Menu Close

‘Ada masalah yang lebih besar dari pandemi’: riset ungkap pengalaman unik perempuan Tambak Lorok Semarang

Dua orang perempuan Tambak Lorok mendapati rumahnya yang hancur setelah diterjang ombak ANTARA FOTO/Aji Styawan/hp.

Indonesia adalah episentrum COVID-19 di Asia Tenggara, dengan lebih dari 4 juta kasus dan mencatat tingkat kematian tertinggi di dunia.

Namun, bagi perempuan di Tambak Lorok, sebuah desa nelayan kecil di Jawa Tengah, mereka memiliki masalah yang lebih besar daripada pandemi.

Perempuan-perempuan Tambak Lorok memiliki akses air dan akses kebersihan yang terbatas dan menghadapi kebiasaan buang air besar sembarangan yang masih dipraktikkan sebagian masyarakat.

Pandemi mungkin telah mengubah hidup mereka, tetapi tantangan terbesar, menurut mereka, justru adalah banjir rutin yang datang ke daerah pesisir (rob) dan membawa tidak hanya air, bangkai, tapi juga kotoran manusia ke dalam rumah mereka.

Sebuah proyek penelitian yang didanai oleh The Australia-Indonesia Centre telah mewawancarai perempuan di Tambak Lorok untuk mengetahui kehidupan mereka selama pandemi.

Apa yang diungkapkan pada penelitian ini?

November lalu, tim peneliti dari Universitas Gadjah Mada, Indonesia, dan Monash University, Australia, mewawancarai 25 perempuan dari Tambak Lorok untuk mengetahui lebih banyak pengalaman mereka selama pandemi COVID-19.

Kami memilih Tambak Lorok karena kami ingin memahami respons dari warga yang telah bertahun-tahun hidup dengan sulitnya akses air bersih dan sanitasi akibat banjir pesisir selama pandemi.

Tambak Lorok adalah sebuah desa di dekat pelabuhan Tanjung Emas, Jawa Tengah. Pada awal hingga pertengahan Agustus, provinsi ini menyumbang kasus COVID-19 terbanyak, lebih dari 5.000 kasus aktif sehari, atau hampir seperenam dari total kasus nasional ketika Indonesia sedang menghadapi gelombang kedua COVID-19 yang mematikan.

Terlepas dari pandemi, sebagian besar perempuan mengatakan tantangan terbesar dalam kehidupan sehari-hari mereka adalah rob: banjir pantai harian yang membawa air ke rumah mereka dan menyebarkan tinja karena adanya kebiasaan buang air besar sembarangan dan sistem selokan yang tidak memadai di desa. Ini semua mengakibatkan banyak penyakit infeksi.

Nelayan bekerja di kampung nelayan Tambak Lorok di Semarang, Jawa Tengah. ANTARA FOTO/Aji Styawan/hp.

Banjir pesisir merupakan masalah di Tambak Lorok selama bertahun-tahun.

Pemerintah berencana mengembangkan jalan tol yang akan berfungsi sebagai tanggul. Pemerintah juga menerapkan sistem polder, yang mengontrol air laut untuk masuk ke dataran yang lebih rendah, melalui serangkaian tanggul atau bendungan.

Mereka juga telah mengembangkan rencana ramah lingkungan untuk mengatasi banjir.

Ada pula rencana untuk melaksanakan program nasional yang disebut Sanitasi Total Masyarakat untuk menghentikan orang buang air besar di tempat terbuka.

Namun banjir tetap tak terbendung.

“Banjir datang dengan kotoran, limbah dan lumpur […] kadang-kadang juga tinja […] Apakah Anda bisa bayangkan hidup dengan kotoran orang lain yang mengambang di dalam rumah kita?” ujar Nila (bukan nama sebenarnya) dalam sebuah wawancara.

Kemudian pandemi datang

Untuk beberapa hal, dampak banjir di Tambak Lorok diperparah oleh pandemi.

Pandemi menyebabkan sebagian besar perempuan Tambak Lorok kehilangan pendapatan.

Banyak dari mereka merupakan istri nelayan, atau menjalankan bisnis yang berhubungan dengan penangkapan ikan. Sedangkan di seluruh dunia, industri perikanan telah terkena dampak besar oleh pembatasan transportasi yang disebabkan oleh pandemi. Akses terhadap pasar juga terbatas dan permintaan juga turun akibat kebijakan lockdown.

Banyak keluarga di Tambak Lorok membeli air minum dan membayar air sumur bor untuk mandi, mencuci, dan bebersih. Pandemi membuat banyak orang harus mencari air minum yang lebih murah atau beralih ke cara lain yaitu merebus air sumur mereka.

Beberapa perempuan memilih untuk mengambil pekerjaan sambilan karena suami mereka kehilangan pendapatan selama pandemi.

Hal ini berpotensi menambah beban perempuan yang biasanya bertanggung jawab atas penyediaan air bersin di rumah, membersihkan rumah, dan mendidik orang sekitar tentang pentingnya kebersihan.

Bagi para perempuan yang kami wawancarai, merawat dan melindungi keluarga mereka dari COVID-19 adalah peran utama yang harus mereka lakukan.

Di sebagian besar keluarga, perempuanlah yang bertanggung jawab untuk membuat atau membeli dan mencuci masker. Mereka juga memelihara tempat cuci tangan, mencuci pakaian ekstra sehingga setiap orang memiliki pakaian bersih ketika mereka kembali ke rumah, menjaga anak-anak di rumah, dan mengingatkan anggota keluarga untuk memakai masker dan mencuci tangan.

Temuan ini sejalan dengan berbagai penelitian lain yang menunjukkan bagaimana perempuan memikul beban terberat di rumah untuk mengurangi penyebaran COVID-19 dengan melakukan pekerjaan rumah tangga yang tidak dibayar

Laporan kami menemukan bahwa pandemi memiliki beberapa dampak positif dalam meningkatkan akses masyarakat pada air, sanitasi, dan kebersihan.

Hal tersebut termasuk pembuatan tempat cuci tangan di luar rumah dan pemberian bantuan dan kebutuhan dasar oleh pemerintah dan lembaga masyarakat selama pandemi.

Perlu lebih banyak upaya untuk mengendalikan rob

Sudah ada beberapa upaya dari berbagai lembaga pemerintahan dan organisasi masyarakat sipil untuk menanggapi pandemi di Tambak Lorok.

Distribusi paket bantuan sosial berupa bahan baku pokok, cairan pembersih tangan, dan bantuan tunai diberikan ke 16 kabupaten di Kota Semarang, khususnya Semarang Utara (tempat Tambak Lorok berada). Sekitar 20% rumah tangga berpenghasilan kurang dari Rp 1 juta (US$70,60) per bulan mendapatkan bantuan ini.

Namun, warga Tambak Lorok sudah menunggu lama aksi dari pemerintah untuk mengatasi masalah banjir di pesisir pantai.

Mereka hanya berharap besarnya upaya yang telah dikerahkan untuk menghadapi pandemi ini juga dapat diterapkan pada rob sehingga mereka tidak lagi harus bangun hanya untuk melihat kotoran orang lain yang mengambang di rumah mereka.


Penelitian ini didanai oleh Pemerintah Australia melalui program PAIR yang difasilitasi oleh Australia-Indonesia Centre (AIC).

Australia-Indonesia Centre (AIC) mendukung The Conversation Indonesia (TCID) dalam penerbitan artikel ini.


Rachel Noorajavi menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,900 academics and researchers from 4,919 institutions.

Register now