Menu Close
(United Soybean Board/Flickr), CC BY-SA

3 langkah agar biodiesel Indonesia lebih ramah lingkungan

Indonesia menaikkan penggunaan campuran bahar bakar nabati (BBN) dari 30% ke 35% dari minyak sawit dalam satu liter solar (B35) per awal Februari silam. Rencananya, pemerintah akan menaikkan lagi kewajiban pencampuran BBN menjadi 40% per liter solar (B40) pada tahun ini.

Selain menghemat impor solar, pencampuran BBN juga penting untuk meredam emisi gas rumah kaca. Namun, Indonesia harus mengantisipasi program tersebut agar tak merusak lingkungan.

Studi mencatat hampir 83% - 95% emisi dihasilkan dari proses budidaya dan proses pemanenan kelapa sawit. Penggunaan dan pembukaan lahan juga berisiko menambah kehilangan hutan yang sudah mencapai 9,95 juta hektare selama kurun waktu 2002-2021, atau setara 11% dari total luas hutan alami Indonesia.

Pemerintah juga harus menyikapi serius situasi produsen sawit yang mengingkari komitmen anti-deforestasi. Jika tidak diiringi langkah pencegahan, pelaksanaan B40 ataupun B100 bisa membuat deforestasi meluas.

Oleh karena itu, sebagai peneliti pembangunan berkelanjutan, kami menyoroti tiga langkah agar Indonesia dapat meningkatkan pemakaian biodieselnya tanpa merusak lingkungan lebih lanjut.

1. Tingkatkan keterlacakan produk sawit

Keterlacakan atau tracebility rantai pasokan merupakan salah satu syarat produsen memperoleh sertifikasi produk sawit ramah lingkungan. Melalui keterlacakan, publik dapat mengetahui sejauh mana produsen memakai bahan mentah (tandan buah segar sawit) yang ditanam ataupun dipanen dengan cara-cara ramah lingkungan dan bertanggung jawab secara sosial.

korupsi sawit
Terdakwa kasus korupsi usaha perkebunan kelapa sawit tanpa izin di Riau, Surya Darmadi, menjalani sidang di Pengadilan. Korupsi turut menjadi isu yang membayangi industri sawit Indonesia. (Reno Esnir/Antara)

Keterlacakan juga bermanfaat bagi pemerintah untuk memastikan proses produksi sawit Indonesia tidak melanggar hukum dan sesuai dengan prinsip keberlanjutan. Produk-produk dengan hasil keterlacakan yang baik dapat meredam sentimen negatif tentang sawit Indonesia.

Sayangnya, traceability perusahaan pada sektor kelapa sawit di Indonesia sangat sedikit. Hanya 9% pabrik minyak sawit dan 4% perkebunan yang transparan seputar rantai pasokan mereka. Padahal, transparansi rantai pasokan sangat membantu pebisnis sawit untuk meredam risiko deforestasi di wilayah kerjanya dan memantau kepatuhan terhadap lingkungan.

Pemerintah Indonesia perlu mengatasi persoalan ini secara bertahap. Pertama, pemerintah perlu memasukkan aspek traceability ke dalam sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), yang merupakan standar nasional produksi minyak sawit berkelanjutan. Kebijakan ini diharapkan dapat membuat pelaku perkebunan dan maupun produsen bahan bakar nabati lebih transparan seputar produk mereka.

Kedua, Pemerintah perlu menerapkan kebijakan yang dapat menyokong transparansi industri sawit. Salah satu caranya bisa dengan bimbingan seputar transparansi kepada pelaku perkebunan dan pabrik minyak sawit oleh pemerintah kabupaten ataupun provinsi.

Ketiga, pemerintah perlu mengatur kebijakan penghargaan dan hukuman dalam keseluruhan proses produksi biodiesel. Pemerintah dapat memberikan insentif pajak ataupun bea keluar kepada perusahaan transparan dan hukuman berupa penambahan pajak bagi pihak yang tidak melaksanakannya.


Read more: Indonesia bisa pangkas emisi dari sektor sawit melalui pemanfaatan bioetanol


Selain itu, pemerintah harus mengampanyekan pentingnya keterlacakan produk sawit dengan cara yang lebih sederhana ke pekebun skala kecil. Keberadaan jejaring informasi di antara koperasi pekebun ataupun penyuluh juga penting untuk mendampingi pekebun kecil dalam melaksanakan praktik perkebunan sawit yang ramah lingkungan.

2. Perkebunan berkelanjutan perlu diterapkan

Budi daya sawit pada umumnya dilakukan dengan sistem monokultur. Artinya, hanya ada tanaman sawit dalam satu kawasan perkebunan.

Praktik tersebut perlu ditinggalkan karena selain boros lahan, praktik monokultur ini juga membahayakan lingkungan.

Supaya lebih berkelanjutan, pemerintah dapat menggencarkan kampanye praktik agroforestri dalam perkebunan sawit. Dalam agroforestri, pekebun tak hanya menanam sawit, tapi juga tanaman hutan seperti jengkol, jelutung, ataupun durian yang dianggap bermanfaat.

Petugas Taman Nasional Bukit Dua Belas sedang mengunjungi kawasan percontohan agroforestri sawit dengan metode jangka benah di Desa Sungai Jernih, Jambi, pada 2022. (Jangkabenah.org)

Agroforestri bermanfaat untuk mengurangi bahaya lingkungan karena bisa meningkatkan keanekaragaman hayati, mengurangi erosi tanah, dan memberikan pendapatan tambahan bagi petani.

Pemerintah perlu melengkapi kampanye tersebut dengan edukasi praktik perkebunan ramah lingkungan, misalnya pemakaian pupuk organik. Pekebun dapat memakai metode agroekologi, pemanfaatan material yang ada dalam lingkungan tersebut sekitar dalam praktik perkebunan. Contohnya adalah pengomposan untuk membuat pupuk organik dari cangkang, daun, ataupun batang sawit secara langsung di kebun mereka.

3. Perbanyak alternatif minyak sawit

Sejak dilaksanakan pada 2015, Indonesia tak pernah beranjak untuk memakai bahan bakar nabati selain dari sawit. Situasi ini mesti berubah.

BBM dari sampah daur ulang
Pengelola Bank Sampah Rosella Siantan Sulvy memperlihatkan dua botol berisi BBM dari hasil daur ulang sampah. (Jessica Helena Wuysang/Antara)

Tanpa pencarian bahan pengganti, kebijakan biodiesel Indonesia akan rawan mengganggu ketahanan pangan karena konsumsi minyak goreng sawit terus meningkat.

Pemerintah harus memulai pemanfaatan bahan baku potensial lainnya seperti minyak jelantah untuk mengurangi ketergantungan terhadap sawit sekaligus meredam limbah rumah tangga.

Kajian dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) bersama Traction Energy Asia mengungkapkan, masyarakat Indonesia menghasilkan sekitar 6,46 - 9,72 juta kiloliter minyak jelantah setiap tahun. Jumlah ini sangat banyak, setara dengan 47 - 72% kemampuan produksi bahan bakar nabati Indonesia pada 2022.

Pemerintah daerah perlu membentuk sistem pengelolaan minyak goreng bekas dan pemanfaatannya untuk biodiesel bekerja sama dengan pihak swasta, badan usaha milik negara atau daerah, maupun akademikus.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now