tag:theconversation.com,2011:/us/topics/pidana-52298/articlesPidana – The Conversation2021-11-16T06:18:56Ztag:theconversation.com,2011:article/1711202021-11-16T06:18:56Z2021-11-16T06:18:56ZApakah menyiksa hewan bisa kena hukuman pidana?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/431652/original/file-20211112-27-129x8na.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Warga menggendong kucing peliharaannya saat bakti sosial pelayanan kesehatan hewan di kantor Badan Keswadayaan Masyarakat di Bogor, Jawa Barat.</span> <span class="attribution"><span class="source">Arif Firmansyah/Antara Foto</span></span></figcaption></figure><p>Kisah Canon, seekor anjing yang <a href="https://regional.kompas.com/read/2021/10/24/193900078/viral-kisah-canon-anjing-di-aceh-singkil-yang-mati-usai-ditangkap-satpol-pp?page=all">mati setelah ditangkap aparat setempat</a> untuk dipindahkan dari Pulau Banyak ke daratan Aceh Singkil, Aceh, mendapat banyak perhatian publik belum lama ini.</p>
<p>Pemindahan anjing itu oleh petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) berkaitan dengan peraturan di tujuan wisata halal yang tidak mengizinkan keberadaan anjing di tempat itu. </p>
<p>Ada dugaan Canon mati karena kehabisan nafas dalam pemindahan menggunakan keranjang yang tertutup. Satpol PP setempat menyatakan pemindahan itu sudah sesuai prosedur dan anjing itu diduga mati karena stress. </p>
<p>Kisah Tayo, seekor kucing peliharan yang dicuri dan dijagal di Medan, memiliki ujung yang berbeda dengan Canon. </p>
<p>Si penjagal kucing Tayo, Rafeles Simanjuntak, mendapat hukuman <a href="https://medan.kompas.com/read/2021/09/01/175436478/pria-di-medan-yang-viral-jagal-kucing-tayo-divonis-2-tahun-6-bulan-penjara?page=all">2,5 tahun penjara</a> karena terbukti mencuri dan membunuh hewan peliharaan orang lain.</p>
<p>Aturan melindungi hewan dan menghukum orang yang menyiksa binatang sudah ada di Indonesia, tapi penerapannya belum maksimal.</p>
<h2>Nomor satu dalam konten penyiksaan hewan</h2>
<p>Kisah Canon dan Tayo seakan menegaskan predikat ‘juara dunia’ untuk Indonesia dalam konten penyiksaan hewan.</p>
<p>Laporan <a href="https://8db0f3ba-2353-4948-8498-b09d7964c3a5.filesusr.com/ugd/2dec39_b0a6a0ae309346e3a02e3aa0a33f792f.pdf">Asia for Animals Coalition (AfA)</a> tahun ini, Indonesia menempati pada peringkat 1 untuk wilayah yang terbanyak baik dalam pembuatan maupun pengunggahan konten kekejaman terhadap hewan di media sosial. </p>
<p>AfA mengkaji 5.480 konten penyiksaan hewan yang berhasil didokumentasikan dari YouTube, Facebook dan Tiktok. Dari jumlah ini, 1.626 konten dibuat di Indonesia dan 1.569 konten diunggah di Indonesia.</p>
<p>Kasus penyiksaan terhadap hewan merupakan fenomena global. </p>
<p>Di tingkat dunia, pada 2019 Perserikatan Bangsa-Bangsa mengusulkan konvensi kesehatan dan perlindungan hewan (<a href="https://www.uncahp.org/">United Nations Convention on Animal Health and Protection (UNCAHP)</a>). </p>
<p>Usulan konvensi ini sudah ada sejak 1988 lewat inisiatif International Convention for the Protection of Animals (ICAP). Pada 2005, <a href="https://www.worldanimalprotection.ca/sites/default/files/media/ca_-_en_files/case_for_a_udaw_tcm22-8305.pdf">Universal Declaration on Animal Welfare (UDAW)</a> diusulkan untuk menjadi kesepakatan di PBB.</p>
<p>UNCAHP ini menjadi salah satu solusi untuk menghadapi tantangan dalam perlindungan hewan dan kesehatan global yang dihadapi dunia. Apakah Indonesia sudah memenuhi konvensi ini?</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/hewan-juga-berhak-sehat-dan-aman-dari-covid-19-sayang-kebijakan-di-indonesia-belum-memadai-169537">Hewan juga berhak sehat dan aman dari COVID-19, sayang kebijakan di Indonesia belum memadai</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Aturan perlindungan hewan</h2>
<p>Indonesia telah memiliki sejumlah regulasi untuk menjamin kesejahteraan dan perlindungan terhadap hewan di Indonesia.</p>
<p>Pasal 302 dan Pasal 540 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (<a href="https://jdih.mahkamahagung.go.id/index.php/hukum-acara/4.-Hukum-Acara/Kitab-Undang-Undang-Hukum/">KUHP</a>), misalnya. </p>
<p>Pada Pasal 302 mengatur bahwa seseorang yang melakukan penganiayaan kepada hewan (baik ringan maupun berat) dapat dipidana maksimal 9 bulan dan denda maksimal Rp 400 ribu rupiah. Penganiayaan ringan dalam pasal tersebut adalah tindakan yang dengan sengaja dilakukan untuk menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya. </p>
<p>Penganiayaan berat adalah jika tindakan mengakibatkan hewan sakit lebih dari seminggu, cacat, menderita luka berat, atau mati. </p>
<p>Pasal 540 mengatur bahwa seseorang dapat dipidana paling lama 14 hari dengan denda maksimal sebanyak Rp 200 ribu jika menggunakan hewan untuk bekerja di luar kemampuannya; menggunakan hewan untuk pekerjaan dengan cara yang menyakitkan hewan; menggunakan hewan yang cacat/hamil maupun menyusui/ kudisan/ luka untuk pekerjaan; mengangkut atau menyuruh hewan tanpa diberi makan atau minuman.</p>
<p>Salah satu pasal dalam <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/38634/uu-no-18-tahun-2009">Undang-Undang (UU) No. 18 tahun 2009</a> dan <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/38801">UU No. 41 tahun 2014</a> tentang peternakan dan kesehatan hewan mengatur bahwa setiap orang dilarang untuk menganiaya dan/atau menyalahgunakan hewan yang mengakibatkan hewan menjadi cacat dan/atau tidak produktif. </p>
<p>Pada UU ini ditekankan bahwa pemerintah (baik pusat maupun daerah) memiliki bagian dalam menjamin perlindungan hewan. Hukuman yang dapat dijatuhkan adalah pidana kurungan paling singkat 1 bulan dan paling lama 3 bulan serta denda paling sedikit Rp 1 juta rupiah dan paling banyak Rp 3 juta.</p>
<p><a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/5310">Peraturan Pemerintah (PP) No. 95 tahun 2012</a> tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan juga menjamin kesejahteraan hewan dengan menerapkan prinsip kebebasan hewan. </p>
<p>Kebebasan ini adalah bebas dari rasa lapar dan haus; bebas dari rasa sakit, cidera dan luka; bebas dari ketidaknyamanan, penganiayaan dan penyalahgunaan; dan bebas untuk mengepresikan perilaku alaminya.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/penjelasan-di-balik-foto-orangutan-yang-viral-menolong-atau-minta-makan-133804">Penjelasan di balik foto orangutan yang viral: menolong atau minta makan?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Belum efektif</h2>
<p>Jelas, bahwa ada regulasi yang mengatur bahwa orang yang melakukan penyiksaan terhadap hewan dapat dipidana. </p>
<p>Penerapan regulasi dengan baik tentunya dapat menghapus tindakan penyiksaan terhadap hewan. </p>
<p>Namun yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah aturan-aturan ini telah berhasil untuk diterapkan? </p>
<p>Menurut Doni Herdaru Tona, pendiri Animal Defender Indonesia (ADI) yang juga terlibat dalam advokasi kasus Tayo di atas, aturan hukum bagi penyiksa hewan masih terlalu ringan. </p>
<p>Aturan dan ancaman hukuman yang ringan tidak dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku penyiksaan hewan. Terlebih lagi, menurut Doni, para aparat penegak hukum masih “meremehkan” laporan terkait penyiksaan hewan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/171120/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Nanda Oktaviani tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Aturan melindungi hewan dan menghukum orang yang menyiksa binatang sudah ada di Indonesia, tapi penerapannya belum maksimal.Nanda Oktaviani, Peneliti, Indonesia Judicial Research Society Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1695402021-10-08T10:16:00Z2021-10-08T10:16:00ZSaat negara gila pidana: membedah kemelut penjara Indonesia yang kelebihan kapasitas<iframe src="https://open.spotify.com/embed/episode/2js5X5232ABYGbDnGnGx8s" width="100%" height="232" frameborder="0" allowfullscreen="" allow="autoplay; clipboard-write; encrypted-media; fullscreen; picture-in-picture"></iframe>
<p>Selama satu bulan terakhir, berbagai kasus hukum membuat masyarakat kembali mempertanyakan efektivitas pemidanaan penjara di Indonesia.</p>
<p>Di antaranya ada <a href="https://tirto.id/icjr-nilai-coki-pardede-wajib-direhabilitasi-gjbE">kasus komedian Coki Pardede</a> yang memicu perdebatan terkait hukuman penjara bagi pengguna narkotik, hingga <a href="https://tirto.id/lapas-tangerang-terbakar-napi-berlebih-icjr-soroti-sistem-pidana-gjkn">kasus kebakaran di Lapas Kelas I Tangerang</a> yang menunjukkan risiko saat terjadi kelebihan kapasitas penjara.</p>
<p>Per Juli 2020, misalnya, data dari Indonesia Judicial Research Society (IJRS) menunjukkan bahwa terdapat <a href="http://ijrs.or.id/rilis-pers-kondisi-kasus-covid-19-di-rutan-lapas-harus-mendapatkan-perhatian-overcrowding-harus-diselesaikan-bersama/">kelebihan beban kapasitas penjara sebesar 176%</a> – dari total kapasitas seluruh lapas di Indonesia yang sekitar 133 ribu orang.</p>
<p>Untuk membedah hal tersebut, di episode podcast SuarAkademia kali ini, kami ngobrol dengan Dio Ashar Wicaksana, Direktur Eksekutif IJRS tentang bagaimana penegak hukum masih terlalu fokus pada hukuman penjara.</p>
<p>Ia bercerita tentang berbagai hal, termasuk <a href="https://theconversation.com/hari-anti-narkotika-internasional-para-ahli-sarankan-jangan-penjarakan-pengguna-narkotika-119452">hukuman yang tidak tepat sasaran</a> terhadap penggunaan narkotik, <a href="http://ijrs.or.id/rilis-pers-darurat-kondisi-pandemi-icjr-ijrs-dan-leip-serukan-5-langkah-darurat-yang-perlu-dilakukan-presiden-terkait-kondisi-rutan-dan-lapas/">alternatif penghukuman lain</a> seperti pidana percobaan dan pidana kerja sosial, tantangan penerapan <a href="https://theconversation.com/nikahin-aja-penanganan-kasus-pemerkosaan-dan-kekerasan-seksual-selama-ini-belum-fokus-pada-pemulihan-dan-hak-korban-163011">keadilan restoratif</a>, serta perbandingan sistem penghukuman di beberapa negara lain termasuk Belanda dan Portugal.</p>
<p>Simak episode lengkapnya di SuarAkademia – ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/169540/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Kami ngobrol dengan Dio Ashar, Direktur Eksekutif IJRS tentang bagaimana penegak hukum terlalu fokus pada pemidanaan penjara di tengah kondisi lapas di Indonesia yang sudah kelebihan kapasitas.Luthfi T. Dzulfikar, Youth + Education EditorLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1685732021-10-08T03:37:03Z2021-10-08T03:37:03ZDukungan publik Indonesia atas hukuman mati menurun; survei yang lebih tajam menangkap opini publik lebih baik<p>Indonesia, seperti negara lain di Asia Tenggara, selama beberapa dekade ini telah mendukung penerapan hukuman mati, terutama untuk pelanggaran terkait narkoba.</p>
<p>Sikap tegas ini dibuktikan dengan hasil-hasil survei nasional yang <a href="https://www.thejakartapost.com/academia/2021/04/20/death-penalty-false-cure-for-ailing-indonesian-justice-system.html">menunjukkan</a> dukungan kuat publik terhadap hukuman mati.</p>
<p>Namun, survei-survei ini <a href="https://www.lowyinstitute.org/publications/key-domino-indonesia-death-penalty-politics">tidak dilakukan dengan menggunakan metodologi ketat</a> dan hasilnya tidak bisa diandalkan.</p>
<p><a href="https://www.deathpenaltyproject.org/knowledge/investigating-attitudes-to-the-death-penalty-in-indonesia-part-two/">Survei terbaru kami</a> yang menggunakan metodologi yang lebih teliti menemukan minimnya keyakinan publik pada hukuman mati. </p>
<p>Survei tersebut menunjukkan bahwa meski mayoritas publik (69%) mendukung hukuman mati, hanya 35% yang merasa ‘sangat’ mendukungnya.</p>
<p>Data tersebut menunjukkan bahwa dukungan responden terhadap hukuman mati menurun ketika mereka mengetahui lebih dalam tentang ruang lingkup dan pelaksanaan hukuman mati.</p>
<p>Jadi, jika keputusan negara untuk mempertahankan hukuman mati merujuk pada suatu kehendak publik secara demokratis, maka para pembuat kebijakan seharusnya memperketat penelitian empiris yang independen untuk mencari tahu opini publik secara tepat.</p>
<h2>Dukungan yang rapuh dan mudah dimanipulasi</h2>
<p>Kami bekerja dengan <a href="https://www.ipsos.com/en">IPSOS</a>, sebuah perusahaan riset pasar internasional dan terkemuka, untuk mensurvei opini publik lewat metode pengambilan sampel probabilitas acak berlapis dan mendapatkan 1.515 responden di Aceh, Bali, Jabodetabek, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, dan Yogyakarta.</p>
<p>Kami menemukan bahwa walau secara umum dukungan atas hukuman mati terbilang tinggi, dukungan ini didasarkan pada asumsi bahwa hukuman mati dilakukan secara adil dan proporsional. Ketika orang mengetahui bahwa yang terjadi dalam kenyataan tidaklah demikian, dukungan atas hukuman mati berkurang.</p>
<p>Meski 69% publik mendukung berlanjutnya hukuman mati, hanya 35% yang memberikan dukungan ‘sangat kuat’. Ketika hukuman alternatif ditunjukkan (seperti penjara seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat), dukungan atas hukuman mati turun menjadi hanya 25%.</p>
<p>Pertanyaan-pertanyaan lebih mendalam menunjukkan bahwa dukungan awal publik mencerminkan reaksi naluriah yang emosional - keinginan untuk melihat pelaku dihukum - alih-alih keputusan yang dibuat dengan informasi dan pengetahuan yang baik. </p>
<p>Yang juga penting kami temukan adalah responden sebenarnya tidak memiliki pengetahuan tentang hukuman mati. Hanya 2% yang menganggap diri mereka memiliki informasi sangat baik, dan hanya 4% yang menyatakan bahwa mereka sangat peduli terhadap masalah ini.</p>
<p>Ketika kasus-kasus spesifik diberitahukan pada responden, dukungan mereka berkurang.</p>
<p>Misalnya, ketika responden mendapat rincian tentang seorang laki-laki yang membunuh seorang pemilik toko dengan senjata api selama perampokan, 40% responden menganggap pelaku pantas dihukum mati. Tapi ketika responden diberitahu lebih lanjut bahwa pria tersebut sebelumnya sama sekali tidak memiliki catatan kejahatan, dukungan atas hukuman mati berkurang menjadi hanya 9%.</p>
<p>Demikian pula di kasus berbeda, 50% responden menilai seorang gembong pengedar narkoba pantas dihukum mati. Tapi untuk kasus serupa, saat terdakwa adalah seorang miskin yang tidak berpendidikan, dukungan menurun menjadi 14%.</p>
<p>Lebih dari setengah responden mendukung hukuman mati karena mereka yakin bahwa hukuman mati dapat mencegah kejahatan yang serius. Lebih dari sepertiga akan mendukung penghapusan hukuman mati jika pemuka agama setuju penghapusan.</p>
<p>Lebih lanjut, di Indonesia, ketika responden ditanya tentang langkah-langkah yang lebih cocok untuk mengurangi kejahatan serupa, mereka cenderung menolak hukuman mati dan lebih mempercayai sistem pengaturan yang efektif, pengurangan kemiskinan, atau bantuan terapeutik, seperti perawatan kesehatan untuk para pecandu narkoba.</p>
<p>Ketika ditanya langkah apa paling efektif untuk mengurangi kejahatan narkoba, hanya 9% responden yang menyarankan untuk menambah vonis hukuman mati, dan hanya 6% yang menyarankan penambahan eksekusi mati.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/membongkar-mitos-hukuman-mati-104145">Membongkar mitos hukuman mati</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Perlunya metode survei yang lebih baik</h2>
<p><a href="https://www.thejakartapost.com/academia/2021/04/20/death-penalty-false-cure-for-ailing-indonesian-justice-system.html">Survei-survei di Indonesia</a>, meski jarang diadakan, menunjukkan sekitar 75% publik mendukung hukuman mati. Survei yang diluncurkan Indo Barometer pada 2015 menunjukkan 84% dukungan publik atas hukuman mati bagi pengedar narkoba.</p>
<p>Meski survei superfisial dapat memberikan gambaran tentang perubahan opini dari waktu ke waktu, survei tersebut tidak dapat mengukur kekuatan opini, pengetahuan tentang topik, atau bagaimana pendapat publik pada kejahatan apa atau pelaku kejahatan yang bagaimana yang pantas dijatuhi hukuman mati.</p>
<p>Survei semacam itu tidak dapat mencerminkan tanggapan publik atas pelanggaran yang melibatkan hal-hal spesifik, misalnya hal-hal yang dapat memberatkan atau meringankan hukuman.</p>
<p><a href="https://www.bjcl.org/assets/files/23.3-Hood.pdf">Penelitian analisis komparatif opini publik</a> dari delapan negara menunjukkan bahwa data tentang opini publik hanya dapat dihasilkan oleh survei yang dilakukan dengan prosedur ketat dan metodologi yang maju, seperti yang diluncurkan oleh The Death Penalty Project di <a href="https://www.deathpenaltyproject.org/knowledge/the-death-penalty-in-malaysia/">Malaysia</a>, <a href="https://www.deathpenaltyproject.org/knowledge/public-opinion-on-the-mandatory-death-penalty-in-trinidad/">Trinidad</a> dan <a href="https://www.deathpenaltyproject.org/knowledge/12-years-without-an-execution-is%20-zimbabwe-siap-untuk-penghapusan/">Zimbabwe</a>.</p>
<p>Penelitian empiris yang ketat dan independen yang mampu menangkap nuansa-nuansa opini publik menjadi penting jika keputusan untuk mempertahankan hukuman mati dibuat berdasarkan kehendak publik secara demokratis.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/stop-penjarakan-pengguna-narkotika-101449">Stop penjarakan pengguna narkotika</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Apa langkah berikutnya?</h2>
<p>Penelitian empiris yang kuat terutama sangat penting untuk mempelajari perdagangan narkoba di Indonesia, karena tingkat keprihatinan nasional dan internasional tentang bahaya yang disebabkan oleh narkoba <a href="https://www.unodc.org/documents/scientific/ATS/2020_ESEA_Regonal_Synthetic_Drug_Report_web.pdf">terbilang tinggi</a> .</p>
<p>Kami menemukan bahwa ketika publik mendapat informasi yang akurat mengenai penggunaan hukuman mati, dukungan awal yang tinggi akan menurun secara drastis.</p>
<p>Ini menunjukkan bahwa semakin banyak publik mendapat informasi tentang hukuman mati dan pelaksanaannya, semakin sedikit dukungan yang muncul.</p>
<p>Dukungan juga berkurang ketika orang dihadapkan pada pilihan-pilihan peringanan hukuman atau alternatif lain seperti penjara seumur hidup.</p>
<p>Sesuai juga dengan revisi KUHP sedang berlangsung, perlu adanya pertimbangan kembali atas respon peradilan pidana terhadap perdagangan narkoba di Indonesia, serta peninjauan atas implikasinya pada yurisdiksi di Asia Tenggara yang juga memiliki masalah serupa.</p>
<p>Indonesia harus mengembangkan kebijakan berbasis bukti pada upaya pengendalian narkoba dan kejahatan, tanpa asumsi bahwa masyarakat menuntut hukuman mati.</p>
<p>Opini publik seringkali sangat sensitif terhadap informasi baru, terutama ketika informasi tersebut dirancang khusus untuk menanggapi perdebatan publik. Opini publik harus diukur dengan hati-hati demi kebijakan publik yang sehat.</p>
<hr>
<p><em>Rachel Noorajavi menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/168573/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Carolyn Hoyle telah melakukan penelitian dengan The Death Penalty Project selama lima tahun terakhir. Laporan yang dibahas dalam artikel ini didukung oleh dana yang diberikan kepada The Death Penalty Project dari European Commission, the United Kingdom Foreign, Commonwealth and Development Office, Universitas Oxford, dan UK Research and Innovation.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Parvais Jabbar adalah salah satu pendiri dan direktur eksekutif The Death Penalty Project, sebuah LSM hukum yang berbasis di London yang bekerja untuk melindungi hak asasi manusia orang-orang yang menghadapi hukuman mati.</span></em></p>Dukungan masyarakat Indonesia terhadap hukuman mati semakin berkurang ketika mereka mengetahui lebih dalam tentang ruang lingkup dan administrasi hukuman mati.Carolyn Hoyle, Director of the Centre for Criminology, University of OxfordParvais Jabbar, Co-Founder and Co-Executive Director of the Death Penalty Project, University of OxfordLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1563042021-03-16T02:24:45Z2021-03-16T02:24:45ZLayakkah prioritas vaksin COVID-19 untuk tahanan korupsi?<p>Bulan lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kementerian Kesehatan melakukan vaksinasi terhadap <a href="https://nasional.tempo.co/read/1436676/publik-kritik-vaksin-covid-19-untuk-tahanan-korupsi-begini-kpk-menjawab">39 dari 61 tahanan</a>. Kebijakan itu cepat menimbulkan polemik.</p>
<p>Masyarakat mempertanyakan apa urgensinya tahanan KPK mendapat vaksin lebih dulu ketimbang dibandingkan tahanan dan narapidana yang berada di lembaga pemasyarakatan (lapas) lain. </p>
<p>Selain itu <a href="https://theconversation.com/menyanggah-keputusan-pemerintah-prioritaskan-vaksinasi-covid-19-untuk-umur-18-59-tahun-153543">masalah</a> <a href="https://theconversation.com/mempersoalkan-keputusan-pemerintah-tak-prioritaskan-vaksinasi-covid-19-untuk-masyarakat-adat-154942">prioritas</a> vaksin di luar penjara pun belum usai. </p>
<p>Tahanan KPK seharusnya bukan penerima vaksin prioritas baik berdasarkan situasi penahanan yang mereka jalani ataupun atas kejahatan yang telah mereka lakukan.</p>
<h2>Prioritas vaksin</h2>
<p>Direktorat Jenderal (Ditjen) Pemasyarakatan – lembaga di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang mengurusi pemasyarakatan – baru sampai tahap melakukan identifikasi kebutuhan penerima vaksin baik untuk petugas, pejabat dan tahanan serta narapidana di lingkungan lapas.</p>
<p>Per Februari lalu, <a href="http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/current/monthly">data Ditjen Pemasyarakatan</a> mencatat jumlah tahanan dan narapidana mencapai 252.999 orang dengan komposisi jumlah tahanan 48.509 dan jumlah narapidana 204.805. </p>
<p>Sementara kapasitas rumah tahanan (rutan) dan lapas sebesar 135.704 orang. Maka saat ini narapidana yang ditahan jumlahnya 86% melebihi dari kapasitas (<em>overcrowding</em>) yang ada, sebuah kondisi yang jauh dari kata layak.</p>
<p>Dari 525 rutan dan lapas yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, 395 di antaranya mengalami <em>overcrowding</em>. </p>
<p>Prioritas pemberian vaksin seharusnya diberikan pada tempat yang memang mengalami <em>overcrowding</em> karena mengalami <a href="https://www.hrw.org/news/2020/03/30/covid-19-threatens-indonesias-overcrowded-prisons">risiko penularan wabah</a> lebih besar. </p>
<p>Skala prioritas untuk tahanan selanjutnya dapat dilakukan berdasarkan kerentanan dalam konteks kelompok usia misalnya kelompok lanjut usia dan – dalam beberapa jenis vaksin – anak, serta ibu menyusui. </p>
<p>Kondisi kesehatan para narapidana kemudian menjadi kriteria berikut untuk menentukan prioritas. </p>
<p>Vaksin produksi Sinovac yang <a href="https://kesehatan.kontan.co.id/news/10-juta-vaksin-sinovac-sudah-diterima-pemerintah-indonesia">digunakan pemerintah</a>, misalnya, <a href="https://kesehatan.kontan.co.id/news/17-kelompok-masyarakat-yang-tidak-bisa-divaksin-covid-19-sinovac">tidak dapat diberikan</a> kepada orang-orang yang memiliki kondisi atau riwayat medis, seperti diabetes melitus, asma dan TBC, kecuali dalam kondisi tertentu.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/setelah-vaksinasi-apakah-covid-19-akan-segera-terkendali-156943">Setelah vaksinasi, apakah COVID-19 akan segera terkendali?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Piramida kejahatan</h2>
<p>Selain situasi penahanan, ada juga pertimbangan derajat perbuatan jahat yang telah dilakukan.</p>
<p><a href="https://sociology.northwestern.edu/people/faculty/core/john-hagan.html">John Hagan</a> – profesor sosiologi dan hukum di Northwestern University, Illinois, Amerika Serikat (AS) – pada tahun 1985 membuat alat ukur kejahatan yang kemudian disebut <a href="https://www.ukessays.com/essays/criminology/examining-the-concept-of-crime-and-its-dimensions-criminology-essay.php">piramida kejahatan</a>. </p>
<p>Menurut Hagan, perbedaan keseriusan kejahatan bergantung pada tiga dimensi yang masing-masing mempunyai rentang dari peringkat rendah/ringan hingga peringkat tinggi/berat. </p>
<p>Dimensi pertama adalah <em>agreement about the norm</em> atau persetujuan, yaitu derajat benar atau salah suatu tindakan berdasarkan kesepakatan atau konsensus oleh masyarakat.</p>
<p>Dimensi kedua adalah <em>severity of societal response</em> yaitu keseriusan respons masyarakat yang tercantum dalam hukum. </p>
<p>Respons sosial ini mulai dari pengabaian, pemberian peringatan, denda, penghukuman penjara, bahkan hukuman mati. Menurut Hagan, semakin serius ancaman hukuman yang dirumuskan, semakin luas dukungan masyarakat terhadap sanksi tersebut, dan semakin serius penilaian masyarakat terhadap tindakan tersebut.</p>
<p>Dimensi ketiga adalah <em>evaluation of social harm</em> yang dirumuskan Hagan sebagai dampak relatif suatu kejahatan berdasarkan akibat yang dihasilkannya. </p>
<p>Ada pelanggaran hukum yang dampaknya hanya diderita pelanggar, seperti penyalahgunaan narkotika, berjudi, pelacuran dan perilaku lain-lain yang menyimpang. </p>
<p>Ada pula pelanggaran hukum yang merugikan orang lain baik dalam jumlah sedikit hingga pelanggaran hukum yang merugikan banyak orang, misalnya kerugian yang diakibatkan oleh perusahaan yang menjual produk membahayakan kesehatan atau bahkan mematikan.</p>
<p>Piramida kejahatan Hagan dapat menjadi masukan tambahan untuk penentuan pemberian prioritas vaksin bagi tahanan dan narapidana.</p>
<p>Prioritas dapat diberikan dengan memberi vaksin pada pelaku kejahatan ringan terlebih dulu sebelum diberikan kepada pelaku kejahatan berat seperti terorisme dan kejahatan luar biasa seperti <a href="http://e-pushamuii.org/content/3-korupsi-sebagai-extra-ordinary-crime">korupsi</a>. </p>
<p><a href="https://www.britannica.com/biography/John-Rawls">John Rawls</a> – seorang filsuf politik asal AS – dalam buku <a href="https://core.ac.uk/download/pdf/267855963.pdf">A Theory of Justice</a> mengusung “justice as fairness”, yakni sebuah kondisi yang membutuhkan hadirnya keadilan dalam suatu masyarakat plural yang setara. </p>
<p>Menurut Rawls, keadilan merupakan kebajikan utama dalam sebuah institusi sosial. Hal ini juga berlaku pada konteks pemberian vaksin; dalam hal ini negara memiliki peran. </p>
<p>Jika prioritas vaksin untuk tahanan dan narapidana dilakukan dengan layak dan tepat, tentu tidak akan timbul kegaduhan.</p>
<p>Kementerian Kesehatan yang membidangi isu kesehatan dan penanganan COVID-19 haruslah proaktif dan mengedepankan asas keadilan ini dalam distribusi dan pemberian vaksin terhadap tahanan dan narapidana.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/5-hal-penting-terkait-pengaruh-virus-corona-varian-baru-dari-inggris-masuk-indonesia-156574">5 hal penting terkait pengaruh virus corona varian baru dari Inggris masuk Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Kebijakan yang didukung</h2>
<p>Pemberian vaksin terhadap tahanan dan narapidana perlu didukung karena walau bagaimanapun mereka yang sedang menjalani masa hukuman adalah warga negara Indonesia juga. Termasuk di dalamnya adalah tahanan kasus korupsi. </p>
<p>Hanya saja pada kasus ini, tahanan KPK bukan merupakan prioritas penerima vaksin baik berdasarkan situasi penahanan atau dalam konteks berat-ringan kejahatan.</p>
<p>Pemerintah sendiri telah menetapkan korupsi <a href="https://bphn.go.id/data/documents/kpd-2011-7.pdf">sebagai kejahatan luar biasa</a> (<em>extra ordinary crime</em>). </p>
<p>Selanjutnya perlu ada pemeriksaan terlebih dahulu untuk memastikan tahanan KPK masuk dalam kategori kelompok rentan yang perlu segera menerima vaksin.</p>
<p>Kesadaran bersama diperlukan untuk pentingnya memelihara keadilan, dalam hal ini dalam pertimbangan pemilihan prioritas penerima vaksin. </p>
<p>Segala kebijakan pemerintah yang baik, layak, dan terukur tentu akan mendapat dukungan dari masyarakat tanpa keraguan sedikit pun.</p>
<p><em>Rinaldi Ikhsan Nasrulloh, seorang manajer program di Yayasan Ruang Damai, berkontribusi pada penulisan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/156304/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Leebarty Taskarina tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Tahanan KPK seharusnya bukan penerima vaksin prioritas baik berdasarkan situasi penahanan yang mereka jalani ataupun atas kejahatan yang telah mereka lakukan.Leebarty Taskarina, Doctoral student, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1535412021-01-20T08:21:37Z2021-01-20T08:21:37ZDenda bagi penolak vaksin: tidak tepat, tidak etis, dan berdampak panjang<p>Program vaksin COVID-19 gratis mulai berlangsung di berbagai daerah. Pemerintah mengatakan warga yang menolak divaksin dapat dikenai <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210112061715-20-592414/warga-tolak-vaksin-sinovac-dari-china-bisa-dipenjara-1-tahun">hukuman pidana</a> berupa penjara dan denda sesuai <a href="https://sipuu.setkab.go.id/PUUdoc/175564/UU%20Nomor%206%20Tahun%202018.pdf">Undang-Undang (UU) Kekarantinaan Kesehatan</a>.</p>
<p>Sepanjang sejarah program vaksinasi di Indonesia, sanksi denda terhadap penolak vaksin belum pernah diterapkan. </p>
<p>Ketika perang melawan cacar api (<em>smallpox</em>) pada 1960-1970an, pemerintah menerapkan <a href="https://apps.who.int/iris/handle/10665/39485">pendekatan militeristik dan rantai komando</a> untuk mengintimidasi mereka yang menolak vaksinasi. </p>
<p>Pasca Reformasi, pemerintah mencoba meredam narasi penolakan dengan menggunakan <a href="https://www.kemkes.go.id/article/view/18090900002/jalan-panjang-terbitnya-fatwa-mui-nomor-33-tahun-2018-dalam-rangka-mendukung-imunisasi.html">fatwa-fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI)</a>.</p>
<p>Jika benar-benar diterapkan, kebijakan memberi sanksi ini akan bersifat eksperimental karena belum ada bukti yang mendukung keberhasilan penerapannya. </p>
<p>Saya berpendapat denda terhadap penolak vaksin adalah kebijakan yang tidak tepat dan tidak etis, bahkan berdampak buruk untuk jangka panjang. </p>
<h2>Imunitas sosial</h2>
<p>Keberhasilan program vaksinasi membutuhkan pendekatan imunitas tubuh dan imunitas sosial. </p>
<p>Pemberian vaksin ditujukan untuk melatih <a href="https://theconversation.com/curious-kids-bagaimana-vaksin-bisa-membunuh-virus-148021">respons dan memori antibodi dalam tubuh sehingga sistem imun bekerja dengan tepat dan akurat ketika ada ancaman virus yang sebenarnya</a>. Vaksin bisa jadi tidak efektif jika gagal mengaktifkan respons dan memori yang diharapkan.</p>
<p>Karena potensi kegagalan vaksin membangun sistem imun tubuh selalu ada, maka sistem imunitas harus dibangun secara sosial juga. </p>
<p>Vaksinasi harus dilakukan menyeluruh ke setiap anggota masyarakat, kecuali yang secara medis tidak dianjurkan untuk menerima vaksin, dengan tujuan membentuk kekebalan kelompok (<em>herd immunity</em>). </p>
<p><a href="https://royalsocietypublishing.org/doi/10.1098/rstb.2014.0102">Imunitas sosial</a> adalah perilaku individu dan sosial dalam membangun kekebalan individu dan melindungi kawanannya terhadap ancaman penyakit menular. </p>
<p>Imunitas sosial berarti kekebalan masyarakat terhadap penyakit menular dibangun bersama-sama, bukan upaya satu aktor saja.</p>
<p>Prinsip utama imunitas sosial adalah saling ketergantungan. Setiap anggota masyarakat, bahkan anak-anak, <a href="https://anthronow.com/press-watch/where-have-all-the-children-gone-against-childrens-invisibility-in-the-covid-19-pandemic">berperan aktif</a> dalam membangun imunitas sosial ini, terutama ketika sedang dalam kondisi terancam.</p>
<p>Dalam rangka mencapai imunitas sosial, menerapkan denda adalah kebijakan kontraproduktif.</p>
<h2>1. Tidak tepat</h2>
<p>Ada tiga alasan mengapa kebijakan sanksi ini tidak tepat.</p>
<p>Pertama adalah narasi wabah yang masih kacau. Dalam sebuah wabah, setiap orang <a href="https://read.dukeupress.edu/books/book/1261/ContagiousCultures-Carriers-and-the-Outbreak">menarasikan penyakit </a> berdasarkan pada pengalaman personal dan saluran informasi yang bisa mereka akses. </p>
<p>Narasi wabah tentu saja mempengaruhi narasi vaksinasi. Masyarakat yang tidak percaya pada bahaya wabah tentu kurang merasakan perlunya vaksinasi. </p>
<p>Data etnografi saya banyak menemukan warga yang menganggap wabah COVID-19 ini adalah bencana ekonomi, bukan kesehatan. Menurut mereka, lebih baik pemerintah segera mengizinkan aktivitas ekonomi berjalan normal atau menambah jumlah dana bantuan sosial ketimbang menginvestasikan uang triliunan rupiah untuk membeli vaksin yang efektivitasnya masih meragukan.</p>
<p>Kedua, menerapkan hukuman malah memberikan pilihan bagi mereka yang menolak vaksinasi untuk memilih dihukum ketimbang divaksin. Salah satunya adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Ribka Tjiptaning yang secara terbuka mengatakan <a href="https://www.youtube.com/watch?v=x7iFX6fy9kY">bersedia membayar denda ketimbang divaksin</a>. Mereka yang membayar denda kemudian merasa terbebas dari kewajiban untuk vaksinasi. </p>
<p>Lebih buruk lagi, hukuman denda atau pidana juga berpotensi menjebak pemerintah dalam proses peradilan yang berlarut-larut jika <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201218092819-12-583695/warga-gugat-perda-dki-soal-denda-rp5-juta-bagi-penolak-vaksin">ada yang menggugat kebijakan ini</a>.</p>
<p>Ketiga, infrastruktur imunisasi massal di Indonesia masih belum tertata dengan baik. </p>
<p>Belajar dari <a href="https://www.thelancet.com/journals/lanplh/article/PIIS2542-5196(18)30287-0/fulltext">kegagalan kampanye imunisasi campak-rubella massal di tahun 2017-2018</a>, bencana alam dan ketidakmerataan akses dan ketersediaan vaksin juga dapat menjadi batu sandungan untuk keberhasilan program imunisasi massal COVID-19. </p>
<p>Ada baiknya pemerintah fokus di infrastruktur vaksinasi alih-alih sibuk mendata dan mendenda mereka yang menolak vaksinasi.</p>
<h2>2. Tidak etis</h2>
<p>Banyak ahli berpendapat bahwa wabah COVID-19 yang semakin tak terkendali di Indonesia ini bermula dari kebijakan pemerintah yang <a href="https://theconversation.com/indonesia-was-in-denial-over-coronavirus-now-it-may-be-facing-a-looming-disaster-135436#comment_2191381">lamban</a> dan <a href="https://theconversation.com/para-politikus-indonesia-saling-lempar-kesalahan-dalam-penanganan-covid-19-145543">saling bertabrakan</a> dalam menerapkan protokol kesehatan di awal-awal wabah.</p>
<p><a href="https://www.nationalgeographic.com/history/2020/05/indonesia-government-slow-lock-down-people-took-charge/">Masyarakat justru lebih cepat melakukan <em>lockdown</em> lokal daripada pemerintah</a>. Pemerintah dianggap tidak benar-benar serius dalam menerapkan kebijakan pencegahan penularan wabah dan sikap pemerintah membuat masyarakat sangat frustasi. </p>
<p>Mendenda penolak vaksin justru terlihat sebagai bentuk “lepas tangan” pemerintah atas kegagalan mengontrol penyebaran wabah dengan menitikberatkan masyarakat penolak vaksin sebagai sumber masalah. </p>
<p>Jika pemerintah boleh mendenda masyarakat yang menolak vaksin, apakah masyarakat bisa mendenda pemerintah karena lamban mengambil kebijakan pada awal-awal pandemi?</p>
<h2>3. Dampak negatif jangka panjang</h2>
<p>Kebijakan sanksi dapat dimanfaatkan menjadi isu sosial dan politik berdampak panjang.</p>
<p>Ini terjadi di Inggris setelah pemerintah mengenakan <a href="https://academic.oup.com/shm/article-abstract/13/1/45/1628528?redirectedFrom=fulltext">denda</a> pada penolak vaksin cacar api pada pertengahan Abad ke-19. </p>
<p>Kebijakan itu justru menjadi bumerang bagi pemerintah Inggris karena banyak penolak vaksin - mayoritas rakyat kelas pekerja dan kelas menengah - yang tidak mampu atau menolak membayar. </p>
<p>Banyak dari mereka kemudian dipenjara, akibatnya masalah baru muncul di sistem pemenjaraan.</p>
<p>Pendekatan yang koersif ini ditentang oleh pihak oposisi pemerintah yang menghubungkan isu ini dengan <a href="https://www.nationalarchives.gov.uk/education/resources/1834-poor-law/">kegagalan</a> regulasi kesejahteraan sosial di Inggris dan <a href="https://www.britannica.com/topic/Anatomy-Act">eksploitasi</a> pemerintah terhadap tubuh warga.</p>
<p>Gerakan anti-vaksinasi berubah menjadi gerakan politik revolusioner anti-pemerintah dan pendukung anti-vaksinasi mulai mendapatkan panggung hingga saat ini.</p>
<p>Belajar dari Inggris, kebijakan denda penolak vaksin ini akan sangat mudah dipolitisasi. </p>
<p>Apalagi ada kemiripan antara Indonesia saat ini dengan Inggris ketika itu, yaitu <a href="https://katadata.co.id/agustiyanti/berita/5f1154c4a509b/hasil-studi-pkh-dan-bantuan-sembako-tak-tepat-sasaran-terganjal-data">sistem kesejahteraan sosial masih kacau balau</a> dan masyarakat terbelah oleh <a href="https://theconversation.com/riset-keberpihakan-politik-mempengaruhi-perilaku-warga-terkait-pandemi-di-wilayah-dengan-konflik-politik-tinggi-misal-jakarta-150877">keberpihakan politik</a>. </p>
<p>Mekanisme denda penolak vaksin sangat perlu dikaji ulang; tentu kita tidak ingin memberikan panggung publik bagi penolak vaksin, bukan?</p>
<h2>Membangun imunitas sosial</h2>
<p>Mendenda penolak vaksin tidak sejalan dengan prinsip interdependensi dalam pendekatan imunitas sosial. </p>
<p>Lewat kebijakan denda, pemerintah menempatkan diri sebagai aktor utama dan masyarakat sebagai obyek tindakan pendisiplinan.</p>
<p>Menempatkan masyarakat sebagai aktor yang setara dalam menciptakan kesehatan berarti mendengarkan aspirasi mereka secara produktif dan tidak menganggap narasi penolakan sebagai ancaman. </p>
<p>Perlu ada interaksi dua arah antara masyarakat dengan pemerintah, bukan sekadar edukasi dan kampanye yang sifatnya satu arah. Pemerintah juga harus serius menindaklanjuti saran dari masyarakat.</p>
<p>Menurut <a href="https://www.youtube.com/watch?v=3jOWrX3dvks">data survei</a> yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan, WHO, dan UNICEF pada Oktober 2020, sebanyak 7.60% responden akan menolak vaksin COVID-19, sementara 27.60% persen menyatakan belum memutuskan.</p>
<p>Responden yang menolak menyatakan kekhawatiran akan keamanan, efektifitas, <em>adverse event</em> (kejadian ikutan) dan alasan keagamaan.</p>
<p>Pemerintah berkewajiban mengetahui tingkat efektifitas, keamanan, dan kualitas setiap produk vaksin yang digunakan, dan menyampaikan secara jelas dan apa adanya kepada masyarakat untuk menghindari multi-interpretasi dan misinformasi. </p>
<p>Kesehatan masyarakat harus menjadi prioritas, sehingga jika produk vaksin yang ada masih di bawah harapan, maka lebih baik pemerintah <a href="https://theconversation.com/belum-ada-vaksin-yang-aman-dan-ampuh-mengapa-pemerintah-indonesia-buru-buru-vaksinasi-covid-19-mulai-november-147019">tidak terburu-buru menggunakannya</a>.</p>
<p>Alasan keagamaan juga perlu diperhatikan dengan serius. Pemerintah perlu berinvestasi mengembangkan teknologi vaksin yang memenuhi kriteria agama, misalnya lewat kerja sama produsen vaksin dan MUI.</p>
<p>Membangun imunitas sosial jauh lebih penting daripada mendenda masyarakat yang sudah menderita secara kesehatan dan ekonomi. </p>
<p>Selain itu, solusi ini juga bermanfaat untuk jangka panjang mengingat bencana wabah COVID-19 ini bisa jadi <a href="https://theconversation.com/covid-19-bukan-pandemi-global-yang-terakhir-ini-pelajaran-dari-4-pandemi-yang-mengubah-sejarah-138022">bukan wabah terakhir yang akan kita hadapi</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/153541/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Dimas Iqbal Romadhon tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Dalam membangun imunitas sosial, denda penolak vaksin tidak tepat, tidak etis, dan berdampak negatif jangka panjangDimas Iqbal Romadhon, Ph.D Candidate, University of WashingtonLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1507582020-12-15T04:13:45Z2020-12-15T04:13:45ZImpunitas, ketidakadilan, dan pengabaian hak asasi manusia dalam peradilan militer terus berlangsung<p>Bulan lalu Majelis Hakim Pengadilan Militer Jakarta menjatuhkan <a href="https://news.detik.com/berita/d-5269415/keroyok-jusni-hingga-tewas-11-tni-divonis-bui-paling-lama-12-tahun">vonis ringan </a> kepada 11 prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam pengeroyokan seorang laki-laki yang kemudian tewas di Tanjung Priok, Jakarta, pada Februari. </p>
<p>Para prajurit itu dijatuhi vonis paling lama 1 tahun 2 bulan penjara. Hanya dua dari mereka dijatuhi hukuman tambahan berupa pemecatan dari kedinasan TNI Angkatan Darat (AD).</p>
<p>Para pelaku terbukti melakukan tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan kematian - yang menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (<a href="https://jdih.mahkamahagung.go.id/index.php/hukum-acara/func-download/2453/chk,8380cf682b410e66a885001bb40c53f5/no_html,1/">KUHP</a>) dapat dihukum penjara paling lama tujuh tahun. </p>
<p>Mereka bahkan mendapatkan <a href="https://news.detik.com/berita/d-5258649/11-prajurit-tni-yang-keroyok-jusni-hingga-tewas-dituntut-1-2-tahun-bui">rekomendasi</a> peringanan hukuman dari atasan mereka, Mayor Jenderal (Mayjen) Isdarmawan Ganemoeljo, lewat surat Kapusbekangad R/622.06/12/293/subditpamoster tanggal 30 Juni 2020.</p>
<p>Lebih lanjut, respons Markas Besar (Mabes) TNI tidak sejalan dengan semangat penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan penegakan hukum yang berkeadilan. Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI Mayjen Achmad Riad mengatakan <a href="https://tirto.id/keadilan-telah-runtuh-hukuman-ringan-tni-yang-siksa-bunuh-jusni-f7ed">tak ada yang salah dari rekomendasi itu</a>. </p>
<p>Vonis ringan dan tidak berkeadilan ini menunjukkan kembali perlunya revisi <a href="http://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/10/UU-31-thn-1997-ttg-Peradilan-Militer.pdf">Undang-Undang No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer</a> dengan segera. </p>
<h2>Mandeknya revisi UU Peradilan Militer</h2>
<p>Dalam hal revisi UU Peradilan Militer, dua dekade reformasi TNI masih menemui jalan buntu. </p>
<p><a href="https://kontras.org/wp-content/uploads/2019/07/menerobos-jalan-buntu.pdf">Sejak 2005</a>, desakan untuk merevisi UU itu telah mengemuka lantaran dianggap menjadi alat langgengnya impunitas: peradilan militer memiliki kewenangan mengadili aparat militer yang melakukan tindak pidana umum. </p>
<p>Padahal, idealnya mereka harus diadili di pengadilan umum. </p>
<p>Alhasil, berbagai kasus pelanggaran HAM berat justru diadili di pengadilan militer. </p>
<p>Prosesnya tertutup, tidak transparan, dan tidak mengakomodisai kepentingan korban sehingga hasilnya mudah ditebak. Pelaku yang diadili hanyalah pelaku lapangan alih-alih atasan mereka yang memberi perintah, pelaku juga mendapat hukuman rendah, sementara kebenaran tidak terungkap. </p>
<p>Lebih jauh, hak-hak korban juga <a href="https://kontras.org/wp-content/uploads/2019/07/menerobos-jalan-buntu.pdf">tak kunjung dipenuhi</a>. </p>
<p>Pada <a href="https://news.detik.com/berita/d-555979/pembahasan-ruu-peradilan-militer-alot">2006</a>, pembahasan rancangan UU (RUU) Peradilan Militer tidak menemukan titik temu. </p>
<p>Semua fraksi DPR berpendapat tindak pidana umum yang dilakukan oleh prajurit harus diadili dalam lingkup peradilan umum. </p>
<p>Di pihak lain, pemerintah menghendaki semua tindak pidana yang dilakukan oleh semua prajurit TNI dibawa ke <a href="https://news.detik.com/berita/d-555979/pembahasan-ruu-peradilan-militer-alot">pengadilan militer</a>. </p>
<p>Memasuki dekade kedua Reformasi, pembahasan revisi UU Peradilan Militer tidak menemui kemajuan. </p>
<p>RUU Peradilan Militer bahkan tidak termasuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) <a href="https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54dc94356eb98/prolegnas-2015-2019-periode-krusial-dalam-pembaharuan-hukum-dan-ham/">2015-2019</a>. Padahal, revisi itu selalu tercantum pada Prolegnas sebelumnya. </p>
<p>Revisi UU Peradilan Militer juga tak disinggung lagi dalam <a href="https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55026782e5658/revisi-uu-peradilan-militer-hilang-dari-prolegnas/">Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional</a> (RPJMN). </p>
<p>Pemerintah lewat Kementerian Pertahanan justru mengusulkan RUU Keamanan Nasional dan RUU Rahasia Negara kembali masuk daftar Prolegnas 2015-2019. Padahal, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan sudah lama memprotes dan mengingatkan pemerintah tentang bahaya kedua RUU tersebut. </p>
<p>Militer <a href="https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55026782e5658/revisi-uu-peradilan-militer-hilang-dari-prolegnas/">dikhawatirkan</a> mencoba masuk ke ranah keamanan dalam negeri dengan cara menjalin kesepakatan dengan sejumlah lembaga pemerintahan dan lewat proses legislasi dengan masuknya dua RUU itu ke dalam RPJMN dan Prolegnas. </p>
<p>RUU Kamnas juga dikhawatirkan akan digunakan untuk menggabungkan TNI dan polisi seperti masa Orde Baru; atau memberikan kewenangan kepada TNI agar bisa bertindak seperti polisi yakni menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. </p>
<p>Hal ini mengancam kebebasan sipil masyarakat Indonesia dan meningkatkan risiko pelanggaran hak sipil dan hak asasi negara oleh tentara.</p>
<p>Pada <a href="https://nasional.tempo.co/read/442504/29-tokoh-masyarakat-tolak-ruu-keamanan-nasional">2012</a>, sejumlah tokoh pembela hak asasi manusia seperti Usman Hamid dan Todung Mulya Lubis menolak RUU Keamanan Nasional. </p>
<p>Mereka mendesak parlemen mengembalikan usulan RUU itu ke pemerintah karena tak jelas maksudnya, dipenuhi pasal karet, bertentangan dengan UU lain, dan dinilai dapat mengancam hak asasi manusia serta demokrasi. </p>
<p>RUU Keamanan Nasional, misalnya memberikan presiden wewenang untuk mengerahkan TNI dalam status tertib sipil tanpa melalui pertimbangan parlemen dalam menghadapi ancaman keamanan nasional. </p>
<p>Ini bertolak belakang dengan UU TNI bahwa pengerahan kekuatan TNI harus didasarkan kepada keputusan politik negara, yang berarti harus mendapat pertimbangan dari parlemen.</p>
<p>Kegagalan revisi sistem peradilan militer yang ada menjadi penanda bagaimana akuntabilitas atas pelanggaran HAM yang dilakukan aparat militer masih menjadi masalah besar. </p>
<p>Dalam Almanak Hak Asasi Manusia di Sektor Keamanan Indonesia pada 2014 yang dikeluarkan lembaga kajian Institute for Defense, Security, and Peace Studies, dijelaskan bahwa menurut standar HAM internasional, sistem peradilan militer seharusnya dikesampingkan atau bahkan tidak diperkenankan untuk mengadili personel militer yang diduga melakukan pelanggaran HAM serius, seperti penghilangan paksa, eksekusi di luar hukum, dan penyiksaan. </p>
<p>Peradilan militer juga tidak diperkenankan untuk menuntut dan mengadili orang-orang yang dituduh melakukan kejahatan semacam itu. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/55-tahun-impunitas-membawa-mundur-indonesia-sejak-tragedi-1965-147181">55 tahun impunitas membawa mundur Indonesia sejak tragedi 1965</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Amanat perundang-undangan</h2>
<p>Dalam laporan <a href="http://setara-institute.org/en/jalan-sunyi-reformasi-tni/">dua dekade reformasi TNI</a> pada 2019, SETARA Institute mencatat bahwa reformasi TNI belum menyentuh titik-titik penting.</p>
<p>Salah satunya adalah penyelesaian dan pertanggung-jawaban hukum terhadap kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, seperti kasus kekerasan, penganiayaan, dan penembakan dalam kerusuhan Mei 1998; kasus Trisakti; penghilangan atau penculikan aktivis 1997/1998, Semanggi I dan II, serta deretan kasus lainnya di Aceh dan Papua ada dalam daftar kasus kekerasan dan pelanggaran HAM berat masa lalu yang diduga melibatkan aparat militer. </p>
<p>Mandeknya revisi UU Peradilan Militer juga termasuk titik-titik penting itu.</p>
<p>Selain kegagalan penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, kegagalan revisi sistem peradilan militer menjadi penanda bahwa akuntabilitas atas pelanggaran HAM oleh aparat militer masih menjadi masalah besar.</p>
<p>Patut diakui, TNI telah melakukan beberapa upaya penguatan pemahaman berkaitan dengan HAM dan hukum kemanusiaan. </p>
<p>Misalnya, pada 2011, TNI AD dan Komisi Nasional (Komnas) HAM meningkatkan kerja sama <a href="https://nasional.kompas.com/read/2011/04/09/02591697/twitter.com">pendidikan HAM dan hukum bagi para prajurit TNI</a>. </p>
<p>Namun, amanat agar TNI tunduk kepada peradilan umum jika melakukan tindak pidana di wilayah sipil merupakan amanat peraturan perundang-undangan. </p>
<p>Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) No. <a href="https://m.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt4ffe81e8bf92e/nprt/657/tap-mpr-no-vii_mpr_2000-tahun-2000-peran-tentara-nasional-indonesia-dan-peran-kepolisian-negara-republik-indonesia">VII/MPR/2000</a> pada tahun 2000 telah menyatakan bahwa prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer, dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum. </p>
<p><a href="https://referensi.elsam.or.id/2014/10/uu-nomor-34-tahun-2004-tentang-tentara-nasional-indonesia/">UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI</a> juga mengatur hal yang sama.</p>
<p>Amanat undang-undang tersebut adalah perwujudan prinsip kesamaan di muka hukum (<em>equality before the law</em>). </p>
<p>Dengan demikian, tentu sebenarnya sudah tidak ada alasan lagi revisi UU Peradilan Militer ini tidak dilakukan.</p>
<hr>
<p><em>Ignatius Raditya Nugraha membantu penerbitan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/150758/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ikhsan Yosarie tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Revisi Undang-Undang Peradilan Militer, yang menjadi alat melanggengkan impunitas aparat, masih mandek setelah dua dekade Reformasi.Ikhsan Yosarie, Peneliti, Setara InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1493612020-11-23T06:11:30Z2020-11-23T06:11:30ZUU Cipta Kerja 2020 hilangkan perlindungan korban kejahatan lingkungan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/370494/original/file-20201120-23-3oyuez.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C1920%2C1123&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">pixabay</span></span></figcaption></figure><p>Undang-Undang (UU) di Indonesia belum sepenuhnya melindungi korban kejahatan lingkungan oleh korporasi. </p>
<p>UU perlindungan korban saat ini <a href="http://walhikalteng.org/2018/08/27/diskusi-santai-bersama-lpsk-kejahatan-lingkungan-adalah-sebuah-kejahatan-juga/"> hanya fokus pada kasus kejahatan berat</a>, seperti pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, terorisme, narkotika, korupsi, dan perdagangan orang, tapi belum mencakup korban aksi tindak perusahaan yang mencemari lingkungan.</p>
<p><a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201102230532-32-565122/jokowi-teken-uu-ciptaker-1187-halaman-nomor-11-tahun-2020?fbclid=IwAR3G73uR03zsnTQWOp4jISpE9WaWl170tPXyz615hfN1Pn_pJTwEd51YPGo">Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja</a> dengan pasal-pasal yang cukup <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/11/03/10285541/uu-cipta-kerja-berlaku-ini-pasal-pasal-kontroversial-di-klaster?page=all">kontroversial</a> memperparah hal ini.</p>
<p>UU Cipta Kerja menghapus pasal yang bisa menjerat perusahaan sebagai pelaku kejahatan lingkungan atau yang disebut sebagai <em>“strict liability”</em>. </p>
<p>Dengan pasal ini, sebuah <a href="https://jurnal.untan.ac.id/index.php/jmtluntan/article/view/1899">pabrik yang membuang limbah melebihi batas yang ditentukan</a> ke sungai, walaupun tidak disengaja, akan bisa tetap dikenakan pasal-pasal pidana. </p>
<p>Hilangnya pasal dalam UU Cipta Kerja akan memperbesar peluang korporasi lolos dalam upaya hukum atas kejahatan lingkungan yang mereka lakukan dan menambah beban bagi para korban. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/3-ancaman-uu-ciptaker-bagi-para-pembela-lingkungan-dan-ham-148988">3 ancaman UU Ciptaker bagi para pembela lingkungan dan HAM</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Tanggung jawab korporasi</h2>
<p><em>Strict liability</em> ini merupakan senjata ampuh dalam menghukum <a href="https://www.unodc.org/documents/commissions/CCPCJ/CCPCJ_Sessions/CCPCJ_22/PNI_Workshop/Paper_ICCLR_CJP_PNI-Workshop.pdf">tindakan kejahatan korporasi</a>, terutama dalam sektor lingkungan hidup. </p>
<p>Hukum lingkungan di Indonesia sudah mengenal prinsip <em>“strict liability”</em> setelah ratifikasi Konvensi Internasional tentang Tanggung Jawab Perdata untuk Kerusakan Akibat Pencemaran Minyak (<em><a href="https://www.imo.org/en/About/Conventions/Pages/International-Convention-on-Civil-Liability-for-Oil-Pollution-Damage-(CLC).aspx">Civil Liability Convention for Oil Pollution Damage</a></em>) sejak <a href="https://icel.or.id/berita/strict-liability-jurus-ampuh-hukum-lingkungan-menjerat-korporasi-tanpa-buktikan-unsur-kesalahan/">tahun 1978</a>. </p>
<p>Indonesia mengadaptasi konsep <em>strict liability</em> dari konvensi tersebut untuk pembuangan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) ke dalam UU pengelolaan Lingkungan Hidup tahun <a href="http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/759.pdf">1982</a> dan tahun <a href="http://ciptakarya.pu.go.id/dok/hukum/uu/uu_23_1997.pdf">1997</a>.</p>
<p>Namun, baru di dalam Undang-Undang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup <a href="https://m.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt4b2885a7bc5ad/node/1060/undangundang-nomor-32-tahun-2009">Nomor 32 Tahun 2009</a>, <a href="https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4d089548aabe8/konsep-dan-praktik-strict-liability-di-indonesia/">prinsip ini</a> semakin tegas tercantum.</p>
<p>UU tahun 2009 tersebut menegaskan bahwa selama ada <a href="https://ir.lawnet.fordham.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=5250&context=flr">tindakan yang menimbulkan dampak kerusakan</a>, maka pelaku harus bertanggung jawab atas restitusi atau ganti rugi kerusakan pada korban tanpa perlu adanya bukti yang mendukung.</p>
<p>Prinsip ini terbukti efektif memerintahkan korporasi untuk melakukan ganti rugi materiil (rehabilitasi ekosistem dan kompensasi pada korban) serta imateriil (misalnya, bantuan konseling pada korban yang kehilangan mata pencaharian karena kerusakan lingkungan). </p>
<p>Efektivitas UU ini terbukti pada kasus <a href="https://www.liputan6.com/news/read/53098/gugatan-warga-mandalawangi-diamini-pn-bandung">gugatan kelompok (<em>class action</em>) Desa Mandalawangi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, kepada Perum Perhutani dan pemerintah pada tahun 2003</a> yang terbukti bertanggung jawab atas tanah longsor yang menewaskan sedikitnya 21 orang dan kasus gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) atas <a href="https://bisnis.tempo.co/read/844268/kebakaran-lahan-perusahaan-ini-wajib-pulihkan-1-626-hektare/full&view=ok">kebakaran lahan oleh PT Waringin Agro Jaya pada tahun 2016</a>. </p>
<p>Dalam kedua kasus tersebut, pihak tergugat keberatan dan mengajukan upaya hukum <a href="https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/d97766ef230039130939f573916c88bc.html">Kasasi</a> dan <a href="https://www.alinea.id/nasional/pt-waringin-argo-jaya-diminta-bayar-kerugian-rp466-miliar-b1XpL9oPE">Peninjauan Kembali</a> di Mahkamah Agung yang akhirnya tetap memenangkan pihak penggugat atas dasar prinsip tanggung jawab mutlak untuk para pelaku.</p>
<p>Namun, UU Cipta Kerja 2020 telah menghilangkan klausul “<strong>… tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan</strong>” yang memihak korban dengan menyiratkan bahwa setiap kasus kejahatan lingkungan harus disertai bukti yang kuat. </p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/367252/original/file-20201103-13-159ntdz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C3436%2C838&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="Perbedaan bunyi Pasal 88 dari UU Nomor 32 Tahun 2009 (kiri) dan UU Nomor 11 Tahun 2020 (kanan)" src="https://images.theconversation.com/files/367252/original/file-20201103-13-159ntdz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C3436%2C838&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/367252/original/file-20201103-13-159ntdz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=148&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/367252/original/file-20201103-13-159ntdz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=148&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/367252/original/file-20201103-13-159ntdz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=148&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/367252/original/file-20201103-13-159ntdz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=185&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/367252/original/file-20201103-13-159ntdz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=185&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/367252/original/file-20201103-13-159ntdz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=185&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Perbedaan bunyi Pasal 88 dari UU Nomor 32 Tahun 2009 (kiri) dan UU Nomor 11 Tahun 2020 (kanan)</span>
</figcaption>
</figure>
<p>Tidak hanya harus berurusan dengan dampak kerusakan dari kegiatan korporasi, masyarakat akan berhadapan dengan rumitnya proses pembuktian massal akibat UU yang baru. </p>
<p>Hal ini akan memperberat beban korban kejahatan lingkungan hidup dalam <a href="https://www.unodc.org/e4j/en/crime-prevention-criminal-justice/module-11/key-issues/3--the-right-of-victims-to-an-adequate-response-to-their-needs.html">memperjuangkan hak mereka</a> yang dilanggar. </p>
<p>Kondisi ini jelas menguntungkan korporasi yang curang dan semakin sulit untuk mendeteksi perusahaan sebagai pelaku kejahatan lingkungan hidup.</p>
<h2>Rezim politik otoriter</h2>
<p>Kerusakan lingkungan akibat UU Cipta Kerja 2020 belum tampak atau <a href="https://www.forestdigest.com/detail/822/legalitas-kejahatan-lingkungan-dalam-uu-cipta-kerja">sulit dibuktikan dalam waktu dekat</a>. </p>
<p>Namun, pengesahan ini mempertegas bahwa proses politik hukum lingkungan di Indonesia <a href="https://theconversation.com/dua-masalah-hukum-dalam-penyusunan-ruu-omnibus-law-cipta-lapangan-kerja-129979">minim partisipasi masyarakat, tidak aspiratif</a>, serta multi tafsir yang berujung kepada ketidakpastian hukum. </p>
<p>UU Cipta Kerja ini mempertegas karakter produk hukum yang <a href="http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/kanun/article/viewFile/5918/4872">ortodoks dan sentralistik</a> yang menjadi ciri khas rezim politik otoriter.</p>
<p>Kami berargumen “legalisasi” ini berpeluang memperpanjang daftar <a href="https://www.hrw.org/id/report/2019/09/22/333509#">pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)</a> karena berpotensi <a href="https://theconversation.com/ini-mengapa-perkebunan-kelapa-sawit-bisa-membuat-masyarakat-desa-miskin-123382">menghilangkan sumber pendapatan masyarakat setempat</a>, mengancam <a href="https://th.boell.org/en/2016/12/09/semen-kotor-kasus-di-indonesia">sumber air bersih</a>, mengotori <a href="https://www.liputan6.com/global/read/3132737/peneliti-62-ribu-warga-indonesia-tewas-akibat-polusi-udara">udara bersih</a>, hingga <a href="https://www.walhi.or.id/kriminalisasi-pejuang-lingkungan-hidup-terus-berlanjut-di-rezim-nawa-cita">kriminalisasi</a> pejuang lingkungan hidup.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/149361/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Dalam UU Cipta Kerja 2020, hilangnya frasa “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan"melepaskan korporasi dari tanggung jawab dan menambah beban korban kejahatan lingkungan.Eka Nugraha Putra, Doctor of Juridical Science Candidate at Indiana University, Lecturer in Law, Universitas Merdeka MalangYanu Endar Prasetyo, PhD Candidate in Rural Sociology, University of Missouri-Columbia, Indonesian Institute of Sciences (LIPI)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1448762020-09-02T07:53:30Z2020-09-02T07:53:30ZUU ITE untuk kasus kekerasan seksual, tepatkah?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/355267/original/file-20200828-22-120ucak.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.flickr.com/photos/143601516@N03/27905720280/">Image from howtostartablogonline.net</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/">CC BY-SA</a></span></figcaption></figure><p>Kepolisian Surabaya, Jawa Timur, bulan lalu menahan seorang bekas mahasiswa - yang diduga memperdaya <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200808162026-12-533599/korban-gilang-bungkus-jarik-25-orang-sejak-2015">setidaknya 25 orang</a> sejak 2015 untuk melakukan tindakan seksual yang dalam ilmu psikologi disebut “<a href="https://www.routledge.com/Forensic-and-Medico-legal-Aspects-of-Sexual-Crimes-and-Unusual-Sexual-Practices/Aggrawal/p/book/9781420043082"><em>mummification</em></a>” – suatu perbuatan yang termasuk dalam ruang lingkup <em>fetishism</em> – dengan dalih penelitian. </p>
<p>Polisi menahan tersangka Gilang Aprilian Nugraha Pratama yang kasusnya mengemuka di media sosial dengan <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200808135714-12-533576/gilang-bungkus-tersangka-uu-ite-bukan-pasal-asusila-kuhp">dugaan perbuatan asusila</a>. </p>
<p>Namun, polisi menahan Gilang bukan dengan pasal asusila Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), melainkan pasal dalam Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).</p>
<p>Penggunaan UU ITE oleh polisi dalam memproses kasus ini tidaklah tepat. Gilang melakukan perbuatannya terlepas dari peran teknologi; salah satu korban mengaku mengalami kekerasan <a href="https://twitter.com/kingbangtal/status/1288623314827530241?s=19">secara langsung </a>. </p>
<p>Mengingat dimensi kekerasan seksual yang melekat, kepolisian seharusnya menggunakan KUHP untuk kasus ini. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/tidak-hanya-di-amerika-kekerasan-seksual-di-kampus-juga-marak-di-indonesia-108344">Tidak hanya di Amerika, kekerasan seksual di kampus juga marak di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Penyalahgunaan UU ITE</h2>
<p>UU ITE yang disahkan pada 2008 sebagai <em>cyber law</em> pertama di Indonesia dibentuk untuk memberikan <a href="https://www.kpk.go.id/images/pdf/uu%20pip/UU_ITE%20no%2011%20Th%202008.pdf">keamanan dan kepastian hukum</a> dalam pemanfaatan teknologi.</p>
<p>Karena ruang siber memiliki karakteristik khusus, maka pengaturan dan penegakan hukum di dalamnya tidak dapat menggunakan <a href="http://etd.repository.ugm.ac.id/home/detail_pencarian/45921">prinsip-prinsip hukum tradisional</a>. </p>
<p>Sebagai contoh, lewat teknologi, seseorang dapat menderita kerugian akibat transaksi walau ia sendiri tidak terlibat dalam transaksi itu karena penjahat melakukan pencurian dana kartu kredit miliknya dan melakukan pembelanjaan di internet. </p>
<p>Undang-undang ini <a href="https://aptika.kominfo.go.id/2019/02/menilik-sejarah-uu-ite-dalam-tok-tok-kominfo-13/">memiliki dua bagian besar</a>. </p>
<p>Bagian pertama mengatur hal-hal terkait <em>e-commerce</em> atau perdagangan digital. </p>
<p>Sementara, bagian kedua mengatur hal-hal terkait dengan tindak pidana teknologi informasi, seperti konten ilegal (seperti informasi SARA, ujaran kebencian, informasi bohong/hoaks, penipuan), akses ilegal (seperti <em>hacking</em>), <em>illegal interception</em> (seperti penyadapan), dan <em>data interference</em> (seperti gangguan atau perusakan sistem secara ilegal)</p>
<p>Dalam pelaksanaannya, UU ITE menimbulkan ‘korban’ - bahkan setelah UU itu direvisi pada tahun 2016. </p>
<p>UU ITE yang awalnya terbit sebagai jaminan kepastian hukum terhadap informasi dan transaksi elektronik justru mengancam dan berpotensi memberangus kebebasan berekspresi. </p>
<p>UU ITE yang semestinya digunakan untuk melindungi publik justru menjadi <a href="https://tirto.id/cVUm">alat untuk melawan publik</a>. </p>
<p>Tak jarang, UU ini juga digunakan sebagai senjata politik untuk menjatuhkan lawan. Ini terlihat dari tingginya pelaporan kasus di tahun-tahun politik. </p>
<p>Southeast Asia Freedom of Expression Network <a href="https://tirto.id/c7sk">(SAFEnet)</a>, perkumpulan yang fokus pada kebebasan berekspresi, mencatat ada 245 laporan kasus UU ITE di Indonesia sejak 2008 dengan hampir setengah kasus UU ITE menggunakan pasal pencemaran nama baik sebagai dasar pelaporan. </p>
<p>SAFEnet menemukan UU ITE sering digunakan dengan <a href="https://tirto.id/cVUm">pola-pola pemidanaan</a> untuk balas dendam, barter kasus, membungkam kritik, <em>shock therapy</em>, dan persekusi kelompok.</p>
<p>Kasus Gilang menambah deretan panjang penyalahgunaan UU ITE di Indonesia. </p>
<p>Kasus ini bukan berkaitan dengan <em>e-commerce</em> ataupun sebuah kejahatan yang lahir dari perkembangan teknologi. </p>
<p>Dugaan perbuatan Gilang lebih tepat digolongkan sebagai kejahatan kesusilaan yang sudah diatur dalam KUHP.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/cara-menyusun-sop-penanganan-kekerasan-seksual-di-kampus-belajar-dari-dosen-ui-dan-ugm-128054">Cara menyusun SOP penanganan kekerasan seksual di kampus: belajar dari dosen UI dan UGM</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Pasal KUHP yang bisa digunakan</h2>
<p>Polisi menyebut Gilang diduga dengan sengaja menggunakan teknologi elektronik untuk melakukan pemerasan dan pengancaman, dan dapat diancam pidana penjara maksimal enam tahun.</p>
<p>Kepolisian menjustifikasi penggunaan UU ITE karena belum menemukan bukti-bukti atau unsur dari perbuatan tersangka yang mengarah pada dugaan pelecehan seksual atau kesusilaan. </p>
<p>Mereka mengatakan <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200808135714-12-533576/gilang-bungkus-tersangka-uu-ite-bukan-pasal-asusila-kuhp">telah menelaah beberapa pasal dalam KUHP</a>, yakni Pasal 292, Pasal 296, dan Pasal 297 KUHP, dan mengatakan tidak ada satupun bisa diterapkan.</p>
<p>Pasal-pasal tersebut masing-masing mengatur kekerasan seksual terhadap anak, keterlibatan mendukung pelaku kekerasan seksual, dan perdagangan anak, </p>
<p>Namun, menurut kami, <a href="https://www.tribunais.tl/files/Codigo_Penal_Indonesio_(Bahasa_Indonesia).pdf">Pasal 289 KUHP</a> bisa digunakan dalam kasus Gilang.</p>
<blockquote>
<p>Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. (Pasal 289, KUHP)</p>
</blockquote>
<p>Ada dua unsur penting dalam pasal ini: “perbuatan cabul” dan “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.”</p>
<p>Perbuatan cabul <a href="https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5bf556b2ba3e3/unsurunsur-pidana-pencabulan-di-lingkungan-kerja/">adalah</a> segala perbuatan yang melanggar kesusilaan atau kesopanan, atau dapat pula merupakan suatu perbuatan keji yang masuk dalam lingkungan nafsu birahi kelamin. </p>
<p>Sehingga, perbuatan cabul merupakan semua jenis perbuatan yang memiliki dimensi seksual dan berkaitan dengan hasrat seksual.</p>
<p>Gilang mengaku mendapatkan rangsangan <a href="https://rri.co.id/surabaya/hukum-ham/880669/alasan-gilang-lakukan-bungkus-fetish-kain-jarik-karena-hasrat-rangsangan">seksual</a> saat melihat orang yang ditutupi dengan kain dan dibungkus seperti jenazah.</p>
<p>Oleh karena itu, perbuatan Gilang termasuk sebagai bentuk perbuatan cabul.</p>
<p>Korban, dalam utas Twitter, mengatakan Gilang <a href="https://twitter.com/m_fikris/status/1288443401923252224">menggunakan ancaman bunuh diri</a> untuk memaksa korban mau menuruti keinginannya, termasuk untuk melakukan pembungkusan dengan kain terhadap teman korban.</p>
<p>Gilang juga menyebut dirinya <a href="https://twitter.com/m_fikris/status/1288437404047568896">menderita penyakit</a> dengan maksud agar korban tidak membantah permintaannya. </p>
<p>Ini merupakan bentuk ancaman yang termasuk dalam kategori kekerasan psikis.</p>
<p><a href="https://www.researchgate.net/publication/51772385_Types_of_Abuse">Kekerasan psikis</a> merupakan perbuatan yang menghilangkan rasa percaya diri maupun rasa aman pada diri seseorang. </p>
<p><a href="http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/24.pdf">UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga</a> menyebut kekerasan psikis sebagai perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, atau penderitaan psikis berat pada seseorang.</p>
<p>Lebih lanjut, studi 2008 yang dilakukan oleh <a href="https://www.canada.ca/content/dam/phac-aspc/migration/phac-aspc/sfv-avf/sources/fv/fv-psych-abus/assets/pdf/fv-psych-abus-eng.pdf">Departemen Kesehatan Publik di Kanada</a> menunjukkan bahwa bentuk-bentuk kekerasan psikis antara lain berupa ancaman, pengabaian, penghinaan, maupun isolasi.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/pembahasan-ruu-pks-menilik-proses-dan-permasalahan-legislasi-142561">Pembahasan RUU PKS: menilik proses dan permasalahan legislasi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Keterlibatan ahli</h2>
<p>Dalam kasus yang unik seperti kasus Gilang, keterangan ahli, yang merupakan salah satu <a href="https://www.kpk.go.id/images/pdf/Undang-undang/uu_8_1981.pdf">alat bukti yang sah</a> dalam persidangan, memainkan peranan yang besar dalam pembuktian. </p>
<p>Keterangan ahli merupakan keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. </p>
<p>Dalam kasus Gilang, keterangan ini dapat diberikan oleh ahli psikologi dan seksologi.</p>
<p>Ahli diperlukan dalam persidangan untuk membuktikan bahwa perbuatan Gilang dapat dijerat dengan Pasal 289 KUHP.</p>
<p>Keterangan yang diberikan oleh ahli-ahli, digabung dengan fakta-fakta persidangan yang ada, dapat membantu hakim dalam memeriksa dan memutus kasus ini dengan menggunakan KUHP. </p>
<p>Kasus-kasus serupa seharusnya tidak dijerat dengan UU ITE. </p>
<p>Penggunaan UU ITE untuk kasus kekerasan seksual justru semakin menambah daftar panjang permasalahan yang ditimbulkan oleh undang-undang ini.</p>
<hr>
<p><em>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/144876/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Mengingat dimensi kekerasan seksual yang melekat dalam kasus bekas mahasiswa di Surabaya, kepolisian seharusnya menggunakan KUHP.Josua Satria Collins, Research fellow, Indonesia Judicial Research Society Maria Isabel Tarigan, Research fellow, Indonesia Judicial Research Society Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1376042020-05-11T09:07:36Z2020-05-11T09:07:36ZPenegak hukum Indonesia bertindak sewenang-wenang selama pandemi: perlunya sistem pemidanaan rasional<p>Setelah pemerintah mengumumkan <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/03/31/15265391/jokowi-tetapkan-status-darurat-kesehatan-masyarakat">status darurat kesehatan</a> akhir Maret lalu terkait pandemi COVID-19, aparat penegak hukum bergegas melakukan beberapa penyesuaian proses pemidanaan untuk mendukung langkah pencegahan penyebaran wabah. </p>
<p>Kepolisian mengeluarkan <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/04/04/21251191/maklumat-penanganan-covid-19-polri-akan-lakukan-pembubaran-jika-masyarakat">beberapa</a> <a href="https://www.liputan6.com/news/read/4227041/kapolri-keluarkan-surat-telegram-antisipasi-gangguan-keamanan-di-masa-psbb">instruksi</a> kepada personelnya, termasuk untuk memantau hoaks wabah dan kebijakan pemerintah dalam penanganan wabah serta memantau penghinaan terhadap presiden dan pejabat pemerintah.</p>
<p>Kejaksaan juga melakukan penyesuaian dengan melakukan <a href="https://rmco.id/baca-berita/nasional/31862/kejaksaan-sidangkan-10-ribu-perkara-melalui-online">sidang <em>virtual</em></a> untuk mengurangi penumpukan perkara sembari menghindari kontak fisik antara aparat dengan para terdakwa. </p>
<p>Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) memutuskan untuk <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200411155847-20-492629/kemenkumham-telah-bebaskan-36554-napi-di-tengah-wabah-corona">membebaskan lebih dari 36,000 warga binaan</a> melalui program asimilasi dan integrasi di kala banyak pihak khawatir lembaga pemasyarakatan (lapas) akan menjadi pusat penyebaran virus karena masalah kelebihan tahanan dibanding kapasitas penjara (<em>overcrowding</em>) . </p>
<p>Namun, tindakan ketiga lembaga penegak hukum ini mengundang banyak <a href="https://koran.tempo.co/read/nasional/451658/tokoh-dan-akademikus-soroti-telegram-kapolri?">kritik</a> dan menjadi kontroversi. </p>
<p>Tindakan kepolisian disebut <a href="https://www.suara.com/news/2020/04/06/145301/sebut-tr-kapolri-bermasalah-lbh-bisa-sewenang-wenang-dan-memihak-penguasa">tidak berdasarkan aturan hukum pidana yang jelas</a>. </p>
<p>Demikian pula kejaksaan yang tidak memiliki dasar hukum yang sesuai; <a href="https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-4958501/pn-surabaya-sebut-sidang-teleconference-langgar-kuhap-tapi-">Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mengenal sidang daring</a>. </p>
<p><a href="https://news.detik.com/kolom/d-4986311/senjang-logika-pembebasan-napi">Pembebasan narapidana juga dinilai tidak cermat dan sembarangan.</a>; beberapa narapidana yang keluar dari lapas kembali melakukan <a href="https://katadata.co.id/berita/2020/04/17/napi-berulah-lagi-dan-masalah-lain-iringi-asimilasi-corona-kemenkumham">tindak pidana</a>. </p>
<p>Tampak juga bahwa kebijakan penegak hukum tidak serasi satu sama lain. Di saat Kemenkumham mengeluarkan ribuan napi dari penjara, kepolisian malah giat <a href="https://www.vice.com/id_id/article/epgwmk/polisi-tangkap-penghina-presiden-dan-pejabat-selama-wabah-corona-terancam-hukuman-penjara">menangkap warga karena melakukan kritik terhadap penguasa.</a> </p>
<p>Masyarakat sipil menilai tindakan kepolisian ini sebagai <a href="https://www.suara.com/news/2020/04/23/221818/lokataru-kriminalisasi-aktivis-adalah-cara-kotor-negara-membungkam-kritik">upaya pembungkaman kritik </a>. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/analisis-masalah-masalah-hukum-mendasar-dalam-penetapan-keadaan-darurat-oleh-jokowi-136044">Analisis: masalah-masalah hukum mendasar dalam penetapan keadaan darurat oleh Jokowi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Pemidanaan yang rasional</h2>
<p>Pandemi memaksa semua negara menata ulang sistem hukum mereka termasuk bagaimana sistem peradilan pidana beroperasi. Perubahan ini tidak hanya terkait dengan hukum pidana, namun juga termasuk penyesuaian hukum acara pidana dengan tetap memperhatikan <a href="https://www.coe.int/en/web/portal/-/coronavirus-guidance-to-governments-on-respecting-human-rights-democracy-and-the-rule-of-law">prinsip negara hukum</a>. </p>
<p>Para pakar hukum pidana internasional menyerukan bahwa sedapat mungkin negara <a href="http://opiniojuris.org/2020/04/03/covid-19-symposium-the-use-of-criminal-sanctions-in-covid-19-responses-enforcement-of-public-health-measures-part-ii/">menghindari menggunakan instrumen pidana</a> dalam mengatasi penyebaran pandemi. </p>
<p>Pemegang kebijakan harus memegang prinsip hukum pidana sebagai <em>ultimum remedium</em> (upaya terakhir): mengutamakan pencegahan dengan mengedepankan transparansi, akuntabilitas, dan komunikasi yang baik.</p>
<p>Kalaulah terpaksa menggunakan hukum pidana, perlindungan HAM sebagaimana dikemukakan dalam “<a href="http://www.icj.org/wp-content/uploads/1984/07/Siracusa-principles-ICCPR-legal-submission-1985-eng.pdf">prinsip-prinsip Siracusa mengenai Ketentuan Pembatasan dan Pengurangan HAM dalam Kovenan Internasional
tentang Hak Sipil dan Politik</a>” dan <a href="https://www.jawapos.com/opini/13/04/2020/nalar-negara-hukum-saat-darurat/">nalar negara hukum</a> harus tetap diperhatikan. </p>
<p><a href="https://research.vu.nl/ws/portalfiles/portal/2814090/Beccaria%27s+Dream+On+Criminal+Law+and+Nodal+Governance+Ge.pdf">Cesare Beccaria</a>, tokoh reformasi pemidanaan, menyebut konstruksi pemidanaan yang didesain secara rasional dapat menjamin keamanan warga secara adil dan proporsional. </p>
<p>Di Belanda, misalnya, pelanggaran terhadap aturan tentang kerumunan di tempat umum diancam dengan pidana denda sebesar <a href="https://www.nu.nl/amsterdam/6044022/zeventien-studenten-van-uilenstede-krijgen-boete-vanwege-samenscholing.html">390 euro (sekitar Rp 6,4 juta) per orang</a>. </p>
<p>Dewan Kejaksaan Agung Belanda menegaskan akan menuntut setiap orang yang menyalahgunakan virus untuk membahayakan orang lain. <a href="https://www.maastrichtuniversity.nl/blog/2020/04/many-effects-covid-19-criminal-justice-system">Jaksa di Belanda bahkan menuntut seorang remaja berusia 19 tahun yang meludahi sopir bis yang mengancam menularkan virus covid-19</a>. </p>
<p>Italia, yang saat ini memiliki korban penderita terbesar di Eropa, telah menuntut lebih dari 40.000 orang yang <a href="https://www.theguardian.com/world/2020/mar/18/italy-charges-more-than-40000-people-violating-lockdown-coronavirus">melanggar kebijakan <em>lockdown</em></a>. Di Sisilia, jaksa menuntut penderita yang melanggar aturan isolasi dengan berbelanja ke supermarket, dengan tindak pidana penyebaran wabah, dengan ancaman pidana hingga 12 tahun penjara.</p>
<p>Perubahan prosedur dalam sistem peradilan pidana juga dilakukan untuk mencegah penyebaran virus dengan tetap menghormati HAM. <a href="https://www.rechtspraak.nl/Organisatie-en-contact/Organisatie/Hoge-Raad-der-Nederlanden/Nieuws/Paginas/Aanvullende-maatregelen-Hoge-Raad-ivm-coronavirus.aspx">Mahkamah Agung Belanda menghentikan persidangan hingga masa pembatasan sosial selesai</a>. Persidangan virtual hanya dilakukan untuk kasus berat dan persidangan terkait uji upaya paksa seperti penahanan. Persidangan melalui <em>teleconference</em> di sana hanya dapat dilakukan oleh hakim setelah mendengarkan persetujuan terdakwa dan jaksa. </p>
<p><a href="https://www.government.nl/latest/news/2020/04/02/custodial-institutions-agency-extends-corona-measures-until-28-april">Prosedur pengetatan terhadap narapidana di penjara juga dilakukan</a>. Kementerian kehakiman setempat memutuskan untuk melarang kunjungan terhadap narapidana di penjara untuk mencegah penularan.</p>
<p>Prosedur penahanan yang rumit, diskresi jaksa, serta pemidanaan yang berfokus pada denda atau kerja sosial menjadi salah satu sebab sedikitnya jumlah penghuni penjara di Belanda. Ini tentu berbeda dengan masalah <em>overcrowding</em> penjara di Indonesia.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mampukah-pemimpin-populis-berperan-dalam-krisis-covid-19-135943">Mampukah pemimpin populis berperan dalam krisis COVID-19?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Jelas dan tegas selama wabah</h2>
<p>Pemerintah Indonesia perlu merumuskan pengaturan hukum pidana terkait pencegahan wabah secara jelas dan tegas dengan hukuman yang proporsional. Misalnya, negara tetap dapat memberi efek jera bagi penderita COVID-19 yang kabur dari tempat karantina dan sengaja menjadi penyebar virus. </p>
<p>Hukum Acara Pidana juga harus ditata ulang agar tujuan penegakan hukum semata untuk mencegah penyebaran penyakit dan menjaga keamanan warga. Maka penting bagi parlemen dan pemerintah untuk segera melakukan revisi KUHAP. </p>
<p>Peran filter dan pengendali perkara (<em>dominus litis</em>) dalam sistem peradilan pidana dan kontrol yang lebih kuat terhadap penggunaan upaya paksa harus diutamakan dalam revisi prosedur pidana.</p>
<p>Sebagai negara penganut <em>civil law</em> (undang-undang menjadi rujukan utama dalam hukum), di Indonesia, pengendali perkara adalah kejaksaan. Jaksa mengendalikan perkara apa saja yang diprioritaskan untuk dituntut dan mana yang ditangguhkan bahkan dikesampingkan. </p>
<p>Namun, KUHAP yang ada mengecilkan peran pengendali perkara ini sehingga tidak ada keseragaman kebijakan penegakan hukum. Revisi KUHAP perlu memperkuat peran pengendali perkara agar tiap lembaga penegak hukum tidak memiliki penafsiran sendiri-sendiri.</p>
<p>Sarana warga untuk menggugat aparat yang menyalahgunakan wewenang perlu diperkuat lewat pengawasan kekuasaan kehakiman <a href="https://jurnal.ugm.ac.id/jmh/article/view/15868">dengan merumuskan pengaturan Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam revisi KUHAP.</a></p>
<p>Ini untuk mencegah aparat keamanan seenaknya melakukan “pendisiplinan” warga hingga merangsek ke ranah privat. </p>
<p>Ada atau tidak ada pandemi, aparat harus memiliki batasan saat melakukan penegakan hukum pidana. Ini sesuai dengan prinsip negara hukum yang membatasi kekuasaan negara dan melindungi warga yang diatur dalam konstitusi.</p>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/137604/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Fachrizal Afandi terafiliasi dengan Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI)</span></em></p>Di masa pandemi, pemidanaan beserta prosedurnya harus ditata ulang agar penegakan hukum dilakukan semata untuk mencegah penyebaran penyakit dan tetap menjamin HAM.Fachrizal Afandi, Lecturer of Criminal Law and Criminal Justice System, Universitas BrawijayaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1312082020-02-18T07:58:52Z2020-02-18T07:58:52ZSejauh mana legalisasi ganja bisa bermanfaat?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/314124/original/file-20200207-43074-4mv9no.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=241%2C400%2C5317%2C3059&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Budidaya ganja yang diatur dan dilakukan serius dapat memiliki manfaat.</span> <span class="attribution"><span class="source">Darren England/AAP</span></span></figcaption></figure><p>Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Rafli, mengusulkan <a href="https://bisnis.tempo.co/read/1302253/politikus-pks-usulkan-ekspor-ganja-begini-awal-mulanya/full&view=ok">legalisasi budidaya ganja sebagai komoditas ekspor </a>. </p>
<p>Dalam usul yang disampaikan lewat rapat bersama pemerintah di DPR pada 30 Januari lalu, Rafli berpendapat bahwa ganja memiliki manfaat yang sudah banyak terbukti, memiliki potensi untuk mendatangkan pemasukan dan meminta agar <a href="https://tirto.id/mengapa-usul-ekspor-ganja-aceh-ala-politikus-pks-layak-didukung-ev5l">masyarakat tidak terlalu kaku soal ganja.</a></p>
<p>Ganja sudah legal di beberapa negara. <a href="https://dunia.tempo.co/read/1135422/inggris-izinkan-ganja-sebagai-obat-mulai-1-november">Inggris</a> dan <a href="https://www.bbc.com/indonesia/46682718">Thailand</a>, misalnya, telah melegalkan ganja untuk kesehatan. Negara Bagian <a href="https://static.cdfa.ca.gov/MCCP/document/Comprehensive%20Adult%20Use%20of%20Marijuana%20Act.pdf">California</a>, Amerika Serikat (AS), bahkan telah melegalkan penggunaan ganja untuk rekreasi bagi orang dewasa.</p>
<p>Per tahun 2018, California meraup <a href="https://theconversation.com/does-legalizing-marijuana-help-or-harm-americans-weighing-the-statistical-evidence-109402">US$345 juta</a> (sekitar Rp 4,7 trilyun) dari pajak penjualan ganja. Angka ini bahkan masih di bawah prediksi pemerintah setempat yang menargetkan angka $643 juta. </p>
<p><a href="https://www.forbes.com/sites/mikeadams/2018/03/13/cannabis-industry-is-saving-cities-with-struggling-economies/#2b94e9d421d2">Industri ganja berhasil pula menyelamatkan kota Pueblo</a>, di Colorado, AS, yang mengalami kesulitan ekonomi pasca jatuhnya industri besi di sana. Belanda juga turut menikmati keuntungan dari legalisasi ganja medis dengan <a href="https://english.cannabisbureau.nl">memonopoli pasokan ganja</a> ke perusahaan farmasi serta ekspor ganja ke negara-negara lain di Eropa.</p>
<p>Tapi status hukum ganja di Indonesia saat ini tidak memungkinkan pemerintah untuk memanfaatkan potensi ekonomi tanaman tersebut.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/hari-anti-narkotika-internasional-para-ahli-sarankan-jangan-penjarakan-pengguna-narkotika-119452">Hari Anti Narkotika Internasional: Para ahli sarankan jangan penjarakan pengguna narkotika</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Status hukum ganja di Indonesia</h2>
<p>Saat ini, pemerintah masih melarang pembudidayaan, penggunaan, maupun peredaran ganja. Ganja termasuk <a href="http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/PMK_No__44_Th_2019_ttg_Perubahan_Penggolongan_Narkotika.pdf">narkotika golongan I</a>, artinya ganja tidak dapat digunakan untuk kesehatan dan dianggap berpotensi sangat tinggi menyebabkan ketergantungan bagi penggunanya. </p>
<p>Bagi sebagian masyarakat Indonesia, <a href="https://tirto.id/segala-yang-baik-dan-buruk-dari-ganja-cQPE">ganja dipercaya memiliki efek buruk seperti kecanduan dan perilaku negatif lainnya</a>. </p>
<p>Posisi ganja sebagai narkotika golongan I menyebabkan penggunaan ganja terancam <a href="http://e-pharm.depkes.go.id/front/pdf/UU352009.pdf">hukuman paling berat</a> dibandingkan dengan penggunaan narkotika golongan lain. Pengguna ganja dapat diancam hingga 4 tahun penjara – sama seperti pengguna sabu, sedangkan pengguna narkotika jenis lainnya seperti morfin diancam hukuman lebih rendah, yakni maksimal 2 tahun penjara.</p>
<p>Sementara, penelitian-penelitian telah menunjukkan manfaat ganja sebagai obat-obatan alternatif yang memiliki potensi ekonomi yang tinggi. Thailand, misalnya, mengizinkan penggunaan ganja sebagai alternatif pengobatan bagi efek samping kemoterapi, epilepsi, dan <em>multiple sclerosis</em>. <a href="https://mjbizdaily.com/thailand-issues-442-medical-cannabis-licenses-but-full-market-access-years-away/">Legalisasi ganja medis diperkirakan menambah pemasukan Thailand</a> $46-312 juta pada 2024.</p>
<p>Tapi Indonesia belum bisa memanfaatkan potensi ekonomi ganja karena status hukumnya padahal <a href="https://www.alinea.id/nasional/jalan-panjang-legalisasi-ganja-di-indonesia-b1UB29fOG?page=2">penggunaan ganja dalam budaya Indonesia sudah terjadi lama</a>. </p>
<p>Tim riset Yayasan Sativa Nusantara melaporkan bahwa <a href="http://www.lgn.or.id/khasiat-ganja-dalam-kitab-melayu/">penggunaan ganja</a> tercantum dalam manuskrip kitab kuno Tajul Muluk di Aceh. Masyarakat Indonesia <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-51441909">sudah memanfaatkan ganja selama ratusan tahun</a> untuk kepentingan ritual, pengobatan, bahan makanan, dan pertanian. </p>
<p>Pada tahun 2019 sekitar <a href="https://katadata.co.id/berita/2019/12/05/didominasi-ganja-pengguna-narkoba-tahun-ini-naik-jadi-36-juta-orang">2,2 juta orang mengkonsumsi ganja di Indonesia</a> – sekitar 63% dari total pengguna narkotika menurut Badan Narkotika Nasional (BNN).</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/stop-penjarakan-pengguna-narkotika-101449">Stop penjarakan pengguna narkotika</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Potensi ekonomi</h2>
<p>Di sektor kesehatan, obat dari olahan ganja disinyalir <a href="https://www.suara.com/news/2019/05/06/081500/membongkar-mitos-mereka-ingin-ganja-dilegalkan-di-indonesia">jauh lebih murah dan alami ketimbang obat-obat berbahan kimia sintetis produk industri farmasi.</a> </p>
<p>Ini relevan di kala saat ini sebanyak <a href="https://ekonomi.kompas.com/read/2018/10/18/113000126/90-persen-industri-obat-nasional-pakai-bahan-baku-impor">90% obat di Indonesia berbahan baku impor yang berharga mahal.</a> </p>
<p>Optimalisasi ganja untuk medis tidak hanya digunakan untuk penyembuhan penyakit, tetapi juga dapat menjadi alternatif sumber pendapatan negara.</p>
<p>Sebagai perbandingan, satu <a href="https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=2ahUKEwi3wM7W9LvnAhVFeH0KHX5MDpIQFjAAegQIBRAB&url=https%3A%2F%2Fjurnal.ar-raniry.ac.id%2Findex.php%2Flegitimasi%2Farticle%2Fdownload%2F1845%2F1381&usg=AOvVaw16TLJ_rsmfoUqb6Q3nEwSP">hasil studi</a> yang dilakukan oleh di Nagan Raya, Nanggroe Aceh Darussalam, pada 2017 menunjukkan bahwa ganja dari Aceh dihargai Rp 100 ribu per kilogram (kg) dalam peredaran ilegal. Satu hektar ladang ganja dapat menghasilkan 1.500 kg ganja kering dalam waktu 6 bulan.</p>
<p>Dalam kurun waktu itu, petani dapat memperoleh Rp 150 juta. Modal yang dikeluarkan untuk membuka lahan dan menanamnya sekitar Rp 4-5 juta untuk waktu enam bulan sampai panen. Dengan modal yang sama, petani hanya dapat menghasilkan 100 kg tembakau yang dijual <a href="https://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/pr-01318671/balada-petani-tembakau-antara-harga-jual-dan-biaya-produksi">dengan harga Rp 60.000 per kg</a>. </p>
<p>Harga jual ganja sebagai produk legal bisa jadi berbeda. Di Colorado, harga ganja mengalami penurunan hingga lebih dari sepertiganya pasca legalisasi pada tahun <a href="https://www.forbes.com/sites/mikeadams/2018/11/25/is-marijuana-legalization-economic-salvation-or-hype/#7c9bc49710aa">2018</a>. Namun, pada 2019, dilaporkan bahwa penjualan ganja di sana mencapai $1,29 miliar, dengan jumlah pajak yang ditarik negara sebesar <a href="https://theconversation.com/does-legalizing-marijuana-help-or-harm-americans-weighing-the-statistical-evidence-109402">$270 juta</a>.</p>
<h2>Ganja untuk kesehatan</h2>
<p><a href="https://tirto.id/momentum-legalisasi-ganja-untuk-medis-cl8Z">Penelitian mengenai kemungkinan ganja sebagai obat penyakit diabetes pernah diusahakan oleh Lingkar Ganja Nusantara</a> (LGN) di 2014. Penelitian ini didasari pada hasil studi oleh <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16698671">Lola Weiss</a>, peneliti Hadassah University Hospital Ein Kerem, Israel, pada 2006, yang menunjukkan bahwa cannabinoid berpotensi mengurangi kasus diabetes. </p>
<p>Merespons usaha LGN, pada Januari 2015, menteri kesehatan saat itu, Nila F. Moeloek, melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan menerbitkan <a href="http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/KMK_No._HK_.02_.02-MENKES-118-2015_ttg_Izin_Pengelolaan_Tanaman_Papaver,_Ganja,_Koka_.pdf">sebuah keputusan</a> yang menyetujui penelitian yang diusulkan oleh LGN dengan syarat harus dilakukan di laboratorium pemerintah. </p>
<p>Namun penelitian ini kemudian tertunda dengan alasan utama bahwa <a href="https://litbang.kemendagri.go.id/website/alasan-kemenkes-tolak-penelitian-ganja-sebagai-obat/">penelitian ganja membutuhkan biaya besar dan tidak menjadi prioritas.</a> </p>
<p>Beberapa manfaat ganja telah dieksplorasi. <a href="https://www.cancer.gov/about-cancer/treatment/cam/patient/cannabis-pdq#link/_13">National Cancer Institute</a> di AS menemukan, misalnya, bahwa cannabinoid —- salah satu senyawa yang terdapat pada ganja – memiliki potensi untuk mengurangi efek samping yang ditimbulkan oleh kemoterapi pada kanker. </p>
<p>Berdasarkan hasil studi oleh Grand View Research, sebuah lembaga riset pasar di AS, bidang medis menjadi sumber pendapatan terbesar bagi industri ganja global pada tahun 2019, yaitu 71%. <a href="https://www.grandviewresearch.com/press-release/global-legal-marijuana-market">Industri ganja juga diprediksi dapat bernilai hingga $73.6 milyar pada tahun 2027.</a> </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/apakah-ganja-dapat-menyembuhkan-kanker-118762">Apakah ganja dapat menyembuhkan kanker?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Alasan lain</h2>
<p>Legalisasi ganja juga bisa menjadi solusi masalah sumpeknya penjara di Indonesia (<em>overcrowding</em>).</p>
<p>Ganja merupakan jenis <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/12/19/layanan-pos-paling-banyak-digunakan-dalam-penyelundupan-narkoba">narkotika ilegal yang paling banyak digunakan di Indonesia.</a> </p>
<p>Pengadilan juga masih banyak mengadili tindak pidana narkotika yang bersifat minor, seperti kepemilikan, penggunaan, maupun transaksi jual beli narkotika —- termasuk ganja.</p>
<p>Per bulan Februari 2020, jumlah putusan perkara narkotika yang terdaftar dalam Mahkamah Agung mencapai <a href="https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/kategori/jenis/pidana-khusus-1.html">140.427</a> perkara. Ini menjadikan narkotika sebagai penyumbang perkara pidana terbanyak di seluruh pengadilan di Indonesia, diikuti oleh pencurian sebanyak 103.490 perkara dan penghinaan sebanyak 46.418 perkara. </p>
<p>Penumpukan perkara sudah lama menjadi permasalahan dalam sistem peradilan di Indonesia. Banyaknya perkara yang harus diputus pada akhirnya berpotensi <a href="https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f5634f321f1d/belajar-konsistensi-putusan-peradilan-dari-belanda">mempengaruhi kualitas dan konsistensi dari putusan yang dihasilkan oleh pengadilan.</a> </p>
<p>Pada tahun 2018 saja, jumlah penghuni lapas di seluruh Indonesia mencapai <a href="https://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-XI-10-II-P3DI-Mei-2019-222.pdf">266.000</a> orang padahal total daya tampung hanya 126.000 orang, dan <a href="https://news.okezone.com/read/2019/01/31/512/2012132/jumlah-narapidana-narkoba-rajai-lapas-di-indonesia">kasus narkotika berperan cukup besar dalam <em>overcrowding</em> lapas.</a>.</p>
<p>Ini tentu akan membebani negara. Untuk 2020 saja, <a href="https://www.liputan6.com/news/read/3989242/kemenkumham-minta-tambahan-anggaran-2020-rp-3-triliun">Kementerian Hukum dan HAM meminta tambahan anggaran sebesar Rp 3 triliun</a> dari anggaran yang semula berjumlah Rp 10 triliun, dengan alokasi Rp 2,6 triliun untuk lapas, dan Rp 300 miliar untuk penyelesaian pembangunan lapas. </p>
<p>Dekriminalisasi ganja, ditambah dengan regulasi dan pengawasan terhadap peredaran ganja, akan membuka ruang bagi pengadilan agar dapat fokus menangani tindak pidana narkotika yang lebih serius. </p>
<p>Pengadilan, misalnya, bisa fokus pada peredaran ganja gelap yang umumnya dilakukan dalam jumlah lebih besar dan mengakibatkan kerugian yang besar pula bagi negara, baik secara ekonomi maupun sosial.</p>
<h2>Untuk dipertimbangkan</h2>
<p>Di dunia, ganja merupakan salah satu zat narkotika yang berpotensi besar untuk disahkan, baik lewat dekriminalisasi (penghapusan sanksi kriminal bagi pengguna atau pemilik) ataupun legalisasi secara menyeluruh (mengizinkan budi daya dan penjualan). </p>
<p>Ini karena dampak negatif yang ditimbulkan oleh ganja, baik secara kejiwaan maupun tingkah laku, <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4311234/">lebih ringan dibandingkan narkotika jenis lainnya, bahkan jika dibandingkan dengan alkohol dan rokok sekalipun</a>. </p>
<p>Pemerintah dapat menjadikan beban penegakan hukum dan potensi medis dan ekonomi sebagai pertimbangan dalam dekriminalisasi penggunaan ganja.</p>
<p>Langkah konkret pertama yang dapat dilakukan ialah dengan mengizinkan dilakukannya penelitian terhadap potensi manfaat kesehatan yang dimiliki oleh ganja.</p>
<p>Kemudian, pemerintah dapat mengubah kedudukan ganja menjadi golongan III. Narkotika yang masuk golongan III dinilai memiliki khasiat untuk pengobatan sehingga banyak digunakan, serta memiliki potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. </p>
<p>Namun aturan tersebut harus didukung dengan pengawasan yang ketat agar tidak terjadi penyalahgunaan sehingga keuntungan yang diperoleh dari budi daya ganja benar-benar dapat dinikmati oleh masyarakat.</p>
<p><em>Aisha Amelia Yasmin berkontribusi pada penerbitan artikel ini.</em></p>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/131208/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Maria Isabel Tarigan tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Ganja memiliki potensi kesehatan dan ekonomi, sekaligus saat ini merupakan beban dalam peradilan di Indonesia.Maria Isabel Tarigan, Research fellow, Indonesia Judicial Research Society Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1008212018-08-02T10:06:21Z2018-08-02T10:06:21ZMau dibawa ke mana penjara kita?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/229971/original/file-20180731-136664-fq2zyi.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=18%2C36%2C5988%2C3971&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Institusi penjara tidak dapat sepenuhnya otoritatif dan represif kepada setiap tahanan, mereka juga memiliki hak untuk kehidupan yang layak.</span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>Ada beberapa “narasi” yang berulang-ulang disampaikan sebagai penyebab banyaknya persoalan yang dihadapi oleh sistem penjara di Indonesia. </p>
<p>Termasuk yang terakhir terjadi di Lembaga Pemasyarakatan (lapas) Sukamiskin minggu lalu, ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tangan kepala lapas dengan <a href="https://theconversation.com/ironi-tahanan-koruptor-di-indonesia-layaknya-memenjarakan-beruang-dalam-penjara-bambu-100614">dugaan menerima suap dari narapidana korupsi</a> atas sejumlah “kemewahan” yang mereka dapatkan di dalam lapas itu. </p>
<p>Pada 2009, saya terlibat dalam penelitian yang menyusun dokumen cetak biru <a href="http://icjr.or.id/cetak-biru-pembaharuan-pelaksanaan-sistem-pemasyarakatan/">“Pembaharuan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan tahun 2009”</a>. Cetak biru yang telah dijadikan <a href="http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/arsip/bn/2009/bn5-2009.pdf">Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-OT.02.02 Tahun 2009</a> sebenarnya sudah memberikan alternatif-alternatif solusi atas berbagai permasalahan yang dihadapi institusi penjara atau pemasyarakatan. </p>
<p>Solusi ini mencakup perbaikan sistem pemasyarakatan mulai dari aspek manajemen organisasi, sumber daya manusia, pelaksanaan tugas hingga pengawasan. </p>
<p>Tapi ternyata masalah dan narasi-narasi usang tetap terus bermunculan. Apa yang bisa kita lakukan? Dalam tulisan ini saya akan membahas satu persatu narasi ini dan apa yang mesti dilakukan oleh otoritas penjara untuk jangka pendek sebagai solusinya. </p>
<h2>Penjara yang terlalu padat</h2>
<p>Situasi di mana jumlah tahanan melebihi kapasitas penjara atau dikenal dengan istilah <em>over-crowding</em> (terlalu padat), memang masalah besar. </p>
<p>Hasil penelitian yang saya lakukan untuk menyusun dokumen cetak biru menemukan bahwa di penjara yang jumlah tahanan melebihi daya tampung ada anggapan bahwa prestasi minimal seorang kepala penjara adalah mencegah kerusuhan dan pelarian. </p>
<p>Hal ini berdampak pada pola pengendalian perilaku narapidana dalam penjara yang kurang tegas. Karena ketika kepala penjara bersikap tegas dan represif, ada ketakutan potensi konflik akan membesar.</p>
<p>Jumlah petugas yang sangat terbatas kemudian menyebabkan pola pengendalian informal justru lebih banyak digunakan. Narapidana tertentu diberikan “keistimewaan” sebagai kepala kamar atau pemuka untuk mengendalikan narapidana lain. </p>
<p>Namun permasalahannya, relasi-relasi informal inilah yang menjadi cikal bakal sejumlah penyimpangan yang terjadi di dalam penjara.</p>
<p>Ke depannya, pemerintah perlu merumuskan alternatif hukuman selain penjara di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) untuk mengurangi <em>overcrowding</em> dalam penjara. </p>
<p>Sebagaimana <a href="https://www.jstor.org/stable/42909676">dijelaskan oleh ahli kriminologi Richard Quinney</a>, tindak kejahatan tidak dapat dilihat murni semata-mata pelanggaran pidana, ada juga tindak kejahatan untuk bertahan hidup. Sebelumnya, kriminolog asal Belanda, Willem Bonger melalui <a href="https://www.jstor.org/stable/23635247">disertasinya</a> juga menjelaskan adanya kejahatan yang terpaksa dilakukan oleh mereka yang tidak beruntung secara ekonomi. </p>
<p>Terhadap kejahatan-kejahatan tersebut, hukuman penjara bukanlah putusan yang tepat. Contoh alternatif hukuman misalnya kerja sosial, sehingga tidak semua terdakwa dimasukkan ke dalam penjara. Alternatif penghukuman semacam ini dapat kita temui di negara-negara Barat <a href="https://assets.publishing.service.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/228560/8469.pdf">seperti Inggris</a> yang telah diberlakukan sejak <a href="https://www.theguardian.com/society/2013/jan/08/forty-years-community-service">empat puluh tahun yang lalu</a>.</p>
<p>Demikian pula dengan narapidana yang berstatus penyalah guna narkotika. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, semestinya mereka tidak dipenjara, namun mendapatkan rehabilitasi.</p>
<p>Namun, hingga kini Indonesia belum memiliki alternatif dari hukuman penjara, sehingga mau tidak mau lapas harus siap dan mampu mengembangkan kebijakan yang lebih keras terhadap narapidana di penjara yang melampaui kapasitas.</p>
<h2>Anggaran yang kurang</h2>
<p>Narasi kedua mengenai permasalahan lapas adalah kurangnya anggaran dan sumber daya manusia (SDM). </p>
<p>Konsensus internasional memang tidak memberikan standar yang jelas mengenai besaran anggaran ideal untuk pembinaan narapidana dan pelayanan tahanan. Hal yang diatur adalah standar minimal, seperti yang diadopsi oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1955 melalui <a href="https://www.unodc.org/pdf/criminal_justice/UN_Standard_Minimum_Rules_for_the_Treatment_of_Prisoners.pdf">Resolusi tahun 1957</a>. </p>
<p>Di dalam standar ini disebutkan tahanan setidaknya menempati sel sendirian dengan jendela yang cukup besar, penerangan yang memadai, air minum yang cukup dan makanan yang bergizi. </p>
<p>Di Indonesia, <a href="http://www.jdih.kemenkeu.go.id/fullText/2008/64%7EPMK.02%7E2008Per.htm">Peraturan Menteri Keuangan Nomor 64/PMK.02/2008</a> telah menetapkan bahwa standar biaya makan narapidana Rp15.000 per hari atau Rp5.000 sekali makan.</p>
<p>Faktanya, kemampuan lapas untuk menyediakan seluruh layanan minimum yang menjadi hak narapidana masih sangat minim. Hal ini dapat diperlihatkan oleh beberapa contoh, seperti terbatasnya ruang, penerangan, air bersih, makanan, layanan kesehatan, informasi hingga yang berkaitan dengan sarana pembinaan. </p>
<p>Sementara itu, perbandingan ideal antara narapidana dengan petugas adalah 1 petugas banding 25 narapidana. Tapi faktanya di Indonesia 1 banding 55, menurut hasil wawancara saya dengan Akbar Hadi (mantan kepala sub-bagian humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan).</p>
<p>Namun, jika seluruh anggaran dan kualitas SDM dipenuhi, apakah kemudian masalah-masalah yang dihadapi di penjara akan hilang seketika? Saya kira tidak juga.</p>
<p>Memang benar bahwa Kementerian Hukum dan HAM memiliki masalah soal perencanaan dan penganggaran. Lapas secara teknis memang di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, namun anggarannya ditentukan oleh Sekretariat Jenderal Pemasyarakatan di masing-masing provinsi. </p>
<p>Dualisme ini menyebabkan apa yang dibutuhkan di tingkat teknis sering tidak sesuai dengan “logika anggaran” di Sekretariat Jenderal. Belum lagi ada saja alasan “tidak ada anggaran”. Dalam konteks ini, bisa dikatakan bahwa sistem perencanaan dan penganggaran di Kementerian Hukum dan HAM belum bersahabat dengan kebutuhan-kebutuhan yang ada.</p>
<p>Masalah terkait struktur organisasi, anggaran, dan SDM adalah “narasi” usang. Namun hingga kini, ketika muncul masalah yang mengejutkan di dalam lapas atau rutan (Rumah tahanan), seketika itu pula “narasi-narasi” ini muncul sebagai kambing hitam. </p>
<p>Saya sendiri, sebagai salah seorang peneliti yang terlibat di dalam penyusunan cetak biru tersebut, menyadari betul bagaimana sulitnya posisi penjara. </p>
<p>Saya juga menaruh tanda tanya besar, apa yang membuat Kementerian Hukum dan HAM begitu merasa sangat sensitif bila sudah membicarakan persoalan di dalam manajemen organisasi dan penganggaran tersebut. Padahal, hal ini adalah masalah klasik yang solusinya sudah diidentifikasi dalam cetak biru.</p>
<h2>Apa yang bisa dilakukan</h2>
<p>Saya berpandangan, untuk jangka pendek, yang diperlukan untuk perbaikan sistem penjara kita saat ini adalah sebagai berikut. </p>
<p>Pertama, perbaikan di dalam sistem pengawasan. </p>
<p>Pengawasan yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Hukum dan HAM mestinya tidak hanya sekadar basa-basi. Hal ini dilakukan dengan mengevaluasi metode pengawasan melekat (waskat) yang merupakan tanggung jawab atasan langsung, seperti kepala lapas di tingkat teknis. </p>
<p>Salah satu hal yang menyebabkan model “waskat” ini dirasa tidak akan pernah efektif adalah karena yang diawasi adalah “rekan kerja” bahkan “teman” dari yang mengawasi. </p>
<p>Belum lagi bila, sebagaimana diduga terjadi di lapas Sukamiskin, kepala penjara adalah bagian dari masalah. Membersihkan rumah dengan sapu kotor adalah pekerjaan yang sangat sia-sia. </p>
<p>Mungkin inilah yang menjadi latar belakang mengapa dulu Denny Indrayana, mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM sering <a href="https://nasional.sindonews.com/read/1324753/18/dagang-fasilitas-di-sukamiskin-1532471173">melakukan inspeksi mendadak</a>.</p>
<p>Untuk memperkuat pengawasan ini, Balai Pertimbangan Pemasyarakatan (BPP) yang secara langsung memberikan rekomendasi kepada menteri semestinya diberikan peran yang lebih luas dan kuat. BPP cukup potensial karena di dalamnya terdapat unsur akademisi dan masyarakat. </p>
<p>Satu hal lain, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan perlu memberi ruang yang lebih luas untuk pengawasan dari lembaga-lembaga nonpemerintah, khususnya organisasi masyarakat sipil yang bergerak dalam bidang bantuan hukum, hak asasi manusia, atau pemantau sistem peradilan pidana.</p>
<p>Kedua, memastikan disiplin seluruh petugas dan narapidana, dengan melaksanakan seluruh standar atau prosedur yang sudah ada. Sejauh yang saya ketahui, paska cetak biru, ada begitu banyak program di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang berkaitan dengan penyusunan standar dan pedoman teknis, serta penguatan kapasitas petugas melalui pelatihan. </p>
<p>Seperti kerja sama antara Direktorat dengan lembaga internasional <em>Search for Common Ground</em> untuk penyusunan pedoman perlakuan narapidana risiko tinggi, seperti teroris. Pedoman ini kemudian <a href="http://www.bapanasnews.com/2016/05/ditjen-pas-dan-sfcg-gelar-lokalatih.html">diadopsi di berbagai lapas di Indonesia</a>. </p>
<p>Ketiga, untuk menghapus “narasi-narasi” yang berulang-ulang itu. Kementerian Hukum dan HAM harus mengkritik kembali bentuk organisasinya. Pemasyarakatan adalah direktorat teknis terbesar, yang bahkan sebenarnya sudah layak untuk berdiri sendiri menjadi badan setingkat kementerian. </p>
<p>Saya tidak akan membahas kembali “narasi-narasi” itu, karena sudah sejak lama diperbincangkan, dan membosankan. Tanyakan saja kepada menteri dan pejabat-pejabat terkait, lebih baik kita fokus pada penyelesaian masalah sehingga narasi-narasi ini bisa berhenti beredar.</p>
<p><em>Bimo Alim ikut berkontribusi dalam artikel ini</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/100821/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Iqrak Sulhin menerima dana dari The Asia Foundation. </span></em></p>Beberapa ‘narasi’ usang yang berulang diakui sebagai penyebab banyaknya persoalan yang dihadapi oleh sistem penjara di Indonesia. Apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi hal ini?Iqrak Sulhin, Ketua Departemen Kriminologi FISIP UI, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1001742018-07-18T09:26:16Z2018-07-18T09:26:16ZAlasan mengapa KPU seharusnya tidak melarang bekas narapidana mendaftar jadi caleg<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/228172/original/file-20180718-142414-giyez0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Undang-undang di Indonesia terus menghukum seseorang yang telah menjalani hukuman yang dijatuhi padanya. </span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span></figcaption></figure><p>Menuju pemilihan umum (pemilu) tahun depan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengeluarkan <a href="http://jdih.kpu.go.id/data/data_pkpu/FIXED%20PKPU%2020%20THN%202018%%2020%20(SINKRONISASI%%2020HARMONISASI).pdf">Peraturan Pemilu Legislatif 2019</a>. Peraturan ini melarang orang yang telah dihukum karena korupsi, perdagangan narkoba, dan kekerasan seksual anak untuk berkompetisi sebagai calon legislatif (caleg) dalam pemilu tersebut.</p>
<p>Menurut KPU, kejahatan-kejahatan tersebut memiliki <a href="https://nasional.kompas.com/read/2018/04/16/15463651/kejahatan-luar-biasa-alasan-kpu-larang-mantan-napi-korupsi-ikut-pileg">“daya rusak” yang luar biasa bagi masyarakat</a>.</p>
<p>Tak dapat disangkal kejahatan-kejahatan di atas adalah kejahatan serius. Namun, dengan melihat pada sistem peradilan pidana Indonesia yang seringkali bermasalah dalam pelaksanaannya, saya berpendapat bahwa pencabutan hak mantan narapidana melalui perundang-undangan berpotensi merusak demokrasi di Indonesia dan menghalangi kesempatan sekelompok orang untuk melayani publik.</p>
<h2>Hukuman tanpa akhir</h2>
<p>Pencabutan hak-hak tertentu, termasuk hak untuk memegang jabatan publik, bukanlah fitur baru dalam hukum pidana Indonesia. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), hakim dapat melarang pelaku kejahatan memegang jabatan publik sebagai bentuk pidana tambahan.</p>
<p>Tapi, selain KUHP, sejumlah undang-undang lain juga melarang mantan narapidana bekerja di sektor publik. Beberapa undang-undang di Indonesia melarang orang-orang yang telah divonis terbukti telah melakukan kejahatan menjadi <a href="https://cdn.setneg.go.id/_multimedia/document/20070528/UU_no_2_th_2002.pdf">polisi</a>, <a href="https://cdn.setneg.go.id/_multimedia/document/20091111/UU%2049%20Tahun%202009.pdf">hakim</a>, <a href="https://cdn.setneg.go.id/_multimedia/document/20110811/UU_no_16_th_2004%20.pdf">jaksa</a>, <a href="https://cdn.setneg.go.id/_multimedia/document/20111202/UU%2018%20Tahun%202011.pdf">anggota Komisi Yudisial</a>, atau posisi di tingkat pemerintahan lainnya, bahkan sebagai <a href="https://cdn.setneg.go.id/_multimedia/document/20110811/UU_no_18_th_2003.pdf">advokat</a>.
Sedangkan untuk anggota legislatif, <a href="https://cdn.setneg.go.id/_multimedia/document/20110811/UU%2010%20Tahun%202008.pdf">UU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD</a> mensyaratkan anggota parlemen tidak pernah dihukum atas suatu tindak pidana dengan ancaman pidana lebih dari lima tahun penjara.</p>
<p>Dengan adanya undang-undang tersebut artinya negara terus menghukum seseorang yang telah selesai menjalani pidananya. Negara terus menghukum orang tersebut dengan mengambil hak-hak sipil tertentu. Tindakan tersebut, yakni menghukum mantan terpidana melalui undang-undang, justru mengabaikan proses hukum yang berlaku dan diberikan tanpa pertimbangan yang obyektif.</p>
<h2>Putusan Mahkamah Konstitusi</h2>
<p>Pada 2009, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan berkaitan dengan pengujian UU Pemilu Legislatif yang diajukan oleh Robertus, orang yang tidak dapat mencalonkan diri dalam pemilihan legislatif 2009 di Sumatra Barat karena pada 1976 dirinya dijatuhi pidana penjara selama sembilan tahun delapan bulan karena terbukti mencuri dengan kekerasan.</p>
<p>Melalui kasus Robertus, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa mantan terpidana berhak untuk dipilih untuk jabatan publik dengan syarat-syarat tertentu:</p>
<ol>
<li>mereka harus menunggu 5 tahun setelah pembebasan mereka sebelum mencalonkan diri;</li>
<li>mereka harus mengumumkan kepada publik sebelum kampanye mereka bahwa mereka pernah dihukum untuk sebuah tindak pidana;</li>
<li>mereka bukan orang yang berulang kali melakukan tindak pidana atau residivis.</li>
</ol>
<p>Saat itu, Mahkamah Konstitusi membatasi penggunaan hak mantan narapidana di atas hanya pada jabatan-jabatan yang dipilih (anggota DPR/DPD/DPRD, Presiden, Kepala Daerah). Mantan terpidana masih tidak dapat menduduki jabatan yang diberikan melalui pengangkatan seperti menteri kabinet, komisaris, atau staf ahli.</p>
<p>Dengan peraturan pemilihan legislatif tahun ini, KPU memberikan pengecualian atas putusan Mahkamah Konstitusi untuk korupsi, kekerasan seksual anak, dan perdagangan narkoba.</p>
<h2>Sistem peradilan pidana yang cacat</h2>
<p>Keputusan KPU ini bermasalah karena sistem peradilan pidana Indonesia tidak sempurna dan seringkali dilaksanakan dengan tidak adil. </p>
<p>Mencuri atau menyelewengkan uang negara untuk keuntungan pribadi adalah suatu hal yang salah dan dapat berdampak negatif pada pembangunan nasional. Tapi sejumlah orang justru memperoleh status koruptor karena <a href="http://journal.ubpkarawang.ac.id/index.php/IlmuHukum/article/view/%2077">kerancuan (penegak hukum) dalam memahami kerugian negara dan kerugian perusahaan</a>. Sebagai contoh, mantan direktur perusahaan penerbangan milik negara Merpati <a href="https://news.detik.com/berita/d-3284037/kasus-korupsi-merpati-usd-1-juta-ma-%20beberkan-6-kesalahan-hotasi">Hotasi Nababan dijatuhi hukuman penjara</a> karena keputusan bisnis yang salah yang menyebabkan kerugian negara.</p>
<p>Kekerasan seksual anak juga terdengar sangat buruk jika kita membayangkan orang dewasa mengambil keuntungan atas relasi kuasa yang timpang terhadap anak yang tak berdaya. Namun, seringkali di Indonesia mereka yang dinyatakan bersalah atas kasus kekerasan seksual anak adalah <a href="http://business-law.binus.ac.id/2017/08/29/pertanggungjawaban-pidana-anak-sebagai-pelaku-kekerasan%20-seksual-tentang-anak%20/">anak-anak itu sendiri</a>. Mereka berkencan dan melakukan hubungan seks. Dan ketika orang tua, seringkali dari sang gadis, mengetahui tentang hubungan seksual tersebut, mereka akan melaporkan anak laki-laki ini ke polisi. Anak itu kemudian dihukum karena mengeksplorasi seksualitasnya dengan pacarnya dan harus menanggung label sebagai pelaku kekerasan seksual terhadap anak selama sisa hidupnya. </p>
<p>Terakhir, kita punya problem mengenai perdagangan narkotika. Banyak pengguna narkotika yang seharusnya direhabilitasi justru diberi label sebagai pengedar narkoba oleh hakim karena <a href="https://news.detik.com/berita/2658245/ma-pasal-112-uu-narkotika-pasal-keranjang-sampah">tidak jelasnya rumusan pasal mengenai penguasaan narkotika</a> dalam UU Narkotika. Yang terjadi, pengguna yang sudah pasti menguasai narkotika akan dihukum dengan pasal yang sejatinya ditujukan untuk pengedar narkotika. </p>
<h2>Membantu mantan narapidana kembali ke masyarakat</h2>
<p>Pakar hukum <a href="https://lawdigitalcommons.bc.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=2264&context=bclr">Anthony C. Thompson</a> berpendapat bahwa pemerintah dan komunitas hukum harus membantu pelaku kembali masuk ke komunitas mereka. Pemerintah dapat memberikan <a href="https://www.publicsafety.gc.ca/cnt/rsrcs/pblctns/scl-rntgrtn/index-en.aspx">program reintegrasi</a>, sementara pengacara, pengadilan, dan sekolah hukum dapat berkolaborasi secara inovatif dalam program-program tersebut. Dengan intervensi ini, mantan narapidana akan memiliki peluang lebih besar untuk tidak kembali ke <a href="https://www.theguardian.com/society/2006/jul/19/youthjustice.law">lingkaran kejahatan</a> dan mengubah diri mereka sebagai anggota masyarakat yang produktif.</p>
<p>Menghapus hak mantan narapidana untuk memegang jabatan publik adalah kebalikan dari intervensi yang diajukan Thompson. Dan ini berpotensi menghalangi sejumlah besar narapidana–saat ini ada <a href="http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/current/daily">lebih dari 110.000 orang di penjara Indonesia</a>–untuk melayani publik. </p>
<p>Sebagai contoh adalah <a href="https://www.telegraph.co.uk/business/0/ten-top-american-fraudsters/frank-william-abagnale/">Frank William Abagnale Jr.</a>, seorang penipu terkenal pada 1960-an yang dijatuhi lima tahun penjara karena memalsukan cek palsu di 26 negara. Kisah hidupnya telah diadaptasi menjadi film yang dibintangi aktor Hollywood Leonardo DiCaprio.</p>
<p>Alih-alih mengasingkan dia dari urusan yang berhubungan dengan pemerintah, pemerintah Amerika Serikat menawari Abagnale Jr pekerjaan sebagai penasihat dalam kasus-kasus yang terkait dengan penipuan. Ia kemudian mendirikan perusahaan konsultansi yang membantu para pemangku kepentingan dalam kasus-kasus keamanan dan penipuan. Kisah Abagnale Jr adalah bukti bahwa negara harus membuka pintu bagi para mantan narapidana untuk berkontribusi pada masyarakat.</p>
<h2>Menuju masyarakat yang adil dan demokratis</h2>
<p>Negara memang memiliki kekuasaan untuk mengatur masyarakat, termasuk kekuasaan untuk membatasi hak mantan narapidana untuk memegang jabatan publik.</p>
<p>Namun, alih-alih membuat undang-undang yang membatasi hak-hak warga negara–dalam hal ini adalah para mantan narapidana–cara terbaik untuk menentukan keputusan tersebut secara adil adalah melalui proses peradilan. Biarkan hakim memeriksa fakta, menghubungkan titik-titik antara teori dan kasus, dan mengambil keputusan untuk mencabut hak pelaku menduduki jabatan publik atau tidak. </p>
<p>Lebih penting lagi, hakim juga perlu secara eksplisit menyebutkan batas waktu sampai kapan mantan narapidana tidak dapat menggunakan hak-hak tersebut. </p>
<p>Dan negara juga harus memberikan kepercayaan lebih pada warganya untuk memilih wakil mereka sendiri, apakah mereka seorang terpidana atau tidak.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/100174/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Anugerah Rizki Akbari tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Mantan narapidana harus diberikan kesempatan yang adil untuk menebus kesalahan mereka sesudah menjalani hukuman.Anugerah Rizki Akbari, Lecturer in Criminal Law, Indonesia Jentera School of LawLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/947532018-04-11T08:59:49Z2018-04-11T08:59:49ZYang hilang dalam pembahasan RKUHP Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/214231/original/file-20180411-543-1hpcwfn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=1%2C0%2C997%2C660&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">KUHP yang baru siapa disahkan tahun ini meskipun banyak kritik.</span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>Indonesia direncanakan akan memiliki Undang-Undang Hukum Pidana yang baru, menggantikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berusia 100 tahun. </p>
<p>Pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo telah menyusun rancangan terkini dalam upaya merevisi KUHP yang sudah berlangsung selama lebih dari 50 tahun. </p>
<p>Pihak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengutarakan ke publik <a href="https://nasional.kompas.com/read/2018/03/08/17501691/presiden-jokowi-ingin-pembahasan-rkuhp-dipercepat">pentingnya mengesahkan KUHP baru tahun ini</a> sebelum Pemilihan Umum (Pemilu) karena pemerintahan baru yang terpilih nantinya belum tentu memiliki prioritas yang sama untuk membahas RKUHP dan prosesnya harus memulai dari awal lagi. </p>
<p>Keinginan para penyusun untuk mengesahkan RKUHP mencerminkan hasrat sebagian orang untuk memiliki KUHP buatan Indonesia, menggantikan versi lama yang merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda. </p>
<p>Namun, RKUHP yang sekarang masih menimbulkan kekhawatiran baik dari ahli hukum, para praktisi bidang lain dan juga kelompok masyarakat sipil karena adanya pasal-pasal yang mungkin akan memberi implikasi buruk bagi masyarakat. Kami menyerukan perlunya konsultasi publik yang lebih luas dan diskusi dengan para ahli yang tidak hanya dari sektor hukum tapi juga sektor lain yang berkaitan, seperti kesehatan, pendidikan dan sosial. </p>
<h2>Apa yang hilang?</h2>
<p>Hukum berdampak pada semua orang. Apa yang didefinisikan sebagai tindak kejahatan akan mempengaruhi kita semua, tak peduli usia, jenis kelamin, kemampuan, agama, etnis dan identitas sosial dan budaya lainnya. Jadi, pengesahan segala bentuk hukum, termasuk KUHP, perlu mempertimbangkan semua bukti yang ada untuk bisa memperhitungkan potensi risiko dan implikasinya, bukan hanya teori-teori hukum saja.</p>
<p>Kurangnya pertimbangan berbasis bukti dalam perumusan Undang-Undang akan menghasilkan produk hukum yang kemungkinan besar lebih banyak mudarat daripada manfaatnya. Dalam kaitannya dengan RKUHP, beberapa kekhawatiran yang ada termasuk: </p>
<p><strong>Kriminalisasi pasangan di luar perkawinan sah</strong></p>
<p>Setidaknya ada <a href="https://www.bappenas.go.id/files/7014/2889/4255/Masyarakat_Adat_di_Indonesia-Menuju_Perlindungan_Sosial_yang_Inklusif.pdf">40 sampai 50 juta</a> orang yang menjadi bagian dari masyarakat adat. Di antara mereka terdapat para penghayat kepercayaan yang belum diakui oleh negara. Berbelitnya pengakuan legal atas kelompok-kelompok tersebut menyulitkan mereka untuk mencatatkan perkawinan mereka secara resmi. </p>
<p>Kelompok miskin juga menghadapi masalah yang sama karena hambatan biaya. <a href="http://www.cpcnetwork.org/wp-content/uploads/2015/02/AIPJ-PUSKAPA-BASELINE-STUDY-ON-LEGAL-IDENTITY-Indonesia-2013.pdf">Sebuah penelitian</a> menemukan bahwa setidaknya lebih dari setengah pasangan yang hidup di rumah tangga miskin tidak memiliki bukti perkawinan. RKUHP ini dapat membuat jutaan orang dari kelompok miskin dan marjinal terancam dipidanakan karena tinggal bersama tanpa ikatan nikah. </p>
<p><strong>Pada dasarnya, kriminalisasi orang tanpa akta</strong></p>
<p>Dalam RKUHP ini terdapat ketentuan denda sampai Rp 10 juta bagi orang yang terlambat melaporkan kelahiran, kematian, pernikahan dan perceraian mereka. Atas dasar itu, RKUHP akan menghukum setidaknya <a href="http://www.dukcapil.kemendagri.go.id/izCFiles/uploads/downloads/Surat_Edaran_Percepatan_Penerbitan_KTP-el_dan_Akta_Kelahiran.pdf">38% anak Indonesia atau sekitar 30 juta anak</a> yang tidak memiliki akta kelahiran. </p>
<p>Pencatatan kematian di Indonesia hampir tidak berjalan. <a href="http://www.cpcnetwork.org/wp-content/uploads/2016/09/CRVS-Research-Report.pdf">Sebuah penelitian</a> di tiga Kabupaten menemukan bahwa 84% kematian terjadi di luar fasilitas kesehatan. Hal ini mempersulit terhubungnya peristiwa kematian dengan pencatatannya. Selain itu, penelitian yang sama juga menemukan hanya 2% dari pasangan bercerai yang memiliki akta cerai.</p>
<p>RKUHP jelas masih mengesampingkan fakta bahwa banyak penduduk Indonesia yang tidak memiliki akses mudah pada pencatatan sipil karena hambatan ekonomi, geografis, dan buruknya infrastruktur. Jatuhnya, RKUHP malah tidak efektif karena dengan ancaman sanksi yang berat orang akan semakin enggan untuk mendapatkan akta. </p>
<p><strong>Menjadikan anak-anak, khususnya perempuan, korban</strong></p>
<p>Selain orang dewasa, anak-anak juga dapat menjadi korban ketika orangtua mereka tidak bisa membuktikan sahnya hubungan mereka. Begitu RKUHP yang sekarang disahkan, ia akan berpotensi memisahkan jutaan anak-anak dari orangtua mereka yang dikriminalisasi, berakibat pada ketelantaran dan munculnya lingkaran kemiskinan baru. </p>
<p>Segala bentuk kriminalisasi terhadap perilaku seksual di luar pernikahan memiliki banyak dampak yang tidak diinginkan. Salah satunya adalah meningkatnya perkawinan anak karena pernikahan akan terlihat sebagai pilihan rasional untuk menghindari hukuman pidana. Dalam sistem yang demikian, insentif bagi orangtua untuk segera menikahkan anaknya menjadi semakin besar. </p>
<p>Perkawinan anak berisiko lebih besar buat anak perempuan dibanding anak laki-laki. Perkawinan anak juga mengancam pencapaian program dan target pemerintah. Saat ini, <a href="https://www.unicef.org/indonesia/UNICEF_Indonesia_Child_Marriage_Factsheet_.pdf">25% anak-anak perempuan Indonesia menikah</a> sebelum mereka berumur 18 tahun. Anak-anak perempuan ini akan meninggalkan bangku sekolah karena data menunjukkan bahwa <a href="https://www.girlsnotbrides.org/resource-centre/just-married-just-child-child-marriage-indo-pacific-region/">85% dari anak-anak perempuan yang menikah </a> putus sekolah. Hal ini mengancam program wajib belajar nasional. Anak-anak perempuan yang menikah sebelum berusia 18 tahun juga memiliki kemungkinan enam kali lebih kecil untuk menyelesaikan pendidikan menengah mereka. </p>
<p>Target nasional untuk mengurangi angka kematian ibu dan bayi akan <a href="https://www.girlsnotbrides.org/wp-content/uploads/2014/04/Child-marriage-and-maternal-health-Girls-Not-Brides-Updated-27-May-2013.pdf">terganggu</a> seiring banyaknya anak perempuan yang menikah di usia anak dan hamil pada usia yang terlalu muda. Ada juga bukti yang menunjukkan bahwa kehamilan pada usia dini akan meningkatkan risiko <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28570927"><em>stunting</em> (pertumbuhan terhambat)</a> pada anaknya. </p>
<p>Kriminalisasi terhadap perilaku seks di luar pernikahan akan membuat anak-anak perempuan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan takut untuk mencari layanan kesehatan reproduksi yang aman yang berarti akan mengancam jiwa mereka. </p>
<p>Anak-anak yang sudah puber dan muncul keingintahuan seksualnya akan sulit mengakses pendidikan seks yang tepat dengan adanya ancaman pidana. Sebagai contoh, RKUHP yang membatasi metode dan kategori orang yang dianggap legal menyebarkan informasi tentang alat kontrasepsi akan menghambat pemerintah dalam upaya penjangkauan dan pencegahan perilaku seksual berisiko di antara kaum muda. </p>
<p><strong>Kejelasan akan hukum yang hidup di masyarakat</strong></p>
<p>Dalam RKUHP ini, pemerintah daerah nantinya dapat mengatur hal-hal yang terkait pidana berdasar pada hukum yang berlaku di masyarakat. Hal ini perlu diklarifikasi terkait standar hukum dan juga sistem pengawasan serta penegakan hukumnya. Tanpa adanya kejelasan, kelompok anak dapat jadi salah satu yang berisiko terkena dampaknya. </p>
<h2>Status saat ini dan apa selanjutnya?</h2>
<p>Dengan naskah yang sekarang, RKUHP masih mencerminkan upaya penyingkiran lewat proses kriminalisasi. Seperti dijelaskan di atas, RKUHP mendiskriminasi anak-anak, perempuan, kelompok miskin dan marjinal. Memaksa untuk mengesahkan RKUHP tahun ini jelas mengabaikan berbagai bukti dan fakta, dan tentunya, rasa keadilan. </p>
<p>Ambisi untuk mengesahkan RKUHP tahun ini juga menaksir terlalu tinggi kemampuan pemerintah untuk mengeluarkan berbagai peraturan pelaksananya dalam waktu dua atau tiga tahun. Sebagai contoh, <a href="http://sp.beritasatu.com/home/pelaksanaan-uu-peradilan-pidana-anak-banyak-hambatan/115016">pemerintah belum merampungkan</a> penyusunan semua peraturan terkait Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak tahun 2012 hampir enam tahun setelah pengesahannya. </p>
<p>Begitu RKUHP disahkan nantinya, kita hanya punya beberapa tahun sebelum negara melaksanakan Undang-Undang tersebut sepenuhnya. Melalui amatan cepat terhadap isi RKUHP, kami menduga kebutuhan biaya penegakannya akan meningkat dua kali lipat, bahkan bisa lebih. Sementara sistem penegakan hukum Indonesia masih kekurangan sumber daya anggaran dan manusia. Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan kita juga sudah terlalu penuh. Pelaksanaan RKUHP ini nantinya akan memaksa pemerintah untuk mengalokasikan sumber daya dari sektor lain. Untuk itu, penting untuk mengungkapkan pada publik berapa estimasi anggaran yang dibutuhkan untuk pelaksaanan RKUHP ini dan mendiskusikannya dengan kementrian terkait. </p>
<p>Jika pemerintahan sekarang berniat untuk mewariskan KUHP dengan cita rasa Indonesia, sayang sekali jika warisan tersebut dinodai oleh produk yang memberi lebih banyak mudarat daripada manfaat akibat abai pada fakta dan bukti-bukti dalam proses perumusannya. </p>
<p><em>Artikel ini diadopsi dari artikel asli yang diterbitkan sebelumnya di www.puskapa.org</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/94753/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Santi Kusumaningrum adalah Direktur Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (PUSKAPA). Saat ini dirinya sedang menyelesaikan PhD di bidang kesehatan masyarakat dari Columbia University.</span></em></p>KUHP yang baru akan berdampak pada siapapun. Ia harus memperhitungkan semua aspek, tidak hanya hukum.Santi Kusumaningrum, Director, PUSKAPA (Center on Child Protection and Wellbeing), PUSKAPALicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.