Menu Close

5 hal baru terkait Omicron: dari kelabuhi sistem imun hingga PCR bisa gagal deteksi

Petugas kesehatan mengetes PCR di Pasar Anyar, Kota Tangerang, Banten, 5 Januari 2022 untuk mengantisipasi penyebaran Omicron karena kota ini menjadi perlintasan bagi penumpang internasional Bandara Soekarno-Hatta. . ANTARA FOTO/Fauzan/nym

Ledakan kasus COVID-19 di Amerika Serikat di atas satu juta kasus sehari, Inggris (200 ribu kasus), Prancis (270 ribu kasus) dan Australia (50 ribu kasus) baru-baru ini yang didominasi varian Omicron menunjukkan varian ini memang cepat sekali penularannya.

Hanya dalam hitungan sekitar satu setengah bulan, varian ini telah menyebar lebih dari 110 negara. Pada 26 November 2021, selang dua hari setelah dilaporkan kasus pertama di Afrika Selatan dan Bostwana, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan Omicron sebagai varian yang harus diwaspadai atau varian of concern (VOC).

Di Indonesia, dalam hitungan beberapa minggu terakhir, kasus COVID-19 dengan varian Omicron (B.1.1.529) juga meningkat. Jumlah kasus Omicron di negeri ini, per 5 Januari, mencapai 254 kasus, dengan 15 kasus penularan lokal.

Penyebaran varian baru ini perlu menjadi perhatian serius bagi pemerintah dan masyarakat. Kita perlu memahami varian ini, setidaknya dalam 5 hal di bawah ini, sehingga kita bisa mengendalikannya.

1. Mutasi pada varian Omicron dan risiko penularan

Omicron menarik perhatian peneliti, salah satunya karena jumlah mutasi pada protein S-nya berjumlah 26-32 mutasi. Sekitar 50% mutasi tersebut berada pada receptor binding domain (RBD) – bagian protein yang berikatan dengan reseptor sel inang – protein S.

Protein S berikatan langsung dengan sel inang manusia melalui RBD-nya sehingga SARS-CoV-2 bisa menginfeksi manusia. Beberapa mutasi pada Omicron telah diketahui mempengaruhi karakteristik SARS-CoV-2 pada varian sebelumnya antara lain K417N (Beta), T478K (Delta), E484K (Beta, Gamma), dan N501Y (Alpha, Beta, Gamma).

Data awal di populasi Inggris menunjukkan bahwa penularan Omicron lebih tinggi dibandingkan Delta.

Peningkatan risiko penularan di dalam keluarga 3 kali lebih tinggi pada Omicron dibandingkan Delta. Sedangkan peningkatan risiko kontak erat menjadi kasus COVID-19 adalah 2 kali lebih tinggi pada Omicron dibandingkan Delta. Studi lain menunjukkan Omicron lebih menular 36,5% dibandingkan Delta.

Omicron sudah terbukti mempunyai kemampuan berkembang lebih baik pada sel inang manusia dibandingkan Delta. Omicron menyebar lebih cepat dibandingkan Delta pada negara yang telah terjadi penularan lokal, dengan peningkatan jumlah kasus dua kali (doubling time) setiap 2-3 hari.

Penumpang di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, 29 Desember 2021. Pemerintah melarang warga Indonesia pergi keluar negeri sementara waktu untuk mencegah penyebaran Omicron. ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/aww.

2. Apakah Omicron menyebabkan COVID-19 lebih parah?

Salah satu dampak Omicron yang menjadi perhatian publik adalah apakah Omicron menyebabkan gejala COVID-19 menjadi lebih parah.

Data pengaruh Omicron terhadap keparahan COVID-19 (hospitalisasi atau perlu perawatan di rumah sakit, kebutuhan oksigen, perawatan di ICU, oksigen atau meninggal) masih sangat terbatas.

Data awal di beberapa negara seperti Afrika Selatan, Inggris, Denmark dan Skotlandia menunjukkan bahwa risiko hospitalisasi Omicron lebih rendah dibandingkan Delta. Namun, hospitalisasi akibat Omicron diprediksi akan meningkat sebagai akibat peningkatan signifikan penularannya.

Makin tinggi hospitalisasi akan menjadi beban bagi sistem kesehatan dan akan menyebabkan peningkatan kematian, khususnya akibat doubling time Omicron yang pendek.

Kita harus hati-hati menginterpretasikan data hospitalisasi akibat Omicron karena ada jeda waktu antara munculnya COVID-19 dan hospitalisasi. Masih belum jelas apakah penurunan hospitalisasi karena perlindungan imunitas alamiah dan vaksin atau memang karena Omicron menyebabkan penurunan keparahan COVID-19.

Studi di Hong Kong dianggap bisa menjelaskan kenapa Omicron memberikan gejala lebih ringan: replikasi Omicron di saluran napas bronkus 70 kali lebih cepat dibandingkan Delta; sedangkan replikasi Omicron di paru lebih lambat 10 kali dibandingkan varian awal.

3. Omicron mengelabui sistem imun

Salah satu karakteristik varian Omicron adalah kasus reinfeksi (breakthrough infection) pada individu yang telah divaksinasi atau penyintas, menurut data dari Inggris, Denmark, Israel, dan Afrika Selatan. Risiko re-infeksi Omicron 5,4 kali lebih tinggi dibandingkan Delta. Risiko reinfeksi pada individu tanpa vaksinasi lebih tinggi dibandingkan risiko reinfeksi individu pasca vaksinasi.

Kejadian reinfeksi pada individu pasca vaksinasi maupun penyintas menunjukkan bahwa Omicron bisa mengelabui sistem imun manusia.

Satu studi menunjukkan adanya penurunan kadar antibodi netralisasi terhadap Omicron pada pasien yang sebelumnya terinfeksi Delta. Studi juga menunjukkan adanya peningkatan ikatan antara Omicron dengan sel reseptor manusia, mengimplikasikan adanya peningkatan daya infeksius Omicron.

Secara umum, beberapa studi menunjukkan penurunan kadar antibodi netralisasi terhadap Omicron baik pada individu yang sudah vaksinasi maupun penyintas.

4. Efektivitas vaksin terhadap Omicron

Studi di Inggris, Afrika Selatan dan Denmark menunjukkan ada penurunan efektivitas vaksin untuk Omicron terhadap terjadinya infeksi, timbulnya gejala dan hospitalisasi COVID-19 dibandingkan Delta.

Pemberian vaksin dua dosis AstraZeneca tidak memberikan perlindungan terhadap timbulnya gejala akibat Omicron pada 20 minggu pasca dosis kedua. Sedangkan efektivitas vaksin dua dosis Moderna atau Pfizer menurun efektivitasnya menjadi 10% pada 20 minggu pasca dosis kedua.

Efektivitas booster Moderna atau Pfizer juga menurun menjadi 65-75% pada 2-4 minggu pasca booster, 55-70% pada 5-9 minggu pasca booster dan 40-50% pada lebih dari 10 minggu pasca booster.

Dari sejumlah studi bisa kita ketahui bahwa efektivitas vaksin terhadap timbulnya gejala akibat Omicron lebih rendah dibandingkan Delta, dan efektivitas vaksin tersebut akan menurun secara cepat.

Efektivitas vaksin mencegah hospitalisasi akibat Omicron adalah 52% pasca dosis pertama, 72% 2-24 minggu pasca dosis kedua, 52% lebih dari 25 minggu pasca dosis kedua dan 88% lebih dari 2 minggu pasca booster.

Dengan demikian, efektivitas vaksin mencegah hospitalisasi lebih tinggi dibandingkan mencegah timbulnya gejala akibat Omicron.

5. Apakah varian Omicron bisa dideteksi oleh PCR?

Salah satu dari 32 mutasi di protein S pada Omicron adalah delesi asam amino posisi 69-70 – hilangnya asam amino pada posisi 69-70 di protein S virus corona. Hal ini menyebabkan gagalnya PCR mendeteksi SARS-CoV-2 jika kit PCR hanya menggunakan gen S. Fenomena ini dikenal dengan istilah S-gene target failure (SGTF).

Adanya SGTF ini bisa dijadikan penanda kemungkinan kasus Omicron (probable Omicron) dalam satu pendeteksian. Namun, metode baku penentuan varian Omicron adalah pengurutan seluruh genom (whole genome sequencing), karena fenomena SGTF juga ditemukan pada varian lain Alpha, meski saat ini varian Alpha sangat sedikit dijumpai.

Secara umum, kit PCR yang beredar saat ini bisa mendeteksi Omicron karena kit PCR tersebut menggunakan dua target gen, misalnya kombinasi antar gen S, E, N, atau ORF1ab/RdRp. Jika sebuah kit PCR menggunakan kombinasi gen target, salah satunya gen S, maka fenomena SGTF bisa terjadi pada Omicron (PCR negatif). Namun, kit PCR tersebut masih tetap bisa mendeteksi Omicron karena masih ada satu gen target lainnya yaitu non-gen S (gen E, N, atau ORF1ab/RdRp) sehingga PCR bisa mendeteksi positif.

Memahami masalah Omicron dengan baik akan membantu para pengambil keputusan dan masyarakat untuk membuat keputusan terbaik guna mencegah penyebaran varian ini lebih luas.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now