tag:theconversation.com,2011:/us/topics/polri-45222/articlesPolri – The Conversation2024-03-21T05:42:22Ztag:theconversation.com,2011:article/2262642024-03-21T05:42:22Z2024-03-21T05:42:22ZApa risikonya jika TNI dan Polri bisa jadi ASN?<p>Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang pengelolaan Aparatur Sipil Negara (ASN) hampir selesai dibuat. RPP ini memungkinkan posisi ASN dapat dijabat oleh anggota TNI dan Polri, dan sebaliknya.</p>
<p>Menurut Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Abdullah Azwar Anas, kebijakan ini berprinsip timbal balik dan akan melalui proses seleksi yang sangat ketat. Ia juga menambahkan bahwa penempatan posisi untuk ASN dari TNI/Polri akan diselaraskan dengan kebutuhan lembaga melalui sistem pengelolaan bakat.</p>
<p>Kebijakan yang dijadwalkan untuk dikeluarkan pada akhir April 2024 ini bertujuan untuk mengakomodasi talenta-talenta terbaik Indonesia untuk berkontribusi dalam reformasi birokrasi dan proses pembangunan nasional.</p>
<p>Wacana ini menjadi kontroversi di tengah masyarakat luas. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa kebijakan ini berpotensi menghadirkan kembali praktik dwifungsi ABRI yang sempat terjadi di masa Orde Baru.</p>
<p>Lantas, apa risiko dari kebijakan ini apabila benar-benar diterapkan?</p>
<p>Untuk menjawab pertanyaan tersebut, episode <em>SuarAkademia</em> terbaru kami mengundang Rahadian Diffaul Barraq Suwartono, dosen hukum tata negara, dari Universitas Islam Indonesia (UII).</p>
<p>Rahadian berpendapat wacana ini bersifat politis dan rawan konflik kepentingan. Hal ini karena fokus dan prioritas utama TNI dan Polri dalam mempertahankan keamanan bisa terlupakan akibat kesibukan menjalankan tugas di kementerian atau lembaga.</p>
<p>Rahadian juga menyorot jabatan yang tersedia dalam posisi ASN tidak sesuai dengan <em>nature</em> pekerjaan anggota TNI dan POLRI. Menurutnya, anggota TNI dan Polri dilatih, dididik, dan dipersiapkan menjaga keamanan sedangkan pekerjaan ASN adalah melayani kepentingan publik.</p>
<p>Simak obrolan lengkapnya hanya di <em>SuarAkademia</em>–ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/226264/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang pengelolaan Aparatur Sipil Negara (ASN) hampir selesai dibuat. RPP ini memungkinkan posisi ASN dapat dijabat oleh anggota TNI dan Polri, dan sebaliknya. Menurut…Muammar Syarif, Podcast ProducerLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2128042023-09-08T10:14:12Z2023-09-08T10:14:12ZSerangan siber kian masif, akankah Angkatan Siber TNI jadi solusi?<p><em>Survei Agenda Warga dari New Naratif mengundang lebih dari 1.400 orang dari seluruh Indonesia untuk menyampaikan aspirasi mereka tentang apa saja isu yang dianggap paling penting bagi masyarakat. Artikel ini diterbitkan ulang sebagai bagian dari kolaborasi The Conversation Indonesia dan New Naratif untuk menanggapi hasil survei tersebut.</em></p>
<hr>
<p>Dalam survei <a href="https://newnaratif.com/id/masyarakat-indonesia-berbicara-5-isu-terpenting-yang-dihadapi-indonesia-pada-tahun-2023/">Agenda Warga</a> yang dilakukan sepanjang tahun lalu, hak digital dan kebebasan berekspresi menjadi salah satu dari lima isu yang dianggap paling mendesak oleh responden. Hasil survei mengungkap bahwa banyaknya kasus kebocoran data dan penyalahgunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terhadap warga negara membuat masyarakat Indonesia tidak merasa aman di ranah digital. Kebocoran data ini turut menunjukkan masih lemahnya keamanan siber di Indonesia, sementara penyalahgunaan UU ITE mengindikasikan adanya upaya pembungkaman hak warga untuk berekspresi.</p>
<p>Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) mengusulkan <a href="https://nasional.kompas.com/read/2023/08/11/10380911/munculnya-usulan-pembentukan-angkatan-siber-tni-yang-dinilai-masih-prematur">pembentukan Angkatan Siber</a> sebagai Matra keempat dalam institusi TNI, menggenapi Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Tujuannya untuk <a href="https://nasional.tempo.co/read/1487846/kenali-warna-baret-3-matra-tni-ada-yang-terilhami-selendang-nyi-roro-kidul">memperkuat pertahanan nasional</a> di tengah evolusi ancaman pertahanan melalui media siber.</p>
<p>Resiko ancaman serangan siber ini terbukti salah satunya dari beberapa kali adanya <a href="https://aau.e-journal.id/senastindo/article/view/116">serangan peretasan</a> yang terjadi di laman dan situs pemerintah baru-baru ini.</p>
<p><a href="https://www.antaranews.com/berita/3673191/kapuspen-tni-soal-angkatan-siber-ideal-tetapi-harus-dikaji-ilmiah">Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI menerima baik</a> usulan ini, meskipun ia melihat masih perlunya peninjauan akademik.</p>
<p>Namun, pegiat demokrasi sontak menolaknya, karena pembentukan Angkatan Siber ditakutkan akan berpotensi digunakan oleh pemerintah untuk <a href="https://koran.tempo.co/read/berita-utama/483989/potensi-bahaya-angkatan-siber-tni">membungkam publik</a>. <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Details/37589/uu-no-11-tahun-2008">UU ITE</a> saja sudah kerap menjadi <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/08/25/20454991/pasal-dalam-uu-ite-dinilai-bahayakan-demokrasi">alat untuk membatasi publik</a> dalam menyampaikan pendapat.</p>
<p>Kita harus akui bahwa Indonesia sangat rentan terkena serangan siber, sehingga wacana pembentukan Angkatan Siber bukanlah ide yang buruk. Namun, pembentukannya harus sangat hati-hati dan penuh pertimbangan, jangan sampai ini akan menjadi alat represif negara untuk membungkam publik.</p>
<p>Terlebih lagi, Indonesia kini memasuki tahun politik Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Bukan tidak mungkin pembentukan Angkatan Siber ini akan <a href="https://imparsial.org/regresi-reformasi-tni-mewaspadai-politisasi-tni-menjelang-tahun-politik/">disusupi agenda-agenda politik praktis</a>.</p>
<h2>Rentannya serangan siber</h2>
<p>Doktrin pertahanan dan perang di dunia telah <a href="https://www.jstor.org/stable/26487531">berevolusi merambah ruang siber</a>. <a href="https://www.jstor.org/stable/27033642">Operasi militer di ruang siber</a> dalam peperangan sudah bukan hal mustahil. Sederhananya, negara lain dapat menyerang ruang siber dan membawa keuntungan militer, bahkan merenggut nyawa. Perkembangan ini telah diakui dalam evolusi hukum perang modern.</p>
<p>Indonesia sendiri termasuk negara yang <a href="https://www.kominfo.go.id/content/detail/10812/wow-rentan-serangan-indonesia-diperkirakan-butuh-10-ribu-ahli-siber/0/sorotan_media">masih sangat rentan</a> terhadap serangan siber, khususnya dalam dimensi pertahanan.</p>
<p>Sebenarnya, Indonesia selama ini sebenarnya telah memiliki beberapa <a href="https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/3110-utopia-angkatan-siber">komponen pertahanan di bidang siber</a> yang eksekusi dan tanggung jawabnya dipegang oleh beberapa lembaga, seperti oleh Badan Siber Sandi Negara (BSSN), Kepolisian RI (Polri), Pusat Komando (Puskom) di bawah Kementerian Pertahanan, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), dan beberapa komponen lain di bawah TNI.</p>
<p>Namun, kenyataannya masih <a href="https://en.antaranews.com/news/252009/16-bln-cyberattacks-in-indonesia-in-2021-bssn">banyak terjadi serangan siber</a> yang <a href="https://www.cyberlands.io/topsecuritybreachesindonesia">gagal diantisipasi</a>. Beberapa di antaranya sempat meramaikan perbincangan khalayak luas.</p>
<p>Contohnya adalah kebocoran data <a href="https://www.menpan.go.id/site/berita-terkini/berita-daerah/kominfo-telusuri-dugaan-kebocoran-data-paspor-34-juta-wni">paspor</a> dan <a href="https://www.bbc.com/indonesia/articles/c51v25916zlo">penduduk</a> yang terjadi di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Yang sempat sangat meresahkan publik adalah serangan peretasan oleh <a href="https://www.cnbcindonesia.com/tech/20230707143409-37-452302/bjorka-bocorkan-jutaan-data-paspor-warga-ri-bssn-buka-suara">Bjorka</a> yang membocorkan banyak data pribadi dari laman pemerintah. Pemerintah mengklaim serangan-serangan tersebut berasal dari luar Indonesia.</p>
<p>Sedangkan kejahatan siber yang berasal dari dalam negeri yang ‘paling dominan’ adalah penyebaran <a href="https://www.krjogja.com/sleman/1242645954/polri-bentuk-cyber-patrol-buru-penebar-kebencian">ujaran kebencian</a> dan <a href="https://megapolitan.kompas.com/read/2016/12/30/16255681/polisi.giatkan.cyber.patrol.hadapi.maraknya.berita.hoax.">hoax</a> di media sosial. </p>
<p>Maka dari itu, <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20230811121305-8-462190/ancaman-siber-menggila-lemhannas-usul-bentuk-matra-siber-tni">usulan</a> munculnya keinginan membentuk Angkatan Siber dapat dimengerti.</p>
<p>Usulan pembentukan Angkatan Siber ini <a href="https://www.metrotvnews.com/read/K5nC46lQ-rencana-pembentukan-angkatan-siber-disebut-butuh-perencanaan-matang">perlu ditinjau</a> secara komprehensif. Jangan sampai pada akhirnya Matra ini akan jadi represif terhadap publik.</p>
<p>Maraknya penyebaran hoaks, misalnya, telah membuat <a href="https://www.kominfo.go.id/content/detail/8714/cegah-radikalisme-polisi-terus-jalankan-cyber-patrol/0/sorotan_media">patroli siber Polri</a> menjadi sangat agresif dalam menegakkan <a href="https://jurnalprodi.idu.ac.id/index.php/PA/article/view/268/0">keamanan siber</a>.</p>
<p>Agresivitas ini justru lambat laun menjadi <a href="https://bantuanhukum.or.id/reformasi-dikorupsi-demokrasi-direpresi/">mengkhawatirkan</a>, karena batasan antara kriteria ancaman siber dengan kebebasan berpendapat jadi memudar. <a href="https://lontar.ui.ac.id/detail?id=20506698&lokasi=lokal">Jika salah langkah</a>, penegakkan keamanan siber dapat melewati batas dan justru <a href="https://news.detik.com/berita/d-5792741/peneliti-ungkap-fenomena-cyber-troops-dan-ancaman-bagi-demokrasi-indonesia">mengancam demokrasi</a>.</p>
<h2>Antara pertahanan dan keamanan</h2>
<p>Para pegiat demokrasi khawatir pembentukan matra baru ini akan mengancam ruang kebebasan berpendapat. Kekhawatiran terjadi salah satunya karena adanya zona abu-abu antara <a href="https://nasional.kompas.com/read/2021/07/14/08565011/pertahanan-keamanan-kenapa-pertahanan-dulu-baru-keamanan">dimensi pertahanan dan dimensi keamanan di Indonesia</a>.</p>
<p>Setidaknya ada beberapa dua hal yang harus dipertimbangkan dalam pembentukan Angkatan Siber ini.</p>
<p>Pertama, Matra ini sebaiknya dibentuk dengan melebur komponen-komponen pertahanan siber yang telah ada. Diperlukan “kerelaan hati” dari Kementerian Pertahanan dan <a href="https://www.bssn.go.id/">BSSN</a>, misalnya, untuk meleburkan unit siber mereka. Sebab, jika semua komponen tidak disatukan, akan terus terjadi tumpang tindih kewenangan dan tugas.</p>
<p>Kedua, Angkatan Siber harus dipisahkan dari fungsi keamanan. Dengan kata lain, kewenangan <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220915182803-12-848450/polri-rancang-direktorat-tindak-pidana-siber-di-tiap-polda">Direktorat Tindak Pidana Siber</a> di bawah reserse Kriminal Polri tidak boleh diotak-atik oleh keberadaan matra baru ini. </p>
<p>Memang, tampaknya akan akan ada perdebatan perihal bagaimana Angkatan Siber ini diperbantukan ke Polri. Ini karena Indonesia juga punya jargon “<a href="https://majalah.tni.mil.id/newspaper/128/sinergitas-tni-polri.html">Sinergitas TNI-Polri</a>”, yaitu implementasi tugas perbantuan TNI terhadap Polri yang diatur dalam <a href="https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/v2/lt4ffe8d256bf00/ketetapan-mpr-nomor-vi-mpr-2000-tahun-2000">Tap MPR No. VI/MPR/2000 Tahun 2000</a> tentang pemisahan TNI dan Polri.</p>
<p>Namun, bagaimana pun juga, pemisahan fungsi pertahanan dan keamanan ini harus dipertegas. Jangan sampai matra baru ini ikut memperkeruh gesekan antara sipil dan militer.</p>
<p>Mengingat Indonesia hingga saat ini saja belum tegas mengatur penindakan terhadap anggota TNI yang melanggar prinsip-prinsip pidana sipil, jangan sampai operasi keamanan yang diembankan ke Angkatan Siber ini kelak menjadi imun dan mutlak, bahkan mampu merepresi ruang demokrasi masyarakat.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/perlukah-tni-ikut-menjaga-pertandingan-sepak-bola-konser-musik-dan-kegiatan-sipil-lainnya-bagi-negara-demokrasi-ini-tidak-lazim-210792">Perlukah TNI ikut menjaga pertandingan sepak bola, konser musik dan kegiatan sipil lainnya? Bagi negara demokrasi, ini tidak lazim</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Untuk pertahanan, bukan keamanan</h2>
<p>Kita bisa belajar dari <a href="https://www.mindef.gov.sg/oms/dis/">Digital and Intelligence Service (DIS)</a>, Angkatan Siber Singapura yang baru saja <a href="https://www.mindef.gov.sg/web/portal/mindef/news-and-events/latest-releases/article-detail/2022/October/28oct22_nr2">dibentuk pada Maret tahun lalu</a>.</p>
<p>Hal yang perlu digaris bawahi adalah DIS didesain efektif untuk <a href="https://www.datacenterknowledge.com/security/singapore-build-cyber-military-force-ukraine-war-rages">memperkuat fungsi militer dan pertahanan siber nasional</a>, bukan sebagai penanganan keamanan.</p>
<p><a href="https://www.icrc.org/en/war-and-law/conduct-hostilities/cyber-warfare">Operasi siber</a> memang sudah banyak berlaku di negara-negara lain, tetapi regulasinya telah diatur sedemikian rupa agar tidak menyerang ranah-ranah sipil. </p>
<p>Jika Indonesia masih berdebat melibatkan Angkatan Siber untuk fungsi keamanan sipil, jelas potensi utama matra baru ini untuk menjaga pertahanan nasional akan terabaikan.</p>
<p>Tujuan utama matra Angkatan Siber harus sepenuhnya diproyeksi sebagai alat pertahanan. Oleh karena itu, formulasinya harus melalui perencanaan dan kajian yang matang.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/212804/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Rahadian Diffaul Barraq Suwartono tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Pembentukan Angkatan Siber bukan ide yang buruk, tetapi pembentukannya harus penuh pertimbangan, jangan sampai menjadi alat untuk membungkam publik.Rahadian Diffaul Barraq Suwartono, Pengajar di Departemen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia (UII) YogyakartaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1879772022-08-16T18:01:38Z2022-08-16T18:01:38ZTNI dan Polisi mengajar murid di sekolah-sekolah Papua: efektif atau menumbuhkan trauma?<p><em>Artikel ini kami terbitkan dalam rangka menyambut Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang jatuh pada 17 Agustus</em>.</p>
<hr>
<p>Kasus <a href="https://regional.kompas.com/read/2021/04/10/053800978/2-guru-tewas-ditembak-3-sekolah-dibakar-dan-1-kepsek-sempat-diculik-kkb-ini?page=all">kematian guru dan juga pembakaran sekolah</a> selama beberapa tahun terakhir di Papua akibat serangan kelompok bersenjata menyebabkan <a href="https://www.metrotvnews.com/play/bmRCy7BA-trauma-serangan-kkb-guru-warga-kiwirok-minta-dievakuasi-ke-jayapura">trauma di antara para guru</a>.</p>
<p>Trauma ini bahkan menyebabkan banyak guru tersebut <a href="https://www.beritasatu.com/nasional/919323/tak-ada-guru-belasan-ribu-anak-di-intan-jaya-terancam-putus-sekolah">enggan berangkat mengajar</a>. Banyak murid di Papua pun menjadi terancam putus sekolah.</p>
<p>Untuk mengatasinya, pemerintah menerjunkan <a href="https://www.bbc.com/indonesia/articles/cw0pg56gn8ro">Tentara Nasional Indonesia (TNI)</a> dan juga <a href="https://www.suara.com/news/2022/01/18/183911/operasi-damai-cartenz-tni-polri-beri-pelatihan-bertani-hingga-belajar-mengajar-di-papua">Kepolisian Republik Indonesia (POLRI)</a> ke sekolah-sekolah untuk mengajar murid dengan mengenakan <a href="https://www.kompas.tv/article/287379/sejumlah-polisi-jadi-guru-dadakan-untuk-anak-anak-di-papua">atribut seragam lengkap dan topi adat</a>. Mereka juga <a href="https://e-kompas.id/viral-senangnya-anak-anak-di-papua-ke-sekolah-naik-truk-polisi-e-kompas-id-nasional/">menjemput anak-anak ke sekolah</a> dengan kendaraan patroli.</p>
<p>Ada yang setuju dan <a href="https://portalnawacita.com/satgas-yonif-126-kc-perkuat-tenaga-pendidik-di-perbatasan-papua/">mengapresiasi kehadiran aparat keamanan</a> di sektor pendidikan, mengingat sulitnya medan di dataran tinggi Papua dan juga rawannya konflik antara kelompok bersenjata.</p>
<p>Namun ada juga yang tidak setuju. Ketidaksetujuan tersebut, misalnya, terlihat dengan kedatangan orang tua ke sekolah yang <a href="https://regional.kompas.com/read/2021/02/20/12591901/polisi-jadi-guru-dadakan-turun-ke-kampung-mengajar-anak-anak-di-papua?page=all">menolak anaknya diajar oleh polisi</a>. Ada juga demo penolakan karena tidak sesuai dengan pendekatan <a href="https://jubi.co.id/disdik-diminta-setop-libatkan-tni-menjadi-guru/">pengajaran yang diterapkan kurikulum pendidikan Indonesia</a>, maupun kritik bahwa kehadiran aparat keamanan di sekolah akan <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220120203752-12-749326/sekolah-diduduki-polisi-pelajar-di-yahukimo-papua-gelar-demo">mengganggu aktivitas belajar mengajar</a>.</p>
<p>Pihak gereja pun <a href="https://www.suara.com/news/2021/04/21/144834/gereja-minta-komisi-ham-pbb-investigasi-soal-tni-jadi-guru-di-sekolah-papua">menyatakan ketidaksetujuan</a> karena dianggap dapat memicu rasa trauma pada anak-anak.</p>
<p>Tepatkah kehadiran TNI dan POLRI dalam sektor pendidikan?</p>
<h2>‘Fobia loreng’ dan trauma pada anak-anak</h2>
<p>Di Papua, ada stereotip yang melekat pada aparat keamanan. Peneliti antropologi Sophie Chao menyebutnya sebagai ‘<a href="https://www.researchgate.net/publication/301622391_From_'Stone_Age'_to_'Real-Time'_Exploring_Papuan_Temporalities_Mobilities_and_Religiosities_S_Martin_and_J_MunroCanberra_Australian_National_University_Press_2015_xiii_270_pp_ISBN_9781925022421_Print_">fobia loreng</a>’. </p>
<p>Fobia ini merujuk pada ketakutan di kalangan orang Papua ketika melihat aparat keamanan, khususnya TNI yang berseragam loreng. Ini terbentuk karena anggapan orang-orang Papua bahwa <a href="https://www.researchgate.net/publication/301622391_From_'Stone_Age'_to_'Real-Time'_Exploring_Papuan_Temporalities_Mobilities_and_Religiosities_S_Martin_and_J_MunroCanberra_Australian_National_University_Press_2015_xiii_270_pp_ISBN_9781925022421_Print_">aparat keamanan identik dengan kebrutalan dan kekerasan</a>.</p>
<p>Selama ini, misalnya, aparat keamanan <a href="https://theconversation.com/cara-hentikan-konflik-di-papua-stop-kekerasan-122144">diduga kerap melakukan tindakan kekerasan</a> terhadap siapapun yang <a href="https://theconversation.com/memahami-akar-masalah-papua-dan-penyelesaiannya-jangan-gegabah-87785">dianggap 'makar’</a> terhadap negara <a href="https://www.researchgate.net/publication/301622391_From_'Stone_Age'_to_'Real-Time'_Exploring_Papuan_Temporalities_Mobilities_and_Religiosities_S_Martin_and_J_MunroCanberra_Australian_National_University_Press_2015_xiii_270_pp_ISBN_9781925022421_Print_">tanpa melalui proses pembuktian</a>. Kekerasan ini kerap menuai korban orang asli Papua yang seringkali adalah petani dan penduduk dataran tinggi.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/cara-hentikan-konflik-di-papua-stop-kekerasan-122144">Cara hentikan konflik di Papua: Stop kekerasan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>TNI pun telah mengeluarkan program <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190131203800-20-365559/tni-gelar-operasi-psikologi-di-papua-cegah-fobia-loreng">‘operasi psikologi’ dan ‘operasi teritorial’</a> untuk meredam fobia loreng ini dengan melakukan <a href="https://indonesiabangsaku.com/hadapi-kkb-tni-semua-kita-turuti-asal-jangan-minta-merdeka/">pendekatan psikologis dan membuka komunikasi terbuka</a> dengan masyarakat Papua, serta lebih mendengarkan aspirasi mereka – selama tidak menyerukan kemerdekaan dari Indonesia. Namun, hinga kini penulis belum menemukan penelitian tentang efektivitas program ini. </p>
<p>Saya memperkirakan bahwa fobia loreng ini pun <a href="https://jubi.co.id/mereka-trauma-dan-takut-melihat-tentara-datang-ke-sekolah-mereka/">diwariskan pada anak-anak</a> di Papua.</p>
<p>Menurut penelitian tahun 2016 di Amerika Serikat (AS), semenjak usia 5 tahun, <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00221546.2004.11772266">anak-anak itu sudah menyerap stereotip negatif</a> yang melekat pada kelompok lain. Besar kemungkinan, anak-anak di Papua pun akan menginternalisasi ‘fobia loreng’ dari keluarga atau orang-orang sekitar yang pernah menyaksikan atau menjadi korban. </p>
<p>Padahal, teori bioekologis dalam perkembangan manusia yang dikemukakan oleh <a href="https://www.childhelp.org/wp-content/uploads/2015/07/Bronfenbrenner-U.-and-P.-Morris-2006-The-Bioecological-Model-of-Human-Development.pdf">peneliti psikologi Urie Bronfenbrenner dan Pamela Moris</a> menjelaskan bahwa kondisi lingkungan yang rawan konflik menyebabkan trauma pada anak-anak. Ini juga berakibat pada disfungsi perkembangan mereka.</p>
<p><a href="https://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ1230675.pdf">Sebuah kajian pada tahun 2015</a> juga menyebutkan bahwa trauma berdampak negatif pada perilaku dan pembelajaran siswa.</p>
<p><a href="http://www.cpcnetwork.org/wp-content/uploads/2017/03/Alexander-Boothby-Wessells-Education-and-Protection-of-Children-and-Youth.pdf">Dampak psikososial</a> yang muncul akibat kehilangan sanak saudara maupun kerusakan akibat konflik bersenjata bisa berakibat pada gangguan emosi, perilaku, dan memori anak.</p>
<h2>Memberikan rasa aman pada murid di Papua</h2>
<p>Patut disayangkan bahwa sektor pendidikan menjadi korban dalam konflik di Papua. Sekolah terbakar, guru trauma, dan murid-murid pun takut.</p>
<p>Apabila infrastruktur pendidikan aman, kesejahteraan guru terjamin, dan anak-anak bebas dari rasa takut, maka generasi muda di Papua pun akan lebih <a href="https://www.washingtoninstitute.org/policy-analysis/how-yemens-deteriorating-education-sector-may-prolong-conflict">terlibat dalam pembangunan sumber daya manusia</a>. Hal ini juga dapat menjauhkan mereka dari kemungkinan bergabung dalam kelompok bersenjata.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/riset-negara-masih-absen-dalam-pendidikan-di-papua-dari-ketimpangan-guru-hingga-salah-manajemen-beasiswa-175062">Riset: negara masih absen dalam pendidikan di Papua, dari ketimpangan guru hingga salah manajemen beasiswa</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Strategi menerjunkan TNI dan POLRI untuk mengajar anak di Papua ini, menurut saya, layaknya menutupi luka yang telah bernanah dengan plester. Luka itu mungkin bisa tertutup, tetapi tidak benar-benar sembuh. Kita perlu membersihkan luka itu sampai ke akarnya agar benar-benar sembuh.</p>
<p>Oleh karena itu, penting sekali bagi <a href="http://www.cpcnetwork.org/wp-content/uploads/2017/03/Alexander-Boothby-Wessells-Education-and-Protection-of-Children-and-Youth.pdf">anak-anak untuk memperoleh rasa aman</a> di dalam sekolah dengan guru-guru yang sudah terlatih untuk mendukung perkembangan anak. Pendidikan harus bersifat netral, tidak mengisi ruang untuk ketegangan konflik.</p>
<p>Menurut saya, pendekatan yang lebih tepat adalah menyediakan guru yang telah mendapatkan <a href="https://www.creducation.net/resources/Training_Teachers_in_Armed_Conflict_Intervention_Supplement.pdf">pelatihan khusus untuk zona rawan konflik</a>. Hal ini akan membantu siswa mengatasi rasa trauma. </p>
<p>Selain itu, Papua juga memerlukan ruang dialog yang inklusif untuk mengakhiri konflik yang berkepanjangan. Dunia pendidikan Indonesia – dan pada akhirnya anak-anak kita – tidak boleh lagi menjadi korban.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/187977/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Uning Musthofiyah tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Di tengah konflik berkepanjangan di Papua, tepatkah keputusan pemerintah menerjunkan TNI dan POLRI untuk mengajar di sekolah-sekolah?Uning Musthofiyah, PhD Researcher, Te Herenga Waka — Victoria University of WellingtonLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1744032022-02-22T03:21:01Z2022-02-22T03:21:01ZMempersoalkan sekuritisasi yang berlebihan dalam pengendalian pandemi COVID-19 di Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/447495/original/file-20220221-17-14vgh4r.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Polisi dan tentara mensosialisasikan vaksinasi COVID-19 pada pelajar di SD Negeri Krincing, Secang, Magelang, Jawa Tengah, 4 Januari 2022.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1641285321">ANTARA FOTO/Anis Efizudin/wsj.</a></span></figcaption></figure><p>Meski Indonesia tengah menghadapi <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220201162952-20-753758/indonesia-resmi-masuk-gelombang-ketiga-covid-19">gelombang ketiga COVID-19</a> akibat varian Omicron, kebijakan penanganan pandemi belum berubah dalam dua tahun terakhir. Salah satu kebijakan yang kontroversial adalah pelibatan lembaga dan aparat militer, kepolisian, dan Badan Intelijen Negara (BIN) dalam pengendalian pandemi.</p>
<p>Riset <a href="https://laporcovid19.org/post/understanding-the-covid-19-pandemic-response-in-indonesia-through-its-domestic-policies">kami menunjukkan</a> hingga kini, sedikitnya ada 16 peraturan darurat yang diterbitkan oleh presiden, menteri, dan Satuan Tugas Penanganan COVID-19 yang menugaskan personel Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian, dan BIN pada posisi pengambil kebijakan tingkat tinggi terkait pengendalian COVID-19. Perwakilan TNI Angkatan Darat dan Kepolisian juga menjadi Wakil Ketua Tim Pelaksana Gugus Tugas COVID-19. </p>
<p>Sementara, Kementerian Kesehatan yang juga bagian dari Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) hanya berperan sebagai <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/151066/perpres-no-108-tahun-2020">“pendukung bagi tim pelaksana”</a>.</p>
<p>Pelibatan institusi keamanan yang berlebihan berisiko melemahkan pendekatan kesehatan masyarakat dan sains yang seharusnya menjadi landasan dasar dalam penanganan krisis kesehatan.</p>
<h2>Tiga alasan sekuritisasi pandemi berbahaya</h2>
<p><a href="https://asiacentre.org/the-securitisation-of-covid-19-health-protocols-policing-the-vulnerable-infringing-their-rights/">Sekuritisasi pandemi</a> merupakan pendekatan pengendalian pandemi yang menitikberatkan pada peran lembaga keamanan seperti kepolisian, militer, dan badan intelijen. </p>
<p>Lembaga keamanan sebenarnya lumrah diturunkan di lapangan untuk mendukung operasional dan memobilisasi penanganan pandemi. Sekuritisasi biasanya dianggap berlebihan jika elit lembaga keamanan sudah berperan dalam pengambilan keputusan terkait krisis kesehatan masyarakat. </p>
<p>Implikasinya, krisis kesehatan diperlakukan sebagai ancaman keamanan yang kemudian diselesaikan dengan tindakan represif. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/447496/original/file-20220221-13-1a2ajxv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/447496/original/file-20220221-13-1a2ajxv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/447496/original/file-20220221-13-1a2ajxv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/447496/original/file-20220221-13-1a2ajxv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/447496/original/file-20220221-13-1a2ajxv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/447496/original/file-20220221-13-1a2ajxv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/447496/original/file-20220221-13-1a2ajxv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Polisi memeriksa kartu vaksinasi COVID-19 pengendara sepeda motor yang melintas di jalan poros Desa Baliase, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, 15 Januari 2022. Petugas memberikan vaksinasi di tempat tersebut jika ada warga yang ditemukan belum divaksin atau vaksinasinya belum lengkap.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1642231510">ANTARA FOTO/Basri Marzuki/nym</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Setidaknya ada tiga alasan mengapa sekuritisasi pandemi yang berlebihan bisa melemahkan penanganan pandemi di Indonesia. </p>
<p><em>Pertama</em>, pelibatan aparat TNI dan Polri dalam Satuan Gugus Tugas COVID-19 melemahkan peran otoritas kesehatan. Dalam <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/134544/keppres-no-7-tahun-2020">Keputusan Presiden No. 7 Tahun 2020</a>, perwakilan dari kedua lembaga tersebut menjadi Wakil Ketua Pelaksana I dan II, termasuk ketua pelaksana yang saat itu masih menjadi anggota militer aktif. Struktur tersebut kemudian diubah melalui <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/134757/keppres-no-9-tahun-2020">Keputusan Presiden No. 9/2020</a> yang juga “sama-sama” didominasi oleh perwakilan lembaga keamanan. Dari enam unsur pimpinan pelaksana Satgas COVID-19, empat di antaranya merupakan anggota lembaga keamanan aktif. </p>
<p>Artinya, posisi itu tidak hanya sebatas untuk koordinasi, tapi juga perancangan dan penetapan kebijakan terkait penanganan pandemi. Hal ini berpotensi melemahkan peran otoritas kesehatan yang seharusnya menjadi pemegang kendali. </p>
<p>Meski penanganan COVID-19 sudah dialihkan kepada Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), pendekatan sekuritisasi masih kerap diandalkan dalam penanganan pandemi secara keseluruhan.</p>
<p>Saat posisi perwakilan TNI dan Polri begitu kuat di Tim Pelaksana Gugus Tugas COVID-19, Kementerian Kesehatan hanya berperan sebagai <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/151066/perpres-no-108-tahun-2020">pendukung tim pelaksana</a>. Padahal, <a href="http://www.bphn.go.id/data/documents/84uu004.pdf">Undang-Undang No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular</a> mengamanatkan bahwa pemegang kendali pada setiap kejadian luar biasa penyakit menular, termasuk pandemi COVID-19 adalah Menteri Kesehatan.</p>
<p><em>Kedua</em>, pendekatan sekuritisasi yang berlebihan menghasilkan berbagai kebijakan kesehatan yang tidak efektif dalam penanganan COVID-19. </p>
<p>Umumnya, negara menempatkan otoritas kesehatan sebagai pemimpin sektor dalam merespons krisis kesehatan. Aparat keamanan dapat berperan sesuai kompetensinya untuk mendukung penanggulangan krisis. </p>
<p>Sedangkan di Indonesia, pemerintah justru memberikan ruang yang berlebihan pada aparat di sektor keamanan. </p>
<p>Pemberian ruang yang berlebihan tidak menjadikan pandemi cepat terselesaikan. Bahkan, beberapa di antaranya cenderung gagal atau tidak cukup efektif dalam penanganan pandemi.</p>
<p>Misalnya, <a href="https://fpk.unair.ac.id/unair-temukan-kombinasi-obat-covid-19-pertama-di-dunia/">inisiasi Badan Intelijen Negara (BIN) dan TNI AD untuk mengembangkan obat COVID</a> bersama <a href="https://theconversation.com/7-persoalan-serius-dalam-uji-klinik-calon-obat-covid-19-dari-riset-unair-bin-dan-tni-ad-145064">Universitas Airlangga</a>. Padahal, kedua lembaga keamanan tersebut tak bergerak di sektor farmasi dan kedokteran klinis. BIN juga diberi kewenangan dalam pengadaan dan penyediaan testing dengan <a href="https://nasional.tempo.co/read/1390648/hasil-tes-swab-dari-badan-intelijen-negara-diduga-tidak-akurat/full&view=ok">Mobile Lab PCR yang diduga tidak cukup akurat</a>.</p>
<p>Upaya pemeriksaan dan penelusuran kontak erat yang melibatkan Bintara Pembina Desa (Babinsa) dan Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) juga bermasalah, karena mekanisme akuntabilitasnya kerap tidak jelas. Mereka juga tidak memiliki keahlian dalam tugas penelusuran kontak erat seperti tenaga kesehatan, sehingga <a href="https://kec-banyuurip.purworejokab.go.id/babinsa-dan-bhabinkamtibmas-banyuurip-menerima-pelatihan-tracer-covid19">perlu dilatih terlebih</a> dulu oleh tenaga kesehatan yang ahli dalam surveilans. </p>
<p>Di samping itu, beberapa anggota TNI dan Polri yang terlibat pengendalian COVID juga melakukan kekerasan. Mereka kerap <a href="https://tirto.id/jangan-asal-melibatkan-tni-polri-untuk-tracing-kasus-covid-19-f9Zm">menjemput paksa pedagang</a> untuk diperiksa, tanpa mempertimbangkan situasi keramaian di pasar.</p>
<p>Pendekatan sekuritisasi lainnya juga dapat dilihat dari penyelenggaraan percepatan vaksinasi massal oleh TNI dan Polri. Presiden Joko Widodo sendiri yang <a href="https://ekon.go.id/publikasi/detail/3317/pemerintah-dorong-vaksinasi-dan-digitalisasi-bagi-pedagang-pasar">menginstruksikan agar TNI dan Polri</a> mendistribusikan vaksin masing-masing 25% sehingga total keduanya 50% dari total alokasi vaksin. Separuh alokasi lainnya didistribusikan melalui Dinas Kesehatan. </p>
<p>Alih-alih ikut mempercepat vaksinasi, kebijakan ini justru menimbulkan persoalan lain terutama dalam proses distribusi vaksin ke daerah.</p>
<p>Misalnya, pada Juli 2021, stok vaksin di Kota Semarang menipis. Sejumlah layanan vaksinasi yang sebelumnya dibuka terpaksa ditutup. Sementara alokasi vaksin dari pemerintah pusat di daerah tersebut hanya sekitar 500.000 dosis per pekan, <a href="https://www.solopos.com/stok-vaksin-menipis-pemkot-semarang-kurangi-pelayanan-vaksinasi-covid-19-1142041#">60-65% di antaranya merupakan jatah TNI-Polri</a>. </p>
<p>Begitu juga dengan stok vaksin di Kota Sukabumi yang sempat habis, sehingga <a href="https://radarsukabumi.com/kota-sukabumi/pemerintah-kota-sukabumi/stok-vaksin-habis-pemkot-sukabumi-kolaborasi-dengan-tni-polri/">perlu mendapat pasokan vaksin dari TNI dan Polri</a>. </p>
<p>Habisnya stok vaksin di sejumlah fasilitas kesehatan yang dekat dengan warga justru mempersulit akses masyarakat terhadap vaksin, apalagi jika <a href="https://nasional.tempo.co/read/1476021/polri-tni-gelar-vaksinasi-covid-19-massal-di-2-100-titik-di-indonesia">vaksin TNI-Polri hanya</a> tersedia di titik-titik tertentu. </p>
<p><em>Ketiga</em>, pelibatan aparat keamanan identik dengan tindakan represif dan menyesakkan ruang sipil. Mereka mempraktikan hukuman fisik dan mengkerdilkan ruang kebebasan sipil.</p>
<p>Praktik pengerahan kekuatan militer dalam penanganan pandemi dilakukan hampir seluruh negara. Namun, pengerahan ini semata-mata untuk melindungi kesehatan masyarakat dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip hak asasi manusia. </p>
<p><a href="https://www.ohchr.org/Documents/Events/EmergencyMeasures_Covid19.pdf">Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia</a> mensyaratkan, jika negara mengerahkan militer dalam konteks penegakan hukum, maka perlu adanya batasan waktu yang jelas dan terukur. Selain itu, pengerahan militer tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang dan tetap berada di bawah tanggung jawab otoritas sipil. </p>
<p>Dalam penegakan protokol kesehatan misalnya, pemerintah kerap mengandalkan <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/05/26/09381311/jokowi-kerahkan-personel-tni-polri-agar-masyarakat-disiplin-selama-psbb">personel keamanan</a> untuk “mendisiplinkan” masyarakat. Sayangnya, proses pendisiplinan masyarakat terhadap protokol kesehatan di lapangan justru diwarnai aksi tindakan represif hingga pemberian hukuman fisik. </p>
<p>Sebagai contoh, <a href="https://tirto.id/jangan-asal-melibatkan-tni-polri-untuk-tracing-kasus-covid-19-f9Zm">pembubaran massa menggunakan <em>water cannon</em> di Papua pada Mei 2020</a> saat pemeriksaan <a href="https://jubi.co.id/korban-water-cannon-papua-dikebumikan-di-tanah-hitam/"><em>rapid test</em> COVID</a>.</p>
<p>Selain itu, warga yang melanggar protokol kesehatan juga dihukum psikis dengan memaksa mereka untuk <a href="https://megapolitan.kompas.com/read/2020/09/05/18050231/sanksi-masuk-ke-peti-mati-bagi-pelanggar-protokol-kesehatan-dinilai">tidur di dalam peti mati</a> untuk merasakan ‘seramnya’ meninggal akibat COVID-19. </p>
<p>Catatan kami menunjukkan, penerapan hukuman fisik tidak menjadikan masyarakat taat dengan ketentuan protokol kesehatan. <a href="https://www.idntimes.com/news/indonesia/santi-dewi/pelibatan-militer-dinilai-tak-jamin-penanganan-covid-19-lebih-efektif">LaporCovid-19 mencatat setidaknya 1.096 pelanggaran</a> protokol kesehatan selama periode Juli 2020-April 2021. Sementara, masyarakat masih kurang memahami seberapa rentan mereka terinfeksi COVID-19, seberapa parah penyakit ini, apa manfaat pencegahan, dan kurangnya petunjuk untuk bertindak. </p>
<p>Hukuman fisik hanya menjadikan masyarakat khawatir terhadap petugas, bukan kepada virus.</p>
<h2>Akhiri sekuritisasi berlebihan</h2>
<p>Pendekatan sekuritisasi yang berlebihan bukan kebijakan yang efektif, malah menghambat penanganan pandemi secara keseluruhan. Selain karena aparat keamanan tidak memiliki keahlian dalam kesehatan masyarakat, mereka juga kerap mengandalkan tindakan yang cenderung represif. </p>
<p>Otoritas kesehatan semestinya memegang kendali penuh terhadap penanganan krisis kesehatan, sementara aparat keamanan dapat dipergunakan sesuai dengan kapasitasnya.</p>
<p>Kondisi ini memungkinkan agar setiap kebijakan yang diambil berlandaskan pada keilmuan dan prinsip-prinsip kesehatan masyarakat.</p>
<hr>
<p><em>Amanda Tan, Mahasiswa Pascasarjana Monash University di Indonesia dan Program Officer LaporCovid-19; dan Firdaus Ferdiansyah, Mahasiswa Diploma 4 Keselamatan dan Kesehatan Kerja Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Koordinator Advokasi LaporCovid-19 berkontribusi dalam riset dan penulisan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/174403/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Irma Hidayana tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Otoritas kesehatan semestinya memegang kendali penuh terhadap penanganan krisis kesehatan, sementara aparat keamanan dapat dipergunakan sesuai dengan kapasitasnya.Irma Hidayana, Lecturer in Public Health, St. Lawrence UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/867692017-11-27T09:25:09Z2017-11-27T09:25:09ZKampanye antikekerasan: perempuan menanggung mitos selaput dara dan tes keperawanan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/194992/original/file-20171116-7987-11t7csd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Keperawanan tidak relevan dengan apakah seorang petugas dapat melakukan tugas kepolisian atau tidak.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/close-flower-petals-210993271?src=dDI-MPR9z1SWqML9-Ayi8A-1-49">Andrii Muzyka/Shutterstock.com</a></span></figcaption></figure><p>Kampanye 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan, 25 November sampai 10 Desember setiap tahun, menjadi momentum yang tepat untuk menyoroti bahwa pelaku <a href="https://www.komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/Modul%20dan%20Pedoman/Kekerasan%20Seksual/15%20BTK%20KEKERASAN%20SEKSUAL.pdf">kekerasan seksual</a> terhadap perempuan tidak hanya individual dan orang-orang dekat. Kekerasan seksual juga dilakukan oleh aparat lembaga negara atas nama moralitas yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tes keperawanan untuk seleksi polisi dan prajurit perempuan di Indonesia harus segera dihapus.</p>
<p>Pada 2014, <a href="https://www.voaindonesia.com/a/hrw-desak-indonesia-hentikan-tes-keperawanan-untuk-calon-polwan/2525757.html">Human Rights Watch merilis hasil riset tentang tes keperawanan</a> untuk calon anggota perempuan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Setahun berikutnya, lembaga ini merilis bahwa praktik serupa juga terjadi dalam rekrutmen <a href="https://international.sindonews.com/read/1032916/40/hrw-soroti-panglima-tni-jenderal-gatot-soal-tes-keperawanan-1439520814">prajurit perempuan Tentara Nasional Indonesia</a>. </p>
<p>Kala itu publik Indonesia mengecam keras Polri atas praktik “tes keperawanan” terhadap pelamar perempuan dalam proses perekrutan polisi. Cerita miris tes keperawanan juga diungkap dalam proses rekrutmen <a href="https://nasional.tempo.co/read/666260/cerita-miris-prajurit-wanita-tni-saat-tes-keperawanan">prajurit perempuan di Tentara Nasional Indonesia</a>, tapi sampai kini <a href="https://www.voaindonesia.com/a/hrw-minta-tes-keperawanan-di-militer-dan-kepolisian-dihentikan/4129701.html">sistem tersebut belum berubah</a>. </p>
<hr>
<p><em><strong>Baca juga</strong>: <a href="https://theconversation.com/pengabdi-setan-dan-kisah-hantu-perempuan-simbol-adanya-kekerasan-terhadap-perempuan-85417">‘Pengabdi Setan’ dan kisah hantu perempuan: simbol adanya kekerasan terhadap perempuan</a></em></p>
<hr>
<p>Banyak yang mengangkat soal ketidakadilan praktik tersebut. Mereka berpendapat bahwa tes itu bersifat seksis, menyakitkan, dan menciptakan trauma. Mereka juga mengingatkan bahwa keperawanan tidak relevan dengan apakah seorang petugas dapat melakukan tugas kepolisian atau tidak.</p>
<p>Namun sedikit yang mempertanyakan aspek yang paling meragukan dari praktik mengerikan ini: validitas tes itu sendiri.</p>
<h2>Masalah global</h2>
<p>Tes keperawanan tidak hanya terjadi di Indonesia. Di banyak negara perempuan kerap diwajibkan untuk menjalani pemeriksaan meski pun alasannya sering kali tidak ada hubungannya dengan kepentingan perempuan tersebut. <a href="https://www.hrw.org/news/2001/07/24/turkey-virginity-tests-reinstated">Turki</a>, <a href="https://www.theguardian.com/world/2011/may/31/egypt-online-protest-virginity-tests">Mesir</a>, <a href="https://www.moroccoworldnews.com/2014/12/146074/morocco-forced-to-virginity-check-teenage-girl-threatens-to-commit-suicide">Maroko</a>, dan <a href="https://www.pri.org/stories/2012-07-03/iraqi-women-forced-undergo-virginity-testing">Irak,</a> adalah sebagian nama-nama negara yang juga melakukan pengujian keperawanan yang kontroversial.</p>
<p>Dalam satu kasus di Turki pada awal 1990-an, <a href="https://www.hrw.org/reports/1994/turkey/">seorang siswi bunuh diri</a> setelah menjalani tes keperawanan yang diinstruksikan oleh kepala sekolahnya.</p>
<h2>Prosedur uji</h2>
<p>Cara tes yang dilakukan bisa bervariasi dari satu tempat ke tempat lainnya. Kita sekarang mengenal istilah “<a href="http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/05/150514_tes_keperawanan_tni"><em>two fingers test</em>” yang dilakukan oleh Polri</a>. Di beberapa tempat di Irak, pemeriksaan bersifat visual. Seorang perempuan dianggap perawan saat tidak ada tanda “robek” pada selaput daranya.</p>
<p>Di satu desa di Maroko, tes ini agak lebih imajinatif. Pengantin harus menjalani “tes telur”. Pengantin perempuan berbaring telentang dengan kaki terbentang. Pemeriksa, biasanya perempuan yang lebih tua, kemudian akan memecahkan sebutir telur yang terbuka ke vaginanya. Jika telur menyelinap ke dalamnya, dia akan dianggap tidak lagi perawan.</p>
<p>Apa pun metodenya, ada dua aspek yang sering digunakan untuk menentukan keperawanan perempuan: selaput dara ‘masih utuh’ dan lubang vagina yang kencang. Keduanya masih banyak dipercaya menandakan keperawanan pada perempuan. Tidak ada dasar yang dapat diandalkan untuk kesimpulan semacam itu.</p>
<h2>Mitos selaput dara</h2>
<p>Mari kita mulai dengan selaput dara. Selaput dara adalah membran di saluran vagina. Dokter masih belum sepakat mengenai fungsinya. Banyak yang percaya bahwa selaput itu sama sekali tidak berguna bagi tubuh perempuan.</p>
<p>Jika kegunaan selaput ini dianggap masih merupakan misteri, kondisi perawannya selaput merupakan salah satu mitos medis terbesar yang pernah ada. Banyak yang memperoleh kesan bahwa selaput dara perawan menyerupai salah satu dari dua hal berikut: selaput serupa balon yang menutupi lorong vagina atau menyerupai cincin dengan tepi yang halus.</p>
<figure class="align-left ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/66883/original/image-20141210-6039-usrsqb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/66883/original/image-20141210-6039-usrsqb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/66883/original/image-20141210-6039-usrsqb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/66883/original/image-20141210-6039-usrsqb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/66883/original/image-20141210-6039-usrsqb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/66883/original/image-20141210-6039-usrsqb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/66883/original/image-20141210-6039-usrsqb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Beberapa orang berpikir bahwa mengendarai sepeda bisa mengakibatkan robeknya selaput dara.</span>
<span class="attribution"><span class="source">My Good Images/Shutterstock</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Beberapa percaya bahwa setiap gangguan pada selaput dara bisa mengakibatkan robeknya organ itu. Makanya bukan hal yang aneh jika anak perempuan dinasihati untuk berhati-hati saat mengendarai sepeda atau perempuan muda disarankan agar tidak menggunakan <em>tampon</em> (sejenis pembalut berbentuk silinder kecil) karena takut bisa merusak selaput dara mereka.</p>
<p>Pada kenyataannya selaput dara lebih tepat bila dibandingkan dengan— menggunakan kata-kata dokter yang sering merekonstruksi selaput dara— kelopak bunga. Selaput memiliki takik, lipatan, dan celah, bahkan saat selaput tersebut masih ‘perawan’. Selaput dara sifatnya fleksibel dengan kepadatan yang berbeda, beberapa tipis namun beberapa yang lain cukup tebal.</p>
<p>Jika terjadi penetrasi, selaput dara mungkin mengalami luka. Namun, seringkali, selaput dara meregang dan tidak rusak.</p>
<p>Karena itulah tidak akurat untuk berpikir bahwa satu tindakan seksual akan selalu menghasilkan perubahan pada selaput dara. Ada banyak kasus yang menunjukkan bahwa perempuan yang memiliki selaput dara halus berbentuk cincin sebenarnya sudah aktif secara seksual selama bertahun-tahun.</p>
<p>Kebalikannya juga benar. Selaput dara perempuan perawan mungkin memiliki satu celah besar dan beberapa lekukan di sana-sini. Ini adalah jenis selaput dara yang banyak salah dipercayai untuk menandakan bahwa seorang perempuan telah mengalami penetrasi seksual.</p>
<hr>
<p><em><strong>Baca juga:</strong> <a href="https://theconversation.com/pelajaran-dasar-penanganan-kejahatan-seksual-dengarkan-korban-jangan-tanya-dulu-85997">Pelajaran dasar penanganan kejahatan seksual: dengarkan korban, jangan tanya dulu</a></em></p>
<hr>
<p>Inilah sebabnya mengapa seksolog, ginekolog, dan dokter umum sama-sama sering enggan ditanyai mengenai opini mereka apakah seorang perempuan perawan atau tidak berdasarkan kondisi selaput daranya. Para dokter di Belanda menggunakan kata-kata berikut saat menerima permintaan tersebut:</p>
<blockquote>
<p>Tidak ada indikasi untuk menunjukkan bahwa perempuan yang dimaksud tidak lagi perawan.</p>
</blockquote>
<p>Trauma pada selaput dara tidak mudah ditentukan. Sudah ada penelitian-penelitian yang menunjukkan bahwa ahli forensik kasus pelecehan seksual pada anak sekali pun seringkali tidak dapat membedakan tanda-tanda penganiayaan pada selaput dara anak perempuan. Hal ini terutama terjadi pada kasus ketika anak tersebut dibawa ke rumah sakit selang beberapa waktu setelah terjadinya penganiayaan.</p>
<h2>Asumsi yang salah</h2>
<p>Aspek kedua yang sering diperiksa adalah rapatnya vagina. Ada kepercayaan luas bahwa perempuan yang tidak tersentuh secara seksual memiliki lubang vagina yang rapat karena selaput dara utuh dan bahwa laki-laki dapat merasakan kerapatan tersebut saat berhubungan seksual.</p>
<p>Ini adalah asumsi yang keliru. Kerapatan vagina tidak disebabkan oleh selaput dara namun sebagai akibat dari otot dasar panggul yang terkontraksi. Semakin kuat kontraksi otot, semakin sempit saluran vagina.</p>
<p>Perlu dicatat bahwa ketika seorang perempuan merasa cemas, terutama bila berhubungan seks, dia secara otomatis mengencangkan otot dasar panggulnya. Banyak dokter menganggap hal ini adalah alasan mengapa perempuan perawan sering dirasa ‘sempit’ oleh pasangannya.</p>
<p>Bagi perempuan yang ingin ‘lebih sempit’, dokter di Belanda menyarankan mereka untuk berlatih mengerutkan otot panggul mereka. Ini mirip dengan menahannya saat kebelet ke toilet tapi Anda belum bisa pergi.</p>
<p>Tegangnya otot panggul adalah saran yang juga diresepkan oleh dokter kepada perempuan yang berharap dapat lulus menjalani “tes telur”. Dengan mengencangkan otot panggulnya, perempuan tersebut berhasil melampaui “tes telur” yang harus dia jalani. </p>
<h2>Lebih menyerupai fabel daripada fakta</h2>
<p>Setiap jenis tes keperawanan yang bergantung pada pengamatan selaput dara atau kerapatan vagina hasilnya tidak definitif dan seringkali sama sekali tidak benar. Keyakinan bahwa lebih mudah untuk melihat keperawanan seorang perempuan daripada seorang laki-laki lebih merupakan sebuah dongeng daripada fakta ilmiah. Sayangnya, ini adalah dongeng yang masih banyak dipercaya dan dipraktikkan untuk menekan para perempuan.</p>
<p>Tidak seorang pun, baik perempuan maupun laki-laki, boleh dipaksa untuk dicek keperawanannya, terlepas dari kesahihan ujiannya.</p>
<p>Perlu dipikirkan, jika alat uji keperawanan yang saat ini dipakai sangat tidak dapat diandalkan, mengapa ada orang yang tega dan berani memaksakan dilakukannya ujian yang hanya didasarkan pada kesalahpahaman? Termasuk oleh Polri dan <a href="http://nasional.kompas.com/read/2015/05/15/20005141/Panglima.TNI.Tes.Keperawanan.untuk.Kebaikan.Kenapa.Harus.Dikritik.">TNI</a> kepada calon anggota perempuan.</p>
<hr>
<p><em>Tulisan ini diterjemakan dan diperbarui dari</em> <a href="https://theconversation.com/women-suffer-the-myths-of-the-hymen-and-the-virginity-test-35324">Women suffer the myths of the hymen and the virginity test</a></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/86769/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Sherria Ayuandini menerima dana dari The Wenner-Gren Foundation, McDonnell International Scholars Academy, dan Universiteit van Amsterdam.</span></em></p>Tes keperawanan untuk calon polisi dan tentara perempuan bersifat seksis, menyakitkan, dan menciptakan trauma. Banyak yang menunjukkan ketidakadilan praktik tersebut.Sherria Ayuandini, Research affiliate, University of AmsterdamLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/877852017-11-22T10:54:15Z2017-11-22T10:54:15ZMemahami akar masalah Papua dan penyelesaiannya: jangan gegabah<p>Pada awal November, <a href="https://tirto.id/polisi-aparat-fokus-di-wilayah-penahanan-1000-warga-tembagapura-czRR">polisi melaporkan sebanyak 1.300-an warga “disandera”</a> oleh “Kelompok Kriminal Bersenjata” di desa-desa sekitar Tembagapura, Papua, wilayah tambang emas dan tembaga yang termasuk terbesar di dunia milik Freeport-McMoran, perusahaan tambang Amerika Serikat. </p>
<p><a href="https://tirto.id/klaim-tni-soal-039pembebasan039-warga-di-tembagapura-dan-bantahan-knpb-cAjl">Media kemudian memberitakan TNI dan Polri “membebaskan”</a> sekitar 300 warga non-Papua. Namun, Komite Nasional Papua Barat, sebuah kelompok politik lokal yang berkampanye untuk penentuan nasib sendiri (referendum) di Papua, mengatakan pemberitaan mengenai penyanderaan <a href="https://tirto.id/klaim-tni-soal-039pembebasan039-warga-di-tembagapura-dan-bantahan-knpb-cAjl">tidak benar</a>. </p>
<p>Berita soal Papua ini menggugah keingintahuan publik mengenai pelaku, motif, dan kepentingan dalam kejadian itu. Banyak spekulasi muncul mulai dari alasan ideologi, ancaman nasionalisme, politis berkait gerakan pro kemerdekaan, bahkan pragmatisme bisnis keamanan perusahaan-perusahaan yang melibatkan banyak aktor. </p>
<p>Kalau saja hal itu tidak terjadi di Tanah Papua reaksi publik mungkin tidak akan seramai ini. Sejak 1970-an di Papua terdapat gerakan pro kemerdekaan yang meminta referendum ulang. Hasil referendum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 yang diikuti oleh <a href="https://nsarchive2.gwu.edu/NSAEBB/NSAEBB128/index.htm">1.022 delegasi Papua pilihan pemerintahan di Jakarta</a> mengesahkan masuknya Papua sebagai bagian Indonesia. Tetapi banyak warga pro-kemerdekaan Papua merasa Pepera dilaksanakan di bawah tekanan militer.</p>
<h2>Akar masalah Papua</h2>
<p>Menentukan strategi yang paling tepat untuk mengatasi masalah keamanan di Tanah Papua dengan mengakhiri aksi-aksi kekerasan oleh siapa pun dan dengan motif apa pun tidak mudah. </p>
<p>Di dalam buku <a href="http://lipi.go.id/risetunggulan/single/buku-road-map-papua/16">Papua Road Map yang diterbitkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada 2009</a> telah dituliskan akar masalah Papua yang meliputi: </p>
<ul>
<li><p>peminggiran, diskriminasi, termasuk minimnya pengakuan atas kontribusi dan jasa Papua bagi Indonesia,</p></li>
<li><p>tidak optimalnya pembangunan infrastruktur sosial di Papua, khususnya pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat dan rendahnya keterlibatan pelaku ekonomi asli Papua, </p></li>
<li><p>proses integrasi politik, ekonomi, dan sosial budaya yang belum tuntas, </p></li>
<li><p>siklus kekerasan politik yang belum tertangani, bahkan meluas, </p></li>
<li><p>pelanggaran HAM yang belum dapat diselesaikan, khususnya kasus <a href="http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39031020">Wasior, Wamena, dan Paniai</a>.</p></li>
</ul>
<h2>Jangan buru-buru operasi militer</h2>
<p>Kejadian di Tembagapura bisa jadi menunjuk pada hubungan antara bisnis dan keamanan di Papua yang melibatkan berbagai aktor yang cenderung saling memanfaatkan. Perusahaan seperti <a href="http://www.tribunnews.com/nasional/2011/10/27/freeport-akui-beri-dana-ke-tni-dan-polri">Freeport kerap mengeluarkan dana khusus</a> untuk memastikan operasi usaha mereka aman, terkadang dengan meminta bantuan <a href="https://www.kpa.or.id/news/blog/hentikan-bisnis-militer-dan-hormati-hak-masyarakat-adat-papua/">TNI dan Polri.</a></p>
<p>Kasus “penyanderaan” Tembagapura (Banti dan Kimbeli) masih simpang siur, tetapi dia bisa jadi bukan hanya berlatar belakang ekonomi seperti perebutan wilayah penambangan, namun juga bertujuan politis, seperti yang dilakukan Organisasi Papua Merdeka. </p>
<p>Polisi menyatakan bahwa “penyanderaan” berkaitan dengan <a href="https://tirto.id/penyanderaan-di-tembagapura-adalah-kasus-lama-nbsp-czTW">perebutan lahan <em>tailing</em> antara warga pendatang dengan orang asli Papua</a>. Jika ini benar, hal ini tepat ditangani oleh pihak kepolisian dalam konteks penegakan hukum. </p>
<p>Namun bila penyanderaan dilakukan Tentara Pembebasan Nasional (TPN) Organisasi Papua Merdeka, <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20171101055611-12-252595/panglima-tni-opm-dalang-penembakan-pos-brimob-tembagapura/">seperti diklaim TNI</a>, maka penanganannya menjadi domain <a href="http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41941616">Tentara Nasional Indonesia (TNI)</a>. </p>
<p>Kombinasi antara kepentingan ideologis politis dengan ekonomi dan pragmatisme di Papua menyebabkan strategi penanganan keamanan di Papua memerlukan perhitungan yang lebih hati-hati. </p>
<hr>
<p><em><strong>Baca juga:</strong> <a href="https://theconversation.com/di-balik-keindahan-raja-ampat-ada-yang-miskin-dan-telantar-85912">Di balik keindahan Raja Ampat ada yang miskin dan terlantar</a></em></p>
<hr>
<p>Dalam perspektif negara, tujuan utama penanganan kasus Tembagapura adalah mengembalikan stabilitas dan keamanan secara menyeluruh. Namun bila pemulihan keamanan dilakukan secara berlebihan apalagi dengan invasi militer, maka pemerintah Indonesia akan menuai kritikan sebagai pihak yang tidak konsisten dalam membangun Papua, apalagi bila terjadi pelanggaran HAM.</p>
<p>Dinamika di Papua sangat lekat dengan isu dan kepentingan politik. Konflik kepentingan selama ini telah menciptakan kecurigaan, bahkan rasa tidak percaya (<em>distrust</em>) yang semakin dalam antara pemerintah dengan orang Papua. </p>
<p><em>Distrust</em> semakin menguatkan justifikasi sepihak yang diskriminatif dan hitam putih. Misalnya klaim aktivis pro-kemerdekaan bahwa Papua adalah “koloni Indonesia”, dan sebaliknya stigmatisasi Papua sebagai separatis oleh para nasionalis. Upaya pemerintah untuk memperbaiki situasi dan kondisi di Papua kerap dicap sebagai peminggiran oleh aktivis HAM dan sebagian warga Papua. Pemerintah beserta investor juga <a href="http://tabloidjubi.com/m/artikel-2241-masyarakat-adat-korban-investasi-papua-tuntut-presiden-gelar-pertemuan-para-pihak.html">dikritik telah merampas tanah adat masyarakat Papua</a>. </p>
<p>Sebaliknya, ketidakpuasan masyarakat Papua atas kebijakan nasional yang belum menyejahterakan orang Papua secara optimal kerap dijadikan indikasi resistensi terhadap pemerintah, termasuk bagian dari keinginan untuk memisahkan diri secara politik oleh banyak orang Indonesia yang menggunakan jargon nasionalisme.</p>
<h2>Kalau bukan operasi militer, apa langkahnya?</h2>
<p>Apa yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam menjaga keamanan dan stabilitas di Papua? </p>
<p>Pertama, tidak perlu bersikap berlebihan. Kasus Tembagapura kemungkinan besar sarat dengan pragmatisme dari pihak-pihak yang terlibat. </p>
<p>Kedua, pemerintah perlu mengimbangi pendekatan keamanan negara dengan pendekatan keamanan manusia. Keselamatan masyarakat yang tidak terlibat dalam konflik ini secara langsung harus menjadi yang utama tanpa membeda-bedakan suku dan ras antara penduduk asli dan pendatang. </p>
<p>Ketiga, dalam jangka panjang pemerintah perlu membangun dialog dan negosiasi menuju rekonsiliasi. Secara bertahap atau simultan perlu diupayakan ruang-ruang dialog untuk mencegah meluasnya kecurigaan dan rasa tidak percaya, khususnya antara masyarakat pendatang dan penduduk asli Papua maupun antara pihak aparat dengan masyarakat. </p>
<p>Pada 15 Agustus 2017, <a href="https://kabarpapua.co/usai-bertemu-presiden-jokowi-ini-harapan-para-tokoh-papua/">Presiden Joko Widodo dan para tokoh agama, adat, dan pegiat HAM Papua bertemu di Istana Negara</a> Jakarta. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM, Kepala Kantor Staf Presiden, dan Koordinator Jaringan Damai Papua kemudian ditetapkan sebagai “<em>person in charge</em> (PiC”) untuk mempersiapkan dialog sektoral terkait penyelesaian berbagai hal termasuk hak asasi manusia dan akar masalah keamanan di Papua. </p>
<p>Keempat, pemerintah daerah, baik gubernur dan bupati perlu lebih proaktif dan bekerja sama dengan aparat kepolisian dalam mengembalikan dan menciptakan kembali suasana yang kondusif. </p>
<p>Kelima, tiga pilar di Tanah Papua (pemerintah daerah, DPR Papua, <a href="https://www.tempo.co/tag/majelis-rakyat-papua-mrp">Majelis Rakyat Papua</a>) perlu membangun koordinasi dan sinergi dalam membangun kesejahteraan seluruh masyarakat di Papua, baik secara fisik maupun non-fisik. </p>
<h2>Dialog masih relevan dan mendesak</h2>
<p>Meskipun tidak juga ditemukan pendekatan “baru” untuk membangun perdamaian di Tanah Papua dan ada pemahaman yang berbeda mengenai urgensi dialog, bukan berarti dialog tidak relevan bagi Papua. </p>
<p>Hal utama yang sangat diperlukan untuk mewujudkannya adalah dengan membangun <em>common ground</em> dan kepentingan bersama bagi Papua yang lebih demokratis dan sejahtera. Ini bukan semata-mata untuk menjaga keutuhan Indonesia, namun terlebih untuk menghargai dan menghormati martabat Papua di dalam kemajemukan masyarakat Indonesia.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/87785/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Adriana Elisabeth tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Mulai ada gagasan mengirim lebih banyak tentara menyusul laporan kekerasan di Tembagapura, Papua. Pemerintah jangan gegabah dengan operasi militer.Adriana Elisabeth, Researcher on politics, Indonesian Institute of Sciences (LIPI)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/859972017-10-23T11:11:14Z2017-10-23T11:11:14ZPelajaran dasar penanganan kejahatan seksual: dengarkan korban, jangan tanya dulu<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/191366/original/file-20171023-1728-p4c247.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Korban kekerasan seksual mungkin menjadi korban kedua kalinya saat berhadapan dengan aparat hukum karena dibombardir pertanyaan yang tidak sensitif. </span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span></figcaption></figure><p>Ketika belajar tentang pendampingan korban kekerasan seksual di Klinik Hukum Perempuan dan Anak di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, mahasiswa kami dibekali pesan oleh kawan psikolog dari Yayasan Pulih: “Dengarkan dulu. Jangan banjiri dengan pertanyaan”. </p>
<p>Petunjuk tersebut terkait dengan upaya untuk melindungi pihak korban kekerasan seksual dari terjadinya <em>double victimisation</em> atau dalam tulisan ini dipadankan dengan “dikorbankan berulang-ulang”.</p>
<p>Minggu lalu Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan dalam wawancara dengan BBC Indonesia bahwa <a href="http://example.com/http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41676366">korban pemerkosaan bisa ditanya penyidik “apakah nyaman” selama pemerkosaan</a>. Apa yang dikemukakan oleh tokoh nomor satu dalam tubuh Kepolisian Republik Indonesia tersebut ternyata sering ditemukan dalam proses penyelidikan dan penyidikan kasus kekerasan seksual. </p>
<p>Berdasarkan <a href="https://catalogue.nla.gov.au/Record/3892315">penelitian yang saya lakukan dengan Sulistyowati Irianto pada 2006</a>, aparat penegak hukum sering mengajukan pertanyaan tentang soal kesukarelaan hubungan seksual tersebut atau apakah korban menikmati proses terjadinya hubungan seksual itu. </p>
<p>Alasan aparat mengajukan pertanyaan adalah dalam rangka mengumpulkan bukti apakah benar terjadi pemerkosaan atau kekerasan seksual. <a href="http://mappifhui.org/wp-content/uploads/2016/12/Asesmen-Konsistensi-Putusan-Pengadilan-Kasus-Kasus-Kekerasan-terhadap-Perempuan.pdf">Penelitian lain</a> oleh Universitas Indonesia juga menemukan pertanyaan semacam itu tidak hanya diajukan oleh pihak kepolisian tetapi juga oleh jaksa dan hakim. </p>
<h2>Dikorbankan berulang-ulang</h2>
<p>Pertanyaan yang diajukan kepada penyintas atau korban kekerasan seksual harus dirumuskan sedemikian rupa supaya tidak menempatkan mereka pada posisi “dikorbankan berulang-ulang”. Saat mengalami kekerasan seksual, para korban mengalami tindakan yang melukai tubuh dan jiwa. </p>
<p>Pengalaman itu menyakitkan, tetapi tidak dapat dilepaskan oleh korban yang harus meneruskan hidup. Pertanyaan yang diajukan kepada korban kekerasan seksual tentang pengalamannya memaksa korban mengingat lagi situasi saat ia tidak berdaya. </p>
<p>Kekerasan seksual sering dipahami semata-mata terjadi karena hasrat seksual yang tidak terkendali. Sungguh suatu logika yang keliru tetapi terus menerus dipelihara dalam masyarakat. </p>
<p>Kekerasan seksual mestinya dilihat sebagai suatu tindakan yang lahir dari <a href="http://www.ui.ac.id/berita/mengungkap-relasi-kuasa-dalam-kejahatan-seksual.html">relasi kuasa yang timpang</a>. Relasi kuasa adalah relasi yang terbentuk antara orang perorangan, kelompok, atau golongan. Terbentuknya relasi kuasa tersebut disebabkan karena kemampuan masing-masing kelompok atau orang melakukan tawar menawar untuk mempertahankan atau memperoleh haknya. </p>
<hr>
<p><em><strong>Baca juga:</strong> <a href="https://theconversation.com/kampanye-antikekerasan-perempuan-menanggung-mitos-selaput-dara-dan-tes-keperawanan-86769">Kampanye antikekerasan: perempuan menanggung mitos selaput dara dan tes keperawanan</a></em></p>
<hr>
<p>Relasi kuasa muncul dan menguat pada hubungan antargender, antarjenis kelamin, antargolongan dan kelas di dalam masyarakat. Pada relasi kuasa yang lahir di antara individu atau kelompok yang posisi tawarnya tidak setara, maka akan timbul relasi kuasa yang timpang. </p>
<p>Praktik nilai budaya sering menyuburkan relasi kuasa yang timpang ini. Dampaknya adalah pada ketimpangan akses terhadap hak dan sumber daya di dalam masyarakat.</p>
<h2>Relasi kuasa timpang</h2>
<p>Korban kekerasan seksual biasanya berada pada posisi tawar yang relatif lemah. Konsekuensinya, relasi kuasa yang terjalin antara korban dan pelaku bersifat timpang. Terbentuknya relasi kuasa yang timpang disebabkan oleh faktor-faktor antara lain: usia, gender, jenis kelamin, kelas sosial, kelompok minoritas berdasarkan etnis, kepercayaan/agama, afiliasi politik, dan sebagainya. Saya telah menuliskannya lebih jauh di dalam “Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Seksual” dalam <em><a href="http://incle.org/abstrac/detail/women-and-children-law-book">Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak</a></em>.</p>
<p>Sebaliknya, pelaku berada pada posisi tawar yang lebih kuat daripada korban dalam berbagai aspek. Misalnya: usia, jabatan (kepala sekolah, guru, pejabat, anggota DPR, aparat pemerintah, polisi, tentara, dokter, atasan di perusahaan, guru mengaji, pemuka agama, dan sebagainya), kelas sosial, kelas ekonomi, dan kelompok mayoritas.</p>
<h2>Salah: berulang berarti nyaman</h2>
<p>Kasus kekerasan seksual senantiasa melibatkan persoalan relasi kuasa, bahkan juga pada kasus yang terjadi berulang. Anggapan yang mengemuka terhadap korban kekerasan seksual yang berulang adalah korban menjadi “nyaman” dengan apa yang dilakukan pelaku. </p>
<p>Penting untuk meluruskan anggapan tersebut. Hubungan seksual yang sehat seyogianya terjadi antara dua orang yang relasi kuasanya setara, mampu mengambil keputusan secara objektif. Hubungan itu harus atas dasar persetujuan kedua belah pihak. </p>
<p>Pada hubungan seksual yang dimulai dengan kekerasan dan paksaan, ketika relasi kuasa antara para pihak timpang, maka kehadiran konsensus atau persetujuan suka rela itu patut dipertanyakan. Jadi, logikanya adalah bukan “pasti ada konsensus” atas terjadinya hubungan seksual tersebut, melainkan “tidak ada konsensus”. Logika ini sekiranya diterapkan pada proses pemeriksaan kasus kekerasan seksual, akan berdampak besar. </p>
<h2>Beban pembuktian bukan pada korban</h2>
<p>Beban pembuktian atas terjadinya kekerasan seksual tidak lagi terletak pada pihak korban. Soal kesucian, sejarah seksual korban, tidak lagi menjadi hal yang terus menerus harus diceritakan oleh korban. Sebaliknya, pelaku harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. </p>
<p>Kewajiban untuk menghadirkan bukti tindak kekerasan seksual, sesungguhnya terletak pada negara, bukan pada korban. Negara seharusnya mampu menggali bukti dari sumber-sumber lain (termasuk pelaku). Bukan hanya kepentingan pelaku yang harus dilindungi sesuai dengan aturan hukum, tetapi juga kepentingan korban supaya tidak “dikorbankan berkali-kali” dalam rangka mengakses keadilan bagi dirinya. </p>
<hr>
<p><em><strong>Baca juga:</strong> <a href="https://theconversation.com/laki-laki-harus-dilibatkan-dalam-memerangi-kekerasan-terhadap-perempuan-85333">Laki-laki harus dilibatkan dalam memerangi kekerasan dalam perempuan</a></em></p>
<hr>
<p>Fakta bahwa korban pernah berhubungan seksual atau mengalami kekerasan seksual berulang, tidak boleh mengurangi penghormatan negara atas hak-hak korban. Bukti tersebut tidak boleh dijadikan sebagai alasan peringan oleh hakim. Sudah dijelaskan sebelumnya, pada kekerasan seksual berulang, terjadi karena korban tidak berdaya akibat relasi kuasa yang timpang. </p>
<p>Dengan demikian, ada beberapa hal yang penting untuk diperbaiki dalam sistem hukum pidana kita. Pertama, negara wajib merevisi, menghapus, dan memperbaiki peraturan perundang-undangan yang merugikan perempuan berdasarkan <a href="http://www.kontras.org/baru/Kovensi%20Diskriminasi%20Perempuan.pdf">Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan</a> yang sudah diratifikasi oleh Indonesia pada 1987. </p>
<p>Kedua, negara wajib memperbaiki <em>standard operating procedure</em> dari proses penyidikan. Misalnya: mengubah redaksional pertanyaan kepada korban dan melakukan pemeriksaan dengan menghadirkan pihak psikolog yang sudah terlatih dalam penanganan kasus kekerasan seksual. </p>
<p>Kedua hal tersebut penting dilakukan pada tahap penyelidikan, penyidikan, dan di ruang sidang dalam mengakomodir kebutuhan korban. Sudah tersedia <a href="https://badilag.mahkamahagung.go.id/seputar-ditjen-badilag/seputar-ditjen-badilag/inilah-materi-pelatihan-perma-nomor-3-tahun-2017">Peraturan Mahkamah Agung No. 3/2017 terkait dengan Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum</a> untuk hakim. Perlu juga panduan demikian untuk polisi dan jaksa, khususnya untuk penggalian informasi kepada korban kekerasan seksual. </p>
<p>Ketiga, penting dipikirkan penguatan dan perluasan unit perempuan dan anak di kepolisian. Penguatan itu baik dari aspek kualitas maupun kuantitas sumber daya manusia dan dukungan lembaga. </p>
<p>Semua perbaikan tersebut penting dilaksanakan karena korban kekerasan seksual adalah manusia. Tidak ada hal yang nyaman terkait dengan kekerasan tersebut.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/85997/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Lidwina Inge Nurtjahyo tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Pertanyaan “apakah nyaman” saat pemerkosaan sering diajukan penyidik pada korban pemerkosaan. Pertanyaan semacam ini menempatkan penyintas pada posisi “dikorbankan berulang-ulang”.Lidwina Inge Nurtjahyo, Lecturer of law and gender studies, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.