Menu Close

Yang hilang dalam pembahasan RKUHP Indonesia

KUHP yang baru siapa disahkan tahun ini meskipun banyak kritik. www.shutterstock.com

Indonesia direncanakan akan memiliki Undang-Undang Hukum Pidana yang baru, menggantikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berusia 100 tahun.

Pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo telah menyusun rancangan terkini dalam upaya merevisi KUHP yang sudah berlangsung selama lebih dari 50 tahun.

Pihak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengutarakan ke publik pentingnya mengesahkan KUHP baru tahun ini sebelum Pemilihan Umum (Pemilu) karena pemerintahan baru yang terpilih nantinya belum tentu memiliki prioritas yang sama untuk membahas RKUHP dan prosesnya harus memulai dari awal lagi.

Keinginan para penyusun untuk mengesahkan RKUHP mencerminkan hasrat sebagian orang untuk memiliki KUHP buatan Indonesia, menggantikan versi lama yang merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda.

Namun, RKUHP yang sekarang masih menimbulkan kekhawatiran baik dari ahli hukum, para praktisi bidang lain dan juga kelompok masyarakat sipil karena adanya pasal-pasal yang mungkin akan memberi implikasi buruk bagi masyarakat. Kami menyerukan perlunya konsultasi publik yang lebih luas dan diskusi dengan para ahli yang tidak hanya dari sektor hukum tapi juga sektor lain yang berkaitan, seperti kesehatan, pendidikan dan sosial.

Apa yang hilang?

Hukum berdampak pada semua orang. Apa yang didefinisikan sebagai tindak kejahatan akan mempengaruhi kita semua, tak peduli usia, jenis kelamin, kemampuan, agama, etnis dan identitas sosial dan budaya lainnya. Jadi, pengesahan segala bentuk hukum, termasuk KUHP, perlu mempertimbangkan semua bukti yang ada untuk bisa memperhitungkan potensi risiko dan implikasinya, bukan hanya teori-teori hukum saja.

Kurangnya pertimbangan berbasis bukti dalam perumusan Undang-Undang akan menghasilkan produk hukum yang kemungkinan besar lebih banyak mudarat daripada manfaatnya. Dalam kaitannya dengan RKUHP, beberapa kekhawatiran yang ada termasuk:

Kriminalisasi pasangan di luar perkawinan sah

Setidaknya ada 40 sampai 50 juta orang yang menjadi bagian dari masyarakat adat. Di antara mereka terdapat para penghayat kepercayaan yang belum diakui oleh negara. Berbelitnya pengakuan legal atas kelompok-kelompok tersebut menyulitkan mereka untuk mencatatkan perkawinan mereka secara resmi.

Kelompok miskin juga menghadapi masalah yang sama karena hambatan biaya. Sebuah penelitian menemukan bahwa setidaknya lebih dari setengah pasangan yang hidup di rumah tangga miskin tidak memiliki bukti perkawinan. RKUHP ini dapat membuat jutaan orang dari kelompok miskin dan marjinal terancam dipidanakan karena tinggal bersama tanpa ikatan nikah.

Pada dasarnya, kriminalisasi orang tanpa akta

Dalam RKUHP ini terdapat ketentuan denda sampai Rp 10 juta bagi orang yang terlambat melaporkan kelahiran, kematian, pernikahan dan perceraian mereka. Atas dasar itu, RKUHP akan menghukum setidaknya 38% anak Indonesia atau sekitar 30 juta anak yang tidak memiliki akta kelahiran.

Pencatatan kematian di Indonesia hampir tidak berjalan. Sebuah penelitian di tiga Kabupaten menemukan bahwa 84% kematian terjadi di luar fasilitas kesehatan. Hal ini mempersulit terhubungnya peristiwa kematian dengan pencatatannya. Selain itu, penelitian yang sama juga menemukan hanya 2% dari pasangan bercerai yang memiliki akta cerai.

RKUHP jelas masih mengesampingkan fakta bahwa banyak penduduk Indonesia yang tidak memiliki akses mudah pada pencatatan sipil karena hambatan ekonomi, geografis, dan buruknya infrastruktur. Jatuhnya, RKUHP malah tidak efektif karena dengan ancaman sanksi yang berat orang akan semakin enggan untuk mendapatkan akta.

Menjadikan anak-anak, khususnya perempuan, korban

Selain orang dewasa, anak-anak juga dapat menjadi korban ketika orangtua mereka tidak bisa membuktikan sahnya hubungan mereka. Begitu RKUHP yang sekarang disahkan, ia akan berpotensi memisahkan jutaan anak-anak dari orangtua mereka yang dikriminalisasi, berakibat pada ketelantaran dan munculnya lingkaran kemiskinan baru.

Segala bentuk kriminalisasi terhadap perilaku seksual di luar pernikahan memiliki banyak dampak yang tidak diinginkan. Salah satunya adalah meningkatnya perkawinan anak karena pernikahan akan terlihat sebagai pilihan rasional untuk menghindari hukuman pidana. Dalam sistem yang demikian, insentif bagi orangtua untuk segera menikahkan anaknya menjadi semakin besar.

Perkawinan anak berisiko lebih besar buat anak perempuan dibanding anak laki-laki. Perkawinan anak juga mengancam pencapaian program dan target pemerintah. Saat ini, 25% anak-anak perempuan Indonesia menikah sebelum mereka berumur 18 tahun. Anak-anak perempuan ini akan meninggalkan bangku sekolah karena data menunjukkan bahwa 85% dari anak-anak perempuan yang menikah putus sekolah. Hal ini mengancam program wajib belajar nasional. Anak-anak perempuan yang menikah sebelum berusia 18 tahun juga memiliki kemungkinan enam kali lebih kecil untuk menyelesaikan pendidikan menengah mereka.

Target nasional untuk mengurangi angka kematian ibu dan bayi akan terganggu seiring banyaknya anak perempuan yang menikah di usia anak dan hamil pada usia yang terlalu muda. Ada juga bukti yang menunjukkan bahwa kehamilan pada usia dini akan meningkatkan risiko stunting (pertumbuhan terhambat) pada anaknya.

Kriminalisasi terhadap perilaku seks di luar pernikahan akan membuat anak-anak perempuan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan takut untuk mencari layanan kesehatan reproduksi yang aman yang berarti akan mengancam jiwa mereka.

Anak-anak yang sudah puber dan muncul keingintahuan seksualnya akan sulit mengakses pendidikan seks yang tepat dengan adanya ancaman pidana. Sebagai contoh, RKUHP yang membatasi metode dan kategori orang yang dianggap legal menyebarkan informasi tentang alat kontrasepsi akan menghambat pemerintah dalam upaya penjangkauan dan pencegahan perilaku seksual berisiko di antara kaum muda.

Kejelasan akan hukum yang hidup di masyarakat

Dalam RKUHP ini, pemerintah daerah nantinya dapat mengatur hal-hal yang terkait pidana berdasar pada hukum yang berlaku di masyarakat. Hal ini perlu diklarifikasi terkait standar hukum dan juga sistem pengawasan serta penegakan hukumnya. Tanpa adanya kejelasan, kelompok anak dapat jadi salah satu yang berisiko terkena dampaknya.

Status saat ini dan apa selanjutnya?

Dengan naskah yang sekarang, RKUHP masih mencerminkan upaya penyingkiran lewat proses kriminalisasi. Seperti dijelaskan di atas, RKUHP mendiskriminasi anak-anak, perempuan, kelompok miskin dan marjinal. Memaksa untuk mengesahkan RKUHP tahun ini jelas mengabaikan berbagai bukti dan fakta, dan tentunya, rasa keadilan.

Ambisi untuk mengesahkan RKUHP tahun ini juga menaksir terlalu tinggi kemampuan pemerintah untuk mengeluarkan berbagai peraturan pelaksananya dalam waktu dua atau tiga tahun. Sebagai contoh, pemerintah belum merampungkan penyusunan semua peraturan terkait Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak tahun 2012 hampir enam tahun setelah pengesahannya.

Begitu RKUHP disahkan nantinya, kita hanya punya beberapa tahun sebelum negara melaksanakan Undang-Undang tersebut sepenuhnya. Melalui amatan cepat terhadap isi RKUHP, kami menduga kebutuhan biaya penegakannya akan meningkat dua kali lipat, bahkan bisa lebih. Sementara sistem penegakan hukum Indonesia masih kekurangan sumber daya anggaran dan manusia. Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan kita juga sudah terlalu penuh. Pelaksanaan RKUHP ini nantinya akan memaksa pemerintah untuk mengalokasikan sumber daya dari sektor lain. Untuk itu, penting untuk mengungkapkan pada publik berapa estimasi anggaran yang dibutuhkan untuk pelaksaanan RKUHP ini dan mendiskusikannya dengan kementrian terkait.

Jika pemerintahan sekarang berniat untuk mewariskan KUHP dengan cita rasa Indonesia, sayang sekali jika warisan tersebut dinodai oleh produk yang memberi lebih banyak mudarat daripada manfaat akibat abai pada fakta dan bukti-bukti dalam proses perumusannya.

Artikel ini diadopsi dari artikel asli yang diterbitkan sebelumnya di www.puskapa.org

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now