bahwa Peraturan Presiden bisa membatalkan Peraturan Daerah (perda)</a>. </p>
<p>Ini bertentangan dengan <a href="https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt5c10dc772303f/putusan-mahkamah-konstitusi-nomor-56-puu-xiv-2016">putusan MK tahun 2016</a> yang menyebutkan bahwa kewenangan membatalkan perda ada pada MA melalui mekanisme <em>judicial review</em>. </p>
<p>Satu contoh lain: <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/03/05/16375231/kode-inisiatif-ada-31-pasal-inkonstitusional-di-draf-ruu-cipta-kerja?page=2">Pasal 86 RUU Cipta Kerja</a> menyebutkan frasa “perjanjian kerja untuk waktu tertentu” terkait praktik Pekerjaan Waktu Tertentu dan <em>outsourcing</em>.</p>
<p>Padahal MK <a href="https://www.bphn.go.id/data/documents/putusan_27-puu-ix-2011_(ketenagakerjaan)(outsourcing).pdf">pada 2011</a> telah menetapkan agar frasa tersebut dihapus dari dua pasal dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan karena tidak mengisyaratkan adanya perlindungan hak–hak bagi pekerja/buruh.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengapa-indonesia-tidak-membutuhkan-omnibus-law-cipta-kerja-130550">Mengapa Indonesia tidak membutuhkan Omnibus Law Cipta Kerja</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Sifat putusan MK</h2>
<p>MK adalah lembaga yudisial yang terlahir sebagai anak kandung <a href="https://mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=11768">Reformasi</a> yang <a href="https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5aedf271ad4e4/bisakah-menghidupkan-kembali-pasal-yang-pernah-dibatalkan-mk/">putusannya bersifat final dan mengikat (<em>final and binding</em>)</a>. </p>
<p>Artinya, sejak putusan dibacakan oleh hakim konstitusi dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum, maka putusan putusan tersebut harus dipatuhi dan mengikat semua orang, serta tidak tersedia lagi upaya hukum untuk membatalkan putusan tersebut.</p>
<p>Putusan MK tidak dapat dibatalkan bahkan dengan UU baru sekalipun. <a href="https://kolom.tempo.co/read/1308386/masalah-hukum-undang-undang-cipta-kerja/full&view=ok">Bila sebuah norma hukum yang telah dinyatakan inkonstitusional mau dihidupkan kembali, caranya hanyalah dengan perubahan konstitusi</a>, yaitu mengubah UUD 1945.</p>
<p>Ini sejalan dengan fungsi MK sebagai pengawal konstitusi: tidak boleh ada peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan konstitusi. Putusan MK merupakan penafsiran dari konstitusi dalam bentuk putusan yang seharusnya secara hierarki memiliki kedudukan di atas UU.</p>
<p>Bila subjek yang tidak melaksanakan putusan MK diberi sanksi dan putusan MK menempati hierarki yang tinggi dalam perundang-undangan tentu putusan MK akan memiliki daya paksa untuk dijalankan, serta menjadikan putusan MK sebagai putusan yang benar-benar menyelesaikan masalah.</p>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/134558/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Antoni Putra tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Sanksi perlu dibuat bagi subjek yang tidak melaksanakan putusan MK. Putusan MK juga perlu diperkuat kedudukannya dalam hierarki perundang-undangan.Antoni Putra, Researcher, Indonesian Center for Law and Policy Studies (PSHK)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1302192020-01-24T02:56:04Z2020-01-24T02:56:04ZLima argumen revisi UU KPK cacat hukum dan harus dibatalkan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/311536/original/file-20200123-162204-3xn7ny.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C170%2C4473%2C2901&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Luthfi Dzulfikar/The Conversation Indonesia</span></span></figcaption></figure><p>Setelah Presiden Joko “Jokowi” Widodo <a href="https://www.vivanews.com/indepth/fokus/17050-jokowi-tolak-terbitkan-perppu-kpk-hilang-taji?medium=autonext">menolak keluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)</a> untuk membatalkan <a href="https://www.kpk.go.id/images/pdf/Undang-undang/UU-Nomor-19-Tahun-2019.pdf">UU No. 19 Tahun 2019 </a> tentang perubahan kedua undang-undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), harapan terakhir menyelamatkan KPK dari pelemahan akibat revisi UU itu kini berada di Mahkamah Konstitusi (MK) melalui kewenangan <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Pengujian_yudisial"><em>judicial review</em></a> yang dimilikinya.</p>
<p><a href="https://news.detik.com/berita/d-4792569/saat-pimpinan-kpk-turun-gunung-gugat-uu-kpk">Dua belas orang</a> yang terdiri dari lima mantan pimpinan KPK dan sejumlah tokoh anti-korupsi telah melayangkan uji formil ke MK. </p>
<p>Permohonan uji formil ini tercatat dengan <a href="https://mkri.id/public/filesimpp/berkasReg_2795_Perbaikan%20Permohonan%20Perkara%20Nomor%2079%20PUU%20XVII%202019.pdf">Nomor Perkara 79/PUU-XVII/2019</a> – salah satu dari <a href="https://www.beritasatu.com/nasional/586032/mk-telah-terima-6-perkara-uji-materi-uu-kpk">beberapa</a> permohonan yang diajukan ke MK terkait revisi UU ini.</p>
<p>Saya termasuk salah satu <a href="https://nasional.kompas.com/read/2019/11/20/19261601/39-kuasa-hukum-kawal-uji-materi-uu-kpk-di-mk">kuasa hukum</a> yang mendampingi para pemohon dalam <em>judicial review</em> ini. Mereka menuntut MK untuk membatalkan revisi UU KPK secara keseluruhan. </p>
<p>Pemohon mengganggap revisi UU KPK cacat formil atau bermasalah dalam proses pembentukan. Merujuk pada <a href="https://mkri.id/public/content/profil/kedudukan/uu242003.pdf">UU tentang MK</a>, jika suatu undang-undang bermasalah dalam formalitas pembentukannya, maka MK bisa membatalkan undang-undang tersebut secara keseluruhan.</p>
<p>Terkait itu, ada lima temuan kami yang memperlihatkan bahwa revisi UU KPK bermasalah dalam konteks formil pembentukan dan menjadi pokok permohonan yang disampaikan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/revisi-uu-kpk-saat-ini-salah-arah-ini-3-hal-yang-harusnya-direvisi-123459">Revisi UU KPK saat ini salah arah. Ini 3 hal yang harusnya direvisi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p><strong>Pertama</strong>, revisi UU KPK tidak melalui proses perencanaan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2019. <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/121716/uu-no-15-tahun-2019">UU No. 12 Tahun 2011 sebagaimana dirubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP)</a> mewajibkan bahwa setiap pembentukan undang-undang harus melalui proses perencanaan dalam Prolegnas. </p>
<p>Prolegnas sendiri dibagi dua, yang diatur untuk jangka waktu lima tahun dan Prolegnas prioritas tahunan. Singkatnya, semua rancangan UU (RUU) yang hendak dibahas ataupun disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan presiden harus terlebih dahulu masuk dalam Prolegnas jangka lima tahun dan apabila hendak disahkan pada tahun itu, misalnya 2019, RUU dimaksud harus masuk dalam Prolegnas prioritas 2019.</p>
<p>Faktanya, revisi UU KPK tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas 2019. Hal ini terlihat dalam <a href="http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/BALEG-22-d7a30b5f4aabdc6245b817c587e49763.pdf">keputusan DPR tentang Prolegnas Prioritas 2019</a> yang ditetapkan pada 31 Oktober 2018. </p>
<p>Bahkan, dalam empat kali evaluasi terhadap Prolegnas Prioritas 2019 tersebut pada tanggal 28 Mei 2019, 4 Juli 2019, 25 Juli 2019, dan 1 Agustus 2019, revisi UU KPK tetap tidak masuk. </p>
<p>Akan tetapi pada <a href="https://news.detik.com/berita/d-4709596/superkilat-ini-kronologi-13-hari-dpr-jokowi-revisi-uu-kpk">5 September 2019</a>, DPR menggelar rapat paripurna pengesahan revisi UU KPK menjadi RUU inisiatif DPR, yang hanya dihadiri oleh sekitar 70 orang anggota. </p>
<p>Kemudian revisi UU KPK dimasukkan oleh DPR ke dalam Prolegnas Prioritas 2019 secara tiba-tiba dan tanpa sepengetahuan publik pada tanggal 9 September 2019 dan <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20190917110955-4-99954/gercep-ruu-kpk-inisiatif-dpr-5-september-disahkan-hari-ini">disahkan menjadi undang-undang pada 17 September 2019 </a> dengan status usulan DPR. </p>
<p><strong>Kedua</strong>, revisi UU KPK menggunakan Naskah Akademik yang diragukan kebaruannya serta tidak lengkap membahas poin-poin yang memperlemah KPK. </p>
<p>UU PPP telah mensyaratkan bahwa setiap undang-undang wajib disertai naskah akademik; kajian akademis dalam naskah ini harus memadai dan sesuai zaman. </p>
<p>Akan tetapi kajian akademik yang digunakan untuk revisi UU KPK sekarang adalah naskah akademik yang telah digunakan DPR untuk tahun 2011. </p>
<p>Begitu juga poin-poin penting yang memperlemah KPK seperti dibentuknya Dewan Pengawas, KPK bagian dari rumpun eksekutif, penghapusan aturan membentuk KPK perwakilan, pegawai KPK berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN), dan sebagainya juga tidak ada kajian akademiknya dalam naskah akademik yang digunakan. </p>
<p>Terkait itu, dalam <a href="https://mkri.id/index.php?page=download.Putusan&id=2059">putusan MK pada 2014</a>, Maria Farida Indrati – yang saat itu hakim MK – pernah berpendapat bahwa dengan tidak dibahasnya suatu materi perubahan UU dalam naskah akademik, maka pembentukan undang-undang yang demikian bernilai cacat hukum dalam proses pembentukannya.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/reformasi-sampai-di-sini-jokowi-robohkan-warisan-demokrasi-indonesia-125434">Reformasi sampai di sini: Jokowi robohkan warisan demokrasi Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p><strong>Ketiga</strong>, revisi UU KPK melanggar asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Salah satu kewajiban dalam membentuk undang-undang adalah taat asas pembentukan. </p>
<p>Pasal 5 UU PPP menyebut bahwa undang-undang harus memiliki tujuan yang jelas dan dibentuk oleh lembaga atau pejabat pembentuk yang tepat. Undang-undang juga harus sesuai dalam jenis, hierarki, dan materi muatannya, serta dapat dilaksanakan, memiliki kedayagunaan dan kehasilgunaan, dan jelas rumusannya. Undang-undang juga perlu dibuat dengan prinsip keterbukaan. </p>
<p>Karena sifatnya kumulatif, satu saja dari asas ini dilanggar, maka suatu undang-undang sudah bisa disebut cacat formil. </p>
<p>Fakatanya, ada enam asas yang dilanggar, salah satunya revisi UU KPK menghasilkan kontradiksi pada pasal-pasalnya sehingga tidak dapat dilaksanakan. </p>
<p>Contohnya antara pasal 69D dan 70C. Pasal 69D menyebutkan: </p>
<blockquote>
<p>“sebelum Dewan Pengawas terbentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum Undang-Undang ini diubah”. </p>
</blockquote>
<p>Namun Pasal 70C justru menyebut: </p>
<blockquote>
<p>“pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan Tindak Pidana Korupsi yang proses hukumnya belum selesai harus dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”. </p>
</blockquote>
<p>Artinya, ada dua ketentuan yang saling bertabrakan dan membuat revisi UU KPK tidak bisa dilaksanakan karena ada kekosongan hukum yang terjadi pasca revisi UU KPK disahkan.</p>
<p><strong>Keempat</strong>, pembahasan revisi UU KPK tidak partisipatif dan tertutup. Proses pengerjaan dan pembahasan yang sangat kilat (<a href="https://www.kompas.com/tren/read/2019/09/18/143819965/ironi-dari-dpr-mengapa-pembahasan-ruu-kpk-sangat-cepat?page=all">14 hari</a>) dan <a href="https://nasional.kompas.com/read/2019/09/18/11032741/mulusnya-pengesahan-revisi-uu-kpk-abai-kritik-hingga-tak-libatkan-kpk?page=all">KPK secara kelembagaan tidak pernah diajak bicara bahkan pemimpin KPK tidak pernah mendapat draf revisi UU KPK secara resmi dari DPR</a>. </p>
<p>Padahal sebagai objek pengaturan, KPK seharusnya mendapatkan hak untuk ikut dalam pembahasan dan memperoleh segala informasi terkait pembentukan undang-undang. Faktanya, KPK secara kelembagaan dan pemimpin KPK tidak pernah mendapatkan hak tersebut. </p>
<p>Ini melanggar Pasal 68 dan Pasal 88 UU PPP. Selain KPK tidak dilibatkan, revisi UU KPK juga tidak mendengar aspirasi publik. Bahkan ketika pembahasan, <a href="https://nasional.kompas.com/read/2019/09/18/11032741/mulusnya-pengesahan-revisi-uu-kpk-abai-kritik-hingga-tak-libatkan-kpk?page=all">anggota DPR menyebut tidak perlu mendengar masukan publik</a> dan merasa cukup dengan logika yang mereka miliki dalam mengatur KPK. </p>
<p>Padahal selama proses berjalan, <a href="https://news.detik.com/berita/d-4712960/tolak-ruu-kuhp-revisi-uu-kpk-mahasiswa-demo-dpr">telah terjadi demonstrasi besar yang menolak revisi UU KPK</a>.</p>
<p><strong>Kelima</strong>, sidang paripurna DPR tidak kuorum dalam pengambilan keputusan. <a href="http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2014_17.pdf">UU No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD</a> menyebut bahwa sidang parpurna DPR hanya dapat mengambil keputusan apabila memenuhi kuorum. Kuorum terpenuhi apabila rapat dihadiri lebih dari setengah jumlah anggota rapat dan terdiri atas lebih dari setengah jumlah fraksi. </p>
<p>Berdasarkan catatan Kesekretariatan Jenderal DPR, rapat paripurna persetujuan Perubahan UU KPK pada 17 September 2019 dihadiri oleh 289 dari 560 anggota DPR. Namun berdasarkan penghitungan manual hingga pukul 12.18 hari itu, <a href="https://tirto.id/pengesahan-revisi-uu-kpk-hanya-102-anggota-dpr-yang-hadir-eieB">hanya terdapat 102 anggota DPR yang hadir dalam rapat paripurna</a>. </p>
<p>Ada anggota DPR secara fisik tidak hadir dalam ruangan sidang namun mengisi absensi kehadiran saja, <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190917115537-32-431177/kursikosong-warnai-paripurna-dpr-pengesahan-revisi-uu-kpk">sehingga tidak mengikuti jalannya persidangan hingga pimpinan sidang mengetuk palu pengesahan</a>. Dengan hanya dihadiri oleh 102 anggota saja, maka sidang tersebut tidak kuorum dan tidak sah untuk mengesahkan revisi UU KPK.</p>
<p>Lima temuan ini menunjukkan bahwa revisi UU KPK cacat formil dalam pembentukan. </p>
<p>MK melalui kewenangan yang dimiliki bisa membatalkan revisi UU KPK secara keseluruhan. Bila UU KPK yang baru dibatalkan, maka untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum, MK bisa memerintahkan agar <a href="https://www.kpk.go.id/images/pdf/Undang-undang/uu302002.pdf">UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK</a> digunakan kembali sebagai dasar hukum KPK memberantas korupsi. </p>
<p>Bagaimanapun, UU KPK yang lama itu tidak mengandung unsur pelemahan dan dirasa lebih layak digunakan untuk memberantas korupsi yang semakin menggurita di negeri ini.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/jokowi-tidak-perlu-tunggu-judicial-review-untuk-mengeluarkan-perppu-kpk-127615">Jokowi tidak perlu tunggu _judicial review_ untuk mengeluarkan perppu KPK</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/130219/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Agil Oktaryal adalah salah satu kuasa hukum pemohon _judicial review_ UU No. 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi di Mahkamah Konstitusi. Pemohon terdiri atas beberapa mantan pemimpin KPK dan sejumlah tokoh anti korupsi lain. </span></em></p>Temuan ini memperlihatkan bahwa revisi UU KPK bermasalah dalam konteks formil pembentukan.Agil Oktaryal, Researcher, Indonesian Center for Law and Policy Studies (PSHK)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1276152019-11-26T10:04:08Z2019-11-26T10:04:08ZJokowi tidak perlu tunggu ‘judicial review’ untuk mengeluarkan perppu KPK<p>Hingga kini Presiden Joko “Jokowi” Widodo belum menanggapi desakan publik untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perppu) untuk membatalkan <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/122028/uu-no-19-tahun-2019">revisi undang-undang (UU) tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)</a>. Desakan itu muncul karena revisi UU KPK dinilai akan membuat lembaga anti-rasuah itu tidak efektif lagi mencegah dan memberantas korupsi.</p>
<p><a href="https://news.detik.com/berita/d-4772915/jokowi-tak-terbitkan-perppu-kpk-gegara-uji-materi-mk-mahfud-beri-penjelasan">Jokowi beralasan Perppu tak bisa dikeluarkan karena sedang ada uji formil dan materil terhadap UU KPK di Mahkamah Konstitusi (MK)</a>. </p>
<p>Namun menurut konstitusi, presiden tetap dapat mengeluarkan perppu sebagai bagian dari kewenangan independen presiden yang tak terpengaruh dengan proses yudisial yang berlangsung di MK. </p>
<h2>Kekuasaan legislasi presiden</h2>
<p>Dalam norma-norma yang tertera dalam Undang-Undang Dasar 1945 tercantum dua bentuk kekuasaan legislasi atau pembentukan undang-undang oleh presiden. </p>
<p>Pertama, kekuasaan legislasi dependen atau yang bergantung pada lembaga negara lain. Ini misalnya pembentukan undang-undang bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang pembentukannya juga perlu persetujuan DPR.</p>
<p>Kedua, kekuasaan legislasi independen atau yang tidak bergantung pada lembaga negara lain. Hal ini diatur dalam Pasal 22 UUD 1945 yang menyatakan “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. </p>
<p>Pasal ini memberikan hak darurat kepada presiden untuk menerbitkan peraturan pemerintah dengan substansi sama dengan undang-undang. </p>
<p>Perppu itu dikeluarkan guna menjamin keselamatan negara dalam keadaan genting yang memaksa pemerintah bertindak cepat. Bahkan, keadaan genting itu ditentukan berdasarkan subjektifitas seorang presiden, tidak tergantung pada kekuasaan lain atau menunggu persetujuan lembaga lain baik legislatif maupun yudikatif. </p>
<p>Kapanpun presiden mau terbitkan, perppu bisa dikeluarkan.</p>
<h2>Perppu KPK memenuhi syarat</h2>
<p>Sebagai bagian dari kekuasaan independen presiden, penerbitan perppu memang sering kali menimbulkan pro-kontra. </p>
<p>Pada 8 Februari 2010 melalui Putusan No. 138/PUU-VII/2009, MK telah memberi <a href="https://mkri.id/index.php?page=download.Risalah&id=850">syarat atau batasan</a> keadaan memaksa sehingga presiden bisa mengeluarkan Perppu. MK mengeluarkan batasan ini agar perppu yang dikeluarkan seorang presiden memenuhi alasan-alasan objektif dan agar publik mengetahui alasan sebuah perppu dikeluarkan. Selain itu, batasan ini ditujukan agar presiden tidak menyalahgunakan kekuasaan dalam menerbitkan perppu.</p>
<p>Syarat pertama untuk mengeluarkan perppu adalah adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang. Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.</p>
<p>Selain itu, ahli hukum asal Belanda, Van Dullemen dalam bukunya <em>Staatsnoodrecht en Democratie</em> juga menyebutkan <a href="http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/1273_Eksistensi_Perppu.pdf">empat syarat</a> yang membenarkan hadirnya hukum darurat seperti perppu: eksistensi negara tergantung tindakan darurat; tindakan itu amat diperlukan dan tidak bisa digantikan dengan yang lain; bersifat sementara (berlaku sekali dalam waktu singkat untuk sekedar menormalkan keadaan); dan saat tindakan diambil, parlemen tidak dapat bersidang secara nyata dan bersungguh-sungguh. </p>
<p>Keempat syarat itu menurut Van Dullemen berlaku <em>komulatif</em> atau semua harus terpenuhi, satu saja yang tidak, perppu tidak bisa dikeluarkan. Meski demikian, pendekatan utama dalam mengeluarkan hukum darurat seperti perppu ini adalah <em>salus populi suprema lex</em> - keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi.</p>
<p>Jika dikaitkan dengan perppu KPK, syarat-syarat di atas telah terpenuhi. </p>
<p><a href="https://www.kompas.com/tren/read/2019/09/25/072855665/demo-uu-kpk-dan-rkuhp-232-orang-jadi-korban-3-dikabarkan-kritis?page=all">Keadaan luar biasa sudah terjadi berupa penolakan luas dari masyarakat terhadap revisi UU KPK, bahkan penolakan itu berujung pada jatuhnya korban jiwa di berbagai daerah;</a>. </p>
<p>Terdapat kebutuhan hukum mendesak: pasca UU KPK direvisi, pimpinan KPK tidak lagi berstatus sebagai penyidik dan penuntut tapi menjadi pegawai biasa yang berstatus pimpinan. Bahkan <a href="https://nasional.kompas.com/read/2019/11/01/16093111/jokowi-tunjuk-langsung-dewan-pengawas-kpk-tak-lewat-pansel">dewan pengawas yang ditunjuk presiden</a> akan mengambil alih tugas dan fungsi penyidikan dan penuntutan dari pimpinan KPK tersebut. Hal ini membuat kerja KPK dipastikan terhambat.</p>
<p>Revisi UU KPK juga tidak memadai untuk memberantas korupsi. Misalnya, KPK dimasukkan ke dalam rumpun kekuasaan eksekutif–sebelumnya KPK tidak masuk dalam rumpun manapun (independen). Implikasinya KPK bisa diawasi oleh DPR melalui hak angket, padahal DPR adalah salah satu lembaga <a href="https://www.suara.com/news/2019/09/06/224110/tercatat-paling-korup-ketua-kpk-curigai-lembaganya-diserang-balik-dpr">terkorup</a> yang mesti dibersihkan oleh KPK. </p>
<p>Selain itu, KPK diberi kewenangan untuk menghentikan penyidikan kasus korupsi, padahal sebelumnya KPK tidak mememiliki kewenangan untuk menghentikan penyidikan. Kewenangan ini membuat cara pemberantasan korupsi di KPK tidak lagi istimewa dan sama dengan apa yang dilakukan di kepolisian dan kejaksaan.</p>
<p>Semua keadaan di atas tidak mungkin diatasi dengan jalur normal atau perubahan UU KPK melalui DPR. Karenanya perlu penanganan luar biasa oleh presiden melalui perppu untuk mengatasi keadaan genting tersebut.</p>
<h2>MK tak menghalangi presiden</h2>
<p>Jelas bahwa sikap Jokowi terkait perppu KPK ini tidak mememiliki pijakan konstitusional yang kuat. </p>
<p>Meskipun MK sedang melakukan peninjauan terhadap UU KPK, presiden secara konstitusional tetap bisa mengeluarkan perppu untuk membatalkan UU KPK karena kewenangan itu adalah kewenangan independen presiden yang tak terpengaruh dengan kerja-kerja yudisial yang berlangsung di MK, apalagi syarat untuk mengeluarkan perppu juga telah terpenuhi.</p>
<p>Bahkan <a href="https://jdih.kemenkeu.go.id/fulltext/2011/8TAHUN2011UU.HTM">UU tentang MK</a> tidak melarang presiden mengeluarkan perppu, UU MK hanya menyatakan apabila di MK sedang berlangsung <em>judicial review</em>, maka pemeriksaan perkara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang di Mahkamah Agung harus dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian di MK. Pemeriksaan itu harus dihentikan sampai adanya putusan dari MK. </p>
<p>Dengan logika tersebut, apabila presiden mengeluarkan perppu yang membatalkan UU KPK, maka akibatnya pengujian UU KPK di MK otomatis gugur (<em>niet ontvankelijke verklaard</em>) karena MK kehilangan obyek pengujiannya.</p>
<h2>Dua pilihan untuk perppu</h2>
<p>Menurut saya ada dua pilihan bagi Jokowi dalam mengeluarkan perppu untuk mengakhiri kisruh revisi UU KPK ini. </p>
<p>Pertama, meminta DPR yang baru terbentuk di periode sekarang untuk menilai dan menyetujui perppu menjadi undang-undang. <a href="https://www.beritasatu.com/politik/572679/koalisi-jokowi-kuasai-6069-kursi-dpr">Dengan dukungan lebih 60 persen kursi di parlemen,</a>, Jokowi bisa meminta partai-partai koalisinya menyetujui perppu menjadi undang-undang. </p>
<p>Atau kedua, meminta MK menilai subjektifitas presiden dalam mengeluarkan perppu melalui jalur <em>judicial review</em> perppu KPK ke MK. Jika MK menyatakan bahwa perppu tersebut konstitusional, maka tidak ada alasan lagi bagi DPR untuk menolak Perppu menjadi undang-undang. Dengan cara itu, KPK akan bisa terselamatkan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/127615/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Agil Oktaryal tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Menurut konstitusi, Jokowi tetap dapat mengeluarkan perppu sebagai bagian dari kewenangan independen presiden.Agil Oktaryal, Researcher, Indonesian Center for Law and Policy Studies (PSHK)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1195362019-06-28T04:25:44Z2019-06-28T04:25:44ZIni analisis mengapa Prabowo bisa kalah lagi dalam sidang sengketa pilpres di Mahkamah Konstitusi<p>Majelis hakim akhirnya <a href="https://nasional.kompas.com/read/2019/06/28/06060011/sejumlah-dalil-dalam-gugatan-prabowo-sandiaga-ditolak-mk-ini-paparannya?page=all">menolak seluruh gugatan</a> tim hukum Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno yang diajukan dalam sidang sengketa pemilihan presiden (pilpres) 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK) kemarin. </p>
<p>Setidaknya, terdapat 16 tuntutan yang dilayangkan kubu Prabowo untuk melawan kecurangan pemilu yang diduga dilakukan Tim Kampanye Nasional (TKN) dari calon terpilih Joko “Jokowi” Widodo dan pasangannya Ma'ruf Amin. </p>
<p>Putusan ini pun disepakati oleh sembilan hakim tanpa adanya perbedaan pendapat.</p>
<p>Putusan ini tidak mengejutkan jika kita melihat <a href="https://mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_sidang_2045_20140909061631_PUTUSAN_PILPRES_2014__FINAL__wmGABUNG.pdf">pertimbangan-pertimbangan</a> penolakan hakim konstitusi atas gugatan serupa yang diajukan Prabowo dalam sidang sengketa pilpres 5 tahun silam. </p>
<p>Pada sidang kali ini, kuasa hukum Prabowo lebih banyak menggunakan dalil ataupun argumen serupa yang telah terbukti ditolak pada 2014 yang lalu. Namun pada sidang kali ini, kuasa hukum Prabowo gagal memberikan bukti-bukti kuat yang sudah diminta pada sidang tahun 2014. Jadi jelas mengapa kemudian gugatannya juga ditolak kali ini. </p>
<p>Ini penjabarannya.</p>
<h2>Kesalahan perhitungan suara</h2>
<p>Kubu Prabowo menuduh ada <a href="https://www.dropbox.com/s/50h8riu7mzd9lhd/%5BFINAL%5D%20Perbaikan%20Permohonan%20PHPU%20Pilpres?dl=0">manipulasi suara</a> dalam pelaksanaan pilpres 2019. </p>
<p>Mereka mengklaim telah menemukan Tempat Pemungutan Suara (TPS) siluman di seluruh Indonesia dan ditemukan indikasi manipulatif daftar pemilih tanpa memberikan bukti yang cukup. </p>
<p>Temuan yang sama juga disampaikan pada <a href="https://mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_sidang_2045_20140909061631_PUTUSAN_PILPRES_2014__FINAL__wmGABUNG.pdf">sidang sengketa tahun 2014</a>. Hakim saat itu menyatakan temuan ini ditolak karena Prabowo gagal menguraikan dengan jelas dan rinci pada tingkat mana dan di mana terjadinya kesalahan hasil penghitungan suara yang berakibat berkurangnya perolehan suara Prabowo dan bertambahnya perolehan suara Jokowi. Hal serupa juga terjadi pada sidang tahun ini.</p>
<h2>Perolehan suara 0%</h2>
<p>Salah satu landasan tuduhan kecurangan dari kubu Prabowo adalah temuan pungutan suara untuk Prabowo di berbagai daerah <a href="https://www.dropbox.com/s/50h8riu7mzd9lhd/%5BFINAL%5D%20Perbaikan%20Permohonan%20PHPU%20Pilpres?dl=0">menunjukkan angka 0</a>. Menurut tim kuasa hukum Prabowo, hal ini dipandang mustahil dan membuktikan telah terjadi kecurangan.</p>
<p>Tuduhan serupa juga dipakai pada <a href="https://mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_sidang_2045_20140909061631_PUTUSAN_PILPRES_2014__FINAL__wmGABUNG.pdf">tahun 2014</a>.</p>
<p>Namun tuduhan yang ini pun terpatahkan dengan argumen yang digunakan hakim 5 tahun silam. </p>
<p>Ketika itu MK memang pernah menemukan fakta adanya perolehan 100% untuk satu peserta pemilihan umum dan perolehan 0 suara bagi peserta yang lain di <a href="https://mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_sidang_2045_20140909061631_PUTUSAN_PILPRES_2014__FINAL__wmGABUNG.pdf">TPS-TPS tertentu</a>. Mereka merujuk pada hasil pilpres 2014 di beberapa kabupaten di Sumatera Utara, Jawa Timur, Bali, Maluku, Papua dan Maluku Utara. Menurut majelis hakim, hal ini umum terjadi di daerah tertentu yang memiliki ikatan sosial kemasyarakatan adat yang kuat. </p>
<h2>Mobilisi pejabat negara</h2>
<p>Kubu Prabowo menduga adanya <a href="https://www.dropbox.com/s/50h8riu7mzd9lhd/%5BFINAL%5D%20Perbaikan%20Permohonan%20PHPU%20Pilpres?dl=0">mobilisasi</a> beberapa kepala daerah untuk kepentingan pilpres. </p>
<p>Hal serupa juga sudah dibahas dalam sidang sengketa pilpres tahun 2014. </p>
<p>Ketika itu hakim konstitusi <a href="https://mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_sidang_2045_20140909061631_PUTUSAN_PILPRES_2014__FINAL__wmGABUNG.pdf">memandang</a> bahwa keterlibatan kepala daerah secara pribadi dan sebagai kader partai tidaklah dilarang untuk membantu memenangkan salah satu calon. </p>
<p>Dalam Pasal 281 Ayat 1 <a href="https://www.hukumonline.com/pusatdata/download/lt59ba702cb9989/node/lt59ba5511ab93b">Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) tahun 2017</a>, kampanye pemilu boleh mengikutsertakan presiden, wakil presiden, gubenur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota sepanjang memenuhi beberapa ketentuan, seperti tidak menggunakan fasilitas negara dan tidak dilakukan dalam jam kerja. </p>
<p><a href="https://nasional.kompas.com/read/2019/06/28/06060011/sejumlah-dalil-dalam-gugatan-prabowo-sandiaga-ditolak-mk-ini-paparannya?page=all">Untuk tahun ini, hakim kembali menolak dalil tersebut dengan alasan permasalahan tersebut sudah ditindaklanjuti oleh pihak berwenang lainnya</a>, yaitu Badan Pengawasan Pemilihan Umum (Bawaslu).</p>
<h2>Pembelian suara</h2>
<p>Jokowi dituding telah melakukan berbagai tindakan <a href="https://www.dropbox.com/s/50h8riu7mzd9lhd/%5BFINAL%5D%20Perbaikan%20Permohonan%20PHPU%20Pilpres?dl=0">pembelian suara</a>. Kubu Prabowo menuduh Jokowi membeli suara pegawai negeri dengan menaikkan gaji mereka dan membayar Tunjangan Hari Raya (THR) lebih awal.</p>
<p>Namun, sepertinya kubu Prabowo tidak belajar dari konsep pembuktian politik uang pada tahun <a href="https://mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_sidang_2045_20140909061631_PUTUSAN_PILPRES_2014__FINAL__wmGABUNG.pdf">2014 lalu</a>. </p>
<p>Ketika itu, hakim meminta kubu Prabowo membuktikan bahwa terjadinya politik uang tersebut akan mempengaruhi pilihan pemilih dan signifikan terhadap perolehan suara. Saat itu, dalil politik uang tim kuasa hukum Prabowo dinilai tidak berdasar dan tidak dibuktikan oleh kesaksian saksi yang diajukan, serta tidak disertai alat bukti lain yang memadai. </p>
<p>Pada gugatan tahun ini, kubu Prabowo juga tidak menunjukkan bukti bahwa semua pegawai negeri yang dinaikkan gajinya memilih Jokowi.</p>
<p>Dari penjabaran di atas, tim kuasa hukum Prabowo tampaknya menghadirkan kembali materi gugatan yang dipakai pada sidang sengketa pilpres 2014 yang lalu. Tapi, mereka gagal melakukan modifikasi yang sudah diminta hakim pada putusan 2014 pada sidang kali ini. Hal ini jelas mengapa gugatan Prabowo kali ini juga ditolak. </p>
<p>Saat ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) wajib untuk menindaklanjuti putusan MK paling lambat tiga hari setelah putusan tersebut dikeluarkan. Artinya setidaknya hari minggu besok, kita tinggal menunggu kesahihan kepemimpinan Joko Widodo untuk periode keduanya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/119536/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Josua Satria Collins tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kuasa hukum Prabowo lebih banyak menggunakan dalil ataupun argumen serupa yang telah terbukti ditolak pada 2014 yang laluJosua Satria Collins, Researcher at Indonesia Judicial Monitoring Society (MaPPI), Faculty of Law University of Indonesia, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1193092019-06-26T00:34:12Z2019-06-26T00:34:12ZSidang sengketa pilpres: gaya bahasa aktivis BW versus bahasa akademik Yusril di Mahkamah Konstitusi<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/281093/original/file-20190625-81741-ma5ru4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C998%2C664&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Perbandingan strategi bahasa yang digunakan Bambang Widjojanto dan Yusril Izha Mahendra dalam pertarungan konstitusional di MK.</span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>Sidang sengketa pemilihan presiden (pilpres) 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK) menarik perhatian masyarakat luas. </p>
<p>Selain substansi persidangan, bahasa para pengacara layak mendapat perhatian karena kemahiran mereka menyampaikan argumentasi saat sidang punya andil besar terhadap dinamika persidangan. </p>
<p>Ada dua pengacara senior yang dominan tampil dalam panggung sidang MK. Bambang Widjojanto (BW) mewakili pihak Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno sebagai pengaju gugatan dan Yusril Ihza Mahendra mewakili Presiden Joko “Jokowi” Widodo sebagai pihak terkait dalam gugatan. Salah satu gugatan yang diajukan kubu Prabowo adalah agar <a href="https://mkri.id/public/Risalah/5385_Risalah-pdf_1.Pilpres.2019%2014.06.19.pdf">Komisi Pemilihan Umum (KPU) membatalkan kemenangan Jokowi dalam pilpres 2019 dan menyatakan Prabowo sebagai pemenang.</a> </p>
<p>Melalui tulisan ini saya berusaha membandingkan strategi bahasa kedua pengacara tersebut dalam pertarungan konstitusional di MK.</p>
<h2>Bahasa akademik Yusril</h2>
<p>Sebagai pengacara yang punya pengalaman akademik panjang, Yusril memiliki argumentasi hukum yang cenderung akademis. </p>
<p>Gugatan yang disusunnya terbentang dari argumentasi filosofis ke hal-hal yang praktis dan faktual. Pola argumentasi ini relevan dengan pengalamannya sebagai dosen Hukum Tata Negara, Teori Ilmu Hukum, dan Filsafat Hukum di <a href="http://ihza-ihza.com/index.php/our-team/yusril-ihza-mahendra/">Universitas Indonesia. </a></p>
<p>Ketika menyusun gugatan ia mengajak pembaca “bertamasya” ke berbagai pemikiran sebelum masuk ke pembuktian. Hal ini dikarenakan dirinya sadar bahwa hukum adalah konstruksi pemikiran yang disusun menurut sistem logika tertentu. Oleh karena itu, ketika menyusun argumentasi hukumnya pertama-tama ia mengklarifikasi aliran pemikiran apa yang mendasari produk hukum tertentu. </p>
<p>Hal ini tergambar dalam argumentasi yang disampaikannya dalam ruang sidang maupun ketika diwawancara media. Dalam <a href="https://www.youtube.com/watch?v=wsINTLUuA-o">sebuah dialog di TVOne</a> dengan mantan ketua MK Mahfud MD dan salah satu kuasa hukum Prabowo, Teuku Nasrullah, Yusril menjelaskan lebih dahulu perbandingan pendekatan kualitatif dan kuantitatif dalam peradilan sebelum menyodorkan argumentasi yang memperkuat klaimnya.</p>
<h2>Bahasa aktivis BW</h2>
<p>Lawan Yusril, BW, memiliki strategi berbahasa yang berbeda. </p>
<p>Latar belakang BW sebagai aktivis tampak membentuk watak berbahasanya. Sebagaimana diketahui, BW pernah menjadi <a href="https://tirto.id/jejak-bambang-widjojanto-sebelum-jadi-ketua-pencegahan-korupsi-dki-cCFH">Dewan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Indonesia</a>. Selain itu, dirinya juga salah satu pendiri <a href="https://kontras.org/en/home-en/">Kontras</a> dan <a href="https://www.antikorupsi.org/">Indonesia Corruption Watch</a>, dua organisasi yang terkenal galak mengawal penegakan hukum, sebelum terpilih menjadi Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi.</p>
<p><a href="http://lipi.go.id/publikasi/bahasa-negara-versus-bahasa-gerakan-mahasiswa/19173">Penelitian</a> dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan bahwa bahasa telah menjadi instrumen perlawanan penting yang digunakan aktivis untuk melawan narasi pemerintah. </p>
<p>Strategi itulah yang melahirkan aneka jargon khas aktivis, misalnya: “hanya satu kata, lawan!”, “panjang umur pergerakan”, dan “tolak politis busuk”. Jargon-jargon itu khas karena tegas dan bahkan vulgar.</p>
<p>Karena bahasa adalah perkamen budaya, pengalaman BW sebagai aktivis turut membentuk perilaku kebahasaannya dalam sidang. Watak “bahasa aktivis” tergambar dalam beberapa kesempatan. </p>
<p>Dalam salah satu sesi <a href="https://www.youtube.com/watch?v=dI3SD7UyDBM">sidang pada tanggal 21 Juni 2019</a>, BW menggunakan kata “ditelanjangi” untuk menyebut saksi dari pihaknya yang dicecar pengacara pihak lain. Kata itu merupakan metafora hiperbolis untuk membuat sebuah peristiwa tampak lebih besar maknanya. </p>
<p>Pada <a href="https://www.youtube.com/watch?v=KGwp6jIitJI">kesempatan lain</a>, BW mengomentari kuasa hukum KPU dengan frasa “kegagalan utama” untuk menyebut pembelaan pengacara KPU yang hanya membacakan 30 halaman pembelaan. </p>
<p>Pada sidang tanggal 21 Juni, BW juga menggunakan kata “omong kosong” untuk menggambarkan ketidakmampuan Mahkamah untuk menelaah data dan kesaksian yang melimpah.</p>
<p>Pilihan kata itu cenderung konsisten dan cenderung menggambarkan watak kebahasaannya sebagai “petarung yang agresif” sebagaimana lazimnya aktivis.</p>
<h2>Kaitan Bahasa dan Hukum</h2>
<p>Kemampuan berbahasa pengacara dalam mengungkapkan argumentasi hukum adalah elemen penting dalam persidangan. </p>
<p>Profesor komunikasi Amerika Serikat <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/10417947709372359">Stephen A. Smith</a> menunjukkan penggunaan bahasa sebagai strategi retorika persidangan sudah mendapat perhatian serius para pengacara sejak 1800-an. </p>
<p>Ini terjadi karena bahasa dan hukum merupakan dua entitas yang punya kaitan erat. </p>
<p>Dalam pengertian aliran ilmu pasti, hukum dapat dipahami sebagai kumpulan gagasan yang disarikan kemudian diundangkan sebagai aturan yang mengikat. Kondisi itulah yang membuat hukum dan bahasa berhimpitan. Substansi hukum hanya muncul jika direalisasikan dengan bahasa. </p>
<p>Filsuf berkebangsaan Austria <a href="http://writing.upenn.edu/library/Wittgenstein-Tractatus.pdf">Ludwig Wittgenstein</a> berhipotesis bahwa realitas baru (dianggap) ada ketika dilukiskan dengan bahasa. Jika realitas tak terbahasakan, ia tidak terpikirkan. Jika tak tak terpikirkan maka dia tidak tidak ada. Hukum juga demikian. </p>
<p>Berdasarkan argumentasi itu, bahasa dalam persidangan punya dua fungsi dasar yaitu membangun kesaksian dan kesangsian. Dalam kesaksian, bahasa digunakan untuk menghadirkan kembali peristiwa di luar sidang agar diakui sebagai fakta persidangan yang benar. Sedangkan untuk membentuk kesangsian, bahasa digunakan untuk mendelegitimasi kesaksian lawan. </p>
<p>Ada berbagai strategi retorika yang memungkinkan para pengacara membangun kesaksian dan kesangsian. </p>
<p><strong>1. Relevansi</strong>
Menghubungkan konsep atau peristiwa dengan konsep atau peristiwa lain agar tampak memiliki kaitan logis. </p>
<p><strong>2. Hiperbola</strong>
Menunjukkan sesuatu tampak lebih besar dari realitas objektifnya. </p>
<p><strong>3. Kontras</strong>
Membandingkan sejumlah unsur agar salah satu unsurnya tampak sangat berbeda. </p>
<p><strong>4. Analogi</strong>
Membuat penjelasan yang abstrak tampak lebih konkret dengan menggunakan perumpamaan dari peristiwa keseharian.</p>
<p><strong>5. Falsifikasi</strong>
Menguji suatu dalil, pernyataan, atau kesaksian agar tampak keliru karena ada dalil, pernyataan, atau kesaksian lain yang lebih kuat. </p>
<p><strong>6. Perbandingan tak setara</strong>
Menunjukkan bahwa dua hal adalah sama atau setara, meskipun secara objektif tidak. </p>
<p><strong>7. Dekontekstualisasi</strong>
Menunjukkan bahwa argumentasi pihak lain menyimpang dari konteks persidangan. </p>
<p>Berbagai strategi itu memiliki dampak pragmatik yang besar dalam sidang karena bahasa tidak hanya memiliki fungsi representatif, melainkan juga fungsi kontrol. Dalam buku <a href="https://ebooks.gramedia.com/id/buku/politik-bahasa-penguasa"><em>Politik Bahasa Penguasa</em></a>, saya dan rekan saya Fathur Rokhman menjelaskan bahwa bahasa bukan semata alat ekspresi. Oleh penuturnya, bahasa digunakan untuk menyatakan diri dan memperjuangkan kepentingannya. </p>
<p>Berbagai strategi bahasa di atas digunakan oleh Yusril dan BW dengan cara yang berbeda sehingga memiliki dampak yang berbeda. Yusril cenderung menggunakan teknik relevansi untuk menghubungkan satu pemikiran dengan pemikiran lain sehingga argumentasinya membentuk pola yang kokoh. Adapun BW cenderung menggunakan hiperbola sehingga argumentasinya berdaya persuasi kuat karena menyentuh sisi rasa pendengarnya. </p>
<p>Kajian yang lebih komprehensif diperlukan untuk menguji dampak strategi berbahasa tersebut terhadap keputusan MK. Sidang merupakan proses yang kompleks sedangkan bahasa, meskipun penting, adalah unsur yang berelasi dan dipengaruhi oleh unsur lain.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/119309/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Surahmat menerima dana dari pemerintah melalui skema penelitian dosen pemula.</span></em></p>Sidang sengketa hasil pemilihan presiden jadi panggung bagi dua pengacara senior, yaitu Yusril Ihza Mahendra dan Bambang Widjojanto. Kedua pengacara ini menggunakan strategi berbahasa yang beda.Surahmat, Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Peneliti di Pusat Kajian Budaya Pesisir, Universitas Negeri SemarangLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1190952019-06-21T04:59:11Z2019-06-21T04:59:11ZSidang sengketa pilpres: secara hukum, tuduhan bahwa Ma'ruf Amin langgar syarat pencalonan lemah<p>Dalam <a href="https://indeks.kompas.com/tag/sidang-sengketa-pilpres">sidang sengketa hasil pemilihan presiden (pilpres) </a>yang sedang berjalan, tim kuasa hukum Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno meminta hakim Mahkamah Konstitusi mendiskualifikasi pasangan Joko “Jokowi” Widodo dan Ma'ruf Amin dalam pilpres 2019 yang lalu dan menyatakan kliennya sebagai pemenang karena lawan kliennya melanggar syarat pencalonan.</p>
<p><a href="https://setkab.go.id/inilah-undang-undang-nomor-7-tahun-2017-tentang-pemilihan-umum-1/">Pasal 227 Undang Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) No. 7 tahun 2017</a> menyatakan bakal pasangan calon presiden dan wakil presiden harus menyertakan surat pernyataan pengunduran diri sebagai karyawan atau pejabat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) pada saat pendaftaran. </p>
<p>Ma'ruf dianggap melanggar pasal tersebut <a href="http://www.tribunnews.com/nasional/2019/06/11/jelang-sidang-sengketa-pilpres-kuasa-hukum-02-sebut-maruf-amin-tak-penuhi-syarat-sebagai-cawapres">karena masih menjabat sebagai Dewan Pengawas Syariah di PT Bank BNI Syariah dan PT Bank Syariah Mandiri</a>. </p>
<p>Komisi Pemilihan Umum yang bertugas menyeleksi kandidat calon presiden dan wakilnya <a href="https://nasional.kompas.com/read/2019/06/18/11291671/kpu-maruf-amin-tak-langgar-aturan-meski-jabat-dewan-pengawas-syariah-di-dua">sudah membantah</a> bahwa Ma'ruf melanggar syarat tersebut. </p>
<p>Tulisan ini berusaha membedah mengapa permohonan tim Prabowo kurang kuat secara hukum.</p>
<h2>Anak usaha BUMN bukan BUMN</h2>
<p><a href="https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/13588/node/534/uu-no-19-tahun-2003-badan-usaha-milik-negara/">Pasal 1 UU BUMN tahun 2013</a> dengan tegas mengatakan bahwa yang dimaksud BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Artinya, BUMN adalah perusahaan yang modalnya langsung dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Penyertaan modal dari APBN ini yang kemudian menjadikan pemerintah pemegang saham. </p>
<p>Dalam struktur pemegang saham PT Bank BNI Syariah dan PT Bank Syariah Mandiri tidak ditemukan unsur pemerintah sebagai pemegang saham. Sekitar<a href="https://www.bnisyariah.co.id/id-id/perusahaan/hubunganinvestor/strukturpemegangsaham"> 99% </a> saham BNI Syariah dimiliki oleh induk usahanya, BNI. Sedangkan untuk Mandiri Syariah, <a href="https://www.syariahmandiri.co.id/tentang-kami/profil-perusahaan">99%</a> sahamnya dimiliki oleh Bank Mandiri. </p>
<p>Ketiadaan pemerintah dalam daftar pemegang saham dan tidak adanya suntikan modal dari APBN baik ke PT Bank BNI Syariah maupun PT Bank Syariah Mandiri menandakan bahwa kedua bank tersebut adalah perusahaan swasta biasa dan bukan BUMN. </p>
<p>Konsekuensinya, jabatan apapun yang dipegang Ma'ruf dalam kedua perusahaan tersebut tidak dapat menjadi alasan untuk menganulir pencalonannya sebagai cawapres.</p>
<h2>Beda perlakuan</h2>
<p>Aturan hukum yang lain juga menegaskan perbedaan anak usaha BUMN dengan BUMN dari segi perlakuan dan kewajiban. </p>
<p>Aturan turunan UU BUMN melalui <a href="http://jdih.bumn.go.id/lihat/PP%20NOMOR%2072%20TAHUN%202016">Peraturan Pemerintah (PP) tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN dan Perseroan Terbatas tahun 2016</a> menyatakan anak usaha memang bisa diperlakukan sama seperti BUMN ketika dia mendapat amanat khusus dari negara. </p>
<p>Namun, tidak ada fakta bahwa baik PT Bank BNI Syariah dan PT Bank Syariah Mandiri mendapat amanat ini. Jadi tidak ada alasan untuk kemudian memperlakukan kedua perusahaan itu sama seperti induk perusahaannya yang merupakan BUMN.</p>
<p>BUMN juga berbeda dengan anak usahanya dari sisi kewajiban yang harus dipikulnya. BUMN wajib menyisihkan sebagian kecil laba usahanya untuk pemberdayaan masyarakat dan pembinaan lingkungan lewat Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) <a href="http://jdih.bumn.go.id/lihat/PER-02/MBU/7/2017">yang diatur secara spesifik</a>. Program ini hanya mengikat BUMN. Anak usaha tidak mendapat kewajiban untuk melaksanakan program ini. </p>
<h2>Sanggahan terhadap klaim putusan Mahkamah Agung (MA)</h2>
<p>Ketua tim kuasa hukum Prabowo, Bambang Widjojanto, menjelaskan bahwa tuduhannya berdasarkan putusan Mahkamah Agung No. 21 tahun 2017 yang menurut klaimnya menyatakan bahwa “<a href="https://youtu.be/UkSVLiWSPp4">anak usaha BUMN juga disebut sebagai BUMN</a>”. </p>
<p>Tapi pembacaan tim hukum Prabowo terhadap putusan MA tersebut salah kaprah karena tidak ada satupun kalimat dalam putusan itu yang secara eksplisit menyatakan anak BUMN berstatus BUMN juga.</p>
<p>Bagian <a href="https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/41a1e4c6a6c512b898bc31223544ec70">putusan</a> yang dipakai tim hukum Prabowo itu aslinya berbunyi: “Penyertaan saham BUMN ke BUMN lainnya mengakibatkan BUMN jadi anak perusahaan BUMN induk (<em>holding</em>) dan anak usaha BUMN tadi berubah menjadi perseroan terbatas (swasta)”. </p>
<p>Putusan tersebut justru menegaskan kembali bahwa pengendalian negara terhadap anak usaha BUMN tetap harus melalui induknya dan itu tidak menjadikan status anak usaha BUMN menjadi BUMN.</p>
<p>Banyak orang yang beranggapan bahwa seekor kerbau pastilah beranakkan kerbau. Namun hal ini tidak berlaku pada perusahaan, termasuk BUMN. BUMN bukanlah makhluk hidup seperti kerbau atau manusia. Perusahaan adalah makhluk artifisial yang eksistensinya ditentukan oleh hukum yang berlaku. Karena aturan yang berlaku untuk BUMN berbeda dengan anak usaha, maka sudah sepatutnya kita menganggapnya sebagai entitas yang berbeda.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/119095/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Togar Tanjung bekerja sebagai staf ahli di Komisi VI DPR RI yang salah satunya membidangi permasalahan BUMN. Dia juga menjadi pengajar di Fakultas Hukum UI.</span></em></p>Tulisan ini berusaha membedah mengapa permohonan tim Prabowo kurang kuat secara hukum.Togar Tanjung, Dosen untuk hukum dan ekonomi di Fakultas Hukum UI, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1181482019-06-11T05:48:24Z2019-06-11T05:48:24ZPrabowo ragukan kenetralan MK: Penelitian terbaru tunjukkan hal sebaliknya<p>Lagi-lagi badai politik menerjang Mahkamah Konstitusi (MK). </p>
<p>Prabowo Subianto yang untuk kedua kalinya kalah dalam pemilihan presiden (pilpres) kembali <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2019/05/21/prabowo-to-challenge-%20election-results-at-concititusional%20-court.html">menggugat</a> kemenangan Joko “Jokowi” Widodo ke MK. Prabowo menuduh Jokowi curang dan menuntut MK agar mendiskualifikasi sang petahana dan menjadikan dirinya sebagai pemenang pilpres. </p>
<p><a href="https://www.thejakartapost.com/news/2014/07/23/prabowo-hatta-file-lawsuit-with-constitutional-court.html">Gugatan serupa</a> pernah dilayangkan Prabowo pada pilpres tahun 2014 ketika dirinya juga kalah dari Jokowi. </p>
<p>Oleh karena itu, sekali lagi, MK diminta untuk bertindak sebagai wasit yang independen dalam kontestasi politik Indonesia. Hal ini tidak semata-mata hanya untuk menentukan siapa yang akan menjadi presiden, tetapi juga masa depan demokrasi Indonesia mengingat legitimasi proses pemungutan suara yang jadi taruhannya. </p>
<p>Sejumlah orang ragu akan kenetralan MK. Sejak penangkapan para hakim MK, termasuk mantan <a href="https://uk.reuters.com/article/uk-indonesia-corruption/ex-head-of-indonesias-constitutional-court-jailed%20-for-life-for-graft-idUKKBN0F51Z420140630">hakim agung Akil Mochtar atas kasus penyuapan</a>, di tahun 2013, publik menjadi <a href="https://www.newmandala.org/indonesias-constitutional-court-public-opinion/">meragukan</a> kualitas lembaga tersebut.</p>
<p>Pengacara Prabowo, <a href="https://www.tagar.id/bambang-widjojanto-ragukan-mk-ahli-hukum-berbahaya">Bambang Widjojanto</a>, mantan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), juga meragukannya. </p>
<p>Namun,<a href="http://ejournal.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php/const-rev/article/view/421">penelitian terbaru saya</a> bersama Tomoo Inoue dari Seikei University di Jepang mungkin dapat melepas kekhawatiran tim Prabowo, karena temuan kami menunjukkan bahwa MK bisa tetap independen. </p>
<p>Berdasarkan analisis empiris terhadap kinerja MK antara tahun 2004 dan 2016, kami tidak menemukan adanya bukti yang dapat mempengaruhi keputusan MK untuk selalu mendukung pemerintah dalam kasus-kasus penting. </p>
<h2>Penelitian kami</h2>
<p>Untuk penelitian ini, kami mengumpulkan data yang mencakup kasus-kasus penting antara 2004 dan 2016. Pentingnya kasus ini diukur dari banyaknya jumlah pemberitaan kasus-kasus tersebut di dua surat kabar utama dan pembahasan pada publikasi dan diskusi akademik. Hasilnya, kami menemukan 80 kasus.</p>
<p>Selain itu, kami melengkapi analisis 80 kasus tersebut dengan menganalisis profil 26 hakim yang bertugas di MK sejak MK pertama kali berdiri tahun 2003.</p>
<p>Kami menemukan adanya peningkatan kasus-kasus politik dan kasus penting lain secara bertahap dari waktu ke waktu dengan lonjakan yang signifikan selama pemilihan umum (pemilu).</p>
<p>Dari 80 kasus, 28% di antaranya terkait dengan sengketa pemilu; 33% tentang hak-hak individu dan kebebasan sipil; 24% tentang pemisahan kekuasaan di antara lembaga pemerintahan; 9% tentang masalah ekonomi, dan 6% terkait dengan kekuasaan presiden.</p>
<p>Meski 41 kasus (51%) diputuskan dengan suara bulat, dalam 39 kasus (49%) setidaknya ada satu hakim yang menyatakan tidak setuju terhadap putusan yang diambil. Jumlah beda pendapat antar hakim telah menurun dari tahun ke tahun dan mencapai titik terendah yang baru di bawah Jokowi. Angka ini menunjukkan berkurangnya perbedaan pendapat di meja hijau. </p>
<p>Menariknya, pemerintah kalah sebanyak 75% dari putusan dan hanya memenangkan 25% dari sampel 80 kasus yang dipilih.</p>
<p>Dengan demikian, temuan tadi menunjukkan bahwa tuduhan keberpihakan MK terhadap pemerintah tidaklah valid, meski jumlah kasus yang hakimnya berbeda pendapat berkurang.</p>
<h2>Pertanyaan tentang para hakim</h2>
<p><a href="https://uk.reuters.com/article/uk-indonesia-corruption/ex-head-of-indonesias-constitutional-court-jailed-for-%20life-for-graft-idUKKBN0F51Z420140630">Penangkapan Ketua Mahkamah Agung Akil Mochtar karena suap pada tahun 2013</a> dan juniornya <a href="https://en.tempo.co/read/905881/patrialis-akbar-gets-8-years-in-prison-for-taking-bribe">Patrialis Akbar untuk kasus penyuapan lainnya</a> pada tahun 2017, membuat publik mempertanyakan independensi MK dan kualitas para hakim.</p>
<p>Sejumlah orang mempertanyakan apakah proses pengangkatan hakim dipolitisasi atau apakah ada <a href="http://digital.law.washington.edu/dspace-law/bitstream/handle/1773.1/1629/25WILJ0489.pdf?%20followingence%20=%204">penurunan kualitas dalam kepemimpinan</a>.</p>
<p>Ada sembilan hakim di Mahkamah Konstitusi. Para hakim ini menjalani lima tahun masa jabatan yang dapat diperpanjang satu kali. Mereka harus pensiun pada usia 70.</p>
<p>Dari sembilan hakim, tiga di antaranya dicalonkan oleh presiden, tiga oleh badan legislatif, dan tiga oleh Mahkamah Agung (MA).</p>
<p>Mekanisme penunjukan yang terinspirasi dari sistem Mahkamah Konstitusi Korea Selatan ini bertujuan untuk mencegah satu institusi memonopoli MK. Mekanisme ini juga mencari keseimbangan yang sehat antara jumlah hakim yang diangkat oleh presiden, DPR, dan MA.</p>
<p>Penelitian kami menemukan bahwa hakim MK berasal dari latar belakang yang beragam. </p>
<p>Tidak seperti pengadilan tinggi di Thailand, Filipina, dan Malaysia, pengangkatan hakim tidak didominasi oleh universitas atau jabatan hukum yang dimiliki sebelumnya. </p>
<p>Selain itu, penelitian kami tidak menemukan bukti adanya suara hakim yang dipengaruhi oleh MA, DPR, atau presiden.</p>
<p>Kami menganalisis secara statistik pola pemungutan suara setiap hakim dan menemukan bahwa para hakim lebih cenderung tidak memihak pada pemerintah menjelang berakhirnya jabatan presiden atau menjelang masa pensiun mereka.</p>
<p>Dengan kata lain, para hakim dapat mengambil sikap yang lebih berani ketika mereka tidak takut akan hukuman dari presiden yang menjabat, atau ketika mereka tidak perlu khawatir akan prospek diangkat kembali.</p>
<p>Walau proses pencalonan yang dipolitisir, para hakim tampaknya bertindak dengan independensi penuh.</p>
<h2>Reputasi MK dalam politik</h2>
<p>Dalam beberapa hal, MK di Indonesia telah menjadi teladan bagaimana sistem pengadilan di Asia telah menjadi pemeran utama dalam politik. </p>
<p>Beberapa keputusan MK telah menimbulkan dampak politik dan ekonomi yang besar.</p>
<p>Sebagai contoh, <a href="https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/20537/node/52/putusan-mk-perkara-no-001-021-022_puu-i_2003-tahun-2003-pengujian-undang-undang-nomor-20-tahun-2002-tentang-ketenagalistrikan">MK membatalkan privatisasi perusahaan listrik</a>; <a href="https://mkri.id/public/content/persidangan/risalah/risalah_sidang_Perkara%2013%20%20puu%20VI%20-2008,%2013%20Agustus%202008.pdf">mengecam anggaran pemerintah yang gagal mengalokasikan dana yang cukup untuk pendidikan</a>; <a href="https://mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_sidang_25.PUU.X.2012%20-%20telah%20baca%208%20Januari%202013.pdf">melindungi agama, etnis</a>; dan <a href="http://icjr.or.id/data/wp-content/uploads/2017/05/Mencegah-Overkriminalisasi.pdf">melindungi minoritas seksual dari diskriminasi pemerintah</a> dan berulang kali berurusan dengan <a href="http://hukum.unsrat.ac.id/mk/mk_2_2004.pdf">sengketa pemilu</a>. </p>
<p>Sejak 2003, MK telah meloloskan lebih dari seperempat petisi dan merevisi 74 undang-undang, membatalkan empat secara keseluruhan, dan membatalkan sebagian dari yang lainnya.</p>
<p>Tidak heran, MK dipandang bersifat aktivis–dan dipuji karena membantu <a href="https://www.cambridge.org/core/journals/journal-of-east-asian-studies/article/political-conflict-%20resolusi-dan-demokratis-konsolidasi-di-indonesia-peran-dari-pengadilan-konstitusional%20/%202F8C315C89495BEE0063CB255BC419B0">konsolidasi demokrasi di Indonesia</a>.</p>
<h2>Perlunya debat berbasis bukti</h2>
<p>Ketika Mahkamah Konstitusi di Thailand, <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00472336.2018.1479879?journalCode=rjoc20">mengalami bias politik</a>, Mahkamah Konstitusi di Indonesia justru lolos dari jebakan-jebakan ini.</p>
<p>Hal ini mungkin dipengaruhi oleh sistem politik di Indonesia yang kompetitif dan proses pencalonan hakim yang datang dari tiga lembaga yang berbeda sehingga tidak ada satu kekuatan politik yang mendominasi lembaga hukum tersebut. </p>
<p>Namun, penemuan penelitian kami tidak membahas ketidakpuasan terhadap kelemahan MK itu sendiri.</p>
<p>Kegagalan secara profesional, berkurangnya jumlah hakim yang memiliki pendapat yang berbeda, dan beberapa <a href="https://www.newmandala.org/indonesias-constitutional-court-public-opinion/">bukti</a> menunjukkan bahwa MK tunduk pada opini publik dan memastikan institusi hukum tersebut bertanggung jawab sangatlah penting. </p>
<p>MK juga patut mendapat perhatian yang lebih dari sisi akademik. </p>
<p>Perdebatan berbasis bukti terkait MK sangatlah penting, mengingat saat ini Indonesia memasuki fase akhir pilpres 2019.</p>
<p><em>Jamiah Solehati menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/118148/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Björn Dressel menerima dana penelitian dari Dewan Penelitian Australia (DECRA, DE130101706). </span></em></p>Menyajikan analisis empiris pertama tentang kinerja MK terhadap kasus-kasus penting antara tahun 2004 dan 2016, penelitian kami menunjukan bahwa MK tetap independen.Björn Dressel, Associate professor, Crawford School of Public Policy, Australian National UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1175912019-05-23T02:07:06Z2019-05-23T02:07:06ZMenjabarkan proses hukum gugatan pilpres 2019 Prabowo ke MK yang mungkin berakhir sia-sia<p>Setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan petahana Joko “Jokowi” Widodo <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-48329211">terpilih kembali</a> menjadi presiden untuk periode 2019 -2024, lawannya Prabowo Subianto langsung mengumumkan rencananya untuk <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190521115051-32-396813/prabowo-gugat-hasil-pilpres-2019-ke-mahkamah-konstitusi">menggugat</a>keputusan KPU tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). </p>
<p>Langkah hukum yang diambil Prabowo sama seperti yang dilakukannya pada pemilihan presiden 2014. Meski, akhirnya MK <a href="https://nasional.kompas.com/read/2014/08/22/11025921/Ini.Penjabaran.Lengkap.Putusan.MK.Tolak.Gugatan.Prabowo-Hatta?page=all">menolak </a> seluruhnya permohonan yang diajukan karena tidak adanya bukti yang cukup. </p>
<p>Tulisan ini akan menjabarkan proses hukum yang harus dilalui Prabowo dan kemungkinan bahwa tuntutannya kali ini juga akan berakhir sia-sia.</p>
<h2>Wewenang MK</h2>
<p>MK adalah salah satu pemegang kekuasaan kehakiman di Indonesia dengan empat wewenang. <a href="http://www.dpr.go.id/jdih/uu1945">Kewenangan tersebut mencakup</a>: </p>
<ol>
<li><p>Menguji kesesuaian suatu undang-undang dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.</p></li>
<li><p>Memutus sengketa kewenangan lembaga negara.</p></li>
<li><p>Memutus pembubaran partai politik.</p></li>
<li><p>Memutus sengketa hasil pemilihan umum (pemilu).</p></li>
</ol>
<p>Bila dikaitkan dengan kasus Prabowo, maka permohonan Prabowo masuk ke dalam kewenangan MK yang terakhir. </p>
<p>Dalam tuntutannya kali ini, Prabowo ingin MK membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU dan mengumumkan Prabowo sebagai pemenang sesuai dengan hasil penghitungan suara yang dilakukan kubunya.</p>
<h2>Kronologis hukum</h2>
<p><a href="https://mkri.id/index.php?page=web.Perkara2&menu=4">Secara kronologis</a>, pemeriksaan kasus Prabowo akan diawali dengan pengajuan permohonan ke bagian <a href="https://mkri.id/index.php?page=web.ProfilMK&id=5&menu=2#">kepaniteraan</a> MK yang menjalankan fungsi administratif peradilan.</p>
<p>Selanjutnya, bagian kepaniteraan memeriksa kelengkapan syarat-syarat. Syarat-syarat tersebut termasuk kelengkapan identitas pemohon, uraian bahwa kasusnya masuk ke dalam salah satu wewenang MK, serta tuntutan yang diminta kepada hakim. </p>
<p>Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, MK akan memberitahukan kepada Prabowo sebagai pemohon apakah berkasnya sudah lengkap atau belum. Bila belum lengkap, pemohon harus segera melengkapi dan memperbaiki permohonan dalam waktu kurang lebih satu hari. </p>
<p>Permohonan yang dinyatakan memenuhi persyaratan akan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK). Permohonan yang telah terdaftar akan dimuat pada laman MK dan salinannya disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, dalam konteks ini adalah kubu Prabowo, kubu Jokowi, dan KPU.</p>
<p>Selanjutnya MK akan menetapkan dan memberitahukan hari sidang pertama kepada semua pihak dengan agenda “Pemeriksaan Pendahuluan”.</p>
<p>Dalam “Pemeriksaan Pendahuluan,” hakim mengkonfirmasi tuntutan pemohon dan memberikan nasihat terkait tuntutan yang diajukan. Setelah sidang tersebut, pemohon diberikan kesempatan untuk memperbaiki tuntutannya dalam <a href="https://mkri.id/public/content/persidangan/risalah/risalah_sidang_6940_1.PHPU.PRES.XII.2014.6%20AGUSTUS%202014%20(BY%20INDAH).pdf">jangka waktu dua sampai tiga hari.</a></p>
<p>Setelah diperbaiki, maka dilakukan “Pemeriksaan Persidangan” untuk memeriksa substansi perkara untuk membuktikan kebenaran tuntutan yang diajukan. Dalam tahap ini, hakim akan mendengarkan penjelasan pemohon, penjelasan KPU, pemeriksaan alat bukti, hingga pemeriksaan ahli yang diundang. Proses ini membutuhkan setidaknya minimal dua kali sidang, satu untuk mendengarkan pihak pemohon dan satu lagi untuk pihak lain yang terkait. </p>
<p>Alat bukti yang diakui di hadapan persidangan adalah bukti tertulis; keterangan para pihak; keterangan saksi; keterangan ahli; keterangan pihak lain; alat bukti lain; dan petunjuk. </p>
<p>Secara mendetail, yang dimaksud dengan bukti tertulis disini adalah Keputusan KPU tentang rekapitulasi hasil penghitungan suara; Keputusan KPU tentang penetapan pasangan calon presiden dan wakil presiden beserta lampirannya; Keputusan KPU tentang penetapan nomor urut pasangan calon presiden dan wakil presiden beserta lampirannya; berita acara; dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara yang ditandatangani oleh penyelenggara pemilihan presiden. </p>
<p>Setelah melalui tahapan-tahapan di atas, maka MK harus memutus perkara ini dalam tenggang waktu paling lama 14 hari kerja semenjak permohonan dicatat dalam BRPK.</p>
<h2>Jadwal persidangan</h2>
<p>Dalam Pasal 475 <a href="https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt59ba5511ab93b/node/534/undang-undang-nomor-7-tahun-2017/">Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu</a>, kandidat yang tidak puas terhadap hasil pemilu dapat mengajukan gugatan ke MK paling lambat tiga hari setelah KPU mengumumkan hasil perolehan suara.</p>
<p>Maka batas akhir Prabowo mengajukan permohonan gugatan secara resmi adalah 24 Mei.</p>
<p>Lalu, 11 Juni adalah waktu pencatatan permohonan pemohon dalam BRPK dan pemberitahuan sidang pertama kepada pihak-pihak yang terlibat dalam perkara ini. </p>
<p>Pada 14 Juni akan berlangsung “Pemeriksaan Pendahuluan” dan Prabowo diberi waktu hingga 17 Juni untuk memperbaiki permohonannya. Setelah itu, 17 hingga 21 Juni berlangsung “Pemeriksaan Persidangan”. </p>
<p>Akhirnya, 28 Juni 2019 menjadi hari puncak pengucapan putusan akhir.</p>
<h1>Opsi keputusan</h1>
<p>Ada tiga opsi putusan akhir yang dapat dikeluarkan oleh MK, yakni permohonan tidak dapat diterima, permohonan ditolak, dan permohonan dikabulkan. </p>
<p>Permohonan tidak dapat diterima ketika pemohon dan tuntutannya tidak memenuhi syarat yang telah ditentukan. Hal ini termasuk salah tulis dalam identitas pemohon, pemohon bukanlah calon yang sah, ataupun telah lewatnya masa tenggang waktu 3 hari pengajuan tuntutan.</p>
<p>Permohonan ditolak ketika substansi permohonan tidak beralasan menurut hukum. Penolakan ini diterima Prabowo pada gugatannya tahun 2014 lalu. Ketika itu, MK memutuskan menolak gugatannya karena tidak terbukti adanya kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif dalam pemilihan presiden dan wakil presiden 2014. Kubu Prabowo dinilai <a href="http://wcw.cs.ui.ac.id/repository/dokumen/lihat/11587.pdf">tidak dapat membuktikan</a> adanya penekanan oleh pejabat penguasa daerah, rekayasa penyelenggara, dan adanya politik uang.</p>
<p>Dan sebaliknya, permohonan dikabulkan ketika substansi gugatan terbukti beralasan menurut hukum. </p>
<p>Jika opsi terakhir yang diputuskan, maka MK akan membatalkan keputusan KPU dan menetapkan hasil penghitungan perolehan suara yang benar.</p>
<p>Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dapat menangani dugaan kecurangan, namun wewenangnya hanya dibatasi hingga tahap penghitungan suara. Jika KPU sudah menetapkan hasil perhitungan suara, maka pihak yang tidak puas dengan keputusan KPU harus <a href="https://www.liputan6.com/news/read/3968512/headline-potensi-sengketa-hasil-pilpres-2019-tak-ada-pilihan-selain-ke-mk">menempuh langkah hukum ke MK</a>.</p>
<p>Bila pada akhirnya MK kembali menolak permohonan pihak Prabowo, sama seperti tahun 2014, maka sudah tidak ada lagi celah bagi Prabowo membawa lagi sengketa ini ke jalur hukum. Hal ini mengingat konstitusi telah mengatur bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat.</p>
<h2>Beda 2014 dengan 2019</h2>
<p>Secara substansi permohonan, <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20190522070550-4-74127/tolak-kemenangan-jokowi-prabowo-ajukan-gugatan-ke-mk">gugatan Prabowo tahun 2019</a> tidak akan jauh berbeda dengan gugatannya pada 2014. </p>
<p>Akan tetapi, peluang Prabowo untuk memenangkan perkaranya di MK jauh lebih kecil dibanding tahun 2014. </p>
<p>Untuk membuktikan adanya kecurangan dalam selisih hampir 16 juta suara dengan Jokowi, Prabowo harus menyiapkan bukti yang menunjukkan adanya setidaknya 100 kecurangan di <a href="https://nasional.kompas.com/read/2019/05/21/19060811/agar-gugatannya-di-mk-kuat-kubu-prabowo-harus-hadirkan-bukti-sebanyak-ini">100.000 hingga 200.000 </a> Tempat Pemungutan Suara (TPS). </p>
<p>Berbeda dengan tahun 2014 ketika Prabowo harus membawa bukti dari 57.000 TPS. </p>
<p>Permohonan kasus hanya akan diterima MK jika selisih suara yang dipersengketakan akan mengubah hasil akhir. Artinya, walaupun terbukti ada satu juta suara yang seharusnya milik Prabowo, permohonan akan tetap ditolak karena tidak mengubah hasil bahwa Jokowi lebih unggul. Oleh karenanya, rasanya nasib gugatan Prabowo tidak akan berubah kali ini.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/117591/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Josua Satria Collins tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Tulisan ini akan menjabarkan proses hukum yang harus dilalui Prabowo dalam gugatannya ke MK kali ini dan perbedaannya dengan gugatan yang diajukannya pada 2014.Josua Satria Collins, Researcher at Indonesia Judicial Monitoring Society (MaPPI), Faculty of Law University of Indonesia, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1070412018-12-21T05:39:02Z2018-12-21T05:39:02ZMengapa peradilan Indonesia mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi?<p>Pada Februari 2008, Bambang, seorang dokter bedah di Rumah Sakit Dinas Kesehatan Tentara (DKT), sebuah rumah sakit militer di Madiun, Jawa Timur, Indonesia, dilaporkan ke kepolisian oleh pasiennya, Johanes Tri Handoko, terkait izin praktik yang dimilikinya. </p>
<p>Pengadilan Negeri Madiun membebaskan Bambang. Namun, Mahkamah Agung menerima kasasi yang diajukan oleh jaksa pada 30 Oktober 2013. </p>
<p>Ia dinyatakan bersalah melanggar Pasal 76 dan 79 Undang-Undang Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran karena telah membuka praktik tanpa izin dan tidak memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar profesional dan <em>standar operating procedures</em> (SOP). Mahkamah Agung menghukum Bambang dengan pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan.</p>
<p>Namun, Bambang seharusnya tidak dipenjara. </p>
<p>Enam tahun sebelumnya, pada 19 Juni 2007, Mahkamah Konstitusi (lembaga yang memiliki kewenangan menguji seluruh pasal dalam undang-undang terhadap UUD 1945) telah menghapus pidana penjara dalam <a href="http://hukumpidana.bphn.go.id/wp-content/uploads/2012/11/Putusan-MK-No.-4_PUU_V_2007.pdf">pasal tersebut</a>. </p>
<p>Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa ketentuan tersebut telah menyebabkan rasa tidak aman dan ketakutan sebagai akibat dari tidak proporsionalnya pelanggaran yang dilakukan dengan hukuman pidana yang diatur dalam ketentuan tersebut. Oleh karena itu, dokter yang melanggar pasal tersebut hanya bisa dijatuhi hukuman denda, bukan penjara.</p>
<p>Kasus Bambang adalah contoh putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak dilaksanakan oleh hakim agung. UU Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Ini berarti semua keputusan harus dipatuhi dan diterapkan. Namun, faktanya tidak demikian.</p>
<h2>Apa yang melatarbelakangi hal tersebut?</h2>
<p>Setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian undang-undang tidak dilaksanakan.</p>
<p>Pertama, penegak hukum tidak menyadari adanya keputusan Mahkamah Konstitusi. Banyak ketentuan hukum yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi tidak didokumentasikan dengan baik. Dari 2003 hingga 2017, ada 574 norma yang telah dinyatakan inkonstitusional.</p>
<p>Ketika penegak hukum berhadapan dengan pasal-pasal di suatu undang-undang, mereka harus mengikuti perubahan pasal tersebut. Namun, ini tidak mudah karena banyaknya perubahan yang telah terjadi akibat putusan Mahkamah Konstitusi. Misalnya, dalam KUHP saja, ada 15 norma yang telah dinyatakan inkonstitusional sejak 2003 hingga 2017.</p>
<p>Satu kasus menggambarkan masalah ini. Pada 13 Desember 2004, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan <a href="https://mkri.id/public/content/persidangan/putusan/Putusan006PUUII2004rev91204.pdf">putusan</a> yang menyebutkan bahwa Pasal 31 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat adalah inkonstitusional. Pasal ini melarang seseorang yang tidak berprofesi sebagai advokat untuk bertindak sebagai advokat. Namun, pada 2008, <a href="https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol19342/masih-ada-lbh-kampus-yang-dilarang-berpraktek">sejumlah penegak hukum masih menggunakan pasal tersebut</a>.</p>
<p>Kedua, lembaga peradilan terkadang tidak menaati putusan Mahkamah Konstitusi, seperti yang ditunjukkan dalam kasus Bambang. Mahkamah Agung berpendapat bahwa tidak semua putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan mengikat. Tapi, dalam UU Mahkamah Konstitusi disebutkan bahwa semua keputusan Mahkamah Konstitusi <a href="https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt56fe01b271988/arti-putusan-yang-final-dan-mengikat">bersifat final dan mengikat</a>. Semua keputusan Mahkamah Konstitusi harus dilaksanakan oleh semua warga Indonesia, termasuk Mahkamah Agung dan Jaksa Agung.</p>
<p>Kasus lain adalah ketika Mahkamah Konstitusi memutus <a href="https://mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_sidang_1651_34%20PUU%202013-telahucap-6Maret2014.pdf">sebuah putusan</a> pada 2013, yang menyatakan bahwa terhadap suatu perkara pidana, dapat diajukan peninjauan kembali lebih dari satu kali. Namun, pada 2014, Mahkamah Agung menerbitkan <a href="http://bawas.mahkamahagung.go.id/bawas_doc/doc/sema_07_2014.pdf">Surat Edaran Mahkamah Agung</a> yang membatasi hal tersebut hanya dapat dilakukan satu kali. </p>
<p>Pada 2016, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan <a href="http://repository.unika.ac.id/16329/7/13.20.0075%20Vania%20Dewi%20Christant.LAMPIRAN.pdf">putusan</a> yang menyebutkan bahwa jaksa tidak dapat mengajukan peninjauan kembali dalam perkara pidana. Namun, Jaksa Agung mengabaikan hal ini dan menyatakan bahwa jaksa akan tetap mengajukan peninjauan kembali.</p>
<h2>Pengaturan dengan undang-undang sebagai solusi terbaik</h2>
<p>Solusi masalah putusan Mahkamah Konstitusi yang diabaikan oleh peradilan adalah untuk mengatur setiap norma yang telah diputuskan Mahkamah Konstitusi ke dalam sebuah peraturan.</p>
<p>Tindakan ini sebenarnya telah diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Parlemen dan pemerintah memiliki wewenang untuk mengatur undang-undang baru berdasarkan ayat, artikel, dan atau bagian dari undang-undang yang telah secara tegas dinyatakan dalam putusan Mahkamah Konstitusi. Undang-undang baru ini juga dimaksudkan untuk mencegah kekosongan hukum setelah suatu putusan Mahkamah Konstitusi.</p>
<p>Namun, hingga kini tidak pernah ada undang-undang baru dari parlemen dan pemerintah yang menindaklanjuti putusan-putusan Mahkamah Konstitusi. </p>
<p>Indonesia membutuhkan kemauan politik dari para legislator untuk menerbitkan peraturan baru sebagai tindak lanjut terhadap putusan Mahkamah Konstitusi. Jika tidak, pengadilan konstitusi tertinggi akan terus diabaikan dan norma-norma inkonstitusional akan terus diterapkan pada warga negara.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/107041/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Muhammad Tanziel Aziezi menerima dana dari Kedutaan Besar Norwegia untuk Indonesia untuk program penelitian tentang penerapan pasal penodaan agama di Indonesia, dari Kedutaan Besar Swiss untuk Indonesia untuk mengadakan pelatihan "International Criminal Law" untuk Hakim, Jaksa, dan Organisasi Masyarakat Sipil di Indonesia, dari Kerajaan Belanda untuk program penguatan implementasi sistem kamar di Mahkamah Agung Indonesia.</span></em></p>Sebagian penegak hukum Indonesia tidak sadar adanya putusan Mahkamah Konstitusi. Namun sebagian lainnya sengaja abai.Muhammad Tanziel Aziezi, Researcher, Indonesian Institute for Independent Judiciary (LEIP)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1091462018-12-21T05:39:00Z2018-12-21T05:39:00ZApakah DPR akan revisi UU Perkawinan untuk menghentikan pernikahan anak?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/251711/original/file-20181220-45394-143cs3n.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C8%2C5615%2C3699&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Anak perempuan yang menikah lebih awal memiliki kesempatan yang terbatas dalam hal pendidikan, kesehatan, dan penghasilan. </span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>Sebuah putusan Mahkamah Konsititusi (MK) minggu lalu diharapkan bisa mengakhiri pernikahan anak di Indonesia. Di negeri ini <a href="https://www.abc.net.au/news/2018-05-17/child-marriages-in-indonesia/9771076">satu dari empat anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun</a>.</p>
<p>Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, usia minimum untuk menikah adalah 16 untuk perempuan dan 19 untuk laki-laki. <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2018/12/13/breaking-court-orders-revision-of-minimum-age-for-women-to-marry.html">MK memutuskan</a> bahwa usia minimum 16 tahun untuk menikah bagi perempuan inkonstitusional. </p>
<p>Kini DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) harus segera menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi dengan mengubah Undang-Undang Perkawinan. Secara khusus, usia nikah minimum untuk perempuan perlu ditingkatkan menjadi 19 tahun untuk memastikan anak-anak, terutama anak perempuan, aman dari segala bentuk kekerasan.</p>
<h2>Masalah pernikahan anak</h2>
<p>Indonesia adalah negara dengan penduduk terbanyak keempat sedunia setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Sepertiga dari 260 juta penduduk Indonesia adalah anak-anak di bawah usia 18 tahun. <a href="https://www.unicef.org/indonesia/id/UNICEF_Annual_Report_(Ind)_130731.pdf">Hampir separuhnya adalah anak-anak dari keluarga miskin</a>. </p>
<p>Anak-anak yang hidup dalam kemiskinan berisiko lebih besar untuk menikah pada usia dini. Dan jika mereka menikah lebih awal, mereka berisiko terus berada dalam lingkaran kemiskinan. Anak perempuan yang menikah lebih awal memiliki kesempatan yang terbatas dalam hal pendidikan, kesehatan, dan penghasilan. </p>
<p>Putusan Mahkamah Konstitusi adalah langkah yang tepat. Namun beberapa tantangan masih harus ditangani untuk mencegah pernikahan anak, terutama pada anak-anak perempuan.</p>
<p>Pertama, di Indonesia pernikahan anak dianggap hal lumrah oleh masyarakat termasuk oleh lembaga negara seperti Kementerian Agama. Dalam beberapa kasus, orang tua memaksa anak mereka, baik anak perempuan atau laki-laki, ke dalam perkawinan, terutama jika anak memiliki hubungan intim dengan pacar atau pasangan mereka, yang dikhawatirkan akan mengakibatkan kehamilan sebelum menikah. Orangtua takut dan khawatir jika anak mereka melakukan <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2018/11/21/she-could-have-been-saved-indramayu-child-bride-dead-after-alleged-abuse.html"><em>zina</em> (seks di luar nikah), yang dianggap perbuatan dosa dalam Islam</a>. </p>
<p>Juru bicara Mahkamah Agung Suhadi baru-baru ini <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2018/11/23/children-have-right-to-marry-supreme-court.html">mengatakan</a> bahwa menikah adalah hak semua orang, termasuk untuk anak-anak. Peraturan Menteri Agama mengizinkan anak-anak di bawah usia minimum untuk menikah dengan mendapatkan izin dispensasi pernikahan dari pengadilan agama setempat. Pada 2012, pengadilan agama di tingkat kabupaten dan kota menyetujui <a href="https://www.plan.org.au/-/media/plan/documents/resources/plan_child_marriage_report_july_2014.pdf">lebih dari 90% permohonan dispensasi untuk menikahkan anak di bawah umur </a>, dan jumlah pemohon justru mengalami peningkatan. </p>
<p>Kedua, hukum yang menetapkan usia minimum bagi seseorang untuk menyetujui hubungan seksual juga memiliki bias gender. Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak, usia minimum untuk persetujuan seksual adalah 18 untuk anak laki-laki dan perempuan. Namun, merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) usia minimum untuk persetujuan seksual adalah 12 untuk anak perempuan, sedangkan untuk anak laki-laki tidak ada batasan usia yang ditentukan. </p>
<p>Ini menciptakan masalah lebih lanjut dalam melindungi anak perempuan dari pelecehan seksual. Tuntutan hukum atas kekerasan seksual terhadap anak dapat dimentahkan karena adanya peraturan yang saling bertentangan soal pernikahan anak. Selain itu, begitu anak perempuan menikah, dia menjadi tidak berhak mendapat layanan perlindungan anak. Hal ini menambah kekhawatiran tentang kesetaraan gender dalam hal menangani kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia. </p>
<p>Karena peraturan yang bertentangan di berbagai undang-undang dan penggunaan diskresi peradilan, banyak anak, terutama perempuan, di Indonesia ditempatkan dalam posisi rentan. Mereka dapat dieksploitasi secara seksual dan tidak dilindungi oleh hukum. Standar usia yang berbeda dan dispensasi pernikahan yang diizinkan dapat disalahgunakan oleh pihak tertentu yang tidak memprioritaskan <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181213201323-12-353534/aturan-dispensasi-dinilai-masih-jadi-momok-perkawinan-anak">kepentingan yang terbaik bagi anak</a>. </p>
<p>Putusan MK adalah langkah yang tepat dalam melindungi anak, khususnya perempuan, dari segala bentuk penyalahgunaan dengan mengurangi peluang bagi anak menikah pada usia dini, karena adanya perbedaaan standar usia minimum.</p>
<h2>Program perlindungan anak di Indonesia</h2>
<p>Pemerintah Indonesia telah memasukkan perlindungan anak sebagai salah satu dari lima prioritas untuk memperkuat sumber daya manusia dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015–2019. Pemerintah telah meluncurkan dua program percontohan: PKH (Program Keluarga Harapan, Program Keluarga Harapan) pada 2007; dan PKSA (Program Kesejahteraan Sosial Anak, Program Kesejahteraan Sosial untuk Anak-anak) pada 2010. Tujuannya untuk melindungi anak-anak dengan meningkatkan kesehatan dan pendidikan untuk memutus siklus kemiskinan antar-generasi.</p>
<p>Untuk mendukung program perlindungan anak di tingkat provinsi dan kabupaten dan kota, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak merancang Program Kota Ramah Anak untuk memperkuat komitmen lokal terhadap perlindungan anak. Program ini dikembangkan dalam rangka mencegah dan menanggapi semua bentuk kekerasan terhadap anak demi kepentingan terbaik anak.</p>
<p>Terlepas dari program-program ini, Indonesia masih berjuang untuk mengakhiri pekerja anak, pernikahan anak dan bentuk-bentuk pelecehan terhadap anak lainnya. Seringkali kemiskinan adalah penggerak utama pelecehan dan eksploitasi anak.</p>
<h2>Apa selanjutnya?</h2>
<p>Melindungi anak-anak dari segala bentuk penyalahgunaan masih menjadi tantangan bagi Indonesia. Mahkamah Konstitusi harus dipuji atas upayanya dalam melakukan peninjauan atas Undang-Undang Perkawinan. Ini adalah langkah penting untuk melindungi anak-anak di Indonesia dan momentum ini perlu dipertahankan.</p>
<p>Bola sekarang ada di tangan anggota DPR yang akan melanjutkan proses ini dengan mengamandemen Undang-Undang Perkawinan mengenai usia minimum menikah bagi perempuan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/109146/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Yanuar Farida Wismayanti bekerja untuk Kementerian Sosial Republik Indonesia. Ia menerima dana Kementerian Sosial Republik Indonesia dan Griffith University untuk riset doktoral. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Patrick O'Leary dan Yenny Tjoe tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Satu dari empat anak perempuan di Indonesia menikah sebelum mencapai usia 18. Keputusan MK soal usia minimum pernikahan diharapkan menghentikan praktik pernikahan anak.Yanuar Farida Wismayanti, Researcher/PhD Student, Griffith UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1009102018-08-03T10:19:25Z2018-08-03T10:19:25ZMengapa Mahkamah Konstitusi harus tolak tuntutan Perindo tentang batasan periode jabatan wakil presiden<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/230363/original/file-20180802-136667-28cnw0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=1%2C1%2C995%2C570&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Melalui pengujian tersebut, Partai Perindo hendak membuka ruang mencalonkan kembali Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang telah dua periode menjabat, pada Pemilu 2019.</span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p><a href="https://partaiperindo.com/">Partai Perindo</a> sebagai peserta pemilu hendak membuka ruang mencalonkan kembali Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang telah dua periode menjabat, pada Pemilu 2019. Partai ini <a href="https://nasional.tempo.co/read/1106211/ingin-usung-jokowi-jk-perindo-ajukan-uji-materi-uu-pemilu">mengajukan pengujian konstitusi undang-undang (<em>constitutional review</em>) kepada Mahkamah Konstitusi (MK)</a> atas batang tubuh dan penjelasan ketentuan Pasal 169 huruf n <a href="http://peraturan.go.id/uu/nomor-7-tahun-2017.html">Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum</a>. Ketentuan itu mengatur bahwa seseorang dapat mencalonkan diri sebagai wakil presiden jika belum pernah menduduki jabatan wakil presiden paling lama dua periode, baik berturut-turut ataupun tidak berturut-turut. </p>
<p>Dalam permohonan pengujian ini, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengajukan diri sebagai <a href="https://nasional.kompas.com/read/2018/07/20/16510961/uji-materi-syarat-cawapres-jusuf-kalla-ajukan-diri-jadi-pihak-terkait">pihak terkait di Mahkamah Konstitusi</a>. Sebelum mendampingi Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk periode 2014-2019, Jusuf Kalla adalah mantan wakil presiden di bawah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2004-2009. </p>
<p>Terhadap perkara ini, MK seharusnya menolak pengujian yang dimohonkan.</p>
<h2>Tafsir gramatikal</h2>
<p>Dalam pengujian konstitusi undang-undang, MK berwenang untuk menilai kesesuaian suatu norma undang-undang dengan Undang-Undang Dasar 1945 (<a href="http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt4ca2eb6dd2834/node/lt49c8ba3665987/uud-undang-undang-dasar-1945">UUD 1945</a>). Kewenangan itu dipengaruhi oleh pemahaman bahwa konstitusi merupakan sumber hukum tertinggi di suatu negara. Dalam proses menilai kesesuaian itu, pasal-pasal di dalam konstitusi dijadikan sebagai batu uji keberlakuan ketentuan dibawahnya. </p>
<p>Terhadap isu masa jabatan wakil presiden, hanya terdapat satu pasal UUD 1945 yang mengatur, yakni pada Pasal 7. Pasal itu berbunyi: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. Secara gramatikal, ketentuan Pasal 7 UUD 1945 sebenarnya telah jelas mengatur dua hal, yakni batas masa jabatan dan batas periode menjabat bagi presiden dan wakil presiden . </p>
<p>Ketentuan mengenai batas masa jabatan dapat dilihat dari kalimat: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun”. Kalimat itu berarti satu periode jabatan presiden dan wakil presiden adalah selama lima tahun. Setelah selesai menjabat, maka harus dilaksanakan pemilihan umum kembali. </p>
<p>Sedangkan ketentuan mengenai periode jabatan dapat dilihat pada kalimat berikutnya: “dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. Berdasarkan kalimat itu, jika seseorang telah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden, maka ia hanya berkesempatan untuk menduduki jabatan yang sama satu kali lagi. Dengan kata lain, yang dibatasi oleh konstitusi adalah jumlah periode menjabatnya, yakni dua periode. Dengan demikian jika seseorang telah menjabat wakil presiden selama dua periode, maka hilang kesempatannya untuk mencalonkan diri sebagai wakil presiden untuk ketiga kalinya. </p>
<p>Dalam asas penafsiran hukum dikenal <em>adagium interpretatio cessat in Claris</em> atau <em>plain meaning rule</em>, yang berarti penafsiran berhenti ketika suatu teks atau pasal telah jelas. </p>
<h2>Tafsir sejarah dan maksud pembentukan pasal (<em>original intent</em>)</h2>
<p>Ketentuan Pasal 7 UUD 1945 sebelum dilakukan perubahan atau amandemen tidak mengatur secara tegas berapa kali seseorang dapat dipilih sebagai presiden atau wakil presiden. Indonesia melakukan <a href="http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/infoumum/naskahkomprehensif/pdf/naskah_Naskah%20Komprehensif%20Buku%201.pdf">perubahan UUD 1945 (amandemen) dari tahun 1999 sampai 2002</a>.</p>
<p>Ketentuan pasal 7 UUD 1945 yang lama menyebabkan presiden atau wakil presiden yang menjabat sebelum perubahan UUD 1945 dapat menjabat lebih dari dua periode. Ini dibuktikan dengan mantan presiden Soeharto bisa menjabat hingga ketujuh kalinya.</p>
<p>Langkah membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden pertama kali muncul pada Sidang Istimewa MPR tahun 1998. Melalui sidang itu, MPR menerbitkan <a href="http://www.hukumonline.com/pusatdata/downloadfile/lt508795311a9c7/parent/lt50879473f1a1e">TAP MPR No. XIII/MPR/1998</a> untuk membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden. TAP MPR itu hanya berisi satu pasal yang berbunyi: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. </p>
<p>Keinginan membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden ini kemudian dipertahankan dalam pembahasan perubahan UUD 1945. Pada sesi pandangan umum, setiap fraksi menyampaikan maksudnya untuk mengubah Pasal 7 UUD 1945 mengenai masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden . </p>
<p>Pada tahap pembahasan, muncul dua pandangan mengenai rumusan pasal 7 UUD 1945. </p>
<p>Pandangan pertama, menggunakan ketentuan TAP MPR No. XIII/MPR/1998, bahwa “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya satu kali masa jabatan”. </p>
<p>Sedangkan pandangan kedua, diusulkan fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), berisi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali setelah tenggang waktu tertentu.” </p>
<p>Terhadap usulan pertama, Harun Kamil, Fraksi Utusan Golongan, selaku ketua rapat menjelaskan maksudnya adalah sesudah Presiden menjabat satu periode, boleh menjabat sekali lagi, kemudian tidak boleh selamanya. Sedangkan untuk usulan kedua, Fraksi PDIP melalui juru bicaranya, Aberson Marle Sihaloho, menjelaskan maksudnya adalah kalau dia sudah dua kali berturut-turut, dia tidak boleh lagi dipilih, tapi kalau ada tenggang waktu, satu periode misalnya, dia bisa lagi".</p>
<p>Dalam pembahasan berikutnya, Fraksi PDIP kemudian berubah pikiran karena menganggap usulannya sudah terwakili dengan rumusan pertama. Ketentuan mengenai Pasal 7 itu kemudian disepakati menjadi ketentuan dalam UUD 1945 perubahan pertama.</p>
<h2>Perbandingan dengan negara lain</h2>
<p>Pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden merupakan salah satu ciri utama sistem pemerintahan kepresidenan. </p>
<p>Pembatasan itu ditujukan untuk menutup keran munculnya rezim otoritarianisme oleh pemegang kekuasaan eksekutif, seperti yang terjadi pada rezim Orde Baru.</p>
<p>Latar belakang lahirnya pembatasan masa jabatan ini dipengaruhi oleh sejarah ketatanegaraan di Amerika Serikat. <a href="https://constitutioncenter.org/interactive-constitution/amendments/amendment-xxii">Yang memperkenalkan ide pembatasan masa jabatan presiden ini pertama kali adalah Presiden Amerika Serikat pertama, George Washington (1789-1797)</a>. Dia <a href="https://www.tribtalk.org/2017/06/20/george-washington-set-the-standard-on-term-limits/">menolak menjabat untuk ketiga kalinya sebagai Presiden</a> karena menyadari jika semakin lama seseorang menjabat, maka semakin mengurangi nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Sikap Washington itu bertahan sebagai kebiasaan ketatanegaraan yang mengikat baik Presiden maupun Wakil Presiden Amerika Serikat.</p>
<p>Pada perkembangannya, melalui <a href="https://www.britannica.com/topic/Twenty-second-Amendment">amandemen ke-22</a> pada tahun 1951, kebiasaan ketatanegaraan itu diatur tegas dalam konstitusi Amerika Serikat. Pada amandemen ke-22 ini berbunyi “<em>no person shall be elected to the office of the President more than twice</em>” atau “tidak ada orang yang dipilih menjadi presiden dua kali”.</p>
<p>Lahirnya amandemen itu karena <a href="https://constitutioncenter.org/blog/fdrs-third-term-decision-and-the-22nd-amendment">Presiden Franklin Delano Roosevelt melanggar kebiasaan ketatanegaraan</a> dengan menjabat hingga 4 periode. Meskipun amandemen ke-22 hanya membatasi periode jabatan Presiden, hingga kini tidak pernah ada Wakil Presiden Amerika Serikat yang menjabat lebih dari 2 periode. </p>
<p>Dari paparan di atas, terlihat bahwa batasan menjabat selama dua periode, tidak dapat sekadar dipandang sebagai pilihan kebijakan penyusun UUD 1945. Melainkan kental dengan nilai historis sistem pemerintahan kepresidenan, yang bertahan lebih dari dua abad lamanya. Yang lebih penting lagi, pembatasan masa dan periode jabatan adalah komponen penting demokrasi untuk menghindari otoritarianisme.</p>
<h2>Salah forum</h2>
<p>Di berbagai belahan dunia, model pembatasan masa dan periode jabatan presiden dan wakil presiden memang berbeda-beda. Dalam konteks masa jabatan, pembatasan itu berkisar dari empat hingga tujuh tahun. </p>
<p>Variasi juga muncul dalam pembatasan periode jabatan. Untuk jabatan wakil presiden, setidaknya ada empat model: </p>
<ol>
<li><p>maksimal dua periode, baik berturut-turut atau berselang seperti di Indonesia dan Filipina </p></li>
<li><p>menjabat 2 periode, dan kemudian dipilih kembali untuk 2 periode setelah satu periode masa tenggang yaitu seperti di Argentina dan Brasil</p></li>
<li><p>terbatas hanya pada satu periode seperti di Paraguay</p></li>
<li><p>satu periode tanpa batas pencalonan ulang di Amerika Serikat. </p></li>
</ol>
<p>Namun perlu diingat, dalam konteks Amerika Serikat, wakil presiden terikat oleh kebiasaan ketatanegaraan untuk menjabat tidak lebih dari dua kali. </p>
<p>Berbagai model pembatasan masa dan periode jabatan di atas tentu erat kaitannya dengan sejarah, kebiasaan ketatanegaraan dan desain relasi dan tanggung jawab presiden dan wakil presiden suatu negara. Dalam konteks Indonesia, dari sisi gramatikal, sejarah, dan maksud pembentukan pasal (<em>original intent</em>) UUD 1945 telah jelas mengatur mengenai batas masa dan periode jabatan wakil presiden. </p>
<p>Berdasarkan berbagai pertimbangan di atas, MK melalui fungsi utamanya sebagai penjaga konstitusi seharusnya menolak permohonan pengujian konstitusi undang-undang ini. </p>
<p>Sementara itu, pihak pemohon, jika tetap hendak mencalonkan Jusuf Kalla sebagai wakil presiden lagi meski pun dia sudah menjabat dua periode, maka forum yang tepat adalah melalui perubahan UUD 1945 di Majelis Permusyawaratan Rakyat.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/100910/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Mulki Shader tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Mahkamah Konstitusi melalui fungsi utamanya sebagai penjaga konstitusi seharusnya menolak permohonan Perindo dan Jusuf Kalla.Mulki Shader, Researcher, Indonesian Center for Law and Policy Studies (PSHK)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.