tag:theconversation.com,2011:/us/topics/rasisme-44733/articlesRasisme – The Conversation2024-02-21T06:51:15Ztag:theconversation.com,2011:article/2226132024-02-21T06:51:15Z2024-02-21T06:51:15ZBenarkah Immanuel Kant rasis?<p>Immanuel Kant adalah salah satu peletak dasar filosofis kesetaraan martabat semua manusia atau biasa disebut prinsip universalisme. Sayangnya, pencapaian Kant ini dinodai oleh <a href="https://www.transkultur.ch/cms/upload/pdf/190102-Sutter_Kant_und_die_Wilden_1989.pdf">tudingan rasisme dalam karya-karyanya</a>. </p>
<p>Kant dituding sebagai <a href="https://www.jstor.org/stable/4543266">pemikir universalisme yang tidak konsisten</a>, atau bahkan, <a href="https://doi.org/10.1002/9780470753514.ch8">teoretikus rasisme</a>.</p>
<p>Apakah Kant memang seorang rasis?</p>
<h2>Jejak rasisme dalam karya-karya Kant</h2>
<p>Tudingan Kant rasis muncul karena adanya jejak kalimat bias di dalam karya-karyanya. Sebenarnya, secara kuantitatif, jejak tersebut tidaklah seberapa dan tersebar secara sporadis. </p>
<p>Namun, rasisme adalah persoalan yang sensitif. Sensitivitas inilah yang mendorong penelitian intensif bertema <a href="https://www.deutschlandfunkkultur.de/immanuel-kant-und-der-rassismus-100.html">rasisme</a> di dalam pemikiran Kant.</p>
<p>Misalnya, dalam karya Kant yang berjudul <a href="https://content.e-bookshelf.de/media/reading/L-10084116-144c3eb917.pdf"><em>Von den verschiedenen Racen der Menschen</em></a> (Perihal Perbedaan Ras Manusia). </p>
<p>Di karya tersebut, Kant mengategorikan manusia ke dalam empat ras: putih, negro (<em>Neger</em>), mongoloid (<em>Hünnische</em>), dan India (<em>Hindustan</em>). Kant berargumen bahwa kategorisasi ini didasarkan pada warna kulit. Keempat ras tersebut berasal dari satu nenek moyang yang sama (monogenesis) dan perbedaan ras muncul karena faktor adaptasi dengan lingkungan dan cuaca. </p>
<p>Kant juga beranggapan bahwa ada karakter khusus yang melekat di masing-masing ras. Ini adalah anggapan yang mengandung bias, yang kemudian memancing tudingan rasisme. </p>
<p>Rasisme ini menjadi semakin kentara ketika Kant mengatakan bahwa kaum Negro adalah pemalas, lemah, dan suka mengeluh karena terlalu dimanjakan oleh kelimpahan alam. Dibandingkan kaum kulit putih yang hidup di alam yang lebih keras secara suhu dan cuaca, Kant menganggap kaum Negro yang hidup di alam tropis lebih mudah dan nyaman hidupnya.</p>
<p>Di dalam <a href="https://doi.org/10.1017/CBO9781139028639"><em>Menschenkünde oder Anthropologische Philosophie</em></a> (Ilmu Pengetahuan Manusia atau Filsafat Antropologi), Kant menegaskan karakter dari masing-masing ras. Kant membuat peringkat ras berdasarkan kriteria talenta dan kapasitas. Orang kulit putih memiliki posisi tertinggi. Tiga ras lainnya berada di bawah kulit putih. Bias superioritas kulit putih terlihat dalam hirarki ini. </p>
<p>Jejak hirarki ras juga dapat ditelusuri dalam <a href="https://archive.org/details/smtlichewerk08kant/page/164/mode/1up?q=Einwohner"><em>Über den Gebrauch teleologischer Prinzipien in der Philosophie</em></a> (Penggunaan Prinsip Teleologis dalam Filsafat). Kant menegaskan bahwa penduduk asli Amerika terlalu lemah untuk dapat bekerja keras dan kedudukannya lebih rendah dari orang Negro. Secara implisit, ini adalah stigma yang didasarkan pada bias superioritas kulit putih Eropa. Superioritas ini didasarkan pada asumsi keunggulan intelektual, budaya, dan peradaban.</p>
<p>Dalam <a href="https://archive.org/details/kritikderurteils00kantuoft/page/242/mode/2up?q=angehenden"><em>Kritik der Urteilskraft</em></a> (Kritik terhadap Putusan), Kant juga menyebutkan bahwa status penduduk asli Amerika belum sepenuhnya manusia. Lalu dalam <a href="https://archive.org/details/bub_gb_pbI_AAAAYAAJ/page/n1/mode/2up"><em>Physische Geographie</em></a> (Geografi Fisik), Kant mengatakan bahwa ras kulit putih adalah ras yang paling sempurna (<em>Vollkommenheit</em>) dan menempati puncak hirarki. Sedangkan ras kulit berwarna seperti orang India, Negro dan penduduk asli Amerika statusnya berada di bawah.</p>
<p>Selain itu, indikasi antisemitisme juga ditemukan dalam <a href="https://archive.org/details/b24885046/page/118/mode/2up?q=Betr%C3%BCgern"><em>Antropologie in pragmatischer Hinsicht</em></a> (Antropologi dari Sudut Pandang Pragmatis). Kant menyebut bahwa bangsa Yahudi adalah bangsa pembohong dan juga memiliki mental pemeras.</p>
<p>Dari pernyataan-pernyataan tersebut, wajar jika banyak orang menilai Kant sebagai pemikir <a href="https://doi.org/10.1007/s42520-018-0006-5">era pencerahan (<em>Aufklärung</em>)</a> yang belum dapat melepaskan diri sepenuhnya dari sentimen superioritas kulit putih masyarakat Eropa.</p>
<p>Sebenarnya, Kant tidak memiliki pengetahuan etnografi yang mendalam. Kant bukanlah seorang petualang. Sepanjang hidupnya, Kant tidak pernah meninggalkan Königsberg (sekarang Kaliningrad di Rusia), kota kelahirannya. </p>
<p>Pengetahuan etnografi Kant diperoleh dari literatur petualangan yang dia baca. <a href="https://www.steiner-verlag.de/Die-Entstehung-des-wissenschaftlichen-Rassismus-im-18.-Jahrhundert/9783515117562">Kant hanya mengamini apa yang dia baca tanpa melakukan telaah kritis</a>. Ini membuat klaim-klaim yang dia buat tidak didasarkan pada analisis data yang memadai dan data yang digunakan berasal dari pengalaman tangan kedua. Kant tidak pernah berinteraksi secara langsung dengan ras-ras yang dia tuliskan dalam karya-karyanya.</p>
<h2>Jadi, apakah Kant rasis?</h2>
<p>Menurut penulis, rasisme Kant tidak bersifat ideologis. Artinya, meski memberikan pernyataan yang menghakimi, Kant percaya bahwa karakter ras bukanlah harga mati yang tidak dapat diubah. Karakter ras masih dapat diperbaiki. <a href="https://archive.org/details/b24885046/page/278/mode/2up?q=kultivieren">Kant menaruh harapan pada seni dan ilmu pengetahuan dalam menempa, memperadabkan, dan mendongkrak kualitas moral manusia sebagai mahkluk yang bernalar (<em>vernünftig</em>)</a>. </p>
<p>Pemikiran Kant perihal prinsip universalisme moral jauh lebih banyak di dalam karya-karyanya. Bagi Kant, martabat manusia tidak melekat pada aspek biologis dan tidak dibatasi oleh kategori ras. <a href="https://www.perlentaucher.de/buch/marcus-willaschek/kant.html">Martabat manusia melekat pada nalar (<em>Vernünft</em>) dan kehendak bebas (Willensfreiheit)</a>. Kant sangat menekankan dua hal ini sebagai ketentuan (<em>Bestimmung</em>) dari kemanusiaan seorang manusia.</p>
<p>Hanya, tesis universalisme martabat manusia Kant masih belum cukup universal karena mengecualikan mereka-mereka yang tidak memenuhi kriteria kemampuan bernalar dan kehendak bebas. Bagaimana, misalnya, dengan orang yang mengalami gangguan mental atau memiliki demensia? Kemampuan bernalar dan kehendak bebas justru membatasi universalisme kesetaraan martabat semua manusia. </p>
<p>Ini semacam rasisme intelektual yang berpotensi mendorong adanya diskriminasi baru. <a href="https://aktuelles.uni-frankfurt.de/forschung/war-kant-ein-rassist-der-philosoph-marcus-willaschek-im-interview/">Inilah persoalan yang lebih serius di dalam filsafat Kant</a>. </p>
<h2>Universalisme tanpa batasan</h2>
<p>Harus diakui bahwa karya-karya Kant mengandung muatan yang terindikasi rasisme. Di satu sisi, Kant adalah peletak dasar tesis universalisme martabat manusia. Di sisi lain, terdapat setidaknya dua inkonsistensi di dalam pemikiran Kant: superioritas orang kulit putih yang memunculkan hirarki ras, dan rasisme intelektual. </p>
<p>Namun, inkonsistensi Kant tidak serta merta menyanggah tesis universalisme martabat manusia. <a href="https://www.philomag.de/artikel/kant-und-der-rassismus-0">Ibaratnya, Kant hanya menunjukkan jalan, tetapi belum mengantarkan kita pada tujuan</a>. </p>
<p>Universalisme martabat adalah fondasi dari kesetaraan hak asasi manusia. Di satu sisi, jasa Kant akan hal tersebut tidak boleh dilupakan. Namun, emikiran Kant juga harus kita telaah dengan kritis.</p>
<p><a href="https://www.philomag.de/artikel/gayatri-c-spivak-kant-braucht-unsere-hilfe">Gayatri C. Spivak</a>, kritikus sastra dan postkolonialisme dari India, mengatakan bahwa pemikiran Kant harus dikoreksi dengan tesisnya sendiri. Artinya, baik superioritas kulit putih maupun kriteria kemampuan nalar dan kehendak bebas tidak boleh membatasi universalisme martabat manusia.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/222613/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Martinus Ariya Seta tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kant dikenal sebagai salah satu peletak dasar filosofis kesetaraan martabat manusia. Namun, pencapaian Kant ini dinodai tudingan rasisme di dalam karya-karyanya. Benarkah Kant rasis?Martinus Ariya Seta, Dosen, Universitas Sanata DharmaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2120852023-09-16T02:48:03Z2023-09-16T02:48:03ZMembandingkan orang kulit hitam dengan monyet berangkat dari sejarah simian yang panjang dan kelam<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/544102/original/file-20230822-5243-dp39pu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Klimaks dari simianisasi yang populer adalah film klasik yang sangat sukses dari pabrik horor Hollywood, King Kong.</span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span></figcaption></figure><p><em>Artikel ini adalah sebuah esai dasar. Artikel ini lebih panjang dari biasanya dan membahas lebih luas tentang masalah utama yang memengaruhi masyarakat.</em></p>
<p>Dalam sejarah budaya Eropa, perbandingan manusia dengan kera dan monyet telah direndahkan sejak awal.</p>
<p>Ketika Plato–dengan mengutip Heraclitus–menyatakan bahwa kera itu buruk dalam hubungannya dengan manusia dan manusia itu buruk dalam hubungannya dengan para dewa, ini sebenarnya penghinaan bagi kera. Hal ini secara transenden memutuskan hubungan mereka dengan manusia. Para Bapa Gereja berpikir lebih jauh lagi: Santo Gregorius dari Nazianzus dan Santo Isidore dari Sevilla membandingkan orang kafir dengan monyet.</p>
<p>Pada Abad Pertengahan, wacana Kristen mengakui simian sebagai sosok iblis dan perwakilan dari perilaku yang penuh nafsu dan dosa. Karena perempuan menjadi sasaran penghinaan yang serupa, segala sesuatunya berjalan seperti yang bisa diduga. Pada abad ke-11, Kardinal Peter Damian memberikan sebuah kisah tentang seekor monyet yang menjadi kekasih seorang bangsawan dari Liguria. Simian yang cemburu itu membunuh suaminya dan melahirkan anaknya.</p>
<h2>Sarang monster</h2>
<p>Beberapa abad kemudian pada tahun 1633, John Donne dalam karyanya <a href="http://www.luminarium.org/editions/metempsycosis.htm">“Metempsychosis”</a> bahkan membiarkan salah satu anak perempuan Adam dirayu oleh seekor kera dalam sebuah perselingkuhan. Dengan penuh semangat dia menerimanya dan menjadi ketagihan. </p>
<p>Sejak saat itu, manifestasi seksis dari simianisasi terjalin erat dengan dimensi rasisnya. Jean Bodin, penemu teori kedaulatan, telah mengaitkan hubungan seksual antara hewan dan manusia dengan Afrika di selatan Sahara. Dia mencirikan wilayah tersebut sebagai sarang monster, yang muncul dari persatuan seksual antara manusia dan hewan. </p>
<p>Sejarah narasi oleh Antonio de Torquemada menunjukkan bagaimana dalam proses ini orang-orang Afrika menjadi iblis dan iblis-iblis itu menjadi rasial. Dalam versi pertama cerita ini (1570), seorang perempuan Portugis diasingkan ke Afrika lalu ia <a href="https://sapientia.ualg.pt/bitstream/10400.1/1610/1/11-12-Dodds.pdf">diperkosa oleh kera</a> dan melahirkan bayinya.</p>
<p>Satu abad kemudian, kisah ini telah memasuki ranah pemikiran filosofis besar Eropa. John Locke dalam esainya pada tahun 1689 <a href="http://oll.libertyfund.org/titles/locke-the-works-vol-1-an-essay-concerning-human-understanding-part-1?q=drills#Locke_0128-01_907">“Concerning Human Understanding”</a>, menyatakan bahwa “perempuan telah mengandung dengan <em>drills</em>”. Para intelektual pada zamannya tahu betul bahwa panggung tempat terjadinya kisah cinta dan perkosaan yang melampaui batas ini adalah Afrika karena, menurut kearifan pada masa itu, <em>drills</em> hidup di Guinea.</p>
<p>Pada abad-abad berikutnya, simianisasi masuk ke dalam berbagai ilmu pengetahuan dan humaniora. Beberapa di antaranya adalah Antropologi, arkeologi, biologi, etnologi, geologi, kedokteran, filsafat dan, yang tak kalah penting, teologi.</p>
<h2>Rasisme film ‘King Kong’</h2>
<p>Sastra, seni, dan hiburan sehari-hari juga ikut menyoroti masalah ini. Film ini memopulerkan kombinasi representasi seksis dan rasis yang sangat menjijikkan. Puncaknya adalah film klasik yang sangat sukses dari pabrik horor Hollywood, “King Kong”.</p>
<p>Pada saat produksi King Kong, publik di Amerika Serikat (AS) terpaku pada sebuah percobaan perkosaan. Diceritakan tentang the <a href="http://www.pbs.org/wgbh/amex/scottsboro/timeline/"><em>Scottsboro Boys</em></a>, sembilan remaja kulit hitam yang dituduh telah memerkosa dua orang perempuan kulit putih. Pada tahun 1935, sebuah cerita bergambar karya seniman Jepang Lin Shi Khan dan litografer Toni Perez diterbitkan. “Scottsboro Alabama” memiliki kata pengantar oleh Michael Gold, editor jurnal komunis New Masses.</p>
<p>Salah satu dari 56 gambar itu menampilkan kelompok pemuda yang dituduh dengan judul “Perkosaan Bersalah”. Sisa gambar lainnya dipenuhi dengan sosok simian hitam yang mengerikan yang memperlihatkan giginya dan menyeret seorang perempuan kulit putih yang tak berdaya.</p>
<p>Para seniman sepenuhnya memahami interaksi antara ideologi rasis, pemberitaan reaksioner, dan ketidakadilan di selatan. Mereka menyadari bahwa masyarakat kulit putih telah dikondisikan secara menyeluruh oleh kekerasan yang tidak manusiawi dari perbandingan hewan dan representasi simian, seperti dalam rasisme film “King Kong”.</p>
<h2>Dilabeli dengan penyakit</h2>
<p>Animalisasi dan bahkan bakterialisasi adalah elemen dehumanisasi rasis yang tersebar luas. Hal ini berkaitan erat dengan pelabelan orang lain dengan bahasa kontaminasi dan penyakit. Gambar-gambar yang menempatkan manusia sejajar dengan tikus yang membawa wabah penyakit merupakan bagian dari pengawalan ideologi rasisme anti-Yahudi dan anti-Cina.</p>
<p>Afrika dicap sebagai benua penular yang menginkubasi berbagai macam wabah penyakit di hutan-hutan yang panas dan lembab, yang disebarkan oleh orang-orang yang sembrono dan tidak terkendali secara seksual. AIDS secara khusus dikatakan berasal dari kecerobohan orang-orang Afrika dalam berhubungan dengan simian, yang mereka makan atau yang darahnya mereka gunakan sebagai obat perangsang.</p>
<p>Ini hanyalah bab terbaru dari deretan stereotip yang panjang dan buruk yang ditujukan kepada orang-orang yang berbeda seperti orang <a href="http://thesocietypages.org/socimages/2011/01/28/irish-apes-tactics-of-de-humanization/">Irlandia</a> atau orang <a href="https://po394.wordpress.com/wartime-propaganda/">Jepang</a>, dan khususnya orang Afrika dan orang <a href="http://www.authentichistory.com/diversity/african/3-coon/6-monkey/">Afrika-Amerika</a>. Melempar pisang di depan olahragawan kulit hitam merupakan provokasi rasis yang umum terjadi bahkan hingga saat ini.</p>
<h2>Mengapa orang kulit hitam dilecehkan?</h2>
<p>Apa yang menjelaskan asosiasi buruk terhadap orang kulit hitam yang difitnah sebagai simian ini? Kombinasi beberapa faktor mungkin menjadi penyebabnya: </p>
<ul>
<li><p>Prevalensi berbagai jenis kera besar di Afrika, yang ukurannya paling mendekati manusia. Populasi kera besar di Asia lebih terbatas, sementara di Amerika kita dapat menemukan monyet, tetapi tidak ada kera; </p></li>
<li><p>Tingkat “jarak” estetika antara kulit putih dan kulit hitam, derajat yang lebih besar dari perspektif “keanehan” fisik orang kulit putih (tidak hanya berbeda dalam warna kulit dan tekstur rambut, tetapi juga fitur wajah) dibandingkan dengan ras “non-kulit putih” lainnya; </p></li>
<li><p>penghormatan yang lebih tinggi yang secara umum diberikan oleh orang Eropa kepada orang Asia dibandingkan dengan peradaban Afrika; dan </p></li>
<li><p>di atas semua itu, dampak psikis dari perbudakan rasial selama ratusan tahun di era modernitas, yang mencap “Negro” sebagai sub-manusia dan budak alami, dalam kesadaran global.</p></li>
</ul>
<p>Perbudakan dalam skala besar membutuhkan pengurangan manusia menjadi objek. Justru karena itu, hal ini juga membutuhkan jenis dehumanisasi yang menyeluruh dan sistematis dalam teorisasi realitas tersebut.</p>
<h2>Asal usul spesies</h2>
<p>Jauh sebelum “rasisme ilmiah” pasca-Darwin mulai berkembang, orang dapat menemukan orang kulit hitam digambarkan lebih dekat dengan kera dalam Rantai Makhluk Besar.</p>
<p>Ambil contoh pertengahan abad ke-19 di Amerika, di mana poligenesis (asal-usul ras yang terpisah) dianggap serius. Ilmuwan terkemuka pada masa itu, Josiah C. Nott dan George R. Gliddon, dalam buku mereka yang berjudul <a href="https://archive.org/details/typesmankindore01pattgoog">“Types of Mankind” (1854)</a>, mendokumentasikan apa yang mereka anggap sebagai hierarki rasial yang obyektif dengan ilustrasi-ilustrasi yang membandingkan orang kulit hitam dengan simpanse, gorila, dan orangutan. </p>
<p>Seperti yang dikatakan oleh Stephen Jay Gould, buku tersebut bukanlah dokumen amatir, tetapi merupakan teks terkemuka di Amerika tentang perbedaan ras.</p>
<figure class="align-left zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/112520/original/image-20160223-16416-8wueiz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/112520/original/image-20160223-16416-8wueiz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/112520/original/image-20160223-16416-8wueiz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=721&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/112520/original/image-20160223-16416-8wueiz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=721&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/112520/original/image-20160223-16416-8wueiz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=721&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/112520/original/image-20160223-16416-8wueiz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=906&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/112520/original/image-20160223-16416-8wueiz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=906&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/112520/original/image-20160223-16416-8wueiz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=906&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Darwin tidak mendiskreditkan rasisme ilmiah dalam ‘<em>On the Origin of Species</em>’. Ia hanya menyempurnakannya.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Karya revolusioner Darwin di 1859, <em>On the Origin of Species</em>, tidak mendiskreditkan rasisme ilmiah, melainkan hanya varian poligenetiknya. Darwinisme Sosial, yang menang secara monogenetik, akan menjadi ortodoksi rasial yang baru. Dominasi kulit putih secara global dianggap sebagai bukti keunggulan evolusi ras kulit putih.</p>
<p>Jika sekarang harus diakui bahwa kita semua berkerabat dengan kera, tetap saja dapat dikatakan bahwa konsanguitas orang kulit hitam jauh lebih dekat–mungkin sebuah identitas yang jelas.</p>
<h2>Tarzan = kulit putih</h2>
<p>Budaya populer memainkan peran penting dalam menyebarkan kepercayaan ini. Rata-rata orang awam Amerika tidak mungkin membaca jurnal ilmiah. Namun mereka pasti membaca H. Rider Haggard (penulis “King Solomon’s Mines” dan “She”) dan Edgar Rice Burroughs (pencipta “Tarzan”). Mereka pergi ke bioskop setiap minggu, termasuk genre “film rimba”. Mereka mengikuti strip komik harian seperti “The Phantom” - supercop kulit putih Afrika, Hantu yang berjalan.</p>
<p>Afrika dan orang Afrika menempati tempat khusus dalam khayalan kulit putih, dengan penggambaran yang paling memalukan. Burroughs akan menjadi salah satu penulis terlaris di abad ke-20. Tidak hanya dalam berbagai bukunya, tetapi juga dalam film yang dibuat dari buku-buku tersebut dan berbagai strip kartun dan <em>spin-off</em> komik, dari ciptaannya yang paling terkenal, <a href="http://weareorlando.co.uk/page13.php">“Tarzan”</a> sebagai bagian dari Kera.</p>
<p>Tarzan memberikan citra yang tak terhapuskan dalam pikiran Barat tentang seorang pria kulit putih yang menguasai benua hitam. “Tar-zan” = “kulit putih” dalam bahasa Kera, demikian Burroughs yang merupakan seorang poliglot menginformasikan kepada kita. Ini adalah dunia di mana manusia berkulit hitam adalah binatang, simian, sementara kera yang sebenarnya adalah manusia.</p>
<p>Karya Burroughs termasuk karya yang berhasil, hal yang belum pernah terjadi sebelumnya, tetapi sama sekali tidak biasa untuk periode tersebut. Sebaliknya, karya ini mengonsolidasikan ikonografi Manichean yang tersebar di seluruh dunia Barat pada paruh pertama abad ke-20 dan bertahan hingga saat ini. Dalam konflik antara terang dan gelap ini, orang Eropa berkulit putih menguasai orang kulit hitam yang mereka anggap lebih rendah.</p>
<h2>Pengumuman Lumumba</h2>
<p>Seri kartun “Tintin” karya kartunis Belgia Hergé, misalnya, termasuk buku <a href="http://www.counterpunch.org/2012/02/15/tintin-and-racism/">“Tintin au Congo”</a> yang terkenal, juga menggambarkan orang Afrika sebagai makhluk yang lebih rendah.</p>
<p>Tidak mengherankan, <em>macaques</em> (monyet) menjadi salah satu istilah rasis yang digunakan oleh orang kulit putih di Kongo Belgia untuk orang kulit hitam, seperti halnya “macacos” di Afrika Portugis. Dalam pidato Hari Kemerdekaan tahun 1960, pemimpin Kongo Patrice Lumumba mengecam warisan kolonialisme Belgia yang menindas (yang membuat heran dan marah raja Belgia dan para pembesarnya, yang mengharapkan penghormatan dari penduduk asli). Dia menyimpulkan:</p>
<blockquote>
<p><a href="https://iconicphotos.wordpress.com/tag/patrice-lumumba/"><em>Nous ne sommes plus vos macaques!</em></a> (Kami bukan lagi monyet-monyet kalian)</p>
</blockquote>
<p>Kisah ini tampaknya disembunyikan–tidak ada dokumentasi yang ditemukan untuk itu–tetapi peredarannya yang luas membuktikan aspirasi dekolonial jutaan orang Afrika. Sayangnya, dalam waktu kurang dari satu tahun, Lumumba mati, dibunuh dengan persekongkolan agen-agen Barat, dan negara itu beralih ke pemerintahan neokolonial.</p>
<h2>Aliansi lintas kelas yang rasis</h2>
<p>Penggunaan simianisasi sebagai penghinaan rasis terhadap orang kulit hitam belum berakhir, seperti yang ditunjukkan oleh kehebohan di Afrika Selatan yang dipicu oleh Penny Sparrow, seorang perempuan kulit putih, yang <a href="http://www.theguardian.com/world/2016/jan/05/south-african-woman-faces-criminal-charges-racist-tweets">mengeluh</a> tentang orang-orang kulit hitam yang berpesta pora di malam Tahun Baru:</p>
<blockquote>
<p>Mulai sekarang saya akan menyebut orang kulit hitam di Afrika Selatan sebagai monyet karena saya melihat monyet-monyet kecil yang lucu melakukan hal yang sama, memungut dan membuang sampah sembarangan.</p>
</blockquote>
<p>Amarah publik yang dipantik Sparrow menunjukkan betapa dalamnya prasangka dan stereotip rasial.</p>
<figure class="align-right zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/112508/original/image-20160223-16425-q1vd0i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/112508/original/image-20160223-16425-q1vd0i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/112508/original/image-20160223-16425-q1vd0i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=380&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/112508/original/image-20160223-16425-q1vd0i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=380&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/112508/original/image-20160223-16425-q1vd0i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=380&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/112508/original/image-20160223-16425-q1vd0i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=477&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/112508/original/image-20160223-16425-q1vd0i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=477&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/112508/original/image-20160223-16425-q1vd0i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=477&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Pasangan Presiden Amerika Serikat, Barack dan Michelle Obama, menjadi sasaran simianisasi.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Reuters/Kevin Lamarque</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Hal ini tidak berhenti pada batas-batas kelas. Internet telah dipenuhi dengan perbandingan kera sejak Barack Obama dan Michelle Obama pindah ke Gedung Putih. Bahkan sebuah surat kabar sosial-liberal, seperti De Morgen dari Belgia, menganggap lucu untuk melakukan simianisasi terhadap <a href="http://thisisafrica.me/obamas-ape-impression-furore/">Sang Presiden dan First Lady</a> tersebut.</p>
<p>Aliansi lintas kelas untuk melawan orang lain yang tidak berkelas adalah ciri khas rasisme.</p>
<p>Theodore W. Allen pernah mendefinisikannya sebagai “kematian sosial dari penindasan rasial”:</p>
<blockquote>
<p>… reduksi semua anggota kelompok yang tertindas menjadi satu status sosial yang tidak terdiferensiasi, di bawah status sosial anggota <a href="http://clogic.eserver.org/1-2/allen.html">kelompok penindas</a>.</p>
</blockquote>
<p>Animalisasi tetap menjadi instrumen yang jahat dan efektif dalam bentuk desosialisasi dan dehumanisasi. Simianisasi adalah versi dari strategi ini, yang secara historis merupakan kombinasi mematikan dari seksisme dan rasisme.</p>
<hr>
<p><em>Bersama Silvia Sebastiani, Wulf D. Hund dan Charles W. Mills menyunting satu volume Buku Tahunan Analisis Rasisme tentang <a href="http://www.academia.edu/16269162/Simianization._Apes_Gender_Class_and_Race_ed._Wulf_D._Hund_Charles_W._Mills_Silvia_Sebastiani_">“Simianisasi. Kera, Gender, Kelas, dan Ras”</a>. Zürich, Berlin, Wien, Münster: Lit 2015/16 (ISBN 978-3-643-90716-5).</em></p>
<p>Charles Mills meninggal dunia pada 2021. Obituari dan informasi lebih lanjut tentang filsuf yang telah berpulang ini dapat ditemukan <a href="https://www.gc.cuny.edu/news/memoriam-distinguished-professor-charles-w-mills-philosopher-who-changed-conversation-about-race-us">di sini:</a></p>
<hr>
<p><em>Rahma Sekar Andini dari Universitas Negeri Malang menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/212085/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Animalisasi tetap merupakan bentuk dehumanisasi yang jahat dan efektif. Simianisasi adalah versi dari strategi ini, yang secara historis merupakan kombinasi mematikan dari seksisme dan rasisme.Wulf D. Hund, Professor Emeritus of Sociology, Department of Socioeconomics, University of HamburgCharles W Mills, John Evans Professor of Moral and Intellectual Philosophy, Northwestern UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2095802023-07-20T04:46:21Z2023-07-20T04:46:21ZApa sebenarnya penyebab Perang Saudara di AS?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/536918/original/file-20230711-15-uhp7oc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Lebih dari 600.000 tentara tewas selama Perang Saudara Amerika.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com/detail/illustration/battle-of-kennesaw-mountain-royalty-free-illustration/1152759368?adppopup=true">Keith Lance/Digital Vision Vectors via Getty Images</a></span></figcaption></figure><blockquote>
<p><strong>Apa penyebab Perang Saudara di Amerika Serikat? – Abbey, usia 7, Stone Ridge, New York</strong></p>
</blockquote>
<hr>
<p><a href="https://www.boundless.com/immigration-resources/citizenship-test-questions-and-answers/#american-history-">Tes kewarganegaraan Amerika Serikat (AS)</a> - yang harus dilalui oleh para imigran sebelum menjadi warga negara AS - akan menanyakan: “Sebutkan satu masalah yang menyebabkan terjadinya Perang Saudara.” Ada tiga kemungkinan jawaban yang benar untuk pertanyaan ini: “perbudakan,” “alasan ekonomi” dan “hak-hak negara bagian.”</p>
<p>Namun, sebagai <a href="https://scholar.google.com/citations?user=SsoLG_0AAAAJ&hl=en">sejarawan dan profesor</a> yang mempelajari perbudakan, sejarah Selatan, dan Perang Saudara AS, saya tahu hanya ada satu jawaban yang benar: perbudakan.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/527601/original/file-20230522-4578-n3onvk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="Perbudakan di Amerika pada 1862" src="https://images.theconversation.com/files/527601/original/file-20230522-4578-n3onvk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/527601/original/file-20230522-4578-n3onvk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=445&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/527601/original/file-20230522-4578-n3onvk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=445&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/527601/original/file-20230522-4578-n3onvk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=445&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/527601/original/file-20230522-4578-n3onvk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=559&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/527601/original/file-20230522-4578-n3onvk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=559&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/527601/original/file-20230522-4578-n3onvk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=559&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Orang-orang dan tentara yang diperbudak di perkebunan Carolina Selatan pada 1862.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com/detail/news-photo/view-of-enslaved-people-and-soldiers-on-the-plantation-of-news-photo/1402910706">Henry P. Moore/LOC/Archive Photos via Getty Images</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Orang kulit putih dari wilayah selatan meninggalkan Perserikatan untuk mendirikan republik yang memiliki budak; mereka memang <a href="https://www.nps.gov/liho/learn/historyculture/slavery-cause-civil-war.htm">berniat untuk melestarikan perbudakan</a>.</p>
<p>Terlebih lagi, tidak seperti perbudakan di masa kuno, perbudakan di AS lebih <a href="https://chssp.sf.ucdavis.edu/resources/curriculum/lessons/was-slavery-always-racial">didasarkan pada ras</a>. Pada masa Perang Saudara, orang-orang yang diperbudak adalah kulit hitam adalah; sedangkan orang kulit putih tidak.</p>
<p>Setiap warga negara AS, baik yang lahir di negara itu maupun yang dinaturalisasi, harus memahami bahwa konflik perbudakan inilah yang menyebabkan terjadinya Perang Saudara.</p>
<h2>Sejarah perbudakan di Amerika Serikat</h2>
<p>Perbudakan di AS dimulai setidaknya sejak 1619, ketika sebuah kapal Portugis datang membawa sekitar <a href="https://www.nps.gov/fomr/planyourvisit/first-african-landing.htm">20 orang Afrika yang diperbudak ke wilayah yang sekarang bernama Virginia</a>. Perbudakan berkembang dengan cepat sehingga pada saat para kolonis memperjuangkan kemerdekaan mereka dari Inggris pada 1775, perbudakan telah menjadi hal yang <a href="https://law.marquette.edu/facultyblog/2012/12/before-there-were-red-and-blue-states-there-were-free-states-and-slave-states/#:%7E">legal di seluruh 13 koloni</a>.</p>
<p>Seiring berjalannya abad ke-19, negara-negara bagian Utara <a href="https://www.thirteen.org/wnet/slavery/experience/freedom/history.html#:%7E">perlahan-lahan menghapuskan perbudakan</a>; namun negara-negara bagian Selatan menjadikannya sebagai pusat perekonomian mereka. Pada tahun 1860, hampir empat juta orang yang diperbudak tinggal di Selatan.</p>
<p>Semakin lama, Utara dan Selatan semakin berselisih mengenai masa depan perbudakan. Orang kulit putih Selatan percaya bahwa perbudakan harus diperluas ke wilayah baru atau mereka akan mati. Pada tahun 1845, mereka menekan pemerintah federal untuk <a href="https://www.tshaonline.org/handbook/entries/annexation">mengambil alih Texas, di mana perbudakan masih legal</a>. Mereka juga mendukung upaya untuk <a href="https://loveman.sdsu.edu/docs/1854OstendManifesto.pdf">membeli Kuba dan memasukannya dalam jajaran negara bagian perbudakan</a>.</p>
<p>Di Utara, orang-orang pada umumnya menentang perluasan perbudakan, dan banyak yang mendukung emansipasi bertahap bagi orang-orang yang diperbudak. Sebuah kelompok yang lebih kecil, yang dikenal sebagai abolisionis, <a href="https://www.history.com/topics/black-history/abolitionist-movement">menuntut perbudakan segera diakhiri</a>.</p>
<p>Namun, meskipun banyak orang Utara yang menentang perluasan perbudakan, mereka <a href="https://www.pbs.org/wgbh/aia/part4/4p2957.html">tidak mendukung persamaan hak bagi orang kulit hitam</a>. Di sebagian besar negara bagian Utara, segregasi merajalela, orang kulit hitam dilarang memberikan suara dan kekerasan terhadap mereka sering terjadi.</p>
<p>Pada tahun 1850-an, semakin sulit bagi pemerintah federal untuk mengakomodir kemauan kedua belah pihak. <a href="https://www.archives.gov/milestone-documents/compromise-of-1850#:%7E">Kompromi 1850</a>, serangkaian rancangan undang-undang yang dibuat sebagai upaya menyelesaikan masalah, juga gagal memuaskan pihak mana pun.</p>
<p>Penerbitan novel <a href="https://www.harrietbeecherstowecenter.org/harriet-beecher-stowe/uncle-toms-cabin/">Uncle Tom’s Cabin</a> pada tahun 1852 - yang bercerita tentang penderitaan dan ketidakadilan yang menimpa seorang laki-laki yang diperbudak - membuat orang Utara semakin menentang perbudakan. Dalam <a href="https://www.archives.gov/milestone-documents/dred-scott-v-sandford">keputusan Dred Scott 1857</a>, Mahkamah Agung memutuskan bahwa orang yang diperbudak bukanlah warga negara AS, dan Kongres juga tidak dapat melarang perbudakan di wilayah federal. Dua tahun kemudian, tokoh abolisionis John Brown <a href="https://www.battlefields.org/learn/topics/john-browns-harpers-ferry-raid">menyerang gudang senjata federal di Harpers Ferry, Virginia</a>, sebagai upaya memasok senjata kepada orang-orang yang diperbudak – tetapi ia gagal.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/528041/original/file-20230524-21-b3wwpj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="Abraham Lincoln" src="https://images.theconversation.com/files/528041/original/file-20230524-21-b3wwpj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/528041/original/file-20230524-21-b3wwpj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=743&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/528041/original/file-20230524-21-b3wwpj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=743&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/528041/original/file-20230524-21-b3wwpj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=743&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/528041/original/file-20230524-21-b3wwpj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=933&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/528041/original/file-20230524-21-b3wwpj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=933&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/528041/original/file-20230524-21-b3wwpj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=933&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Foto Presiden Abraham Lincoln yang telah direstorasi secara digital, yang diambil pada masa Perang Saudara AS.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com/detail/photo/portrait-of-president-abraham-lincoln-royalty-free-image/640971707">National Archives/Stocktrek Images via Getty Images</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Lincoln menjadi presiden, berbuntut pada pemisahan diri</h2>
<p>Pemilihan presiden AS tahun 1860 berlangsung di tengah pusaran masalah ini. Sebuah partai politik baru, Partai Republik, menentang penyebaran perbudakan di seluruh wilayah barat. Dari empat kandidat utama yang mencalonkan diri sebagai presiden, <a href="https://kids.nationalgeographic.com/history/article/abraham-lincoln">Abraham Lincoln</a> memenangkan suara elektoral - tetapi hanya 40% dari total suara populer.</p>
<p>Terpilihnya seorang presiden dari partai yang menentang perbudakan menyentak warga kulit putih di Selatan untuk bertindak. Kurang dari dua bulan setelah Lincoln menang, delegasi Carolina Selatan, yang bertemu di Charleston, memutuskan untuk memisahkan diri dari Perserikatan dan <a href="https://avalon.law.yale.edu/19th_century/csa_scarsec.asp">secara resmi menarik keanggotaannya di AS</a>.</p>
<p>Negara-negara bagian Selatan lainnya mengikuti dan mengatakan bahwa perbudakan adalah alasan utama untuk memisahkan diri. Delegasi Texas menulis bahwa penghapusan perbudakan “akan membawa <a href="https://www.tsl.texas.gov/ref/abouttx/secession/2feb1861.html">bencana yang tak terelakkan bagi kedua ras dan kehancuran</a>” di negara-negara bagian yang memiliki budak. <a href="https://avalon.law.yale.edu/19th_century/csa_missec.asp">Dokumen pemisahan diri Mississippi</a> menyatakan “posisi kami sepenuhnya diidentikkan dengan institusi perbudakan - yang merupakan kepentingan material terbesar di dunia.”</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/ZKWrxZN5jmM?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption">Ratusan pertempuran brutal dan berdarah dalam Perang Saudara membawa dampak buruk bagi negara ini.</span></figcaption>
</figure>
<h2>Para pendukung Konfederasi menegaskan posisi mereka</h2>
<p>Wakil presiden Konfederasi, Alexander Stephens, juga mengatakan bahwa perbudakan menjadi alasan pemisahan diri, dan bahwa kata-kata Thomas Jefferson dalam <a href="https://www.archives.gov/founding-docs/declaration-transcript">Deklarasi Kemerdekaan</a> - bahwa semua orang diciptakan sama - adalah salah.</p>
<p>“Pemerintahan baru kita berdiri di atas ide yang berlawanan,” <a href="https://www.battlefields.org/learn/primary-sources/cornerstone-speech">kata Stephens kepada orang banyak</a>. “Fondasi kita jelas, landasan yang bertumpu pada kebenaran besar bahwa orang negro tidak setara dengan orang kulit putih; bahwa perbudakan di bawah ras yang lebih unggul adalah kondisi alamiah dan normal.”</p>
<p>Meskipun bukti-bukti menunjukkan bahwa perbudakan adalah penyebab Perang Saudara, beberapa orang Selatan menciptakan mitos - <a href="https://www.britannica.com/topic/Lost-Cause">“Penyebab yang Hilang”</a> - yang mengubah para jenderal Konfederasi menjadi pahlawan yang membela kebebasan. Sayangnya, mitos tersebut telah menjadi kenyataan. Beberapa sekolah masih <a href="https://www.cnn.com/2020/09/17/us/confederate-schools-trnd/index.html">dinamai dengan nama para jenderal Konfederasi</a>; <a href="https://www.voanews.com/a/us-military-bases-honoring-confederate-figures-slated-to-get-new-names-/6641654.html">begitu pula beberapa pangkalan militer</a>, <a href="https://theconversation.com/symbols-of-the-confederacy-are-slowly-coming-down-from-us-military-bases-3-essential-reads-205729">meskipun hal ini perlahan berubah</a>.</p>
<p>Penting untuk mengetahui alasan sebenarnya dari Perang Saudara agar AS tidak lagi merayakan tokoh-tokoh bersejarah yang berjuang untuk mendirikan republik yang membelenggu para budak.</p>
<p><em>Artikel ini telah diperbarui untuk memperjelas bahwa koloni-koloni yang disebutkan telah menjadi negara bagian di Amerika Serikat.</em></p>
<hr>
<p><em>Rahma Sekar Andini dari Universitas Negeri Malang menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/209580/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Robert Gudmestad tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Banyak orang berpikir Civil War atau Perang Saudara terjadi untuk alasan ekonomi atau kenegaraan. Tapi sebenarnya alasan utama mengapa Perang Saudara terjadi hanya ada satu, yakni perbudakan.Robert Gudmestad, Professor and Chair of History Department, Colorado State UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2090352023-07-04T07:51:24Z2023-07-04T07:51:24ZKerusuhan Prancis: pola kemarahan yang berulang, tanpa ada resolusi<p>Meskipun selalu mengejutkan, sejak <a href="https://metropolitics.org/The-March-for-Equality-and-Against.html">“révoltes des Minguettes”</a>(pemberontakan Minguettes - di pinggiran timur Lyon) pada tahun 1981, kerusuhan Prancis selalu berulang dengan pola yang sama: warga dibunuh atau terluka parah oleh polisi. </p>
<p>Ini kemudian memicu luapan amarah dari warga di lingkungan yang terdampak dan sekitarnya. Kadang kala, seperti dalam kasus kerusuhan 2005 dan baru-baru ini, amarah meletup dari penduduk lingkungan yang “keras” dan menganggap diri mereka sebagai korban aparat keamanan.</p>
<p>Selama 40 tahun terakhir di Prancis, kerusuhan di daerah pinggiran kota didominasi oleh kemarahan kaum muda yang menyerang simbol ketertiban dan negara, seperti balai kota, pusat kegiatan sosial, sekolah, dan pusat-pusat bisnis.</p>
<h2>Kemarahan akan kekosongan kelembagaan</h2>
<p>Rasa berang semacam itu mendorong warga untuk menghancurkan lingkungannya di hadapan warga lain yang sebenarnya mengecam tindakan tersebut, tetapi juga memahami motivasinya.</p>
<p>Dalam banyak kasus, ada juga kekosongan kelembagaan dan politik karena figur lokal, wakil rakyat terpilih, organisasi, gereja dan masjid, serta pekerja sosial dan guru merasa tidak berdaya dan tidak didengar.</p>
<p>Hanya pemberontakan Minguettes tahun 1981 yang mampu menjadi <a href="https://metropolitics.org/The-March-for-Equality-and-Against.html">March for Equality and Against Racism</a> (gerakan untuk kesetaraan dan melawan rasisme). Sejak saat itu, tampaknya tidak ada gerakan serupa yang muncul dari amarah warga.</p>
<p>Pada akhirnya, dalam setiap kerusuhan, <a href="https://www.francetvinfo.fr/replay-radio/le-brief-politique/mort-de-nahel-la-choregraphie-tres-classique-des-reactions-politiques_5888596.html">setiap kubu tampak memainkan perannya</a>: kubu kanan mengecam kekerasan dan terus menyebarkan stigma negatif tentang lingkungan terkait dan terhadap korban kekerasan polisi. Sementara itu, kubu kiri mengecam ketidakadilan dan menjanjikan kebijakan sosial di lingkungan sekitar.</p>
<p>Pada 2005, Menteri Dalam Negeri Nicolas Sarkozy menunjukkan <a href="https://www.radiofrance.fr/franceinter/emeutes-urbaines-quatre-questions-sur-le-precedent-de-2005-qui-est-dans-toutes-les-tetes-8489821">keberpihakannya pada polisi</a>. </p>
<p>Presiden Prancis saat ini, Emmanuel Macron, menyatakan <a href="https://www.ladepeche.fr/2023/06/28/jeune-tue-a-nanterre-rien-ne-justifie-la-mort-dun-jeune-declare-emmanuel-macron-11306938.php">belas kasihan</a> terhadap warga yang dibunuh oleh polisi di Nanterre. Namun, bisa dibilang para politikus dan presiden hampir tidak dianggap oleh lingkungan yang bersangkutan.</p>
<p>Situasi kemudian mereda sampai terjadi lagi masalah berikutnya di <em>banlieues</em> (pinggiran kota Prancis) antara warga dan polisi.</p>
<h2>Pelajaran yang bisa dipetik</h2>
<p>Kerusuhan berulang di pinggiran kota di Prancis dan skenarionya memberikan kita beberapa pelajaran yang relatif sederhana.</p>
<p>Pertama, kebijakan di perkotaan Prancis itu meleset dari sasarannya. </p>
<p>Selama 40 tahun terakhir, banyak upaya yang dilakukan untuk <a href="https://www.capital.fr/immobilier/emeute-les-vraies-raisons-de-lechec-de-politique-de-la-ville-1473031">memperbaiki perumahan dan fasilitas publik</a>. Apartemen-apartemen kini lebih berkualitas. Pusat kegiatan sosial, sekolah, perguruan tinggi, dan jalur bus juga banyak bermunculan. Salah besar jika kita mengatakan lingkungan-lingkungan ini diabaikan.</p>
<p>Di sisi lain, percampuran sosial dan budaya di pinggiran kota yang kurang berkembang kerap membuat keadaan memburuk. Mayoritas penduduknya miskin atau tidak aman secara finansial, ataupun imigran dan keturunannya.</p>
<p>Mereka yang punya peluang dan sumber daya dapat meninggalkan daerah pinggiran itu. Namun, mereka kemudian digantikan oleh penduduk yang bahkan lebih miskin dari daerah yang lebih jauh. Jadi, meskipun infrastruktur lingkungan membaik, lingkungan sosialnya justru memburuk.</p>
<p>Kami sebenarnya enggan membahas ghetto, tapi proses sosial yang terjadi di sini memang bagian dari <a href="https://www.cairn.info/revue-economique-2016-3-page-415.htm">ghettoisasi</a>. Kesenjangan yang tumbuh antarlingkungan, penahanan diri yang diperkuat dari dalam lingkungan masing-masing. </p>
<p>Bayangkan jika kamu pergi ke sekolah yang sama dan pusat sosial yang sama. Kamu lalu bersosialisasi dengan individu yang sama. Kamu pun terimbas aturan ekonomi yang kurang lebih sama.</p>
<p>Terlepas dari penggalangan bantuan dan itikad baik pejabat lokal, warga masih merasa dikucilkan dari masyarakat luar karena asal-usul, budaya atau agama mereka. Meskipun ada kebijakan sosial dan upaya para anggota dewan, lingkungan tersebut tetap merasa tidak memiliki sumber daya kelembagaan atau politik mereka sendiri.</p>
<p><a href="http://e-cours.univ-paris1.fr/modules/uoh/paris-banlieues/u4/co/-module_1.html">“Banlieues rouges”</a> (pinggiran kota yang mayoritas dipimpin kelompok komunis) sangat dikontrol oleh partai politik, serikat pekerja, dan gerakan pendidikan populer. Sementara itu, warga di lingkungan tersebut tidak punya cukup ruang untuk bersuara. Banyak pekerja sosial dan guru yang punya niat baik, tetapi mayoritas dari mereka belum tinggal cukup lama di lingkungan tempat mereka bekerja.</p>
<p>Hambatan hubungan ini berlaku dua arah. Kerusuhan yang terjadi beberapa hari terakhir menunjukkan bahwa perwakilan dan asosiasi terpilih tidak memberikan manfaat nyata terhadap lingkungan yang penduduknya merasa diabaikan dan ditinggalkan. Seruan untuk tenang tidak dihiraukan.</p>
<p>Kesenjangan ini bukan hanya perkara sosial, tapi juga politik.</p>
<h2>Konfrontasi terus-menerus</h2>
<p>Dalam konteks ini, konfrontasi yang dimaksud <a href="https://www.bfmtv.com/police-justice/nanterre-on-assiste-depuis-une-trentaine-d-annees-a-ce-face-a-face-entre-la-police-et-une-ultra-minorite-de-jeunes-qui-abiment-nos-quartiers-deplore-mokrane-kessi-france-des-banlieues_VN-202306290630.html">terjadi antara kaum muda dengan polisi</a>. Kedua kelompok ini terlihat seperti “geng”, lengkap dengan kebencian dan wilayahnya masing-masing.</p>
<p>Negara kemudian tereduksi menjadi simbol kekerasan hukum. Kaum muda menjadi potensi kebandelan. Polisi menilai dengan “mekanisme” rasisme dengan asumsi bahwa setiap anak muda adalah tersangka. </p>
<p>Di sisi lain, kaum muda membenci polisi, memicu rasisme polisi dan kekerasan lebih lanjut. Warga lainnya ingin polisi bisa menegakkan ketertiban, tetapi juga mendukung para kaum muda atas kemarahan yang mereka rasakan.</p>
<p>“Perang” ini biasanya dimainkan pada level rendah. Namun, ketika seorang anak muda meninggal, semuanya meledak hingga mereda dan kembali ke situasi semula sampai terjadi pemberontakan berikutnya, yang seakan-akan mengejutkan kita.</p>
<p>Namun, ada hal baru dalam pengulangan yang tragis kali ini.</p>
<p>Pertama adalah kebangkitan kelompok sayap kanan–bukan hanya pada spektrum politik–tapi juga narasi rasis tentang budaya pemberontakan di pinggiran kota, perbudakan, dan <a href="https://www.bfmtv.com/politique/jordan-bardella-si-monsieur-darmanin-veut-lutter-contre-l-islamisme-alors-il-faut-maitriser-l-immigration_VN-202306280290.html">imigrasi</a>. Ada kekhawatiran kelompok sayap kanan ini akan memenangkan pemilihan suara.</p>
<p>Kedua adalah kelumpuhan politik dan intelektualitas sayap kiri. Meskipun mengecam ketidakadilan dan kadang kala mendukung kerusuhan, tampaknya tidak ada solusi politik yang diajukan selain reformasi polisi.</p>
<p>Selama proses ghettoisasi terus berlanjut, selama kaum muda Prancis dan aparat keamanan terus berhadap-hadapan, sulit untuk melihat bagaimana kesalahan polisi berikutnya dan kerusuhan berikutnya akan terjadi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/209035/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>François Dubet tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Upaya telah dilakukan untuk memperbaiki perumahan di lingkungan kelas pekerja, tetapi konflik sosial dan budaya telah memburuk. Yang tersisa adalah pertarungan antara kaum muda dan polisi.François Dubet, Professeur des universités émérite, Université de BordeauxLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1917472022-10-03T02:18:27Z2022-10-03T02:18:27ZSejarah ‘blackface’ dan mengapa praktik ini sangat bermasalah<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/487616/original/file-20221002-27218-i067d5.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.youtube.com/watch?v=0-wPm99PF9U">(Walt Disney Studios/YouTube - Fair Use)</a></span></figcaption></figure><p><em>Analisis ini kami terjemahkan berdasarkan artikel penulis sebelumnya yang berjudul “<a href="https://theconversation.com/the-problem-with-blackface-97987">The problem with blackface</a>”, dengan bagian pengantar yang diperbarui untuk menjelaskan kasus terbaru di Indonesia.</em></p>
<hr>
<p>Lagi-lagi, suatu insiden rasis berujung viral. Seorang kreator TikTok dari Indonesia mengenakan apa yang disebut ‘<em>blackface</em>’ – saat orang non-kulit hitam menggelapkan kulit mereka untuk sengaja menirukan orang kulit hitam.</p>
<p>Sebagai latar belakang, Disney belum lama ini memutuskan memilih seorang perempuan kulit hitam sebagai pemeran utama dalam <a href="https://www.youtube.com/watch?v=0-wPm99PF9U">pembuatan ulang (<em>remake</em>) film animasi <em>The Little Mermaid</em></a>. Beberapa orang, secara rasis, menganggap bahwa menggunakan aktor non-kulit putih dalam peran ini adalah kesalahan besar.</p>
<p>Mengikuti wacana rasis ini, sang TikToker Indonesia <a href="https://news.yahoo.com/man-blackface-mocking-little-mermaid-131801282.html">mengenakan <em>blackface</em></a> untuk mengejek anak-anak kulit hitam di seluruh dunia yang bisa jadi <a href="https://www.nytimes.com/2022/09/14/arts/little-mermaid-trailer-halle-bailey.html">antusias melihat aktor yang merepresentasikan mereka</a> di layar kaca.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/0-wPm99PF9U?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption">Trailer buatan ulang (<em>remake</em>) dari animasi <em>The Little Mermaid</em> produksi Disney.</span></figcaption>
</figure>
<p><em>Blackface</em> sebenarnya lebih umum terjadi di dunia Barat. Meski demikian, rasisme terhadap kulit hitam adalah fenomena global. Banyak orang berkulit hitam di seluruh dunia <a href="https://theconversation.com/ukraine-refugee-crisis-exposes-racism-and-contradictions-in-the-definition-of-human-179150">menghadapi beragam bentuk diskriminasi</a>.</p>
<p>Praktik <em>blackface</em>, misalnya, masih banyak kita temui di berbagai <a href="https://www.vice.com/en/article/xgxd7d/blackface-asia-tv-media-philippines-china-korea">konteks non-Barat</a> seperti di Cina, India, hingga Filipina.</p>
<p>Meski banyak orang akan mengklaim <em>blackface</em> hanya bentuk lelucon semata, video TikToker ini mengandung rasisme terhadap orang kulit hitam. Bahkan, kenyataan bahwa ia pernah kuliah di Amerika Serikat (AS) – negara yang kampus-kampusnya sering menjumpai rasisme dan banyak mengekspos mahasiswa terhadap perdebatan tentang <em>blackface</em> – bisa berarti videonya bukan bentuk kepolosan semata.</p>
<p>Tapi, apa yang salah dari praktik <em>blackface</em>?</p>
<h2>Tentang <em>blackface</em></h2>
<p>Sejarah <em>blackface</em> bisa jadi sama tuanya dengan praktik perbudakan transatlantik. Tapi, <em>blackface</em> semakin gencar menjadi bentuk <a href="https://nmaahc.si.edu/blog-post/blackface-birth-american-stereotype">hiburan rasis orang kulit putih di AS</a> pada tahun 1820-an, dengan kemunculan pertunjukkan teater ‘<em>minstrel</em>’.</p>
<p>Dalam pertunjukkan <em>minstrel</em> ini, para pemeran kulit putih berpura-pura jadi orang kulit hitam dan memparodikan musik dan tarian komunitas kulit hitam secara rasis demi menghibur audiens.</p>
<p>Kemudian pada 1850-an, kelompok-kelompok <em>minstrel</em> kulit hitam ikut bermunculan. Para pemainnya juga berpenampilan menggunakan <em>blackface</em> sebagai upaya untuk merebut kembali budaya mereka dan agar bisa turut memperoleh laba darinya sebagaimana yang dilakukan oleh para kelompok kulit putih.</p>
<p>Pertunjukan <em>minstrel</em> menggunakan <em>blackface</em> terus berlanjut hingga pertengahan abad ke-20, kemudian kehilangan popularitas di tengah Gerakan Hak Sipil di AS. Namun, praktik <em>blackface</em> tidak pernah pudar di AS, Kanada, maupun di berbagai belahan dunia lain.</p>
<p>Bahkan, pertunjukan privat maupun profesional menggunakan <em>blackface</em> terus terjadi. Wujudnya yang paling umum saat ini biasanya di lingkungan kampus, seringkali pada waktu perayaan Halloween atau acara hiburan mahasiswa lainnya.</p>
<h2>Stereotip berujung kekerasan</h2>
<p>Masalah yang sangat jelas dari <em>blackface</em> adalah bagaimana praktik ini merepresentasikan kekerasan – terutama bagaimana <em>blackface</em> melecehkan orang kulit hitam secara terbuka.</p>
<p>Dalam pertunjukan <em>minstrel</em> yang memakai <em>blackface</em>, misalnya, para pemeran membakar sebuah <em>cork</em> (biasanya dipakai sebagai penutup botol anggur) atau menggunakan poles sepatu untuk melukis wajah mereka hingga berwarna hitam. Tapi, mereka menyisakan beberapa bagian di sekitar mulut, atau melukisnya dengan warna merah atau putih hingga bibir mereka terlihat sangat besar.</p>
<p>Gaya rias wajah ini adalah upaya sengaja untuk menggambarkan orang kulit hitam sebagai sosok-sosok yang aneh. Setelah mengenakan <em>blackface</em>, para pemeran kemudian menggunakan logat yang <em>lebay</em>, memelintirkan kosakata tertentu, serta berjoget dan berbusana secara aneh untuk semakin mengolok-olok orang kulit hitam.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/jebakan-sara-dalam-praktik-rasisme-terhadap-warga-papua-141302">Jebakan SARA dalam praktik rasisme terhadap warga Papua</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Pertunjukan <em>minstrel</em> ini bergantung pada, dan juga memproduksi, penggambaran kehidupan orang kulit putih dengan penuh stereotip. Berapa insiden <em>blackface</em> di Kanada, tempat saya mengajar, memuat stereotip-stereotip yang menghina.</p>
<p>Misalnya, di Wilfrid Laurier University pada tahun 2007, beberapa orang mengenakan <em>blackface</em> beserta <a href="https://www.youtube.com/watch?v=Ao-jwL7CS6w">rambut gimbal palsu dan wadah KFC sebagai topi</a>, kemudian membawa tabung berukuran satu meter seakan untuk merepresentasikan rokok ganja raksasa.</p>
<p>Di sekolah bisnis HEC Montreal pada tahun 2009, <a href="https://montreal.ctvnews.ca/blackface-stunt-backfires-at-universite-de-montreal-1.697757">pengguna <em>blackface</em> membawa boneka monyet</a> dan bersorak “Ayo menghisap ganja!”</p>
<p>Cukup jelas, baik pada masa lampau <a href="https://www.huffingtonpost.ca/2018/05/14/alberta-school-board-apologizes-after-staff-member-wears-blackface_a_23434620/?utm_hp_ref=ca-blackface">maupun saat ini</a>, <em>blackface</em> memuat representasi kekerasan dengan menyodorkan beragam stereotip orang kulit hitam yang rasis.</p>
<h2>Merendahkan dan melanggengkan semangat zaman perbudakan</h2>
<p>Meski muatan kekerasan dalam <em>blackface</em> sangatlah buruk, ini bukanlah satu-satunya alasan – dan bukan pula alasan terbesar – mengapa <em>blackface</em> sangat rasis terhadap orang kulit hitam.</p>
<p>Profesor Saidiyah Hartman dari Columbia University di AS pernah menuliskan bahwa saat ini kita berada di “kehidupan akhir zaman perbudakan” (“<a href="https://global.oup.com/academic/product/scenes-of-subjection-9780195089844?cc=ca&lang=en&"><em>afterlife of slavery</em></a>”). Dengan kata lain, kehidupan orang kulit hitam saat ini masih terus berkelindan dalam relasi sosial yang merupakan perpanjangan dari dinamika rasisme pada zaman perbudakan.</p>
<p>Relasi-relasi ini berupaya untuk menempatkan kehidupan orang kulit hitam di luar ranah kemanusiaan (sebagaimana yang disampaikan filsuf Sylvia Winter), sebagai nyawa yang tak perlu diberikan harkat martabat, dan hanya sebagai properti. Dinamika ini mendorong kekerasan terhadap orang kulit hitam, baik di Amerika Utara maupun di seluruh dunia, sebagaimana argumen penulis Robin Maynard yang sangat baik dalam bukunya <a href="https://fernwoodpublishing.ca/book/policing-black-lives"><em>Policing Black Lives</em> (2017)</a>.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/0Xw10QK8Skc?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption">Filsuf dan kritikus sosial Sylvia Winter berargumen bahwa rasisme terhadap orang kulit hitam menempatkan komunitas tersebut di luar ranah kemanusiaan.</span></figcaption>
</figure>
<p>Pada akhirnya, isu yang lebih sentral terkait <em>blackface</em> adalah bagaimana praktik ini kembali melanggengkan dinamika ini.</p>
<p>Pertama, perlunya memakai rias wajah yang berlebihan sebagai bagian dari penggambaran orang kulit hitam menunjukkan upaya untuk membangun wacana perbedaan antara orang kulit hitam dan kulit putih.</p>
<p>Ini bersumber dari logika rasisme biologis. Cara pandang ini mengatakan bahwa corak fisik dari orang Afrika adalah bukti bahwa orang kulit hitam inferior secara “hirarki evolusi” jika dibandingkan dengan orang kulit putih, dan oleh karena itu layak diperbudak.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/isu-rasisme-perlu-lebih-banyak-dibahas-di-indonesia-123178">Isu rasisme perlu lebih banyak dibahas di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Para pengguna <em>blackface</em> saat ini mengklaim bahwa mereka tidak percaya bahwa orang kulit hitam inferior. Tapi, mereka terus memakai rias wajah yang gelap dalam penggambaran-penggambaran ini – apalagi riasan tersebut sengaja dibuat tidak realistis. Ini adalah bukti bahwa mereka masih bersikeras menonjolkan betapa bedanya warna kulit mereka. Melalui cara ini, <em>blackface</em> menjadi praktik yang sangat merendahkan.</p>
<p>Kedua, <em>blackface</em> kembali melanggengkan dinamika perbudakan, terutama bagaimana ia bolak-balik mengenakan dan menghapus warna hitam ini. Ini menempatkan tubuh orang kulit hitam sebagai properti yang dengan mudahnya dirampas dan dibuang begitu saja.</p>
<p>Inilah yang dimaksud aktivis antiperbudakan Amerika Afrika, Frederick Douglass, ketika ia mengatakan bahwa pemeran <em>minstrel</em> yang memakai <em>blackface</em> adalah “<a href="http://utc.iath.virginia.edu/minstrel/miar03bt.html">sampah masyarakat kulit putih</a>, yang telah mencuri corak kulit kami yang secara alami tak mereka punyai, untuk kemudian menghasilkan uang, dan melayani selera korup para rekan kulit putih mereka.”</p>
<p>Ide-ide Douglass juga mengajak kita memperhatikan relasi ekstraktif kapitalis yang meliputi praktik <em>blackface</em>.</p>
<p>Dengan menirukan orang kulit hitam beserta busana, musik, dan tarian mereka (meski diselewengkan), pemeran kulit putih bisa menghasilkan uang dengan melakukan hal-hal yang orang kulit hitam sendiri tidak bisa manfaatkan untuk menyambung hidup. Bahkan ketika bermunculan kelompok <em>minstrel</em> kulit hitam, mereka pun tidak dibayar dengan upah yang sama dengan <em>minstrel</em> kulit putih.</p>
<p>Dewasa ini, kesenjangan ekonomi ini juga terlihat setiap kali para studio produksi memilih untuk menggunakan pemeran kulit putih berwajah <em>blackface</em> untuk memainkan orang kulit hitam, ketimbang menyewa aktor kulit hitam.</p>
<p>Ketiga, <em>blackface</em> bergantung pada relasi yang sangat mengkhawatirkan terkait hiburan, dominasi, dan pengolok-olokan orang kulit hitam yang khas pada zaman perbudakan.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/222384/original/file-20180608-191947-1admls1.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/222384/original/file-20180608-191947-1admls1.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/222384/original/file-20180608-191947-1admls1.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/222384/original/file-20180608-191947-1admls1.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/222384/original/file-20180608-191947-1admls1.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/222384/original/file-20180608-191947-1admls1.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/222384/original/file-20180608-191947-1admls1.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Mahasiswa Students University of Texas-Austin melakukan demonstrasi berpura-pura mati (<em>die-in</em>) untuk memprotes penggunaan <em>blackface</em> pada suatu penampilan teater kampus berjudul ‘Big Minstrel Jubilee,’ pada Desember 2015.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Dalam bukunya <a href="https://global.oup.com/academic/product/scenes-of-subjection-9780195089844?cc=ca&lang=en&"><em>Scenes of Subjection</em></a>, Saidiyah Hartman mendemonstrasikan bagaimana kesenangan kulit putih pada zaman perbudakan adalah hasil pemaksaan terhadap orang kulit hitam untuk menghibur orang kulit putih, tanpa mempedulikan perasaan mereka sedikitpun.</p>
<p>Dinamika historis ini menyebabkan munculnya pertunjukan <em>minstrel</em>, dengan segudang rasismenya, sebagai salah satu bentuk budaya populer pertama yang dianggap “khas Amerika”. Relasi antara kesenangan kulit putih dengan tubuh kulit hitam ini kembali dipraktikkan dalam <em>blackface</em> saat ini, yang hampir selalu terjadi dalam konteks hiburan.</p>
<p>Riset saya sendiri telah menemukan bahwa praktik <em>blackface</em> kontemporer di Kanada, negara saya, semakin menjadi hiburan sosial bagi para pemakai <em>blackface</em> maupun audiens mereka, tepat karena <em>blackface</em> mendorong batasan-batasan dari diskursus rasial yang diterima masyarakat. Efek ini lah yang membuat <em>blackface</em> terus menjadi praktik di masyarakat, meski ditentang oleh komunitas kulit hitam.</p>
<p>Di Kanada, misalnya, catatan menunjukkan bahwa komunitas kulit hitam di Toronto berkali-kali memohon pada pemerintah daerah untuk menghentikan hiburan <em>minstrel</em> di kota tersebut. Namun, sebagaimana ungkapan dari peneliti teater University of Toronto Mississauga, <a href="https://www.playwrightscanada.com/index.php/genres/nect/canadian-performance-histories-and-historiographies.html">Stephen Johnson</a>, berbagai permohonan ini berujung tak mendapat respons meski pertunjukan <em>minstrel</em> ini melanggengkan ancaman kekerasan terhadap orang kulit hitam.</p>
<p>Kenyataan bahwa <em>blackface</em> terus dilakukan dengan penuh impunitas di tengah protes dari orang kulit hitam, baik di masa lampau maupun saat ini, semakin menunjukkan bahwa bentuk hiburan ini secara rasis mengabaikan pendapat komunitas kulit hitam terkait isu-isu rasial yang sangat mempengaruhi mereka.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/191747/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Philip S. S. Howard menerima dana dari Social Sciences and Humanities Research Council of Canada untuk melaksanakan riset dalam tulisan ini.</span></em></p>Meski banyak orang akan mengklaim ‘blackface’ hanyalah lelucon semata, video TikToker baru-baru ini mengandung rasisme terhadap orang kulit hitam. Apa yang salah dari praktik ‘blackface’ ini?Philip S. S. Howard, Assistant Professor of Education, McGill UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1835442022-05-23T05:05:53Z2022-05-23T05:05:53ZKolonialisme adalah salah satu penyebab utama kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga di seluruh dunia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/464474/original/file-20220520-24-a555e3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=8%2C4%2C2986%2C1989&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.freepik.com/free-vector/gender-violence-concept_9009084.htm#query=domestic%20violence&position=1&from_view=search">Freepik</a></span></figcaption></figure><p>Satu dari tiga perempuan di seluruh dunia <a href="https://www.who.int/publications/i/item/9789240022256">mengalami kekerasan</a> dari pasangan intim mereka. Kenyataan tersebut memang mengejutkan. Namun, yang lebih mengejutkan adalah fakta bahwa di <a href="https://gh.bmj.com/content/7/3/e007704.full">23 negara</a> – dari Amerika, Afrika hingga Asia dan Pasifik – kemungkinannya meningkat menjadi dua dari tiga perempuan. </p>
<p>Sebagai bagian dari <a href="https://www.ucl.ac.uk/global-health/research/z-research/eve-project-evidence-violence-prevention-extreme">penelitian</a> mengenai negara-negara dengan prevalensi kekerasan terhadap perempuan yang tinggi, kami menganalisis data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO), Bank Dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan sejumlah sumber akademis.</p>
<p>Dari analisis tersebut kami menemukan bahwa perempuan di negara-negara yang pernah dijajah memiliki kemungkinan <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/08862605221086642">50 kali lebih besar</a> mengalami kekerasan oleh pasangan intim. Ketika suatu negara memiliki budaya masyarakat patriarki yang tinggi sekaligus sejarah kolonialisme, risiko terjadinya kekerasan dalam rumah tangga meningkat.</p>
<p>Banyak akademisi dari masa pasca kolonialisme yang telah mengatakan hal serupa. Dari kemiskinan yang meluas hingga diskriminasi rasial dan ketidaksetaraan gender, penjajahan menjadi akar dari tumbuhnya sistem dan struktur yang menyebabkan tingginya kekerasan terhadap perempuan.</p>
<h2>Kebijakan kolonial</h2>
<p>Banyak sistem pemerintahan kolonial berdasarkan pada kebijakan “me-ras-kan” penduduk lokal: mengategorikan dan mengelompokan individu berdasarkan ras atau etnis. Contohnya bisa dilihat dari perpecahan antara pemeluk Hindu dan Muslim sebelum pemisahan India, dan sistem hierarki ras yang diterapkan di Afrika Selatan yang apartheid. </p>
<p>Perpecahan tersebut menyebabkan banyak terjadinya <a href="https://theconversation.com/how-indigenous-women-who-survived-guatemalas-conflict-are-fighting-for-justice-92872">konflik bersenjata di dunia</a>. Para akademisi juga kerapkali menyebut tentang <a href="https://read.dukeupress.edu/books/book/19/DuressImperial-Durabilities-in-Our-Times">daya tahan kolonial</a> untuk menggambarkan bagaimana sejarah kolonialisme masih berperan dalam membentuk dunia saat ini.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="A crowd of protestors hold up signs in a street setting." src="https://images.theconversation.com/files/459456/original/file-20220425-25-esfn9s.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/459456/original/file-20220425-25-esfn9s.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/459456/original/file-20220425-25-esfn9s.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/459456/original/file-20220425-25-esfn9s.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/459456/original/file-20220425-25-esfn9s.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/459456/original/file-20220425-25-esfn9s.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/459456/original/file-20220425-25-esfn9s.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Demo terhadap kekerasan berbasiis gender di Port Elizabeth, Amerika Selatan, pada 2019.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/port-elizabeth-south-africa-march-2019-1760049902">Bohemian Photography | Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Contoh berikutnya adalah tragedi genosida (pembantaian massal) yang terjadi di Rwanda 1994. Lebih dari 800.000, atau sebagian besar, kelompok Tutsi dibunuh oleh ekstremis Hutu – dua kelompok yang awalnya dirasialisasi oleh pemerintah kolonial Belgia, melalui pembentukan <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/21681392.2021%20.1938404">hierarki kewarganegaraan dan eksklusivitas</a>. Genosida melihat meluasnya kekerasan seksual terhadap perempuan Tutsi sebagai cara <a href="https://www.hrw.org/report/1996/09/24/shattered-lives/sexual-violence-during-rwandan-%20genosida-dan-akibatnya">melucuti mereka</a> dari kemanusiaan.</p>
<p>Mereka yang selamat dari genosida tersebut mengalami trauma berat. <a href="https://conflictandhealth.biomedcentral.com/articles/10.1186/s13031-021-00410-4">Penelitian</a> menunjukkan bahwa trauma ini dapat meningkatkan kemungkinan bagi laki-laki untuk melakukan kekerasan terhadap keluarga dan pasangan intim mereka, serta <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.3109/01443615.2013.829031?casa_token=S_UYaLbPGZwAAAAA%3Ai_o847r2UMrwFYdrPbDquiB_EjdnLMkNiHv2TK6kFO">membuat perempuan cenderung tidak berdaya</a> untuk mencegahnya.</p>
<p>Banyak <a href="https://www.oxfordbibliographies.com/view/document/obo-9780199846733/obo-9780199846733-0067.xml">sistem pemerintahan kolonial</a> yang menerapkan peraturan dan kerangka hukum yang sangat merugikan perempuan.</p>
<p>Terlepas dari kenyataan bahwa baik laki-laki maupun perempuan sama-sama punya posisi di kursi kepemimpinan pemerintahan Nigeria pada masa pra-kolonial, pejabat kolonial Inggris <a href="https://theconversation.com/how-igbo-women-used-petitions-to-influence-%20Inggris-otoritas-selama-kolonial-pemerintahan-143309">menolak untuk bernegosiasi</a> dengan pimpinan perempuan. Mereka juga menerapkan sistem kepemilikan tanah yang <a href="https://www.khanacademy.org/humanities/whp-origins/era-7-the-great-convergence-and-divergence-1880-ce%20-to-the-future/74-end-of-empires-betaa/a/read-decolonizing-women-beta">secara eksplisit mengecualikan perempuan</a>.</p>
<p>Warisan dari kebijakan ini adalah bahwa di Nigeria, kesempatan bagi perempuan untuk memiliki tanah masih jauh lebih kecil daripada laki-laki di Nigeria.</p>
<p><a href="https://www.preprints.org/manuscript/202007.0225/v1">Studi terbaru</a> terhadap data nasional menunjukkan bahwa perempuan yang tidak memiliki tanah lebih mungkin untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga daripada mereka yang memiliki. Hal ini karena kepemilikan tanah memberikan ruang bagi perempuan untuk memiliki pendapatan finansial dan kuasa dalam suatu hubungan. Kepemilikan tersebut juga membuat mereka punya pilihan ketika mereka perlu pergi ke suatu tempat. Perempuan yang memiliki kuasa dan pilihan cenderung tidak tahan dengan kekerasan dan lebih memilih untuk pergi.</p>
<h2>Trauma sejarah</h2>
<p>Jaman sekarang, masyarakat mungkin tidak mengalami sendiri praktik kolonialisme, tapi bisa jadi mereka tinggal di komunitas yang memiliki <a href="https://www.goodtherapy.org/blog/Understanding_Intergenerational_Trauma">trauma historis</a>. Peristiwa yang dirasakan oleh komunitas atau kelompok etnis dapat mengakibatkan rasa trauma yang bisa diturunkan dari generasi ke generasi.</p>
<p>Trauma seringkali didefinisikan sebagai suatu kondisi yang muncul dari suatu peristiwa di masa lalu – seperti pelecehan pada anak, atau bencana alam. Tapi trauma sejarah berbeda.</p>
<p>Trauma sejarah tidak berakhir ketika individu yang mengalami peristiwa itu sembuh atau meninggal. <a href="https://psycnet.apa.org/record/2011-01946-014">Penelitian menunjukkan</a> trauma tersebut justru bisa diperparah oleh praktik diskriminasi dan penindasan yang dialami oleh generasi berikutnya.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Two women stand with their backs to the camera in an outdoor coffee bean processing facility, with green foilage in the background." src="https://images.theconversation.com/files/459464/original/file-20220425-12-ismo20.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/459464/original/file-20220425-12-ismo20.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/459464/original/file-20220425-12-ismo20.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/459464/original/file-20220425-12-ismo20.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/459464/original/file-20220425-12-ismo20.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/459464/original/file-20220425-12-ismo20.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/459464/original/file-20220425-12-ismo20.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Produksi biji coffee menjadi sumber pendapatan para korban genosida di Rwanda.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/african-employers-working-coffee-beans-production-1986757901">Yaroslav Astakhov | Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Psikiater dan filsuf politik <a href="https://theconversation.com/quotes-from-frantz-fanons-wretched-of-the-earth-that-resonate-60-years-later-173108">Frantz Fanon</a> adalah ahli yang pertama kali memahami konsekuensi emosional dan psikologis dari trauma sejarah yang timbul dari penjajahan. Dalam <a href="https://www.litcharts.com/lit/black-skin-white-masks/chapter-6-the-black-man-and-psychopathology">Black Skin White Mask</a> (1967), Fanon berpendapat bahwa pembentukan representasi kolonial sebagai pahlawan orang kulit putih telah membuat individu kulit hitam dalam masyarakat pasca kolonial memiliki keinginan untuk menjadi orang lain. Rasa percaya diri mereka, hak mereka untuk memilih, serta kekuatan mereka untuk mengambil keputusan seakan dirampas.</p>
<p>Aktivis hak-hak perempuan <a href="https://www.jstor.org/stable/42978745">Karen Max</a> yang bekerja untuk komunitas First Nations di Kanada berpendapat bahwa kita perlu melihat bagaimana di suatu komunitas, penyebab kekerasan terhadap perempuan bukan hanya perihal ketidaksetaraan gender, tetapi juga bagaimana pengalaman traumatis laki-laki di komunitas tersebut.</p>
<p>Dengan cara yang hampir sama, pengalaman traumatis dari generasi sebelumnya dapat mempengaruhi rusaknya jaringan sosial dan ikatan keluarga di dalam komunitas. Kebijakan sekolah asrama di Kanada membuat anak-anak First Nations dipindahkan secara paksa dari keluarga mereka sepanjang abad ke-20. Penelitian menunjukkan <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s11013-018-9603-x">dampak jangka panjang</a> kebijakan tersebut pada komunitas First Nations, yakni tingkat kekerasan dalam rumah tangga, pelepasan emosi, dan bunuh diri yang lebih tinggi.</p>
<p>Sejarah kolonialisme tentu saja bukan satu-satunya yang menyebabkan tingginya kekerasan terhadap perempuan. <a href="https://www.bmj.com/wp-signup.php?new=gh">Faktor signifikan</a> lainnya termasuk <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2214109X15000133">norma sosial</a> yang memposisikan perempuan lebih rendah dari laki-laki sehingga mereka dianggap layak mendapat kekerasan dalam situasi tertentu. Namun, penelitian kami menunjukkan bahwa sejarah kolonialisme membuat faktor risiko lain ini menjadi lebih buruk.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/183544/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Jenevieve Mannell tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Banyak sistem pemerintahan kolonial yang menerapkan peraturan dan kerangka hukum yang sangat merugikan perempuan.Jenevieve Mannell, Associate Professor of Global Health, UCLLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1785402022-03-06T03:43:15Z2022-03-06T03:43:15ZDekolonisasi sains: pentingnya memerdekakan ilmu pengetahuan dari ketergantungan pada dunia Barat<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/450015/original/file-20220304-21-zx9407.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Produksi pengetahuan yang terjadi di berbagai negara berkembang selama ini banyak berkiblat pada perspektif kolonial.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://unsplash.com/photos/AdmO8NNe9gU">(Unsplash/Jean Beller)</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Di komunitas akademik global, ada pandangan bahwa ilmuwan Indonesia menyerap perkembangan sains layaknya mengikuti sebuah tren belaka.</p>
<p>Ini terlihat dalam ilmu sosial dan humaniora. Perkembangan teori di lingkup global kerap jadi acuan akademisi Indonesia dalam pengajaran, penelitian, dan bahkan sebagai bahan obrolan antara sesama akademisi.</p>
<p>Pada <a href="https://perpustakaan.setneg.go.id/index.php?p=show_detail&id=10391">periode 1990-an</a>, misalnya, semua ilmuwan tergelitik untuk bicara <em>postmodernism</em> (sikap kritis dan skeptis terhadap wawasan ilmu modern). Sementara pada <a href="https://perpustakaan.setneg.go.id/index.php?p=show_detail&id=10391">dekade 2000-an</a>, perspektif <em>cultural studies</em> (membedah politik dan sejarah dari beragam budaya yang ada saat ini) menjadi juara setelah menurunnya popularitas teori sosial lainnya.</p>
<p>Ajakan untuk lepas dari tradisi “ikut-ikutan” ini sebenarnya sudah muncul sejak puluhan tahun yang lalu.</p>
<p>Pada 1986, ilmuwan politik Muhammad Rusli Karim via Harian Kompas menjelaskan pentingnya ilmuwan Indonesia mencari teorinya sendiri. Sastrawan dan sosiolog Ignas Kleden pun berupaya memperkenalkan wacana <a href="https://bersiasat.id/ini-pikiran-kami/">“indigenisasi”</a> (pembumian wawasan adat di Indonesia) terhadap ilmu sosial.</p>
<p>Ide-ide tersebut sayangnya hanya terdengar sayup di tengah dominasi ilmu sosial global yang pro-pembangunan. </p>
<p>Dewasa ini, ada momentum baru bagi komunitas akademik Indonesia untuk melepaskan diri dari ketergantungan teori asing, yakni melalui gerakan “<a href="https://theconversation.com/decolonise-science-time-to-end-another-imperial-era-89189">dekolonisasi sains</a>” (dekolonisasi pengetahuan).</p>
<p>Meski belum banyak diadopsi oleh ilmuwan Indonesia, dekolonisasi sains menawarkan pijakan penting supaya dunia pendidikan tinggi dan dan sains di Indonesia bisa menemukan suaranya sendiri.</p>
<h2>Memerdekakan sains dari watak kolonialis</h2>
<p>Dekolonisasi sains adalah ajakan keluar dari dominasi produksi pengetahuan yang berkiblat pada negara kolonial – lebih khususnya <a href="https://theconversation.com/how-controversial-racist-research-opens-door-for-a-decolonisation-drive-117870">dunia Barat (eurosentrisme)</a> – agar muncul lebih banyak ruang ilmiah bagi akademisi di penjuru dunia lain.</p>
<p>Dalam pandangan dekolonisasi, ilmu pengetahuan kini terpusat di peradaban Barat, sementara pelaku sains dari wilayah yang mereka jajah selalu hanya jadi objek pengetahuan.</p>
<p>Dengan demikian, “kita”, para ilmuwan negara non-Barat, tidak memiliki otoritas untuk menyelediki diri sendiri, apalagi mengangkat derajat pengetahuan yang barangkali sudah tersedia dari berbagai abad terdahulu di komunitas yang kita kenal.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bagaimana-perkembangan-ilmu-pengetahuan-pada-masa-penjajahan-melupakan-peran-orang-pribumi-141774">Bagaimana perkembangan ilmu pengetahuan pada masa penjajahan melupakan peran orang pribumi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Bahkan, pandangan sains yang berwatak kolonialis ini <a href="https://theconversation.com/how-controversial-racist-research-opens-door-for-a-decolonisation-drive-117870">seringkali bersifat rasis</a> – seperti menggambarkan orang “kulit berwarna” atau masyarakat negara Selatan sebagai pihak yang tidak cerdas atau abnormal.</p>
<p>Upaya untuk lepas dari dominasi ini, khususnya di pendidikan tinggi, sudah dimulai sejak munculnya <a href="https://www.wiley.com/en-us/Colonialism+and+Modern+Social+Theory-p-9781509541294">gerakan dekolonisasi pada dekade 1960</a> di Afrika Timur.</p>
<p>Dekolonisasi sains pada era saat ini merupakan bagian dari gerakan emansipatif (pembebasan) yang lebih luas. Misalnya, ini juga didorong oleh gerakan sosial lain di luar universitas yang menyuarakan hak asasi manusia (HAM) dan keadilan sosial – dari Black Lives Matter hingga #Metoo. </p>
<p>Tapi, hal yang paling penting dari dekolonisasi sains adalah upaya untuk keluar dari kemutlakan sains yang lahir dari proses penjajahan.</p>
<p>Setidaknya, ini adalah tujuan besar para ilmuwan yang mendorong wacana dekolonisasi. Sebagian besar dari penulis tersebut berasal dari Amerika Latin, Asia Selatan, dan juga Afrika.</p>
<h2>Dekolonisasi sains di Indonesia</h2>
<p>Sayangnya, hampir tidak ada ilmuwan sosial dari Indonesia yang turut meramaikan diskursus tersebut.</p>
<p>Hal ini cukup ironis. Ilmuwan sosial <a href="https://www.e-ir.info/2017/01/21/interview-walter-mignolopart-2-key-concepts/">Walter Mignolo</a>, misalnya, menekankan bagaimana Indonesia pernah punya peran besar dalam dekolonisasi politik global, yakni melalui Konferensi Asia Afrika.</p>
<p>Indonesia senantiasa mendukung upaya memerdekakan negara terjajah, tapi tidak banyak ilmuwan sosial kita melakukannya dalam ranah teori sosial.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/450180/original/file-20220306-40369-2thve0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/450180/original/file-20220306-40369-2thve0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/450180/original/file-20220306-40369-2thve0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=388&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/450180/original/file-20220306-40369-2thve0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=388&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/450180/original/file-20220306-40369-2thve0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=388&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/450180/original/file-20220306-40369-2thve0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=487&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/450180/original/file-20220306-40369-2thve0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=487&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/450180/original/file-20220306-40369-2thve0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=487&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Indonesia pernah punya peran besar dalam dekolonisasi politik global, yakni melalui Konferensi Asia Afrika. Tapi, tidak banyak ilmuwan sosial kita melakukannya dalam ranah teori sosial.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Delegations_held_a_Plenary_Meeting_of_the_Economic_Section_during_the_A-A_Conference_in_Merdeka_Building,_Bandung,_on_April_20th_1955.jpg">(Wikimedia Commons)</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Alasan atas kelangkaan ini terkait erat dengan <a href="https://theconversation.com/hiruk-pikuk-bahaya-komunis-sampai-kapan-84658">pemberangusan literatur kiri atau Marxisme</a> yang terjadi sejak 1965. Kekuasaan Orde Baru ini menjadi alasan besar mengapa pemikiran pascakolonial, dekolonial, atau bahkan Marxisme tidak memiliki pijakan yang kuat dalam ilmu sosial-humaniora Indonesia.</p>
<p>Padahal, kita bisa melihat jejak-jejak lensa kolonial dalam sains di Indonesia – tidak hanya pada ilmu sosial tapi juga ilmu alam.</p>
<p>Ilmu eksakta seperti biologi dan kedokteran perlu membuka diri dengan pertama-tama mempertanyakan asal-usul seluruh fondasi ilmiahnya, terutama yang relevan dengan konteks Indonesia.</p>
<p>Peneliti biologi Sabhrina Gita Aninta, misalnya, menjelaskan bias perspektif Barat yang seakan <a href="https://medium.com/open-science-indonesia/tentang-membebaskan-sains-dari-kolonialisme-ec2d8b756196">“kaget” saat meneliti biodiversitas di wilayah ekuator</a> yang begitu kaya. Bahkan, beberapa akademisi juga mempertanyakan <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/09502386.2020.1780281">penamaan fauna seperti orang utan</a> yang prosesnya sarat dengan politik imperialis dan menyingkirkan wawasan Suku Dayak Iban di Kalimantan.</p>
<p>Indonesia masih menjadi rumah bagi untaian wawasan lokal yang belum kita kenali dan beri nama. Beda halnya dengan para rekan sejawat di Amerika Latin, yang berhasil melunturkan ketergantungan pada pengetahuan Barat sembari merayakan pengetahuan lokal yang mereka miliki.</p>
<p>Gagasan soal “<a href="https://pluriverse.eutenika.org"><em>pluriverse</em></a>”, yakni kumpulan wawasan yang berupaya menantang narasi pembangunan global yang sarat kepentingan bisnis dan <em>greenwashing</em> (klaim ramah lingkungan yang menyesatkan), misalnya, adalah contoh pengetahuan tandingan yang mulai populer dan diterima komunitas ilmiah global.</p>
<p>Upaya seperti ini bisa jadi inspirasi bagi ilmuwan Indonesia untuk mencoba berpikir dengan semangat dekolonisasi.</p>
<h2>Meraih derajat yang sama</h2>
<p>Selama ini, ada kejemuan di antara ilmuwan Indonesia terhadap dominasi teori yang ada. Ini kemudian mendorong mereka untuk mengikuti tren revolusi keilmuan – seringkali yang berkiblat pada dunia Barat.</p>
<p>Tapi, bisa jadi kecenderungan tersebut bersumber dari rasa inferioritas ilmuwan Indonesia yang sulit memaparkan gagasannya tanpa ditopang teori yang mereka rasa cukup “keren”.</p>
<p>Faktor ini justru semakin memperkuat dominasi pengetahuan Barat.</p>
<p>Dalam artikelnya, sosiolog <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/03906701.2020.1776919">Leon Moosavi</a> mengingatkan para akademisi agar tidak sekadar “anut grubyuk” (ikut-ikutan), dan harus segera menunggangi gerbong dekolonisasi karena sedang ramai dinaiki oleh semua orang.</p>
<p>Persoalannya di Indonesia justru terbalik karena gerbong tersebut sepi senyap, meski kereta sudah menunggu lama untuk meluncur. </p>
<p>Catatan penting lainnya adalah bahwa dekolonisasi sains bukan hanya soal kebijakan. Sudah terlalu banyak persoalan dalam ranah sains di Indonesia yang semuanya ingin dijawab dengan <a href="https://theconversation.com/malapetaka-penelitian-berideologi-mengapa-ilmu-pengetahuan-alam-harus-bebas-dari-kekangan-politis-170106">“kebijakan”</a>. Tidak demikian halnya dengan dekolonisasi sains – ini adalah persoalan tradisi akademik.</p>
<p>Dekolonisasi sains berangkat dari kemauan untuk melihat ke dalam disiplin ilmu masing-masing dan bertanya soal ada tidaknya kemungkinan untuk melakukan pencarian kebenaran tanpa harus bergantung pada pemikiran ilmuwan Barat.</p>
<p>Salah satu pemikir dekolonisasi, Gurminder Bhambra, mengingatkan bahwa dekolonisasi <a href="https://www.wiley.com/en-us/Colonialism+and+Modern+Social+Theory-p-9781509541294">bukan berarti menolak teori Barat</a> – tujuannya tidak pernah demikian.</p>
<p>Yang lebih tepat adalah perlunya menempatkan teori atau wawasan ilmiah dari dunia Selatan dalam derajat yang sama dan setara dalam produksi pengetahuan global. Hal ini yang pada akhirnya secara perlahan harus menjadi tujuan ilmuwan Indonesia.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/178540/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Fajri Siregar penerima beasiswa LPDP untuk studi doktoralnya. </span></em></p>Dekolonisasi sains menawarkan pijakan penting supaya dunia pendidikan tinggi dan dan sains di Indonesia bisa berhenti berkiblat pada dunia Barat dan menemukan suaranya sendiri.Fajri Siregar, PhD Candidate, University of AmsterdamLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1746132022-02-11T10:39:04Z2022-02-11T10:39:04ZAktivisme iklim telah beralih menjadi digital dan disruptif, dan akhirnya berupaya melawan rasisme dalam gerakannya<p>Untuk memahami kesepakatan yang dibuat oleh negara-negara dunia saat <a href="https://ukcop26.org/">konferensi iklim COP26</a> di Glasgow pada akhir tahun lalu, penting bagi kita untuk memahami bagaimana aktvisme iklim telah berevolusi sejak <a href="https://unfccc.int/process-and-meetings/the-paris-agreement/the-paris-agreement">Perjanjian Paris</a> tahun 2015.</p>
<p>Para aktivis iklim telah berperan besar. Selama ini, mereka senantiasa memberikan tekanan pada pemerintah dunia untuk serius menerapkan janji iklim Paris mereka dan semakin meningkatkan ambisi “hijau” pada tahun-tahun mendatang.</p>
<p>Dua gerakan iklim baru – Fridays for Future (“Hari Jumat untuk Masa Depan”) dan Exctinction Rebellion (“Melawan Kepunahan”) – punya pengaruh besar beberapa tahun belakangan. <a href="https://podcasts.apple.com/us/podcast/a-global-green-movement-environmental-protests-in/id1527636419?i=1000528049078">Studi yang kami lakukan</a> menunjukkan kedua gerakan ini membawa model dan taktik baru dalam aktivisme iklim, sekaligus melawan rasisme di tubuh mereka sendiri.</p>
<p>Keunikan dan evolusi kedua kelompok ini menunjukkan pada kita banyak hal tentang arah baru aktivisme iklim kontemporer. </p>
<h2>Model baru, taktik baru</h2>
<p><a href="https://fridaysforfuture.org/">Fridays for Future</a> dan <a href="https://rebellion.global/">Extinction Rebellion</a> telah mendorong terbitnya era baru pembahasan isu iklim dengan menentang pola protes yang konvensional.</p>
<p>Fridays for Future, misalnya, sukses <a href="https://wires.onlinelibrary.wiley.com/doi/epdf/10.1002/wcc.683">menggerakkan jutaan orang</a> di seluruh dunia, terutama anak muda. Penelitian kami menunjukkan hal ini terus berlanjut, walau lebih banyak secara daring ketimbang di jalanan saat pandemi COVID-19.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Climate activist Greta Thunberg speaks during the Fridays For Future COP26 march in Glasgow." src="https://images.theconversation.com/files/434561/original/file-20211129-17-g9rs5f.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/434561/original/file-20211129-17-g9rs5f.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/434561/original/file-20211129-17-g9rs5f.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/434561/original/file-20211129-17-g9rs5f.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/434561/original/file-20211129-17-g9rs5f.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/434561/original/file-20211129-17-g9rs5f.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/434561/original/file-20211129-17-g9rs5f.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Aktivis iklim Greta Thunberg di demonstrasi Fridays for Future saat konferensi iklim COP26.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Jeff J Mitchell/Getty Images)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Sementara, Extinction Rebellion telah membudayakan beragam aksi nyata dan penggunaan dirupsi aktivitas ekonomi melalui ketidakpatuhan sipil – misalnya menduduki ruang publik di London, Dar es Salaam, Kota Meksiko, dan Roma. Baru-baru ini, mereka <a href="https://www.stuff.co.nz/environment/climate-news/300438940/extinction-rebellion-protesters-glued-to-parliament-steps-arrested-man-charged-with-wilful-damage">mengelem diri mereka</a> di tangga parlemen Selandia Baru untuk memprotes kebijakan iklim negara tersebut yang dirasa kurang progresif.</p>
<p>Kedua kelompok ini menggambarkan berbagai perubahan dalam tren aktivisme iklim selama satu dekade ke belakang. Teknologi telah mendorong distribusi aktivisme digital. Pengorganisasian ini berpusat pada satu tujuan sentral, tapi memberikan ruang pada aktivis lokal untuk merancang pesan dan taktik yang lebih relevan untuk daerah mereka masing-masing.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/what-lies-ahead-for-fridays-for-future-and-the-youth-climate-movement-147152">What lies ahead for Fridays for Future and the youth climate movement</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Beralih ke digital</h2>
<p>Organisasi iklim 350.org memperkenalkan cara baru pengorganisasian digital melalui <a href="https://www.cambridgeblog.org/2021/10/climate-activism-at-glasgow-does-the-rise-of-digitally-distributed-activism-challenge-traditional-climate-ngos/">gerakan iklim global</a> mereka pada tahun 2009. Dengan struktur yang terdesentralisasi, siapapun dan di manapun, orang-orang bisa terlibat.</p>
<p>Pengorganisasian secara terdistribusi juga telah membantu banyak kelompok aksi iklim menjadi lebih inklusif.</p>
<p>Wawancara yang kami lakukan dengan aktivis Fridays for Future mengindikasikan bahwa gerakan ini menaungi pandangan politik yang beragam di antara anak muda. Namun, mereka punya gairah yang sama untuk melindungi alam dan menuntut pemerintah untuk setia pada Perjanjian Paris.</p>
<p>Melalui taktik-taktik baru ini, Fridays for Future dan Extinction Rebellion tidak hanya memberi ‘darah’ baru pada gerakan iklim, tapi juga mempercepat aksi iklim. Mantan kanselir Jerman, <a href="https://www.theguardian.com/world/2019/jul/19/angela-merkel-dismisses-health-fears-shaking-bouts-donald-trump">Angela Merkel</a> bahkan mengakui bahwa Fridays for Future telah mempercepat repons negara tersebut dalam mitigasi krisis iklim.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/greta-thunberg-emerged-from-five-decades-of-environmental-youth-activism-in-sweden-171043">Greta Thunberg emerged from five decades of environmental youth activism in Sweden</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Kini, aktivis iklim berperan besar untuk memastikan pemerintah mematuhi Pakta Iklim Glasgow. Mereka tidak hanya akan mendorong perubahan dari luar; banyak pemerintah dan perusahaan semakin gencar merekrut aktivis muda untuk membantu strategi iklim mereka.</p>
<p>Pemerintahan Presiden Biden di Amerika Serikat (AS), misalnya, mengundang aktivis iklim kulit hitam yang berusia 19 tahun, <a href="https://www.apec2021nz.org/ceo-summit/programme-and-speakers/ceo-summit-keynote-speaker-jerome-foster-ii">Jerome Foster II</a> untuk menjadi bagian dari dewan penasihat keadilan iklim Gedung Putih. Foster menghabiskan 58 minggu melalukan protes aksi iklim di luar Gedung Putih, dan kini ia berada di dalamnya.</p>
<p>Meski ini bisa dianggap suatu kemenangan bagi aktivis dan upaya mereka untuk meraih legitimasi arus utama, masih menjadi pertanyaan apakah kerja sama dengan korporasi dan pemerintah benar-benar akan mendorong kebijakan iklim yang radikal. </p>
<h2>Bersamaan dengan inklusivitas, ada tanggung jawab besar</h2>
<p>Demonstrasi yang dilakukan <a href="https://m4bl.org/">Gerakan untuk Kehidupan Kulit Hitam (M4BL)</a> selama musim panas di Eropa pada 2020 memicu refleksi besar-besaran di antara banyak kelompok aktivisme iklim. Rasisme selama ini menjadi <a href="https://www.politico.com/news/magazine/2021/02/05/environmental-movement-racial-reckoning-green-diversity-465501">masalah besar banyak kelompok iklim</a> di AS, Inggris, Jerman, dan negara lain.</p>
<figure class="align-left ">
<img alt="An Indigenous Amazonian woman during an Extinction Rebellion protest at COP26" src="https://images.theconversation.com/files/434564/original/file-20211129-58431-8wbhsq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/434564/original/file-20211129-58431-8wbhsq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=900&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/434564/original/file-20211129-58431-8wbhsq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=900&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/434564/original/file-20211129-58431-8wbhsq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=900&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/434564/original/file-20211129-58431-8wbhsq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1131&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/434564/original/file-20211129-58431-8wbhsq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1131&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/434564/original/file-20211129-58431-8wbhsq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1131&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Seorang perempuan dari masyarakat adat Amazon menghadiri demonstrasi Extinction Rebellion saat COP26.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Peter Summers/Getty Images)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Di AS, banyak organisasi lingkungan non-pemerintah didominasi oleh pegawai kulit putih. Staf senior non-kulit putih hanya 22%, meski kelompok etnis non-kulit putih mencapai 40% dari total populasi AS.</p>
<p>Wawancara kami menunjukkan bahwa demonstrasi Black Lives Matter di AS juga telah mendorong banyak kelompok lingkungan untuk berkaca pada organisasi mereka dan meningkatkan keberagaman etnis pada rekrutmen maupun promosi pegawai mereka. </p>
<p>Extinction Rebellion bahkan harus mempertimbangkan ulang penggunaan taktik frontal mereka, di mana para aktivis dengan sengaja berupaya ditangkap polisi. Sebab, taktik tersebut lebih berbahaya bagi aktivis non-kulit putih.</p>
<p>Namun, rasisme struktural terkadang memang susah untuk dibasmi.</p>
<p>Sebagai contoh, suatu cabang Fridays for Future di Selandia Baru terpaksa bubar karena, <a href="https://www.washingtonpost.com/world/2021/06/15/climate-change-racism-strike-greta-auckland/">menurut mereka sendiri</a>, telah menjadi “ruang rasis yang didominasi kulit putih” yang “menjauhi, mengabaikan, dan tidak tulus menghargai orang kulit hitam, orang adat, dan kelompok non-kulit putih lainnya (BIPOC).”</p>
<p>Tidak semua aktivis iklim telah mentransformasi taktik, pola rekrutmen, atau organisasi mereka. Meski demikian, banyak dari mereka semakin meningkatkan dukungan atas gerakan keadilan iklim, dan telah mengakui batasan dari “<a href="https://catalyst-journal.com/2019/07/ecological-politics-for-the-working-class">aktivisme iklim gaya hidup</a>” dari kelompok ekonomi menengah. Beberapa aktivis iklim juga telah mengakui perlunya ruang yang lebih menghargai identitas rekan-rekan mereka yang beragam.</p>
<p>Komunitas adat pun telah lama <a href="https://www.bwb.co.nz/books/beyond-these-shores/">menuntut keadilan iklim</a>. Aktivis iklim dari suku Maori, <a href="https://www.stuff.co.nz/environment/climate-news/300442558/honour-our-knowledge-mori-climate-activist-india-loganriley-speaks-at-cop26-summit-opening">India Logan O'Reilly</a> menyampaikan pidato penting saat pembukaan konferensi Glasgow. Dia memohon pada pimpinan dunia untuk “belajar sejarah kami, mendengarkan cerita-cerita kami, menghormati wawasan kami dan mendukung agenda kelangsungan hidup kami atau setidaknya jangan menghambatnya” (“<em>get in line or get out of the way</em>”).</p>
<p>Kita hanya bisa berharap bahwa negara-negara akan mendengarkan seruan ini dan benar-benar mengamalkan aksi iklim yang inklusif.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/174613/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Nina Hall adalah anggota Partai Hijau Aotearoa Selandia Baru, dan anggota dewan pengarah di New Zealand Alternative, suatu lembaga kajian independen yang progresif.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Charles Lawrie adalah anggota Partai Buruh di Inggris dan DiEM25, gerakan politik lintas Eropa.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Sahar Priano tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Melalui taktik-taktik yang frontal beserta mobilisasi digital, Fridays for Future dan Extinction Rebellion memberi “darah” baru bagi aktivisme lingkungan dan mempercepat aksi iklim secara global.Nina Hall, Assistant Professor of International Relations, Johns Hopkins UniversityCharles Lawrie, Doctoral Researcher in International Relations, University of SussexSahar Priano, Researcher, Johns Hopkins UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1651722021-08-04T04:50:04Z2021-08-04T04:50:04Z4 hambatan capaian akademik mahasiswa Indonesia Timur saat kuliah di kota besar di Jawa dan Sumatra<p>Beberapa tahun terakhir, <a href="https://jurnal.unmer.ac.id/index.php/enjourme/article/view/4311/pdf">jumlah mahasiswa Indonesia Timur</a> yang kuliah di beberapa kota besar di Jawa dan Sumatra meningkat dan membuat demografi populasi di kampus-kampus tersebut semakin beragam.</p>
<p>Namun, banyak <a href="https://www.researchgate.net/publication/316581756_MENGGALI_MUTIARA_PAPUA_DI_PULAU_DEWATA_SURVEI_DAMPAK_KEBIJAKAN_AFIRMASI_PENDIDIKAN_TINGGI_DI_DUA_UNIVERSITAS_NEGERI_DI_PROVINSI_BALI_TAHUN_2014">penelitian</a> menemukan bahwa mahasiswa Indonesia Timur mengalami tantangan akademik di berbagai universitas tersebut.</p>
<p>Misalnya, banyak dari mereka kesulitan mendapatkan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang tinggi hingga rentan mengalami <em>drop-out</em>.</p>
<p>Untuk memahami fenomena ini, <a href="https://jurnal.unmer.ac.id/index.php/enjourme/article/view/4311/pdf">saya melakukan riset kualitatif</a> pada 2020 dengan mewawancarai 15 responden mahasiswa. Mereka berasal dari Sulawesi, Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Maluku, dan Papua, dan kuliah di Kota Malang, Jawa Timur selama setidaknya 2 tahun.</p>
<p>Riset tersebut mengungkap setidaknya empat faktor yang bisa menjelaskan tantangan akademik yang mereka alami saat kuliah di kampus urban, yaitu adanya kesadaran akibat stigma, pengasingan sosial, keterbatasan persiapan kuliah, dan hambatan terkait bahasa.</p>
<h2>Stereotip negatif menyebabkan rasa inferior secara akademik</h2>
<p>Menurut psikolog sosial Amerika Serikat (AS) <a href="https://psycnet.apa.org/record/2003-09757-010">Ryan Brown dan Elizabeth Pinel</a>, seseorang dengan kesadaran stigma (<em>stigma conscousness</em>) yang tinggi mampu mengaitkan permasalahan yang mereka alami dengan stereotip yang melekat pada kelompoknya. Mereka lebih sensitif dan bisa menangkap pola diskriminasi serta perlakuan tidak adil.</p>
<p>Naluri ini terbentuk seiring para mahasiswa mengalami kejadian diskriminasi selama di kota tersebut.</p>
<p>Beberapa responden, misalnya, menyebut pengalaman mencari rumah kontrakan di mana pemilik tiba-tiba membatalkan perjanjian saat mengetahui mereka berasal dari Indonesia Timur. Mahasiswa lain juga mengatakan dilirik banyak orang karena kulit gelap ras Melanesia yang berbeda dengan mayoritas etnis lain di Indonesia.</p>
<p><a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0022103103000398?via%3Dihub#!">Penelitian 2003</a> yang dilakukan Brown dan Pinel menemukan kesadaran stigma yang tinggi ini bisa berdampak pada performa akademik mahasiswa.</p>
<p>Di sini, gencarnya stereotip negatif mengganggu kognitif otak manusia sehingga tidak maksimal dalam memproses wawasan dan ilmu pengetahuan.</p>
<p>Dalam <a href="http://irasilver.org/wp-content/uploads/2011/08/Reading-Stereotype-threat-Steele1.pdf">kajian lain</a> dari psikolog sosial Claude Steel, misalnya, stereotip negatif terhadap pelajar Afrika-Amerika membuat mereka seringkali cemas dan merasa inferior secara akademik ketimbang teman-teman mereka yang berkulit putih.</p>
<h2>Isolasi sosial dari masyarakat</h2>
<p>Transisi dari masa Sekolah Menegah Atas (SMA) ke dunia kampus, ditambah dengan gegar budaya (<em>culture shock</em>) akibat lingkungan baru dapat menyebabkan penarikan diri dari interaksi sosial.</p>
<p>Dalam penelitian saya, beberapa partisipan menyebutkan mereka hanya berinteraksi sebatas dengan pemilik kos dan penghuni kos lain karena merasa sangat berbeda dari anggota masyarakat lain.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/414402/original/file-20210803-13-1ojqq4f.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/414402/original/file-20210803-13-1ojqq4f.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/414402/original/file-20210803-13-1ojqq4f.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=397&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/414402/original/file-20210803-13-1ojqq4f.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=397&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/414402/original/file-20210803-13-1ojqq4f.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=397&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/414402/original/file-20210803-13-1ojqq4f.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=499&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/414402/original/file-20210803-13-1ojqq4f.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=499&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/414402/original/file-20210803-13-1ojqq4f.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=499&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Banyak mahasiswa Indonesia Timur diperlakukan berbeda dari anggota masyarakat lain sehingga muncul tembok interaksi dengan mahasiswa dari kelompok mayoritas.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1566899102">(ANTARA FOTO/Raisan Al Farsi)</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Di dalam kampus, perasaan berbeda ini juga menyebabkan adanya tembok interaksi dengan mahasiswa lain dari kelompok mayoritas – ini memperburuk rasa kesendirian yang mereka rasakan, kesehatan mental mereka, dan pada akhirnya capaian belajar di kampus.</p>
<p><a href="https://www.mdpi.com/2076-0760/9/11/191">Penelitian</a> tahun 2020 dari Arizona State University yang melibatkan 344 siswa Afrika-Amerika mendukung hal ini.</p>
<p>Riset tersebut mengungkap bahwa diskriminasi rasial menyebabkan <em>school belonging</em> (perasaan menjadi bagian dari sekolah) yang rendah pada mahasiswa. Mereka akan cenderung merasa sebagai <em>outsider</em> (pihak asing) di kampus mereka sehingga tidak terekspos atau setidaknya enggan mengakses berbagai jaringan dukungan pendidikan – dari teman belajar kelompok hingga fasilitas dan layanan akademik dari kampus. </p>
<h2>Keterbatasan persiapan kuliah</h2>
<p>Beberapa mahasiswa dalam riset saya merupakan <a href="https://papua.bps.go.id/publication/download.html?nrbvfeve=Y2RmODBkMzcxMjBmYzUxNThjYTEwNzJk&xzmn=aHR0cHM6Ly9wYXB1YS5icHMuZ28uaWQvcHVibGljYXRpb24vMjAyMS8wNi8wMi9jZGY4MGQzNzEyMGZjNTE1OGNhMTA3MmQvaW5kaWthdG9yLXBlbmRpZGlrYW4tcHJvdmluc2ktcGFwdWEtMjAyMC5odG1s&twoadfnoarfeauf=MjAyMS0wOC0wMiAxNDowNDowNw%3D%3D">generasi pertama dari keluarga mereka</a> di Maluku dan Papua yang merasakan bangku kuliah.</p>
<p><a href="https://papua.bps.go.id/publication/download.html?nrbvfeve=Y2RmODBkMzcxMjBmYzUxNThjYTEwNzJk&xzmn=aHR0cHM6Ly9wYXB1YS5icHMuZ28uaWQvcHVibGljYXRpb24vMjAyMS8wNi8wMi9jZGY4MGQzNzEyMGZjNTE1OGNhMTA3MmQvaW5kaWthdG9yLXBlbmRpZGlrYW4tcHJvdmluc2ktcGFwdWEtMjAyMC5odG1s&twoadfnoarfeauf=MjAyMS0wOC0wMiAxNDowNDowNw%3D%3D">Kesenjangan akses dan kualitas pendidikan</a> di Indonesia Timur menjadi salah satu alasan mengapa tradisi perkuliahan belum terlalu kental di keluarga mereka – hal ini membuat para mahasiswa tidak memiliki saudara, rekan, atau orangtua yang bisa memberi petunjuk saat memasuki dunia kampus. </p>
<p>Dalam riset saya, misalnya, beberapa mahasiswa mengaku kurang mempersiapkan kuliah mereka. Saat mendaftar kuliah, mereka belum begitu mendalami jurusan apa yang sesuai dengan kebutuhan dan bakat mereka.</p>
<p>Pada akhirnya, jurusan yang mereka tempuh terkadang tidak sesuai ekspektasi sehingga merasa kesulitan saat menjalaninya.</p>
<p>Salah satu partisipan mengungkapkan bahwa ia merasa percaya diri bisa menjalani perkuliahan dengan baik di tahun awal kuliah. Namun, seiring waktu, jurusan yang tidak sesuai ekspektasi membuatnya merasa tidak percaya diri dan nilainya semakin memburuk. </p>
<h2>Bahasa juga menjadi hambatan</h2>
<p>Berdasarkan pengakuan salah satu partisipan, logat Indonesia Timur yang khas sering membuatnya ditertawakan oleh rekan sekelas.</p>
<p>Ini membuatnya tidak nyaman dan mengurangi interaksi – dengan teman kuliah maupun dosen – karena khawatir mendapatkan perlakuan serupa.</p>
<p>Banyak dosen di kampus Jawa juga punya kecenderungan bolak-balik antara bahasa Indonesia dan bahasa Jawa saat menjelaskan mata kuliah, serta memiliki logat “<em>medok</em>” yang kental sehingga menyulitkan para mahasiswa Indonesia Timur untuk memahami.</p>
<p>Jangankan bahasa Jawa, riset bahkan menunjukkan bagaimana <a href="https://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ1083954.pdf">bahasa Indonesia pun jarang digunakan</a> di berbagai sekolah di Papua, Maluku, NTT, dan NTB.</p>
<p>Berbagai ketidakcocokan bahasa tersebut membuat proses belajar mahasiswa Indonesia Timur menjadi jauh lebih menantang ketimbang teman-teman mereka yang telah lama tinggal di kota tersebut. </p>
<h2>Membuat iklim kuliah yang lebih inklusif bagi mahasiswa Indonesia Timur</h2>
<p>Pemerintah dan pembuat kebijakan harus segera menyadari adanya perubahan demografi di perguruan tinggi yang lebih bineka.</p>
<p>Perlu ada program-program untuk menumbuhkan iklim inklusivitas sehingga mahasiswa lebih sensitif dan merangkul keragaman populasi dalam perguruan tinggi, khususnya kelompok minoritas. </p>
<p>Harvard University di AS melalui <a href="https://implicit.harvard.edu">‘<em>Project Implicit</em>’</a>, misalnya, menawarkan tes <em>online</em> gratis untuk mengetahui apakah kita memilki sikap bias atau rasis – yang terang-terangan maupun secara tidak sadar – saat berinteraksi dengan teman dari ras yang berbeda. Dengan cara ini, masyarakat dan warga kampus bisa lebih memahami kekurangan dalam interaksi sosial mereka, serta lebih menumbuhkan semangat inklusivitas dan anti-rasisme. </p>
<p>Universitas pun perlu menyiapkan berbagai sumber daya akademik mereka untuk lebih peka terhadap kebutuhan mahasiswa minoritas.</p>
<p>Misalnya, kampus harus membekali tenaga pengajar mereka untuk lebih inklusif dalam penggunaan bahasa maupun teknik mengajar saat di kelas.</p>
<p>Program persiapan kampus, seperti <a href="https://www.tandfonline.com/doi/citedby/10.1080/01933922.2020.1740846?scroll=top&needAccess=true">konseling bersama</a> yang fokus dalam prospek karir maupun informasi pemilihan jurusan yang tepat, juga sangat penting untuk mendukung calon mahasiswa dari keluarga atau wilayah yang belum memiliki tradisi pendidikan tinggi yang kuat.</p>
<p>Pendidikan yang berkualitas adalah hak semua anak – tapi ini tidak akan terwujud apabila masyarakat dan warga kampus tak acuh terhadap berbagai tantangan yang menghambat pengalaman kuliah mahasiswa minoritas.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/165172/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Uning Musthofiyah tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Jumlah mahasiswa Indonesia Timur yang kuliah di beberapa kota besar di Jawa dan Sumatra semakin meningkat. Namun, banyak penelitian menemukan bahwa mereka mengalami berbagai tantangan akademik.Uning Musthofiyah, Dosen, Universitas Merdeka MalangLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1425622020-07-14T06:08:19Z2020-07-14T06:08:19ZMerek-merek besar mendukung Black Lives Matter, namun dunia iklan masih perlu dekolonisasi<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/347087/original/file-20200713-62-uhx7w3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.piqsels.com/en/public-domain-photo-jedxx">Piqsels</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Merek-merek ternama seperti Nike dan Adidas telah menyuarakan solidaritas pada gerakan Black Lives Matter (gerakan sosial mendukung hak-hak orang kulit hitam) dengan mengeluarkan pernyataan-pernyataan dan iklan-iklan dukungan. </p>
<p>Nike menggunakan slogan mereka “Just Do It” untuk meminta para konsumen “<a href="https://www.youtube.com/watch?v=drcO2V2m7lw&feature=emb_logo">for once, Don’t Do It</a>” hingga tagar <a href="https://twitter.com/tetleyuk/status/1270322489193893889">#Solidaritea</a> yang dipakai oleh banyak merek teh. </p>
<p>Sejumlah besar pesan-pesan ini disertai dengan janji para perusahaan untuk menelisik sejarah mereka dan praktik-praktik usaha yang mereka lakukan untuk melihat apa yang dapat mereka lakukan untuk menangani masalah rasisme struktural.</p>
<p>Pada akhirnya, muncul gagasan tentang perlunya kita melakukan dekolonisasi pada berbagai bidang di masyarakat. </p>
<p>Namun, tentu saja, gagasan itu sendiri bukanlah barang baru. </p>
<p>Kita telah menyaksikan seruan-seruan dan upaya-upaya dekolonisasi dalam <a href="https://www.advance-he.ac.uk/knowledge-hub/embedding-equality-and-diversity-curriculum-discipline-specific-guides">kurikulum</a>, <a href="https://abcnews.go.com/US/commuters-warned-brace-subway-delays-organizers-protest-york/story?id=68672046">sistem angkutan atau transportasi umum</a>, <a href="https://www.telegraph.co.uk/news/2020/01/17/uk-museums-may-have-follow-decolonisation-checklist/">koleksi-koleksi museum</a>, <a href="http://www.open.ac.uk/ikd/blog/decolonising-health-systems-research-and-policy-what-can-it-mean-how-can-it-be-done">sistem kesehatan</a> dan sebagainya, namun kini banyak pihak yang tampaknya berusaha lebih serius dalam mengambil tindakan.</p>
<p>Dekolonisasi melibatkan penghapusan atau penulisan ulang aturan-aturan dan konsep-konsep pemikiran warisan zaman kolonial yang masih menguasai atau mempengaruhi masyarakat. Pada dasarnya ini melibatkan setiap sektor di masyarakat. </p>
<p>Gagasan ini semakin menyebar luas. Namun, walau merek-merek besar melakukan perbaikan dan menyampaikan pernyataan-pernyataan, industri-industri yang lebih besar yang berada di balik pesan-pesan ini juga perlu ditelisik. </p>
<p>Misalnya, di dalam bidang saya - periklanan, dekolonisasi jarang disinggung. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/antara-dove-kecantikan-sejati-dan-sejarah-produk-pemutih-kulit-yang-rasis-85581">Antara Dove, kecantikan sejati, dan sejarah produk pemutih kulit yang rasis</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Pada umumnya, para penduduk perkotaan di Amerika Serikat (AS), melihat <a href="https://appliedpsychologydegree.usc.edu/blog/thinking-vs-feeling-the-psychology-of-advertising/">5.000 iklan per-hari</a> dan sebagian besar iklan tersebut memuat pesan yang <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/716100430">menguatkan cara pikir kolonial</a>. </p>
<p>Iklan mencerminkan pendapat masyarakat itu sendiri. <a href="https://seejane.org/research-informs-empowers/bias-inclusion-in-advertising-an-analysis-of-2018-cannes-lions-film-craft-ads/">Satu kajian</a> menemukan bahwa tokoh iklan kulit putih berpeluang lebih besar digambar sebagai seseorang yang memiliki pekerjaan ketimbang tokoh kulit berwarna. </p>
<p>Sikap rasis yang tidak kentara dan ketidakadilan gender atau keperpihakan pada jenis kelamin tertentu (<em>gendered stereotypes</em>) sudah umum terjadi dalam <a href="https://www.adweek.com/agencies/a-brief-rundown-of-racism-within-advertising-and-why-its-still-happening-today/">iklan-iklan di seluruh dunia</a>.</p>
<p>Sebuah poster kampanye pada awal tahun ini dari jaringan pertokoan Sears, misalnya, menunjukkan seorang perempuan pribumi (orang asli benua Amerika) yang menjual gelang di sebelah seorang perempuan kulit putih yang bertubuh tinggi. Poster lain menyajikan seorang laki-laki kulit putih melihat ke bawah ke laki-laki pribumi, dengan judul yang berbunyi “Liburan”.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1235597213742448640"}"></div></p>
<p>Semua iklan ini menyiratkan superioritas kulit putih. Poster-poster tersebut menyoroti perbedaan pakaian “primitif” dan busana kontemporer, suatu sikap yang kemudian ditekankan lebih jauh melalui pandangan ke bawah si pria kulit putih dan sikap acuh tak acuh si wanita. </p>
<p>Semua iklan ini juga menampilkan masyarakat pribumi sebagai daya tarik hiburan. Manusia yang dimanfaatkan untuk penghias <em>selfie</em> (swafoto), seperti seekor hewan di kebun binatang. </p>
<p>Sears tidak menghapus iklan ini. Melalui akun Twitter, Sears menanggapi keluhan-keluhan dengan menyatakan bahwa perusahaan tersebut <a href="https://twitter.com/searsmexico/status/1235260039566209024">memuliakan budaya Meksiko</a>.</p>
<p>Sebuah iklan yang mendapat perhatian khusus di Inggris dan AS adalah iklan Dove tahun 2017 yang menampilkan perempuan berkulit hitam yang ternyata berkulit putih ketika ia menanggalkan bajunya yang berwarna cokelat. </p>
<p>Walaupun ini bukanlah pesan yang diinginkan, tentu saja iklan tersebut dapat terbaca menyiratkan pesan bahwa Dove dapat membuat kulit konsumen menjadi “putih”. </p>
<p>Ini membuat marah sejumlah konsumen yang merasa bahwa Dove merujuk pada iklan sabun zaman kolonial yang melukiskan orang berkulit hitam sebagai orang yang <a href="https://www.nytimes.com/2017/10/08/business/dove-ad-racist.html">tidak bersih</a>. Dove menghapus iklan tersebut dan mulai meninjau ulang konten daring mereka.</p>
<p>Terbaru adalah kampanye media sosial Dolce & Gabbana (D&G), yang dibuat di Italia untuk pasar Asia, yang menampilkan seorang model keturunan Cina yang sedang mencoba menyantap makanan Italia dengan menggunakan sumpit sambil mengenakan busana D&G yang mewah. </p>
<p>Iklan ini <a href="https://sg.news.yahoo.com/chinese-celebs-boycott-d-g-033900771.html">sangat menyinggung</a> para konsumen barang mewah di Cina. Iklan tersebut diturunkan dan penjualan D&G jatuh drastis, karena para selebritis <a href="https://nextshark.com/dolce-gabbana-chinese-model/">menarik dukungan mereka</a> pada merek tersebut. </p>
<p><div data-react-class="InstagramEmbed" data-react-props="{"url":"https://www.instagram.com/p/BqXYtsZl6D5/?utm_source=ig_web_copy_link","accessToken":"127105130696839|b4b75090c9688d81dfd245afe6052f20"}"></div></p>
<p>Kasus-aksus ini menunjukkan bahwa dekolonisasi perlu dilakukan dalam periklanan: iklan dapat dan memang mendukung pola pikir diskriminatif - sebuah pola pikir yang kerap kali berakar pada zaman kolonial. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/twitter-larang-iklan-politik-tapi-perusak-riil-demokrasi-adalah-facebook-dan-google-126502">Twitter larang iklan politik, tapi perusak riil demokrasi adalah Facebook dan Google</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Cara-cara dekolonisasi iklan</h2>
<p>Saya <a href="https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-3-319-91986-7_13">mempertimbangkan</a> bagaimana kita dapat menghilangkan pola pikir demikian dari periklanan, dan ada sejumlah langkah yang menurut saya harus diambil oleh industri ini.</p>
<p>Yang paling jelas adalah memulai dengan perguruan tinggi sebagai institusi yang sudah mengambil langkah-langkah dekolonisasi terhadap mata-mata kuliah, mulai dari sejarah (dengan memberi perhatian lebih besar pada sejarah-sejarah kolonial) hingga kesusasteraan (dengan melampaui “norma” baku yang sering mengutip penulis kulit putih) dan desain (yang <a href="https://www.decolonisingdesign.com/actions-and-interventions/publications/2018/what-a-decolonisation-of-design-involves-by-ahmed-ansari/">memberi ruang pada para perancang</a> yang bekerja di luar kungkungan lingkungan budaya Anglo-Eropa).</p>
<p>Namun sebagian kuliah-kuliah pemasaran belum mengambil langkah-langkah serupa. </p>
<p>Standar kuliah-kuliah pemasaran seharusnya menekankan bagaimana iklan bukan hanya meyakinkan para konsumen namun juga mempengaruhi masyarakat. </p>
<p>Kita menertawakan iklan-iklan tahun 1950-an dan cerminan dalam iklan-iklan tersebut tentang diskriminasi gender negatif, seperti perempuan harus diam <a href="https://www.hatads.org.uk/catalogue/record/99c08f95-4903-4552-95fb-1b6aac78f6bc">di rumah dan mencuci</a> atau tidak mampu mengemudi dengan benar.</p>
<p>Sikap serupa tentunya akan dilakukan orang-orang pada 2050 dalam menganalisis iklan–iklan saat ini. Para pemasang iklan harus bersiap-siap dan mencamkan hal ini.</p>
<p>Perubahan juga diperlukan di lingkungan biro-biro iklan, yang <a href="https://www.campaignlive.co.uk/article/breaking-boys-club-next-50-years-women-advertising/1496975">didominasi orang kulit putih di jabatan-jabatan tinggi</a>. </p>
<p>Walaupun semakin banyak perempuan mengisi jabatan ini, perlu ada lebih banyak keseimbangan gender, dan diperlukan jauh lebih banyak keragaman rasial. Ini akan membantu mendorong adanya pesan-pesan inklusif. </p>
<p>Di Inggris, Advertising Association baru saja menerbitkan laporan mengenai <a href="https://ukadvertisingneedsyou.adassoc.org.uk/employer/industry-reporting/">keberagaman dan kesetaraan</a> yang menyimpulkan bahwa yang menjadi tantangan adalah memastikan industri ini bisa menjadi tempat bagi orang-orang kulit hitam, Asia dan etnis minoritas lainnya untuk <a href="https://www.campaignlive.co.uk/article/school-reports-2020-made-diversity-grade/1680097">dapat berkembang dan menjadi sejahtera</a>.</p>
<p>Di samping itu, perusahaan-perusahaan yang membiayai iklan perlu bertindak sesuai omongan mereka. Mereka perlu menindaklanjuti dan berbuat sesuai dengan pesan-pesan solidaritas yang mereka sampaikan.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/drcO2V2m7lw?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption">For once, Don’t Do It.</span></figcaption>
</figure>
<p>Iklan “Don’t Do It” dari Nike adalah contoh yang baik mengenai sebuah merek yang meminta perhatian terhadap rasisme di masyarakat. </p>
<p>Namun iklan ini juga menjadi <a href="https://www.marketingweek.com/mark-ritson-black-lives-matter-brands/">kontroversial</a> karena walau Nike telah mendukung para atlet berkulit hitam selama bertahun-tahun, orang mempertanyakan kurangnya keterwakilan orang kulit hitam dalam <a href="https://www.marketingweek.com/mark-ritson-black-lives-matter-brands/">dewan pimpinan perusahaan</a>. </p>
<p>Merek-merek yang mengkaitkan diri mereka dengan kesetaraan rasial perlu membuktikan <a href="https://husdigital.com/how-brands-can-join-the-fight-for-racial-equality-without-being-tone-deaf/">kata-kata mereka dalam tindakan</a>.</p>
<p>Akhirnya, badan-badan pengatur yang mengendalikan periklanan harus lebih proaktif, dengan membuat aturan-aturan khusus yang memandu industri iklan sebelum iklan menjadi ofensif sifatnya. </p>
<p>Ini dapat melibatkan pemberlakuan peraturan-peraturan tentang penguatan konsep superioritas kulit putih. </p>
<p>Otoritas periklanan di Inggris telah berusaha untuk proaktif dengan cara ini, dengan aturan keberpihakan negatif yang melarang dua iklan pada tahun 2019, termasuk Volkswagen. Ini merupakan langkah pada arah yang benar.</p>
<p>Tentu saja, semua langkah ini juga akan memberi dorongan pada upaya-upaya dekolonisasi di bidang lain. </p>
<p>Proses dekolonisasi pada institusi-institusi akan menciptakan masyarakat yang lebih egaliter – maka ini merupakan sesuatu yang harus diperjuangkan.</p>
<hr>
<p><em>Tatang Hadiono dan Agradhira Nandi Wardhana menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/142562/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Carl W Jones tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Periklanan sering mengandung pesan tersirat yang mencerminkan pola pikir era kolonial.Carl W Jones, Senior Lecturer, School of Media and Communication, University of WestminsterLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1424792020-07-10T10:08:31Z2020-07-10T10:08:31ZPesan antirasis dalam Islam 14 abad lalu masih relevan hingga hari ini<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/346839/original/file-20200710-38-1j04ax1.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com/detail/news-photo/muslim-pilgrims-pray-outside-the-namirah-mosquee-at-mount-news-photo/1160522220?adppopup=true">Fethi Belaid/AFP via Getty Images</a></span></figcaption></figure><p>Suatu hari di Mekah, Nabi Muhammad menyampaikan pernyataan mengejutkan kepada pengikutnya: Dia mengatakan kepada mereka bahwa semua orang diciptakan sama.</p>
<p>“Semua manusia adalah keturunan Adam dan Hawa,” kata Muhammad dalam <a href="https://www.arabnews.com/news/467364">khotbah publik terakhirnya</a>. </p>
<p>“Orang Arab tidak lebih unggul dibandingkan non-Arab. Dan non-Arab tidak lebih unggul dibandingkan orang Arab. Kulit putih tidak lebih unggul dari kulit hitam, dan kulit hitam tidak lebih unggul dari kulit putih, kecuali atas sikap dan perbuatan yang baik.” </p>
<p>Dalam khotbah saat Haji Wada (Perpisahan) ini, yang dikenal sebagai Khotbah Perpisahan, Muhammad menjabarkan dasar <a href="http://lcwu.edu.pk/ocd/cfiles/Gender%20&%20Development%20Studies/Maj/GDS%20%E2%80%93%20308/TheFarewellAddressofProphetMuhammad.pdf">cita-cita religius dan etika Islam</a> dalam agama yang ia mulai syiarkan pada awal abad ke-7. </p>
<p>Kesetaraan ras adalah salah satunya. Kata-kata Muhammad menyentak masyarakat yang terbagi atas berbagai suku dan etnis.</p>
<p>Sekarang, <a href="https://theconversation.com/george-floyd-protests-arent-just-anti-racist-they-are-anti-authoritarian-139932">ketegangan rasial dan kekerasan memanas di Amerika Serikat</a> (AS), dan <a href="https://theconversation.com/kredibilitas-amerika-di-panggung-dunia-meredup-akibat-kisruh-rasisme-namun-aktivisme-warga-amerika-melawan-rasisme-menjadi-inspirasi-141603">menyebar</a> ke seluruh dunia.</p>
<p>Di dunia hari ini, pesan Muhammad terlihat untuk menciptakan mandat moral dan etika khusus untuk Muslim Amerika untuk mendukung gerakan protes anti-rasisme negara itu.</p>
<h2>Menantang kekerabatan</h2>
<p>Selain <a href="https://press.uchicago.edu/ucp/books/book/chicago/M/bo6826294.html">monoteisme</a>(menyembah hanya satu Tuhan), kepercayaan pada kesetaraan semua umat manusia di mata Tuhan juga membuat umat Islam awal berbeda dari sesama Arab di Mekah.</p>
<p><a href="https://quran.com/49/13">Surat Al Hujurat (49), ayat 13</a> dalam Al-Quran, menyatakan: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu…dari berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.</p>
<p>Ayat ini menentang banyak <a href="https://www.cambridge.org/us/academic/subjects/history/middle-east-history/hierarchy-and-egalitarianism-islamic-thought?format=PB">nilai-nilai masyarakat Arab pra-Islam</a> yang memiliki kesenjangan sosial berdasarkan <a href="https://www.mqup.ca/ethico-religious-concepts-in-the-qur-an-products-9780773524279.php?page_id=73&">keanggotaan suku, kekerabatan dan kekayaan</a> sebagai bagian dari kehidupan. </p>
<p>Kekerabatan atau keturunan (dalam bahasa Arab disebut “nasab”) <a href="https://www-jstor-org.proxyiub.uits.iu.edu/stable/pdf/j.ctt7zvcmx.9.pdf?ab_segments=0%252Fbasic_SYC-5187%252Fcontrol&refreqid=excelsior%3A110bbea87bab858639cb7b042ca39f1c">adalah penentu utama status sosial seseorang</a>. </p>
<p>Anggota suku yang lebih besar dan lebih menonjol seperti Quraisy memiliki kedudukan yang tinggi, sedangkan orang-orang dari suku yang kurang kaya seperti Khazraj memiliki kedudukan lebih rendah. </p>
<p>Al-Qur'an mengatakan bahwa kesalehan dan perbuatan pribadi adalah dasar dari nilai baik, <a href="https://brill.com/view/title/7252?rskey=Db4ryV&result=1">bukan afiliasi suku</a> – ini adalah pesan asing yang berpotensi mengacaukan masyarakat berdiri berdasarkan nasab.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/345141/original/file-20200701-159815-1lxj4en.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/345141/original/file-20200701-159815-1lxj4en.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/345141/original/file-20200701-159815-1lxj4en.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/345141/original/file-20200701-159815-1lxj4en.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/345141/original/file-20200701-159815-1lxj4en.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/345141/original/file-20200701-159815-1lxj4en.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=425&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/345141/original/file-20200701-159815-1lxj4en.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=425&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/345141/original/file-20200701-159815-1lxj4en.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=425&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Suku Quraisy yang kaya pada zaman Arab kuno mendominasi wilayah itu selama berabad-abad.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://en.qantara.de/sites/default/files/styles/slideshow_wide/public/uploads/2018/03/16/mahmudinrobefromthecaliph.jpg?itok=2R3-quT4">Qantara</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Memperjuangkan kaum marginal</h2>
<p>Seperti halnya gerakan revolusioner lain, Islam awalnya menghadapi perlawanan sengit dari banyak elite.</p>
<p>Suku Quraisy, misalnya, yang mengendalikan perdagangan di Mekah - <a href="https://www.britannica.com/topic/Islamic-world/Formation-and-orientation-c-500-634">bisnis yang sangat menguntungkan bagi mereka</a>, tidak mau melepas gaya hidup nyaman yang mereka bangun di atas punggung orang lain, terutama <a href="https://oneworld-publications.com/slavery-and-islam.html">budak yang mereka bawa dari Afrika</a>. </p>
<p>Pesan Nabi tentang egalitarianisme cenderung menarik bagi “orang-orang yang tidak diinginkan” - orang-orang dari masyarakat pinggiran. </p>
<p>Umat Muslim awal mencakup pemuda-pemuda dari suku yang kurang berpengaruh yang ingin lepas dari stigma dan budak-budak yang dijanjikan pembebasan dengan memeluk Islam.</p>
<p>Perempuan, yang dinyatakan <a href="https://quran.com/33/35">setara dengan laki-laki di Al-Qur'an</a>, juga menganggap pesan Muhammad sangat menarik. </p>
<p>Namun, potensi kesetaraan gender dalam Islam kemudian akan dikompromikan oleh <a href="https://utpress.utexas.edu/books/barlas-believing-women-in-islam">kebangkitan masyarakat patriarki</a>. </p>
<p>Pada saat Nabi Muhammad wafat pada 632, Islam telah membawa transformasi mendasar bagi masyarakat Arab, meski <a href="https://www-cambridge-org.proxyiub.uits.iu.edu/core/services/aop-cambridge-core/content/view/CC41AE69D28F2827B1AB50559905DF6F/S002074380005546Xa.pdf/in_praise_of_the_caliphs_recreating_history_from_the_manaqib_literature.pdf">tidak pernah sepenuhnya menghapus hirarki kesukuan di wilayah ini</a>. </p>
<h2>Lepas dari derita</h2>
<p>Pada awalnya, Islam juga menjadi daya tarik bagi orang non-Arab, orang luar yang <a href="https://its.org.uk/catalogue/muhammad-his-life-based-on-the-earliest-sources-paperback/">tidak punya banyak pengaruh dalam masyarakat tradisional Arab</a>. </p>
<p>Ini termasuk Salman al-Farisi yang melakukan perjalanan ke semenanjung Arab untuk mencari kebenaran religius, Shuhaib ar-Rumi seorang pedagang, dan seorang budak dari Ethiopia yang bernama Bilal.</p>
<figure class="align-right zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/345137/original/file-20200701-159815-wl178v.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/345137/original/file-20200701-159815-wl178v.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/345137/original/file-20200701-159815-wl178v.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=1000&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/345137/original/file-20200701-159815-wl178v.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=1000&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/345137/original/file-20200701-159815-wl178v.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=1000&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/345137/original/file-20200701-159815-wl178v.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1257&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/345137/original/file-20200701-159815-wl178v.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1257&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/345137/original/file-20200701-159815-wl178v.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1257&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Bilal menemukan kebebasan dalam Islam.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/a/a8/Bilal.jpg/360px-Bilal.jpg">Wikimedia Commons</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Ketiganya menjadi terkenal dalam Islam selama masa hidup Muhammad. Kekayaan Bilal yang jauh membaik menggambarkan bagaimana egalitarianisme yang diberitakan oleh Islam mengubah masyarakat Arab.</p>
<p>Sebagai seorang hamba yang diperbudak seorang aristokrat Mekah bernama Umayya, Bilal dianiaya oleh pemiliknya karena memeluk agama baru. </p>
<p>Umayya meletakkan batu di dada Bilal, mencoba mencekiknya sampai ia bersedia meninggalkan Islam. </p>
<p>Tergerak oleh penderitaan Bilal, teman Muhammad sekaligus orang kepercayaannya Abu Bakar yang akan memimpin masyarakat Muslim setelah kematian Nabi, membebaskannya.</p>
<p>Bilal sangat dekat dengan Muhammad. Pada 622, Nabi menunjuknya sebagai orang pertama yang mengumandangkan azan sebagai pengakuan atas <a href="https://referenceworks-brillonline-com.proxyiub.uits.iu.edu/entries/encyclopaedia-of-islam-2/bilal-b-rabah-SIM_1412?s.num=1&s.f.s2_parent=s.f.book.encyclopaedia-of-islam-2&s.q=bilal">suaranya yang kuat dan indah</a> dan kesalehannya. </p>
<p>Bilal kemudian menikahi seorang perempuan Arab dari suku yang terhormat, sesuatu yang tidak terpikirkan oleh orang Afrika yang diperbudak pada periode pra-Islam.</p>
<h2>Black lives matter</h2>
<p>Bagi banyak orang Muslim modern, Bilal adalah <a href="https://oneworld-publications.com/the-first-muslims-pb.html">simbol pesan egaliter Islam</a>, yang dalam penerapan idealnya mengakui tidak ada perbedaan di antara manusia atas dasar etnis atau ras, tapi lebih mengutamakan integritas pribadi. </p>
<p>Salah satu surat kabar milik orang Muslim kulit hitam terkemuka di Amerika Serikat, yang diterbitkan antara tahun 1975 dan 1981, dinamai <a href="https://www.preciousspeaks.com/bilalian-project">The Bilalian News</a>.</p>
<p>Baru-baru ini Yasir Qadhi, Dekan Islamic Seminary of America, di Texas, mengatakan bahwa Muslim Amerika - kelompok yang akrab dengan diskriminasi - “harus memerangi rasisme, <a href="https://www.youtube.com/watch?v=yyECoCpPkw0">apakah itu dengan pendidikan atau dengan cara lain</a>.”</p>
<p><a href="https://theconversation.com/muslim-americans-assert-solidarity-with-black-lives-matter-finding-unity-within-a-diverse-faith-group-141344">Banyak Muslim di AS mengambil tindakan</a>, mendukung gerakan Black Lives Matter, dan memprotes kebrutalan polisi dan rasisme sistemis. </p>
<p>Tindakan mereka mencerminkan pesan egaliter revolusioner - dan masih belum terwujud - yang ditetapkan Nabi Muhammad lebih dari 1.400 tahun yang lalu sebagai landasan iman Islam.</p>
<hr>
<p><em>Artikel ini diterjemahkan oleh Agradhira Nandi Wardhana dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/142479/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Asma Afsaruddin tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Al-Quran menyatakan “kulit putih tidak lebih unggul dari kulit hitam, dan kulit hitam tidak lebih unggul dari kulit putih.”Asma Afsaruddin, Professor of Islamic Studies and former Chairperson, Department of Middle Eastern Languages and Cultures, Indiana UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1421642020-07-09T04:11:16Z2020-07-09T04:11:16ZRasis sejak dini: temuan diskriminasi dalam tontonan dan bacaan anak tentang Papua<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/346476/original/file-20200708-23-13y0yr8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C2%2C880%2C582&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Peran orang tua menjadi penting dalam memutus cara pandang yang diskriminatif, rasis, dan tidak adil terhadap etnis Papua sejak dini.</span> <span class="attribution"><span class="source">www.pikist.com</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0/">CC BY-NC</a></span></figcaption></figure><p>Masyarakat Papua menjadi korban rasisme dan diskriminasi di negaranya sendiri. </p>
<p>Hingga saat ini pun, kejadian rasis dan diskriminatif kerap kali kita temukan. Kasus rasisme yang berujung pada kekerasan menimpa <a href="https://tirto.id/mahasiswa-papua-korban-kekerasan-polisi-didakwa-lukai-aparat-cleF">Oby Kagoya, mahasiswa Papua yang berkuliah di Yogyakarta</a>. Kepala Oby Kagoya diinjak sepatu yang dikenakan aparat dan wajahnya tertelungkup ke tanah. Selain itu ada juga ujaran rasis yang menimpa <a href="https://www.bbc.com/news/world-asia-49434277">para mahasiswa Papua</a> di Surabaya, Jawa Timur tahun lalu.</p>
<p>Saya melihat aksi rasis dan diskriminatif terhadap warga Papua ini sudah tertanam di dalam diri anak-anak Indonesia sejak dini lewat konstruksi orang Papua yang disuguhkan melalui media populer. </p>
<p>Melalui film, tayangan televisi dan buku teks sekolah, negara melanggengkan sikap rasis terhadap warga Papua dalam diri anak. </p>
<h2>Rasisme dalam film</h2>
<p>Film, tayangan televisi, dan buku sekolah merupakan merupakan instrumen penting dalam membangun kesadaran anak. Wening Udasmoro, ahli bahasa dari Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, mengungkapkan bahwa anak adalah <a href="https://scholar.google.co.id/scholar?hl=id&as_sdt=0,5&cluster=1593010966704962889">peniru ulung</a>. Melalui pengalaman kesehariannya, mereka mengamati dan meniru hal-hal yang ditonton dan dibaca. Keseharian anak yang dekat dengan media populer berpengaruh dalam membentuk kesadaran, tingkah laku, dan karakter mereka. </p>
<p>Dari beberapa film tentang Papua yang tayang di televisi, saya menemukan masih cukup banyak film anak bertema Papua yang mengandung unsur diskriminatif dan rasis. </p>
<p>Misalnya film <a href="https://www.imdb.com/title/tt1045831/">Denias, Senandung di Atas Awan</a>, yang merupakan salah satu contoh film anak yang bercerita tentang anak Papua. Film tersebut masih saja menggambarkan citra anak-anak Papua yang primitif, terbelakang, miskin, dan cenderung suka berkelahi. </p>
<p>Gambaran yang penuh stereotip juga akan mudah kita temui dalam beberapa film anak bertema Papua. </p>
<p>Stereotip senada juga ditemukan dalam serial drama remaja <em><a href="https://onesearch.id/Record/IOS5195.81:article-387">Diam-Diam Suka</a></em> di salah satu televisi swasta. Serial tersebut menggambarkan bahwa orang Papua itu bodoh, aneh, dan primitif. </p>
<p>Tayangan lain yang sejenis bisa kita jumpai dalam tayangan komedi _<a href="https://www.youtube.com/watch?v=FNDCHT6Dyi8">Keluarga Minus</a>. </p>
<p>Dalam tayangan tersebut kita akan mengingat sosok Minus yang lucu dan terkadang berlaku konyol. Tayangan tersebut memberikan sesuatu hal yang relatif baru, yakni kemunculan wajah Papua dalam televisi. Tetapi kemunculan tersebut cenderung memposisikan Papua sebagai bahan olok-olok dan layak ditertawakan. Padahal secara tidak sadar hal tersebut akan melanggengkan stigma terhadap orang Papua, yakni stigma bodoh dan konyol. </p>
<h2>Rasisme dalam buku teks</h2>
<p>Setelah era Reformasi, buku teks pelajaran anak berusaha menghadirkan lebih banyak keragaman Indonesia. Buku teks SD (Sekolah Dasar) yang dulu hanya didominasi oleh nama Budi dan Ani kini, kini juga menghadirkan tokoh <a href="https://bsd.pendidikan.id/data/2013/kelas_1sd/siswa/Kelas_01_SD_Tematik_1_Diriku_Siswa_2017.pdf">Edo yang merepresentasikan Papua</a>.</p>
<p>Tapi itu tidak cukup. </p>
<p>Sebuah penelitian<a href="http://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/77708">menjelaskan</a> bahwa meski etnis Papua sudah sering hadir dalam buku teks SD, tetapi relasinya dengan figur yang lain tetap saja inferior. Ketika disandingkan dengan etnis lain, etnis Papua masih dianggap lebih rendah dan dianggap sebagai pelengkap saja. </p>
<h2>Mengapa negara membiarkan</h2>
<p>Gambaran di atas menegaskan betapa rasis dan diskriminatifnya tontonan dan bacaan tentang Papua yang disuguhkan untuk anak. </p>
<p>Imajinasi Papua yang primitif, bodoh, miskin, dan hal-hal negatif lainnya sudah terinstitusionalisasi dalam film, tayangan televisi dan buku sekolah.</p>
<p>Sikap rasis dan diskriminatif tersebut didorong oleh sikap superior pembuat dan pencipta teks media yang dilegitimasi oleh negara. </p>
<p>Legitimasi tersebut menunjukkan kegagalan negara dalam memahami keinginan masyarakat Papua. Negara sering kali absen dalam memperhatikan banyak aspek kehidupan orang Papua, baik soal pelayanan kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan hal-hal penting penting lainnya. </p>
<p>Negara seharusnya perlu memperhatikan representasi Papua yang adil dan humanis dalam bacaan maupun tontonan untuk anak.</p>
<p>Representasi dalam bacaan maupun tontonan tentang Papua yang kerap kali muncul dalam buku, televisi, dan film bukan sesuatu hal remeh dan hanya dipandang sebatas hiburan. Kualitas bacaan dan tontonan tersebut mempunyai implikasi pada masa depan imajinasi anak-anak Indonesia. </p>
<p>Jika ingin memutus mata rantai diskriminasi dan rasis maka sejak dini negara harus memperhatikan kualitas bacaan dan tontonan anak-anak. </p>
<p>Anak adalah masa depan peradaban kita. Konstruksi hari ini membentuk perilaku masa depan. Anak adalah peniru dari lingkungannya. Apa yang dilihat, baca dan tonton sangat mungkin mempengaruhi sikapnya. </p>
<h2>Apa yang bisa dilakukan</h2>
<p>Peran orang tua menjadi penting dalam memutus cara pandang yang diskriminatif, rasis, dan tidak adil terhadap etnis Papua sejak dini.</p>
<p>Kita harus terus menumbuhkan sikap kritis terhadap kualitas bacaan maupun tontonan anak-anak. </p>
<p>Bersikap kritis bukan hanya selektif tetapi berupaya memberi makna atau merekonstruksi sebuah narasi atau cerita yang dianggap bermuatan rasis dan disriminatif. Dalam hal ini, orang tua tidak hanya melarang bacaan atau tontonan yang yang rasis dan diskriminatif, tapi justru menggugah kesadaran anak agar lebih peka. </p>
<p>Orang tua juga harus membiasakan anak untuk hidup dalam perbedaan.
Pembedaan agama, ras, suku dan hal lain penting untuk ditanamkan sejak dini. Dengan perbedaan, anak akan mampu bersikap terbuka dan akan terhindar dari pola pikir sempit yang akan berujung pada tindakan rasis, diskriminatif hingga kekerasan. </p>
<p>Orang tua juga harus memastikan interaksi antaranggota keluarga yang ramah terhadap perbedaan karena hal tersebut akan banyak berdampak pada sikap anak. </p>
<p>Tata keluarga yang demokratis adalah miniatur negara. Apa yang terjadi pada keluarga akan punya dampak yang signifikan pada kehidupan kebangsaan kita yang kaya dan beraneka ragam.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/142164/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Radius Setiyawan tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Imajinasi Papua yang primitif, bodoh, miskin, dan hal-hal negatif lainnya sudah terinstitusionalisasi dalam film, tayangan televisi dan buku sekolah.Radius Setiyawan, Mahasiswa Doktoral Ilmu Sosial FISIP, Universitas AirlanggaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1413022020-07-03T10:04:37Z2020-07-03T10:04:37ZJebakan SARA dalam praktik rasisme terhadap warga Papua<p>Pertengahan Juni lalu, Pengadilan Negeri Balikpapan <a href="https://www.thejakartapost.com/amp/news/2020/06/17/papuan-protesters-sentenced-to-less-than-one-year-for-treason-amid-calls-to-drop-charges.html?__twitter_impression=true">menjatuhkan hukuman penjara kepada tujuh tahanan</a> politik asal Papua dengan dakwaan makar karena terlibat demonstrasi anti-rasisme di Papua pada Agustus 2019.</p>
<p>Hal yang sama terjadi kepada enam OAP yang ditangkap karena melakukan aksi protes anti-rasisme di depan Istana Kepresidenan; tiga mahasiswa OAP di Manokwari, Papua Barat; delapan aktivis OAP di Jayapura, Papua; dan banyak <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191003091734-20-436281/surat-terbuka-amnesty-untuk-jokowi-bebaskan-22-aktivis-papua">lainnya</a>. </p>
<p>Sejak lama, segala bentuk aksi protes warga Papua kerap diasosiasikan dengan separatisme. Akibatnya mereka sering dibungkam atas nama persatuan. </p>
<p>Padahal, aksi protes warga Papua bukan hanya tentang eksploitasi ekonomi atau tuntutan penentuan nasib sendiri saja, tapi ada juga dimensi rasisme yang nyata terwujud dalam <a href="https://tirto.id/betapa-sulitnya-menjadi-papua-eg56">kehidupan sehari-hari</a> tetapi sering kali dilupakan.</p>
<p>OAP, misalnya, sering mendapat cap sebagai pembuat onar dan pemabuk. </p>
<p>Tetapi mengapa masyarakat Indonesia cenderung menutup mata terhadap tuntutan anti-rasisme warga Papua dan hanya fokus pada masalah separatisme saja?</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/membandingkan-gerakan-black-lives-matter-di-amerika-dan-papuan-lives-matter-di-indonesia-apa-yang-sama-apa-yang-beda-140069">Membandingkan gerakan Black Lives Matter di Amerika dan Papuan Lives Matter di Indonesia: apa yang sama, apa yang beda?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Jebakan SARA</h2>
<p>Masyarakat Indonesia melakukan bias rasial secara terbuka terhadap OAP, namun jarang membicarakan soal rasisme.</p>
<p>Pasalnya, masyarakat Indonesia sudah ‘terlatih’ untuk menjauhi perbincangan terkait SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan) yang dianggap sensitif. </p>
<p>“Jangan membawa-bawa SARA!” adalah kalimat yang berulang digunakan jika diskusi sudah mulai mengarah ke perbedaan identitas.</p>
<p>Istilah SARA <a href="https://kolom.tempo.co/read/1192533/simpang-siur-golongan-dalam-sara/full&view=ok">pertama kali dipopulerkan oleh Sudomo</a>, Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban pada masa Soeharto tahun 1980-an. </p>
<p>SARA kerap disebut-sebut sebagai sumber konflik yang mengancam stabilitas sosial politik pada era itu. </p>
<p>Mengutip ahli sejarah Taufik Abdullah dalam tulisan di harian Kompas pada Maret 1997, konsep SARA mengandung pengertian konflik horizontal yang dimotori oleh “suku, agama, dan ras”, dan konflik vertikal yang bersumber pada perbedaan “ekonomi-politik” antar golongan. </p>
<p>Timbul pandangan bahwa SARA ialah “biang kerok” konflik-konflik sosial, sehingga pembicaraan mengenai unsur-unsur tersebut harus dihindari demi keharmonisan. </p>
<p><a href="https://www.eastwestcenter.org/sites/default/files/private/PS014.pdf">Persepsi negatif juga disematkan pada</a> karakterisitik perawakan fisik OAP yang berbeda dari masyarakat Indonesia non-Papua. </p>
<p>Pemikiran ini tentu <a href="https://jurnal.ugm.ac.id/jsp/article/view/11170/8410">problematis</a>, sebab kemajemukan masyarakat Indonesia dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu didiskusikan lebih lanjut karena sudah diterima sebagai takdir bangsa. Sementara, membicarakan perbedaan tersebut dianggap menciptakan perpecahan.</p>
<p>Konsekuensinya, perbincangan mengenai rasisme di Papua sering kali dihindari dan bahkan dilarang. </p>
<p>Padahal, rasisme di Papua tidak dapat dibongkar tanpa membuka ruang diskusi mengenai perbedaan SARA secara menyeluruh dan substantif. </p>
<p>Mendewakan narasi persatuan tanpa mengakui adanya rasisme yang dipelihara oleh negara dan masyarakat membuat kita abai terhadap ketidakadilan sistemik yang telah menghilangkan kesetaraan bagi OAP. </p>
<p>Sebaliknya, menutup kesempatan untuk memperbincangkannya secara komprehensif akan mengecilkan terwujudnya keadilan sosial yang inklusif - keadilan yang justru akan melanggengkan persatuan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/enam-alasan-mengapa-orang-papua-menolak-pemekaran-126790">Enam alasan mengapa orang Papua menolak pemekaran</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Rasisme struktural</h2>
<p>Rasisme terhadap masyarakat Papua merupakan refleksi dari rasisme struktural yang mengakar dalam sejarah. </p>
<p>Sejak masa kolonial Hindia Belanda, OAP tidak memiliki posisi yang setara dengan orang Indonesia non-Papua. </p>
<p>Hal ini karena penjajah enggan menugaskan warga Belanda di tanah Papua sehingga sebagian besar jabatan pemerintahan kolonial diserahkan kepada orang Indonesia-non Papua - OAP menyebut mereka ‘<a href="https://www.lowyinstitute.org/sites/default/files/pubfiles/McGibbon,_Pitfalls_of_Papua_1.pdf">amberi</a>’. </p>
<p>Masyarakat asli Papua lalu menganggap amberi adalah <a href="https://www.rsc.ox.ac.uk/files/files-1/wp42-dynamics-conflict-displacement-papua-2007.pdf#page=33">kaki tangan pemerintah kolonial</a>. </p>
<p>Sementara, OAP yang memiliki kulit gelap, ditempatkan sebagai masyarakat primitif dan tidak kompeten untuk mewakili kelompoknya sendiri. </p>
<p>Secara institusional, OAP <a href="https://www.eastwestcenter.org/publications/constructing-papuan-nationalism-history-ethnicity-and-adaptation">tersingkir</a> dari pemerintahan di tanahnya. </p>
<p>Hal ini memupuk perasaan <a href="https://www.rsc.ox.ac.uk/files/files-1/wp42-dynamics-conflict-displacement-papua-2007.pdf#page=33">superioritas amberi </a> atas OAP yang termanifestasi melalui buruknya perlakuan amberi kepada OAP. </p>
<p>Struktur yang berakar pada rasisme ini kemudian dipelihara untuk mempertahankan relasi kuasa pasca Kemerdekaan, yaitu sebagai proyek integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). </p>
<p>Identitas dan budaya Papua yang berbeda diasimilasi paksa untuk menjadi bagian ‘bangsa.’ </p>
<p>Di titik ini, rasisme menyokong proyek politik negara untuk menciptakan citra spesifik tentang Indonesia; sebuah citra yang tidak memperhitungkan identitas serta suara OAP di dalamnya. </p>
<p>Implikasinya, pembangunan nasional yang Jawa-sentris menjadikan Papua tertinggal serta dimiskinkan di tengah eksploitasi sumber daya.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/pilpres-dan-depolitisasi-papua-113185">Pilpres dan depolitisasi Papua</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Toleran saja tidak cukup</h2>
<p>Banyak resep untuk menangani konflik di Papua, mulai dari dialog hingga pembangunan infrastruktur. Tetapi, semua upaya itu harus berangkat dari semangat bersolidaritas yang anti-rasis.</p>
<p>Dalam masalah rasisme, menjadi toleran atau non-rasis saja tidak cukup, sebab, sekadar menerima perbedaan belum tentu menjamin kesetaraan.</p>
<p>Langkah paling penting untuk dilakukan adalah aktif mendengarkan suara dan pengalaman OAP itu sendiri. </p>
<p>Terdengar mudah, tapi nyatanya, narasi “NKRI harga mati!” yang seringkali disuarakan oleh masyarakat non-Papua - secara sengaja maupun tidak, mengubur kegelisahan OAP tanpa memberi kesempatan untuk memahaminya. </p>
<p>Kami pun menyadari penuh posisi kami sebagai non-Papua. Tulisan ini tidak bermaksud untuk bicara di atas OAP, subjek yang paling berhak bersuara mengenai opresi yang dialaminya.</p>
<p>Sulit bagi kelompok minoritas untuk bebas dari opresi jika dalam bermasyarakat, kelompok mayoritas masih aktif memelihara atau membiarkan narasi rasis beredar. Sementara, sistem yang ada sudah terlebih dahulu merugikan OAP. </p>
<p>Suka atau tidak suka, masyarakat Indonesia yang diuntungkan oleh sistem yang rasis ini, harus menyadari privilesenya, menggunakannya untuk melawan praktik rasisme sehari-hari, mengedukasi diri, dan menyebarkan informasi yang tidak melulu mengantagoniskan OAP. </p>
<p>Rasisme langgeng hingga hari ini bukan hanya karena aktor politik sengaja memeliharanya, tetapi juga karena kita berdiam diri dan tidak sadar telah membiarkannya menggurita.</p>
<hr>
<p><em>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/141302/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Mengapa masyarakat Indonesia cenderung menutup mata terhadap tuntutan anti-rasisme warga Papua dan hanya fokus pada masalah separatisme saja?Heidira Witri Hadayani, Research Assistant under FISIPOL UGM & Research Associate of Center for Digital Society UGM, Universitas Gadjah Mada Sonya Teresa, Research Assistant under Faculty of Social and Political Sciences, Universitas Gadjah Mada, Universitas Gadjah Mada Tantri Fricilla Ginting, Researcher in Faculty of Social and Political Sciences Universitas Gadjah Mada, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1416032020-06-29T07:35:00Z2020-06-29T07:35:00ZKredibilitas Amerika di panggung dunia meredup akibat kisruh rasisme. Namun, aktivisme warga Amerika melawan rasisme menjadi inspirasi<p>Aksi-aksi unjuk rasa yang dipicu oleh kematian warga negara kulit hitam George Floyd telah berlangsung lebih dari sebulan di Amerika Serikat (AS) dan dunia. AS pun kembali memanas setelah seorang laki-laki kulit hitam, <a href="https://www.bbc.com/news/world-us-canada-53052077">Rayshard Brooks</a>, lagi-lagi tewas di tangan polisi.</p>
<p>Gejolak rasisme di Amerika - negara dengan sistem demokrasi <a href="https://www.weforum.org/agenda/2019/08/countries-are-the-worlds-oldest-democracies">tertua</a> di dunia dan yang menganggap dirinya sebagai pemimpin dunia
- membuat banyak pihak melihat Amerika sebagai negara yang munafik. </p>
<p>Berbagai pihak di kawasan <a href="https://www.lowyinstitute.org/the-interpreter/indo-pacific-new-asia">Indo-Pasifik</a> turut mempertanyakan kualitas demokrasi Amerika. </p>
<p>Namun demikian, perjuangan anti-rasisme warga negara AS menampilkan sisi positif bagi masyarakat dunia.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/riset-diskriminasi-dalam-beragama-di-indonesia-salah-satu-yang-tertinggi-di-dunia-islam-139218">Riset: diskriminasi dalam beragama di Indonesia salah satu yang tertinggi di dunia Islam</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Kemunafikan Amerika</h2>
<p>Kebrutalan polisi terhadap warga negara kulit hitam AS dan cara Presiden Donald Trump menanggapi para pengunjuk rasa, menampilkan babak baru pelanggaran hak asasi manusia (<a href="https://www.hrw.org/news/2005/04/27/us-abu-ghraib-only-tip-iceberg">HAM</a>) di sana.</p>
<p>Pemerintah <a href="https://www.nytimes.com/2020/06/02/world/asia/china-george-floyd.html">Cina</a>, negara yang sering dikritik AS karena diskriminasi ras, agama, serta mengekang para aktivis politik, dengan cepat melayangkan kecaman betapa munafiknya AS. </p>
<p>Para pemerintah lainnya di kawasan Indo-Pasifik tidak banyak berkomentar terkait kondisi di dalam negeri AS. Namun demikian, masalah rasisme ini bisa menjadi pengingat bahwa meski negara itu membanggakan diri sebagai <a href="https://www.cnn.com/interactive/2020/02/politics/sotu-address-annotated/">pemimpin</a> atau panutan dalam hal demokrasi dan hak asasi manusia, Amerika seringkali tidak konsisten antara perkataan dan perbuatan. </p>
<p>Trump sendiri awalnya memang <a href="https://www.whitehouse.gov/briefings-statements/the-inaugural-address/">menolak</a> untuk mengusung nilai-nilai moral di tingkat dunia, namun ia tampak kesulitan untuk <a href="https://www.cnn.com/interactive/2020/02/politics/sotu-address-annotated/">lepas</a> dari tradisi Amerika memainkan peran sebagai pembela nilai HAM dan demokrasi di dunia yang telah berjalan bertahun-tahun.</p>
<p>Contohnya, November tahun lalu, Trump menandatangani <a href="https://www.bbc.com/news/world-asia-china-50581862">aturan</a> yang melarang ekspor amunisi pengendali kerumunan pengunjuk rasa bagi satuan polisi Hong Kong. Kebijakan ini dikeluarkan untuk mendorong Cina agar bernegosiasi dengan otoritas Hong Kong menyusul serangkaian unjuk rasa anti-pemerintah Cina. </p>
<p>Kebijakan Trump tersebut bertolak belakang jauh dengan kebijakan dia sendiri yang membiarkan penggunaan kekuatan berlebihan oleh polisi terhadap orang kulit hitam dan para <a href="https://www.nytimes.com/interactive/2020/06/16/us/george-floyd-protests-police-tear-gas.html">pengunjuk rasa</a> anti-rasisme, serta ucapan-ucapan Trump di Twitter yang <a href="https://www.cbsnews.com/news/trump-minneapolis-protesters-thugs-flagged-twitter/">agresif</a>. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/explainer-ilmu-psikologi-menjelaskan-bagaimana-rasisme-terbentuk-dan-bertahan-di-masyarakat-140071">Explainer: ilmu psikologi menjelaskan bagaimana rasisme terbentuk dan bertahan di masyarakat</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Mempertanyakan legitimasi Amerika</h2>
<p>Kematian orang-orang kulit hitam di tangan sejumlah polisi AS, rangkaian unjuk rasa yang terjadi, dan beberapa respon pemerintah AS terhadap aksi protes warga negaranya bisa melemahkan <a href="https://home.gwu.edu/%7Efinnemor/articles/2009_unipolarity_wp.pdf">legitimasi atau pengakuan</a> negara lain terhadap klaim Amerika sebagai pejuang HAM dan demokrasi. </p>
<p>Pemerintah Amerika sendiri terus berusaha untuk menjadi yang <a href="https://www.state.gov/wp-content/uploads/2019/11/Free-and-Open-Indo-Pacific-4Nov2019.pdf">terdepan</a> di dunia, termasuk di kawasan Indo-Pasifik. </p>
<p>Dalam <a href="https://www.cambridge.org/core/books/taming-of-democracy-assistance/371E79EAA13D29919FDA222D5969F085">memajukan demokrasi</a>, Amerika jelas memerlukan dukungan berbagai pihak lebih besar dari negara-negara demokrasi lainnya. </p>
<p>November tahun lalu, pemerintah Amerika misalnya mengeluarkan dokumen berjudul “<a href="https://www.state.gov/wp-content/uploads/2019/11/Free-and-Open-Indo-Pacific-4Nov2019.pdf">A Free and Open Indo-Pacific</a>”, yang merinci langkah-langkah yang telah diambil untuk memastikan kawasan ini selalu damai, sejahtera, dan aman.</p>
<p>Salah satu pokok penting di dokumen itu menyatakan komitmen AS untuk menghukum negara-negara yang tidak memperlakukan para warganya dengan layak. </p>
<p>Jauh sebelum kematian George Floyd, <a href="https://www.pewresearch.org/global/2018/10/01/americas-international-image-continues-to-suffer/">citra</a> AS di mata beberapa negara Asia-Pasifik sendiri sudah menurun antara tahun 2013 dan 2015. </p>
<p>Hal ini disebabkan oleh program pengintaian pemerintah AS terhadap penduduk Amerika dan dunia yang dianggap sebagai pelanggaran hak manusia dalam memiliki privasi. </p>
<p>Di antara sekutu-sekutu Amerika di Asia, citra Amerika juga sedikit menurun sejak Trump menjadi presiden. </p>
<p>Gejolak rasisme yang kini berlangsung akan semakin mempersulit para diplomat AS untuk menyebarkan pesan mengenai pentingnya demokrasi dan HAM.</p>
<p>Di Indonesia, salah satu negara dengan penduduk dan sistem demokrasi terbesar di kawasan Indo-Pasifik, beberapa pihak mempertanyakan kualitas demokrasi Amerika.</p>
<p><a href="https://nasional.tempo.co/read/1350189/kasus-george-floyd-pbnu-demokrasi-amerika-serikat-sekarat">Said Aqil Siradj</a>, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama - organisasi Islam <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2020/06/07/nahdlatul-ulama-condemns-trump-administration-for-lack-of-democratic-values.html">terbesar</a> di Indonesia dan dunia - menyatakan bahwa demokrasi dan HAM Amerika sedang dalam krisis, ditandai salah satunya dengan kekerasan oleh polisi.</p>
<p>Menurut dia, implikasinya adalah sistem demokrasi Amerika tidak bisa dijadikan standar bagi Indonesia. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/membandingkan-gerakan-black-lives-matter-di-amerika-dan-papuan-lives-matter-di-indonesia-apa-yang-sama-apa-yang-beda-140069">Membandingkan gerakan Black Lives Matter di Amerika dan Papuan Lives Matter di Indonesia: apa yang sama, apa yang beda?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Inspirasi dari aktivis</h2>
<p>Meskipun Amerika kehilangan pengakuan dari berbagai pihak asing akibat gejolak rasisme, upaya warganya untuk mengoreksi kebobrokan dalam negeri telah menginspirasi sikap serupa di berbagai penjuru dunia. </p>
<p>Cara para penduduk Amerika menunjukkan perlawanan terhadap diskriminasi terhadap penduduk minoritas sangat beragam. <a href="https://www.jstor.org/stable/2082425?seq=1">Keberagaman</a> tersebut sepertinya dipengaruhi oleh tingkat kepedulian terhadap isu sosial; seberapa banyak sumber daya seperti waktu, uang; dan kemampuan seperti melakukan lobi, atau mengumpulkan sumbangan yang dimiliki tiap orang. </p>
<p>Partisipasi rakyat Amerika di luar jalanan - yang seringkali luput dari sorotan media di luar Amerika - layak mendapat apresiasi. </p>
<p>Bagi mereka yang tidak memiliki banyak waktu atau enggan membahayakan keselamatan dan kesehatan di tengah pandemi dengan melakukan aksi protes di jalanan, namun memiliki kelebihan finansial memilih [berdonasi] untuk membebaskan para pengunjuk rasa yang sempat ditahan. Mereka juga bisa menyumbang uang ke para kandidat politik dan perjuangan mereka.</p>
<p>Perusahaan besar, seperti <a href="https://www.rollingstone.com/pro/features/music-business-blackout-tuesday-1008685/">perusahaan rekaman</a> misalnya yang telah banyak mendapat keuntungan dari para seniman kulit hitam juga turut andil dalam melawan rasime.</p>
<p><a href="https://www.nytimes.com/2020/06/10/business/walmart-black-hair-beauty-products.html">Walmart</a> dan <a href="https://www.cbs58.com/news/band-aid-will-make-black-and-brown-flesh-toned-bandages">Johnson & Johnson</a> juga telah mengadopsi praktik bisnis yang mengutamakan sikap inklusif. </p>
<p>Sikap penduduk Amerika dari berbagai etnis, tingkat usia, dan ekonomi tersebut menjadi sebuah pengingat bagi negara-negara otoriter dan demokratis mengenai bagaimana warga yang peduli akan berusaha menegakkan nilai demokrasi dan HAM. </p>
<p>Perlawanan warga AS terhadap rasisme juga bisa dan telah menginspirasi rakyat Indonesia, India, Singapura, Filipina, Korea Selatan, dan Jepang yang kini bergelut dengan masalah-masalah <a href="https://asia.nikkei.com/Spotlight/Society/George-Floyd-protests-inspire-campaigns-against-racism-across-Asia">diskriminasi dan intimidasi</a> di dalam negeri mereka sendiri. </p>
<p>Persoalan rasisme di beberapa negara Asia bervariasi mulai dari obsesi terhadap kulit putih di India, agresi mikro di Singapura, hingga absennya hukum anti-rasisme terhadap pekerja asing dan keluarga multi budaya di negara yang homogen seperti <a href="https://www.scmp.com/week-asia/politics/article/3088516/black-lives-matter-koreans-uncomfortable-reminder-racial">Korea Selatan</a>.</p>
<p>Di Indonesia, #BlackLivesMatter memberikan dorongan <a href="https://www.scmp.com/week-asia/politics/article/3088516/black-lives-matter-koreans-uncomfortable-reminder-racial">lebih besar </a> bagi <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2020/06/05/speakers-in-papuanlivesmatter-discussion-hit-by-spam-calls-zoombombed-in-live-event.html">diskusi dan pembahasan</a> nasional soal <a href="https://www.thejakartapost.com/academia/2020/06/04/global-fight-against-racism-papuan-lives-also-matter.html">diskriminasi</a> dan kekerasan terhadap warga Papua.</p>
<p>Melalui cara mereka sendiri, perjuangan para warga Amerika melawan rasisme dapat mempertahankan pengakuan internasional atau legitimasi AS di bidang HAM dan demokrasi. </p>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/141603/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Angguntari Ceria Sari tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Gejolak rasisme di Amerika Serikat membuat banyak pihak melihat Amerika sebagai negara yang munafik dan mempertanyakan kualitas demokrasi Amerika.Angguntari Ceria Sari, PhD candidate and Fulbright Scholar (2016-2019) at School of Politics and Global Studies, Arizona State University, Arizona State UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1409672020-06-25T06:33:04Z2020-06-25T06:33:04ZPotret hitam perbudakan rasis di perkebunan Medan era kolonial Belanda<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/343907/original/file-20200625-190510-ycay9e.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Para kuli memilah daun tembakau di gudang tembakau di Deli Medan, yang diawasi oleh mandor Belanda, 1897.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.flickr.com/photos/nationaalarchief/4600341423/">www.nationaalarchief.nl</a></span></figcaption></figure><p>Protes besar atas rasisme yang populer dengan nama <a href="https://www.ft.com/content/2b0f40c0-8e07-4eb4-b2d6-0ed0e3599243">#BlackLivesMatter</a>, bermula di Amerika Serikat, telah menjalar ke Eropa dan <a href="https://www.aljazeera.com/news/2020/06/pro-racist-anti-racism-protests-continue-worldwide-200607200718424.html">dunia</a>. </p>
<p>Di Indonesia, <a href="https://www.voaindonesia.com/a/rasisme-terhadap-orang-papua-akan-diangkat-ke-pbb/5452645.html">banyak aktivis</a> membahas <a href="https://theconversation.com/isu-rasisme-perlu-lebih-banyak-dibahas-di-indonesia-123178">persoalan rasisme</a> <a href="https://www.thejakartapost.com/academia/2020/06/04/global-fight-against-racism-papuan-lives-also-matter.html">terhadap orang-orang Papua</a>. </p>
<p>Tak hanya mempersoalkan rasisme saat ini, masyarakat dunia juga mengecam rasisme dan perbudakan zaman kolonial, dengan cara <a href="https://www.bbc.com/news/world-52963352">merobohkan patung kolonialis</a> dan pedagang budak. </p>
<p>Awal Juni lalu, misalnya, patung kolonial pedagang budak di <a href="https://www.bbc.com/news/uk-england-london-52977088">Inggris</a>, <a href="https://time.com/5851823/protests-belgium-colonial-past/">Belgia</a>, dan <a href="https://time.com/5857402/confederate-monuments-american-revolution/">Amerika</a> dirobohkan dan dicoret. Di Belanda juga ada beberapa protes mengenai <a href="https://www.aljazeera.com/news/2020/06/amsterdam-protest-thousands-rally-racism-capital-city-200611073415294.html">rasisme</a> dan keberadaan patung <a href="https://www.dw.com/en/netherlands-protesters-call-for-removal-of-colonial-era-statue/a-53878846">Jan Pieterszoon Coen</a> di Kota Hoorn. Dia merupakan <a href="https://www.britannica.com/biography/Jan-Pieterszoon-Coen">Gubernur Jenderal Kongsi Dagang asal Belanda (VOC)</a> pada abad ke-17 di Hindia Belanda (Indonesia). </p>
<p>Perdagangan budak masa kolonial juga terjadi di Indonesia, terutama di Sumatera Utara. Di daerah ini, sekitar 150 tahun lalu, Belanda terlibat perdagangan manusia untuk tenaga kerja perkebunan dengan istilah kuli kontrak.</p>
<p>Tahun lalu, saya membawa mahasiswa Australia ke Medan dalam program New Colombo Plan untuk mengenal perkebunan di Sumatera Utara. Dalam perjalanan tersebut, saya mulai meneliti mengenai tanah di Sumatera Utara dan mempelajari banyak riset yang dilakukan di zaman kolonial untuk mengetahui jenis tanah di daerah Deli.</p>
<p>Daerah Medan terkenal dengan tembakau Deli dan para pekebun kolonial melakukan riset untuk meningkatkan produksi tembakau. Di belakang kejayaan riset Belanda, saya menemukan banyak korban manusia untuk mengembangkan perkebunan di Sumatera Utara. Rasisme dan perbudakan terjadi secara besar-besaran di perkebunan yang dikelola oleh perusahaan kolonial. </p>
<p>Dampak kuli kontrak juga masih bisa dirasakan sampai sekarang dengan keturunan para buruh yang masih tinggal di perkebunan yang tidak pernah terlepas dari stigma kuli kontrak. </p>
<h2>Patung peringatan kejayaan budak</h2>
<p>Walau beberapa <a href="https://catalogue.nla.gov.au/Record/3767281">novel</a> dan tulisan <a href="https://catalogue.nla.gov.au/Record/961459">akademik</a> menceritakan kuli kontrak di Sumatera Utara, sejarah perbudakan ini jarang dibahas secara umum. </p>
<p>Bahkan sampai akhir abad ke-20, pemerintah Belanda tidak pernah mempersoalkan kekerasan pada <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2015/10/05/two-centuries-slavery-indonesian-soil.html">zaman kolonial</a>. Padahal, fakta perbudakan dan rasisme itu jelas sekali.</p>
<p>Medan yang terkenal sebagai kota perdagangan pada awal abad ke-20, pernah mendirikan dua monumen untuk memperingati kejayaan pedagang budak. Pada 1915, monumen air mancur di depan Kantor Pos Medan didirikan untuk memperingati Jacob Nienhuys sebagai “perintis” perkebunan Deli. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/342625/original/file-20200618-41200-1lb3nxj.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/342625/original/file-20200618-41200-1lb3nxj.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=375&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/342625/original/file-20200618-41200-1lb3nxj.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=375&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/342625/original/file-20200618-41200-1lb3nxj.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=375&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/342625/original/file-20200618-41200-1lb3nxj.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=471&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/342625/original/file-20200618-41200-1lb3nxj.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=471&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/342625/original/file-20200618-41200-1lb3nxj.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=471&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Kantor Pos Medan. Air mancur Nienhuys didirikan pada 1915 di depan kantor pos untuk mengenang Jacob Nienhuys. Monumen air mancur tersebut dihancurkan pada 1958.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://commons.wikimedia.org/wiki/File:COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Het_post-_en_telegraafkantoor_en_de_Nienhuys-fontein_TMnr_10015240.jpg">Koleksi Tropenmuseum</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Pada 1928, patung Jacob Theodoor Cremer didirikan di depan gedung kantor Asosiasi Perkebunan Deli (sekarang rumah sakit militer Putri Hijau) dengan tulisan “Cremer, 1847-1923. Pendiri perkebunan tembakau Deli, pendiri perusahaan kereta api di Deli, pejuang yang tak kenal lelah untuk kepentingan negara perkebunan ini”.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/342626/original/file-20200618-41238-1xhxc4z.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/342626/original/file-20200618-41238-1xhxc4z.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=375&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/342626/original/file-20200618-41238-1xhxc4z.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=375&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/342626/original/file-20200618-41238-1xhxc4z.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=375&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/342626/original/file-20200618-41238-1xhxc4z.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=471&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/342626/original/file-20200618-41238-1xhxc4z.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=471&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/342626/original/file-20200618-41238-1xhxc4z.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=471&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Patung Cremer Kuli diresmikan pada 1928 di depan kantor Deli Planters Vereeniging, sekarang rumah sakit Militer Putri Hijau di Medan.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://kolonialemonumenten.nl/2016/12/06/jacob-t-cremer-medan-1928/">Koleksi Kolonial Monumenten</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Kedua monumen ini sudah tidak ada lagi, tapi warisan kuli kontrak dari kedua tokoh kolonial ini masih dapat dirasakan sampai saat ini di Sumatera Utara.</p>
<h2>Awal kuli kontrak di Deli</h2>
<p>Syahdan, Jacob Nienhuys, pedagang tembakau Belanda datang ke Labuhan Deli di Sumatera Utara pada 1863. Berbeda dengan Jawa, pantai timur Sumatera yang dikuasai oleh Sultan Deli masih belum banyak disentuh oleh pemerintah kolonial Belanda. </p>
<p>Labuhan masih kampung kecil dekat Belawan yang hanya didiami 2000 penduduk Melayu dan sekitar 20 orang Cina dan 100 orang India. </p>
<p>Kebijakan <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Cultuurstelsel">cultuurstelsel</a> (tanam paksa) baru dihapuskan, dan pemerintah kolonial Belanda menerapkan sistem ekonomi liberal di Hindia Belanda yang terbuka untuk perusahaan swasta.</p>
<p>Sultan Deli, Sultan Ma’mun Al Rashid Perkasa Alam (1853-1924), berminat mengembangkan tanah di Deli sebagai daerah perkebunan. Dia memberikan konsesi tanah kepada Nienhuys untuk menanam tembakau. Masalah pertama yang dihadapi adalah kurangnya tenaga kerja. Orang Melayu dan Batak tidak mau bekerja sebagai buruh perkebunan. </p>
<p>Nienhuys kemudian mencari tenaga kerja dengan “mengimpor” 120 kuli Cina dari Penang, Malaysia pada 1864. Setelah percobaan beberapa tahun, Nienhuys sukses mengembangkan tembakau Deli sebagai pembungkus cerutu berkualitas tinggi yang diminati perokok Eropa dan Amerika. </p>
<p>Dengan bantuan modal dari investor di Rotterdam, Nienhuys mendirikan <em>Deli Maatschappij</em> dan mengembangkan perkebunan Deli secara besar-besaran. </p>
<p>Dengan pesatnya perkembangan perkebunan, keperluan buruh kebun juga semakin banyak. Setiap tahun, ribuan buruh Cina didatangkan dari Penang dan Singapura. Selain itu buruh dari Jawa, Banjar, dan India juga didatangkan. </p>
<p>Pada 1890 tercatat lebih dari 20.000 kuli Cina diangkut ke tanah Deli sebagai buruh kebun. Dengan upah kuli yang murah, usaha tembakau Deli sangat menguntungkan. Tahun 1896, tercatat penjualan 190.000 bal tembakau Deli di Amsterdam yang menghasilkan 32 juta guilder. Kalau dikonversi dengan uang sekarang sekitar US$450 juta atau Rp6,5 triliun. </p>
<p>Total penjualan tembakau Deli yang diraup pekebun kolonial dari 1864 sampai 1938 mencapai 2,77 miliar Guilder, atau konversi dengan uang sekarang sekitar US$40 miliar (Rp581 triliun).</p>
<h2>Rasisme kulit putih</h2>
<p>Perlakuan perusahaan perkebunan Belanda terhadap kuli tidak lebih dari perbudakan. </p>
<p>Rasisme adalah lazim, orang kulit putih adalah sang tuan dan penguasa mutlak. </p>
<p>Sebuah <a href="https://www.jstor.org/stable/2928658?seq=1#metadata_info_tab_contents">surat</a> tertanggal 28 Oktober 1876 oleh Frans Carl Valck, Asisten Residen di Sumatera Timur mencatat:</p>
<blockquote>
<p>“Memang suatu keajaiban, kuli Cina bisa tertarik ke daerah perkulian untuk dipukuli hingga mati atau setidaknya diperlakukan dengan kejam sampai luka yang mendalam… Baru-baru ini saya mendengar cerita tentang seorang Eropa yang dengan bangga menceritakan bagaimana dia menggantung seorang kuli sampai mukanya menjadi biru”. </p>
</blockquote>
<p>Nienhuys penuh rasisme, <a href="https://www.niod.nl/sites/niod.nl/files/If%20the%20walls%20could%20speak.pdf">menulis</a> bahwa “Orang Cina adalah penipu yang licik dan orang Jawa adalah malas” dan “Orang Batak adalah ras yang terbelakang”. </p>
<p>Artikel di <a href="https://www.delpher.nl/nl/kranten/view?coll=ddd&identifier=KBDDD02:000198913:mpeg21:a0036">Sumatra Post</a> edisi 30 Mei 1913 menuliskan bahwa sekitar tahun 1867-1868, Nienhuys dituduh mencambuk tujuh kuli Cina sampai mati. Walau kasus ini belum terbuktikan dan juga tak terbantahkan, Sultan Deli memerintahkan Nienhuys untuk meninggalkan tanah Deli dan tidak diizinkan kembali lagi.</p>
<p>Tahun 1869, JT Cremer menggantikan Nienhuys sebagai administrator perusahaan Deli. Untuk mengontrol ribuan buruh dari Cina dan Jawa, Cremer merancang Ordinansi (Peraturan) Kuli yang disahkan pemerintah Hindia Belanda pada 1880. Peraturan tersebut menyebutkan bahwa para pengusaha kebun melakukan kontrak langsung ke sang kuli untuk bekerja penuh di kebun selama 3 tahun. Para pekerja dikontrak tiga tahun untuk membayar “utang” transportasi mereka ke tanah Deli. </p>
<p>Kelihatannya peraturan tersebut menaruh perhatian terhadap kehidupan buruh, namun peraturan tersebut juga membenarkan para pekebun melaksanakan pidana sanksi atas buruh yang mengingkari persetujuan tersebut. Ordinansi tersebut memberikan kuasa kepada para pekebun untuk menghukum para kuli yang diperkirakan tidak patuh, malas, atau melarikan diri.</p>
<h2>Monopoli dan brutal</h2>
<p>Asosiasi Pekebun Tembakau Deli juga didirikan pada 1879 untuk memonopoli perkebunan tembakau di Deli. Cremer juga melobi pemerintah Belanda agar mendatangkan buruh langsung dari daratan Cina. Pada 1900, 6.900 buruh langsung didatangkan dari pelabuhan Swatow di Provinsi Guangdong dan Hong Kong. Dari tahun 1888-1930, lebih dari 200.000 buruh Cina telah “diimpor” ke tanah Deli.</p>
<p>Awal 1910, pekerja dari Jawa juga mulai secara besar besaran didatangkan untuk membuka lahan baru untuk perkebunan karet. Pada 1930 terdapat 26.000 orang Cina, 230.000 orang Jawa dan 1000 orang India yang bekerja di perkebunan Deli. </p>
<p>Para pekerja ini harus bekerja 10 jam per hari, 7 hari per minggu dan hanya mendapatkan liburan 1 hari per dua minggu saat gajian. </p>
<p>Pada 1902 Van der Brand, pengacara Belanda di Medan mengungkapkan kebrutalan para pengusaha kebun terhadap para buruh dalam pamflet yang berjudul “Jutawan dari Deli (<em>De Millionen uit Deli</em>)”. Publikasi Van der Brand ini dianggap sebagai <em>Multatuli</em> tanah Deli. </p>
<p>Pemerintah kolonial merasa wajib untuk merespons dan mengirim jaksa J.L.T. Rhemrev menyelidiki kasus tersebut. Laporan Rhemrev pada 1904 menggambarkan perlakuan yang amat buruk terhadap kuli kontrak. Namun laporan itu hanya disimpan dalam berkas, dan hanya pada 1987 ditemukan oleh Jan Breman, peneliti Universitas Amsterdam.</p>
<p>Tan Malaka, <a href="http://eprints.uny.ac.id/21756/4/4.BAB%20III.pdf">yang setahun mengajar anak-anak kuli kontrak di Deli pada 1920-an</a>, menggambarkan <a href="https://www.goodreads.com/book/show/12895326-dari-penjara-ke-penjara">kehidupan di sana</a>:</p>
<blockquote>
<p>Deli memang tanah emas dan surga bagi kelas kaum kapitalis, namun hanya tanah untuk meneteskan keringat dan air mata, tanah kematian dan neraka bagi kaum buruh.</p>
<p>Para kuli melakukan kerja paksa, mereka adalah budak. Para kuli membanting tulang dari dini hari sampai malam, mendapat upah yang cukup buat pengisi perut dan penutup punggung, tinggal di bangsal seperti kambing dalam kandangnya, sewaktu-waktu dipukul dan dimaki godverdom, sewaktu-waktu bisa kehilangan istri dan anak gadisnya yang dikehendaki ndoro tuan. </p>
</blockquote>
<p><a href="https://www.cambridge.org/core/journals/itinerario/article/controversial-views-on-writing-colonial-history/232FD85046BB143953293576913B8FC5">Breman</a> memperkirakan seperempat dari kuli kontrak tewas sebelum kontrak mereka berakhir. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/342644/original/file-20200618-41230-810h1u.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/342644/original/file-20200618-41230-810h1u.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=375&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/342644/original/file-20200618-41230-810h1u.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=375&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/342644/original/file-20200618-41230-810h1u.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=375&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/342644/original/file-20200618-41230-810h1u.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=471&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/342644/original/file-20200618-41230-810h1u.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=471&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/342644/original/file-20200618-41230-810h1u.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=471&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Para kuli kontrak menyortir daun tembakau di perusahaan Bandar Klippa di Deli, Sumatera Utara, 1894. Mandor Belanda mengawasi mereka.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://overdemuur.org/waarom-we-allemaal-kinderen-van-de-koloniale-rekening-zijn/">Koleksi Tropenmuseum</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Warisan buruk perkebunan kolonial</h2>
<p>Setelah kemerdekaan Indonesia, kasus perbudakan ini sudah dilupakan, baik di Belanda maupun di Indonesia. </p>
<p>Selain merusak kemanusian, perusahaan kolonial Belanda dan Eropa dalam mengembangkan perkebunan di Sumatera Utara telah membabat hutan secara besar-besaran. <a href="https://www.jstor.org/stable/10.1163/j.ctvbnm4v6.11?refreqid=excelsior%3A6b1e7a8381e8d0184fb4542a1b51b5c6&seq=21#metadata_info_tab_contents">Karl Pelzer, akademisi dari Yale University</a>, memperkirakan lebih setengah lahan di Kabupaten Deli Serdang dan Langkat telah dibabat menjadi perkebunan saat zaman Belanda. </p>
<p>Daerah Sumatera Utara sekarang terkenal menjadi daerah perkebunan. Namun warisan sistem perkebunan zaman Belanda masih diterapkan. Setiap kebun memiliki administrator (ADM), asisten kebun, kerani, mandor, dan buruh. </p>
<p>Walau sang buruh sekarang tidak lagi terikat dalam kontrak, namun upah buruh masih <a href="http://disnaker.pemkomedan.go.id/website/content/2013/7/disnaker+awasi+perusahaan+yang+bayar+upah+di+bawah+ketentuan.html">minimum</a> </p>
<h2>Romantisme tanah Deli</h2>
<p>Belakangan ini, riwayat tanah Deli yang kaya banyak <a href="https://historia.id/urban/articles/ketika-ibukota-kesultanan-deli-pindah-ke-medan-vQJOX">diromantisasi</a> sebagai <a href="https://www.youtube.com/watch?v=DBS1WAvwSPw.">wisata warisan sejarah</a>.</p>
<p>Kota Medan yang telah modern pada awal abad ke-20, pernah dijuluki <em>Parijs van Sumatra</em>. Daerah Kesawan terkenal dengan restoran Tip Top, pusat perbelanjaan <a href="https://sumut.idntimes.com/news/sumut/prayugo-utomo-1/10-hal-tentang-warenhuis-supermarket-pertama-di-medan-era-kolonial">Warenhuis</a> dan Seng Hap. </p>
<p>Esplanade (Lapangan Merdeka) memiliki bangunan bersejarah (Harrison Crossfield - sekarang London Sumatera), balai kota, kantor pos, hotel de Boer (sekarang Grand Inna), jalur kereta api yang menghubungkan semua perkebunan di Sumatera Utara. </p>
<p>Bersamaan dengan roman yang indah ini, Nienhuys diceritakan sebagai pendiri kota <a href="https://www.youtube.com/watch?v=DBS1WAvwSPw">Medan modern</a>. <a href="https://kolonialemonumenten.nl/2016/12/06/jacob-t-cremer-medan-1928/">Monumen Kolonial Belanda</a> mengagungkan Cremer sebagai sang kolonial dengan cita-cita tertinggi yang membawa peradaban, kemakmuran, kedamaian, dan ketertiban. </p>
<p>Nienhuys dan Cremer menjadi kaya raya dari hasil perkebunan Deli. Cremer bahkan menjabat sebagai menteri kolonial di pemerintah Belanda (1897–1901).</p>
<p>Halaman Wikipedia <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Jacob_Nienhuys">Nienhuys</a> dan <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Jacob_Theodoor_Cremer">Cremer</a> mengangkat mereka sebagai pendiri perusahaan tembakau, dan tidak mempersoalkan sistem perbudakan yang mereka tanamkan.</p>
<p>Romantisme sejarah Medan jangan sampai melupakan keringat dan darah ratusan ribu kuli kontrak yang diperbudak di perkebunan saat kolonial. </p>
<p>Agar sejarah terhadap pekerja kebun tidak terulang lagi, pemerintah dan masyarakat mestinya memperhatikan pendidikan dan kesejahteraan mereka agar bisa keluar dari jeratan kemiskinan turunan. </p>
<p>Jika generasi milenial tidak lagi berminat menjadi pekebun atau petani, akan berdampak terhadap kelanjutan pertanian di Indonesia.</p>
<hr>
<p><em>Catatan editor: jumlah penjualan tembakau Deli telah direvisi.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/140967/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Budiman Minasny menerima dana dari pemerintah Australia untuk New Colombo Plan scholarship.</span></em></p>Di belakang kejayaan riset Belanda, saya menemukan banyak korban manusia untuk mengembangkan perkebunan di Sumatera Utara. Perbudakan terjadi secara besar-besaran di sana pada zaman kolonial.Budiman Minasny, Professor in Soil-Landscape Modelling, University of SydneyLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1408452020-06-19T04:17:37Z2020-06-19T04:17:37ZTelah lama dunia menghadapi pandemi rasisme. Bagaimana cara menghentikannya?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/342679/original/file-20200618-41217-19omn41.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=19%2C19%2C12910%2C5737&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Mengakhiri rasisme merupakan tugas kita baik secara individual maupun kolektif.</span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>Saat ini, kita tahu tentang nasib George Floyd yang meninggal dunia setelah <a href="https://abcnews.go.com/US/wireStory/black-man-dies-video-shows-officer-kneeling-neck-70879963">polisi di Mineapolis, Amerika Serikat (AS), menekan lehernya dengan lutut sampai ia kehabisan nafas</a>. </p>
<p>Kematian tragis Floyd ini telah memicu protes terhadap praktik rasisme dan tindak kekerasan yang dilakukan polisi. Berbagai protes ini <a href="https://www.nytimes.com/2020/06/08/us/politics/democrats-police-misconduct-bill-protests.html">mendorong anggota Kongres AS menyusun rancangan undang-undang (RUU) untuk menghentikan penyalahgunaan kekerasan yang dilakukan oleh polisi</a>. Selain itu, di <a href="https://www.cnn.com/2020/06/11/opinions/how-britain-must-face-winston-churchill-and-other-racism-thomas/index.html">Inggris</a> dan <a href="https://www.reuters.com/article/minneapolis-police-belgium-statue/activists-remove-statue-of-belgian-colonial-king-leopold-ii-in-brussels-idUSL4N2DP29Y">Belgia</a>, patung-patung para figur pada masa kolonial yang dikenal rasis, dipindahkan. Berbagai <a href="https://www.esquire.com/entertainment/a32823005/gone-with-the-wind-cops-live-pd-canceled-black-lives-matter-george-floyd/">film dan acara televisi</a> yang mengandung unsur rasisme juga telah dihentikan penayangannya.</p>
<p>Pembunuhan George Floyd oleh polisi yang sempat disaksikan orang-orang - yang tidak berani berbuat apa-apa - membuktikan bahwa <a href="https://theconversation.com/george-floyds-death-reflects-the-racist-roots-of-american-policing-139805">rasisme masih menjadi tantangan besar di AS</a>. Namun demikian, rasisme struktural serupa tidak hanya terjadi di sana saja. Seperti pandemi COVID-19 yang sedang kita hadapi sekarang, rasisme juga terjadi di seluruh penjuru dunia. </p>
<p>Seperti halnya kita wajib bekerja sama untuk menanggulangi pandemi COVID-19, demikian juga wajib bagi kita untuk menghentikan rasisme secara global.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/341833/original/file-20200615-65912-jcmmn2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/341833/original/file-20200615-65912-jcmmn2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/341833/original/file-20200615-65912-jcmmn2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/341833/original/file-20200615-65912-jcmmn2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/341833/original/file-20200615-65912-jcmmn2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/341833/original/file-20200615-65912-jcmmn2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/341833/original/file-20200615-65912-jcmmn2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Para demonstran Black Lives Matter di New York City pada 5 Juni 2020.</span>
<span class="attribution"><span class="source">tetiana.photographer/Shutterstock</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Penyebaran rasisme</h2>
<p>Banyak orang berdebat apakah pandemi COVID-19 yang telah membunuh lebih dari 400,000 jiwa ini disebabkan oleh manusia, sebagai konsekuensi dari adanya berbagai <a href="https://go.gale.com/ps/anonymous?id=GALE%7CA133101460&sid=googleScholar&v=2.1&it=r&linkaccess=abs&issn=15279677&p=AONE&sw=w">efek samping yang tidak disengaja dan tidak terduga dari modernisasi dan industrialisasi yang eksploitatif</a>.</p>
<p>Dalam hal pandemi rasisme, tidak diragukan lagi bahwa pandemi ini berasal dari konstruksi manusia. Jika COVID-19 berasal dari virus SARS-CoV-2, pandemi rasisme berasal dari pandangan tidak masuk akal dari sekelompok orang yang berpikir bahwa mereka lebih baik dibanding dengan orang lain yang terlihat berbeda darinya.</p>
<p>Para elite kulit putih dari Eropa sering menggunakan pandangan ini sebagai dasar kebijakan mereka yang imperialis, kolonialis, dan rasis demi mempertahankan klaim yang menyatakan bahwa mereka lebih unggul secara budaya dan biologis. Pandangan ini menghasilkan kolonisasi dunia oleh orang-orang kulit putih Eropa, perbudakan terhadap orang-orang dari benua Afrika di tanah air mereka sendiri, di tempat lain, dan di Amerika, serta Sosialisme Nasional Jerman oleh Nazi, yang baru terjadi di Eropa 75 tahun yang lalu. </p>
<p>Pada waktu Jerman dipimpin oleh Adolf Hitler, Nazi menggunakan <a href="http://users.clas.ufl.edu/davidson/Jim%20Crow%20America%20Spring%202016/Jim%20Crow%20America%20course%20readings/Week%203%20Race%20and%20Racism/Jackson%20and%20Weidman%202006.pdf">rasisme ilmiah</a> yang berbasis pada teori Darwinisme sosial, untuk mengklaim keunggulan orang Jerman, yang dianggap punya ras superior/Arya untuk menjustifikasi pembunuhan sistematis berskala besar terhadap sekitar 11 juta jiwa, yang terjadi pada tahun 1933-1945. </p>
<p>Sosialisme Nasional, yang umumnya dikenal sebagai Nazisme, menggunakan, mengeksploitasi, dan memperluas logika eugenika. Nazi membunuh tidak hanya dua pertiga dari populasi Yahudi di Eropa pada saat itu - sebagaimana diketahui dunia sekarang -, namun, mereka juga telah membunuh <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/17504902.1999.11087097?casa_token=Lch1-a1HRsIAAAAA:II3sM4OrifYuAN4uSY44hs-4nINFMEmKTHxWXB49cZuKvxKsHByh-ygNN0zLMK-TWvbQaN319ig">jutaan orang non-Yahudi lainnya, yang terdiri dari orang-orang Afrika, Romani, Sinti, dan berbagai kelompok lainnya yang dicap oleh Nazi sebagai “orang yang asosial” atau “tidak layak”</a>, termasuk para homoseksual, orang tuli, buta, cacat, dan sakit mental.</p>
<p>Bahwa kita jarang mendengar bahwa Nazi juga telah membunuh jutaan jiwa dari berbagai kelompok lainnya juga telah membuktikan bahwa rasisme struktural masih berlaku hingga saat ini.</p>
<p>Menjadi sesuatu yang ironis bahwa AS yang merupakan anggota dari pasukan Sekutu yang dulunya mengalahkan Nazi dan mendorong terjadinya denazifikasi, baru mulai memberikan hak suara bagi orang-orang Amerika berkulit hitam sejak tahun 1960-an. Dan hingga saat ini, rasisme struktural terhadap orang Afrika-Amerika masih juga terjadi.</p>
<p>Sementara itu, di seluruh dunia banyak <a href="https://www.thejakartapost.com/academia/2019/08/20/how-postcolonial-is-postcolonial-indonesia.html">negara-negara pasca kolonial</a> masih terus berjuang melawan hegemoni kulit putih.</p>
<p>Di wilayah Asia-Pasifik, di negara-negara yang dulunya merupakan negara koloni Eropa, banyak orang yang masih tetap menggunakan logika rasial dalam kehidupan sehari-hari mereka, secara sadar maupun tidak sadar. </p>
<p>Kulit gelap sering dikaitkan dengan pekerjaan kasar, sedangkan kulit yang lebih putih dan cerah sering dikaitkan dengan status sosial yang lebih tinggi dan dianggap sebagai bukti kemurnian suatu budaya. Rasisme juga masih melekat pada masyarakat konsumen, dengan cara mempromosikan konsep kecantikan yang <a href="https://www.worldcat.org/title/pesona-barat-analisa-%20kritis-historis-tentang-kesadaran-warna-kulit-di-indonesia%20/%20oclc%20/%20212384010">cenderung merayakan dan mengagungkan orang-orang berkulit lebih terang</a>.</p>
<h2>Mengatasi pandemi rasisme</h2>
<p>Mengakhiri rasisme merupakan tugas kita baik secara individual maupun kolektif. Sebuah gagasan yang menentang <a href="https://worddisk.com/wiki/Franz_Boas/">Eurosentrisme, yang diusulkan oleh seorang antropolog sosial-budaya bernama Franz Boas</a> dapat membantu kita untuk melakukan hal ini. Ia berpendapat bahwa budaya bukanlah sesuatu yang mutlak. Standar norma suatu budaya tertentu tidak selalu bisa berlaku untuk mengukur budaya lain. Frans Boas mendorong pemahaman demokratis tentang budaya dan ras yang menghormati perbedaan sehingga tidak ada satu kelompok pun yang dianggap lebih tinggi atau paling unggul dari yang lain.</p>
<p>Pada tingkat individu, dalam mengatasi perspektif rasis dan menghentikan perilaku rasis dapat dimulai dengan cara mengubah pandangan dan jagat pikir kita. Kita harus mulai menetralisir konsep tentang diri dan lian, dan mulai memperlakukan setiap orang secara setara - tanpa peduli apa pun warna kulit mereka. Hal ini juga dapat dimulai dengan berhenti percaya terhadap supremasi kulit putih dan mengakhiri pandangan yang minor terhadap sesama kita yang berkulit gelap. </p>
<p>Pada tingkat organisasi dan masyarakat, kita harus bisa menentang ideologi populer kontemporer tentang rasisme ilmiah. Sebagai contoh, proses penerimaan murid baru di sekolah, berbagai layanan publik, dan perusahaan tidak boleh mendiskriminasi orang berdasarkan ras atau warna kulit mereka. Organisasi-organisasi juga harus secara aktif mendukung orang-orang dari kelompok yang secara historis pernah tertindas karena diskriminasi berbasis ras dan seringkali tidak terwakilkan dalam berbagai bidang kehidupan publik.</p>
<p>Dalam sektor bisnis, hegemoni politik warna kulit dalam pembuatan berbagai produk mereka juga harus diperbaiki.</p>
<p>Terakhir, pemerintah di seluruh dunia juga harus tetap berupaya dalam mengurangi ketidaksetaraan struktural yang muncul akibat adanya hierarki sosial yang rasis.</p>
<p>Kematian George Floyd jangan sampai sia-sia. Hingga saat ini, kematiannya telah mendorong terjadinya gerakan di seluruh dunia yang bertujuan untuk mengatasi pandemi rasisme.</p>
<p>Kita semua harus mendekonstruksi supremasi kulit putih, yang merupakan “normal lama” kita, dan bergerak bersama untuk sepenuhnya percaya pada paham bahwa semua ras adalah sederajat. Artinya, kita harus dapat menghargai setiap orang secara setara, dan juga secara alami melihat bahwa setiap orang memiliki harkat dan martabat yang sama.</p>
<hr>
<p><em>Artikel ini diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Diva Tasya Belinda Rauf</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/140845/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Vissia Ita Yulianto tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Seperti pandemi COVID-19 yang sedang kita hadapi sekarang, rasisme juga ada di seluruh penjuru dunia.Vissia Ita Yulianto, Socio-cultural anthropologist, Center for Southeast Asian Social Studies, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1403792020-06-10T09:25:32Z2020-06-10T09:25:32ZCoronavirus mingguan: rasisme, COVID-19, dan ketimpangan yang memicu munculnya ‘pandemi’ paralel lainnya<p>Protes-protes terhadap rasisme sistemis dan kebrutalan polisi yang sedang <a href="https://www.nytimes.com/2020/06/06/world/george-floyd-global-protests.html">melanda dunia</a> menunjukkan adanya persinggungan antara <a href="https://www.nbcnews.com/news/us-news/new-york-protesters-say-they-are-facing-two-deadly-pandemics-n1225241">dua pandemi</a>: COVID-19 dan <a href="https://theconversation.com/george-floyd-and-ahmaud-arbery-deaths-racism-causes-life-threatening-conditions-for-black-men-every-day-120541">rasisme</a>. Para peneliti telah mengatakan bahwa ketimpangan struktural membuat orang dengan kulit berwarna akan mendapatkan dampak yang lebih buruk dari coronavirus.</p>
<p>Para politisi juga khawatir jika protes-protes yang dilakukan dapat memicu peningkatan penyebaran COVID-19. Maka dari itu, para pakar kesehatan masyarakat memberikan <a href="https://theconversation.com/how-to-protest-during-a-pandemic-and-still-keep-everyone-safe-from-coronavirus-6-questions-answered-139978">beberapa tips</a> agar protes dapat dilakukan dengan aman.</p>
<p>Selain itu, ketika <a href="https://www.nytimes.com/2020/06/08/opinion/brazil-coronavirus-bolsonaro.html">banyak negara</a> sedang berjuang menghadapi angka kasus COVID-19 yang kian meningkat, Selandia Baru mengumumkan bahwa mereka telah berhasil <a href="https://theconversation.com/new-zealand-hits-zero-active-coronavirus-cases-here-are-5-measures-to-keep-it-that-way-139862">memberantas coronavirus</a>, dan sekarang berfokus untuk tetap mempertahankan keberhasilan ini.</p>
<p>Dalam kompilasi artikel-artikel coronavirus dari berbagai peneliti di seluruh dunia, kami menjabarkan dampak-dampak yang kurang terekspos dari COVID-19, kesuksesan Selandia Baru, dan uji coba terbaru untuk obat coronavirus.</p>
<hr>
<figure class="align-right ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/320716/original/file-20200316-18073-ruhw8b.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/320716/original/file-20200316-18073-ruhw8b.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/320716/original/file-20200316-18073-ruhw8b.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/320716/original/file-20200316-18073-ruhw8b.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/320716/original/file-20200316-18073-ruhw8b.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/320716/original/file-20200316-18073-ruhw8b.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/320716/original/file-20200316-18073-ruhw8b.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
</figcaption>
</figure>
<p><strong><em>Ini adalah kumpulan informasi mingguan kami dari para ahli tentang <a href="https://theconversation.com/topics/covid-19-82431">coronavirus</a>.</em></strong>
<br><em>The Conversation, adalah sebuah kelompok nirlaba, bekerja dengan berbagai akademisi di seluruh jaringan globalnya. Bersama-sama kami menghasilkan analisis dan pandangan berbasis bukti. Artikel-artikel ini gratis untuk dibaca - tidak ada pembayaran apa pun - dan <a href="http://theconversation.com/republishing-guidelines">bisa diterbitkan ulang</a>. Tetap perbarui informasi dengan riset terbaru dengan <a href="http://theconversation.com/newsletter">membaca nawala gratis kami</a>.</em></p>
<hr>
<h2>Pandemi mengungkap ketimpangan</h2>
<p>Pandemi di masa lalu telah mengekspos ketimpangan yang ada, dan pandemi yang ini juga tidak berbeda. Para ahli kami menjelaskan mengapa COVID-19 berdampak lebih besar bagi orang-orang kulit berwarna dan kelompok-kelompok terpinggirkan lainnya. </p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1267455096021024768"}"></div></p>
<ul>
<li><p><strong>Dampak yang tidak seimbang</strong>. Di Amerika Serikat, angka kematian orang kulit hitam lebih tinggi 3 kali lipat dibanding orang kulit putih. Sedangkan di Inggris, orang kulit hitam 4 kali lipat lebih rentan meninggal akibat COVID-19, jika dibandingkan dengan warga negara berkulit putih. Sejarawan di bidang medis, Mark Honigsbaum, menulis tentang <a href="https://theconversation.com/epidemics-have-often-led-to-discrimination-against-minorities-this-time-is-no-different-140189">hubungan antara pandemi dan ketimpangan</a>. </p></li>
<li><p><strong>Keadilan sosial sangat penting di bidang kesehatan</strong>. Menurut sebuah <a href="https://theconversation.com/doctors-cant-treat-covid-19-effectively-without-recognizing-the-social-justice-aspects-of-health-138787">tim interdisipliner</a> yang terdiri dari peneliti-peneliti kesehatan di Amerika Serikat, rasisme sistemis telah mengakibatkan berbagai kelompok terpinggirkan mengalami kesulitan dalam mengakses berbagai fasilitas yang berpengaruh terhadap kesehatan mereka. menurut seorang peneliti dari Rwanda’s University of Global Health Equity, para dokter <a href="https://theconversation.com/covid-19-shows-the-world-needs-physicians-who-can-look-beyond-medical-charts-138460">harus dilatih</a> untuk mengerti penyebab masalah kesehatan karena problem sosial, agar dapat mengatasi berbagai masalah seperti COVID-19. </p></li>
<li><p><strong>Melakukan protes dengan aman</strong>. Para ahli kesehatan masyarakat khawatir jika protes-protes yang sedang terjadi dapat meningkatkan penyebaran COVID-19. Seorang peneliti pada bidang pencegahan infeksi di Monash University memberikan <a href="https://theconversation.com/can-you-socially-distance-at-a-black-lives-matter-rally-in-australia-and-new-zealand-how-to-protest-in-a-coronavirus-pandemic-139875">beberapa tips</a> yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko penularan ketika sedang turun ke jalan. </p></li>
<li><p><strong>“Ketakutan akan apa yang orang lain pikirkan ketika melihat orang kulit hitam menggunakan masker.”</strong>
Walaupun penggunaan masker terbukti dapat meningkatkan keamanan di tengah pandemi ini, orang-orang kulit hitam dan kelompok-kelompok minoritas lainnya sering kali mengalami kekerasan berbasis rasisme dan diskriminasi ketika menggunakannya. Jasmin Zine seorang peneliti dari Wilfrid Laurier University menyelidiki aspek <a href="https://theconversation.com/unmasking-the-racial-politics-of-the-coronavirus-pandemic-139011">politik rasial dari penggunaan masker</a>. </p></li>
<li><p><strong>Kekurangan air bersih</strong>. Air bersih merupakan elemen penting dalam pengendalian infeksi, karena digunakan untuk menjaga kebersihan dan mencuci tangan. Namun, <a href="https://theconversation.com/covid-19-heightens-water-problems-around-the-world-140167">berdasarkan penelitian</a> dari National University of Singapore dan University of Glasgow, masih banyak orang yang tidak dapat mengakses air berkualitas, terutama mereka yang tinggal di permukiman kumuh dan kamp-kamp pengungsi. </p></li>
</ul>
<h2>Selandia Baru berhasil memberantas coronavirus</h2>
<p>Selandia Baru telah mencapai sebuah tonggak sejarah baru. Saat ini, negara tersebut tidak memiliki kasus coronavirus aktif, dan telah mencabut hampir semua larangan-larangan yang berhubungan dengan coronavirus. Dua ahli kesehatan masyarakat terkemuka dibalik kesuksesan itu sekarang menjelaskan bahwa tantangannya adalah mempertahankan keberhasilan ini. Sementara itu, di seberang Laut Tasman, para ahli memetakan bagaimana perjalanan Australia dalam mengendalikan virus.</p>
<ul>
<li><p><strong>Melakukan perayaan dengan hati-hati</strong>. Selandia Baru telah berhasil memberantas COVID-19. Namun, pemberantasan virus bukanlah sebuah sesuatu yang jika berhasil dapat ditinggalkan begitu saja: pemberantasan virus merupakan tugas jangka panjang yang harus tetap dijalankan. Dua profesor di bidang kesehatan masyarakat dari University of Otago <a href="https://theconversation.com/new-zealand-hits-zero-active-coronavirus-cases-here-are-5-measures-to-keep-it-that-way-139862">membahas 5 cara</a> yang dapat dilakukan oleh Selandia Baru untuk mempertahankan keberhasilan ini dalam jangka panjang. </p></li>
<li><p><strong>Kasus-kasus tanpa gejala</strong>. Berdasarkan sebuah<a href="https://theconversation.com/new-zealand-hits-a-95-chance-of-eliminating-coronavirus-but-we-predict-new-cases-will-emerge-139973">model yang dibuat oleh tim peneliti interdisipliner</a>, penghapusan larangan-larangan yang berkaitan dengan coronavirus di Selandia Baru meningkatkan terjadinya wabah baru sebesar 8%. Hal ini dapat terjadi karena adanya kasus-kasus tanpa gejala yang tersembunyi, yang tidak dapat terungkap tanpa adanya pengetesan. </p></li>
<li><p><strong>Kesuksesan Australia</strong>. Di sisi lain perairan Tasman, respons Australia terhadap coronavirus merupakan salah satu respons yang paling sukses di seluruh dunia. Namun, beberapa wabah kecil masih tetap terjadi. Steven Duckett dan Anika Stobart dari Grattan Institute menjelaskan <a href="https://theconversation.com/4-ways-australias-coronavirus-response-was-a-triumph-and-4-ways-it-fell-short-139845">empat faktor dibalik kesuksesan Australia</a> dalam menanggapi virus ini, dan juga empat cara yang menunjukkan respons Australia bisa lebih baik lagi. </p></li>
<li><p><strong>Pengetesan adalah kunci</strong>. Berdasarkan seorang peneliti dari University of Sydney yang <a href="https://theconversation.com/cases-deaths-and-coronavirus-tests-how-australia-compares-to-the-rest-of-the-world-139753">meneliti data di seluruh dunia</a>, kesuksesan Selandia Baru dan Australia terletak pada tingginya jumlah pengetesan per seribu orang. Bahrain, Qatar, Lithuania dan Denmark merupakan negara-negara yang tingkat pengujian per seribu orang yang paling tinggi di dunia.</p></li>
</ul>
<h2>Kabar terbaru mengenai uji coba obat, penyebaran virus, dan pelacakan kontak</h2>
<p>Ketika dunia sedang menunggu vaksin coronavirus yang kemungkinan tidak dapat ditemukan dalam waktu yang dekat, penelitian intensif tetap dilakukan untuk mencari obat yang mungkin dapat mengobati COVID-19. Uji coba hidroksikloroquin, sebuah obat anti-malaria yang diusulkan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, masih tetap dianggap kontroversial hingga saat ini. </p>
<ul>
<li><p><strong>Sebuah studi ditarik kembali</strong>. Satu penelitian sebelumnya sempat menjadi berita utama dunia setelah penelitian tersebut menyimpulkan bahwa hidroksikloroquin dan obat lainnya yang berkaitan dengan klorokuin telah <a href="https://theconversation.com/could-taking-hydroxychloroquine-for-coronavirus-be-more-harmful--%20than-helpful-139309">meningkatkan risiko kematian</a>. Namun, penelitian ini telah <a href="https://www.thelancet.com/lancet/article/s0140673620313246">ditarik kembali</a> oleh sebuah jurnal medis bergengsi, The Lancet, karena keraguan atas data-data yang digunakan. Beberapa uji klinis telah dihentikan sementara, sedangkan beberapa penelitian masih berlanjut.</p></li>
<li><p><strong>Sejarah uji klinis</strong>. Konsep uji klinis mungkin merupakan hal baru bagi banyak orang, namun, konsep ini faktanya memiliki sejarah kuno. Salah satu eksperimen uji coba klinis pertama kali dilakukan di Cina, hampir 1.000 tahun yang lalu, menurut <a href="https://theconversation.com/the-fascinating-history-of-clinical-trials-139666">tulisan oleh Adrian Esterman</a> dari University of South Australia.</p></li>
<li><p><strong>Apakah akan gagal?</strong>. Virus SARS akhirnya menghilang pada tahun 2004. Namun, Connor Bamford, seorang virolog dari Queen’s University Belfast mengatakan bahwa karena penyebaran coronavirus yang jauh lebih cepat dibanding SARS, <a href="https://theconversation.com/the-original-sars-virus-disappeared-heres-why-coronavirus-wont-do-the-same-138177">COVID-19 sulit untuk sepenuhnya menghilang</a>. Bahkan, ia mengatakan jika virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan COVID-19, mungkin menjadi virus endemi yang mengendap pada populasi manusia.</p></li>
<li><p><strong>Pelacakan kontak bukanlah hal yang baru</strong>. Pelacakan kontak telah menjadi salah satu sarana dalam mengendalikan COVID-19 yang digunakan oleh banyak negara. Dua orang peneliti dari University of Glasgow membahas sejarah dibalik ide ini, dan bagaimana pelacakan kontak juga digunakan untuk <a href="https://theconversation.com/contact-tracing-how-physicians-used-it-500-years-ago-to-control-the-bubonic-plague-139248">menangani wabah pes</a> yang terjadi 500 tahun yang lalu. </p></li>
<li><p><strong>Risiko pengembangan</strong>. Wanita hamil mengalami kecemasan dan gejala depresi yang lebih besar sejak adanya pandemi ini. <a href="https://theconversation.com/covid-19-hausse-des-problemes-de-sante-mentale-chez-les-femmes-enceintes-139358">Hal ini dapat memengaruhi perkembangan janin</a>, tulis Berthelot Nicolas dari University of Quebec (dalam bahasa Prancis).</p></li>
</ul>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/340472/original/file-20200609-165383-1636h87.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/340472/original/file-20200609-165383-1636h87.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/340472/original/file-20200609-165383-1636h87.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/340472/original/file-20200609-165383-1636h87.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/340472/original/file-20200609-165383-1636h87.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/340472/original/file-20200609-165383-1636h87.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/340472/original/file-20200609-165383-1636h87.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Kontroversi mengenai hidroksikloroquin memanas setelah The Lancet menarik kembali sebuah studi yang mengklaim bahwa obat anti malaria meningkatkan risiko kematian.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span>
</figcaption>
</figure>
<hr>
<p><a href="https://theconversation.com/newsletter"><img src="https://images.theconversation.com/files/320030/original/file-20200312-116261-a6ugi0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=90&fit=crop&dpr=2" alt="Sign up to The Conversation" width="100%"></a></p>
<p><em>Dapatkan berita terbaru dan nasehat untuk <a href="https://theconversation.com/uk/covid-19">COVID-19</a>, langsung dari para ahli di inbox Anda. Bergabunglah dengan ribuang orang yang telah mempercayai para ahli dengan <strong><a href="https://theconversation.com/newsletter">mendaftar ke newsletter kami</a></strong>.</em></p>
<hr>
<p><em>Artikel ini didukung oleh <a href="https://theconversation.com/au/partners/judith-neilson-institute">Judith Neilson Institute for Journalism and Ideas</a>.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/140379/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Para ahli kami melihat bagaimana orang dengan kulit berwarna terdampak lebih keras oleh COVID-19, kesuksesan Selandia Baru dalam melenyapkan virus ini, dan yang terbaru untuk uji klinis.Liam Petterson, Deputy Politics Editor, The Conversation AustraliaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1400692020-06-09T05:32:56Z2020-06-09T05:32:56ZMembandingkan gerakan Black Lives Matter di Amerika dan Papuan Lives Matter di Indonesia: apa yang sama, apa yang beda?<p>Kematian George Floyd pada 25 Mei 2020 lalu menambah deretan panjang kaum kulit hitam yang mengalami kekerasan oleh polisi di Amerika Serikat (AS) dan menyulut kembali gerakan protes <a href="https://blacklivesmatter.com/about/">Black Lives Matter (BLM)</a>.</p>
<p>Di tengah pandemi COVID-19, pendukung gerakan yang muncul pada 2013 ini kembali turun ke jalan untuk menuntut keadilan, dan kemudian mendapat dukungan global, mulai dari <a href="https://edition.cnn.com/2020/06/06/world/gallery/intl-george-floyd-protests/index.html">Afrika Selatan, Australia, Inggris, hingga Jepang</a>. </p>
<p>Di Indonesia, sebagian publik membandingkan isu ini dengan isu Papua, dan memunculkan tagar <a href="https://www.channelnewsasia.com/news/asia/george-floyd-protests-papuan-activists-indonesia-12809060">#PapuanLivesMatter</a> di media sosial.</p>
<p>Salah satu diskusi yang terjadi adalah bahwa terdapat <a href="https://suarapapua.com/2020/05/29/standar-ganda-orang-indonesia-sikapi-rasisme/">standar ganda yang di masyarakat Indonesia</a> yang menunjukkan kepedulian tinggi terhadap rasisme di Amerika Serikat, namun cenderung diam mengenai isu diskriminasi terkait masyarakat asli Papua.</p>
<p>Di permukaan, kedua isu tampak sangat sesuai untuk dibandingkan karena keduanya memperjuangkan anti-rasisme. </p>
<p>Namun, penting bagi kita untuk memahami sesungguhnya apa yang melatarbelakangi kedua gerakan ini dan apa yang menjadi tujuan dari masing-masing perjuangan. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/penelitian-baru-petakan-kekerasan-dalam-konflik-yang-terlupakan-di-papua-barat-139223">Penelitian baru petakan kekerasan dalam konflik yang terlupakan di Papua Barat</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Perbedaan kedua isu</h2>
<p>Sejarah AS tidak dapat dilepaskan dari perbudakan keturunan kaum Afrika (biasa disebut di sana sebagai <em>African American</em>). </p>
<p>Keturunan Afrika di Amerika berperan dalam membangun AS sebagai sebuah negara bangsa sejak abad ke-17, namun supremasi kaum kulit putih selalu menjadikan kaum <em>African American</em> diperlakukan sebagai masyarakat kelas kedua.</p>
<p>Meski perbudakan keturunan Afrika di AS dihapuskan <a href="https://www.history.com/topics/black-history/black-history-milestones">pada abad ke-19</a>, dan hak sipil serta hak untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum disahkan <a href="https://www.history.com/topics/black-history/black-history-milestones">pada 1960-an</a>, diskriminasi masih terus dialami oleh masyarakat <em>African American</em>.</p>
<p>Salah satunya adalah dalam hal sosial ekonomi. Sejumlah besar masyarakat kulit hitam saat ini <a href="https://www.census.gov/prod/2005pubs/p60-229.pdf">hidup di bawah garis kemiskinan</a>, dan kebanyakan keluarga kulit putih memiliki <a href="https://www.ft.com/content/6b3e23cc-645d-49c5-a63d-040de86b3d75">kekayaan sepuluh kali lipat </a> dibanding keluarga <em>African American</em>. Sebagian besar (<a href="https://news.stanford.edu/news/2014/august/prison-black-laws-080614.html">40%</a>) narapidana di negara itu adalah orang kulit hitam.</p>
<p>Kekerasan yang terjadi oleh polisi terhadap kaum <em>African American</em> salah satunya didasari oleh <a href="https://news.harvard.edu/gazette/story/2020/06/lawrence-d-bobo-examines-police-killings-of-black-men/">adanya struktur kelas dan hierarki ras</a> yang mengakar dan menyebabkan bias rasial. </p>
<p><a href="https://www.trtworld.com/americas/why-are-african-americans-subject-to-more-police-violence-37031">Bias ini tidak hanya dimiliki oleh polisi</a>, namun karena polisi adalah pihak yang berwenang untuk menggunakan senjata dan menangkap orang tertentu, bias rasial pada petugas kepolisian dapat menjadi sangat fatal.</p>
<p>Inilah yang kemudian mendorong munculnya gerakan Black Lives Matter, yang bertujuan agar pihak yang memiliki kewenangan besar seperti polisi tidak dengan mudah mengambil keputusan genting yang dapat berakibat pada hilangnya nyawa dengan didasari bias tersebut. </p>
<p>Dari sisi sejarah, Papua cukup berbeda dengan <em>African American</em>. </p>
<p>Isu yang paling utama di Papua adalah adanya <a href="https://www.britannica.com/place/Papua">tuntutan kemerdekaan bagi Papua</a>. Sejak awal kemerdekaan Indonesia, pada Konferensi Meja Bundar di tahun 1949, status Papua telah menjadi perdebatan antara Indonesia dan Belanda.</p>
<p><a href="https://tirto.id/sejarah-kemerdekaan-papua-barat-dari-belanda-gabung-nkri-egyR">Belanda ingin menjadikan Papua sebagai negara tersendiri di bawah naungan kerajaan </a> karena orang asli Papua memiliki etnis dan ras yang berbeda dari mayoritas masyarakat Indonesia.</p>
<p>Konflik atas status Papua ini terus berlangsung walau pemerintah Indonesia melaksanakan <a href="https://www.freewestpapua.org/2017/08/02/56-years-since-the-act-of-no-choice/">Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)</a>. Dalam Pepera itu, 1.000 orang yang dipilih khusus diminta mewakili seluruh populasi Papua menyatakan sepakat untuk bergabung dengan Indonesia. </p>
<p>Berbeda dengan <em>African American</em>, masyarakat asli Papua telah menempati wilayah yang saat ini masuk menjadi provinsi Papua dan Papua Barat bahkan sebelum kemerdekaan Indonesia. </p>
<p>Sejarah yang berbeda ini juga menjadikan tujuan kedua gerakan berbeda. </p>
<p>Sebagian masyarakat Papua menuntut independensi dari Indonesia, karena <a href="https://www.nytimes.com/2019/09/26/opinion/papua-riots-indonesia-monkey.html">sejarah status Papua yang cukup kompleks</a>, ditambah posisi Papua yang merupakan <a href="https://time.com/4880190/papua-poverty-shootings-justice-paniai/">salah satu daerah termiskin di Indonesia terlepas dari wilayahnya yang memiliki kekayaan alam yang besar</a>.</p>
<p>Sementara tujuan gerakan anti-rasisme Black Lives Matter lebih kepada mendorong <a href="https://blacklivesmatter.com/what-matters-2020/#">penghapusan ketidakadilan sistematis</a> bagi kelompok <em>African American</em> sebagai bagian dari masyarakat AS. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/enam-alasan-mengapa-orang-papua-menolak-pemekaran-126790">Enam alasan mengapa orang Papua menolak pemekaran</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Memanfaatkan momentum</h2>
<p>Slogan Papuan Lives Matter menjadi ramai diperbincangkan karena <a href="https://www.amnesty.org.uk/press-releases/west-papua-police-must-stop-discrimination-and-unlawful-use-force-against-students">adanya kekerasan berkelanjutan yang dialami oleh masyarakat asli Papua</a> di tangan pihak berwenang, yang mengatasnamakan kedaulatan dan keamanan Indonesia, dan tidak jauh berbeda dengan kekerasan yang dialami kelompok <em>African American</em>. </p>
<p>Pada 2019, terjadi kerusuhan di Wamena yang diawali dengan peristiwa pengepungan dan <a href="https://www.bbc.com/news/world-asia-49434277">rasisme</a> di asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, yang merendahkan masyarakat Papua. </p>
<p>Peristiwa tersebut hanya satu dari sekian banyak kekerasan rasis yang terjadi, <a href="https://thediplomat.com/2019/07/west-papuas-quest-for-independence/">sebagian karena secara fisik mereka merupakan bagian dari ras melanesia yang berbeda dengan mayoritas etnis di Indonesia</a>. </p>
<p>Pasca peristiwa tersebut, semakin terlihat bahwa bagi masyarakat asli Papua, pembahasan mengenai rasisme tidak dapat dilepaskan dari diskusi mengenai perjuangan untuk menentukan nasib mereka sendiri. </p>
<p>Ketika isu Black Lives Matter mencuat, tidak heran apabila kemudian diskusi mengenai Papua <a href="https://www.thejakartapost.com/academia/2020/06/04/papuan-lives-matter-george-floyd-and-colorism-in-indonesia.html">kembali diangkat</a>. </p>
<p>Adanya diskriminasi karena ras menempatkan masyarakat asli Papua dan kaum <em>African American</em> secara sosial dan ekonomi berada di bawah kelompok mayoritas di negara masing-masing. </p>
<p>Selain itu, keduanya mengalami kekerasan baik oleh anggota masyarakat lain maupun oleh pemerintah. Sehingga, memanfaatkan momentum Black Lives Matter menjadi penting untuk meningkatkan kesadaran publik bahwa rasisme tidak hanya terjadi di Amerika Serikat, namun juga di “rumah” kita sendiri.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/explainer-ilmu-psikologi-menjelaskan-bagaimana-rasisme-terbentuk-dan-bertahan-di-masyarakat-140071">Explainer: ilmu psikologi menjelaskan bagaimana rasisme terbentuk dan bertahan di masyarakat</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Menyikapi kedua isu</h2>
<p>Isu rasisme yang dialami <em>African American</em> maupun masyarakat asli Papua seharusnya mendorong kita untuk semakin sadar terhadap adanya ketimpangan yang bersifat sistemik dan merugikan kelompok tertentu. </p>
<p>Kesadaran ini perlu kita miliki terutama jika belum menyadari adanya privilese yang dinikmati dan tanpa sadar telah melakukan pembiaran terhadap ketidakadilan yang terjadi pada suatu kelompok. </p>
<p>Selain itu, perbandingan kedua isu juga sangat relevan terkait tuntutan kepada pemerintah masing-masing negara untuk mengambil kebijakan yang lebih berpihak pada keadilan. </p>
<p>Namun, perlu disadari bahwa kedua isu memiliki tujuan yang berbeda sehingga apa yang kelak dapat menjadi solusi bagi satu isu, belum tentu dapat menjadi resep yang sama untuk gerakan perjuangan yang lain. </p>
<p>Hal ini perlu menjadi catatan penting agar kita tidak terjebak dalam diskusi remeh hanya karena kedua isu melibatkan kelompok kulit hitam.</p>
<hr>
<p><em>Agradhira Nandi Wardhana berkontribusi dalam penerbitan artikel ini.</em></p>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/140069/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Karina Utami Dewi tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Walau berbeda, membandingkan kedua isu penting untuk meningkatkan kesadaran kita atas diskriminasi dan kekerasan terhadap rakyat Papua.Karina Utami Dewi, Assistant Professor in International Relations, Universitas Islam Indonesia (UII) YogyakartaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1341592020-04-09T11:29:28Z2020-04-09T11:29:28ZBagai “berburu rusa”: solidaritas dan kerja sama akan menyelamatkan kita di tengah pandemi<p>Pandemi COVID-19 sudah menjangkiti dunia selama kira-kira <a href="https://www.nytimes.com/article/coronavirus-timeline.html">tiga bulan</a>. </p>
<p>Beberapa kelompok masyarakat yang menjadi korban kesenjangan–baik sosial, politik, maupun ekonomi–menjadi semakin rentan ketika bencana seperti pandemi terjadi. </p>
<p>Kami meyakini bahwa keberhasilan menghadapi pandemi dan dampak-dampaknya sangat bergantung pada seberapa strategis pilihan-pilihan aksi kita di tingkat komunitas, negara, maupun dunia. </p>
<p>Dua norma penting harus selalu diutamakan dalam membuat keputusan tersebut: solidaritas dan kerja sama.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bagaimana-kebijakan-mengisolasi-diri-akibat-pandemi-covid-19-menghukum-penduduk-miskin-di-indonesia-134236">Bagaimana kebijakan mengisolasi diri akibat pandemi COVID-19 ‘menghukum’ penduduk miskin di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Korban kekerasan semakin rentan</h2>
<p>Sebuah <a href="https://www.elsevier.com/books/introduction-to-international-disaster-management/coppola/978-0-12-801477-6">studi</a> pada 2015 oleh Damon Coppola, ahli manajemen bencana asal Amerika Serikat, menunjukkan bahwa kesenjangan membuat beberapa kelompok lebih rentan ketika bencana, seperti pandemi, terjadi. </p>
<p>Bagaimana kesenjangan bisa terjadi? Johan Galtung, pakar studi perdamaian asal Norwegia, berargumen bahwa kesenjangan adalah kekerasan. Selain terjadi secara langsung dalam bentuk perilaku atau perkataan yang menyebabkan penderitaan fisik atau psikis, kekerasan juga terjadi secara struktural dan kultural. </p>
<p><a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/002234336900600301">Kekerasan struktural</a> terjadi secara sistemik terkait dengan bagaimana akses dan privilese didistribusikan secara tidak adil, sementara <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0022343390027003005">kekerasan kultural</a> terjadi di ranah simbolik, dimana kehadirannya melanggengkan kekerasan langsung dan kekerasan struktural. </p>
<p>Ketiga bentuk kekerasan tersebut—langsung, struktural, dan kultural—menciptakan kesenjangan antara kelompok yang memiliki akses atau privilese lebih dan mereka yang termarjinalkan karena umur, <a href="https://www.theguardian.com/commentisfree/2020/mar/11/coronavirus-ill-disabled-people">disabilitas</a>, <a href="https://theconversation.com/pandemics-dont-heal-divisions-they-reveal-them-south-africa-is-a-case-in-point-134002">ras</a>, identitas etnis, gender dan orientasi seksual, <a href="https://foreignpolicy.com/2020/03/20/you-cant-do-social-distancing-if-youre-a-refugee/">status warga negara</a>, atau <a href="https://theconversation.com/bagaimana-kebijakan-mengisolasi-diri-akibat-pandemi-covid-19-menghukum-penduduk-miskin-di-indonesia-134236">kelas sosialnya</a>. </p>
<p>Sebuah <a href="https://www.gstatic.com/covid19/mobility/2020-03-29_ID_Mobility_Report_en.pdf">pemetaan</a> terhadap tren mobilitas masyarakat Indonesia antara bulan Februari hingga Maret 2020 mengindikasikan bahwa pembatasan mobilitas, baik dalam bentuk jaga jarak fisik maupun bekerja dari rumah, adalah sebuah privilese yang hanya dapat dilakukan oleh kelompok masyarakat dengan kelas sosial dan <a href="https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200324091642-532-486318/jurang-kemiskinan-di-balik-seruan-wfh-karena-corona?utm_source=facebook&utm_medium=oa&utm_content=cnnindonesia&utm_campaign=cmssocmed&fbclid=IwAR2vBNBfc10G9tRBRQVEsMtsTBfn_te9H9PnDdi0OQwCyoV06gktzaH6hL0">ekonomi tertentu</a>. Kelompok ini adalah mereka yang memiliki jaminan pendapatan tetap dan rutin serta dapat bekerja melalui jaringan internet dan teknologi.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kesenjangan-akses-internet-di-asia-tenggara-jadi-tantangan-bagi-pengajaran-online-akibat-pandemi-covid-19-133928">Kesenjangan akses internet di Asia Tenggara jadi tantangan bagi pengajaran online akibat pandemi COVID-19</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Tak hanya urusan kelas sosial, pandemi juga meningkatkan kerentanan perempuan dan anak terhadap kekerasan domestik. Beberapa negara melaporkan peningkatan kasus <a href="https://www.aljazeera.com/news/2020/04/global-surge-domestic-violence-coronavirus-lockdowns-200406065737864.html">kekerasan domestik</a> karena kebijakan tetap-di-rumah “memaksa” perempuan berbagi ruang yang sama dengan pelaku kekerasan dalam waktu yang cukup lama. </p>
<p>Kerentanan juga memburuk pada mereka yang selama ini <a href="https://interagencystandingcommittee.org/covid-19-how-include-marginalized-and-vulnerable-people-risk-communication-and-community-engagement">terdiskriminasi atau terstigma</a> dan karenanya seringkali luput dari perhatian publik maupun para pembuat kebijakan. </p>
<p>Kelompok-kelompok ini termasuk orang dengan disabilitas; orang dengan HIV/AIDS; kelompok minoritas etnis, agama, dan masyarakat adat; kelompok minoritas gender dan seksual, pengungsi dan imigran.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/merumuskan-kebijakan-transportasi-yang-tepat-di-masa-pandemi-covid-19-di-indonesia-133915">Merumuskan kebijakan transportasi yang tepat di masa pandemi COVID-19 di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Masa krisis panjang</h2>
<p>Dengan kerentanan tersebut, jika respon kita tak tepat, kelompok marjinal pasti akan merasakan dampak terparah pandemi, apalagi mengingat masa krisisnya yang panjang.</p>
<p>Bencana dan dampaknya biasa ditangani dengan menggunakan pendekatan empat fase, yang terdiri dari fase mitigasi atau pengurangan risiko bencana, fase siaga bencana (<em>preparation</em>), fase tanggap bencana (<em>crisis response</em>), dan, terakhir, fase pemulihan (<em>recovery</em>). </p>
<p><a href="https://www.elsevier.com/books/introduction-to-international-disaster-management/coppola/978-0-12-801477-6">Coppola</a> berargumen bahwa, dari keempat fase tersebut, tanggap bencana adalah fase yang paling kompleks karena tindakan-tindakan tanggap darurat perlu dilakukan sesegera mungkin, namun dalam kondisi yang serba terbatas. Karenanya, durasi fase tanggap bencana sangat bergantung pada kondisi bencana yang terjadi. </p>
<p>Masa krisis pandemi panjang karena fase kebencanaan yang spesifik. <a href="https://www.who.int/influenza/resources/documents/pandemic_guidance_04_2009/en/">WHO</a> menggambarkan bahwa fase tanggap pandemi dimulai ketika penularan antar-manusia terjadi hingga wabah merebak di beberapa negara sekaligus. Fase ini baru berakhir ketika puncak penularan penyakit terlewati. </p>
<p>Fase pemulihan pun harus berjalan seiring dengan fase tanggap pandemi karena ada risiko penularan gelombang kedua, apalagi jika pengobatan atau <a href="https://www.aljazeera.com/indepth/features/doctor-note-long-covid-19-vaccine-200403163646558.html">vaksin</a> belum ditemukan. Artinya, tak sekedar panjang, kondisi demikian bahkan juga membuat masa krisis pandemi sarat dengan ketidakpastian.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/326364/original/file-20200408-193236-ov4y0l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/326364/original/file-20200408-193236-ov4y0l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/326364/original/file-20200408-193236-ov4y0l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=257&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/326364/original/file-20200408-193236-ov4y0l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=257&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/326364/original/file-20200408-193236-ov4y0l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=257&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/326364/original/file-20200408-193236-ov4y0l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=323&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/326364/original/file-20200408-193236-ov4y0l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=323&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/326364/original/file-20200408-193236-ov4y0l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=323&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Fase-fase pandemi menurut WHO.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.who.int/influenza/resources/documents/pandemic_guidance_04_2009/en/">WHO, 2009</a></span>
</figcaption>
</figure>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bagaimana-covid-19-memicu-krisis-keuangan-di-indonesia-133931">Bagaimana COVID-19 memicu krisis keuangan di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>“Rusa atau cukup kelinci?”</h2>
<p>Sayangnya, di tengah masa krisis yang panjang dan kerentanan yang semakin menjadi, respon terhadap wabah pandemi masih “mencari selamat sendiri”. </p>
<p>Di tingkat komunitas, misalnya, tak sedikit kebijakan karantina mandiri turut memunculkan stigmatisasi, seperti <a href="https://tirto.id/mengapa-warga-tak-seharusnya-menolak-jenazah-pasien-covid-19-eKsj">penolakan terhadap pemakaman jenazah pasien positif</a>. </p>
<p>Di level nasional dan internasional, banyak kebijakan masih bersifat negara-sentris dan didominasi pendekatan keamanan ketimbang kemanusiaan, seperti <a href="https://foreignpolicy.com/2020/03/14/coronavirus-eu-abandoning-italy-china-aid/">keengganan Uni Eropa</a> untuk membantu Italia atau <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2020/02/05/we-dont-have-anything-timor-leste-pleads-for-help-to-quarantine-citizens-in-bali.html">penolakan Indonesia</a> terhadap permintaan bantuan Timor Leste.</p>
<p>Penanganan dampak pandemi dapat dianalogikan seperti model problem koordinasi “<em>stag hunt</em>” atau “berburu rusa” dalam studi-studi tentang rezim internasional. </p>
<p>Dalam bukunya yang berjudul <a href="https://aub.edu.lb/fas/cvsp/Documents/DiscourseonInequality.pdf879500092.pdf">Discourse on Inequality</a>, Jean-Jacques Rousseau, filsuf kenamaan Eropa, pada 1754 bercerita tentang dua pemburu yang memiliki pilihan untuk berburu rusa atau kelinci. </p>
<p>Mereka tidak mungkin pulang dengan tangan hampa. Permasalahannya, walau bernilai lebih besar, berburu rusa berisiko tinggi dan mensyaratkan para pemburu untuk berkolaborasi, bahkan tanpa saling tahu langkah apa yang diambil pihak lain. </p>
<p>Ini membuat masing-masing pemburu cenderung memilih untuk berburu kelinci secara mandiri, alih-alih percaya bahwa pemburu lain bersedia bekerja sama untuk berburu rusa.</p>
<p>Saat ini, banyak aktor, baik perorangan, komunitas, maupun negara yang berlaku seperti pemburu dalam analogi di atas. Kita cenderung merespon pandemi sendiri-sendiri, tanpa bekerja sama. </p>
<p><em><a href="https://tirto.id/panic-buying-dan-dampaknya-terhadap-ekonomi-eDDT">Panic buying</a></em> adalah contoh nyata. Meskipun menguntungkan diri sendiri, menimbun persediaan pangan dan pelindung diri tidak menyelesaikan masalah pandemi yang justru mensyaratkan semua orang berkecukupan pangan dan memiliki pelindung diri. </p>
<p>Langkah <a href="https://time.com/5807710/china-sends-medical-supplies-coronavirus/">Cina</a> dan <a href="https://theconversation.com/by-sending-doctors-to-italy-cuba-continues-its-long-campaign-of-medical-diplomacy-134429">Kuba</a> memberi bantuan medis pada negara-negara lain adalah contoh upaya kolaboratif yang diperlukan saat ini.</p>
<p>Lantas, apa yang dapat dilakukan guna mendorong solidaritas dan kerja sama di tengah ketidakpastian dan kesenjangan? </p>
<p><strong>Pertama</strong>, <a href="https://www.abc.net.au/indonesian/2020-03-31/melihat-penanganan-virus-corona-selama-sebulan/12102618">ketersediaan informasi</a> dan komitmen untuk berbagi informasi diperlukan guna memfasilitasi kerja sama antarpihak. </p>
<p>Ancaman pandemi tidak mengenal batas wilayah. Keterbukaan informasi dapat mengurangi ketidakpastian, memungkinkan banyak pihak untuk melihat situasi secara lebih luas, dan membantu masing-masing aktor mengidentifikasi mitra kolaborasi sembari mencegah tindakan yang hanya menguntungkan diri sendiri. </p>
<p><strong>Kedua</strong>, pendekatan inklusif yang pro-kelompok rentan dan marjinal perlu diadopsi dalam langkah aksi tanggap pandemi, baik di tingkat warga hingga negara. Ketimpangan hanya dapat diselesaikan ketika mereka yang berprivilese bersedia <a href="https://www.brookings.edu/opinions/the-covid-19-solidarity-test/">bersolidaritas</a> dengan kelompok yang dimarjinalkan dengan cara “meminjamkan” privilesenya. </p>
<p>Tak hanya menyediakan jaring pengaman sosial ekonomi, pemerintah perlu membuka diri, berbagi data, berkoordinasi, dan <a href="https://csis.or.id/publications/transparansi-kolaborasi-dan-resiliensi-kota-di-tengah-pandemi-covid-19?fbclid=IwAR20CIETRLqFuVF6Mob5kvGSmgMYi-xnXNsHmUSPzIZRBZlQEmAWi1ui3A0">berkolaborasi</a> dengan inisiatif-inisiatif di tingkat masyarakat serta mengusahakan upaya serupa di daerah terdampak lain, antara lain lewat <a href="https://tirto.id/aksi-solidaritas-pandemi-corona-dapur-umum-hingga-donasi-rp50-juta-eJVL">solidaritas pangan</a>, <a href="https://tirto.id/yayasan-anne-avantie-hentikan-produksi-kebaya-dan-mulai-jahit-apd-eJYE">produksi pelindung diri untuk tenaga kesehatan</a>, dan <a href="https://www.facebook.com/1634333703/posts/10219752224469470/?d=n">kepedulian untuk kelompok rentan</a>. </p>
<p><strong>Ketiga</strong>, perlunya mengadopsi <a href="https://www.sss.ias.edu/files/Reason-Seminar.pdf">logika kemanusiaan</a> dalam aksi-aksi tanggap pandemi, alih-alih hanya menggunakan logika keamanan. </p>
<p>Dominasi logika keamanan cenderung mempersempit cakrawala kalkulasi strategis kita. Sehingga, perlu pengayaan paradigma yang membuat kita bisa menyadari sisi lain dari pandemi ini. </p>
<p>Logika kemanusiaan mengantarkan kita pada pentingnya menghargai manusia sebagai agen, bukan melihatnya sebagai objek pasif atau angka statistik semata.</p>
<p>Upaya kolektif dalam <a href="https://www.weforum.org/agenda/2020/03/coronavirus-developing-countries-inequality-debt-oxfam">berbagi</a> dan saling menguatkan di tengah pandemi, baik di tingkat lokal, nasional, hingga global, harus terus didorong dan diapresiasi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/134159/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kelompok yang rentan semakin berisiko saat bencana terjadi. Pandemi jelas tidak bisa dihadapi sendiri.Ayu Diasti Rahmawati, Lecturer, Universitas Gadjah Mada Randy Wirasta Nandyatama, Assistant Professor of International Relations, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1328952020-03-06T10:04:59Z2020-03-06T10:04:59ZMengomunikasikan COVID-19 tanpa menyulut anti-Cina di Indonesia<p>Merebaknya wabah COVID-19 atau yang juga populer dikenal sebagai “virus corona” tidak hanya menimbulkan ketakutan massal dan guncangnya <a href="https://www.theguardian.com/world/2020/mar/04/coronavirus-fears-of-global-slowdown-grow-as-us-stimulus-fails-to-rally-markets">perekonomian dunia</a>. </p>
<p>Dampak sosial negatif dari wabah ini juga menimbulkan <a href="https://www.kompas.com/tren/read/2020/02/01/200000165/muncul-rasisme-terhadap-etnis-tionghoa-setelah-wabah-virus-corona">sentimen xenofobia</a> terhadap negara Cina dan masyarakat keturunan Cina di berbagai negara. </p>
<p>Laporan dari negara terjangkit seperti <a href="https://www.sbs.com.au/news/chief-medical-officer-demands-end-to-racism-towards-chinese-australians-over-coronavirus">Australia</a>, <a href="https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-51300715">Kanada</a>, <a href="https://www.theguardian.com/commentisfree/2020/feb/28/coronavirus-outbreak-migrants-blamed-italy-matteo-salvini-marine-le-pen">Italia</a>, bahkan baru-baru ini <a href="https://www.bbc.com/news/world-europe-51581805">Ukraina</a>, menunjukkan bahwa <a href="https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/coronavirus-fear-and-misinformation/">misinformasi</a>tentang penyebaran COVID-19 di media sosial turut menyebarkan ketakutan serta sentimen xenofobia tersebut. </p>
<p>Sentimen negatif ini juga ditujukan kepada <a href="https://foreignpolicy.com/2020/01/31/wuhan-coronavirus-boosts-indonesian-anti-chinese-conspiracies/">warga keturunan Cina di Indonesia.</a>.</p>
<p>Pemerintah perlu menerapkan strategi komunikasi risiko kesehatan yang efektif untuk mencegah penyebaran ketakutan serta sentimen rasisme di media sosial, terutama kini setelah ada pasien positif COVID-19 di Indonesia. </p>
<h2>Partisipatif, bukan instruksional</h2>
<p>Komunikasi risiko bukan sekadar pemerintah atau ahli memberikan panduan, arahan, dan peringatan pada masyarakat agar mereka mampu mengambil keputusan terbaik untuk mengurangi dampak buruk dari, misalnya, penyebaran penyakit atau dampak bencana alam.</p>
<p>Komunikasi risiko yang efektif perlu melibatkan masyarakat serta kepercayaan yang kuat terhadap pemerintah. </p>
<p>Tantangan risiko kesehatan di era digital adalah setiap pengguna internet memiliki kesempatan untuk menciptakan konten informasi mereka sendiri yang, tentu saja, tidak semuanya benar atau tepat.</p>
<p>Bahkan tidak jarang konten-konten tersebut disiarkan kembali oleh kantor berita atau disebarkan oleh figur publik yang semakin membantu dalam menyebarkan misinformasi tersebut. </p>
<p>Pemerintah Indonesia dikritik oleh <a href="https://news.detik.com/berita/d-4922743/pola-komunikasi-menkes-soal-penyebaran-virus-corona-disorot">akademisi</a> karena dianggap tidak memiliki strategi komunikasi risiko yang efektif, dan justru cenderung mengalihkan tanggung jawab. </p>
<p>Pemerintah memiliki riwayat meredam atau mengalihkan fokus terhadap suatu isu; ini terjadi misalnya ketika terjadi kerusuhan di Papua Barat pada 2019, pemerintah <a href="https://www.reuters.com/article/us-indonesia-papua/indonesia-sends-more-police-to-papua-curbs-internet-speed-amid-tension-idUSKCN1VA14S">membatasi akses internet</a> dan akses media. </p>
<p>Tidak heran jika dalam kasus COVID-19 pemerintah juga dianggap mencoba <a href="https://news.detik.com/berita/d-4922743/pola-komunikasi-menkes-soal-penyebaran-virus-corona-disorot">mengalihkan fokus masyarakat</a>. </p>
<p>Hal ini dikhawatirkan menimbulkan celah bagi penyebaran informasi menyesatkan di internet. Sebuah <a href="https://eprints.utas.edu.au/22892/">penelitian </a> yang dilakukan pada 2015 di Australia menunjukkan bahwa ketika masyarakat tidak puas dengan informasi yang diberikan pemerintah, mereka akan berpaling kepada sumber informasi alternatif. </p>
<p>Dalam era sekarang, informasi alternatif tersebut bersarang di internet, yang justru penyebarannya sulit dilacak dan diverifikasi. Dalam konteks penyebaran virus COVID-19, akibatnya fatal dan menyebabkan ketegangan sosial, seperti sentimen xenofobia terhadap masyarakat keturunan Cina di Indonesia.</p>
<h2>Sejarah yang terulang</h2>
<p>Tendensi xenofobia terkait sejarah panjang politik era Orde Baru (1965-1998) masih subur hingga sekarang. Selama masa pembentukan Orde Baru pada 1965 hingga 1966, masyarakat keturunan Cina <a href="https://doi.org/10.1177%2F186810341303200304">terjebak dalam kekerasan anti-komunis yang melibatkan kekuatan militer Indonesia </a>.</p>
<p>Pada akhir dari masa kekuasaan rezim ini pada 1997 dan 1998, masyarakat keturunan Cina kembali menjadi <a href="https://doi.org/10.1016/j.worlddev.2009.11.036">target kerusuhan berdarah di berbagai daerah di Indonesia. </a></p>
<p>Sampai sekarang propaganda anti-Cina masih tumbuh subur di masyarakat Indonesia. Ini terlihat misalnya dalam bentuk <a href="https://theconversation.com/how-jakartas-first-chinese-indonesian-governor-became-an-easy-target-for-radical-islamic-groups-68178">serangan rasis</a> terhadap mantan gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, seorang keturunan Cina yang beragama Kristen, pada 2016-2017. </p>
<p>Dalam konteks kepanikan COVID-19 dan sejarah seperti ini, Indonesia harus menjaga identitas internasional sebagai negara yang kaya budaya dengan masyarakat yang damai. Saat ini, Indonesia seharusnya bisa memberi contoh bagi negara-negara lain untuk mencegah sentimen xenofobia selama masa kepanikan virus Corona. </p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1234461330641321984"}"></div></p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1235079530768818177"}"></div></p>
<h2>Komunikasi yang lebih baik</h2>
<p>Pemerintah bisa menerapkan beberapa rekomendasi intervensi komunikasi risiko kesehatan untuk meminimalisir sentimen xenofobia dan mencegah ketegangan sosial di masyarakat selama masa pandemik COVID-19:</p>
<p><strong>1. Libatkan tenaga kesehatan lokal</strong></p>
<p>Penelitian menunjukkan bahwa ketika pemerintah melibatkan <a href="https://doi.org/10.1016/j.ijdrr.2019.101408">figur yang dekat dengan masyarakat</a>, komunikasi risiko menjadi lebih partisipatif dan efektif. </p>
<p>Strategi komunikasi risiko satu arah tanpa mengatasi keresahan dan kebingungan masyarakat dapat menyebabkan masyarakat cenderung mengabaikan komunikasi risiko pemerintah karena bisa dianggap tidak relevan dan bermanfaat. </p>
<p>Figur yang dekat dengan masyarakat akan lebih mampu memahami keresahan masyarakat dan berkomunikasi lebih baik dengan mereka.</p>
<p><strong>2. Ceritakan fakta, hindari bahasa yang kompleks dan ambigu</strong></p>
<p><a href="https://bmcpublichealth.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12889-019-7659-3">Belajar dari penelitian anti-vaksin</a> di Australia, komunikasi risiko kesehatan dari pemerintah akan lebih efektif jika dilakukan misalnya lewat bercerita tentang pengalaman positif pencegahan penyebaran penyakit tanpa menggunakan unsur-unsur ketakutan. </p>
<p>Dalam hal ini, media sosial bukan tempat untuk informasi yang kompleks. </p>
<p><strong>3. Persuasif, bukan instruktif</strong></p>
<p>Propaganda anti-Cina sudah tertanam di masyarakat Indonesia selama puluhan tahun. Sudah saatnya pemerintah Indonesia menyikapi ketakutan anti-Cina secara terbuka dengan pendekatan yang persuasif. </p>
<p><a href="https://doi.org/10.1108/DPM-07-2017-0157">Pendekatan informal</a> meningkatkan kepercayaan masyarakat untuk mengatasi kecemasan dari peristiwa berskala masif yang berdampak negatif dengan lebih efektif. </p>
<p>Dengan bekerja sama dengan tenaga kesehatan yang tinggal di kalangan masyarakat, pemerintah nasional bisa membuka ruang-ruang diskusi untuk mengubah keresahan dan sentimen anti-Cina ke arah informasi yang positif serta upaya preventif untuk merestorasi kerekatan masyarakat serta kepercayaan terhadap pemerintah.</p>
<p>Ketiga saran ini bisa diterapkan untuk meminimalisir risiko ketegangan sosial sebagai akibat dari bencana yang berskala besar (penyebaran penyakit, bencana alam, kerusuhan, maupun terrorisme). </p>
<p>Dengan memahami serta melibatkan masyarakat, komunikasi risiko akan lebih relevan dan tepat sasaran. Internet harus dimanfaatkan dengan baik karena sudah menjadi sumber informasi bagi masyarakat yang membutuhkan penjelasan ringkas dan mudah dipahami untuk pertanyaan yang kompleks. </p>
<p>Faktanya sudah jelas, wabah COVID-19 tidak mengenal ras, kelas sosial, atau kewarganegaraan. </p>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/132895/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Pemerintah perlu menerapkan strategi komunikasi risiko kesehatan yang efektif untuk mencegah penyebaran ketakutan serta sentimen rasisme di media sosial.Rifka Sibarani, PhD Candidate, Charles Darwin UniversityBirut Zemits, Assistant Dean Research, College of Education, Charles Darwin UniversityStephen Miller, Lecturer in Indonesian Studies, University of the Sunshine CoastLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1299012020-01-15T06:08:32Z2020-01-15T06:08:32ZOrang Asia pandai matematika? Rasisme walau berbalut pujian tetap buruk<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/309903/original/file-20200114-103974-1sf2jrd.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.youtube.com/watch?v=GUgT9GkeSw0">Fox Television Animation</a></span></figcaption></figure><p>Narasi bahwa “orang Asia pandai matematika” diketahui secara luas di Amerika Serikat (AS). Anak-anak kecil <a href="https://doi.org/10.1111/jora.12151">sadar</a> akan narasi tersebut. Kinerja akademik mahasiswa dapat <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0022103198913713">terpengaruh</a> oleh hal tersebut. Dan <a href="https://shop.yang2020.com/collections/gear/products/enamel-pin">kandidat Presiden AS</a> keturunan Asia, Andrew Yang, telah menjadikan kemampuan matematikanya sebagai bagian penting dari kampanyenya. </p>
<p>Di permukaan, narasi “orang Asia pandai matematika” terdengar seperti pujian. Lagi pula, apa salahnya dengan mengatakan bahwa seseorang pandai dalam sesuatu? Namun, seperti yang saya jelaskan dalam sebuah <a href="https://www.hepg.org/her-home/issues/harvard-educational-review-volume-89,-issue-4/herarticle/asians-are-good-at-math-is-not-a-compliment">artikel baru</a>, terdapat dua masalah. Pertama, narasi itu salah. Dan kedua, narasi itu rasis.</p>
<p>Saya adalah <a href="https://scholar.google.com/citations?hl=en&user=mC5DDrIAAAAJ">seorang guru berpengalaman dan peneliti pendidikan STEM</a>. <a href="https://www.tcrecord.org/Content.asp?ContentId=15226">Penelitian</a> menunjukkan bahwa rasisme adalah bagian dari pengalaman kelas siswa dalam mata pelajaran STEM (<em>science, technology, engineering, and mathematics</em> – pengetahuan alam, teknologi, teknik dan matematika).</p>
<p>Jika kita tidak memahami cara kerja rasisme – bahkan di area yang dianggap “netral” seperti STEM – kita mungkin secara tidak sengaja mendaur ulang gagasan rasis.</p>
<h2>Menyanggah mitos</h2>
<p>Seperti pada banyak stereotip rasial, orang benar-benar ingin tahu apakah narasi “orang Asia pandai matematika” itu benar. Terdapat <a href="https://www.youtube.com/watch?v=fb38z6AyE0g&t=1s">video</a> di YouTube dengan beberapa juta penonton yang menanyakan pertanyaan itu.</p>
<p>Bukankah nilai tes membuktikan narasi tersebut? Faktanya, tidak. Pada <a href="https://www.oecd.org/pisa/PISA-results_ENGLISH.png">ujian internasional</a>, memang benar bahwa negara-negara Asia termasuk yang unggul dalam matematika. Tapi, ada negara-negara Asia lainnya berada di peringkat ke-38, 46, 59, dan 63. Menariknya, mereka yang unggul dalam matematika juga unggul dalam membaca – tapi tidak ada narasi bahwa “orang Asia pandai sastra.”</p>
<p>Di AS, buktinya sama. <a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.3102/0013189X11424222">Penelitian</a> menunjukkan variasi yang cukup besar dalam kinerja matematis di antara berbagai kelompok etnis Asia di AS. Kalau semua orang Asia berbakat dalam matematika, kita tidak akan melihat variasi seperti ini.</p>
<p>Penjelasan yang lebih baik berkaitan dengan kebijakan pendidikan dan undang-undang imigrasi federal. Negara-negara yang <a href="https://www.tcpress.com/the-flat-world-and-education-9780807749623">berinvestasi</a> dalam pendidikan guru dan kurikulum berkualitas tinggi berkinerja lebih baik dalam ujian internasional. </p>
<p>Di AS, <a href="https://history.house.gov/Historical-Highlights/1951-2000/Immigration-and-Nationality-Act-of-1965/">Undang-Undang Keimigrasian dan Kebangsaan tahun 1965</a> memberikan preferensi kepada para profesional bidang STEM dari Asia. Kebijakan itu mempengaruhi orang tua saya sendiri, yang bisa berimigrasi ke AS berdasarkan undang-undang itu, bukan karena orang Asia Selatan secara alami memiliki kemampuan kedokteran yang bagus.</p>
<h2>Dari ‘Mongoloid’ ke ‘minoritas teladan’</h2>
<p>Lalu, apabila narasi tadi tidak benar, mengapa kita mengatakan demikian?</p>
<p>Saat ini di AS, orang Asia sering dipandang sebagai “minoritas teladan” – pekerja keras, berbakat secara akademis dan sukses secara profesional – tapi dulu tidak seperti itu.</p>
<p>Pada abad ke-18, orang-orang Asia digolongkan sebagai “mongoloid,” sebuah istilah rasis berdasarkan pseudosains <a href="https://doi.org/10.14989/155688">kraniometri</a>. Sedangkan “kaukasoid” (orang-orang putih) dianggap sebagai manusia dengan kecerdasan superior, semua orang kulit berwarna dianggap lebih lambat dalam evolusi.</p>
<p>Dari akhir abad ke-19, lahirlah citra baru orang Asia: <a href="https://smile.amazon.com/Yellow-America-Beyond-Black-White/dp/046500640X?sa-no-redirect=1">ancaman nasional</a>. Imigran Cina dipandang sebagai ancaman ekonomi bagi pekerja kulit putih Amerika, dan Jepang menjadi ancaman militer selama Perang Dunia II.</p>
<p>Orang-orang Asia di AS terus mengalami rasisme bahkan hingga hari ini. Faktanya, gagasan “minoritas teladan” selalu menjadi cara untuk <a href="https://www.upress.umn.edu/book-division/books/the-karma-of-brown-folk">mengadu domba</a> orang-orang Asia dengan kelompok yang dianggap “bukan teladan” – dengan kata lain, orang kulit berwarna non-Asia.</p>
<p>Implikasinya adalah: Jika orang Asia bisa, mengapa kamu tidak bisa?</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/307547/original/file-20191217-58321-11dx4hz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/307547/original/file-20191217-58321-11dx4hz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/307547/original/file-20191217-58321-11dx4hz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/307547/original/file-20191217-58321-11dx4hz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/307547/original/file-20191217-58321-11dx4hz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/307547/original/file-20191217-58321-11dx4hz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/307547/original/file-20191217-58321-11dx4hz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/307547/original/file-20191217-58321-11dx4hz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Seorang pendukung Andrew Yang, mengenakan topi bertuliskan slogan ‘Matematika’ dari kampanyenya, pada 22 November 2019, di Carolina Selatan.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="http://www.apimages.com/metadata/Index/Election-2020-Yang/657fe77e99da423cbd35bda5a6b5c241/8/0">AP Photo/Meg Kinnard</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Orang, bukan robot</h2>
<p>Meskipun narasi “orang Asia pandai matematika” salah, narasi tersebut tetap berdampak nyata pada kehidupan orang. Seperti mitos “minoritas teladan” yang <a href="https://eric.ed.gov/?id=EJ1144320">secara salah memposisikan orang berwarna non-Asia</a> sebagai lebih inferior dalam matematika. Ini juga dapat menjadi sumber <a href="https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1111/1467-9280.00277?casa_token=WKExDrsNnWkAAAAA:xzWTE-ytSZpVMbjIqCEQnmuVbNhd73nuZEn4y9yQ0NQJFUzcpCXyfTcY1D_ko-Eloor1M6WjH5I">tekanan</a> bagi murid Asia. Tapi dampak nyata dari narasi “orang Asia pandai matematika” lebih dalam.</p>
<p>Misalnya, sebuah adegan dari sebuah episode kartun dewasa “Family Guy.” Karakter utama, Peter, mengenang tentang ujian matematika yang diambilnya. </p>
<p>Ketika murid lain masing-masing mengeluarkan kalkulator dari saku mereka, Peter mengeluarkan seorang seorang anak laki-laki Asia, memberi dia pensil dan berkata “Kerjakan matematika!”</p>
<p>Ini mungkin tampak lucu pada awalnya, tapi pesan yang mendasarinya jelas: orang Asia tidak dipandang sebagai manusia; mereka adalah mesin penghitung. Orang Asia benar-benar dijadikan objek, dipandang mampu melakukan berbagai hal dengan kecepatan dan skala yang tidak bisa dilakukan oleh orang “normal”. Dengan kata lain, mereka didehumanisasi – dihilangkan harkatnya sebagai manusia.</p>
<p>Kalkulator hanya mampu melakukan tugas prosedural, bukan kreativitas. Bagi orang Asia, ini menyiratkan bahwa mereka dapat berhasil dalam mata pelajaran STEM yang teknis, namun humaniora dan seni kreatif bukan untuk mereka.</p>
<p>Sebagian situasi ini juga berkaitan dengan bagaimana masyarakat memahami “pandai matematika.” Matematika secara luas dianggap sebagai salah satu mata pelajaran yang paling sulit untuk dipelajari. Mereka yang dapat melakukannya sering dianggap sebagai “kutu buku.” </p>
<p>Film tentang ahli matematika seperti <a href="https://www.rottentomatoes.com/m/beautiful_mind">“A Beautiful Mind”</a> dan <a href="https://www.rottentomatoes.com/m/the_imitation_game">“The Imitation Game”</a> biasanya menggambarkan mereka sebagai orang anti-sosial. Ahli matematika mungkin dianggap brilian, tapi mereka tidak dianggap “normal.”</p>
<p>Biasanya kita berpikir tentang dehumanisasi dalam hal defisit intelektual. Misalnya, orang Amerika abad ke-21 masih <a href="https://doi.org/10.1037/0022-3514.94.2.292">mengasosiasikan</a> orang keturunan Afrika dengan kera, <a href="https://www.nytimes.com/2018/06/17/opinion/roseanne-racism-blacks-apes.html">sebuah kiasan rasis</a>. Apa yang terjadi dengan orang-orang Asia berbeda, tapi masih berbahaya. Mereka menjadi robot yang sangat cerdas.</p>
<h2>Menolak narasi</h2>
<p>Kita semua dapat berperan dalam menentang narasi salah ini.</p>
<p>Para guru dapat membantu dengan memonitor berbagai peluang belajar yang mereka berikan kepada siswa-siswa Asia. Apakah mereka memperlakukan para siswa Asia tersebut seperti kalkulator – hanya memberi mereka tugas-tugas prosedural – atau apakah siswa Asia dapat menunjukkan kreativitas mereka dan untuk menyajikan ide-ide di depan kelas? Untuk membantu guru melacak bias, tim peneliti saya telah mengembangkan aplikasi web gratis yang disebut <a href="https://www.equip.ninja/">EQUIP</a>.</p>
<p>Sebagian besar orang dengan mudah mengenali perilaku dan bahasa rasis yang dilakukan secara terang-terangan. Namun, saya percaya kita juga perlu belajar bagaimana mengenali rasisme dalam bentuknya yang lebih tidak kentara. Lain kali Anda mendengar seseorang berkata “orang Asia pandai matematika,” jangan anggap itu lelucon – anggap itu sebagai rasisme.</p>
<p><em>Aisha Amelia Yasmin menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/129901/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Niral Shah tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Bentuk-bentuk rasisme yang tidak kentara berdasarkan narasi yang salah itu sama saja dengan dehumanisasi - dan bukan lelucon.Niral Shah, Assistant Professor of Learning Sciences & Human Development, University of WashingtonLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1231782019-09-11T09:01:56Z2019-09-11T09:01:56ZIsu rasisme perlu lebih banyak dibahas di Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/291542/original/file-20190909-109947-1meiitg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://twitter-trends.de/racism/?utm_source=47380352501&utm_campaign=FlickrDescription&utm_medium=link">Image by Marco Verch </a></span></figcaption></figure><p>Rasisme banyak terjadi di Indonesia, tapi sangat jarang dibahas.</p>
<p>Baru-baru ini di Papua, ujung timur Indonesia, <a href="https://theconversation.com/cara-hentikan-konflik-di-papua-stop-kekerasan-122144">terjadi protes besar di sana</a>. Konflik ini dipicu oleh perlakuan rasis aparat keamanan dan anggota masyarakat terhadap mahasiswa Papua di Jawa. </p>
<p>Perlakuan rasis juga dialami banyak orang Papua lainnya, hal ini sudah mengakar dalam budaya dan sejarah Indonesia. Bentuk perlakuannya berbeda-beda, ada yang berbentuk kekerasan, ada yang tidak kentara.</p>
<p>Saya adalah seorang antropolog budaya yang telah meneliti Papua Barat. Tiga belas tahun yang lalu, di Sulawesi Utara, saya menginap di asrama mahasiswa Papua. </p>
<p>Suatu kali, lewat tengah malam, saya mendengar derap kaki, suara-suara, dan gedoran pintu.</p>
<p>Tampak anggota aparat keamanan setempat memaksa mau masuk menggeledah asrama untuk mencari senjata. Mahasiswa ketakutan dan marah. </p>
<p>Ketua asrama berhasil menolak, tapi beberapa minggu setelahnya, kepala aparat setempat memanggil beberapa penghuni asrama. </p>
<p>Pejabat itu membela anggotanya, dan menolak pernyataan para mahasiswa bahwa saat kejadian, anggota aparat datang dengan kondisi mabuk. Dia justru mengancam para mahasiswa dan memaksa mereka untuk mengakui mereka yang salah, alih-alih para anggota aparat itu. </p>
<p>Pada 17 Agustus 2019, <a href="https://asiapacificreport.nz/2019/08/18/indonesian-police-raid-papuan-student-dormitory-with-tear-gas-arrest-43/">kepolisian menahan 43 mahasiswa Papua</a> di Surabaya, Jawa Timur, dengan tuduhan melecehkan bendera Indonesia saat perayaan Hari Kemerdekaan. Polisi meneriaki mereka dengan makian rasis, menyerbu asrama, dan menggunakan gas air mata untuk <a href="https://www.thejakartapost.com/academia/2019/08/19/todays-minkes-racism-at-heart-of-jakarta-papua-conflict.html">memaksa mereka keluar</a>“</p>
<p>Ada banyak bentuk dan dampak dari rasisme di Indonesia, dan dua insiden di atas menggambarkan dua bentuk rasisme yang berbeda terhadap masyarakat Papua. </p>
<p>Rasisme justru meningkat karena orang Indonesia tidak membicarakan apa itu rasisme, seperti apa bentuknya, dan apa akibatnya. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/tensions-in-papua-and-hyper-nationalism-in-indonesia-122767">Tensions in Papua and hyper-nationalism in Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Prasangka yang terus ada</h2>
<p><a href="https://tirto.id/betapa-sulitnya-menjadi-papua-eg56">Masyarakat Papua telah lama mengalami perlakuan rasis</a> di Indonesia, tapi mereka selalu dituntut untuk diam saja demi persatuan dan keharmonisan.</p>
<p>Berada di satu komunitas yang sama dengan masyarakat Papua, saya menjadi tahu perspektif umum di kalangan petugas pemerintahan dan polisi. </p>
<p>Mereka beranggapan masyarakat Papua biang masalah dan aktivis politik yang diam-diam mendukung separatisme, khususnya Organisasi Papua Merdeka (OPM). Oleh karena itu, mereka harus memantau, mengawasi, dan menggerebek asrama-asrama ini. </p>
<p>Pihak berwenang menganggap orang Papua perlu diajar untuk tunduk pada otoritas. Jadi, selain ancaman dan penggerebekan, mereka diminta melakukan kerja fisik untuk petugas setempat.</p>
<p>Para tenaga pendidik perguruan tinggi juga beranggapan bahwa orang Papua lambat secara intelektual, pikiran mereka lemah, dan mereka memiliki <a href="http://press-files.anu.edu.au/downloads/press/p315331/html/ch01.xhtml?referer=&page=5">gaya hidup yang primitif</a>, bahkan di tengah kota.</p>
<p>Mahasiswa Papua kerap dilecehkan oleh mahasiswa lain; ditanya apa pernah memakai koteka, apa memasak pakai api kayu, apa berburu dan mencari makan di hutan karena mereka primitif. </p>
<p>Laki-laki Papua dianggap sebagai pekerja yang kuat dan efektif, sehingga mereka ditawari pekerjaan membangun rumah dan bercocok tanam.</p>
<p>Beberapa mahasiswa diberikan nama panggilan bernada rasis oleh rekannya. Rasisme juga muncul dalam bentuk yang lebih halus dan kompleks, dan merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari.</p>
<p>Beberapa orang muda Papua merasa tidak aman, sehingga mereka memilih untuk lebih melekatkan diri dengan komunitas Papua lainnya. Sementara beberapa orang lainnya berusaha menjauh dari komunitasnya, agar bisa lepas dari perlakuan rasis.</p>
<p>Banyak yang berusaha untuk bersikap sangat baik, dan memastikan orang-orang Papua lainnya bersikap serupa agar dapat diterima masyarakat dan lepas dari pandangan rasis.</p>
<p>Namun rasisme tidak muncul begitu saja.</p>
<h2>Konstruksi imajiner</h2>
<p>Sosiolog asal Inggris Gail Lewis [menjelaskan] bahwa konsep rasialisme (<em>rasialisation</em>) mengacu pada gagasan lama bahwa ras adalah karakteristik biologis dan juga mengacu pada gagasan baru bahwa budaya adalah penanda perbedaan.</p>
<p>Tidak ada fakta biologis tentang ras - semua manusia saling berhubungan secara genetis, namun pemikiran tentang ras selalu ada dalam imajinasi sosial.</p>
<p>Selama kita masih berpikir bahwa budaya, etnis, atau warna kulit berpengaruh pada kemampuan, sikap, motivasi, bahkan cara berpikir dan gaya hidup, maka rasisme akan selalu ada.</p>
<p>Coba kita lihat dalam ideologi keseharian di Indonesia. Apakah ada suku tertentu yang diakui karena kecantikannya? Kemampuan bisnis? Kemampuan artistik? Kecakapan fisik? Apakah perempuan dari suku tertentu dianggap sebagai calon istri yang lebih baik dibandingkan perempuan dari suku lain? Apakah ada suku tertentu yang dianggap lebih keras kepala, lebih patuh, lebih disiplin, lebih emosional, lebih bisa kerja keras, atau lebih menarik?</p>
<p>Indonesia memiliki banyak gagasan semacam itu, beberapa di antaranya <a href="https://www.eastwestcenter.org/sites/default/files/private/PS014.pdf">sudah ada sejak era kolonial Belanda</a>.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/development-for-all-a-better-solution-for-papua-122317">Development for all: a better solution for Papua</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Keyakinan yang melumpuhkan</h2>
<p>Rasisme bisa berakibat serius. Rasisme menyebabkan orang tidak dilibatkan dalam pembahasan tentang masa depan dirinya sendiri. Hal ini bisa digunakan untuk mencabut martabat, lahan, otonomi, dan hak.</p>
<p>Rasisme menghambat <a href="https://www.teras.id/news/pat-20/121037/orang-asli-papua-protes-diskriminasi-pegawai-di-pln">masyarakat Papua dalam mendapat pekerjaan</a>, layanan kesehatan, pendidikan, dan banyak lagi.</p>
<p>Ketika orang menganggap bahwa isu kemerdekaan Papua itu asalnya dari provokator asing, bukan orang Papua sendiri, ini adalah bentuk rasisme karena menganggap orang Papua tidak mampu mengenali dan menyatakan keinginan mereka sendiri. </p>
<p><a href="https://tirto.id/rasisme-adalah-masalah-indonesia-bukan-orang-papua-egA9">Ligia Giay</a>, peneliti dari Universitas Murdoch, Australia, dan <a href="https://theconversation.com/papua-is-not-a-problem-but-the-way-we-talk-about-papua-is-41896">Budi Hernawan</a>, peneliti dari Universitas Indonesia, telah menjelaskan bahwa ketika orang mengatakan pembangunan akan memuaskan masyarakat Papua, ini merupakan rasisme yang mengatakan masyarakat Papua tidak memiliki kapasitas dalam melakukan observasi, analisis, dan memahami sejarah mereka sendiri.</p>
<p>Pertanyaannya adalah, sampai kapan mitos ini akan bertahan?</p>
<p>Ada beberapa tanda yang menunjukkan <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-38141450">generasi baru masyarakat Indonesia mulai menerima</a> kenyataan bahwa masyarakat Papua mampu mengetahui dan menyampaikan apa yang mereka mau. </p>
<p>Generasi ini mempertanyakan apakah mereka masih ingin mendukung perilaku dan gagasan masa lalu - kekerasan, rasisme, dan penghancuran - serta apa yang bisa dilakukan untuk masa depan yang berbeda. </p>
<p><em>Franklin Ronaldo menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</em>.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/the-internet-shutdown-in-papua-threatens-indonesias-democracy-and-its-peoples-right-to-free-speech-122333">The internet shutdown in Papua threatens Indonesia's democracy and its people's right to free speech</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<img src="https://counter.theconversation.com/content/123178/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Jenny Munro tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Banyak kasus rasisme yang terjadi terhadap masyarakat Papua, tapi hanya sedikit pembahasannya dalam masyarakat. Ini membuat rasisme lebih melekat.Jenny Munro, Lecturer, School of Social Science, The University of QueenslandLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1221442019-08-21T09:21:21Z2019-08-21T09:21:21ZCara hentikan konflik di Papua: Stop kekerasan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/288877/original/file-20190821-170918-fn1gad.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Ribuan orang turun ke jalan dalam demonstrasi di Jayapura, Papua, pada 19 Agustus 2019. </span> <span class="attribution"><span class="source">Frans/EPA</span></span></figcaption></figure><p>Rentetan penahanan dan intimidasi terhadap masyarakat Papua yang terjadi <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190819200236-20-422845/kronik-rusuh-papua-dari-malang-menjalar-hingga-makassar">di Malang</a> dan <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190819200236-20-422845/kronik-rusuh-papua-dari-malang-menjalar-hingga-makassar">Surabaya</a>, Jawa Timur, minggu lalu menambah daftar panjang kekerasan terhadap mereka. </p>
<p>Kekerasan di dalam konflik yang menyudutkan masyarakat Papua telah berlarut dan memiliki pola berulang dari waktu ke waktu. <a href="https://nasional.kompas.com/read/2019/02/15/06482101/memutus-mata-rantai-kekerasan-di-papua?page=all">Amnesty Internasional</a> telat mencatat 69 kasus dugaan pembunuhan di Papua sepanjang Januari 2010 hingga Februari 2018. Yang menyedihkan, aparat negara menjadi dua pelaku utama dalam tindak kekerasan – 34 kasus oleh aparat kepolisian dan 23 kasus oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI).</p>
<p>Kekerasan – baik langsung maupun struktural – harus segera dihentikan dan perbaikan hubungan pemerintah pusat dengan rakyat Papua yang selama ini timpang harus segera dilakukan jika pemerintah ingin menghilangkan konflik di Papua.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/memahami-akar-masalah-papua-dan-penyelesaiannya-jangan-gegabah-87785">Memahami akar masalah Papua dan penyelesaiannya: jangan gegabah</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Mengakhiri konflik</h2>
<p>Christopher Mitchell, sejarawan sekaligus ahli resolusi konflik dari Inggris, mencatat tiga kondisi yang dapat <a href="https://www.palgrave.com/gp/book/9781403945181">membuat konflik berakhir</a>: hilangnya sikap negatif serta perseteruan, tidak berlakunya isu yang menjadi sengketa, dan berhentinya perilaku koersif dan kekerasan. </p>
<p>Ketiga kondisi ini mencerminkan adanya penghentian kekerasan struktural, kultural, dan langsung, yang menjadi pekerjaan utama untuk dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik. </p>
<p>SETARA Institute, dalam <a href="http://setara-institute.org/en/ambiguitas-politik-ham-di-papua">laporannya</a> mencatat tiga periode penyelesaian konflik Papua oleh pemerintah berdasarkan cara yang digunakan. </p>
<p>Periode pertama antara 1963 dan 1998, dengan pendekatan keamanan dan menjadikan Papua menjadi Daerah Operasi Militer (DOM). Periode kedua antara 1998 dan 2014, melalui kebijakan kesejahteraan yang diwujudkan lewat <a href="http://www.bphn.go.id/data/documents/01uu021.pdf">Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001</a> tentang otonomi khusus Papua. Periode ketiga yaitu sejak 2014 hingga sekarang, melalui penekanan pembangunan sesuai dalam visi Nawacita Presiden Joko “Jokowi” Widodo. </p>
<p>Pada praktiknya ketiga periode masih menjadikan pendekatan keamanan sebagai rujukan yang naasnya disertai dengan berbagai praktik kekerasan dan pelanggaran HAM.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengapa-presiden-jokowi-tak-kunjung-berhasil-merebut-hati-orang-papua-108296">Mengapa Presiden Jokowi tak kunjung berhasil merebut hati orang Papua?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Mengadopsi teori Mitchell, solusi untuk Papua bisa dimulai dengan menghapus sikap perseteruan yang dapat dimulai dengan permintaan maaf kepada masyarakat Papua. <a href="https://www.palgrave.com/gp/book/9781403945181">Permintaan maaf</a> merupakan salah satu obat penyembuh dalam rekonsiliasi. </p>
<p>Masyarakat Indonesia secara keseluruhan perlu meminta maaf karena telah membiarkan kekerasan terjadi kepada saudara sebangsa dan setanah air terjadi. Permintaan maaf dari pemerintah juga harus dilakukan sebagai pengakuan atas kegagalan negara dan langkah awal komitmen berbenah. </p>
<p>Pelaku kekerasan – aparat keamanan, ormas, dan pihak-pihak terkait – harus secara langsung mengakui kesalahan fatal yang mereka lakukan selain juga meminta maaf. </p>
<p>Penertiban perilaku koersif dan penggunaan kekerasan juga harus segera dilakukan. Kepolisian harus menindak tegas aparat yang terlibat dalam kekerasan serta ormas sebagai <a href="https://kumparan.com/setara/dehumanisasi-di-hari-kemanusiaan-internasional-atas-masyarakat-papua-1rhF8rkNbKz#referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&_tf=Dari%20%251%24s">preseden</a> pengurangan tindakan represif sekaligus memastikan tindakan tidak akan terulang (<em>guarantees of non-repetition</em>) di masa depan. </p>
<p>Selain itu, pemerintah harus mengkondisikan agar kekerasan tidak menjalar lebih jauh dan situasi di Papua menjadi kondusif.</p>
<p>Upaya yang dapat dirintis sedini mungkin adalah memulai dialog holistik antara pemerintah pusat dan Papua. </p>
<p>Dialog ini mencakup rencana pembangunan yang tidak terbatas pada infrastruktur fisik, tetapi berpusat pada manusia dengan menerapkan perspektif HAM. </p>
<p>Pembukaan dialog tidak bisa hanya berada pada tataran elit politik pemerintah daerah, tetapi juga melibatkan masyarakat untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan mengingat maraknya <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190207180345-12-367284/korupsi-papua-kpk-tetapkan-anggota-dpr-dan-pejabat-tersangka">praktik korupsi</a> yang terjadi di Papua. </p>
<p>Tentu saja, dialog yang dilakukan harus mengedepankan pendekatan sipil, bukan pendekatan keamanan yang terbukti rawan kekerasan seperti di masa lalu.</p>
<p>Dengan membuka dialog dan mendengarkan aspirasi semua pihak, konflik diharapkan bisa berakhir. </p>
<h2>Keadaan yang tidak boleh terus berlangsung</h2>
<p>Konflik di Papua yang melibatkan kekerasan dimulai sejak <a href="http://setara-institute.org/en/ambiguitas-politik-ham-di-papua/">dekolonisasi</a> ketika pemerintah kolonial Belanda beranjak dari Papua dan Indonesia mulai menapakkan kekuatan melalui militer di sana. </p>
<p><a href="https://e-journal.usd.ac.id/index.php/JP/article/view/980/759">Rasialisme</a> dan stigmatisasi terhadap masyarakat Papua menyebabkan dehumanisasi yang melanggengkan sikap negatif dan perseteruan. Masyarakat Papua menghadapi rasialisme dan stigmatisasi di Indonesia dengan pandangan bahwa mereka ‘setengah binatang’. </p>
<p>Pandangan ini tampak pada sebutan <a href="https://www.bbc.com/indonesia/media-49399008">“monyet”</a> yang ditujukan kepada mahasiswa Papua dalam insiden di Surabaya baru-baru ini. Menyebut masyarakat Papua dengan binatang merupakan bentuk dehumanisasi; martabat masyarakat Papua sebagai manusia yang harus dijaga dan dihormati oleh sesama tidak digubris.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/jangan-panggil-orang-papua-monyet-ahli-jelaskan-makna-panggilan-hewan-pada-manusia-122058">Jangan panggil orang Papua monyet: Ahli jelaskan makna panggilan hewan pada manusia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Pandangan ini kemudian menjadi pembenaran atas tindak kekerasan terhadap masyarakat Papua. <a href="https://e-journal.usd.ac.id/index.php/JP/article/view/980/759">Kekerasan</a> telah hadir dalam sejarah panjang Papua dan menjadi salah satu sumber konflik. </p>
<p>Aparat keamanan, termasuk kepolisian dan TNI, memiliki <a href="https://library.fes.de/pdf-files/bueros/indonesien/06393.pdf">jejak kekerasan disertai pelanggaran HAM</a> yang mendalam di tanah Papua, terlebih pada masa DOM. </p>
<p>Hingga kini, cara-cara koersif dan kekerasan masih menjadi rujukan penanganan konflik yang melibatkan masyarakat Papua, baik di Papua maupun di luar Papua. Bahkan <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190819060430-20-422545/penyerangan-asrama-papua-di-surabaya-dinilai-langgar-ham">masyarakat sipil–seperti anggota organisasi masyarakat (ormas) pun terlibat</a>. Kekerasan yang dipelihara akan menjadi residu konflik.</p>
<p>Kekerasan langsung memang lekat dengan konflik Papua, tetapi kekerasan struktural juga menjadi masalah mendasar di sini.</p>
<p>Ketimpangan akibat <a href="https://e-journal.usd.ac.id/index.php/JP/article/view/980/759">pembangunan ekonomi dan kegagalan pembangunan</a> menjadi akar konflik yang berlarut di Papua. </p>
<p>Meski kini pemerintahan Jokowi mulai menggalakkan pembangunan di Papua, tetapi pembangunan hanya dimaknai secara fisik dan membiarkan <a href="https://nasional.kompas.com/read/2018/12/10/17354801/komnas-ham-infrastruktur-papua-maju-tetapi-ada-pelanggaran-ham">pelanggaran HAM</a> terjadi di dalamnya. </p>
<p>Selain itu, hubungan pemerintah pusat dan Papua tidak harmonis karena <a href="https://e-journal.usd.ac.id/index.php/JP/article/view/980/759">ketidakselarasan</a> pemaknaan integrasi dan konstruksi identitas politik di antara keduanya. Papua dan masyarakatnya menyimpan luka sebagai akibat kekerasan struktural ini. </p>
<p><em>Franklin Ronaldo berkontribusi pada penerbitan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/122144/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Selma Theofany terafiliasi dengan SETARA Institute Democracy and Peace sebagai peneliti HAM dan perdamaian.</span></em></p>Kekerasan di Papua – baik langsung maupun struktural – harus segera dihentikan dan pemerintah pusat harus memperbaiki hubungn dengan rakyat Papua.Selma Theofany, Researcher, Setara InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1220582019-08-19T10:23:56Z2019-08-19T10:23:56ZJangan panggil orang Papua monyet: Ahli jelaskan makna panggilan hewan pada manusia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/288510/original/file-20190819-123716-1h6svib.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Orang mengggunakan perbandingan dengan hewan untuk berbagai ekspresi.</span> </figcaption></figure><p>Membandingkan manusia dengan hewan itu problematik tapi sulit untuk tidak dilakukan. Kita <em>memang</em> hewan, tapi kita hewan yang yakin bahwa kita bukan <em>sekadar</em> hewan. </p>
<p>Saat kita menyamakan orang dengan makhluk lain akan muncul masalah, misalnya saat fans olahraga menyebut <a href="http://www.abc.net.au/news/2017-04-11/power-take-action-over-eddie-betts-racism-abuse/8433694">makian rasis</a>, atau Donald Trump <a href="http://www.independent.co.uk/news/world/middle-east/assad-animal-trends-syria-social-media-donald-trump-comments-russia-chemical-attacks-a7680106.html">menyebut Presiden Suriah Bashar al-Assad seekor binatang</a>, atau <a href="https://beritagar.id/artikel/berita/manokwari-rusuh-menyusul-dugaan-tindakan-rasis-di-surabaya">saat mahasiswa Papua diduga disebut monyet</a> di Surabaya, Jawa Timur, belum lama ini.</p>
<p>Orang mengggunakan perbandingan dengan hewan untuk berbagai ekspresi, banyak di antaranya yang positif. Hewan yang imut dan kecil, misalnya, dipakai sebagai nama kesayangan untuk anak-anak atau kekasih. </p>
<p>Sementara itu, hewan yang memiliki nilai tertentu dijadikan simbol sifat manusia: orang yang berani disebut berhati singa; orang yang mahir menilai sesuatu disebut bermata elang. Orang-orang mengidentifikasikan diri dengan hewan yang menjadi lambang atau maskot klub-klub sepakbola.</p>
<p>Metafora hewan lainnya lebih netral dan menjadi cara mudah menggambarkan karakter manusia. Menyebut orang domba artinya menyebut mereka gampang patuh; menyebut orang ayam atau tikus artinya menyebut mereka penakut atau malas. Menyebut orang sapi atau kodok berarti menyamakan bentuk fisik mereka—alih-alih sifat psikologis—mirip dengan hewan itu.</p>
<p>Perbandingan-perbandingan ini berbeda-beda dalam setiap budaya dan bahasa. Di Barat, burung hantu itu bijak, tapi di India burung hantu itu bodoh. Dalam bahasa Inggris, hiu digunakan untuk orang yang suka bohong dan rakus, tapi dalam bahasa Persia artinya laki-laki yang tidak punya atau hanya punya sedikit jenggot.</p>
<p>Banyak metafora hewan yang terang-terangan menghina—alih-alih menyamakan sifat tertentu. Menyebut orang babi, tikus, kera, monyet, anjing, belatung, atau lintah memiliki makna derogatif serta tudingan emosional dan moral yang keras. </p>
<h2>Metafora yang menghina</h2>
<p>Dalam sebuah <a href="https://www.researchgate.net/publication/258153350_Beastly_What_Makes_Animal_Metaphors_Offensive">penelitian</a>, saya dan kolega saya menyelidiki makna yang disampaikan lewat rupa-rupa metafora hewan dan mempelajari apa yang menyebabkan metafora ini menjadi hinaan. Kami menemukan dua sebab yang cukup kuat.</p>
<p>Yang pertama, dan mungkin tidak mengejutkan, hewan-hewan yang dibenci seperti ular, lintah, dan tikus adalah metafor yang lebih mengandung unsur hinaan. Orang menggunakan metafor semacam ini pada orang lain bukan untuk menyebut bahwa orang tersebut mirip dengan hewan-hewan ini. </p>
<p>Akan tetapi, sebutan ini digunakan untuk menyampaikan rasa jijik terhadap hewan itu kepada orang yang dimaksud.</p>
<p>Kedua, kami menemukan bahwa orang sangat tidak terima dengan metafor hewan karena perbandingan itu memandang rendah mereka. Saat orang menyebut orang lain kera, monyet, atau anjing, mereka bukannya menyamakan orang tersebut dengan hewan yang dibenci seperti tikus atau ular. </p>
<p>Akan tetapi, sebutan ini menyampaikan makna bahwa orang tersebut dianggap lebih rendah derajatnya.</p>
<p>Singkatnya, metafor binatang yang menghina ada yang merendahkan dan ada juga yang menjijikkan.</p>
<p>Wajar bila dua jenis metafora ini hadir dalam konflik-konflik paling mengerikan dalam sejarah. Metafora kera yang merendahkan sering digunakan pada pribumi selama <a href="https://theconversation.com/comparing-black-people-to-monkeys-has-a-long-dark-simian-history-55102">perang kolonial dan penaklukan</a>. Metafora menjijikkan digunakan untuk mengggambarkan orang sebagai hama dan kecoak selama Holocaust dan <a href="http://www.npr.org/2011/03/29/134956180/criminals-see-their-victims-as-less-than-human">genosida Rwanda</a>.</p>
<h2>Konsep kebinatangan</h2>
<p>Walau hanya sedikit metafora hewan yang sangat menghina, sebagian besar memang dianggap negatif dalam konotasinya. <a href="http://psc.dss.ucdavis.edu/sommerb/pubs/zoomorphy_11.pdf">Satu penelitian</a> menemukan bahwa mayoritas metafor ini dianggap menghina—terutama yang ditujukan pada lelaki—dan <a href="https://www.researchgate.net/publication/258153350_Beastly_What_Makes_Animal_Metaphors_Offensive">satu penelitian lain</a> menunjukkan bahwa metafora hewan mewakili sifat-sifat negatif.</p>
<p>Penelitian kami menunjukkan bahwa sifat negatif yang paling umum adalah buruk, kotor, dan bodoh. Intinya, ketika menyebut seseorang sebagai “binatang” dalam pengertian umum, kita menganggap sifat-sifat negatif ini ada pada mereka. </p>
<p>Manusia ialah makhluk yang bermoral, beradab, dan pintar; sedangkan hewan tidak. </p>
<p>Nyata, ada perdebatan bahwa metafora hewan mengungkapkan sebuah arti yang mendalam tentang hierarki. Dalam konsep kuno <em>scala naturae</em> atau <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Great_chain_of_being">rantai keberadaan</a>, manusia berada satu tingkat di atas hewan; hewan lebih tinggi derajatnya dari tumbuhan dan bahan mineral. Kita berada dua tingkat di bawah Tuhan dan para malaikat.</p>
<p>Dalam hierarki ini manusia dianggap mempunyai kekuatan akal dan kendali diri yang unik, sedangkan hewan hanya punya insting yang tidak terkendali. Karena itu, memanggil seseorang sebagai hewan berarti menurunkan mereka ke tingkat keberadaan yang lebih rendah; mereka berada di suatu keadaan yang lebih primitif dan tidak memiliki sifat-sifat manusia.</p>
<p>Seandainya saja metafora dan konsep hierarki tentang manusia dan hewan hanyalah bagian dari keingintahuan belaka dan sudah menjadi sejarah. Sayangnya, banyak bukti bahwa hal-hal ini bertahan sampai sekarang.</p>
<p>Orang-orang dengan sadar untuk menggolongkan orang lain <a href="https://www.researchgate.net/publication/315981814_Darker_Demons_of_Our_Nature_The_Need_to_Re-Focus_Attention_on_Blatant_Forms_of_Dehumanization">lebih rendah dan lebih primitif dari manusia</a>; ini mengejutkan. Metafora hewan menyingkap kenyataan buas kita.</p>
<p><em>Artikel ini diterjemahkan dari bahasa Inggris (dengan kontribusi dari Fahri Nur Muharom) dan sudah ditambahkan konteks Papua.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/122058/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Nick Haslam receives funding from the Australian Research Council.</span></em></p>Menyebut orang lain sebagai binatang berarti merendahkan derajat mereka: memandang mereka primitif dan bukan manusia.Nick Haslam, Professor of Psychology, The University of MelbourneLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/855812017-10-19T09:56:54Z2017-10-19T09:56:54ZAntara Dove, kecantikan sejati, dan sejarah produk pemutih kulit yang rasis<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/189964/original/file-20171012-31418-v7whmr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Dove menarik iklan ini dari Facebook, setelah ramai diprotes karena tidak sensitif rasial.</span> <span class="attribution"><span class="source">naythemua/Facebook</span></span></figcaption></figure><p>Baru-baru ini kantor pemasaran Dove (merek perawatan pribadi Unilever) menjadi sorotan publik gara-gara sebuah iklan yang dipandang tidak sensitif secara rasial. Di media sosial bahkan sampai ada ajakan untuk memboikot Dove.</p>
<p>Iklan yang dipermasalahkan itu menampilkan seorang perempuan kulit hitam yang berubah putih setelah memakai losion tubuh Dove. Meski segera ditarik, iklan itu telanjur ramai dibahas di media sosial setelah penata rias AS Naomi Blake (Naythemua) menuliskan kekesalannya di Facebook, dan menyebut iklan itu “tidak peka”.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"916993830024511488"}"></div></p>
<p>Dove merespons, <a href="https://twitter.com/Dove/status/916731793927278592">mulanya lewat Twitter</a>.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"916731793927278592"}"></div></p>
<p>Perusahaan itu kemudian memberi pernyataan lebih panjang: “Sebagai bagian kampanye untuk sabun mandi cair Dove, sebuah klip video tiga detik diunggah di halaman Facebook AS … Klip itu tidak merepresentasikan keragaman kecantikan sejati yang menjadi tujuan Dove dan merupakan inti keyakinan kami, dan mestinya itu tidak perlu terjadi.”</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"917444642047778816"}"></div></p>
<p>Perlu ditanyakan apakah para anggota tim pemasaran Dove ketika mahasiswa kerjanya hura-hura di pub dan membolos kuliah Sejarah Periklanan? Karena kalau tidak membolos mereka tentu tahu iklan sabun Pears’ 1884 dari presentasi dosen. Oke, saya hanya bercanda, tetapi yang jelas iklan bermasalah Dove itu sejalan dengan sejarah rasis yang memandang kulit putih itu bersih dan kulit hitam adalah sesuatu yang perlu dibersihkan.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/189454/original/file-20171009-25615-nqu1rj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/189454/original/file-20171009-25615-nqu1rj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/189454/original/file-20171009-25615-nqu1rj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=439&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/189454/original/file-20171009-25615-nqu1rj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=439&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/189454/original/file-20171009-25615-nqu1rj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=439&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/189454/original/file-20171009-25615-nqu1rj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=552&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/189454/original/file-20171009-25615-nqu1rj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=552&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/189454/original/file-20171009-25615-nqu1rj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=552&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Iklan orisinal sabun Pears’ berdasarkan fabel Memutihkan Orang Kulit Hitam, dimuat di Graphic for Christmas 1884.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Sejarah rasis</h2>
<p>Insiden semacam ini bukan yang pertama bagi Dove. Dalam sebuah iklan tahun 2011, tiga perempuan yang kulitnya makin lama makin pucat berdiri dililit handuk di bawah papan bertuliskan “Sebelum” dan “Sesudah”, menyiratkan transisi menuju kulit lebih terang adalah janji kecantikan gemerlap Dove. (<a href="http://gawker.com/5804724/dove-body-wash-strong-enough-to-turn-a-black-woman-white">Dove kemudian mengatakan</a> ketiga perempuan itu merepresentasikan gambaran “sesudah”). </p>
<p>Banyak komentar geram merujuk pada ungkapan metaforis tentang bayi-bayi dan perempuan kulit hitam dicuci sampai putih. Australia punya kasus tersendiri di front ini. Ahli sejarah Gamilaraay Yuwaalaraay Frances Peters–Little (produser film dan artis pertunjukan) menuntut permintaan maaf Dove. Dia mengunggah sebuah iklan sabun Nulla Nulla dari tahun 1901 di Facebook untuk menunjukkan betapa jauhnya jangkauan rasisme melalui ungkapan metaforis terasa dalam iklan-iklan Dove. </p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/189457/original/file-20171009-25624-ymsneh.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/189457/original/file-20171009-25624-ymsneh.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/189457/original/file-20171009-25624-ymsneh.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=651&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/189457/original/file-20171009-25624-ymsneh.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=651&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/189457/original/file-20171009-25624-ymsneh.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=651&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/189457/original/file-20171009-25624-ymsneh.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=818&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/189457/original/file-20171009-25624-ymsneh.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=818&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/189457/original/file-20171009-25624-ymsneh.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=818&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Sebuah iklan sabun Nulla Nulla dari tahun 1901.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p><a href="https://www.researchgate.net/publication/306379190_Representation_and_Power_A_Picture_is_Worth_a_Thousand_Words_-_%27Nulla-Nulla_Australia%27s_White_Hope_The_Best_Household_Soap%27_1920s">Penulis aborigin Wiradjuri Kathleen Jackson</a> juga menulis tentang iklan Nulla Nulla dan bandul kalung (<em>kingplate</em>), sebuah tanda yang diberikan oleh para pemukim kulit putih kepada orang-orang Aborigin, bertuliskan “DIRT” (kotoran). Dia menjelaskan bahwa putih dipandang sebagai kemurnian, sedangkan hitam dipandang sebagai kotoran, dan tugas para kolonialis adalah menghapuskannya dari muka bumi. Iklan itu menunjukkan bahwa sabun imperial memiliki kekuatan untuk melenyapkan kepribumian.</p>
<p>Ini sejalan dengan kebijakan-kebijakan yang dengan jelas ditujukan untuk melenyapkan “orang asli”. Di Australia politik asimilasi didasarkan pada fantasi ilmiah yang sepenuhnya menyesatkan tentang “asimilasi biologis”, bahwa kulit gelap dan ciri-ciri masyarakat adat bisa dilenyapkan melalui “<a href="http://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/10314610208596220">pembersihan kulit berwarna (<em>breeding out the colour</em>)</a>”. </p>
<hr>
<p><em><strong>Baca juga:</strong> <a href="https://theconversation.com/hugh-hefner-playboy-dan-menjadi-laki-laki-di-era-perang-dingin-85001">Hugh Hefner, ‘Playboy'dan menjadi laki-laki di era Perang Dingin</a></em></p>
<hr>
<p>Di New South Wales, anak-anak perempuan “campuran” diambil dari keluarga mereka dan ditempatkan sebagai pembantu rumah tangga di rumah-rumah orang kulit putih, di mana diasumsikan laki-laki kulit putih “kelas rendah” akan menikahi mereka. Mereka pun sering kali rentan terhadap kekerasan seksual. Setiap anak yang dihasilkan, bagaimanapun repoduksinya, akan memiliki kulit lebih terang dengan sendirinya karena <a href="http://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/09612029300200035">agen pemutih</a> sperma laki-laki kulit putih.</p>
<p>Para ibu Aborigin dituduh tidak higienis dan sembrono. Sesungguhnya, mereka berjuang keras mengatasi kekurangan yang sering tidak masuk akal untuk menjadikan anak-anak mereka sebersih mungkin dengan harapan polisi tidak punya cukup alasan untuk mengambil mereka.</p>
<h2>Kecantikan sejati?</h2>
<p>Kebersihan dan kesucian, putih dan kompetensi keibuan: inilah luka-luka yang ditaburi Dove dengan garam iklan buta sejarahnya. Iklan itu tanpa sengaja mengusik perlawanan dan ketahanan keluarga-keluarga Aborigin yang secara turun-temurun menghadapi fragmentasi, administrasi drakonian dan pengawasan tidak mengenakkan oleh para petugas negara. Rabun dekatnya yang menyiratkan karakterisasi kecantikan sebagai buah dari penyingkiran yang hitam sungguh sulit dipahami.</p>
<p>Pada tahun 2004, Dove memulai sebuah kampanye bagi “<a href="http://www.dove.com/au/stories/campaigns.html">Real Beauty</a>”. Ia <a href="https://www.unilever.co.uk/brands/our-brands/dove.html">menyatakan diri</a> sebagai “agen perubahan untuk mendidik dan menginspirasi pada gadis tentang definisi lebih luas kecantikan dan membuat mereka merasa lebih percaya diri”. Film-film pendek online Dove tentang standar kecantikan—termasuk <a href="https://www.youtube.com/watch?v=nTZqHkEwfng">Daughters</a>, <a href="https://www.youtube.com/watch?v=9zKfF40jeCA">Onslaught</a>, <a href="https://www.youtube.com/watch?v=bjArfCjNuc8">Amy</a> dan <a href="https://www.youtube.com/watch?v=iYhCn0jf46U">Evolution</a>—mendapat anugerah-anugerah penghargaan periklanan internasional.</p>
<p>Tetapi Dove juga ikut bersama Unilever dalam <a href="https://www.fairandlovely.in/">Fair and Lovely</a>, sebuah produk dan merek pemutih kulit yang dikembangkan di India pada tahun 1975. Perusahaan sepupu Dove ini mengklaim agen pemutihnya sebagai “krim pemutih” No. 1 dan ampuh untuk mengaktifkan “sistem vitamin Fair and Lovely yang membuat bersinar kulit berwarna sekalipun”. Produk ini <a href="https://www.unilever-ewa.com/brands/our-brands/fair-and-lovely.html">dijual di lebih dari 40 negara</a>.</p>
<p>Produk-produk pemutih kulit (ada juga <a href="http://www.fairandhandsome.net/">Fair and Handsome</a> untuk pria, tidak ada hubungannya dengan Unilever) populer di Asia, di mana lebih dari 60 perusahaan bersaing di <a href="https://www.pri.org/stories/2009-03-30/skin-whitening-big-business-asia">pasar yang bernilai sekitar AS$18 miliar</a>. Produk-produk tersebut mengukuhkan hierarki sosial di sekitar kasta dan etnis. Sejak tahun 1920-an politik rasial <a href="https://books.google.com.au/books?id=BxQxkiBqXrsC&pg=PA49&lpg=PA49&dq=modern+girl+around+the+world+skin+lighteners&source=bl&ots=NQEiF8I4vz&sig=Xn_7y8mX24xf7KyexWjv6_O3E5Q&hl=en&sa=X&ei=ie24VM3yEIWi8QWnsIKoDQ&ved=0CDMQ6AEwAg#v=onepage&q=skin%20lighteners&f=false">pemutih kulit</a> sudah menyebar ke seluruh dunia ketika kapitalisme konsumen menjamah Cina, India, dan Afrika Selatan.</p>
<p>Dove menanggapi iklan kontroversialnya dengan mengatakan bahwa “keragaman kecantikan sejati… adalah inti keyakinan kami”. Tetapi “inti” tampaknya cuma sebatas kulit ketika ia gagal menembus pori-pori perusahaan induk dan anak-anak perusahaannya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/85581/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Liz Conor menerima dana dari Australia Research Council. </span></em></p>Iklan Dove mengundang kontroversi karena menampilkan wanita kulit hitam berubah putih setelah menggunakan produk Dove. Produk pemutih kulit punya sejarah yang rasis.Liz Conor, ARC Future Fellow, La Trobe UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.