tag:theconversation.com,2011:/us/topics/selfie-50919/articlesSelfie – The Conversation2019-02-22T06:00:31Ztag:theconversation.com,2011:article/1116182019-02-22T06:00:31Z2019-02-22T06:00:31ZObsesi mengambil foto dapat pengaruhi ingatan kita soal masa lalu<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/258705/original/file-20190213-181599-54rwj4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C1000%2C667&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/group-traditional-puppet-performers-take-selfies-1287358006?src=ryXtNLEDCTG15H0sDlKrDA-1-80">shutterstock.com</a></span></figcaption></figure><p>Saya baru-baru ini mengunjungi Museum <a href="http://hermitage--www.hermitagemuseum.org/wps/portal/hermitage/?lng=sv">Hermitage</a> di Saint Petersburg, Rusia–salah satu museum seni terbaik di dunia. Saya menantikan saat untuk menikmati karya-karya indah di sana dengan tenang, tetapi pandangan saya terhalang oleh ponsel-ponsel pintar yang mengambil foto lukisan-lukisan tersebut. Dan ketika saya menemukan ruang yang kosong, saya menemukan ada orang yang mengambil swafoto untuk mengabadikan kunjungan mereka.</p>
<p>Bagi sebagian orang, mengambil ratusan, atau bahkan ribuan foto telah menjadi bagian penting dari liburan–mendokumentasikan setiap detail dan menaruhnya di media sosial. Tetapi bagaimana hal tersebut mempengaruhi ingatan kita yang sebenarnya tentang masa lalu–dan bagaimana kita memandang diri kita sendiri? Sebagai ahli memori, saya penasaran.</p>
<p>Sayangnya, sejauh ini penelitian psikologis tentang topik ini masih sedikit. Tapi kami tahu beberapa hal. Kita menggunakan ponsel pintar dan teknologi sebagai <a href="http://studie-life.de/en/life-reports/smart-payments;%20https://www.researchgate.net/profile/Tim_Fawns/publication/275331048_Blended_Memory_the_Changing_Balance_of_Technologically-mediated_Semantic_and_Episodic_Memory/links/56962c6d08ae820ff07594ee.pdf">alat penyimpan</a> memori. Ini bukan merupakan hal yang baru–manusia selalu menggunakan perangkat eksternal untuk membantu mereka dalam mengingat atau mempelajari sesuatu. </p>
<p>Menulis tentu saja merupakan salah satu contohnya. Catatan sejarah merupakan sebuah kombinasi ingatan eksternal kolektif. Kesaksian tentang migrasi, penyelesaian konflik, atau pertempuran membantu negara melacak garis keturunan, masa lalu, dan identitas. Dalam kehidupan seorang individu, buku harian memiliki fungsi yang serupa.</p>
<h2>Efek memori</h2>
<p>Saat ini kita cenderung memasukkan sedikit memori ke otak kita–kita mempercayakan sejumlah besar memori tersebut ke teknologi <em>cloud</em>. Bukan saja hampir tidak pernah terdengar kita membaca puisi di luar kepala, peristiwa paling pribadi pun umumnya direkam melalui ponsel kita. Daripada mengingat apa yang kita makan di pernikahan seseorang, kita memilih melihat folder foto di ponsel kita untuk melihat semua gambar yang kita ambil.</p>
<p>Hal ini memiliki konsekuensi yang serius. Memotret suatu peristiwa dan bukannya tenggelam di dalamnya telah terbukti menyebabkan <a href="https://theconversation.com/memory-loss-isnt-just-an-old-persons-problem-heres-how-young-people-can-stay-mentally-fit-102352">ingatan yang lebih buruk tentang sebuah peristiwa yang terjadi</a>. Hal ini karena aktivitas memotret ini akan mendistraksi proses mengingat yang kita lakukan. </p>
<p>Mengandalkan foto dalam mengingat sesuatu juga memiliki efek yang serupa. Memori perlu digunakan secara teratur agar dapat berfungsi dengan baik. Ada banyak studi yang mendokumentasikan pentingnya praktik pengambilan ingatan–<a href="http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.738.2035&rep=rep1&type=pdf">misalnya pada mahasiswa</a>. Memori adalah dan akan tetap menjadi unsur yang esensial dalam pembelajaran. Memang ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa memasukkan hampir semua pengetahuan dan ingatan ke <em>cloud</em> <a href="https://www.journals.uchicago.edu/doi/10.1086/691462">dapat menghambat kemampuan untuk mengingat</a>.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/252251/original/file-20190102-32127-tpgowp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/252251/original/file-20190102-32127-tpgowp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/252251/original/file-20190102-32127-tpgowp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/252251/original/file-20190102-32127-tpgowp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/252251/original/file-20190102-32127-tpgowp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/252251/original/file-20190102-32127-tpgowp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/252251/original/file-20190102-32127-tpgowp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Mana senyumnya?.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/sv/image-photo/girls-smartphone-use-modern-technology-lets-1255804981?src=u8Oz64bxSFwEIH_rcDamEQ-2-39">Just dance/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Namun, ada juga sisi terang dari kegiatan memotret untuk mengingat sesuatu. Sekalipun beberapa penelitian mengklaim bahwa tindakan tersebut membuat kita lebih bodoh, yang terjadi sebenarnya adalah kita mengalihkan keterampilan kita dari sekadar mengingat menjadi mampu mengingat dengan lebih efisien. Ini disebut kemampuan metakognisi, dan ini adalah keterampilan yang menyeluruh dan penting bagi siswa–misalnya ketika merencanakan apa dan bagaimana cara belajar. Ada juga bukti yang penting dan dapat diandalkan bahwa ingatan eksternal, termasuk juga swafoto, <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23957379">dapat membantu individu dengan gangguan memori</a>.</p>
<p>Namun, walaupun foto dalam beberapa kasus dapat membantu orang untuk mengingat, kualitas dari ingatan tersebut mungkin terbatas. Kita mungkin ingat sesuatu yang terlihat lebih jelas, tetapi ini bisa mengorbankan jenis informasi lainnya. Satu penelitian menunjukkan bahwa walaupun foto dapat membantu orang mengingat apa yang mereka lihat selama beberapa acara, foto <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0956797617694868">mengurangi ingatan mereka berdasarkan apa yang diambil oleh kamera</a>.</p>
<h2>Distorsi identitas?</h2>
<p>Ada beberapa risiko yang cukup besar dalam kaitannya dengan memori yang personal. Identitas kita merupakan produk dari pengalaman hidup kita, yang dapat dengan mudah diakses melalui ingatan kita tentang masa lalu. Jadi, apakah dokumentasi foto pengalaman hidup yang terus-menerus merubah cara kita memandang diri kita sendiri? Belum ada bukti empiris yang substansial tentang ini, tetapi saya berspekulasi bahwa itu benar.</p>
<p>Terlalu banyak gambar cenderung membuat kita mengingat masa lalu dengan cara tertentu yang tidak dapat berubah. Hal ini memblokir ingatan lainnya. Walaupun <a href="https://theconversation.com/what-is-your-first-memory-and-did-it-ever-really-happen-95953">tidak jarang ingatan kita pada masa kanak-kanak</a> berdasarkan pada foto dibandingkan kejadian yang sebenarnya, ingatan-ingatan ini tidak selalu merupakan ingatan yang benar.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/252252/original/file-20190102-32121-95q417.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/252252/original/file-20190102-32121-95q417.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/252252/original/file-20190102-32121-95q417.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/252252/original/file-20190102-32121-95q417.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/252252/original/file-20190102-32121-95q417.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/252252/original/file-20190102-32121-95q417.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/252252/original/file-20190102-32121-95q417.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Mari ambil beberapa swafoto.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/sv/image-photo/fars-province-shiraz-iran-19-april-725612635?src=LY7lAPEnUvo9WI3XaavUKA-1-67">Grigvovan/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Masalah lainnya adalah penelitian yang menemukan <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0747563216302503;%20http://www.vulture.com/2014/01/history-of-the-selfie.html">kurangnya spontanitas dalam swafoto</a> dan banyak foto lainnya. Mereka direncanakan, pose-pose itu tidak alami dan terkadang citra orang-orang yang berada dalam foto tersebut terdistorsi. Mereka juga mencerminkan kecenderungan narsisistik–senyuman lebar yang palsu, muka sensual, wajah lucu atau bahkan pose-pose yang tidak etis. </p>
<p>Hal penting lainnya, swafoto dan banyak foto lainnya juga merupakan <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5318447/">sebuah cara untuk tampil di publik</a> yang menunjukkan sikap, niat, dan perspektif tertentu. Dengan kata lain, mereka tidak benar-benar mencerminkan siapa kita, melainkan apa yang ingin kita perlihatkan kepada orang lain tentang diri kita saat ini. Jika kita sangat bergantung pada foto dalam mengingat masa lalu kita, kita dapat menciptakan identitas diri yang terdistorsi gambaran yang ingin kita tunjukkan kepada orang lain.</p>
<p>Namun, ingatan alami kita juga sebenarnya tidak sepenuhnya akurat. Penelitian menunjukkan bahwa kita sering <a href="https://theconversation.com/the-real-you-is-a-myth-we-constantly-create-false-memories-to-achieve-the-identity-we-want-103253">membuat ingatan palsu tentang masa lalu</a>. Kita melakukan ini untuk menjaga identitas yang kita inginkan dari waktu ke waktu–dan menghindari narasi tentang diri kita yang bertentangan dengan identitas yang kita inginkan tersebut. Jadi, jika Anda selalu bersikap lembut dan baik hati–tetapi melalui beberapa pengalaman hidup yang signifikan Anda memutuskan untuk menjadi tangguh–Anda dapat saja menggali kenangan saat anda berlaku agresif di masa lalu atau bahkan sepenuhnya membuatnya agar tampak seperti itu.</p>
<p>Oleh karena itu, memori harian yang berdasar foto-foto di ponsel tentang bagaimana kita di masa lalu mungkin membuat memori kita kurang bisa beradaptasi dengan perubahan yang disebabkan oleh pengalaman-pengalaman baru dalam hidup. Ini membuat identitas kita lebih stabil dan tidak berubah-ubah.</p>
<p>Tetapi ini dapat menciptakan masalah jika identitas kita saat ini menjadi berbeda dari identitas kita yang ajeg di masa lalu. Hal tersebut merupakan sebuah pengalaman yang tidak nyaman dan fungsi memori “normal” membantu kita menghindari ini. Memori kita dapat berubah-burah sehingga kita bisa membuat narasi tidak kontradiktif tentang diri kita sendiri. Kebanyakan diri kita ingin percaya bahwa kita punya “inti” diri yang tidak berubah-ubah. Jika kita merasa tidak mampu mengubah cara kita memandang diri kita sendiri dari waktu ke waktu, ini dapat secara serius mempengaruhi kesehatan mental kita.</p>
<p>Jadi obsesi kita dalam mengambil foto dapat menyebabkan hilangnya memori dan masalah identitas yang tidak nyaman.</p>
<p>Sangat menarik untuk berpikir tentang bagaimana teknologi mengubah cara kita berperilaku dan berfungsi. Sepanjang kita sadar akan risikonya, kita mungkin bisa mengurangi dampak berbahayanya. Kemungkinan yang benar-benar membuat saya bergidik ketakutan adalah kita dapat saja kehilangan semua foto-foto berharga karena ponsel pintar kita rusak .</p>
<p>Jadi lain kali Anda berada di museum, luangkan waktu sejenak untuk melihat dan merasakan semuanya. Jaga-jaga kalau foto-foto itu hilang.</p>
<p><em>Ariza Muthia menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/111618/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Giuliana Mazzoni menerima dana dari Leverhulme Trust Foundation
</span></em></p>Memori adalah bagian penting pembentukan identitas kita dan kita semakin mempercayakan hal pada teknologi. Apa konsekuensinya?Giuliana Mazzoni, Professor of Psychology, University of HullLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1097162019-01-11T09:21:04Z2019-01-11T09:21:04ZSuka ambil ‘selfie’ di lokasi bencana pertanda gangguan kejiwaan<p>Beberapa waktu yang lalu, sebuah <em>selfie</em> (swafoto) yang <a href="https://www.theguardian.com/world/2018/dec/26/destruction-gets-more-likes-indonesias-tsunami-selfie-seekers?fbclid=IwAR00fgVOgPLsoGMqAwR0E7WdUCdp7si6JBR1KODWGge_I4bfq3-40e-xrKw">menunjukkan sekelompok perempuan</a> berpose di depan lokasi bencana tsunami yang terjadi di pesisir Selat Sunda menjadi viral di media sosial. </p>
<p>Foto yang beredar di media sosial tersebut menimbulkan perdebatan apakah pantas mengambil <em>selfie</em> di daerah bencana. Beberapa pakar media sosial mengatakan sikap ini dapat diterima, dengan mengatakan bahwa praktik seperti itu normal di era media sosial. Namun saya tidak setuju. Mengambil <em>selfie</em> di lokasi bencana adalah perilaku yang tidak dapat dibenarkan karena di samping membahayakan, perilaku tersebut menunjukkan gangguan mental.</p>
<h2>Fenomena mendunia</h2>
<p>Anehnya, fenomena mengambil <em>selfie</em> di lokasi bencana begitu merajalela di Indonesia. <a href="https://www.merdeka.com/teknologi/terlalu-pesawat-hercules-jatuh-warga-justru-asyik-selfie.html">Sekelompok orang berpose</a> di depan bangkai pesawat yang jatuh di Medan, Sumatra Utara pada Juli 2015. </p>
<p>Kemudian, ketika segerombolan orang mengunjungi lokasi penyerangan teroris di Kampung Melayu, Jakarta Timur pada pertengahan 2017, mereka lalu <a href="http://poskotanews.com/2017/05/25/terobos-lokasi-bom-kampung-melayu-bapak-anak-dianggap-mau-piknik/">mengambil telepon seluler (ponsel) mereka dan memotret tempat kejadian perkara</a>.</p>
<p>Tidak hanya di Indonesia, fenomena <em>selfie</em> semacam itu ternyata populer dan juga kontroversial di negara lain. <a href="https://www.msn.com/en-gb/news/uknews/labour-candidate-amran-hussain-defends-selfie-stick-picture-on-beach-where-tunisian-massacre/ar-AAch5ZX?ocid=UP97DHP">Seorang konsultan kesehatan</a> diprotes karena menggunakan tongkat <em>selfie</em> saat mengambil foto dengan teman-temannya di sebuah pantai di Tunisia, di mana 38 orang terbunuh oleh seorang penembak yang diduga memiliki hubungan dengan IS. </p>
<p>Di Nepal, sekelompok orang diberitakan <a href="https://www.dailymail.co.uk/indiahome/indianews/article-3064702/Disaster-selfies-tourists-turned-reliefworkers-saviours-sky-Stories-heroism-tragedy-aftermath-Nepal-s-killer-earthquake.html">mengambil <em>selfie</em> di depan reruntuhan</a> Menara Dhahara yang rusak karena gempa tahun 2015. </p>
<h2>Mengapa sebaiknya kita tidak mengambil <em>selfie</em> di lokasi bencana</h2>
<p>Mengambil <em>selfie</em> setelah bencana yang mengerikan telah menjadi kebiasaan dalam kehidupan kita sehari-hari. Praktik tersebut sama saja dengan perilaku orang yang bergerombol untuk menonton kecelakaan di jalanan.</p>
<p>Ahli media Yasmin Ibrahim dari Queen Mary University di Inggris menulis <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/14682753.2015.1116755?journalCode=rjmp20">sebuah artikel yang menarik</a> terkait topik ini. Dia menyebut fenomena ini sebagai “<em>selfie</em> bencana” atau “pornografi bencana” dan mendefinisikannya sebagai “perilaku ganjil yang dimotivasi oleh keinginan mencapai kepuasan diri sendiri, dengan situasi pasca bencana sebagai latar belakang”.</p>
<p>Seorang psikoanalis terkemuka, Carl Jung, berpendapat bahwa secara alamiah, manusia senang melihat orang lain menderita, karena hal tersebut menghibur diri kita, namun kita tidak secara langsung terkena dampaknya. Dengan melihat penderitaan orang lain, kita diberi kesempatan untuk menghakimi dan menertawakan orang lain, sementara kita terbebaskan dari merasakan penderitaan. Carl Jung menciptakan sebuah istilah yang dikenal sebagai <a href="https://www.salon.com/2012/02/18/the_science_of_rubbernecking/"><em>corpse preoccupation</em></a> untuk merujuk pada keinginan seseorang untuk menyaksikan hal-hal yang aneh dan mengerikan. </p>
<p>Jung percaya bahwa di dalam setiap manusia, ada yang disebut sebagai bayangan (<em>shadow</em>) yang mewakili sisi manusia yang paling gelap. Dia berpendapat bahwa semakin kita menekan bayangan tersebut, semakin kuat bayangan tersebut dalam mempengaruhi perilaku kita. Itulah sebabnya sulit bagi kita untuk menghindari godaan untuk tidak melihat penderitaan orang lain. Melihat kesengsaraan orang lain menjadi sulit untuk ditolak, karena tindakan tersebut memenuhi kepuasan diri untuk membiarkan si bayangan berkuasa, tanpa kita perlu melakukan kejahatan apa pun.</p>
<p>Saat kita melihat kesengsaraan orang lain, seorang filsuf terkenal dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyakarya <a href="https://www.goodreads.com/book/show/4939392-memahami-negativitas">Frankie Budi Hardiman</a> mengatakan bahwa tindakan tersebut juga mengindikasikan bahwa kita sedang mencari informasi. Tindakan ini didorong oleh “keinginan tak penting untuk tahu” dan keinginan tersebut bersifat asing, menghakimi, egosentris dan eksploitatif. Seorang pelaku menggunakan korban sebagai objek yang menghibur untuk memenuhi keinginan mereka. Dalam kasus ini, melihat artinya tidak melakukan apa-apa atau bahkan sebuah tanda penolakan untuk turun campur. Tindakan ini dilakukan bukan untuk menolong ataupun memahami korban. </p>
<p>Sebenarnya menakutkan ketika kita menyadari bahwa kebiasaan melihat penderitaan orang lain begitu mengakar di masyarakat kita. Hal tersebut juga menyiratkan bahwa kesedihan orang lain dianggap sebagai komoditas yang menghibur. Praktik melihat penderitaan orang lain tanpa melakukan apa-apa pada akhirnya akan menjadi parah ketika kemudian orang-orang yang melihat itu mengambil <em>selfie</em> untuk mendokumentasikan kesengsaraan orang lain dan mendistribusikannya di media sosial.</p>
<p>Tindakan tersebut merupakan pertanda sebuah masalah moral yang serius, karena praktik mengambil <em>selfie</em> di lokasi bencana lebih jahat daripada menjadi pengamat saja. Kebiasaan tersebut merupakan gejala patologi sosial, yaitu hilangnya rasa empati.</p>
<h2>Masalah keselamatan</h2>
<p>Orang lain bisa berpendapat bahwa <a href="https://www.thejakartapost.com/life/2018/12/28/its-normal-to-take-a-selfie-in-disaster-stricken-areas-social-media-observer.html">mengambil <em>selfie</em></a> pada lokasi bencana adalah hal yang bisa diterima. Mereka bisa berargumen bahwa foto-foto tersebut dibutuhkan sebagai bukti bahwa pembagian bantuan benar-benar dilaksanakan. Saya bisa menerima alasan tersebut asal tindakan tersebut tidak dilakukan untuk kepentingan pribadi, seperti misalnya meningkatkan popularitas di media sosial. </p>
<p>Namun, terlepas dari masalah kesehatan mental, mengambil <em>selfie</em> di lokasi bencana juga berbahaya dan bisa mengancam jiwa. </p>
<p>Misalnya sewaktu proses evakuasi saat terjadi kebakaran hutan, orang-orang yang penasaran yang ingin mengambil <em>selfie</em> dapat membahayakan keselamatan mereka. Tindakan mereka juga dapat menghambat proses evakuasi.</p>
<h2>Fokus pada korban</h2>
<p>Salah satu solusi untuk mengendalikan kebiasaan ambil <em>selfie</em> di lokasi bencana adalah dengan mencoba menempatkan diri kita pada posisi korban. Apakah Anda suka jika ada orang asing berpose untuk sebuah foto sementara Anda menderita? Saya yakin tidak ada manusia yang ingin diperlakukan seperti itu. </p>
<p>Secara psikologis, para korban akan menderita dua kali karena tidak mendapatkan bantuan yang diperlukan dan juga tanpa sengaja dibuat menjadi bagian dari ‘semacam pertunjukan.’</p>
<p>Kita harus berempati dengan para korban dan mempertimbangkan apa yang mereka alami. Saya mengerti bahwa teknologi informasi telah mengubah cara kita untuk mendapatkan informasi. Tetapi jika kita tahu bahwa kita tidak dapat melakukan apa pun untuk membantu korban, setidaknya tolong kurangi beban mereka dengan tidak menjadikan mereka objek demi memuaskan keingintahuan kita.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/109716/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Rizqy Amelia Zein tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Mengambil selfie di lokasi bencana adalah perilaku yang tidak dapat dibenarkan karena di samping membahayakan , perilaku tersebut menunjukkan gangguan mental.Rizqy Amelia Zein, Assistant Lecturer in Social and Personality Psychology, Universitas AirlanggaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/928392018-03-12T10:09:43Z2018-03-12T10:09:43Z‘Cheerleader effect’ itu benar adanya, dan Anda bisa manfaatkan di Facebook<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/209811/original/file-20180311-30983-eg54c0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Kebenaran yang pahit: Anda mungkin terlihat lebih menarik dalam kelompok daripada Anda sendiri.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/download/success?src=PoDVrdP_5pkM6fvHpCrp-Q-1-1">Rawpixel.com/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Saat hendak menampilkan diri secara online—misalnya foto profil Anda di Facebook atau bahkan Tinder—jenis foto mana yang Anda pilih? Selfie yang dijepret setelah menimbang dengan cermat pencahayaan, tata rambut, dan bahkan rias wajah? (Tentu, Anda tampak mengesankan!) Atau foto kelompok bersama teman-teman, mungkin kurang bergaya, tapi menangkap sebuah momen bersama teman-teman Anda?</p>
<p>Boleh jadi mengejutkan, ternyata foto kelompoklah yang membuat Anda tampak lebih memikat—inilah fenomena yang dikenal sebagai “<em>cheerleader effect</em>” (efek pemandu sorak). </p>
<p><em>Cheerleader effect</em> itu nyata, tapi mungkin bukan karena alasan yang Anda sangka. Jepretan kelompok bersama teman-teman mungkin memang memperlihatkan Anda lebih luwes bergaul dan bersahabat, tapi bukan itu yang menjadikan Anda lebih menarik. </p>
<p>Penjelasan yang sesungguhnya berakar pada bagaimana otak manusia mencerna informasi. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/women-troll-on-dating-apps-just-as-often-as-men-72736">Women troll on dating apps just as often as men</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Give me an E! For evidence</h2>
<p>Mula-mula dipopulerkan oleh serial televisi <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/How_I_Met_Your_Mother">How I Met Your Mother</a>, karakter Barney Stinson menggunakan istilah <em>cheerleader effect</em> untuk <a href="https://www.youtube.com/watch?v=qDzkMXpDZfc">menggambarkan seorang perempuan</a> yang molek ketika berada dalam sebuah kelompok, tapi tidak dia ketika sendirian. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/208237/original/file-20180228-36689-qq09f5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/208237/original/file-20180228-36689-qq09f5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=398&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/208237/original/file-20180228-36689-qq09f5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=398&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/208237/original/file-20180228-36689-qq09f5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=398&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/208237/original/file-20180228-36689-qq09f5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=501&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/208237/original/file-20180228-36689-qq09f5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=501&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/208237/original/file-20180228-36689-qq09f5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=501&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Para pemandu sorak senang bersantai menghabiskan waktu bersama-sama.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.flickr.com/photos/dwilliss/7915861296/in/photolist-d4uRMb-5ZTMxJ-anVqfM-X91xcM-X5tks5-22g1a-EbYcEx-dAN7dJ-Mso43-2j37wt-yok4Ce-dAN7bw-5g7bwG-6Q8Jxx-dwRzZT-7pSRYs-6hNWoA-8J26hh-7pSTqq-qTihok-9Za2GS-7pNUSi-agkJJb-7pNSJP-8AUiw7-r89Nnm-cUWRvy-7pNTYg-8LSrwk-b7bVHD-dwWPyY-7cgnLg-4YHDS8-WxvzMd-cJj9R-6swruZ-6i8QN1-dAGDaR-apZc7Z-22g3r-nueZKs-aq2Tby-8ATCr8-apZcbc-dsBn1H-eJ6q3c-uzEmx-8WVrg6-nueZso-6ie8a1">dwilliss/flickr</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Walau penafsirannya khas sitkom Amerika, komentar-komentar Barney didasarkan pada penelitian. </p>
<p>Pada 2003, bukti ilmiah bagi efek pemandu sorak <a href="http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0956797613497969">diterbitkan</a> dalam sebuah makalah yang didasarkan pada lima penelitian. Dalam lima penelitian itu laki-laki maupun perempuan dinilai lebih menarik ketika ditampilkan sebagai bagian dari sebuah foto kelompok dibandingkan dengan foto sendirian. Drew Walker dan Edward Vul, penulis makalah itu, menyodori 130 partisipan dengan foto-foto kelompok berisi wajah tiga perempuan atau tiga laki-laki. Masing-masing wajah kemudian di-<em>crop</em> dari foto dan ditampilkan sendiri-sendiri. </p>
<p>Para partisipan menilai daya tarik wajah yang ditampilkan dalam kelompok dan sendiri-sendiri. Berlaku untuk kedua jenis kelamin, peringkat daya tarik ternyata lebih tinggi ketika orang ditampilkan dalam kelompok dibandingkan sendiri-sendiri.</p>
<p>Meski begitu, tidak lantas berarti semakin besar kelompok akan semakin menarik Anda jadinya. Kedua peneliti itu mendapati bahwa ukuran kelompok, entah itu berisi 4, 9, atau 16 orang, tidak berpengaruh pada peringkat daya tarik. Pada dasarnya, sedikit teman adalah yang Anda butuhkan untuk memanfaatkan efek ini.</p>
<p>Yang terpenting, berbagai studi menunjukkan bahwa efek pemandu sorak bisa diandalkan. Studi-studi tambahan yang diterbitkan pada <a href="http://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0146167215572799">2015</a> dan satu yang baru terbit <a href="https://www.nature.com/articles/s41598-018-20784-5">bulan ini</a> terus mengukuhkan bahwa daya tarik kelompok jauh lebih tinggi dari daya tarik anggota kelompok secara perorangan. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/208225/original/file-20180228-36686-14znbzk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/208225/original/file-20180228-36686-14znbzk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=791&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/208225/original/file-20180228-36686-14znbzk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=791&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/208225/original/file-20180228-36686-14znbzk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=791&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/208225/original/file-20180228-36686-14znbzk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=994&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/208225/original/file-20180228-36686-14znbzk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=994&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/208225/original/file-20180228-36686-14znbzk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=994&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Berbagai studi yang mengeksplorasi efek pemandu sorak meminta para partisipan untuk menyusun peringkat daya tarik individu-individu yang berbeda secara sendiri-sendiri atau bersama orang lain.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.nature.com/articles/s41598-018-20784-5">Daniel J. Carragher, Blake J. Lawrence, Nicole A. Thomas & Michael E. R. Nicholls</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Give me a B! For brain</h2>
<p>Keampuhan efek pemandu sorak paling bagus dijelaskan dengan menilik bagaimana otak Anda bekerja, dan persepsi pemahaman. </p>
<p>Manusia cenderung tidak memproses setiap detail individual yang mereka tangkap dalam lingkungan mereka. Bukannya mencurahkan perhatian signifikan pada semua karakteristik individual, otak kita dengan cepat <a href="http://www.cell.com/trends/cognitive-sciences/fulltext/S1364-6613(11)00004-0">merangkum informasi sebagai sebuah kelompok</a>. Bukti bahkan menunjukkan bahwa otak kita mungkin <a href="https://www.scientificamerican.com/article/wired-for-categorization/">terhubung dengan kategorisasi semacam itu</a>. </p>
<p>Pengelompokan informasi perseptual memiliki <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC33948/">keunggulan evolusioner tersendiri</a>, meningkatkan daya tahan dengan <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3659333/">mengurangi beban perseptual</a> (beban menafsirkan sebuah objek dari informasi visual). </p>
<p>Efek perseptual ini diperlihatkan paling jelas dengan <a href="http://www.illusionsindex.org/ir/ebbinghaus-illusion">Ilusi Ebbinghaus</a>. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/208194/original/file-20180227-36671-qd7vfp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/208194/original/file-20180227-36671-qd7vfp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/208194/original/file-20180227-36671-qd7vfp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/208194/original/file-20180227-36671-qd7vfp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/208194/original/file-20180227-36671-qd7vfp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/208194/original/file-20180227-36671-qd7vfp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/208194/original/file-20180227-36671-qd7vfp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Ilusi Ebbinghaus: dua lingkaran biru ini ukurannya persis sama—namun, yang kanan terlihat lebih besar.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-vector/ebbinghaus-illusion-titchener-circles-optical-relative-456478144?src=ry6aGDt0zWYIkpPxPd7gqA-1-0">from www.shutterstock.com</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Dalam ilusi ini, lingkaran-lingkaran di dalam sama ukurannya, tapi informasi sekeliling (yaitu lingkaran-lingkaran yang mengitari) mengubah persepsi kita. Di sini, bukannya berfokus pada karakteristik-karakteristik individual lingkaran-lingkaran dalam, persepsi kita diubah oleh informasi kelompok. Inilah yang disebut <a href="http://cognitivepsychology.wikidot.com/cognition:topdown">pemrosesan dari atas ke bawah</a>, ketika seluruh unsur ditangkap sebelum karakteristik individual. Ini bertolak belakang dengan pemrosesan dari bawah ke atas, ketika terdapat gerak maju dari karakteristik individual ke keseluruhan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/three-visual-illusions-that-reveal-the-hidden-workings-of-the-brain-80875">Three visual illusions that reveal the hidden workings of the brain</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Karakteristik-karakteristik yang sama dalam ilusi ini meluas ke efek pemandu sorak. Dalam efek ini, bukannya memperhatikan karakteristik-karakteristik individual, kita berfokus pada kelompok secara keseluruhan.</p>
<p>Efek semacam itu bahkan bisa dipakai untuk menjelaskan bias-bias sosial. <a href="http://psycnet.apa.org/record/1997-97264-007">Kategorisasi sosial</a> adalah proses pengkategorian secara mental individu-individu ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan karakteristik-karakteristik seperti usia, jenis kelamin, dan etnis. Kategorisasi cepat informasi sosial ini <a href="https://www.verywellmind.com/what-is-prejudice-2795476">mendorong interaksi sosial yang cepat</a>—tapi membawa beberapa konsekuensi serius dan lebih luas. </p>
<h2>Give me a D! For dating</h2>
<p>Bukti menunjukkan bahwa menampilkan diri Anda dengan sebuah kelompok cenderung akan menjadikan rata-rata semua karakteristik individual yang “tidak menarik”. Nah, bagaimana Anda akan memanfaatkan informasi ini? </p>
<p>Oh, tentu Anda bisa menerapkan informasi ini ketika memilih foto profil. Mungkin Anda bertemu orang baru, dan bisa jadi dia sedikit mencari tahu tentang Anda di Facebook. Pilih foto profil Anda dan beberapa teman untuk mendatangkan daya tarik maksimum. Bonusnya—foto kelompok bisa juga menunjukkan bahwa <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0747563213000046">Anda pandai bergaul</a>.</p>
<p>Mungkin Anda akan datang ke pub untuk bertemu para lajang setempat? Jangan lupakan “sayap” laki-laki atau perempuan Anda (idealnya satu kelompok berisi empat orang!). </p>
<p>Dan jika Anda sedang berkencan online, bagaimana kalau menyertakan beberapa foto Anda bersama beberapa teman di profil Anda? Namun, jangan lupa melabeli Anda sendiri dalam foto agar orang yang tertarik dengan foto kelompok Anda tidak berlalu begitu saja karena tidak bisa mengenali Anda dalam foto itu. </p>
<h2>Give me a B! For Barney</h2>
<p>Anda boleh saja tidak setuju dengan semua yang dikatakan Barney Stinson, tapi mengenai efek pemandu sorak dia banyak benarnya. </p>
<p><img width="70%" src="https://media.giphy.com/media/vTxWtmX2b0oH6/giphy.gif"></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/92839/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Evita March tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Keampuhan efek pemandu sorak paling bagus dijelaskan dengan menilik bagaimana otak Anda bekerja. Manusia cenderung tidak memproses setiap detail individual yang mereka tangkap dalam lingkungan mereka.Evita March, Senior Lecturer in Psychology, Federation University AustraliaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.