tag:theconversation.com,2011:/us/topics/psikologi-keluarga-43975/articlesPsikologi keluarga – The Conversation2020-03-04T07:02:01Ztag:theconversation.com,2011:article/1327652020-03-04T07:02:01Z2020-03-04T07:02:01ZApakah anak sulung benar-benar berbakat menjadi pemimpin?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/317970/original/file-20200302-141467-3txyns.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/download/confirm/581286055?src=ab7796b7-687c-4362-81d1-21b270366613-1-0&size=huge_jpg">Dmitry Naumov/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Semua orang tahu bahwa anak pertama adalah pemimpin alami, anak tengah adalah pemberontak, dan anak terakhir cenderung manja, tapi percaya diri. Ini kata orang-orang.</p>
<p>Tapi, apakah ini benar? Dan dari mana gagasan ini berasal?</p>
<p>Pada 1930-an psikoterapis Austria, Alfred Adler, adalah <a href="https://www.researchgate.net/profile/Jason_Kaufman3/publication/282442353_The_Role_of_Birth_Order_in_Personality_An_Enduring_Intellectual_Legacy_of_Alfred_Adler/links/56a10ebb08ae24f62701e979/The-Role-of-Birth-Order-in-Personality-An-Enduring-Intellectual-Legacy-of-Alfred-Adler.pdf">orang pertama yang mempelajari urutan kelahiran</a> dan pengaruhnya terhadap kepribadian. Dia meyakini bahwa “setiap kesulitan perkembangan disebabkan oleh persaingan dan kurangnya kerja sama dalam keluarga”.</p>
<p>Menurut Adler, seorang anak tunggal tidak pernah harus bersaing untuk mendapatkan perhatian orang tua dan tidak pernah “digantikan” oleh saudara kandung lainnya. </p>
<p>Demikian pula, anak paling tua menerima sebagian besar perhatian orang tua dan cenderung merasa bertanggung jawab terhadap adik-adik mereka, yang tercermin dalam perfeksionisme, sikap pekerja keras, dan kehati-hatian mereka.</p>
<p>Seorang anak kedua terus bersaing dengan kakak mereka dan berusaha mengejar ketertinggalan. Anak tengah berada di antara kakak dan adik mereka, yang mungkin sering meninggalkan mereka atau bersekongkol terhadap mereka. Akibatnya, anak tengah mungkin menjadi mudah marah dan peka terhadap kritik.</p>
<p>Anak bungsu seringkali paling sering dimanjakan dalam keluarga. Mereka lebih bergantung pada keluarga mereka daripada saudara kandung lainnya dan mungkin menuntut agar semuanya dilakukan untuk mereka. Sebaliknya, mereka mungkin merasa tidak diinginkan, tidak disukai, atau bahkan diabaikan.</p>
<p>Menambah anak memiliki dampak pada cara kerja sebuah keluarga. Namun, Adler menyebut bahwa faktor-faktor lain juga berperan, seperti ukuran keluarga, kesehatan, usia, budaya atau jenis kelamin anak.</p>
<p>Teori-teori Adler tetap memiliki pengaruh yang besar dan urutan kelahiran masih merupakan bidang studi penting dalam psikologi. Dan peran anak pertama memiliki daya tarik tertentu.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/313293/original/file-20200203-41507-1ghyf1r.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/313293/original/file-20200203-41507-1ghyf1r.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=398&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/313293/original/file-20200203-41507-1ghyf1r.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=398&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/313293/original/file-20200203-41507-1ghyf1r.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=398&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/313293/original/file-20200203-41507-1ghyf1r.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=500&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/313293/original/file-20200203-41507-1ghyf1r.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=500&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/313293/original/file-20200203-41507-1ghyf1r.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=500&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Bill Clinton adalah anak pertama.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/governor-bill-clinton-addresses-denver-campaign-107340785">Joseph Sohm/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Efek anak sulung</h2>
<p>Menurut sebuah <a href="https://www.nber.org/papers/w23393">studi Swedia baru-baru ini</a>, anak sulung memiliki sifat kepribadian yang lebih disukai, termasuk keterbukaan terhadap pengalaman baru, kesadaran, ekstraversi, keramahan dan stabilitas emosi yang lebih besar, daripada saudara kandung mereka yang lebih muda. </p>
<p>Akibatnya, mereka lebih cenderung menjadi kepala eksekutif dan manajer senior, sedangkan anak-anak yang lahir setelahnya – yang suka mengambil risiko – sering tumbuh menjadi wiraswasta.</p>
<p>Anak sulung cenderung memiliki karakteristik psikologis yang berkaitan dengan kepemimpinan, termasuk tanggung jawab, kreativitas, kepatuhan, dan <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0191886905003314">dominasi</a>. Mereka juga lebih cenderung memiliki kemampuan akademik dan tingkat kecerdasan yang lebih tinggi daripada adik mereka. </p>
<p>Kualitas-kualitas ini diyakini membuat anak sulung lebih sukses. Namun, “anak bungsu” dalam keluarga <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00224540009600502">lebih mungkin</a> untuk mengambil risiko, memberontak, menunjukkan perilaku adiktif dan kurang mandiri dibandingkan dengan kakak mereka.</p>
<p>Terdapat dua penjelasan yang bisa membenarkan efek anak sulung ini. </p>
<p>Dari perspektif evolusi, orang tua menyukai dan menyediakan segala hal (tempat tinggal dan makanan) pada anak sulung mereka agar bertahan hidup dan bereproduksi. Namun, hal ini juga memerlukan pengorbanan karena orang tuanya kemudian tidak dapat menginvestasikan sumber daya yang sama besarnya pada keturunan yang selanjutnya.</p>
<p>Anak yang lebih muda harus bersaing untuk mendapatkan sumber daya dan perhatian orang tua yang terbatas ini. (Jadi orang tua yang tidak mampu membantu banyak dalam pekerjaan rumah alias PR sekolah adik-adik si anak sulung mungkin karena kurangnya sumber daya cadangan).</p>
<p>Namun, anak-anak yang lahir terakhir sering menerima perlakuan istimewa. Ini karena orang tua memiliki kesempatan terakhir untuk menginvestasikan sumber dayanya. Orang tua juga telah lebih berumur dan cenderung memiliki lebih banyak uang pada saat anak terakhir lahir. Orang tua lebih cenderung berinvestasi dalam pendidikan <a href="https://www.researchgate.net/publication/313072471_Birth_Order_and_Parental_Investment">anak mereka yang baru lahir</a> ini. </p>
<p>Harapan orang tua juga bisa menjelaskan sifat kepribadian yang lebih disukai di antara anak sulung. Artinya, orang tua cenderung lebih keras dalam mengasuh anak mereka dengan anak sulung.</p>
<p>Orang tua juga menekankan sikap tangguh karena anak sulung perlu bertindak sebagai panutan (dan orang tua pengganti) untuk adik-adik mereka dan mempertahankan nilai-nilai orang tua.</p>
<p>Anak sulung harus mempertahankan posisi “pertama” mereka dan jangan sampai tertinggal dari adiknya. Persaingan dan konflik antara anak sulung dan adiknya adalah hasil dari kebutuhan adik kandung untuk membangun posisi mereka dalam keluarga. </p>
<p>Meskipun mereka mencoba untuk berlomba dan meniru peran saudara sulung mereka, posisi istimewa ini sudah diambil. Anak yang lahir kemudian juga harus membedakan diri untuk “memikat” sumber daya orang tua, ini dapat menjelaskan alasan perilaku memberontak mereka.</p>
<h2>Keberagaman bukti</h2>
<p>Penjelasan ini masuk akal, tapi bukti untuk mendukung hubungan antara ciri-ciri kepribadian dan urutan kelahiran beragam. </p>
<p>Beberapa studi menunjukkan hubungan yang kuat antara <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0191886913012142">kemampuan kepemimpinan dan urutan kelahiran</a>, tapi yang lain <a href="https://articlegateway.com/index.php/JOP/article/view/1094">tidak mendukung temuan ini</a>.</p>
<p>Inkonsistensi dalam temuan mungkin berasal dari faktor-faktor yang terkadang diabaikan, seperti jenis kelamin saudara kandung.</p>
<p>Efek anak sulung (dan kemungkinan menjadi direktur eksekutif) lebih lemah dalam kasus laki-laki yang lahir setelah kakak laki-laki dibandingkan dengan mereka yang memiliki <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/pdf/10.1111/0162-895X.00343">kakak perempuan</a>.</p>
<p>Jarak usia juga perlu diperhitungkan karena kesenjangan usia yang lebih besar antara saudara kandung menyebabkan anak yang lahir lebih dulu memainkan lebih banyak peran sebagai orang tua pengganti dan mengurangi <a href="https://www.taylorfrancis.com/books/9780203837962">konflik persaingan antara saudara kandung</a>. </p>
<p>Usia kesuburan ibu juga dapat mempengaruhi hasil kepribadian karena ibu berusia lebih tua ketika anak-anak berikutnya lahir dibanding ketika melahirkan anak pertama dan banyak penelitian tidak menghitung faktor ini.</p>
<p>Oleh karen itu, tampaknya profil psikologis si anak sulung ini mungkin terlalu digeneralisasi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/132765/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Klara Sabolova tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Inilah temuan studi psikologi tentang urutan kelahiran.Klara Sabolova, Lecturer in Psychology, University of South WalesLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/993772018-07-09T10:49:17Z2018-07-09T10:49:17ZMengapa anak-anak berbohong, dan apakah ini normal?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/226662/original/file-20180709-122274-1bs13pu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=1%2C2%2C997%2C663&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">"Tidak, saya tidak memakan kuenya." </span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>Anak-anak biasanya mulai berbohong ketika memasuki usia prasekolah, atau di antara usia <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2612240/">dua atau empat tahun</a>. Upaya tipu muslihat yang disengaja ini membuat orang tua khawatir bila anak mereka kelak menjadi pelaku penyimpangan sosial dalam skala yang kecil. </p>
<p>Namun dari perspektif psikologi perkembangan, kebohongan yang dilakukan oleh anak-anak bukanlah sesuatu yang mengkhawatirkan. Pada kenyataannya, berbohong merupakan satu hal yang menandai adanya perkembangan <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26431737">pikiran</a> anak, atau kesadaran diri anak bahwa orang lain memiliki keinginan, perasaan, dan keyakinan yang berbeda dengan dirinya. </p>
<p>Ketika seorang anak melakukan klaim palsu semisal “Ayah bilang aku boleh makan es krim”, mereka menggunakan kesadaran pikiran orang lain untuk menanamkan pengetahuan yang palsu.</p>
<p>Ketika berbohong itu sendiri mungkin tidak dibenarkan secara sosial, kemampuan untuk mengetahui apa yang orang lain pikirkan dan rasakan adalah kecakapan sosial yang penting. Ini mungkin <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/27337508">berhubungan dengan</a> empati, sifat kerja sama, dan kepedulian terhadap orang lain ketika mereka merasa kecewa.</p>
<h2>Bagaimana berbohong berubah seiring bertambahnya usia</h2>
<p>Ketika anak kecil berbohong untuk pertama kalinya, mereka lebih melakukannya sebagai humor ketimbang kebohongan efektif. Misalnya, anak-anak yang mengklaim bahwa mereka tidak memakan kue apa pun sedangkan mulutnya masih mengunyah kue, atau menyalahkan anjingnya karena telah mencoret tembok rumah. </p>
<p>Anak kecil mungkin mengetahui mereka dapat mengelabui orang lain, tapi mereka belum bisa melakukannya dengan mahir. </p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/uFlO7lPUeIc?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
</figure>
<p>Sebelum usia delapan tahun, anak-anak sering kali mengaku bahwa mereka telah berbohong. Sebuah <a href="http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1080/01650250143000373">studi</a> menunjukkan, anak-anak usia tiga sampai tujuh tahun diminta untuk tidak melihat mainan yang dirahasiakan (Barney) yang diletakkan di samping mereka. Tetapi hampir semua anak melakukan itu, dan hampir semua berbohong (yang meningkat seiring bertambahnya usia).</p>
<p>Tapi secara keseluruhan, anak-anak dalam kelompok tersebut juga mengalami kesulitan untuk mempertahankan kebohongan mereka. Mereka yang berusia tiga sampai lima tahun dapat menjaga raut muka datar mereka saat berbohong, meskipun pada akhirnya cenderung mengakui kebohongan mereka. </p>
<p>Sedangkan mereka yang berusia enam dan tujuh tahun akan lebih ahli dalam menyembunyikan kebohongan mereka, misalnya dengan pura-pura tidak tahu atau pun dengan sengaja tidak menyebut nama Barney. </p>
<p>Seiring pertambahan usia dan berkembangnya kemampuan memahami cara pikir orang lain, mereka semakin lihai melakukan kebohongan yang mudah dipercaya oleh orang lain. Mereka juga semakin pandai <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3483871/">menjaga kebohongannya</a> secara berkelanjutan. </p>
<p>Perkembangan moral juga terjadi. Anak yang lebih muda cenderung berbohong untuk keuntungannya sendiri, sedangkan mereka yang lebih dewasa lebih mengantisipasi <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/1467-8624.00098">perasaan buruk terhadap dirinya</a> apabila berbohong. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kapan-sebaiknya-anak-indonesia-belajar-bahasa-inggris-99450">Kapan sebaiknya anak Indonesia belajar bahasa Inggris?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Anak yang lebih dewasa dan remaja juga dapat lebih menggambarkan hubungan di antara bentuk-bentuk kebohongan yang berbeda. Misalnya, kebohongan dengan tujuan kebaikan, bagi mereka, <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2581483/">dianggap lebih tepat</a> dibandingkan kebohongan yang bersifat <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2864928/">membahayakan atau demi melanggar aturan</a>. </p>
<p>Meskipun jarang terdapat studi yang memperkirakan frekuensi berbohong yang dilakukan oleh anak-anak dan remaja, para remaja kerap kali ditemukan berbohong kepada orang tua dan gurunya mengenai sesuatu yang dianggap sebagai urusan pribadi mereka.</p>
<p>Sebuah <a href="https://link.springer.com/article/10.1023/B:JOYO.0000013422.48100.5a">studi</a> menemukan bahwa 82% remaja di Amerika Serikat mengakui bahwa dalam setahun terakhir, mereka telah berbohong kepada orang tuan soal uang, konsumsi alkohol, obat terlarang, pertemanan, kencan, pesta, atau melakukan hubungan seks. </p>
<p>Kebanyakan dari mereka berbohong soal pertemanan (67%) maupun konsumsi alkohol dan obat terlarang (65%). Yang mengejutkan adalah hanya sedikit dari mereka yang berbohong soal melakukan hubungan seks (32%). </p>
<p>Ketika membaca skenario singkat para remaja yang berbohong, mereka cenderung menganggap kebohongan tersebut dapat diterima apabila itu untuk membantu seseorang atau menyimpan rahasia pribadi, tetapi tidak jika itu untuk menyakiti atau melukai seseorang.</p>
<h2>Apakah kebohongan dapat menyebabkan permasalahan?</h2>
<p>Terlepas dari prevalensinya, kebohongan yang dilakukan oleh anak-anak jarang sekali menyebabkan permasalahan. Penting juga untuk mengingat banyak dari orang dewasa yang berbohong—terkadang untuk kebaikan, semisalnya berbohong untuk menjaga perasaan orang lain, dan terkadang ketika sakit. Meskipun perkiraanya bervariasi, sebuah <a href="https://msu.edu/%7Elevinet/Serota_etal2010.pdf">studi</a> menunjukkan sekitar 40% dari orang dewasa di AS mengakui bahwa mereka telah melakukan kebohongan dalam 24 jam terakhir.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/tHCDnKhppw8?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
</figure>
<p>Dalam beberapa kasus, kebohongan yang parah dapat membawa masalah, jika mereka melakukan hal tersebut bersamaan dengan beberapa perilaku lain yang tidak semestinya. Misalnya, ketidakjujuran melalui kebohongan yang muncul sebagai bagian dalam gangguan psikologis bagi orang yang memiliki <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3826598/">kecenderungan memberontak</a>.</p>
<p>Anak-anak dengan gangguan tingkah laku atau ODD dapat menyebabkan kekacauan yang cukup besar di rumah atau sekolah melalui upaya perlawanan berulang dan dapat membahayakan orang lain dan benda-benda sekitar. Tapi untuk mendiagnosisnya, perbuatan bohong tersebut harus diikuti dengan sekelompok gejala lain, misalnya menolak untuk patuh terhadap figur otoritas, terus melanggar aturan, dan tidak mampu bertanggung jawab atas perbuatannya. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/truth-is-everyone-lies-all-the-time-6749">Truth is, everyone lies all the time</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Kasus lainnya dalam masalah pengasuhan orang tua adalah ketika berbohong dapat digunakan anak untuk menutupi masalah kesehatan mental lainnya karena takut atau malu. Sebagai contoh, seorang anak atau remaja yang menderita kecemasan berat mungkin melakukan kebohongan besar untuk menghindari situasi yang membuat mereka takut (misalnya sekolah, pesta, kuman). Mereka juga berbohong untuk menghindar dari <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2904965/">stigma gangguan kesehatan mental</a>. </p>
<p>Dalam hal ini, konsultasi dengan dokter atau ahli kesehatan mental (seperti psikolog atau psikiater) Anda akan membantu memperjelas apakah kebohongan yang mereka lakukan merupakan indikasi masalah kesehatan mental. </p>
<h2>Orang tua dan guru membuat perubahan</h2>
<p>Ketika berbohong merupakan bagian dari perkembangan anak yang normal, orang tua dan guru dapat membantu anak-anak dalam mengungkap kebenaran dengan tiga cara. </p>
<p>Pertama, hindari memberi hukuman yang berat atau berlebihan. Dalam sebuah <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22023095">studi</a> yang membandingkan sekolah di Afrika Barat yang memberlakukan hukuman berat (seperti memukulnya dengan tongkat, menampar, dan mencubit) dengan sekolah yang memberlakukan teguran (seperti disuruh keluar atau diomelin), menunjukkan bahwa siswa di sekolah yang memberlakukan hukuman berat lebih cenderung memiliki murid yang menjadi pembohong yang efektif.</p>
<p>Anak-anak dari keluarga yang memiliki aturan ketat dan tidak mau membuka dialog juga <a href="https://link.springer.com/article/10.1023/B:JOYO.0000013422.48100.5a">menunjukkan frekuensi berberbohong</a> yang lebih sering. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/225835/original/file-20180703-116147-qvqv1d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/225835/original/file-20180703-116147-qvqv1d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/225835/original/file-20180703-116147-qvqv1d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/225835/original/file-20180703-116147-qvqv1d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/225835/original/file-20180703-116147-qvqv1d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/225835/original/file-20180703-116147-qvqv1d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/225835/original/file-20180703-116147-qvqv1d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Dengan mengetahui apakah anak Anda berusaha membohongi Anda dengan sengaja, Anda akan bisa merancang respons yang lebih efektif.</span>
<span class="attribution"><span class="source">from www.shutterstock.com</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Kedua, ajak anak-anak berdiskusi tentang skenario emosional dan moral. Sesungguhnya “pelatihan emosi ini” dapat membantu anak-anak memahami kapan berbohong dapat dikatakan sangat membahayakan, bagaimana hal tersebut dapat berdampak pada orang lain, dan bagaimana perasaan mereka ketika mereka berbohong. Anak-anak semakin <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/j.1467-8624.1992.tb03601.x">mengantisipasi kebanggaan</a> ketika menceritakan kebenaran, dan orang tua dapat menekankan aspek positif ketika mereka berkata jujur. </p>
<p>Ketiga, pastikan kebohongan itu benar-benar kebohongan. Anak-anak yang masih sangat muda cenderung untuk memadukan kehidupan nyata dan imajinasi, sementara anak-anak yang lebih dewasa dan orang dewasa seringkali memiliki argumen yang berbeda satu sama lain. Jika anak-anak mengakui adanya kekerasan fisik dan seksual, pernyataannya ini harus selalu diselidiki. Dengan membedakan apakah ada upaya penipuan yang disengaja, orang tua dan guru dapat menargetkan respons mereka secara efektif. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kualitas-buruk-pelajar-indonesia-akibat-proses-belajar-tidak-tuntas-apa-yang-bisa-dilakukan-97999">Kualitas buruk pelajar Indonesia akibat proses belajar tidak tuntas. Apa yang bisa dilakukan?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Kebohongan yang dilakukan anak adalah perkembangan yang normal</h2>
<p>Berbohong adalah suatu hal yang normal dan sebuah tanda penting bahwa kecakapan kognitif yang lain juga berkembang. </p>
<p>Jika kebohongan dilakukan terus menerus dan merusak kemampuan anak untuk menjalani kehidupan sehari-hari ada baiknya berkonsultasi dengan ahli kesehatan mental atau dokter Anda. </p>
<p>Tetapi dalam situasi lain, ingatlah bahwa berbohong hanyalah satu cara anak belajar untuk mengendalikan dunia sosial. Keterbukaan dan diskusi yang hangat untuk menceritakan kebenaran pada akhirnya akan membantu mengurangi kebohongan anak-anak saat mereka berkembang.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/99377/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Carol Newall terafiliasi dengan Black Dog Institute</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Penny Van Bergen tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Anak berbohong bukanlah sesuatu yang mengkhawatirkan. Hal tersebut berarti anak Anda berkembang secara normal.Penny Van Bergen, Senior Lecturer in Educational Psychology, Macquarie UniversityCarol Newall, Senior Lecturer in Early Childhood, Macquarie UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/887062017-12-12T11:50:02Z2017-12-12T11:50:02Z‘Ga mauuuuu… weng weng weng’: panduan mengelola tantrum bagi orang tua<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/197924/original/file-20171206-910-111ego7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">shutterstock</span> </figcaption></figure><p>Tantrum dahsyat pertama pada anak balita adalah tonggak penting dalam perkembangan setiap anak yang tidak akan pernah menjadi bagian album foto bayi. Anak yang tiba-tiba mengamuk hebat, apalagi di tempat umum, bisa membuat orang tua yang paling percaya diri sekalipun kelabakan.</p>
<p>Antara usia satu dan empat tahun, <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20524545">hampir 90% anak-anak</a> akan menunjukkan tantrum sesekali. Tantrum atau mendadak marah-marah ini meliputi <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23006014">anak-anak yang mengungkapkan kemarahan dan frustrasi mereka</a> dengan menjerit-jerit, menangis, berguling-guling di lantai, kejang-kejang, memukul-mukul, menendang-nendang, melemparkan apa saja dan, pada beberapa anak, menahan napas mereka. </p>
<figure class="align-right ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/197233/original/file-20171130-30896-eagai4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/197233/original/file-20171130-30896-eagai4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=900&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/197233/original/file-20171130-30896-eagai4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=900&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/197233/original/file-20171130-30896-eagai4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=900&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/197233/original/file-20171130-30896-eagai4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1131&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/197233/original/file-20171130-30896-eagai4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1131&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/197233/original/file-20171130-30896-eagai4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1131&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Penyebabnya sering kali bisa tidak masuk akal.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/portrait-little-asian-boy-crying-garden-740786479?src=IyLhKbC-VEPQmE0lMaQJXA-3-15">Shutterstock/TumNuy</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p><a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23006014">Tantrum sering bermula</a> ketika seorang anak menginginkan sesuatu yang tidak bisa dimiliki, ingin menghindari sesuatu, ingin perhatian atau jika anak itu lapar, lelah, tidak enak badan atau cuma frustrasi.</p>
<p>Tetapi penyebabnya sering kali bisa tidak masuk akal, seperti diparodikan oleh blogger Greg Pembroke dalam bukunya <a href="https://www.amazon.com/Reasons-Kid-Crying-Greg-Pembroke/dp/0804139830">Reasons my Kid is Crying</a> (yang meliputi “Saya membiarkannya bermain di rerumputan”, “Kami mengatakan kepadanya babi bilang ‘nguik’,” dan “Anjing tetangga tidak ada di luar”). </p>
<p>Ledakan tantrum memuncak pada usia dua tahun, ketika anak-anak mengalami situasi kritis tidak mampu mengungkapkan diri secara verbal sementara pada saat yang sama mengembangkan perasaan otonomi dan independensi mereka.</p>
<h2>Apa yang normal dan apa yang tidak ?</h2>
<p>Meski merupakan bagian dari perkembangan anak normal, tantrum adalah <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26783943">alasan lazim bagi orang tua</a> untuk mencari bantuan psikiatri untuk anak mereka. Pada titik yang lebih serius perilaku tantrum, <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2045487">sekitar 7% anak-anak</a> memperlihatkan tantrum beberapa kali sehari, berlangsung selama 15 menit atau lebih. Setengah dari anak-anak itu biasanya memiliki problem perilaku atau perkembangan yang mendasari.</p>
<p>Tantrum yang <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23006014">bisa dikelompokkan sebagai “abnormal”</a> cenderung merupakan tantrum yang berlanjut melewati usia prasekolah, berlangsung lebih lama dari 15 menit, melibatkan anak melukai diri sendiri atau anak-anak lain, terjadi lebih dari lima kali sehari, atau terjadinya suasana hati buruk sesudah tantrum, bukannya kembali normal.</p>
<p><a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22928674">Tanda-tanda lain tantrum yang lebih parah</a> adalah ketika tantrum terjadi di hadapan orang dewasa yang bukan orang tua atau mendadak meledak, tanpa provokasi apa-apa. </p>
<p>Tidak mengherankan, keluarga seorang anak yang mudah dilanda tantrum barangkali juga membutuhkan dukungan. Salah satu <a href="http://www.anadolupsikiyatri.net/?mno=246897">studi mutakhir</a> mendapati bahwa setengah dari ibu-ibu dari anak-anak yang meminta bantuan karena perilaku tantrum mempunyai problem mental sendiri, umumnya depresi dan kecemasan.</p>
<p>Faktor-faktor keluarga lain yang <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2045487">terkait dengan tantrum yang sering atau parah</a> pada anak-anak mencakupi iritabilitas maternal, stres perkawinan, rendahnya tingkat pendidikan orang tua, ketika perawatan anak hanya dilakukan oleh ibu, dan ketika hukuman fisik digunakan di rumah.</p>
<p>Semua itu menyajikan sebuah gambaran keluarga dengan stres serius, entah itu mendahului atau akibat dari tantrum anak. Yang jelas, tantrum yang sering terjadi <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12806225">kemungkinan besar meningkatkan stres di rumah</a> sehingga penting bagi keseluruhan sistem keluarga mendapat sarana untuk mengatasinya. </p>
<h2>Apa yang harus dilakukan ketika anak Anda mengalami ledakan emosional (meltdown)</h2>
<p>Bagi 90% orang tua yang mengalami tantrum sebagai bagian dari pertumbuhan anak yang normal, cara terbaik menangani tantrum adalah dengan berusaha menghindarinya. Ini lebih mudah diomongkan daripada dilakukan, tetapi sebisa mungkin upayakan selalu <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23006014">konsisten dan dapat diperkirakan</a> dengan kebiasaan dan rutinitas. Dan pastikan harapan-harapan anak Anda sesuai dengan usia mereka. </p>
<p>Berikan pilihan-pilihan dalam pembuatan keputusan untuk mendorong independensi seraya memastikan adanya opsi-opsi yang bisa Anda terima sebagai orang tua. Misalnya, “Kamu mau yoghurt atau biskuit?” (Bukan “kamu mau makan apa?”).</p>
<p>Atau, “Kamu mau mendengarkan Play School atau Wiggles di mobil hari ini?” (Bukan “kamu ingin mendengarkan apa?” Salah melakukan ini bisa berujung pada sebulan memutar Alvin and the Chipmunks Greatest Hits, yang terdengar seburuk kenyataannya). </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/197092/original/file-20171130-30912-nwt1mr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/197092/original/file-20171130-30912-nwt1mr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/197092/original/file-20171130-30912-nwt1mr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/197092/original/file-20171130-30912-nwt1mr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/197092/original/file-20171130-30912-nwt1mr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/197092/original/file-20171130-30912-nwt1mr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/197092/original/file-20171130-30912-nwt1mr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Mendorong anak-anak yang lebih tua untuk mengatakan apa yang mereka rasakan.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/download/confirm/729251812?src=IyLhKbC-VEPQmE0lMaQJXA-3-48&size=huge_jpg">Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Waktu makan yang teratur dan tidur yang rutin akan membantu menghindari ledakan emosi karena lapar dan terlalu letih, dan menyingkirkan sumber-sumber frustrasi bagi anak (seperti sekaleng biskuit yang bisa mereka lihat tapi tak bisa mereka jangkau) juga bisa menolong.</p>
<p>Ketika mereka bertambah umur, doronglah anak-anak Anda mengungkapkan perasaan mereka dalam kata-kata. Kata-kata untuk mendeskripsikan emosi juga bisa dipantulkan kembali kepada anak-anak untuk mengajarkan literasi emosional, misalnya “Tampaknya kamu benar-benar marah soal ini” atau “Aku tahu ini membuatmu benar-benar merasa sedih”.</p>
<p>Yang tak kalah pentingnya dengan konsistensi sebagai orang tua adalah memilih pertempuran Anda. Jika permasalahannya tidak penting atau membahayakan keselamatan, hal itu <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23006014">tidak perlu</a> diributkan. </p>
<p>Di samping itu, ingatlah selalu untuk memberi anak Anda banyak perhatian positif ketika perilaku mereka layak mendapatkannya, karena seorang anak yang merasa diabaikan bisa memancing perhatian negatif hanya untuk mendapatkan perhatian.</p>
<p>Jika pencegahan tidak berhasil, beberapa <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23006014">strategi</a> mungkin membantu. Tetap tenang, jangan memanaskan situasi dan jangan menyerah untuk memastikan agar tantrum tidak dipandang sebagai aktivitas produktif. Waktu “<em>time-out</em>” bisa membantu orang tua maupun anak untuk menenangkan diri. <a href="https://www.healthychildren.org/English/family-life/family-dynamics/communication-discipline/Pages/Time-Outs-101.aspx">American Academy of Pediatrics merekomendasikan</a> satu menit <em>time-out</em> per tahun usia anak.</p>
<p>Jika Anda berada di tempat umum, usahakan untuk mengarahkan kembali perhatian anak dan jika itu tidak berhasil, tetap tenang dan tinggalkan lokasi itu jika perlu. </p>
<p>Akhirnya, bertahun-tahun lalu dalam sebuah studi tentang simpanse <a href="http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/(SICI)1098-2337(1997)23:5%3C329::AID-AB3%3E3.0.CO;2-D/abstract">para peneliti mengamati</a> fenomena rekonsiliasi setelah konflik. Persis simpanse, lebih dari sepertiga anak-anak balita ingin mengakhiri tantrum mereka dengan pelukan, dikenal sebagai “afiliasi pascatantrum”. Itulah cara yang menyenangkan untuk mengisyaratkan berakhirnya krisis dan kembali menjadi bagian kehidupan keluarga normal dengan pengetahuan bahwa, bagi sebagian besar keluarga, fase tantrum akan berlalu.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/88706/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Monique Robinson menerima dana dari National Health and Medical Research Council (NHMRC).</span></em></p>Hampir semua anak pernah tantrum dan hampir semua orang tua kelabakan menghadapinya. Baca panduan mengelolanya.Monique Robinson, Early Career Fellow, Telethon Kids Institute, The University of Western AustraliaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/848392017-10-03T09:28:07Z2017-10-03T09:28:07ZBagaimana anak merusak kemesraan suami-istri?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/187947/original/file-20170928-15028-2obrxr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Ketika pasangan mempunyai anak, kepuasan mereka terhadap pernikahan mungkin menurun, tapi ironis, kemungkinan bercerai pun turun.</span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span></figcaption></figure><p>Banyak perempuan menantikan saat menjadi ibu: mengenal bayi kecilnya, membesarkannya, dan membangun hubungan dengan anak yang beranjak dewasa. Di seluruh dunia, orang-orang percaya bahwa menjadi orang tua adalah pengalaman hidup yang paling <a href="http://doi.org/10.1007/s11205-011-9865-y">membahagiakan</a>.</p>
<p>Begitu banyak ibu menganggap ikatan dengan anak sebagai anugerah. Ini sesuatu yang bagus karena transisi menjadi orang tua mengakibatkan perubahan sungguh besar terhadap pernikahan dan kebahagiaan perempuan pada umumnya. Dan perubahannya bukan ke arah yang lebih baik.</p>
<p>Keluarga biasanya menyambut kedatangan buah hati dengan harapan yang besar. Tapi sejalan dengan ikatan antara ibu dan anak yang semakin dalam, ada kemungkinan hubungan dia dengan orang lain justru menurun kualitasnya. Saya menelaah banyak kajian tentang efek psikologis dari memiliki anak untuk menulis buku saya <a href="http://www.wiley.com/WileyCDA/WileyTitle/productCd-1118521285.html">“<em>Great Myths of Intimate Relationships: Dating, Sex, and Marriage</em>,”</a> (Mitos Besar tentang Hubungan Mesra: Pacaran, Seks, dan Pernikahan) dan berikut adalah apa yang saya dapatkan dari telaah literatur tersebut.</p>
<h2>Jatuh cinta dan lalu jatuh terus?</h2>
<p>Ketika orang menikah, mereka biasanya diliputi rasa cinta dan kebahagiaan. Tapi sesudahnya, hal-hal berubah. Pada umumnya, tingkat <a href="http://doi.org/10.1037/0022-3514.82.2.222">kepuasan pasangan terhadap pernikahan</a> menurun pada <a href="http://doi.org/10.1353/sof.2001.0055">tahun-tahun awal</a> pernikahan dan, jika kekecewaannya cukup dalam, maka <a href="http://doi.org/10.1037/0022-3514.80.2.237">perceraian mungkin saja terjadi</a>. Cinta sejati terus memudar. Dan itu bahkan terjadi sebelum Anda ada dalam situasi harus mulai membeli popok dan gendongan.</p>
<p>Selama 30 tahun, para peneliti telah mengkaji bagaimana anak mempengaruhi pernikahan, dan kesimpulannya: hubungan pasangan menurun begitu mereka punya anak. Peneliti membandingkan pasangan yang memiliki anak dan yang tidak dan mereka menemukan tingkat kepuasan terhadap hubungan menurun <a href="http://doi.org/10.1037/a0013969">dua kali lebih tajam</a> bagi pasangan yang memiliki anak ketimbang yang tidak. Dalam kasus <a href="http://doi.org/10.1037/0893-3200.22.1.41">kehamilan yang tidak direncanakan</a>, hubungan pasangan bahkan mengalami dampak negatif yang lebih besar. </p>
<p>Ironisnya, meski kepuasan terhadap pernikahan menurun, <a href="http://doi.org/10.1177/019251385006004003">kemungkinan cerai</a> juga menurun. Jadi, mempunyai anak mungkin saja membuat Anda tidak bahagia dengan hubungan Anda, tapi Anda merasa tidak berbahagia berdua.</p>
<p>Lebih jauh, kepuasan atas hubungan pernikahan dapat mempengaruhi perubahan pada kebahagiaan seseorang secara umum karena <a href="http://doi.org/10.1037/0033-2909.125.2.276">faktor yang paling menentukan</a> kepuasan hidup adalah kepuasan seseorang terhadap pasangannya.</p>
<p>Dampak negatif dari menjadi orang tua terhadap pernikahan biasanya sudah diketahui oleh para bapak dan para ibu. Tetapi pengetahuan ini tidak diketahui pasangan muda di awal pernikahan karena banyak dari orang muda percaya bahwa mempunyai anak akan semakin <a href="http://doi.org/10.1007/s11205-011-9865-y">mendekatkan mereka</a> atau minimal <a href="https://www.jstor.org/stable/352348">tidak akan menyebabkan tekanan </a> dalam pernikahan. Tapi keyakinan ini, bahwa mempunyai anak akan memperindah pernikahan, adalah <a href="http://www.wiley.com/WileyCDA/WileyTitle/productCd-1118521285.html">mitos yang kuat</a> tertanam pada diri orang muda yang sedang jatuh cinta.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/121271/original/image-20160504-27756-82gy7o.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/121271/original/image-20160504-27756-82gy7o.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/121271/original/image-20160504-27756-82gy7o.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/121271/original/image-20160504-27756-82gy7o.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/121271/original/image-20160504-27756-82gy7o.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/121271/original/image-20160504-27756-82gy7o.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/121271/original/image-20160504-27756-82gy7o.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/121271/original/image-20160504-27756-82gy7o.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Jadi? Sudahkah aku menjungkirbalikkan duniamu?</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="http://www.shutterstock.com/pic.mhtml?id=286988390">www.shutterstock.com.</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Dari kekasih menjadi orang tua</h2>
<p>Kehadiran bayi di rumah tangga akan mengubah dinamika keluarga. Dan memang, kehadiran anak-anak <a href="https://books.google.com/books?hl=en&lr=&id=mCQZR7aLn6oC&oi=fnd&pg=PA79&dq=Becoming+a+family:+Marriage,+parenting,+and+child+development&ots=OtEXNeMf58&sig=KkAUrJr9iI1IjqHM0Zr3fLC0mw8#v=onepage&q=Becoming%20a%20family%3A%20Marriage%2C%20parenting%2C%20and%20child%20development&f=false">mengubah bagaimana</a> pasangan berinteraksi. Orang tua kadang menjadi berjarak dan hanya membahas yang perlu-perlu saja saat mereka memusatkan perhatian pada hal-hal detil pengasuhan. Hal-hal rutin seperti menyuapi anak, memandikannya, memakaikan baju, semua menguras tenaga, waktu, dan ketabahan. </p>
<hr>
<p><em><strong>Baca juga:</strong> <a href="https://theconversation.com/apakah-stres-pada-masa-kehamilan-dapat-membahayakan-bayi-saya-82904">Apakah stres pada masa kehamilan dapat membahayakan bayi saya?</a></em></p>
<hr>
<p>Dalam upaya mengurus keluarga dengan baik, orang tua mendiskusikan siapa yang harus keluar membeli kebutuhan sehari-hari dan antar jemput, alih-alih membincangkan gosip terbaru atau pemikiran mereka tentang pemilihan presiden. Pertanyaan tentang apa kabar kamu hari ini digantikan dengan apakah popok anak sudah perlu diganti.</p>
<p>Perubahan ini bisa mendalam. Identitas fundamental bisa bergeser—dari istri menjadi ibu, atau, pada tingkat yang lebih intim, dari <a href="http://doi.org/10.1177/019251385006004004">kekasih menjadi orang tua</a>. Bahkan di kalangan pasangan sesama jenis, kehadiran anak bisa menurunkan kepuasan hubungan, termasuk hubungan seks. Selain kemesraan seks, orang tua baru juga akan berhenti mengatakan dan melakukan <a href="http://doi.org/10.2307/1130005">hal-hal kecil</a> yang membuat pasangannya senang. SMS menggoda digantikan oleh pesan-pesan yang tampak seperti bon belanja dari warung.</p>
<p>Di Amerika Serikat, hampir separuh kelahiran anak terjadi pada pasangan yang belum menikah. Bisa jadi banyak orang tua berpikir mereka berhasil menyiasati sistem dengan melompati proses pernikahan. Ternyata tidak demikian halnya. Beban mengasuh anak tetap ada terlepas dari status pernikahan, orientasi gender, atau jumlah pemasukan. Selain itu, dampak serius dari menjadi orang tua juga ditemukan di <a href="http://doi.org/10.1111/j.1741-3737.2007.00434.x">negara lain</a>, termasuk negara dengan jumlah orang tua tidak menikah yang besar dan yang memiliki kebijakan pro keluarga yang lebih baik.</p>
<h2>Ibu menanggung lebih banyak beban</h2>
<p>Tidak mengejutkan, memang ibu, bukan bapak, yang menanggung beban paling berat dari menjadi orang tua. Bahkan pada kasus kedua orang tua kerja di luar rumah atau pada pasangan yang mengaku membagi tugas rumah tangga secara seimbang, kebanyakan keluarga cenderung menggunakan <a href="http://doi.org/10.1111/j.1741-3737.2007.00459.x">pola asuh yang berdasar stereotip gender</a>. Perempuan lebih mungkin menjadi yang <a href="http://doi.org/10.1111/j.1741-3737.2003.00356.x">siap siaga ditelepon kalau ada apa-apa</a>, atau menjadi yang lebih sering bangun di malam hari untuk mengurus anaknya, atau yang ditelepon perawat sekolah.</p>
<p>Sebagai bagian dari pola ini, ibu baru cenderung mengurangi jam kerja, yang kadang membuat beban finansial para bapak semakin berat. Pola yang umum terjadi adalah para bapak mulai menghabiskan banyak waktu dan tenaga di luar untuk bekerja, dan para ibu semakin banyak <a href="http://psycnet.apa.org/index.cfm?fa=search.displayRecord&uid=1992-97452-000">mengasuh dan melakukan pekerjaan rumah tangga</a>. Anda bisa mengira-ngira sendiri, seberapa perasaan <a href="https://books.google.com/books/about/The_transition_to_parenthood.html?id=PEBs4MyNpycC">frustrasi, rasa bersalah, dan tekanan</a> bagi kedua orang tua.</p>
<p>Ibu baru kerap menyampaikan perasaan terisolasi secara sosial, terputus hubungan dari teman-teman dan kolega, dan bagaimana dunia mereka tampak mengecil. Semua perubahan ini mengarah ke perubahan mendasar pada lingkaran pergaulan dan dukungan para ibu, termasuk dengan pasangan mereka.</p>
<p>Konsekuensi dari hubungan yang merenggang bisa serius. Stres dalam pernikahan dikaitkan dengan banyak masalah <a href="http://doi.org/10.1177/0022022115587026">kesehatan fisik serius,</a> juga <a href="http://doi.org/10.1037/a0038267">gejala depresi dan masalah kesehatan lainnya</a>. Tautan antara masalah psikologis dan masalah pernikahan cukup kuat sampai-sampai beberapa peneliti percaya resep paling efektif untuk menangani <a href="http://doi.org/10.1016/S0272-7358(98)00023-3">depresi</a> dan <a href="http://doi.org/10.1111/j.1752-0606.2011.00242.x">masalah kesehatan mental lainnya</a> adalah terapi pasangan.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/121272/original/image-20160504-22761-chl8j3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/121272/original/image-20160504-22761-chl8j3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/121272/original/image-20160504-22761-chl8j3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/121272/original/image-20160504-22761-chl8j3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/121272/original/image-20160504-22761-chl8j3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/121272/original/image-20160504-22761-chl8j3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/121272/original/image-20160504-22761-chl8j3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/121272/original/image-20160504-22761-chl8j3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Sampai jumpa lagi, anakku.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="http://www.shutterstock.com/pic.mhtml?id=388726507">www.shutterstock.com.</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Cahaya di ujung terowongan?</h2>
<p>Jika kehadiran anak-anak membuat pernikahan tambah sulit, apakah kepergian anak yang sudah mandiri baik bagi pernikahan? Beberapa pernikahan memang menjadi lebih baik saat anak mandiri dan <a href="http://doi.org/10.2307/2095629">meninggalkan orang tua</a>. Di kasus lain, ketika anak sudah mandiri dan pergi, pasangan malah menemukan mereka tak punya banyak kesamaan dan tak ada lagi alasan mereka untuk <a href="http://doi.org/10.2307/353453">bersama</a>.</p>
<p>Persoalan seputar memiliki anak inilah yang mungkin bisa menyumbang penjelasan mengapa semakin banyak perempuan di Amerika Serikat dan <a href="http://data.worldbank.org/indicator/SP.DYN.TFRT.IN/">seluruh dunia</a> memilih tidak memiliki anak. Menurut sensus di AS, persentase perempuan usia 15-44 tahun yang tak memiliki anak meningkat banyak dalam dua generasi: <a href="https://www.census.gov/hhes/fertility/data/cps/historical.html">dari 35% pada 1976 ke 47% pada 2010</a>. </p>
<p>Meski gambaran menjadi seorang ibu diwarnai suram oleh peneliti seperti saya (mohon maaf, para ibu), kebanyakan ibu (dan bapak) menilai menjadi orang tua adalah <a href="http://doi.org/10.1007/s11205-011-9865-y">kebahagiaan terbesar</a> dalam hidup mereka. </p>
<p>Hampir semua ibu mengatakan rasa sakit dan penderitaan dari melahirkan terbayar lunas oleh kehadiran si buah hati. Demikian pula dengan menyaksikan anak tumbuh; hampir semua ibu mengatakan rasa bahagianya cukup untuk membayar kehilangan hubungan mesra pernikahan mereka.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/84839/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Matthew D. Johnson has received funding from the Research Foundation of the State University of New York, the Fahs-Beck Fund for Research and Experimentation, and the American Psychological Association.</span></em></p>Banyak ibu dan bapak paham konsekuensi memiliki anak pada hubungan pernikahan. Tetapi orang muda yang sedang jatuh cinta tidak tahu ini; mereka pikir punya anak akan memperindah pernikahan.Matthew D. Johnson, Chair & Professor of Psychology and Director of the Marriage and Family Studies Laboratory, Binghamton University, State University of New YorkLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.