Menu Close

3 hal yang perlu diperhatikan dalam pembangunan Taman Nasional Komodo

ANTARA/Widodo S. Jusuf/ss/nz/10

Akhir Oktober, foto komodo (Varanus komodoensis) “menghadang” truk menyebar di media sosial dan memicu perdebatan publik terkait pembangunan Taman Nasional Komodo di Pulau Rinca, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa pembangunan di Taman Nasional Komodo merupakan bagian dari pengembangan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Super Prioritas Labuan Bajo, NTT.

Tahun 2019, Presiden Joko “Jokowi” Widodo melontarkan pernyataan bahwa Labuan Bajo, “pintu masuk Taman Nasional Komodo”, harus mendapatkan perlakuan sebagai “wisata super premium” atau eksklusif bagi kalangan menengah ke atas.

Unggahan foto milik akun gregoriusafioma mengundang perdebatan publik tentang pembangunan Taman Nasional Komodo di NTT.

Sebagai peneliti biologi konservasi, kami melihat viralnya foto komodo dan narasi yang muncul di berbagai media memperlihatkan beberapa hal yang luput dari perhatian dalam pengembangan kawasan wisata komodo.

Berikut hasil analisis kami.

Pengembangan wisata berasaskan kehati-hatian

Survei yang dilakukan pada periode 2003-2012 di Taman Nasional Komodo mengestimasi antara 923–1252 komodo di Pulau Komodo dan 1119–1493 komodo di Pulau Rinca pada tahun 2011-2012.

Sementara, pulau-pulau lebih kecil seperti Gili Motang dan Nusa Kode, dihuni oleh 12-80 dan 13-97 ekor komodo.

Belum ada kajian ilmiah yang dipublikasikan untuk periode yang lebih baru dan lingkup pulau yang lebih luas.

Saat ini, pembangunan dermaga yang sedang berlangsung di Loh Buaya (Pulau Rinca) menjadi awal mula protes para aktivis lingkungan karena dikhawatirkan akan mengganggu ekosistem Pulau Rinca.

Berkaca dari kasus pembangunan di Loh Buaya ini, kami melihat bahwa pengembangan kawasan konservasi komodo memerlukan data yang lengkap, keterlibatan semua pemangku kepentingan, dan komunikasi yang tepat sasaran.

1) Gunakan data yang lengkap

Sejauh ini, pemerintah berfokus pada data jumlah komodo.

Hal ini dapat dipahami karena komodo merupakan spesies ikon yang menjadi pusat perhatian dalam isu pembangunan di Loh Buaya.

Namun, pemerintah perlu mempertimbangkan dampak pembangunan terhadap spesies lain maupun ekosistem pulau, seperti kakatua jambul kuning (Cacatua sulphurea) yang juga menempati habitat yang sama dan terancam punah.

Selain data ekologi, data tentang kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat yang tinggal di dalam taman nasional juga harus diperhatikan. Perbedaan persepsi masyarakat di pulau yang berbeda terhadap upaya konservasi komodo, misalnya, menunjukkan setiap pulau memerlukan pendekatan berbeda.

2) Pelibatan masyarakat

Masyarakat menolak pembangunan di Taman Nasional Komodo karena merasa kesejahteraan mereka tidak turut terangkat.

Berdasarkan studi dari Universitas Negeri Malang pada tahun 2019, masyarakat setempat tidak turut terlibat dalam pengelolaan aktivitas wisata di Pulau Komodo dan Pulau Rinca.

Kurangnya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan dan aktivitas wisata dapat membatasi manfaat ekonomi yang diterima masyarakat dan membuat upaya konservasi kurang efektif.

Apabila tersedia data yang lengkap seputar pihak terdampak, maka pemerintah bisa melibatkan seluruh pemangku kepentingan tanpa terkecuali sejak tahap perencanaan.

Dengan demikian, kebutuhan setiap pihak dapat diakomodasi dengan fokus utama konservasi alam di kawasan wisata komodo.

3) Komunikasi yang efektif

Meskipun pemerintah mengklaim telah memperhatikan kaidah konservasi dan melibatkan masyarakat, kedua hal ini perlu mereka paparkan kepada publik dan pemangku kebijakan dengan efektif sejak perencanaan pembangunan.

Masyarakat, saat ini, lebih peduli dan sadar dengan berbagai isu lingkungan, terutama berkaitan dengan identitas nasional seperti komodo.

Hal ini tampak dari peta narasi media sosial yang dicuitkan Drone Emprit di Twitter pada 27 Oktober 2020.

Sehingga, pemerintah perlu mengkomunikasikan kepada publik kajian lingkungan yang mereka klaim telah dilakukan.

Ini diperlukan agar masyarakat mengetahui konsep dan data apa saja yang digunakan sebagai pertimbangan pembangunan.

Hal ini akan meningkatkan kepercayaan masyarakat dan mengurangi penolakan.

Komodo di Loh Buaya, Pulau Rinca, NTT, tahun 2013
Komodo di Taman Nasional Komodo, NTT, tahun 2013. Komodo juga terdapat di luar kawasan Taman Nasional Komodo namun lebih sulit ditemui. Ardiantiono/Dokumentasi Pribadi

Terbiasa dengan manusia

Studi yang dipublikasikan pada tahun 2018 di jurnal Biodiversity and Conservation menunjukkan adanya efek aktivitas manusia terhadap perilaku komodo.

Komodo di kawasan wisata menjadi tidak takut manusia (terhabituasi). Ini berbeda dengan sifat alami komodo yang menghindari manusia.

Untungnya, perubahan perilaku ini tidak berkaitan langsung dengan risiko kepunahan karena kepadatan individu dan tingkat ketahanan hidup komodo di kawasan wisata tidak lebih rendah dari kawasan dengan sedikit atau tanpa aktivitas manusia.

Cek sarang komodo di Loh Buaya, Pulau Rinca, NTT
Foto penelitian di Loh Buaya, Pulau Rinca, NTT, tahun 2013 ketika pengecekan sarang komodo. Komodo yang ada di habitat alaminya cenderung menghindari manusia. Ardiantiono/Dokumentasi Pribadi

Namun, adaptasi komodo tersebut perlu menjadi perhatian pengelola.

Pertama, perilaku terhabituasi komodo dapat menurunkan kewaspadaan wisatawan dan berisiko memicu agresi komodo terhadap orang yang berada terlalu dekat.

Kedua, komodo yang ada di kawasan wisata didominasi oleh individu dewasa sehingga meningkatkan kompetisi dengan individu muda.

Penurunan ketahanan hidup komodo muda karena kalah berkompetisi untuk akses ke makanan dan pasangan kawin akan berdampak negatif pada pertumbuhan populasi komodo.

Kami beranggapan bahwa pembangunan infrastruktur yang memang ingin meminimalkan interaksi antara turis dengan komodo seperti yang sedang dilakukan di Loh Buaya dapat diterima.

Namun, ini bisa menjadi bumerang dan malah mengancam populasi komodo apabila memicu kegiatan pariwisata berlebihan atau pembukaan lahan di lokasi baru di luar kawasan wisata yang sudah ada.

Hal ini yang dikhawatirkan masyarakat dari pemberian Izin Pengusahaan Pariwisata Alam kepada pengusaha swasta di area baru.

Wisata komodo di Loh Liang, Pulau Komodo, NTT, 2014
Aktivitas wisata di Loh Liang, Pulau Komodo, NTT, tahun 2014. Komodo yang ada di kawasan wisata tidak takut mendekati manusia. Ardiantiono/Dokumentasi Pribadi

Ideal bagi Taman Nasional Komodo

Taman Nasional Komodo merupakan salah satu situs warisan dunia menurut UNESCO sejak 1991 dan berkembang menjadi kawasan wisata pada tahun 2015.

Idealnya, konsep wisata di kawasan ini bertujuan mengenalkan keunikan satwa sekaligus memberikan pemahaman soal pengelolaan biodiversitas dan ekosistem pulau kepada wisatawan.

Konsep pariwisata yang mengutamakan kesejahteraan masyarakat lokal, konservasi alam, dan edukasi (ekowisata) lebih cocok untuk Indonesia yang memiliki kekayaan hayati dan budaya.

Apalagi mengingat turis menyukai Taman Nasional Komodo karena banyaknya kondisi habitat alami.

Pembangunan dalam kawasan konservasi, dalam bentuk apa pun, tetap akan memiliki dampak bagi satwa liar, ekosistem, dan masyarakat sekitar.

Jika pembangunan hendak dilakukan, rencana induk dan dampak lingkungan dan sosial sebaiknya disampaikan dengan efektif kepada masyarakat di setiap tahap pembangunan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,900 academics and researchers from 4,919 institutions.

Register now