tag:theconversation.com,2011:/africa/topics/hak-hak-sipil-47539/articlesHak-hak sipil – The Conversation2021-11-23T09:53:57Ztag:theconversation.com,2011:article/1724162021-11-23T09:53:57Z2021-11-23T09:53:57ZBagaimana ‘big tech’ menentukan siapa yang berkuasa atas hak dan kebebasan kita<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/433407/original/file-20211123-21-7neib9.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C6%2C4631%2C2585&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/big-five-companies-tech-company-logos-1643544484">Ascannio/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Sejak akhir abad ke-20, bagi sebagian besar dari kita, kehidupan sehari-hari telah semakin banyak berpindah ke ranah digital. Ini telah mendorong munculnya sesuatu yang disebut dimensi “<a href="https://link.springer.com/book/10.1007/978-3-319-04093-6">onlife</a>”, yang menyimbolkan betapa eratnya kehidupan <em>online</em> dan <em>offline</em> kita.</p>
<p>Suatu hari nanti, kita mungkin akan melihat hadirnya <a href="https://theconversation.com/what-is-the-metaverse-2-media-and-information-experts-explain-165731">metaverse</a>, sebuah dunia <em>online</em> yang tidak pernah mati yang menyediakan ruang-ruang digital baru untuk orang berinteraksi, bekerja, dan bermain lewat avatar.</p>
<p>Dampaknya adalah hak dan kebebasan orang semakin dibentuk oleh aturan-aturan yang ditentukan oleh perusahaan-perusahaan teknologi besar (<em>big tech</em>). Keputusan Twitter untuk membungkam mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump setelah <a href="https://www.bbc.com/news/technology-57018148">kekerasan di Capitol Hill</a>, <a href="https://verfassungsblog.de/facebook-flexing/">Facebook</a> melarang konten dari penerbit Australia, dan YouTube memblok <a href="https://edition.cnn.com/2021/09/29/tech/youtube-vaccine-misinformation/index.html">konten antivaksin</a> adalah beberapa contoh bagaimana perusahaan teknologi melebarkan peran tidak hanya sebagai penjaga gerbang (<em>gatekeepers</em>) informasi global tapi juga sebagai institusi kekuasaan privat.</p>
<p>Contoh-contoh ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan konstitusional tentang siapa yang memiliki legitimasi, siapa yang memiliki kuasa, dan bagaimana demokrasi bisa berjalan pada era digital. Ini mengarah pada bangkitnya <a href="https://academic.oup.com/icon/article/19/1/41/6224442">konstitusionalisme digital</a>, sebuah fase baru ketika hak-hak individu dan kekuasaan publik “dipindahtangankan” di antara kelompok-kelompok baru - misalnya perusahaan digital - di skala global.</p>
<h2>Permainan kekuasaan baru</h2>
<p>Konstitusionalisme digital tidak berarti merevolusi akar <a href="https://www.britannica.com/topic/constitutionalism">konstitualisme</a> modern, yaitu prinsip-prinsip yang mencakup pemerintahan yang bertanggung jawab dan akuntabel, hak-hak individu, dan negara berdasarkan hukum (<em>rule of law</em>). Namun, konstitusionalisme digital menempatkan rangka baru pada peran hukum konstitusional pada era digital.</p>
<p>Konstitualisme modern selalu mengejar dua misi: melindungi hak-hak fundamental dan membatasi kekuasaan lewat <em>checks and balances</em>.</p>
<p>Pda era digital, salah satu kekhawatiran utama adalah tentang penggunaan <a href="https://ijoc.org/index.php/ijoc/article/view/13752">kekuasaan publik</a> yang mengancam hak dan kebebasan, misalnya pembatasan internet atau pengawasan. Ini menjadi mencolok dalam <a href="https://www.theguardian.com/us-news/the-nsa-files">kasus Snowden</a> yang melibatkan seorang pegawai badan intelijen CIA membocorkan dokumen yang menunjukkan pengawasan oleh National Security Agency (NSA) di AS, yang menimbulkan perdebatan antara keamanan nasional dan privasi individu.</p>
<p>Namun perusahaan swasta kini mendominasi internet dan menerapkan aturan layanan atau panduan komunitas yang berlaku pada miliaran pengguna di seluruh dunia. Aturan ini menjadi patokan alternatif menyaingi perlindungan konstitusional atas hak-hak fundamental dan nilai-nilai demokrasi.</p>
<p>Tantangan terhadap demokrasi konstitusional tidak lagi datang dari otoritas negara. Kekhawatiran besar kini muncul dari institusi yang secara formal bersifat privat tapi mengendalikan hal-hal yang secara tradisional diatur oleh otoritas publik - tanpa batasan. Kemampuan perusahaan teknologi untuk menentukan dan memaksakan hak-hak dan kebebasan pada level global adalah wujud bertumbuhnya kekuasaan mereka atas publik.</p>
<p>Misalnya, saat Facebook atau Google memoderasi konten online, mereka membuat keputusan atas kebebasan berekspresi dan hak-hak individu lain atau kepentingan publik berdasarkan standar privat yang belum tentu sesuai dengan aturan konstitusional. Dan keputusan-keputusan ini diterapkan langsung oleh mereka, bukan oleh pengadilan.</p>
<p>Situasi ini telah memicu desakan untuk transparansi dan akuntabilitas. Skandal <a href="https://www.theguardian.com/news/2018/mar/17/cambridge-analytica-facebook-influence-us-election">Cambridge Analytica</a> yang menunjukkan betapa masifnya pengumpulan data pribadi untuk kepentingan pengiklanan politik, dan temuan dari penelitian Facebook sendiri yang menunjukkan potensi dampak berbahaya media sosial pada <a href="https://www.theguardian.com/technology/2021/sep/29/facebook-hearing-latest-children-impact">kesehatan mental anak muda</a> telah memanaskan debat terkait tanggung jawab <em>big tech</em>.</p>
<h2>Menangani kekuasaan <em>big tech</em></h2>
<p>Institusi-institusi demokrasi konstitusional masih mencari tahu bagaimana harus berhadapan dengan kekuaasan perusahaan teknologi. Dan walau negara-negara menghadapi tantangan global yang sama, reaksi mereka tidak selalu sama. Bahkan walau negara-negara demokrasi konstitusional secara umum melindungi hak-hak dan kebebasan sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat demokratis, bukan berarti perlindungan ini besarnya merata di seluruh dunia. </p>
<p>Di Eropa, aturan <a href="https://eur-lex.europa.eu/legal-content/en/TXT/?uri=COM%3A2020%3A825%3AFIN">Digital Services Act</a> dan <a href="https://eur-lex.europa.eu/eli/reg/2016/679/oj">General Data Protection Regulation</a> muncul dari keinginan untuk membuat perusahaan teknologi lebih akuntabel dalam hal moderasi konten dan perlindangan data.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Mark Zuckerberg giving a speech against a blue background." src="https://images.theconversation.com/files/431538/original/file-20211111-6892-xbd77p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/431538/original/file-20211111-6892-xbd77p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/431538/original/file-20211111-6892-xbd77p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/431538/original/file-20211111-6892-xbd77p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/431538/original/file-20211111-6892-xbd77p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/431538/original/file-20211111-6892-xbd77p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/431538/original/file-20211111-6892-xbd77p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Mark Zuckerberg belum lama ini meluncurkan Oversight Board sebagai tanggapan atas munculnya kekhawatiran tentang transparansi dan akuntabilitas Facebook.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/paris-france-may-24-2018-facebook-1098814607">Frederick Legrand/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Namun AS masih melihat <em>self-regulation</em> sebagai pendekatan terbaik untuk melindungi kebebasan berekspresi pada era digital. Bahkan <a href="https://supreme.justia.com/cases/federal/us/582/15-1194/#tab-opinion-3749201">Mahkamah Agung AS</a> telah menggarisbawahi bahwa internet - terutama media sosial - memainkan peran penting sebagai forum demokratis.</p>
<p>Oleh karena itu, platform daring tidak buang waktu dalam mengkonsolidasikan kebijakan mereka. Hadirnya dewan-dewan media sosial seperti <a href="https://oversightboard.com">Facebook Oversight Board</a> telah diterima sebagai langkah baik menuju transparansi dan akuntabilitas. Namun ini juga bisa dilihat sebagai langkah untuk memperkuat kekuasaan dengan menampilkan citra yang meniru sistem konsitusional seperti “<a href="https://theconversation.com/why-facebook-created-its-own-supreme-court-for-judging-content-6-questions-answered-160349">mahkamah agung</a>”, sebagaimana yang Facebook telah lakukan.</p>
<p>Konstitusionalisme digital menawarkan beragam perspektif untuk menganalisis perlindungan hak-hak dan penggunaan kekuasaan oleh perusahaan <em>big tech</em>. Konstitusionalisme digital juga mendorong kita untuk melakukan perdebatan lebih dalam tentang bagaimana hak-hak individu dan kebebasan bukan lagi objek dalam kekuasaan negara, tapi juga bagi perusahaan <em>big tech</em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/172416/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Giovanni De Gregorio tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Big tech semakin memanfaatkan kesempatan untuk memperkuat kekuasaan mereka. Banyak pertanyaan kini timbul tentang bagaimana legitimasi, hak-hak dan demokrasi di era digital.Giovanni De Gregorio, Postdoctoral Researcher in Socio-Legal Studies, University of OxfordLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1708312021-11-03T03:54:36Z2021-11-03T03:54:36ZAktivis akar rumput menghadapi hambatan dan dampak pribadi dalam melakukan gerakan digital<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/429088/original/file-20211028-22-83aht7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C1599%2C898&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Peserta pawai wanita di Edmonton, Alta pada 21 Januari 2017.</span> <span class="attribution"><span class="source">Mylynn Felt</span>, <span class="license">Author provided</span></span></figcaption></figure><p>Penggunaan media sosial yang meluas telah memudahkan mobilisasi aksi bersama, namun aktivis warga kesulitan menggunakan peralatan digital ini dan semakin sering melaporkan merasa kelelahan mental (<em>burned out</em>). </p>
<p>Penelitian kami tentang aktivisme digital akar rumput di Kanada telah mengungkapkan beberapa <a href="https://doi.org/10.1080/1369118X.2019.1618891">strategi yang diterapkan oleh penyelenggara aksi ketika berhadapan dengan hambatan teknologi, interaksional, dan pribadi dalam aktivisme digital</a>.</p>
<p>Penggunaan media sosial untuk tujuan aktivisme oleh masyarakat sejatinya berbenturan dengan tujuan komersial platform itu sendiri. Sebagai contoh, karena platform ini memprioritaskan konten populer dan terkini, pesan aktivisme harus terus diperbarui dan disukai atau dibagikan agar tetap terlihat oleh khalayak yang lebih luas. </p>
<p>Ini menjadi tantangan bagi para aktivis untuk beradaptasi; mereka dituntut untuk memanfaatkan alat ini sebaik mungkin dalam batasan yang ditetapkan oleh algoritme platform.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/aktivisme-berbasis-karya-seni-digital-sangat-ampuh-di-tengah-pandemi-pelajaran-dari-negara-lain-166428">Aktivisme berbasis karya seni digital sangat ampuh di tengah pandemi: pelajaran dari negara lain</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Tersebar luas atau hilang dalam kerumunan?</h2>
<p>Media sosial dapat meningkatkan komunikasi aktivis, namun dengan mengorbankan kendali atas pesan-pesan tersebut. Ini penting dipertimbangkan dalam tindakan kolektif, karena demi mendapatkan pengakuan politik, komunikasi jelas atas serangkaian tuntutan dan keluhan sangatlah dibutuhkan.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"506893599297265664"}"></div></p>
<p><a href="https://globalnews.ca/news/1534959/bc-teachers-strike-the-timeline/">Selama aksi mogok guru di British Columbia, Kanada, pada 2014</a>, tiga orang tua memiliki ide mengadakan aksi taman bermain di depan kantor anggota Majelis Legislatif (MLA) British Columbia. Para orang tua ingin menekan pemerintah setempat untuk bernegosiasi dengan guru dan mengakhiri aksi mogok. Saat mereka mengedarkan gagasan <a href="https://mlaplaydate.wordpress.com/">#MLAPlaydates</a> di media sosial, mereka merenungkan kemungkinan pesan tidak sampai sesuai niat mereka:</p>
<blockquote>
<p>Ini bukan perintah dan kendali tradisional. Ajakan ini seperti mengatakan: ini ada sebuah ide, coba gunakan dan lihat apa yang dapat kita lakukan dengan ide ini. Kita berbagi, kita menyampaikan ke orang-orang lain. Jadi, ini adalah kerangka aktivisme yang berbeda. Ini seperti pengujian beta, kita tidak tahu ke mana hal ini akan beranjak.</p>
</blockquote>
<p>Solusi mereka adalah bentuk “aktivisme terbuka”, yang mengharuskan pemantauan lewat media sosial untuk memperkuat pesan dan mencegah gerakan tersebut diambil alih, seraya mengundang pendukung untuk menyesuaikan dan mempersonalisasi gerakan tersebut.</p>
<h2>Efek ruang gema</h2>
<p>Gelembung filter pada orang-orang dengan pandangan serupa mempersulit aktivis digital untuk menyampaikan pesan mereka di luar jaringan kelompok. Namun, beberapa platform bersifat lebih publik dibanding yang lain, menggunakan algoritme yang berbeda untuk menampilkan konten pada penggunanya.</p>
<p>Penyelenggara <a href="https://safestampede.ca/">aksi #SafeStampede Alberta</a> ingin menarik perhatian pada isu kasus pemerkosaan tahunan di sekitar Calgary Stampede. Mereka menemukan bahwa:</p>
<blockquote>
<p>Facebook bukanlah tempat terbaik untuk membahas wacana aktual [seputar masalah ini], tetapi bagaimana pun, platform ini membuat kita lebih banyak berinteraksi dengan teman-teman, jadi umpan balik dapat terjadi.</p>
</blockquote>
<p>Untuk mengatasi masalah ini ini, penyelenggara aksi membuat profil publik di platform yang lebih terbuka seperti Twitter dan Tumblr demi menerobos efek ruang gema.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1017507402369753088"}"></div></p>
<h2>Adu popularitas</h2>
<p>Di media sosial, kekuatan visibilitas konten sering bergantung pada seberapa baru konten itu dan bagaimana reaksi orang terhadapnya. </p>
<p>Aktivis perlu terus memantau bagaimana algoritme mendorong konten agar cepat terlihat oleh pengguna yang lain. Sistem ini menuntut mereka untuk berpikir dan bertindak seperti pemasar digital, menyusun strategi produksi dan sirkulasi pesan.</p>
<p>Aktivis digital dalam penelitian kami berbicara tentang perlunya beradaptasi dengan praktik pengelolaan platform, serta tahap pembelajaran yang perlu dilalui untuk memahami praktik ini.</p>
<blockquote>
<p>Kita harus berhati-hati dengan algoritme; jika kita terlalu banyak mengunggah konten, kita tidak akan mendapatkan audiens yang luas. Di Instagram, jika dalam seminggu kita dapat mengunggah tiga atau empat gambar yang sangat bagus dengan deskripsi dan tagar yang bagus, kita akan mendapatkan lebih banyak tanggapan daripada jika kita mengunggah konten terlalu banyak, misalnya, lima kali dalam sehari selama beberapa hari turut menurut. Dengan sistem ini, kita akan lebih berhati-hati dengan apa yang kita unggah, dan mempertimbangkan kurun waktu pengunggahan tersebut.</p>
</blockquote>
<h2>Sekutu dan pengganggu</h2>
<p>Di samping algoritme, interaksi di media sosial membawa tantangan tersendiri bagi aktivisme digital.</p>
<p>Bagi <a href="https://www.cbc.ca/news/canada/calgary/safestampede-calgary-stampede-campaign-1.3659299">para penyelenggara aksi #SafeStampede</a>, platform media sosial membantu mereka menemukan satu sama lain melalui jaringan yang ada. Koneksi online tumbuh menjadi pertemuan dan hubungan tatap muka, memfasilitasi upaya kritis di belakang panggung untuk kampanye publik di media sosial:</p>
<blockquote>
<p>Saya pikir segala sesuatu kini tidak akan terjadi <em>hanya</em> di media sosial saja. Perlu ada masa saat hal-hal ini dapat bergerak melampaui media sosial dan kita, pada akhirnya, dapat melakukan percakapan nyata dengan orang-orang, lalu kemudian membangun hubungan.</p>
</blockquote>
<p>Media sosial juga membuat kampanye yang aktivis lakukan rentan terhadap pelecehan dan <em>trolling</em>. Inilah yang dialami sebuah aksi tentang gender, <a href="http://wmwyeg.org/">Pawai Perempuan, di Alberta</a>. Para penyelenggara aksi menggambarkan bagaimana orang di media sosial dengan sengaja mencari istilah-istilah “transgender” dan “vagina” di mesin pencari web dalam rangka serangan beberapa hari sebelum hari H aksi. Untuk mengatasi hal tersebut, penyelenggara menggunakan strategi “blokir, hapus, laporkan, ulangi,” dengan menunjukkan bahwa:</p>
<blockquote>
<p>Cara ini harus dilakukan, dan kita perlu berusaha sangat keras untuk tidak membiarkan semua waktu dan energi emosional kita untuk aksi ini tersedot oleh serangan-serangan itu.</p>
</blockquote>
<p>Persahabatan yang dibangun secara online dan offline membantu mengurangi dampak dari konfrontasi ini. Namun, serangan dan <em>trolling</em> online dapat dengan mudah menghabiskan sumber daya langka yang dimiliki oleh aktivis.</p>
<p><div data-react-class="InstagramEmbed" data-react-props="{"url":"https://www.instagram.com/p/BWdts59D7yi","accessToken":"127105130696839|b4b75090c9688d81dfd245afe6052f20"}"></div></p>
<h2>Kelelahan mental lalu menyerah</h2>
<p>Responden penelitian kami berbagi tentang cara meminimalkan dampak (pribadi dan profesional) dari aktivisme digital mereka, namun, mereka juga berbicara tentang kelelahan dalam keterlibatan jangka panjang yang tidak bisa dilakukan terus-menerus.</p>
<p>Harga emosional atas <em>trolling</em> yang dilontarkan, serangan balik, dan agresi tinggi di media sosial sulit dihindari oleh penyelenggara aksi karena media sosial mengikat nama publik mereka dengan aktivisme mereka:</p>
<blockquote>
<p>Kita seakan-akan menarik perhatian komentator-komentator negatif untuk menghampiri kita … menarik perhatian orang yang merasa berhak menyerang kita … Saya mencoba untuk tidak terlalu memikirkan hal ini, berbagi terlalu banyak informasi ke luar sana membuat saya terancam dikuntit, atau disakiti orang-orang yang mungkin dapat mengancam saya atau anak saya.</p>
</blockquote>
<p>Menjauhkan diri, baik dari gerakan atau dari potensi risiko aktivitas kita, tampaknya menjadi satu-satunya strategi bagi penyelenggara aksi dalam situasi ini.</p>
<p>Selain itu, karena algoritme media sosial menampilkan penampakan si pembawa pesan bersebelahan dengan pesan, penyelenggara aksi juga mengkhawatirkan visibilitas aktivisme mereka yang, kelak, mungkin dapat berisiko pada karir.</p>
<h2>Strategi pengorganisasian digital</h2>
<p>Aktivis warga yang kami wawancarai dalam penelitian menggunakan berbagai strategi untuk mengatasi hambatan terhadap aktivisme digital. Berikut adalah beberapa hal yang mereka pelajari dan ingin bagikan untuk aktivis lainnya:</p>
<ul>
<li><p>Tetap <em>up-to-date</em> tentang bagaimana algoritme platform dirancang dan diperbarui.</p></li>
<li><p>Gunakan beberapa platform untuk menjangkau audiens yang berbeda dan mengurangi efek ruang gema.</p></li>
<li><p>Biarkan beberapa perubahan terjadi dalam pesan Anda, tetapi pantau percakapan untuk mempertahankan intinya.</p></li>
<li><p>Teruslah terhubung dengan sesama penyelenggara aksi dan pendukung secara offline.</p></li>
<li><p>Bergabunglah dengan komunitas lokal, regional, atau nasional sehingga kita memiliki rekan aktivis untuk bersandar dan memberikan tongkat estafet ketika kita harus meninggalkan aktivisme.</p></li>
<li><p>Antisipasi dampak dan risiko aktivisme, dan renungkan di mana kita perlu menentukan batasan bagi diri sendiri.</p></li>
<li><p>Pastikan faktor fleksibilitas dan adaptasi ada dalam rencana taktik tindakan.</p></li>
</ul>
<p>Aktivisme digital dapat menjadi bagian penting dari setiap kampanye yang sukses, namun para aktivis perlu tetap sadar tentang dampak dan keterbatasan media sosial.</p>
<hr>
<p><em>Rachel Noorajavi menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/170831/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Delia Dumitrica menerima dana dari Dewan Riset Ilmu Sosial dan Humaniora Kanada untuk mempelajari media sosial dan aktivisme sipil di Kanada (nomor 435-2014-0200).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Mylynn Felt menerima dana sebagai seorang sarjana Vanier. Dia menjabat sebagai Wakil Presiden Friends of the Weber/Morgan Children's Justice Center.</span></em></p>Kampanye digital mendukung keberhasilan kampanye keadilan sosial luring. Ia membuat para aktivis rentan terhadap serangan, tetapi ada langkah yang dapat diambil untuk melindungi diri mereka sendiri.Delia Dumitrica, Associate professor, Department of Media and Communication, Erasmus University RotterdamMylynn Felt, PhD Candidate, Communication, Media and Film, University of CalgaryLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1672022021-09-15T09:12:11Z2021-09-15T09:12:11ZTeror akademik masih membungkam wacana keragaman gender dan seksual di kampus Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/421032/original/file-20210914-17-o1kzd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C141%2C3363%2C2184&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) melakukan unjuk rasa di kampus pada 2019.</span> <span class="attribution"><span class="source">Irsan Mulyadi/Antara Foto</span></span></figcaption></figure><p>Agustus lalu, sebuah webinar untuk mengenal transgender di Universitas Airlangga (Unair), di Jawa Timur, batal terjadi.</p>
<p>Panitia penyelenggara, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unair, <a href="https://www.instagram.com/p/CTjHdjxl6Se/">mengumumkan pembatalan</a> acara pada hari H karena “satu dan lain hal.”</p>
<p><div data-react-class="InstagramEmbed" data-react-props="{"url":"https://www.instagram.com/p/CTjHdjxl6Se","accessToken":"127105130696839|b4b75090c9688d81dfd245afe6052f20"}"></div></p>
<p>Pembatalan atau pembatasan diskusi kampus tentang isu LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) dengan alasan sumir atau moral kerap terjadi di Indonesia.</p>
<p>Barangkali salah satu yang paling menonjol adalah pembatalan diskusi dengan pembicara Irshad Manji - penulis buku “Allah, Liberty and Love: Suatu Keberanian Mendamaikan Iman dan Kebebasan” - di Universitas Gadjah Mada (UGM) oleh rektor <a href="https://nasional.tempo.co/read/402606/rektor-ugm-larang-diskusi-irshad-manji">“demi keamanan bersama”</a> pada 2012. </p>
<p>Kasus serupa pernah terjadi di <a href="https://nasional.tempo.co/read/718486/diskusi-gay-lesbian-dilarang-di-undip-ini-kronologinya">Semarang</a> dan <a href="https://nasional.tempo.co/read/718690/larang-diskusi-lgbt-universitas-brawijaya-dikecam">Malang</a> pada 2015, serta di Jakarta pada 2016.</p>
<p>Pada 2016, pihak Universitas Indonesia (UI) melarang diskusi oleh Support Group & Resource Center on Sexuality (SGRC) - sebuah kelompok mahasiswa UI - dan berujung pada peristiwa “<a href="https://ejournal.unitomo.ac.id/index.php/jsk/article/view/1882">kepanikan moral</a> <a href="https://www.insideindonesia.org/online-hate-speech">LGBT</a>”. Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi ketika itu, Mohamad Nasir <a href="https://www.antaranews.com/berita/541624/kampus-mestinya-tidak-dimasuki-lgbt-kata-menristek">menyatakan</a> bahwa perguruan tinggi adalah penjaga moral yang sebaiknya menegakkan standar <a href="https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/lgbt-indonesians-on-campus-too-hot-to-handle/">“nilai dan kesusilaan”</a> sehingga <a href="http://asaa.asn.au/indonesian-tolerance-under-strain-as-anti-lgbt-furore-grows/">LGBT sebaiknya tidak masuk kampus</a> atau <a href="https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-3828791/ugm-tak-ada-aturan-tolak-lgbt-tapi-dilarang-bekegiatan-di-kampus">berkegiatan di kampus</a>. </p>
<p>Sejak itu, banyak kegiatan diskusi bertema LGBT di kampus (seperti di <a href="https://www.rappler.com/world/pembubaran-diskusi-lgbt-itb-bandung">Institut Teknologi Bandung</a> dan <a href="https://www.rappler.com/world/diskusi-tentang-mahasiswa-gay-di-ugm-dibatalkan">UGM</a>) dibubarkan. </p>
<p>Pembungkaman atas isu LGBT di kampus sudah berlangsung lama, paling tidak sejak era Orde Baru, dan sayangnya terus terjadi hingga kini. Namun, perlawanan tidak berhenti.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/komunitas-gay-di-indonesia-menggunakan-media-sosial-untuk-meruntuhkan-batasan-dan-stigma-156868">Komunitas gay di Indonesia menggunakan media sosial untuk meruntuhkan batasan dan stigma</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Pembatasan dan pelarangan di kampus</h2>
<p>Institusi pendidikan tinggi, terutama mulai era pemerintahan Soeharto, acap kali <a href="https://www.hrw.org/sites/default/files/reports/inacfr98.pdf">membatasi</a> kebebasan akademik dalam pewacanaan beberapa isu tertentu.</p>
<p>Isu-isu ini termasuk soal demokrasi dan hak asasi manusia, Marxisme-Leninisme dan pikiran-pikiran Soekarno, golongan etnis Tionghoa, dan <a href="https://nasional.tempo.co/read/644703/diskusi-korban-65-dibubarkan-nusyahbani-lapor-ke-jokowi">Partai Komunis Indonesia</a>. </p>
<p>Lalu muncul sikap tabu untuk membicarakan topik-topik yang dianggap “kritis” dan “sensitif”. </p>
<p>Gender dan seksualitas, apalagi yang beragam seperti LGBTQI+, termasuk dalam topik-topik tabu ini. </p>
<p>Penabuan ini muncul dalam berbagai bentuk. Salah satunya adalah larangan menulis topik “LGBT” sebagai tugas akhir, misalnya. </p>
<p>Seorang mahasiswa sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta bersaksi tentang bagaimana seorang dosen mengatakan bahwa “kalau bikin skripsi topiknya jangan tentang <a href="https://magdalene.co/story/tiada-tempat-untuk-lgbt-kepanikan-moral-dan-persekusi-atas-minoritas-seksual-di-indonesia">bencong-bencong</a>, ya!”. </p>
<p>Dalam sebuah percakapan dengan salah satu penulis, seorang kandidat doktor diwanti-wanti kampus tempatnya bekerja - sebuah universitas swasta di Yogyakarta - agar “tidak menulis tentang kajian LGBT”. </p>
<p>Sikap serupa terjadi pada staf pengajar. Kami menemukan di beberapa universitas di Jawa Timur bahwa dosen-dosen yang berafiliasi dengan organisasi “LGBTIQ+” atau diduga memiliki orientasi seksual berbeda tidak ditingkatkan secara jabatan atau secara halus disingkirkan, sehingga akhirnya keluar. </p>
<p>Ada seorang dosen yang tidak diberikan mata kuliah untuk mengajar di semester berikutnya. Ia mengatakan pada kami, “Aku tidak tahu, tiba-tiba aku menemukan bahwa namaku tidak ada di daftar mata kuliah semester mendatang. Waktu kutanyakan, jawabannya tidak pernah jelas”. </p>
<p>Tak berbeda dengan perilaku diktator sebelum Reformasi, berbagai pelarangan dan pembatasan seperti ini tidak pernah ada jejak tertulisnya. Kadang pengajar diharuskan menandatangani pernyataan tidak akan menuntut dan menyampaikan perilaku diskriminatif pemimpin kampus itu kepada media. </p>
<p>Tidak hanya staf pengajar yang mendapat diskriminasi. Sejak 2016, <a href="https://nasional.tempo.co/read/870811/syarat-mahasiswa-baru-universitas-andalas-bebas-lgbt-jadi-viral/full&view=ok">Universitas Andalas</a> di Sumatera Barat dan <a href="http://www.suarakita.org/2016/11/2415799120/">Universitas Negeri Gorontalo</a> memberlakukan peraturan khusus untuk menyaring mahasiswa yang diduga LGBT bahkan mengancam menghentikan beasiswa.</p>
<p>Otoritas kampus terkait menyatakan bahwa selain tidak ingin berurusan dengan hal-hal yang sensitif, penabuan yang berujung pada pembatasan dan pelarangan didasarkan pada adat ketimuran dan dasar negara yang berketuhanan. </p>
<p>Namun, sesungguhnya hal ini merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang <a href="https://brill.com/view/journals/bki/170/2-3/article-p382_11.xml?language=en">menuju ke arah konservatif</a> dengan berbagai <a href="https://www.jstor.org/stable/10.2979/jims.5.1.01">propaganda</a>.</p>
<p>Ini menunjukkan bahwa kampus sejak era Soeharto tidak memiliki kemerdekaan akademik seutuhnya, meski jargon <a href="https://dikti.kemdikbud.go.id/kabar-dikti/kabar/program-kampus-merdeka-ajak-mahasiswa-indonesia-menjadi-sdm-kreatif-dan-adaptif/">“kampus merdeka”</a> kini menggelegar di mana-mana. </p>
<p>Kondisi ini merupakan sistem warisan Orde Baru (dan pasca Orde Baru) yang tidak hanya represif dan <a href="https://www.jstor.org/stable/3350927?seq=1#metadata_info_tab_contents">militeristik</a> tapi juga <a href="https://www.degruyter.com/document/doi/10.1355/9789814843478-011/html">patriarkis, religius</a>, dan <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/0014184042000302308">homofobik</a>. </p>
<p>Alih-alih memberikan pengetahuan mengenai keragaman gender dan seksual di masyarakat, negara lebih mengedepankan <a href="https://www.goodreads.com/book/show/13420600-state-ibuism">maskulinitas</a> dalam <a href="https://read.dukeupress.edu/books/book/1746/chapter-abstract/183710/The-State-and-Sexuality-in-New-Order-Indonesia?redirectedFrom=fulltext">kebijakan nasional</a>.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/ironi-kebijakan-kampusmerdeka-ketika-kampusnya-merdeka-tapi-mahasiswanya-tidak-132260">Ironi kebijakan #KampusMerdeka: ketika kampusnya merdeka tapi mahasiswanya tidak</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Melawan dengan pengetahuan (di bawah tanah)</h2>
<p>Negara nyaris tidak pernah hadir dalam membangun <a href="https://www.antaranews.com/berita/207199/mendiknas-tidak-setuju-pendidikan-seks-di-sekolah">pengetahuan</a> mengenai <a href="https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/11/151102_indonesia_pendidikanseks">seksualitas</a>. </p>
<p>Demikian pula kampus lebih banyak bergerak menjadi pemasok tenaga kerja bagi industri, pejabat, dan “kaki tangan” rezim. </p>
<p>Kita perlu menyikapi situasi dengan serius mengingat kampus pada saat ini memiliki kecenderungan melakukan riset dan kurikulum yang bergerak pada pemenuhan pasar dan sektor industri (<a href="https://lldikti12.ristekdikti.go.id/2013/04/28/kurikulum-nasional-berbasis-kompetensi-mengacu-pada-kkni.html">Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia)</a>), bukan pada kemanusiaan. </p>
<p>Pun upaya “membungkam” pengetahuan seksualitas berdatangan dari berbagai pihak. </p>
<p>Selain institusi pendidikan yang cenderung konservatif (yang memunculkan <a href="https://theconversation.com/whats-behind-indonesian-authorities-desire-to-control-lgbt-sexuality-65543">Aliansi Cinta Keluarga (AILA)</a>), <a href="http://www.socsci.uci.edu/%7Etboellst/bio/IN8.pdf">ormas Islam(is)</a> seperti Front Pembela Islam, Majelis Mujahidin Indonesia, Gerakan Pemuda Kabah, <a href="https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/02/160225_indonesia_ponpes_waria_ditutup">Front Jihad Islam</a>, dan <a href="https://www.antaranews.com/berita/708465/mui-lgbt-tidak-dibenarkan-semua-agama">Majelis Ulama Indonesia</a> punya andil dalam pembungkaman tersebut. Ada kalanya pimpinan perguruan tinggi tunduk kepada tuntutan mereka karena kekhawatiran keamanan atau perhitungan politik.</p>
<p>Meski demikian, akademisi institusi pendidikan, kelompok studi, dan lembaga swadaya masyarakat di luar kampus tetap berupaya melakukan memperkenalkan, membahas, dan memperkaya pengetahuan tentang seksualitas dalam berbagai cara; misalnya, dengan menyamarkan acara sebagai retret atau buka puasa bersama - ini dilakukan bahkan sejak Orde Baru.</p>
<p>Beberapa akademisi dan institusi tetap konsisten membela kebebasan akademik meski pun mengalami banyak hambatan seperti FISIP dan Fakultas Ilmu Budaya Unair di Surabaya; Pusat Studi Gender & Seksualitas Universitas Indonesia dan Sekolah Tinggi Filsafat Teologi di Jakarta; Universitas Kristen Duta Wacana, FISIP Universitas Atma Jaya, dan Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta; dan masih ada lagi. </p>
<p>Pengembangan riset dan produksi ilmu pengetahuan tentang gender dan seksualitas akhirnya dilakukan - kadang dengan gerilya - oleh berbagai organisasi non-pemerintah yang juga melakukan advokasi terhadap individu LGBTQI+.</p>
<p>Beberapa di antara mereka adalah GAYa NUSANTARA, Ardhanary Institut, Suara Kita, GWL-INA dan Arus Pelangi, juga oleh sekutu-sekutu seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk), Youth Interfaith Forum on Sexuality (YIFoS), dan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM).</p>
<p>Walau berusaha dibungkam, namun civitas akademika tidak lantas diam. Pergerakan memang dibatasi, tapi perlawanan tidak berhenti.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/167202/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Dina Listiorini adalah salah satu anggota dewan pengurus organisasi Suara Kita untuk periode 2021-2026.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Dédé Oetomo terafiliasi dengan GAYa NUSANTARA (sebagai Pembina) dan dengan FISIP & FIB Univ. Airlangga (sebagai dosen tidak tetap). </span></em></p>Pembungkaman atas isu LGBT di kampus sudah berlangsung lama - paling tidak sejak era Orde Baru - dan sayangnya terus terjadi hingga kini. Namun, perlawanan tidak berhenti.Dina Listiorini, Dosen. peneliti untuk media dan isu seksualitas, Universitas Atma Jaya YogyakartaDédé Oetomo, Adjunct Lecturer in Gender and Sexuality, Universitas AirlanggaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1671882021-09-08T03:11:41Z2021-09-08T03:11:41ZDua sisi inovasi digital: represi pemerintah menggerus tapi perlawanan jalan terus<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/419020/original/file-20210902-21-1948gdf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang mengikuti unjukrasa secara virtual menentang UU Cipta Kerja pada 2020.</span> <span class="attribution"><span class="source">Ari Bowo Sucipto/Antara Foto</span></span></figcaption></figure><p>Kemajuan media digital adalah pedang bermata dua.</p>
<p>Pakar politik Aim Sinpeng dari University of Sidney, Australia, berpendapat bahwa media digital di Asia Tenggara hadir sebagai <a href="https://doi.org/10.1177/0163443719884052">alat penting aktivisme</a>. Namun, kelicikan politikus otoriter dan peningkatan kontrol pada internet nyatanya menindas masyarakat demokratis.</p>
<p>Gesekan antara kekuatan digital yang saling bertentangan ini sedang terjadi di Indonesia. </p>
<p>Di satu sisi, internet telah membantu publik menyuarakan kritik terhadap pemerintah. Namun, di sisi lain, teknologi digital telah membantu penguasa membungkam kritik.</p>
<h2>Pelanggaran kebebasan selama pandemi</h2>
<p>Selama pandemi, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan peraturan dan inisiatif baru untuk mengendalikan arus informasi di dunia maya.</p>
<p>Pihak berwenang mengklaim bahwa langkah-langkah ini perlu untuk melindungi bangsa di tengah kemajuan teknologi digital. Tapi tampaknya, peraturan dan inisiatif ini justru menghalangi warga untuk berinteraksi di dunia digital.</p>
<p>Tahun lalu, kepolisian memerintahkan personilnya untuk mengadakan <a href="https://safenet.or.id/2021/05/digital-situation-report-2020/">patroli siber</a>. </p>
<p>Patroli tersebut bertujuan untuk memantau peredaran opini dan berita, penyebaran hoaks terkait COVID-19, respons pemerintah terhadap pandemi, dan <a href="https://www.amnesty.org.au/wp-%20content/uploads/2021/04/AmnestyInternational_AnnualReport_2020_2021.pdf">penghinaan terhadap presiden dan pejabat pemerintah</a>.</p>
<p>Namun, parameter yang digunakan dalam patroli untuk menentukan informasi COVID-19 serta respons atas hoaks tidak jelas. </p>
<p>Pada awal 2021, polisi mengumumkan pemberian <a href="https://en.tempo.co/tag/badge-awards">penghargaan</a> bagi warga yang aktif melaporkan tindak kriminal yang dilakukan di media sosial. Lagi-lagi, bagaimana persisnya penilaian dan mekanisme pemberian “Badge Award” tersebut hingga kini belum jelas. Dengan demikian, hal itu justru dapat mendorong warga untuk saling mencari-cari kesalahan dalam aktivitas online.</p>
<p>Polisi juga membentuk unit baru, yaitu “<a href="https://www.thejakartapost.com/news/2021/03/19/new-virtual-police-adds-to-fears-over-loss-%20of-online-civic-space-civil-freedoms.html">polisi virtual</a>” atau polisi siber. Unit ini bertugas memantau media sosial dan mengeluarkan peringatan untuk konten yang melanggar Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (<a href="https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/users/%204761/UU%2019%20Tahun%20202016.pdf">ITE</a>).</p>
<p>UU ITE disahkan pada 2008 untuk melindungi konsumen dalam transaksi elektronik via internet seiring meningkatnya kegiatan ekonomi daring. Tapi, dalam praktiknya, pemerintah dan aparat penegak hukum justru menyalahgunakan UU ini untuk <a href="https://theconversation.com/indonesias-information-law-has-threatened-free-speech-for-more-than-a-decade%20-ini-harus-berhenti-127446">membungkam para pengritik</a>.</p>
<p>Polisi siber adalah model pemantauan baru. Kehadiran “Badge Award” dan polisi siber ini <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210225072507-12-610602/virtual-police-resmi-beroperasi-medsos-kini-dipantau-polisi">dikhawatirkan</a> akan membuat warga takut mengekspresikan pendapat mereka di dunia maya. Ini adalah bentuk serangan terhadap kebebasan berekspresi. </p>
<p>Selain itu, kriminalisasi terhadap pengguna online lewat UU ITE telah <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-56664120">meningkat</a> selama pandemi. Efeknya adalah pembungkaman kritik publik atas respons negara selama pandemi.</p>
<p>Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara <a href="https://safenet.or.id/2021/05/digital-situation-report-2020/">SAFEnet</a> telah mencatat setidaknya 84 kasus kriminalisasi netizen pada 2020 - hampir empat kali lipat dibanding 24 kasus yang tercatat pada 2019.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/covid-19-di-asia-tenggara-bukan-sekadar-krisis-kesehatan-166676">COVID-19 di Asia Tenggara: bukan 'sekadar' krisis kesehatan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Otoritarianisme digital</h2>
<p>Sebuah <a href="https://doi.org/10.1017/S0020818320000624">analisis</a> oleh peneliti politik Tiberiu Dragu dari Universitas New York dan Yonatan Lupu dari Universitas George Washington, Amerika Serikat, menunjukkan bahwa inovasi teknologi telah menyebabkan peningkatan penyalahgunaan untuk mencegah kelompok oposisi bergerak.</p>
<p>Kemajuan teknologi juga meningkatkan kemungkinan pihak otoriter untuk dapat berhasil melumpuhkan para oposisi.</p>
<p>Ini karena kemajuan di bidang digital telah memfasilitasi pemerintah dan institusi otoriter untuk memantau secara digital dan mengekang kebebasan berekspresi dan kebebasan sipil lainnya.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/408604/original/file-20210628-23-qhdm62.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/408604/original/file-20210628-23-qhdm62.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=317&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/408604/original/file-20210628-23-qhdm62.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=317&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/408604/original/file-20210628-23-qhdm62.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=317&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/408604/original/file-20210628-23-qhdm62.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=399&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/408604/original/file-20210628-23-qhdm62.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=399&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/408604/original/file-20210628-23-qhdm62.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=399&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Beberapa cuitan oleh akun resmi Pusat Reserse Kriminal Siber Polri.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://twitter.com/CCICPolri/status/1362941393585328133">Author provided</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Polisi siber menggunakan kampanye satu arah dan membatasi diskusi interaktif di ruang publik digital. Netizen Indonesia telah memposting banyak pertanyaan tentang cuitan para polisi siber, tapi tidak ada tanggapan. Hal itu akhirnya hanya membuat perdebatan online tak berujung di kalangan netizen.</p>
<p>Sebuah <a href="https://nasional.kompas.com/read/2021/04/05/12172271/litbang-kompas-343-persen-khawatir-polisi-virtual-ancam-kebebasan?page=all">survei</a> terbaru oleh Kompas menemukan 34,3% masyarakat Indonesia memandang polisi siber sebagai ancaman terhadap kebebasan berekspresi.</p>
<p>Dalam konteks yang lebih luas, polisi siber telah menambah tekanan pada kebebasan digital di Indonesia. Kebebasan digital sebelumnya sudah menghadapi ancaman represi serupa lewat <a href="https://theconversation.com/indonesias-information-law-has-threatened-free-speech-for-more-than-a-decade-this-must-stop%20-127446">UU ITE</a> dan serangan siber.</p>
<p>Serangan siber sudah terjadi sebelum pandemi dan hadirnya polisi siber. Serangan terhadap aktivis pro-demokrasi ini tercipta dalam berbagai bentuk, termasuk teror telepon dan peretasan, serta pengawasan WhatsApp dan email.</p>
<p>Salah satu serangan siber terbesar adalah serangan terhadap aktivis kampus yang <a href="https://jurnal.kpk.go.id/index.php/integritas/article/view/732">menolak</a> revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2019.</p>
<p>Kasus lainnya adalah penyerangan <a href="https://katadata.co.id/desysetyowati/berita/5ea1337090dc3/kritik-stafsus-jokowi-whatsapp-aktivis-diretas-lalu-ditangkap-polisi">terhadap</a> <a href="https://www.kompas.tv/article/174662/tolak-keras-tes-wawasan-kebangsaan-advokat-lbh-jakarta-dan-aktivis-icw-alami-peretasan-digital">aktivis</a>, <a href="https://tirto.id/kasus-peretasan-teror-diskusi-cls-ugm-polisi-lambat-bertindak-fECn">mahasiswa</a>, dan <a href="https://tirto.id/kronologi-peretasan-tempoco-pembungkaman-pekerjaan-jurnalistik-fZml">situs web</a> <a href="https://metro.tempo.co/read/1392057/polisi-naikkan-status-kasus-peretasan-tempo-co-dan-tirto-id-ke-penyidikan/full&view=ok">media</a>.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mendorong-polisi-virtual-melakukan-edukasi-bukan-pengawasan-yang-represif-157605">Mendorong polisi virtual melakukan edukasi, bukan pengawasan yang represif</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Sisi baik</h2>
<p>Kabar baiknya, terlepas dari serangan-serangan ini, kelompok masyarakat sipil tidak berhenti berjuang.</p>
<p>Media digital telah mendukung dan memfasilitasi munculnya oposisi masyarakat sipil terhadap tindakan dan kebijakan pemerintah yang bermasalah. Termasuk di dalamnya, protes terhadap revisi UU KPK, kebijakan <em>new normal</em>, <a href="https://www.thejakartapost.com/paper/2020/10/25/the-rise-of-political-digital%20-attacks.html">UU Cipta Kerja</a>, dan keputusan tentang pengadaan pemilihan kepala daerah selama pandemi.</p>
<p>Riset Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), University of Amsterdam dan KITLV Leiden di Belanda, Universitas Diponegoro di Jawa Tengah, Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta, dan perusahaan konsultan Drone Emprit mengidentifikasi gelombang perlawanan masyarakat sipil di ranah digital.</p>
<p>Penelitian yang akan segera terbit ini berusaha membandingkan jumlah akun Twitter Indonesia yang mendukung UU Cipta Kerja dan yang menolak.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/403974/original/file-20210602-18-yycuhp.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/403974/original/file-20210602-18-yycuhp.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=349&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/403974/original/file-20210602-18-yycuhp.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=349&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/403974/original/file-20210602-18-yycuhp.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=349&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/403974/original/file-20210602-18-yycuhp.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=438&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/403974/original/file-20210602-18-yycuhp.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=438&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/403974/original/file-20210602-18-yycuhp.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=438&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
<span class="attribution"><span class="source">Drone Emprit</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Pegiat masyarakat sipil Indonesia terus berjuang melawan serangan siber serta invasi influencer, buzzer, dan bot yang mendukung penguasa di ranah digital. Dalam hal ini, polisi siber dapat dilihat sebagai bentuk intimidasi di ruang publik.</p>
<p>Resistensi ini menandai munculnya kesadaran baru warga negara untuk berpartisipasi dalam politik di lingkungan digital.</p>
<p>Warga negara Indonesia perlu terus belajar tentang hak digital untuk memahami hak dasar mereka demi mengungkapkan pendapat dan menemukan informasi yang dapat dipercaya.</p>
<p>Pemerintah harus memfasilitasi kebebasan berekspresi di ruang online bagi warga negara untuk menyuarakan hak dan kepentingannya. Pada saat yang sama, pemerintah harus menghindari dan mencegah praktik otoriter yang merusak demokrasi. Ini dapat dimulai dengan merevisi UU ITE dan membubarkan unit polisi siber.</p>
<hr>
<p><em>Rachel Noorajavi menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/167188/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Wijayanto adalah direktur pusat studi media dan demokrasi, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Sebagian dari artikel ini ditulis berdasar temuan penelitian yang merupakan proyek kolaborasi antara LP3ES, KITLV Leiden, Universitas Amsterdam, Drone Emprit Indonesia, Universitas Diponegoro dan Universitas Islam Indonesia, dalam skema Anticipation Netherlands-Indonesia Grants yang didanai oleh The Royal Netherlands Academy of Arts and Science (KNAW).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Fiona Suwana tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Di satu sisi, teknologi telah membantu publik menyuarakan kritik terhadap pemerintah. Namun, di sisi lain, teknologi juga membantu penguasa membungkam kritik.Fiona Suwana, Researcher, University of South Australia and Course Designer, Queensland University of TechnologyWijayanto, Dosen Media dan Demokrasi, Departemen Politik dan Pemerintahan, Universitas DiponegoroLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1634992021-07-02T09:54:52Z2021-07-02T09:54:52ZSKB UU ITE bawa kemajuan, tapi revisi tetap mutlak dilakukan karena masih banyak kelemahan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/409229/original/file-20210701-21118-1hkbbq5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C6720%2C4466&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Dedi Sinuhaji/EPA</span></span></figcaption></figure><p>Minggu lalu, pemerintah mengeluarkan <a href="https://icjr.or.id/wp-content/uploads/2021/06/SKB-UU-ITE.pdf">Surat Keputusan Bersama</a> (SKB) berisi pedoman penerapan beberapa pasal dalam Undang-Undang (UU) tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).</p>
<p>SKB itu merupakan respons terakhir pemerintah terhadap tuntutan masyarakat untuk merevisi UU ITE. SKB tersebut merupakan <a href="https://nasional.kompas.com/read/2021/06/23/19085041/skb-pedoman-uu-ite-resmi-ditandatangani-ini-isinya?page=all">kesepakatan</a> antara Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Kepala Polisi Jenderal Listyo Sigit Prabowo setelah <a href="https://nasional.tempo.co/read/1434218/jokowi-minta-revisi-uu-ite-ini-aneka-respon-anak-buahnya">Presiden Joko “Jokowi” Widodo menyatakan akan merevisi UU ITE</a>.</p>
<p>Saya yang sedang melakukan penelitian tentang tindak pidana pencemaran nama baik dan dampaknya pada demokrasi mencatat ada beberapa kemajuan dalam penerapan UU ITE lewat SKB ini, meski masih ada juga beberapa masalah yang masih timbul. </p>
<h2>Upaya menjelaskan makna kesusilaan</h2>
<blockquote>
<p>Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.</p>
</blockquote>
<p>Problem mendasar pasal 27 ayat 1 di atas adalah definisi kesusilaan yang luas yang bisa dimaknai sebagai tindak pidana yang melanggar norma-norma di masyarakat – tidak hanya terbatas pada pornografi. </p>
<p>SKB kemudian menegaskan bahwa ada arti sempit dan luas untuk “kesusilaan”. SKB mendefinisikan “kesusilaan” dalam arti sempit sebagai konten pornografi yang merujuk pada UU Pornografi dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sehingga <a href="https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2008_44.pdf">konten pornografi untuk kepentingan sendiri tidak melanggar hukum</a>.</p>
<p>Namun masih terdapat definisi yang tumpang tindih terkait bentuk perbuatan “mendistribusikan” dan “membuat dapat diaksesnya”. </p>
<p>Berdasarkan SKB, frasa “mendistribusikan” dan “membuat dapat diaksesnya” bisa menjadi rancu karena ada kemiripan definisi: sengaja membuat publik bisa melihat, menyimpan, ataupun mengirimkan kembali konten melanggar.</p>
<p>Padahal, menurut <a href="https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/users/4761/UU%2019%20Tahun%202016.pdf">penjelasan UU ITE</a>, “mendistribusikan” adalah perbuatan menyebarkan kepada orang banyak – <em>retweet</em> di media sosial termasuk di sini. </p>
<p>Sementara, “membuat dapat diaksesnya” dalam penjelasan UU ITE, adalah semua perbuatan lain selain “mendistribusikan” dan “mentransmisikan”. </p>
<p>Definisi di dalam UU ITE yang masih luas ini memungkinkan pihak ketiga seperti penyedia jasa internet, ikut bertanggung jawab secara pidana. </p>
<p>Menurut saya, lebih baik menghapus frasa “membuat dapat diaksesnya” yang lebih bersifat pasif di dalam revisi UU ITE nanti, karena SKB pun menegaskan perlu adanya perbuatan aktif pelaku.</p>
<h2>Merujuk pada KUHP tapi ….</h2>
<blockquote>
<p>Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama
baik.</p>
</blockquote>
<p>Pasal 27 Ayat 3 UU ITE adalah pasal yang <a href="https://interaktif.tempo.co/proyek/pasal-karet-uu-ite-sejoli-pembungkam-kritik/index.php">paling banyak</a> digunakan untuk pelaporan kasus pelanggaran UU ITE.</p>
<p>SKB menegaskan bahwa sesuai <a href="https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_sidang_FINAL%20PUTUSAN%2050%20UU%20ITE%202008.pdf">putusan Mahkamah Konstitusi pada 2008</a>, definisi penghinaan dan/atau pencemaran nama baik merujuk pada pencemaran dan fitnah di KUHP. </p>
<p>Kabar baiknya, ini akan mempertegas batasan tindak pidana hanyalah untuk serangan terhadap kehormatan atau tuduhan yang salah, bukan cacian atau makian yang tidak menyerang reputasi korban.</p>
<p>SKB juga menegaskan menegaskan bahwa pelapor dalam hal ini adalah individu, bukan badan hukum seperti organisasi, perusahaan, atau kelompok sebagaimana <a href="https://theconversation.com/yang-luput-dibicarakan-dari-kasus-jerinx-kita-tak-punya-aturan-jelas-melawan-hoax-misinformasi-dan-disinformasi-145172">banyak terjadi selama ini</a>. </p>
<p>Hal positif lainnya adalah penegasan bahwa ekspresi berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi, atau sebuah kenyataan tidak termasuk tindak pidana.</p>
<p>Pedoman ini memberikan contoh perbuatan mentransmisikan informasi pencemaran nama baik yang dikategorikan “supaya diketahui umum” adalah unggahan di media sosial yang profilnya tidak dikunci untuk dilihat publik. </p>
<p>Sayangnya, ini belum menjawab mengenai informasi elektronik yang bermuatan pencemaran nama baik yang dikirimkan melalui medium yang privat, contohnya pesan singkat (SMS) dan e-mail, mengingat keduanya juga merupakan informasi elektronik.</p>
<p>Untuk Pasal 27 Ayat 4, SKB juga mempertegas definisi pemerasan dan pengancaman mengacu kepada KUHP. </p>
<p>Hal ini patut diapresiasi karena SKB menyebutkan yang termasuk perbuatan mengancam adalah juga ancaman membuka rahasia, membuka data, foto dan video pribadi. </p>
<p>Perbuatan-perbuatan ini dapat didefinisikan sebagai <a href="https://www.thecyberhelpline.com/guides/outing"><em>outing</em></a> atau pelanggaran privasi yang merupakan salah <a href="https://id.safenet.or.id/wp-content/uploads/2019/11/Panduan-KBGO-v2.pdf">satu jenis dari KBGO (Kekerasan Berbasis Gender Online)</a>.</p>
<h2>Makna ganda</h2>
<blockquote>
<p>Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan
kerugian bagi Orang lain.</p>
</blockquote>
<p>SKB menentukan bahwa pasal 36 di atas hanya mengatur pemidanaan terkait kerugian materiil yaitu dampak kerugian yang nyata.</p>
<p>Ketentuan ini bisa bermakna ganda. Kerugian materiil bisa diukur pada tindak pidana yang korbannya adalah sistem elektronik (peretasan) atau menggunakan sistem elektronik sebagai medium (penipuan konsumen online). </p>
<p>Namun pada tindak pidana yang berkaitan dengan ekspresi di internet seperti pencemaran nama baik dan ujaran kebencian, bentuk kerugian materiil sulit diukur. Ini karena perbuatan itu melibatkan sesuatu yang abstrak seperti kehormatan dan rasa permusuhan atas dasar SARA.</p>
<h2>Bukan delik aduan</h2>
<p>UU ITE 2016, <a href="https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/users/4761/UU%2019%20Tahun%202016.pdf">memasukkan <em>cyberbullying</em></a> ke dalam pasal ini. Ancaman kekerasan atau menakut-nakuti dalam pasal ini lebih bertujuan intimidasi. </p>
<p>Sayangnya, SKB merumuskan pasal ini sebagai tindak pidana umum, ketimbang tindak pidana aduan. Di saat bersamaan, SKB juga menyatakan bahwa ancaman dalam pasal ini harus spesifik dan pribadi. </p>
<p>Sudah sepatutnya pasal ini menjadi tindak pidana aduan apabila efek ketakutan atas ancaman hanya bisa dirasakan oleh korban yang dituju. </p>
<h2>Kekurangan lainnya</h2>
<blockquote>
<p>Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan
untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).</p>
</blockquote>
<p>SKB tampaknya akan memperlakukan pasal 28 Ayat 2 sebagai sebagai tindak pidana formil (perbuatan sudah dilakukan), ketimbang tindak pidana materiil (perbuatan dilakukan dan ada akibat dari perbuatan tersebut). </p>
<p>Menurut saya, lebih tepat apabila pasal ini diperlakukan sebagai tindak pidana materiil, karena penting melihat adanya efek kebencian dan permusuhan atas dasar SARA yang bentuknya bisa bermacam-macam seperti kerusuhan dan perkelahian. </p>
<p>Sulit mengukur dampak kerugian, kalau tindakannya baru ajakan bermotif kebencian, tapi kebenciannya sendiri belum terwujud dalam bentuk aksi yang “merusak”.</p>
<p>Masalah lain dalam SKB terkait pasal ini adalah rujukan frasa “antargolongan” pada <a href="https://legalitas.org/putusan-mahkamah-konstitusi-no-76-puu-xv-2017-tahun-2017-tentang-pengujian-undang-undang-nomor-11-tahun-2008-tentang-informasi-dan-transaksi-elektroni">Putusan MK tahun 2017</a> yang memperluas arti golongan di luar Suku, Ras dan Agama. </p>
<p>Putusan kasus ujaran kebencian musikus I Gede Ari Astina atau Jerinx tahun lalu, merupakan salah satu contoh perluasan “antargolongan” untuk <a href="https://icjr.or.id/wp-content/uploads/2020/11/PUTUSAN-JRX-TINGKAT-1_edited.pdf">organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia</a>.</p>
<p>Ini akan menimbulkan masalah definisi baru yang bersifat “karet”, karena idealnya definisi golongan adalah <a href="https://icjr.or.id/pedoman-implementasi-uu-ite-harus-menjadi-sinyal-penyegeraan-pembahasan-revisi-uu-ite/">sebuah identitas yang dibawa dan melekat sejak lahir</a>, bukan sesuatu yang mudah berubah seperti profesi.</p>
<h2>Revisi UU ITE</h2>
<p>Menurut saya, SKB ini adalah pedoman yang harus menjadi transisi menuju revisi UU ITE. Revisi undang-undang tetap harus menjadi solusi utama atas carut-marut UU ITE ini.</p>
<p>Pemerintah sendiri telah memutuskan akan <a href="https://nasional.kompas.com/read/2021/06/08/16025561/pemerintah-putuskan-revisi-4-pasal-uu-ite">merevisi beberapa pasal dan menambah satu pasal</a>. </p>
<p>Pasal-pasal bermasalah ini adalah pasal-pasal tindak pidana dalam UU ITE. </p>
<p>Idealnya untuk menghindari pengaturan ganda soal tindak pidana, <a href="https://nasional.kompas.com/read/2019/08/05/10594841/agar-tak-tumpang-tindih-uu-ite-dan-rkuhp-diminta-sejalan">revisi UU ITE dan revisi KUHP bisa berjalan beriringan</a>.</p>
<p>Dengan mengeluarkan SKB, pemerintah sebenarnya mengakui bahwa pasal-pasal ini bermasalah baik dari segi bahasa perundang-undangan maupun dalam penegakannya – kalau tidak, tentu SKB tidak diperlukan.</p>
<p>Ketentuan yang sudah baik dalam SKB perlu dipertegas dalam revisi UU ITE nanti. UU ITE yang baru nanti harus memenuhi <a href="http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/content/bahasa-perundang-undangan">beberapa syarat</a> antara lain kejernihan atau kejelasan pengertian dan kelugasan.</p>
<p>Lebih lanjut, ada beberapa hal lain yang perlu diatur juga dalam revisi UU ITE nantinya, misalnya penghapusan sanksi pidana atas perbuatan pencemaran nama baik dan pemulihan reputasi bagi mereka yang sudah <a href="https://semuabisakena.jaring.id">menderita kerugian</a> akibat pasal-pasal UU ITE yang bermasalah.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/163499/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Eka Nugraha Putra tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Dengan mengeluarkan SKB, pemerintah sebenarnya mengakui bahwa pasal-pasal ini bermasalah baik dari segi bahasa perundang-undangan maupun dalam penegakannya – kalau tidak, tentu SKB tidak diperlukan.Eka Nugraha Putra, Doctor of Juridical Science Candidate at Indiana University, Lecturer in Law, Universitas Merdeka MalangLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1576052021-04-06T07:52:14Z2021-04-06T07:52:14ZMendorong polisi virtual melakukan edukasi, bukan pengawasan yang represif<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/391617/original/file-20210325-21-18n6uc7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://pixabay.com/illustrations/social-media-internet-security-1679307/">Pixabay</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Belum lama ini, kepolisian Indonesia membentuk satuan tugas digital – kerap disebut sebagai <a href="https://www.kompas.com/tren/read/2021/02/26/083100665/3-hal-yang-perlu-diketahui-soal-apa-itu-polisi-virtual-dari-tugas-hingga?page=all">polisi virtual</a> – dengan tujuan untuk melakukan edukasi kepada masyarakat terkait bahaya konten-konten negatif yang beredar di internet. </p>
<p>Akan tetapi, dalam aktivitasnya, alih-alih memberi edukasi, polisi virtual justru fokus pada pemberian peringatan dan melakukan proses interogasi terhadap masyarakat. </p>
<p>Polisi virtual seharusnya mengambil peran penting dalam edukasi literasi digital.</p>
<p>Dengan begitu, satuan tugas digital ini tidak menjadi instrumen represi baru.</p>
<h2>Apa itu polisi virtual?</h2>
<p>Polisi virtual adalah bagian dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri), di bawah Direktorat Tindak Pidana Siber pada Badan Reserse Kriminal. </p>
<p>Satuan ini mulai aktif sejak <a href="https://nasional.kompas.com/read/2021/02/23/18103521/polri-se-kapolri-berlaku-juga-untuk-kasus-uu-ite-yang-sedang-diproses">19 Februari 2021</a>. </p>
<p>Berbeda dengan polisi siber yang bertugas untuk menindaklanjuti pelanggaran Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), polisi virtual memiliki tujuan utama untuk melakukan edukasi kepada masyarakat. </p>
<p>Polisi virtual bekerja melewati <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210225093152-12-610643/cara-kerja-virtual-police-peringatan-polisi-dikirim-via-dm">dua tahap</a>. </p>
<p>Pada tahap pertama, polisi virtual memantau unggahan-unggahan media sosial. Jika mereka menemukan unggahan yang mengandung unsur fitnah; suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA); hoaks; ujaran kebencian – khususnya yang melanggar UU ITE dan sebagainya, mereka akan berkonsultasi dengan tim yang terdiri dari ahli bahasa, ahli pidana, dan ahli ITE. </p>
<p>Tahap kedua, setelah menetapkan bahwa unggahan tersebut merupakan sebuah pelanggaran (dalam definisi pelanggaran UU ITE), polisi virtual kemudian akan menghubungi pelaku melalui pesan langsung (<em>direct message</em> atau DM). </p>
<p>Tidak semua akun yang berada dalam pantauan maupun dilaporkan akan diproses secara langsung. Polisi virtual menyeleksi akun mana yang akan dikirim DM dan mana yang tidak. </p>
<p>Pengiriman kemungkinan besar hanya berlaku bagi akun yang bisa menerima DM dari akun polisi virtual , atau akun yang bersifat <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210225093152-12-610643/cara-kerja-virtual-police-peringatan-polisi-dikirim-via-dm">publik</a>.</p>
<p>Polisi virtual mengirim DM juga dalam dua tahap. </p>
<p>Pada tahap pertama, polisi virtual akan memberikan peringatan kepada pelaku unggahan untuk menghapus unggahan tersebut dalam periode tertentu, yakni dalam 1 x x 24 jam. Jika peringatan tersebut tidak diindahkan, maka polisi mengirim peringatan lanjutan. </p>
<p>Di tahap kedua, jika konten tersebut tetap belum diturunkan, maka polisi virtual akan mengirim surat panggilan pada terduga pelaku untuk sesi interogasi di kantor polisi. </p>
<p>Sejauh ini, sudah ada satu kasus seseorang yang dipanggil untuk diinterogasi, yakni pada kasus dugaan penghinaan terhadap <a href="https://m.cnnindonesia.com/nasional/20210315155630-12-617683/polisi-virtual-ciduk-warga-slawi-karena-mengolok-olok-gibran/">Gibran Rakabuming, Walikota Surakarta di Jawa Tengah</a>.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengapa-polisi-cenderung-menggunakan-tindakan-represif-untuk-menyelesaikan-masalah-140769">Mengapa polisi cenderung menggunakan tindakan represif untuk menyelesaikan masalah?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Praktik di Indonesia</h2>
<p>Hingga pertengahan Maret, polisi virtual telah memberikan peringatan kepada <a href="https://nasional.kompas.com/read/2021/03/12/17320661/virtual-police-telah-kirim-peringatan-ke-89-akun-media-sosial">89 akun media sosial</a>. </p>
<p>Akun-akun yang diberi peringatan berasal dari berbagai macam media sosial, baik itu Twitter, Facebook, Instagram, dan media sosial publik lainnya. </p>
<p>Namun, jaring-jaring polisi virtual tidak hanya terbatas pada media sosial publik saja. Mereka juga memantau aplikasi pesan singkat WhatsApp. Pemantauan WhatsApp ini hanya dilakukan berbasis laporan dari individu. </p>
<p>Meskipun polisi virtual tidak dapat melihat isi WhatsApp kita secara langsung, orang lain bisa saja <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210317162147-12-618720/polisi-virtual-selidiki-konten-whatsapp-jika-terima-laporan">melaporkan isi</a> percakapan tersebut dengan dugaan pelanggaran UU ITE.</p>
<p>Praktik ini tentunya cukup meresahkan. Apalagi kini polisi virtual mendorong masyarakat untuk melaporkan konten negatif di internet dengan memberikan penghargaan berupa <a href="https://tirto.id/polri-benarkan-program-badge-awards-bagi-pelapor-pidana-siber-gbdm">lencana atau <em>badge</em></a> kepada pelapor.</p>
<p><em>Badge</em> hanya diberikan kepada pelapor yang laporannya sudah terverifikasi, dianggap sebagai <a href="https://news.detik.com/berita/d-5498348/dirsiber-bareskrim-badge-awards-hanya-untuk-pelapor-kasus-yang-sulit-diungkap">kasus yang sulit diungkap</a>, dan kasusnya sudah mendapat vonis pengadilan. Polisi juga akan merahasiakan identitas pelapor.</p>
<p>Pemberian lencana ini mengkhawatirkan, karena dapat mendorong masyarakat untuk saling melaporkan dan yang akan terjadi adalah timbul rasa ketakutan untuk berpendapat. </p>
<p>Perkembangan tersebut tentunya akan mengancam upaya perlindungan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. </p>
<h2>Praktik di negara lain</h2>
<p>Mengingat kemungkinan berbagai kejahatan yang dapat terjadi di dunia maya seperti <a href="https://lokadata.beritagar.id/chart/preview/jenis-kejahatan-siber-di-indonesia-2019-2020-1590136655">penipuan <em>online</em>, penyebaran konten provokatif, dan akses ilegal</a>, maka sebetulnya keberadaan polisi virtual bukanlah hal yang baru di dunia. </p>
<p>Cina, misalnya yang <a href="https://www.chinadaily.com.cn/china/2007-08/29/content_6066310.htm">sejak tahun 2007</a> telah memiliki instrumen serupa. </p>
<p>Di sana, patroli dilakukan dengan <a href="https://www.chinadaily.com.cn/china/2007-08/29/content_6066310.htm">memunculkan ikon polisi</a> setiap setengah jam di layar gawai pengguna pada portal-portal yang sering diakses masyarakat, seperti Sohu dan Sina. </p>
<p>Dalam perkembangannya, pemerintah Cina merencanakan ikon polisi virtual itu akan muncul pada <a href="https://www.nbcnews.com/id/wbna20477258">semua website</a> yang terdaftar pada server yang berlokasi di Beijing.</p>
<p>Praktik ini dinilai berhasil untuk mengerem persebaran konten negatif dan perbuatan kejahatan di internet.</p>
<p>Akan tetapi, pada perkembangannya, polisi virtual kian menjadi momok bagi masyarakat di Cina dengan semakin invasifnya jangkauan polisi dan meningkatnya upaya sensor konten. </p>
<p>Praktik polisi virtual yang cukup menarik terjadi di Spanyol. Di sana, polisi virtual menggunakan jalur media sosial untuk <a href="https://www.consumersinternational.org/media/293343/social-media-scams-final-245.pdf">membagikan konten-konten edukatif </a> yang didukung oleh tingkat interaksi yang tinggi di antara polisi dan masyarakat. </p>
<p>Praktik inilah yang menurut kami dapat menjadi contoh bagi polisi virtual di Indonesia untuk mencapai tujuan bersifat mendidik. </p>
<p>Jangan sampai, alih-alih meningkatkan strategi komunikasi, fokus kegiatan yang justru ke arah pengawasan yang represif sebagaimana yang terjadi di Cina.</p>
<p>Pengawasan semacam ini mengingatkan kita pada <a href="https://majalah.tempo.co/read/selingan/8673/stasi-polisi-rahasia-jerman-timur-memburu-sampai-ke-kamar-kecil">operasi Stasi di Jerman Timur</a> pada masa Perang Dingin. Ratusan ribu warga Jerman Timur menjadi informan-informan Stasi untuk melaporkan tindak-tanduk dan gerak-gerik sesama warga.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/empat-alasan-di-balik-tren-meningkatnya-pencalonan-mantan-perwira-militer-dan-polisi-dalam-pilkada-156756">Empat alasan di balik tren meningkatnya pencalonan mantan perwira militer dan polisi dalam pilkada</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Edukasi, bukan represi</h2>
<p>Persebaran konten misinformasi, disinformasi, dan hoaks merupakan <a href="https://www.thejakartapost.com/academia/2019/02/19/in-indonesia-young-and-old-share-fake-news-on-social-media.html">permasalahan serius</a> yang perlu ditangani pemerintah. </p>
<p>Terlebih, tingkat literasi digital masyarakat Indonesia <a href="https://theconversation.com/researchers-find-indonesia-needs-more-digital-literacy-education-84570">masih rendah</a>. </p>
<p>Ini menunjukkan pentingnya edukasi yang inklusif tentang cara mencari, mengakses, mengevaluasi konten bermutu di ruang maya, bagaimana memproduksi konten yang akurat, dan bahaya menyebarkan informasi yang tidak benar di media sosial. </p>
<p>Dalam mengatasi permasalahan ini, <a href="https://theconversation.com/melawan-persebaran-disinformasi-di-indonesia-119285">kolaborasi</a> antara platform penyedia media sosial, pemerintah, dan juga kelompok masyarakat sipil penting untuk dilakukan. </p>
<p>Edukasi terkait literasi digital dapat meningkatkan pengetahuan dan kemampuan praktis masyarakat dalam mengolah informasi dan menggunakan perangkat digital. </p>
<p>Hasilnya, masyarakat diharapkan mampu untuk memilah dan memilih informasi yang benar dan baik, sehingga mengurangi jumlah persebaran konten-konten berbahaya pada internet. </p>
<p>Polisi virtual diharapkan dapat menjadi institusi yang berperan aktif dalam mendorong upaya edukasi ini melalui aktivitas produksi konten-konten yang edukatif dan interaktif mengenai konten-konten berbahaya di internet. </p>
<p>Tindakan-tindakan reaktif berupa pemberian peringatan, interogasi, dan publikasi permohonan maaf individu secara publik hanya akan memberi efek jera secara jangka pendek dan memperkuat kesan represif dari polisi virtual. </p>
<p>Padahal, pendekatan pencegahan, yakni edukasi masyarakat, akan mendorong terciptanya ruang digital yang aman dan sehat secara berkelanjutan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/157605/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Polisi virtual seharusnya mengambil peran penting dalam edukasi literasi digital dan tidak menjadi instrumen represi baru.Treviliana Eka Putri, Lecturer at Department of International Relations, Researcher at Center for Digital Society, Universitas Gadjah Mada Muhammad Perdana Sasmita-Jati Karim, Research Assistant, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1561322021-03-12T07:13:27Z2021-03-12T07:13:27ZApakah semua ujaran kebencian perlu dipidana? Catatan untuk revisi UU ITE<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/388466/original/file-20210309-15-1d9lvkd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://pixabay.com/photos/legal-right-justice-law-of-nature-5293009/">Ezequiel Octaviano/Pixabay</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Bulan lalu, Presiden Joko “Jokowi” Widodo <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210217205421-32-607611/jokowi-sudah-minta-menkumham-siapkan-revisi-uu-ite">mengarahkan</a> Kementerian Hukum dan HAM untuk menyiapkan revisi <a href="https://badanpendapatan.riau.go.id/home/hukum/8495315769-doc-20170202-wa0015.pdf">Undang-Undang</a> tentang Informasi dan Transaksi Eletronik (UU ITE) dan <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210218120427-20-607829/pedoman-interpretasi-uu-ite-di-tengah-desakan-revisi-pasal">kepolisian</a> untuk membuat pedoman interpretasi terhadap pasal-pasal tertentu dalam UU tersebut. </p>
<p>Jokowi melihat langkah ini perlu karena ada beberapa pasal dalam aturan tersebut yang dianggap multitafsir, termasuk pasal yang mengatur tentang ujaran kebencian.</p>
<p>Inisiatif Jokowi ini datang setelah bertahun-tahun aktivis hak asasi manusia (HAM) <a href="https://theconversation.com/uu-ite-dan-merosotnya-kebebasan-berekspresi-individu-di-indonesia-126043">mengkritik</a> adanya <a href="https://theconversation.com/bagaimana-mereformasi-uu-ite-dan-hukum-pidana-penghinaan-yang-lain-di-indonesia-125204">pasal-pasal karet</a> dalam UU tersebut, dan penggunaannya dalam <a href="https://theconversation.com/definisi-ujaran-kebencian-di-indonesia-terlalu-luas-gampang-dimanfaatkan-150743">mengkriminalisasi</a> pihak-pihak yang kritis terhadap pemerintah. </p>
<p>Menurut data yang dihimpun <a href="https://icjr.or.id/rilis-koalisi-masyarakat-sipil-presiden-jokowi-segera-cabut-pasal-karet-uu-ite-rakyat-mendesak-dan-siap-mengawal/">koalisi masyarakat sipil</a>, dari 2016 sampai Februari 2020, ada 744 kasus pemidanaan terkait pasal-pasal itu – 676 berakhir dengan pemenjaraan.</p>
<p>Menurut saya, ada dua hal penting tentang ujaran kebencian yang perlu dipertimbangkan dari segi HAM guna memperbaiki UU ITE: jenis-jenis ujaran kebencian yang bisa dipidana dan faktor-faktor dalam menjatuhkan hukuman.</p>
<h2>Multitafsir</h2>
<p>Dalam UU ITE Pasal 28 Ayat 2, setiap orang dilarang “dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).” </p>
<p>Ujaran kebencian mencakup <a href="https://books.google.co.id/books/about/Hate_Crimes.html?id=G6V0Qb4GtNUC&redir_esc=y">spektrum yang luas</a>, mulai dari ucapan kasar terhadap orang lain, ucapan kebencian, hasutan kebencian, perkataan bias yang ekstrim, sampai hasutan kebencian yang berujung pada kekerasan.</p>
<p>Ada dua unsur dalam rumusan Pasal 28 Ayat 2 yang mungkin menyebabkan multitafsir.</p>
<p><em>Pertama</em>, frase “menyebarkan informasi”. </p>
<p>Sejauh mana suatu informasi harus menyebar sehingga dapat dikatakan memenuhi unsur ini? Apakah terbatas pada penyampaian informasi dalam forum publik yang dapat diakses dan dibaca oleh siapa pun?</p>
<p>Atau termasuk penyampaian informasi dalam forum publik yang aksesnya dibatasi dengan cara misalnya jika disetel privat? Atau termasuk juga penyampaian informasi dalam grup chat privat?</p>
<p><em>Kedua</em>, standar “rasa kebencian”. </p>
<p>Menurut <a href="https://law.yale.edu/robert-c-post">Robert Post</a>, profesor hukum di Yale Law School, Amerika Serikat (AS), dalam <a href="https://books.google.co.id/books/about/Extreme_Speech_and_Democracy.html?id=euF2bfrzY80C&redir_esc=y">buku <em>Extreme Speech and Democracy</em></a>, suatu ucapan harus memenuhi standar intensitas tertentu agar dapat dikualifikasikan sebagai ujaran kebencian yang dapat dipidana. </p>
<p>Dengan kata lain, tidak semua ujaran kebencian dapat dipidana.</p>
<p>Dalam rumusan Pasal 28 Ayat 2, unsur “rasa kebencian” tidak dijelaskan ukurannya. Ini berpotensi menyamaratakan semua jenis ucapan kebencian tanpa melihat intensitasnya.</p>
<p>Walaupun cakupan ujaran kebencian dapat merujuk ke <a href="https://uu.direktorimu.com/kuhp/buku-kedua/bab-5-kejahatan-terhadap-ketertiban-umum/#Pasal_157">Pasal 157 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana</a> namun penegasan tentang ukuran ujaran kebencian yang dapat dipidana masih diperlukan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/uu-ite-dan-merosotnya-kebebasan-berekspresi-individu-di-indonesia-126043">UU ITE dan merosotnya kebebasan berekspresi individu di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Klasifikasi jenis ujaran kebencian</h2>
<p>Kita bisa merujuk pada dokumen <a href="https://www.ohchr.org/Documents/Issues/Opinion/SeminarRabat/Rabat_draft_outcome.pdf">Rabat Plan of Action</a> yang disusun oleh Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk HAM (Office of the High Commissioner for Human Rights atau OHCHR) pada 2012 untuk membedakan antara perkataan yang dilindungi oleh hak mengeluarkan pendapat dan ujaran kebencian dalam media sosial. </p>
<p>OHCHR menyarankan tiga klasifikasi ujaran kebencian, yaitu penyampaian pendapat yang harus diancam pidana; penyampaian pendapat yang dapat diancam dengan sanksi administrasi atau digugat secara perdata; dan penyampaian pendapat yang tidak dapat diancam sanksi apapun namun dapat ditangani dengan pendekatan lainnya melalui kebijakan pemerintah.</p>
<p>Penyampaian pendapat yang harus diancam pidana adalah hasutan untuk melakukan genosida, hasutan kekerasan, dan hasutan yang menyerukan kebencian berdasarkan dua peraturan internasional berikut.</p>
<ul>
<li><p>Pasal 20 Ayat 2 <a href="https://treaties.un.org/doc/publication/unts/volume%20999/volume-999-i-14668-english.pdf">International Covenant on Civil and Political Rights</a> (ICCPR) yang mengatur bahwa ajakan kebencian terhadap suatu bangsa, ras, atau agama yang menghasut perbuatan diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan harus dilarang oleh hukum.</p></li>
<li><p>Pasal 4 <a href="https://www.coe.int/en/web/compass/148">International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination</a> (ICERD) yang mengatur bahwa setiap Negara Anggota harus melarang segala bentuk propaganda yang didasarkan pada pemahaman yang berusaha untuk membenarkan atau menganjurkan kebencian terhadap ras dan diskriminasi dalam bentuk apapun.</p></li>
</ul>
<p>Indonesia sudah meratifikasi kedua konvensi tersebut, pada <a href="https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_1999_29.pdf">1999</a> untuk ICERD dan <a href="https://advokasi.elsam.or.id/assets/2015/09/20050000_UU-12-2005-Ratifikasi-ICCPR.pdf">2005</a> untuk ICCPR.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bagaimana-mereformasi-uu-ite-dan-hukum-pidana-penghinaan-yang-lain-di-indonesia-125204">Bagaimana mereformasi UU ITE dan hukum pidana penghinaan yang lain di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Berikutnya, penyampaian pendapat yang dapat diancam dengan sanksi administrasi atau digugat secara perdata, atau bahkan diselesaikan melalui keadilan restoratif yang menitikberatkan pada peranan pelaku dan korban dalam penyelesaian masalah. </p>
<p>Ujaran kebencian yang termasuk kategori ini adalah ucapan yang mengandung kebencian didasarkan pada Pasal 19 Ayat 3 ICCPR yang mengatur bahwa hak mengeluarkan pendapat dapat dibatasi untuk melindungi hak dan reputasi orang lain, keamanan negara atau ketertiban umum, kesehatan publik, atau untuk kepentingan moral.</p>
<p>Kemudian penyampaian pendapat yang tidak dapat diancam sanksi apapun adalah perkataan yang menurut Post merupakan sekadar bentuk dari sifat intoleransi dan perasaan tidak suka yang dimiliki seseorang. </p>
<p>Penyampaian pendapat yang demikian kurang tepat untuk diatur dalam ranah hukum pidana.</p>
<p>Pendekatan yang lebih tepat adalah lewat kebijakan edukasi dan pencegahan misalnya dengan advokasi penggunaan media sosial secara sehat yang didukung dengan <em>censorship</em> yang lebih peka terhadap indikasi ujaran kebencian dalam sosial media.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/definisi-ujaran-kebencian-di-indonesia-terlalu-luas-gampang-dimanfaatkan-150743">Definisi 'ujaran kebencian' di Indonesia terlalu luas, gampang dimanfaatkan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Memperhitungkan proporsi dan keperluan</h2>
<p>OHCHR menegaskan bahwa larangan beserta sanksi yang ditetapkan terhadap ujaran kebencian harus berdasarkan asas proporsionalitas, dan keperluan atau <em>neccessity</em> yang dapat dinilai berdasarkan enam faktor.</p>
<ol>
<li><p>Konteks, yaitu suatu ujaran kebencian harus berkaitan dengan konteks sosial atau politik tertentu pada saat ucapan itu dibuat dan disebarluaskan.</p></li>
<li><p>Status atau posisi pelaku ujaran kebencian dalam suatu organisasi atau jabatan publik yang harus dipertimbangkan.</p></li>
<li><p>Kesengajaan. Merujuk pada Pasal 20 ICCPR, istilah “menganjurkan” dan “menghasut” mengisyaratkan adanya hubungan antara pelaku dan audiens, dalam arti, pelaku bermaksud dan sengaja untuk menggerakkan orang lain.</p></li>
<li><p>Konten dan bentuk. Artinya, suatu ucapan ujaran kebencian harus dinilai sejauh mana ucapan tersebut bersifat langsung dan provokatif, serta bentuk, gaya, sifat argumen yang digunakan. </p></li>
<li><p>Jangkauan ujaran kebencian yang melibatkan penilaian terhadap sifat audiens yang dituju, keluasan audiens, metode penyampaian ujaran kebencian, tempat dan frekuensi penyampaiannya.</p></li>
<li><p>Kemungkinan munculnya dampak dari suatu ujaran kebencian dan seberapa besar kemungkinan tersebut. </p></li>
</ol>
<p>Mengingat bahwa hukum pidana bersifat <em>ultimum remedium</em> atau sarana terakhir, maka pemerintah perlu menyusun ulang kualifikasi dan ruang lingkup ujaran kebencian. </p>
<p>Pemerintah perlu memulai menerapkan pendekatan lain untuk mencegah dan menyelesaikan kasus ujaran kebencian tanpa penyalahgunaan hukum pidana.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/156132/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Devita Putri tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Dua hal penting tentang dengan ujaran kebencian yang perlu dipertimbangkan guna memperbaiki UU ITE: jenis-jenis ujaran kebencian yang bisa dipidana dan faktor-faktor dalam menjatuhkan hukuman.Devita Putri, Lecturer of Criminal Law, Faculty of Law, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1568682021-03-12T05:59:23Z2021-03-12T05:59:23ZKomunitas gay di Indonesia menggunakan media sosial untuk meruntuhkan batasan dan stigma<p>Indonesia tidak memiliki hukum nasional yang melarang <a href="http://ejurnal.untag-smd.ac.id/index.php/LG/article/view/3385">homoseksualitas</a> kecuali <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/47406/uu-no-1-tahun-1974">Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan</a>. UU ini mengatur bahwa perkawinan yang sah hanya perkawinan antara pasangan heteroseksual.</p>
<p>Namun, diskriminasi yang lebih luas terjadi pada komunitas LGBTQ (<em>Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, and Queer</em>).</p>
<p>Dalam lima tahun terakhir, diskriminasi terhadap kelompok gender dan seksual minoritas di Indonesia <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/1323238X.2019.1708084">meningkat</a>. <a href="https://www.aruspelangi.or.id/">Arus Pelangi</a>, lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada advokasi hak LGBTQ, mencatat berbagai tindakan diskrimnasi, mulai dari <a href="https://kbr.id/nasional/09-2019/catatan_kelam_12_tahun_persekusi_lgbt_di_indonesia/100636.html"><em>bullying</em> hingga pembunuhan</a>.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="A screen capture of a news from Indonesian portal Detik.com. The title reads 'Sadistic! This Grobogan guy stab his gay couple to death'." src="https://images.theconversation.com/files/387979/original/file-20210305-15-1pcu7jy.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/387979/original/file-20210305-15-1pcu7jy.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=638&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/387979/original/file-20210305-15-1pcu7jy.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=638&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/387979/original/file-20210305-15-1pcu7jy.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=638&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/387979/original/file-20210305-15-1pcu7jy.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=802&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/387979/original/file-20210305-15-1pcu7jy.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=802&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/387979/original/file-20210305-15-1pcu7jy.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=802&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Tangkapan layar sebuah berita yang terbit di portal Detik.com.</span>
</figcaption>
</figure>
<p><a href="https://ejournal.unitomo.ac.id/index.php/jsk/article/view/1882">Media di Indonesia punya peranan penting</a> dalam menciptakan stigma terhadap komunitas LGBTQ. <a href="https://so03.tci-thaijo.org/index.php/jpss/article/view/241133">Prasangka anti-gay media</a> terlihat dari judul berita, sudut pandang pemberitaan, pemilihan kata dan pemilihan narasumber mereka. </p>
<p>Marginalisasi dan stigma tersebut menyebabkan komunitas gay di Indonesia menghindari untuk tampil di ruang publik dan media. </p>
<h2>Mengalahkan Stigma</h2>
<p><a href="https://doi.org/10.1080/17513057.2021.1952292">Kajian terbaru saya</a> menemukan bahwa komunitas gay di Indonesia menggunakan media sosial untuk mengubah stigma. </p>
<p>Saya melakukan studi ini dari Juli 2020 hingga Januari 2021, mengumpulkan data (unggahan, penjelasan unggahan (<em>caption</em>), video, dll) dari berbagai media sosial seperti TikTok, Instagram dan Twitter. Saya juga mewawancarai 10 orang gay. </p>
<p>Saya menemukan bahwa komunitas gay telah mengembangkan strategi di media sosial untuk melawan stigma. Strategi tersebut terbagi dalam empat kategori:</p>
<ol>
<li>literasi tentang gay</li>
<li>gerakan sosial</li>
<li>pengungkapan orientasi</li>
<li>berbagi keintiman.</li>
</ol>
<h2>Literasi gay</h2>
<p>American Psychiatric Association (APA) di Amerika Serikat (AS) menghapus homoseksualitas dari daftar kelainan mental dalam “Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder” pada 1973; Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) <a href="https://www.psychologytoday.com/us/blog/hide-and-seek/201509/when-homosexuality-stopped-being-mental-disorder">mengikuti langkah tersebut</a> pada 1992.</p>
<p>Hingga kini, masyarakat Indonesia terus melabel homoseksualitas sebagai perilaku seksual menyimpang. Melalui media sosial, komunitas gay mencoba melawan pelabelan itu dengan menghindari ekspresi seksualitas yang ekstrem.</p>
<p>Lewat media sosial, komunitas gay mencela tindakan yang memperburuk stigma terhadap mereka.</p>
<p>Seorang informan dengan serius menyampaikan pesan di akun Twitternya bahwa ia tidak akan mengikuti akun anonim (juga dikenal sebagai akun “alter”) yang memiliki konten pornografi.</p>
<p>Informan lain mengatakan: “Menyedihkan bahwa ada individu gay yang tidak bertanggung jawab. Mereka menciptakan dampak yang merugikan bagi seluruh komunitas gay. Tindakan mereka yang ceroboh kian mengkonfirmasi stigma. Seharusnya mereka justru menggunakan media sosial untuk mengubah stigma.”</p>
<h2>Gerakan sosial</h2>
<p>Orang Indonesia masih mencap HIV/AIDS sebagai penyakit kelompok gay dan menganggap praktik homoseksual sebagai <a href="https://www.republika.co.id/berita/pz5dme349/menyebarnya-hiv-dan-kebebasan-kaum-homoseksual">penyebab utama penularan HIV</a>.</p>
<p>Namun dengan menggunakan media sosial, komunitas gay telah mengkampanyekan kesehatan seksual dengan tujuan meningkatkan kesadaran tentang HIV/AIDS.</p>
<p><div data-react-class="InstagramEmbed" data-react-props="{"url":"https://www.instagram.com/p/CIm75DYn-Sz","accessToken":"127105130696839|b4b75090c9688d81dfd245afe6052f20"}"></div></p>
<p>Salah satu pengguna Instagram, <a href="https://www.instagram.com/acepgates/">@acepgates</a>, menggunakan akunnya untuk mengirim pesan pemberdayaan bagi orang yang hidup dengan HIV/AIDS. Dia mendorong mereka untuk melakukan tes HIV secara berkala.</p>
<p>Melalui media sosial, @acepgates menampilkan dirinya sebagai orang dengan HIV/AIDS yang sehat, sukses, bahagia dan menjalani hidup sepenuhnya.</p>
<p>Temuan saya memperlihatkan komunitas gay peduli dengan kesehatan seksual seperti halnya komunitas heteroseksual. Dengan mempromosikan kesehatan seksual, komunitas gay meningkatkan kesejahteraan sosial secara umum.</p>
<h2>Pengungkapan orientasi</h2>
<p>Ada mitos yang beredar bahwa homoseksualitas adalah sebuah <a href="https://lifestyle.kompas.com/read/2016/02/09/190000923/Orientasi.Seksual.LGBT.Menular.atau.Tidak.">penyakit</a>. </p>
<p>Di Indonesia, ketika seseorang mengungkapkan bahwa dirinya adalah seorang gay, <a href="https://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/02/160210_trensosial_lgbt">tidak jarang</a> orang-orang bereaksi dengan mengatakan “kamu bisa sembuh”.</p>
<p>Komunitas gay Indonesia menggunakan media sosial dalam mengungkap orientasi mereka. Salah satu cara yang paling sederhana adalah dengan mengunggah <em>icon</em> bendera pelangi di profil mereka.</p>
<p>Mereka juga menggunakan media sosial untuk mendidik masyarakat. Seorang informan mengungkapkan orientasinya dengan mengunggah video di TikTok, mengatakan: “LGBT bukanlah penyakit. Ingat itu!”</p>
<p>Unggahan itu mengundang diskusi positif di akunnya. Seorang memberikan respons dengan bercanda: “Kalau kamu mau izin tidak masuk sekolah, ibu kamu bisa menulis surat dengan alasan: anak saya sakit gay.”</p>
<p>Cara tersebut mengelola dan menghapus stigma melalui langkah yang tidak agresif namun jenaka. </p>
<p>Pada akhirnya, cara tersebut mengarah pengguna media sosial dari berbagai orientasi seksual untuk berdiskusi dengan baik. Hal tersebut mendorong publik untuk mengetahui lebih banyak tentang komunitas gay, dan bukan mencerca mereka.</p>
<h2>Berbagi keintiman</h2>
<p>Karena publik dan media mencap keintiman gay sebagai penyimpangan, komunitas gay menggunakan media sosial untuk menolak tuduhan bahwa komunitas gay menyukai pergaulan bebas.</p>
<p>Seorang informan mengatakan: “Masyarakat tidak tahu, kesetiaan penting dalam hubungan gay. Keintiman itu sakral dan indah. Kami juga berkomitmen pada hubungan monogami.”</p>
<p>Lewat serangkaian unggahan di Instagram, @acepgates mendorong sebuah diskusi yang sehat tentang apakah pacaran adalah melulu soal seks.</p>
<p><div data-react-class="InstagramEmbed" data-react-props="{"url":"https://www.instagram.com/p/CIzvyDPnp5V/?igshid=19442ayl1h39a","accessToken":"127105130696839|b4b75090c9688d81dfd245afe6052f20"}"></div></p>
<h2>Media sosial sebagai ruang yang lain</h2>
<p>Dalam masyarakat yang meminggirkan LGBTQ melalui stigma, komunitas gay mengalami diskriminasi di bidang sosial, agama, ekonomi, politik dan hukum.</p>
<p>Media sosial telah menjadi ruang bagi komunitas gay untuk berbagi cerita, pengalaman, emosi, dan sikap dalam konteks kehidupan sehari-hari. </p>
<p>Mereka menumbangkan stigma dengan mengembangkan strategi kreatif dan positif di media sosial.</p>
<p>Hasil kajian ini menunjukkan adanya penguatan bagi kesadaran publik tentang komunitas gay. Lewat empat strategi tersebut, media sosial <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00918369.2018.1511131">memberikan ruang otonom bagi komunitas gay</a> untuk mendekonstruksi stigma.</p>
<p>Media sosial telah menjadi salah satu alat yang memberdayakan kelompok LGBTQ dalam membuat klaim terhadap ruang otonom. Mereka memberi komunitas gay akses ke ranah publik. </p>
<p>Hasil penelitian ini menjadi bagian dari perjalanan kita menuju masyarakat bebas stigma pada masa depan, yang mudah-mudahan tidak lama lagi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/156868/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Endah Triastuti tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Komunitas gay Indonesia menggunakan media sosial untuk meruntuhkan sigma lewat empat strategi.Endah Triastuti, Lecturer, Researcher, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1564082021-03-03T11:10:31Z2021-03-03T11:10:31ZBolak-balik wacana revisi UU ITE, kapan pemerintah serius?<iframe src="https://open.spotify.com/embed-podcast/episode/1jwRKYtSuv6CCiCnZENLPK" width="100%" height="232" frameborder="0" allowtransparency="true" allow="encrypted-media"></iframe>
<p>Awal bulan lalu, Presiden Joko “Jokowi” Widodo meminta agar <a href="https://nasional.kompas.com/read/2021/02/08/12454941/jokowi-minta-masyarakat-lebih-aktif-sampaikan-kritik-dan-masukan">masyarakat aktif mengkritik pemerintah</a>. Pernyataan ini membuat banyak pihak mengernyitkan dahi, tak sedikit juga yang menanggapinya dengan sinis.</p>
<p>Kelompok masyarakat sipil menyebut permintaan itu <a href="https://nasional.tempo.co/read/1431657/kontras-sebut-ironis-jokowi-minta-dikritik-saat-kebebasan-sipil-justru-terancam/full&view=ok">ironis</a> mengingat <a href="https://katadata.co.id/ariayudhistira/infografik/5e9a4e585a0a2/kebebasan-sipil-di-indonesia-menurun-pada-era-jokowi">kebebasan politik dan sipil menurun</a> di era Jokowi karena para pengkritik yang menyerang Jokowi justru <a href="https://theconversation.com/intrusions-on-civil-rights-in-the-digital-space-on-the-rise-during-the-pandemic-150956">dilumpuhkan</a>.</p>
<p>Usman Hamid – pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera dan direktur Amnesty International Indonesia – pernah menulis bagaimana Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) <a href="https://theconversation.com/uu-ite-dan-merosotnya-kebebasan-berekspresi-individu-di-indonesia-126043">disalahgunakan oleh negara</a> dan terus mengancam kebebasan berekspresi yang diperjuangkan sejak Reformasi 1998.</p>
<p>Usman mengatakan salah satu penyebab penyalahgunaan UU ITE adalah karena pengaturannya yang terlalu luas dan tidak terdefinisi baik. UU ITE juga tidak secara jelas membedakan antara penghinaan dan pencemaran nama baik – sesuatu yang sudah diatur secara jelas di KUHP. </p>
<p>Dalam episode ini, kami berdiskusi lebih lanjut dengan Usman tentang penyalahgunaan UU ITE dan bagaimana warga negara bisa mendorong revisi hukumnya.</p>
<p>Dengarkan obrolan lengkapnya di <a href="https://open.spotify.com/show/2Iqni2kGMzbzeJxvKiTijD?si=-RFS0fC1SJia2GLExHoj8A">podcast SuarAkademia</a>, di mana kami akan hadir rutin memandu sahabat TCID untuk memahami berbagai isu yang sedang hangat, bersama akademisi dan para editor kami.</p>
<p>SuarAkademia - <em>ngobrol</em> seru isu terkini, bareng akademisi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/156408/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Kami ngobrol dengan Usman Hamid, pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, tentang penyalahgunaan UU ITE dan bagaimana warga negara bisa mendorong revisi hukumnya.Andre Arditya, Editor Politik + MasyarakatLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1510982020-12-18T04:04:27Z2020-12-18T04:04:27ZNyaris tidak ada penegakan hukum yang berefek jera pada pelaku ujaran kebencian. Mengapa?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/371908/original/file-20201130-13-y6r7vl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Rizieq Shihab berbicara pada para penjemputnya di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, November. </span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1604988916">Muhammad Iqbal/Antara Foto</a></span></figcaption></figure><p>Minggu lalu, kepolisian Jakarta menetapkan pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Muhammad Rizieq Shihab sebagai tersangka dengan tuduhan melanggar protokol kesehatan COVID-19 karena mengadakan acara dengan kerumunan orang di markas FPI di Petamburan, Jakarta Pusat, bulan lalu.</p>
<p>Rizieq <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201212113814-20-581248/rizieq-terjerat-pasal-penghasutan-pidana-maksimal-6-tahun">dijerat</a> dengan pidana penghasutan dan menghalang-halangi aparat. </p>
<p>Belum lama <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-54873184">tiba</a> di Indonesia setelah dua tahun lebih berada di Arab Saudi, Rizieq langsung menghadirkan kontroversi ketika menyampaikan berbagai ceramah kepada massa pendukungnya, salah satunya berisi <a href="https://rri.co.id/nasional/peristiwa/931906/ceramah-emosional-rizieq-penggal-kepala-membahayakan">ancaman penggal kepala bagi siapa pun yang menghina nabi, ulama atau Islam</a>.</p>
<p>Pertanyaan tentang sejauh mana sistem perundang-undangan di Indonesia menyediakan ancaman yang berarti bagi para pelaku ujaran kebencian kembali muncul.</p>
<p>Ceramah-ceramah penuh kebencian dan hasutan kekerasan terus berulang karena nyaris tidak ada penegakan hukum yang menimbulkan efek jera terhadap para pelaku. Kenapa demikian?</p>
<h2>Problematika hukum ujaran kebencian</h2>
<p>Dalam beberapa definisi, ujaran kebencian atau <em>hate speech</em> adalah ungkapan kebencian atau permusuhan secara ekstrem kepada pihak lain yang dikaitkan dengan identitas atau golongan seperti agama, ras, jenis kelamin, dan orientasi seksual. </p>
<p>Konvensi hukum internasional, <a href="https://www.ohchr.org/en/professionalinterest/pages/cerd.aspx">International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (CERD)</a>, menyatakan ujaran kebencian harus dikenai hukuman pidana.</p>
<p>Dalam definisi CERD ini, ujaran kebencian berbeda dengan dengan kritik terhadap sebuah tindakan atau sebuah kelompok.</p>
<p>Kritik terhadap kezaliman penguasa atau kekejaman anggota sebuah golongan berbeda dengan ujaran yang melekatkan karakter jahat atau negatif terhadap ras atau agama tertentu. </p>
<p>Ujaran kebencian yang menyematkan karakter jahat secara menyeluruh kepada suatu kelompok itu berbahaya karena dapat mendorong tindakan diskriminasi atau menyingkirkan kelompok agama atau ras yang menjadi sasaran. </p>
<p>Meski demikian, penegakan hukum terhadap ujaran kebencian dalam pengertian di atas umumnya menimbulkan dilema dan kesulitan terutama dalam menentukan batas antara wacana yang sah dan yang melanggar hukum. </p>
<p>Pembatasan yang terlalu ketat terhadap wacana publik dikhawatirkan dapat memberangus kebebasan berekspresi. </p>
<p>Selain itu, di era digital, ujaran-ujaran yang bernuansa kebencian terlalu banyak sehingga sulit bagi penegak hukum untuk menindak dengan kemampuan yang terbatas. </p>
<p>Karena itu, sejumlah kalangan membedakan bentuk-bentuk ujaran kebencian berdasarkan derajat ancaman. </p>
<p>Wujud ujaran kebencian yang paling berbahaya adalah ujaran yang secara terang menghasut masyarakat untuk melakukan aksi kekerasan atau diskriminasi terhadap orang lain berdasarkan identitas. </p>
<p>Respons terhadap ujaran kebencian sebaiknya tidak selalu menempuh jalur hukum karena dalam isu ujaran kebencian terdapat dilema kebebasan berekspresi serta keterbatasan aparat penegakan hukum dalam menangani banyaknya ujaran bernuansa kebencian. </p>
<p>Ujaran kebencian yang baru sebatas wacana negatif dan permusuhan terhadap kelompok identitas tertentu dapat menjadi arena pertarungan politik yang sah di masyarakat. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/apakah-kehadiran-partai-masyumi-baru-akan-menggoncang-politik-di-indonesia-152084">Apakah kehadiran Partai Masyumi baru akan menggoncang politik di Indonesia?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Diatur undang-undang</h2>
<p>Di Indonesia, ujaran kebencian diatur di sejumlah undang-undang (UU). </p>
<p>Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur <a href="https://litigasi.co.id/hukum-pidana/62/jeratan-hukum-ujaran-kebencian-hate-speech">pidana bagi ujaran kebencian</a> baik yang bersifat wacana maupun yang sudah secara terang menghasut untuk melakukan kekerasan. </p>
<p>Pada praktiknya, penegakan hukum terhadap ujaran kebencian - bahkan termasuk yang sudah mengandung ancaman kekerasan - sangat jarang dilakukan. Kalaupun dilakukan, pelaku biasanya menerima hukuman yang sangat ringan. </p>
<p>Misalnya, pada 2012 saat sentimen anti-Syiah di Sampang, Madura, makin memanas, Noer Tjahja seorang politikus yang akan mencalonkan diri menjadi bupati menyampaikan ancaman kekerasan di depan publik dengan mengatakan “<a href="http://web07.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/455/2015/03/Politik-Lokal-dan-Konflik-Keagamaan-ACC-For-Web.pdf">jika saya terpilih, saya pastikan warga Syiah keluar dari Sampang dalam 3 bulan</a>.”</p>
<p>Noer Tjahja bebas melenggang pasca ceramah ini, tanpa pernah diadili atau bahkan diperiksa aparat penegak hukum.</p>
<p>Contoh lain terjadi pada 2011 ketika sejumlah orang diadili dengan tuduhan menghasut massa melakukan aksi kekerasan terhadap gereja di Temanggung, Jawa Tengah. </p>
<p>Mereka akhirnya dihukum <a href="https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2011/06/110614_temanggungincite">penjara 1 tahun</a> tetapi tidak dengan delik ujaran kebencian tetapi hasutan biasa. </p>
<p>Delik ujaran kebencian yang tersedia di KUHP pada praktiknya sulit diterapkan, karena muatannya luas dan aparat cenderung menghindari isu sensitif terkait suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).</p>
<p>Pada akhirnya, negara mengeluarkan UU baru untuk menjerat ujaran kebencian terutama yang tersebar di media sosial melalui UU Informasi dan Transaksi Elektronik (<a href="https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/users/4761/UU%2019%20Tahun%202016.pdf">ITE</a>).</p>
<p>Sejak UU ini disahkan pada tahun 2008, terjadi banjir kasus ITE - jumlah kasus pemidanaan mencapai <a href="https://kumparan.com/amiamiardan/pasal-karet-dalam-uu-ite-bantu-atau-buntu-terhadap-kebebasan-berpendapat-1um1IwkQzhf/full">285</a> kasus sejak 2008 hingga 2019 </p>
<p>UU ini lebih banyak digunakan sebagai alat untuk menjatuhkan lawan politik, membungkam kritik, atau upaya mengkriminalisasi korban. </p>
<p>Pasal karet dalam UU ITE tidak hanya delik ujaran kebencian, tapi juga pasal-pasal lain seperti delik tentang konten yang melanggar kesusilaan, pencemaran nama baik, dan ancaman kekerasan.</p>
<p>Dasar hukum untuk menjerat ujaran kebencian memang ada, tetapi pada praktiknya penegakan hukum seringkali bersifat ambigu dan rawan bias kepentingan politik. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/dari-muhammadiyah-ke-fpi-bagaimana-aktivis-islam-moderat-berubah-menjadi-radikal-151194">Dari Muhammadiyah ke FPI: bagaimana aktivis Islam moderat berubah menjadi radikal</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Negara harus apa?</h2>
<p>Dalam kasus Rizieq, ada banyak pasal hukum yang dapat menjerat ceramah-ceramah kerasnya. Dan sesungguhnya dia sudah pernah menjadi terpidana karena perkara yang berkaitan dengan delik ujaran kebencian. </p>
<p>Pada tahun 2003, Rizieq mendapat hukuman 7 bulan penjara karena penyataan “<a href="https://nasional.tempo.co/read/12476/tujuh-bulan-penjara-untuk-habib-rizieq">Gubernurnya budek, DPRD-nya congek, polisinya mandul</a>.” Ia dihukum karena menghasut massa melakukan kekerasan, mengganggu ketertiban umum, dan menghina pemerintah. </p>
<p>Pada tahun 2016, Rizieq kembali diadukan ke pengadilan atas tuduhan kebencian terhadap agama Kristen karena berujar “<a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-38435195">kalau Tuhan beranak, bidannya siapa</a>”. </p>
<p>Hingga hari ini tidak ada kelanjutan dari kasus ini, dan juga <a href="https://metro.tempo.co/read/1404556/deretan-kasus-yang-menjerat-rizieq-shihab-di-polda-metro-jaya">kasus-kasus lain</a> yang menjerat Rizieq. </p>
<p>Kedua kasus di atas menunjukkan salah kaprah pemahaman dan tumpang tindih pemaknaan tentang ujaran kebencian, perbuatan tidak menyenangkan, dan penodaan agama. </p>
<p>Kata-kata Rizieq dalam ketiga kasus di atas lebih tepat disebut perbuatan tidak menyenangkan atau penodaan agama ketimbang ujaran kebencian. </p>
<p>Penegakan hukum terhadap ujaran seperti ini menimbulkan perdebatan dan justru menimbulkan simpati kepada terdakwa, sehingga bisa menjadi preseden untuk melakukan persekusi terhadap kelompok minoritas. </p>
<p>Untuk mengurangi dampak berbahaya dari ceramah-ceramah provokatif sebaiknya negara fokus pada dua hal.</p>
<p><em>Pertama</em>, melakukan penegakan hukum pada ujaran-ujaran kebencian yang paling keras, yakni ujaran-ujaran yang secara terang mengajak atau menghasut massa untuk melakukan aksi kekerasan. </p>
<p>Meskipun penegakan hukum terhadap tokoh publik seperti Rizieq tidak akan sepi dari kontroversi, tetapi paling tidak penggunaan delik yang lebih terang bisa mengurangi potensi tuduhan peradilan yang tidak adil. </p>
<p>Bukan berarti ujaran kebencian dalam taraf yang lebih ringan tidak berbahaya, tetapi lebih baik negara menyerahkan hal itu menjadi arena pertarungan di ranah masyarakat. </p>
<p>Dengan energi penegak hukum yang terbatas, konsistensi dalam penindakan terhadap hasutan untuk melakukan kekerasan bisa cukup berarti dalam menghambat dan mencegah provokasi kebencian yang menjadi senjata tokoh-tokoh populis. </p>
<p><em>Kedua</em>, menghentikan pembiaran atau bahkan dukungan dari para aktor politik dan aparat keamanan terhadap mobilisasi gerakan-gerakan intoleran.</p>
<p>Kelompok-kelompok vigilante seperti FPI mampu membangun eksistensi dan peran mereka di masyarakat karena “kesepakatan” yang mereka lakukan dengan pemerintah terutama di tingkat lokal, misalnya dalam hal penyediaan <a href="https://books.google.co.id/books?id=ItMoxQEACAAJ&printsec=copyright&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false">jasa keamanan</a> non-formal untuk publik dan sektor bisnis.</p>
<p>Lewat kesepakatan ini, anggota FPI mendapatkan peran dalam publik, dan memelihara simpati dan partisipasi di kalangan masyarakat miskin. </p>
<p>Walau narasi negara di tingkat nasional belakangan berlawanan dengan kelompok Rizieq, tetapi di tingkat lokal, aktor-aktor negara masih banyak yang menjadi “penyokong”. </p>
<p>Mereka misalnya memberi kelompok ini keuntungan dalam bentuk penyelenggaraan kegiatan keagamaan dan konsesi di bidang jasa keamanan dan layanan sosial, dan melakukan pembiaran terhadap aksi kekerasan yang mereka lakukan. </p>
<p>Konsistensi dalam dua hal di atas akan lebih signifikan dalam mencegah kekerasan sektarian dan mengurangi sokongan pada radikalisasi ketimbang melakukan penegakan hukum agresif yang menggunakan pasal-pasal karet.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/151098/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Mohammad Iqbal Ahnaf tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Ceramah-ceramah penuh kebencian dan hasutan kekerasan terus berulang karena nyaris tidak ada penegakan hukum yang berefek jera terhadap para pelaku. Kenapa demikian?Mohammad Iqbal Ahnaf, Researcher at the Centre for Religious and Crosscultural Studies (CRCS), Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1507432020-11-30T04:22:01Z2020-11-30T04:22:01ZDefinisi ‘ujaran kebencian’ di Indonesia terlalu luas, gampang dimanfaatkan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/371701/original/file-20201127-18-72w9ax.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://pixabay.com/illustrations/apps-social-media-networks-internet-426559/">Gerd Altman/Pixabay</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Kasus ujaran kebencian - yang baru-baru ini berujung vonis <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201119092502-12-571726/jerinx-divonis-1-tahun-2-bulan-penjara-kasus-idi-kacung-who">penjara</a> untuk musikus I Gede “Jerinx” Ari Astina - tidak jarang terjadi.</p>
<p>Pada 2018, misalnya, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mencatat <a href="https://www.beritasatu.com/jaja-suteja/nasional/561294/2019-polri-catat-kasus-hoax-meningkat-tajam">255 kasus</a> terkait ujaran kebencian. </p>
<p>Vonis Jerinx kembali memunculkan pro dan kontra terkait definisi ujaran kebencian di dunia maya. </p>
<p>Tidak hanya di Indonesia, pro dan kontra juga terjadi di negara-negara lain yang memiliki kebijakan terkait dengan ujaran kebencian, seperti <a href="https://www.forbes.com/sites/federicoguerrini/2020/03/03/the-problems-with-germanys-new-social-media-hate-speech-bill/?sh=5008036b592a">Jerman</a>, <a href="https://www.thehindu.com/opinion/lead/define-the-contours-of-hate-in-speech/article32655176.ece">India</a>, dan <a href="https://www.straitstimes.com/singapore/parliament-hate-speech-may-be-handled-differently-elsewhere-but-singapore-must-be-strict">Singapura</a>. </p>
<p>Pendefinisian ujaran kebencian di beberapa negara itu dikhawatirkan menekan kebebasan berpendapat, menghalangi demokrasi, dan memperbesar ruang atas sensor konten di internet.</p>
<p>Dalam konteks pendefinisian ujaran kebencian di Indonesia, ada dua masalah yang patut kita diskusikan lebih lanjut. </p>
<p>Pertama, definisi ujaran kebencian yang cenderung terlalu luas. </p>
<p>Kedua, asumsi sederhana terhadap efek media sosial. Apakah sebuah unggahan seorang individu di akun media sosial pribadinya mampu menimbulkan dampak destruktif? </p>
<h2>Mendefinisikan ujaran kebencian</h2>
<p>Hingga saat ini, <a href="https://asiacentre.org/wp-content/uploads/2020/07/Hate-Speech-in-Southeast-Asia-New-Forms-Old-Rules.pdf">tidak ada definisi tunggal</a> yang digunakan secara global untuk mendefinisikan ujaran kebencian. </p>
<p><a href="https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000233231">Laporan</a> UNESCO pada 2015 justru menyebutkan bahwa meskipun terdapat beberapa kesepakatan internasional terkait definisi ujaran kebencian, tetap diperlukan ruang untuk pendefinisian berdasar konteks lokal di masing-masing daerah.</p>
<p>Berdasarkan beberapa <a href="https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000233231">konvensi internasional</a>, definisi ujaran kebencian dikelompokkan menjadi empat kategori. </p>
<p>Pertama, definisi yang melihat ujaran kebencian sebagai penyebaran pesan yang mengandung kebencian atas ras atau etnis tertentu. Kedua, definisi yang menimbang ujaran kebencian sebagai seruan terhadap permusuhan, diskriminasi, dan kejahatan. </p>
<p>Kategori ketiga mencakup ujaran kebencian sebagai hasutan untuk melakukan tindak terorisme. Dan dalam kategori keempat, ujaran kebencian didefinisikan sebagai hasutan untuk melakukan genosida. </p>
<p>Dalam tiga dari empat definisi tersebut, sebuah pesan dikategorikan sebagai ujaran kebencian apabila memiliki unsur ajakan untuk melakukan tindakan kekerasan.</p>
<p>Selain konvensi internasional, definisi terkait ujaran kebencian juga dirumuskan oleh platform media sosial. Definisi ini kemudian dijadikan dasar perusahaan media sosial untuk melakukan tindakan atas sebuah konten yang dianggap bermasalah. </p>
<p>Perusahaan media sosial mengimplementasikan definisi ini secara global tanpa memandang hukum lokal sebuah negara. </p>
<p><a href="https://www.facebook.com/communitystandards/hate_speech">Facebook</a>, misalnya, mendefinisikan ujaran kebencian sebagai serangan langsung kepada orang terkait karakteristik yang menurut Facebook harus dilindungi, seperti ras, etnis, kewarganegaraan, dan lain sebagainya. </p>
<p>Lebih lanjut, Facebook menjelaskan serangan langsung sebagai ujaran keras atau tidak memanusiakan, stereotip berbahaya, merendahkan, pengucilan, atau pengasingan. </p>
<p><a href="https://help.twitter.com/en/rules-and-policies/hateful-conduct-policy">Twitter</a> dan <a href="https://support.google.com/youtube/answer/2801939?hl=en">Youtube</a> juga memiliki definisi yang senada dengan Facebook terkait ujaran kebencian. </p>
<p>Pendefinisian ujaran kebencian oleh platform-platform tersebut menekankan pada batasan isu dan bentuk serangan.</p>
<p>Di Indonesia sendiri, definisi ujaran kebencian dapat ditemui di UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (<a href="https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/users/4761/UU%2019%20Tahun%202016.pdf">UU ITE</a>) dan surat edaran Polri. </p>
<p>UU ITE melarang “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA)”. </p>
<p>Sementara <a href="http://remotivi.or.id/amatan/565/diskursus-hate-speech-ilmu-pengetahuan-yang-tunduk-pada-surat-edaran-aparat">Surat Edaran Kepala Polri No. SE/6/X/2015</a> menjelaskan bahwa ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP. </p>
<p>Bentuk tindak pidana tersebut adalah penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, provokasi, hasutan, penyebaran berita bohong, dan tindakan yang memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, atau konflik sosial. </p>
<p>Berbeda dengan konvensi internasional dan platform sosial media, definisi di Indonesia ini memiliki bentuk tindakan dan cakupan isu yang luas. </p>
<p>Definisi yang luas ini berpotensi menjadikan dua aturan ini sebagai aturan karet yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/yang-luput-dibicarakan-dari-kasus-jerinx-kita-tak-punya-aturan-jelas-melawan-hoax-misinformasi-dan-disinformasi-145172">Yang luput dibicarakan dari kasus Jerinx:
kita tak punya aturan jelas melawan hoax, misinformasi dan disinformasi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Dampak unggahan</h2>
<p>Denis McQuail, profesor komunikasi di
University of Amsterdam, Belanda, <a href="https://uk.sagepub.com/en-gb/eur/mcquail%E2%80%99s-media-and-mass-communication-theory/book243524">berargumen</a> bahwa audiens bukan makhluk pasif yang menyerap keseluruhan pesan yang mereka terima. </p>
<p>Penerimaan pesan ditentukan oleh beberapa faktor, seperti media, lingkungan, rangkaian pengalaman, serta keyakinan yang telah mereka miliki sebelumnya. </p>
<p><a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/13698230.2019.1576006?casa_token=HktEN96tGGQAAAAA%3A11J7fFNoUjw_rNmcaEyqFk7XHU3RGm_FHQp8FTg4ZDx_ChUmB6INw_vqJf9o2R4oZobPpoJXJr3qBek&journalCode=fcri20">Katherine Gelber</a>, profesor ilmu politik dan kebijakan publik di University of Queensland, Australia, berargumen bahwa ujaran kebencian bisa berdampak destruktif apabila pengirim pesan memiliki kekuatan relasional dan struktural atas target audiensnya baik secara formal maupun informal. </p>
<p>Kekuatan relasional dan struktural mengacu pada kemampuan pemilik pesan untuk berada di posisi yang lebih superior dibanding audiensnya sehingga dapat memberikan pengaruh atas pesan yang diberikan. Posisi yang superior ini didapatkan melalui legitimasi formal (misalnya jabatan) maupun informal (posisi sosial). </p>
<p>Misalnya, cuitan Donald Trump memiliki kekuatan besar karena jabatannya sebagai <a href="https://twitter.com/realDonaldTrump">presiden Amerika Serikat</a>; atau postingan Abdul Somad yang memiliki <a href="https://www.instagram.com/ustadzabdulsomad_official/?hl=en">jutaan pengikut</a> di Instagram juga memiliki kekuatan besar akibat posisi sosial dia sebagai tokoh agama. </p>
<p><a href="https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000233231">Studi</a> lainnya menambahkan bahwa selain popularitas komunikator, faktor lain yang berpengaruh adalah kondisi emosi audiens, bentuk pesan yang berupa ajakan, serta konteks sejarah dan sosial. </p>
<p>Oleh karena itu, asumsi bahwa sebuah pesan - apalagi berupa unggahan di akun pribadi - oleh seorang individu dapat langsung memengaruhi perilaku individu lain tanpa melihat lebih jauh posisi individu tersebut di masyarakat dan konteks sosial cenderung menyederhanakan hubungan media dan audiens.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/uu-ite-untuk-kasus-kekerasan-seksual-tepatkah-144876">UU ITE untuk kasus kekerasan seksual, tepatkah?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Literasi digital dan narasi sandingan</h2>
<p>Bagaimanapun, ujaran kebencian di dunia digital merupakan isu serius dan sepatutnya diantisipasi. </p>
<p>Ujaran kebencian seringkali diasosiasikan dengan meningkatnya kejahatan terhadap kaum minoritas, seperti terjadi pada <a href="https://edition.cnn.com/2018/10/27/us/pittsburgh-synagogue-active-shooter/index.html">penembakan di sinagoge di Amerika Serikat</a> dan tragedi etnis <a href="https://www.ft.com/content/2003d54e-169a-11e8-9376-4a6390addb44">Rohingya di Myanmar</a>.</p>
<p>Menurut saya, selain perlu meninjau ulang definisi ujaran kebencian, para pemangku kepentingan perlu melakukan beberapa aksi kolaborasi.</p>
<p>Pertama, sosialisasi literasi digital dan cara berpikir kritis kepada pengguna internet, baik dalam kapasitas mereka sebagai pencipta maupun penikmat konten.</p>
<p>Pengguna perlu memiliki pemahaman atas tentang perbedaan karakteristik media sosial dan konvensional, cara bermedia sosial yang baik, perlunya verifikasi informasi yang diterima, hingga pemahaman risiko atas konten yang mereka buat atau sebarkan. </p>
<p>Kedua, perlunya menghadirkan narasi kontra yang dapat menandingi konten terkait ujaran kebencian yang telah beredar. Konten positif dan narasi terkait keberagaman perlu dibuat lebih masif dan menarik.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/150743/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Dewa Ayu Diah Angendari tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Batasan definisi ujaran kebencian di Indonesia terlalu luas. Ada pula asumsi unggahan seseorang di medsos pribadi bisa berdampak sangat besar.Dewa Ayu Diah Angendari, Lecturer at Department of Communication Science; Researcher at Center for Digital Society, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1479352020-11-05T05:20:00Z2020-11-05T05:20:00Z‘Seolah-olah jurnalisme’: Bagaimana represi kekuasaan memaksa pers Papua jadi corong negara<p>Dari luar, pers Papua tampak sebagai pemandangan yang menggembirakan. </p>
<p>Harian Cenderawasih Pos cetak terbit setiap hari, beragam media daring (<em>online</em>) juga hadir, seperti <a href="https://www.ceposonline.com/tentang-kami/">Cepos Online</a>, <a href="https://suarapapua.com/">Suara Papua</a>, dan <a href="https://jubi.co.id/">Tabloid Jubi</a>. </p>
<p>Suara Papua dan Tabloid Jubi malah kerap disebut ibarat oksigennya Papua. Keduanya berpihak pada kebenaran, melaporkan perisitiwa secara objektif, dan mengedepankan masalah yang dihadapi penduduk asli papua yang biasa disebut dengan OAP (orang asli papua).</p>
<p>Wartawan Papua <a href="https://ojs.aut.ac.nz/pacific-journalism-review/article/view/1075/1344">tidak kalah profesionalnya</a> dengan wartawan di daerah lain. </p>
<p>Namun, sudahkah kemajuan ini mampu mengangkat kehidupan OAP dalam pemberitaan? Di sini pers Papua mulai mengalami masalah. </p>
<p>Penelitian yang saya lakukan lewat wawancara dengan jurnalis Papua juga menunjukkan bahwa dalam fokus soal HAM dalam pers Papua <a href="https://ojs.aut.ac.nz/pacific-journalism-review/article/view/1075/1344">meredup</a>. Ini terjadi karena ada keterbatasan terhadap sumber informasi.</p>
<p>Puluhan tahun berada di bawah tekanan pemerintah, dalam pemberitaan soal HAM, sebagian informasi jurnalistik di Papua bersumber hanya dari aparat keamanan dan pejabat publik. </p>
<p>Dengan keterbatasan terhadap informasi yang akurat, saya menyimpulkan bahwa media di Papua tidak dapat memproduksi berita dengan kualitas yang terbaik atau dengan kata lain mereka mempraktikkan apa yang saya sebut sebagai “seolah-olah jurnalisme”.</p>
<p>Berdasarkan riset, saya akan menjelaskan mengapa ini bisa terjadi.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/rasis-sejak-dini-temuan-diskriminasi-dalam-tontonan-dan-bacaan-anak-tentang-papua-142164">Rasis sejak dini: temuan diskriminasi dalam tontonan dan bacaan anak tentang Papua</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Sulit keluar dari berita pernyataan</h2>
<p>Semasa Orde Baru, Papua menjadi daerah operasi militer (DOM). Dalam kondisi begini pemerintah melakukan tekanan yang kuat terhadap media Papua.</p>
<p>Kemudian selama bertahun-tahun di masa Reformasi, pers Papua masih berada dalam hegemoni rezim negara. </p>
<p>Keputusan Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk mulai membuka Papua untuk media asing pada tahun 2015 hanya retorika politik. Namun <a href="https://www.suara.com/news/2020/02/14/154209/klaim-sudah-buka-papua-untuk-jurnalis-jokowi-akui-sempat-putus-internet">pembatasan informasi</a> tetap terjadi, terutama pada saat terjadi kerusuhan di beberapa kota di Papua dan Papua Barat pada pertengahan tahun 2019 lalu </p>
<p>Tidak jarang, <a href="https://www.komnasham.go.id/files/20151102-jurnal-ham-edisi-khusus-papua-$MSS.pdf">aparat bermalam di kantor redaksi</a> media Papua untuk mengecek berita yang akan diturunkan.</p>
<p>Pers Papua berada dalam posisi terkooptasi. Jangan heran bila pelaku jurnalisme di Papua cenderung menjadi corong kekuasaan negara.</p>
<p>Format sebagai corong ini ditandai dengan kebiasaan menyampaikan berita pernyataan (<em>talking news</em>) dari aparat keamanan dan pejabat publik. </p>
<p>Pilihan berita semacam ini mengandung kecenderungan subyektif narasumber, akibatnya fakta empiris yang objektif terabaikan. </p>
<p>Stanley Adi Prasetyo, Ketua Dewan Pers 2016-2019, menyebut bahwa di Papua, praktik jurnalisme yang banyak dilakukan adalah wawancara dengan beberapa orang daripada reportase lapangan. </p>
<p>“Berita tampak menjadi parade pendapat. Ketika ada peristiwa, pejabat pemerintah atau militer mengatakan A, lalu aktivis menyatakan B dan begitu seterusnya,” <a href="https://www.komnasham.go.id/files/20151102-jurnal-ham-edisi-khusus-papua-$MSS.pdf">ungkap Stanley</a>.</p>
<p>Di masa kini, kalau ada media <em>online</em> Papua yang mencoba keluar dari pakem itu, medianya diretas.</p>
<p>Ini dialami oleh Suara Papua dan Tabloid Jubi. Situs kedua media ini <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191002123912-20-436022/safenet-sempat-ada-pemblokiran-suarapapuacom-di-telkomsel">tidak dapat diakses</a> setelah melaporkan tragedi Wamena dan Jayapura 23 September 2019. Semua berita hilang dari situs media online bersangkutan.</p>
<p>Sebelumnya, <a href="https://www.voaindonesia.com/a/pemerintah-blokir-suara-papua/3641759.html">pemerintah</a> juga sempat memblokir situs Suara Papua pada 2016.</p>
<p>Setelah peristiwa pada September 2019, wartawan Suara Papua dan Tabloid Jubi juga masuk daftar hitam bahkan ada yang diteror juga oleh polisi.</p>
<p>Dalam wawancara yang saya lakukan terhadap Reynelda Beatrix Ibo, wartawan <a href="http://tvpapua.com/">TV Papua</a> dan mantan pengurus Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) cabang Papua itu mengatakan bahwa Benny Mawel dari Tabloid Jubi dan Arnold Belau dari Suara Papua termasuk wartawan Papua yang masuk daftar hitam.</p>
<p>Mereka dianggap tidak mengikuti aturan jurnalistik yaitu <a href="https://dewanpers.or.id/assets/documents/uu/UU-No.-40-Tahun-1999-tentang-Pers.pdf">Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999</a> dan <a href="https://dewanpers.or.id/assets/ebook/buku/822-Buku%20Pers%20berkualitas%20masyarakat%20Cerdas_final.pdf">Kode Etik Jurnalistik</a>. </p>
<p>Polisi, menurut Ibo, menyampaikan daftar ini kepada komunitas wartawan Papua agar narasumber tidak memberikan informasi kepada mereka.</p>
<p>Dengan situasi jurnalisme semacam itu, hak mengetahui khalayak - terutama OAP - tidak terlayani. </p>
<p>Padahal hak ini dijamin dalam <a href="https://www.komnasham.go.id/files/1475231474-uu-nomor-39-tahun-1999-tentang-%24H9FVDS.pdf">Undang-Undang (UU) No. 30 tahun 1999 tentang HAM</a>.</p>
<p>Ketika membaca berita, mereka semakin jauh dari kebenaran yang seharusnya mereka ketahui.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/jebakan-sara-dalam-praktik-rasisme-terhadap-warga-papua-141302">Jebakan SARA dalam praktik rasisme terhadap warga Papua</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Pemberitaan sumir</h2>
<p>Salah satu kekerasan yang terjadi di Papua adalah <a href="https://www.thejakartapost.com/longform/2019/11/26/wamena-investigation-what-the-government-is-not-telling-us.html">kerusuhan di Wamena dan Jayapura </a>pada 23 September 2019. </p>
<p>Menurut <a href="https://elsam.or.id/tragedi-wamena-dan-jayapura-pada-23-september-2019-pemerintahan-jokowi-harus-akhiri-militerisme-di-tanah-papua/">data</a> Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM), kerusuhan Wamena mengakibatkan 32 orang warga sipil tewas dan 65 orang luka-luka, sedangkan di Jayapura, 318 mahasiswa ditangkap dalam aksi solidaritas dan 4 orang dilaporkan tewas termasuk satu orang di pihak TNI.</p>
<p>OAP yang mengikuti berita pelanggaran HAM itu dengan saksama dan berharap yang bersalah harus dibawa ke pengadilan harus kecewa.</p>
<p>Memang, Cepos Online sangat gesit menyiarkan berita tentang <a href="https://www.ceposonline.com/2019/09/23/1-prajurit-tni-gugur-3-warga-sipil-tewas/">tragedi</a> <a href="https://www.ceposonline.com/2019/09/24/korban-tewas-kerusuhan-di-wamena-bertambah/">Wamena</a> dan Jayapura dalam <a href="https://www.ceposonline.com/2019/09/27/tiga-kapolda-dicopot-paulus-waterpauw-kembali-pimpin-polda-papua/">rentetan berita</a> pasca kejadian.</p>
<p>Namun siapa pelakunya? Semua berita tidak bisa menunjukkan siapa pelaku yang sesungguhnya. </p>
<p>Yang ada hanya klaim. Polisi <a href="https://www.ceposonline.com/2019/09/24/korban-tewas-kerusuhan-di-wamena-bertambah">mengklaim</a> Komite Nasional Pembebasan Papua Barat (KNPB) sebagai pelaku; sebaliknya, KNPB mengklaim polisi dan TNI yang menjadi pelaku. Pelaku yang sesungguhnya tidak pernah terungkap.</p>
<p>Maka, dalam melakukan pemberitaan, Cepos Online pun sekadar menjalankan kewajiban menyiarkan berita, namun tidak melayani kepentingan OAP. </p>
<p>Pers Papua perlu mempraktikkan pikiran merdeka, pikiran yang terbebas dari belenggu ketakutan terhadap rezim penguasa dalam menyiarkan berita. </p>
<p>Titik berangkatnya sederhana: mendorong wartawan Papua untuk benar-benar mempraktikkan jurnalisme, bukan seolah-olah jurnalisme.</p>
<p>Dengan mempraktikkan jurnalisme yang benar, para wartawan di Papua memiliki peluang untuk membantu OAP dalam pemenuhan hak-hak dan martabat mereka.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/147935/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ana Nadhya Abrar tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Dengan keterbatasan terhadap informasi yang akurat, media di Papua tidak dapat memproduksi berita dengan kualitas yang terbaik.Ana Nadhya Abrar, Dosen, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1488132020-10-27T04:41:21Z2020-10-27T04:41:21ZPada usia ke-50, LBH terus berdiri di sisi korban<p>Ketika <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201009132002-12-556500/ribuan-orang-ditangkap-demo-omnibus-law-polisi-labeli-anarko">ribuan demonstran</a> ditangkap saat berunjuk rasa menentang Undang-Undang (UU) omnibus Cipta Kerja awal bulan ini, tidak sulit diduga organisasi mana yang akan turun untuk membela mereka.</p>
<p>Selama puluhan tahun, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) telah menjadi <a href="https://books.google.com.au/books?id=jAUZSSEqwfEC&pg=PA292&lpg=PA292&dq=%22defense+instance+of+choice%22+daniel+lev&source=bl&ots=fgHk1StRcU&sig=ACfU3U3sD2EMlWxjm4XPVX3b2IO1FYKG-A&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwjywZ6c0NrrAhXlmuYKHbbhAkoQ6AEwAHoECAEQAQ#v=onepage&q=%22defense%20instance%20of%20choice%22%20daniel%20lev&f=false">pembela andalan</a> dalam kasus-kasus politik paling kontroversial di Indonesia.</p>
<p>Minggu ini, LBH merayakan ulang tahunnya yang ke-50. Berawal dari satu kantor di Jakarta, sekarang telah ada 16 kantor LBH tersebar di Indonesia di bawah payung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). </p>
<p>Selama setengah abad, LBH telah mendampingi orang-orang miskin dan marjinal. LBH telah mendampingi mereka yang terlibat kasus politik tingkat tinggi, telah bersuara lantang menentang penyalahgunaan kuasa oleh negara, dan terus memajukan supremasi hukum, demokrasi konstitusional dan hak asasi manusia (HAM).</p>
<p>Lewat upaya-upaya tesebut, LBH telah menjadi ikon masyarakat sipil Indonesia dan pembela kepentingan publik yang teguh.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengapa-uu-cipta-kerja-tidak-menciptakan-lapangan-kerja-tapi-memperkuat-oligarki-147448">Mengapa UU Cipta Kerja tidak menciptakan lapangan kerja tapi memperkuat oligarki</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>‘Lokomotif demokrasi’</h2>
<p>Adnan Buyung Nasution mendirikan LBH untuk memperkenalkan jasa bantuan hukum yang gratis di Indonesia. Namun, pada awalnya, LBH didirikan bukan sekadar untuk memperluas akses masyarakat terhadap keadilan. </p>
<p>Bahkan sejak hari-hari awalnya berdiri, LBH melihat gerakan bantuan hukum sebagai kunci utama perjuangan konstitusional dan supremasi hukum yang lebih besar. </p>
<p>Di bawah pemerintahan otoriter Orde Baru Soeharto, LBH dengan cepat menyadari bahwa menyediakan bantuan hukum secara <em>pro bono</em> atau cuma-cuma bagi kasus individu tidak akan berdampak pada akar masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan. </p>
<p>Upaya LBH menyediakan bantuan hukum konvensional dengan kondisi yang ada saat itu digambarkan sebagai “<a href="https://books.google.com.au/books?redir_esc=y&id=aG5WAAAAMAAJ&focus=searchwithinvolume&q=%22hopelessly+beside+the+point%22">sangat tidak relevan</a>”, tulis akademisi hukum terkemuka Daniel Lev dalam <em>Legal Aid in Indonesia</em>. </p>
<p>Karena itu, LBH mengembangkan ideologinya sendiri terkait bantuan hukum, yaitu “bantuan hukum struktural”. LBH menggabungkan usaha memberikan wakil atau kuasa hukum dengan berbagai macam aktivitas nonlitigasi.</p>
<p>Pengacara dan staf LBH mengedukasi komunitas-komunitas terkait hak-hak mereka dan membantu membentuk komunitas yang bisa mendampingi diri mereka sendiri. Mereka juga mengadvokasikan kampanye media dan hasil penelitian.</p>
<p>Selama tahun-tahun terakhir masa Orde Baru, LBH berkembang menjadi pusat perlawanan masyarakat sipil terhadap rezim Soeharto, menjadi titik perkumpulan bagi para mahasiswa dan aktivis.</p>
<p>LBH melihat diri sebagai “lokomotif demokrasi” untuk menyebarkan pemikiran tentang HAM dan demokrasi serta pada akhirnya “<a href="https://books.google.com.au/books?id=n_DqinpeaLMC&pg=PA115&lpg=PA115&dq=aspinall+%22lay+the+groundwork+for+democratic+transformation%22&source=bl&ots=qcjL79TvT7&sig=ACfU3U0DypetBJBftQMyZXfOREYOIZY4Gw&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwjC27u9yNrrAhURjuYKHWv1D1cQ6AEwAHoECAIQAQ#v=onepage&q=aspinall%20%22lay%20the%20groundwork%20for%20democratic%20transformation%22&f=false">meletakkan fondasi untuk transformasi demokratis</a>”.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kemunduran-demokrasi-dalam-pemerintahan-jokowi-nyalakan-tanda-bahaya-124100">Kemunduran demokrasi dalam pemerintahan Jokowi: nyalakan tanda bahaya</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Menentukan posisi dalam demokrasi</h2>
<p>Pada 1998, rezim Orde Baru runtuh. Indonesia memulai transisinya ke dalam demokrasi. </p>
<p>Pencabutan pembatasan masyarakat sipil menyebabkan munculnya beberapa organisasi-organisasi khusus, dengan mandat yang serupa dengan LBH.</p>
<p>LBH, secara tiba-tiba, terpaksa merenungkan kembali identitas organisasi dan perannya di dalam Indonesia yang lebih demokratis.</p>
<p>LBH tidak lagi menjadi suara yang dominan di masyarakat sipil pada waktu itu. Dan beberapa organisasi yang baru sudah lebih nyaman berinteraksi dengan pemerintah.</p>
<p>Selama beberapa waktu, LBH kesulitan menemukan perannya. LBH harus memutuskan, apakah mereka ingin berkolaborasi dengan institusi pemerintah atau mempertahankan pendekatan oposisi seperti sebelumnya.</p>
<p>Selain harus menentukan perannya, YLBHI menghadapi kendala keuangan yang besar karena donor asing yang menyediakan bantuan dana operasi mengalihkan fokus dan lebih menekankan fokus mereka pada program pemerintah. </p>
<p>YLBHI juga mengalami kendala kekurangan tenaga ketika pergantian kepemimpinan yang melemahkan organisasi tersebut.</p>
<p>Keputusan kontroversial Buyung untuk mewakili Jenderal Wiranto pada 2000, saat ia dituduh melakukan pelanggaran HAM di Timor Timor pada 1999, juga semakin memberatkan masalah LBH.</p>
<p>Keputusan itu mengucilkan kolega-kolega Buyung di LBH dan masyarakat sipil yang lebih luas. </p>
<p>Buyung mungkin memiliki motivasi untuk mempromosikan budaya hukum profesional, tapi dia bergerak terlalu cepat dibandingkan kolega-koleganya, yang masih menganggap sistem hukum yang ada masih korup dan tidak adil. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/reformasi-sampai-di-sini-jokowi-robohkan-warisan-demokrasi-indonesia-125434">Reformasi sampai di sini: Jokowi robohkan warisan demokrasi Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Membela orang-orang marjinal</h2>
<p>Walau menghadapi tantangan-tantangan ini, LBH terus mendampingi mereka yang paling tersingkirkan dan berada di samping gerakan-gerakan yang paling tidak disukai di Indonesia.</p>
<p>Ketika lebih dari 140 orang homoseksual ditangkap dalam penggebrekan polisi di sauna di Jakarta pada 2017, LBH adalah anggota utama dari <a href="https://www.forum-asia.org/?p=23959">koalisi masyarakat sipil</a> yang turun untuk mendampingi mereka.</p>
<p>Ini dilakukan tak lama setelah puncak <a href="https://www.hrw.org/report/2016/08/10/these-political-games-ruin-our-lives/indonesias-lgbt-community-under-threat">serangan terhadap hak-hak LGBT</a> secara nasional, ketika 93% orang Indonesia menganggap masyarakat tidak seharusnya menerima homoseksualitas.</p>
<p>LBH juga terlibat dalam hampir semua kasus penistaan agama penting selama era Reformasi. </p>
<p>Seperti yang LBH telah lakukan selama Soeharto berkuasa, lembaga ini melanjutkan pendampingannya terhadap orang-orang urban miskin yang mengalami penggusuran paksa, petani yang kehilangan lahan mereka karena proyek, hak-hak pekerja, dan hak-hak perempuan serta anak.</p>
<p>Sejak jatuhnya Soeharto, organisasi masyarakat sipil, termasuk LBH, telah berada di garis depan untuk mengupayakan adanya tradisi baru terkait litigasi kepentingan publik di Mahkamah Konstitusi.</p>
<p>Pengacara-pengacara LBH berperan kunci utama dalam koalisi yang <a href="https://www.loc.gov/law/foreign-news/article/indonesia-constitutional-court-strikes-down-book-banning-law/">berhasil menantang kuasa Jaksa Agung untuk melarang buku</a>. </p>
<p>Selama era demokratis, LBH mempertahankan pendekatan oposisi dalam berinteraksi dengan pemerintah - suatu pendekatan yang telah LBH kembangkan dalam masa Soeharto.</p>
<p>Beberapa kali, kelompok masyarakat sipil lain mengkritik LBH karena mempertahankan posisi oposisi. Mereka merasa bahwa LBH tidak menggunakan kesempatannya untuk berperan menguatkan institusi dalam masa baru yang lebih demokratis.</p>
<p>Namun, LBH tidak peduli. Seperti kata Febi Yonesta dari YLBHI kepada saya, “selama anggota masyarakat menjadi korban, kami akan beroposisi terhadap pemerintah.” </p>
<p>Seperti banyak pengacara aktivis di berbagai tempat, di seluruh dunia, LBH adalah pengganggu bagi pemerintah, dan “<a href="https://scholarship.law.georgetown.edu/facpub/1232/">mereka memang seharusnya menjadi pengganggu</a>”. </p>
<p>Oleh karena ini, LBH sering menerima reaksi negatif yang cukup besar.</p>
<p>Pada 2017 contohnya, polisi menggerebek diskusi akademik LBH terkait kekerasan anti-komunis era 1965-66, setelah mendapat tekanan dari demonstran fundamentalis Islam dan anti-komunis.</p>
<p>Karena sejarah dan jati diri LBH, tindakan polisi itu dipandang sebagai serangan terhadap masyarakat sipil itu sendiri. </p>
<p>Bagi banyak orang dalam kelompok masyarakat sipil, diamnya Presiden Joko “Jokowi” Widodo terhadap serangan-serangan itu adalah bukti tambahan yang menunjukkan sikap apatis Jokowi terhadap HAM dan reformasi hukum.</p>
<p>Sejak peristiwa itu, kemunduran demokrasi semakin memburuk. Pemerintah semakin sering banyak menggunakan dalih penistaan agama dan pencemaran nama baik untuk membungkam mereka yang mengkritik pemerintah. </p>
<p>Pembatasan kebebasan berserikat juga menjadi semakin besar. Hak asasi kelompok minoritas semakin tidak terlindungi. </p>
<p>Namun seiring pemerintah menjadi lebih represif, LBH tampaknya telah menemukan fokus perannya yang baru. LBH memutuskan untuk tetap berpihak kepada korban dan dengan berani memperjuangkan kemajuan demokrasi Indonesia.</p>
<p>Selama masa unjuk rasa #ReformasiDikorupsi pada 2019, kantor LBH menjadi pusat berbagai aktivitas. Bahkan istilah Reformasi Dikorupsi itu sendiri muncul dalam sebuah rapat tengah malam antara aktivis-aktivis masyarakat sipil di kantor LBH. </p>
<p>LBH lagi-lagi memainkan peran utama dalam demonstrasi #MosiTidakPercaya yang muncul sebagai respon terhadap UU Cipta Kerja.</p>
<p>Walau LBH tidak lagi menjadi organisasi pro-demokrasi satu-satunya yang berpengaruh, LBH tampaknya menikmati perannya untuk mengumpulkan dan membangun koalisi seperti yang mereka lakukan semasa Orde Baru.</p>
<p>Bagaimana kita menilai pengaruh LBH setelah setengah abad?</p>
<p>Seperti yang dikatakan almarhum akademisi terkemuka dalam bidang profesi hukum Indonesia, Daniel Lev, soal LBH pada akhir 1980-an: “Dampak LBH dalam masalah-masalah sosial, politik, dan hukum seharusnya tidak dibesar-besarkan, tapi dampak itu tidak bisa dilupakan.”</p>
<p>Di kala orang-orang yang mengkritik pemerintah secara vokal <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2020/06/04/i-was-kidnapped-govt-critic-ravio-patra-files-pretrial-motion-against-police.html">ditangkap berdasarkan tuduhan yang direkayasa</a>, di kala kaum homoseksual ditangkap karena melakukan pesta di ruang pribadi, dan di kala <a href="https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/major-procedural-flaws-mar-the-omnibus-law/">DPR melanggar prosedur-prosedur legislatif</a> untuk meloloskan berbagi UU yang sangat kontroversial dengan partisipasi publik yang minim, maka peran LBH dalam demokrasi Indonesia menjadi jauh lebih penting dari sebelumnya. </p>
<hr>
<p><em>Ignatius Raditya Nugraha menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/148813/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Tim Mann tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Lembaga Bantuan Hukum (LBH) telah menjadi ikon bagi masyarakat sipil Indonesia dan pembela kepentingan publik yang teguh.Tim Mann, PhD candidate and Associate Director, Centre for Indonesian Law, Islam and Society, The University of MelbourneLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1451782020-09-11T08:51:50Z2020-09-11T08:51:50ZAnalisis: dua ancaman utama yang perlu diatasi lewat UU perlindungan data pribadi<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/356305/original/file-20200903-22-1vzf2r7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://pixabay.com/id/illustrations/hacker-hacking-keamanan-cyber-hack-1944688/">Darwin Laganzon/Pixabay</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki waktu sekitar <a href="https://tekno.kompas.com/read/2020/07/28/16213507/ruu-perlindungan-data-pribadi-ditargetkan-selesai-oktober-2020">satu bulan</a> lagi untuk mencapai target menyelesaikan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP).</p>
<p>RUU itu hingga kini sudah dibahas dalam <a href="http://www.dpr.go.id/uu/detail/id/353">tiga Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU)</a> bersama berbagai pihak.</p>
<p>Regulasi ini begitu penting, karena akan menjalankan fungsi perlindungan pada data pribadi bagi <a href="https://datareportal.com/reports/digital-2020-indonesia">175,4 juta pengguna internet di Indonesia</a> dari potensi-potensi pelanggaran.</p>
<p>Jelas, data pribadi kita, yang merupakan informasi khas dalam bentuk <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/1461444818799523">angka, karakter, simbol, gambar, sensor, gelombang elektromagnetik, dan suara</a>, wajib untuk dipahami, dikelola secara bijak, dan dilindungi dari ancaman-ancaman.</p>
<p>Kita telah melihat kasus-kasus yang mengancam <a href="https://theconversation.com/cara-penargetan-cambridge-analytica-di-facebook-menurut-orang-yang-membuatnya-94575">data</a> warga negara Indonesia, misalnya <a href="https://theconversation.com/tokopedia-dan-bukalapak-memang-bisa-digugat-tapi-tidak-lantas-masalah-kebocoran-data-tuntas-140193">jual beli data pengguna jasa <em>e-commerce</em> yang dibobol</a> atau <a href="https://tirto.id/kasus-peretasan-teror-diskusi-cls-ugm-polisi-lambat-bertindak-fECn">peretasan</a> pada <a href="https://nasional.tempo.co/read/1377988/4-kasus-peretasan-dari-aktivis-hingga-akademisi/full&view=ok">kelompok aktivis dan masyarakat sipil</a>.</p>
<p>Kasus-kasus itu adalah contoh-contoh dari dua jenis ancaman pelanggaran data pribadi yang menurut saya sangat penting, yaitu penggalian data pribadi tanpa kesepakatan dan pengawasan tanpa alasan yang jelas. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/tokopedia-dan-bukalapak-memang-bisa-digugat-tapi-tidak-lantas-masalah-kebocoran-data-tuntas-140193">Tokopedia dan Bukalapak memang bisa digugat, tapi tidak lantas masalah kebocoran data tuntas</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>1. Penggalian data yang menerabas kedaulatan pribadi</h2>
<p>Perusahaan penyedia layanan internet melakukan penggalian data (<em>data mining</em>) dengan <a href="https://www.goodreads.com/book/show/53096829-jagat-digital?from_search=true&from_srp=true&qid=1kdZ30cmLL&rank=1">motif ekonomi</a>. </p>
<p>Data-data yang diambil dari rekam jejak aktivitas pengguna internet ini mulanya hanya dianggap sebagai <a href="https://www.goodreads.com/book/show/53096829-jagat-digital?from_search=true&from_srp=true&qid=1kdZ30cmLL&rank=1">sampah digital</a>, sampai akhirnya dieksploitasi saat diketahui <a href="https://theconversation.com/sains-sekitar-kita-hati-hati-tinggalkan-jejak-digital-di-belantara-internet-103743">nilai jualnya</a>.</p>
<p>Misalnya, catatan-catatan pembelian belanja <em>online</em> (daring) kita memiliki nilai ekonomi, karena preferensi kita yang terekam mempermudah pengiklan dalam menjual produknya. </p>
<p>Terlebih lagi, efektivitas iklan di media digital (misalnya diukur lewat berapa banyak pengguna yang melihat iklan) dapat lebih mudah dan rinci diukur, berbeda dari model pengiklanan di televisi dan media cetak.</p>
<p>Namun, aktivitas penggalian tersebut sering dilaksanakan <a href="https://theconversation.com/ubah-pengaturan-di-ponsel-agar-apple-dan-google-tidak-bisa-melacak-anda-111087">tanpa kesepakatan</a>, bahkan juga <a href="https://theconversation.com/jangan-berhenti-pakai-facebook-tapi-jangan-mempercayainya-juga-94506">tanpa pemberitahuan pada pemilik data</a>. </p>
<p>Anda pasti pernah menerima <a href="https://theconversation.com/indonesia-sangat-memerlukan-undang-undang-perlindungan-data-pribadi-92607">pesan yang tidak diinginkan</a>, seperti iklan, di kotak masuk ponsel Anda. Itulah salah satu contoh hasil dari transaksi pihak-pihak yang melakukan pemindahgunaan data pribadi.</p>
<p>Ada berbagai gagasan berbeda dalam melihat persoalan kepemilikan data pribadi. </p>
<p>Satu gagasan yang cukup baru adalah konsep yang melihat data sebagai aktivitas kerja <a href="https://pubs.aeaweb.org/doi/pdfplus/10.1257/pandp.20181003">(<em>data as labor</em>)</a>. </p>
<p>Konsep ini memasukkan aktivitas berselancar kita sebagai kegiatan produksi. Ini masuk akal, sebab aktivitas kita di internet ikut berkontribusi dalam membuat <em>machine learning</em> milik penyedia layanan internet kian cerdas, akurat, dan relevan.</p>
<p>Algoritme platform Youtube adalah contoh paling sederhana terkait <em>machine learning</em>. Youtube akan menawarkan konten yang kian sesuai dengan selera pengguna, saat pengguna makin sering menggunakannya.</p>
<p>Dengan melihat data sebagai aktivitas kerja, maka pengguna berhak mendapatkan insentif karena membuat <em>machine learning</em> semakin pintar dari asupan data perilaku yang terekam.</p>
<p>Pemberian insentif akan menjadi <a href="https://www.goodreads.com/book/show/53096829-jagat-digital?from_search=true&from_srp=true&qid=1kdZ30cmLL&rank=1">tantangan</a>, karena alat ukur kontribusi pengguna pada <em>machine learning</em> harus dibuat terlebih dahulu. Jumlah pengguna platform, yang seringkali mencapai jutaan orang, juga menjadi tantangan terkait distribusi insentif tersebut.</p>
<p>Pandangan <em>data as labor</em> berbeda dengan konsep <a href="https://www.goodreads.com/book/show/53096829-jagat-digital?from_search=true&from_srp=true&qid=1kdZ30cmLL&rank=1"><em>data as capital</em></a> (data sebagai modal), yang mengartikan bahwa data secara otomatis dimiliki perusahaan penyedia layanan internet. </p>
<p>Logika ini muncul karena penyedia layanan menganggap pertukaran yang adil sudah terjadi. </p>
<p>Pengguna internet mendapatkan akses di platform secara gratis; maka, penyedia layanan berhak mendapatkan data-data yang dimasukkan pengguna internet pada platform mereka. </p>
<p>Terlepas dari perdebatan yang terjadi pada dua gagasan tersebut, praktik penggalian data pribadi ini senyatanya telah dan masih berlangsung di keseharian kita.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bagaimana-mewujudkan-uu-perlindungan-data-pribadi-yang-kuat-di-indonesia-132498">Bagaimana mewujudkan UU Perlindungan Data Pribadi yang kuat di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>2. Pengawasan digital terhadap warga</h2>
<p>Ancaman lain terhadap perlindungan data pribadi adalah pengawasan (<em>surveillance</em>) yang menekankan pada proses pemantauan suatu subjek secara khusus, yang rawan diikuti dengan aksi pembobolan data pribadi oleh pihak tertentu, termasuk institusi negara. </p>
<p>Pengawasan ini dilakukan oleh kelompok masyarakat (misalnya negara) atau institusi (misalnya militer atau perusahaan) untuk <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/13691180210159328">mengelola risiko</a> dalam melakukan perencanaan atau menghadapi masa depan.</p>
<p>Dalam melakukan ini, kelompok atau institusi mengumpulkan informasi tentang kelompok lain atau suatu individu, menelaah apakah individu tersebut “baik” atau “buruk” bagi mereka, dan akhirnya menentukan langkah-langkah yang akan dilakukan dalam menghadapi individu itu.</p>
<p>Akses ke dalam bandara adalah contoh sederhana dari konsep ini. Di pintu masuk bandara, petugas keamanan akan memeriksa apakah kita membawa barang-barang yang membahayakan. Sebelum melewati pemeriksaan dan dianggap “aman”, kita tidak akan boleh masuk.</p>
<p>Richard V. Ericson dan Kevin D Haggerty, keduanya profesor sosiologi dan kriminologi di Kanada, <a href="http://vsoon.ru/pdf/Everyday-Surveillance.pdf">berargumen</a> bahwa dalam masyarakat risiko, “semua orang diduga ‘bersalah’” sebelum informasi tentang mereka menyatakan sebaliknya. </p>
<p>Pengelolaan risiko ini menjadi legitimasi untuk melakukan pengawasan, sebagaimana <a href="http://vsoon.ru/pdf/Everyday-Surveillance.pdf">pengalaman sehari-hari</a> yang dirasakan pengguna internet. </p>
<p>Misalnya saat menggunakan ponsel, lokasi kita bahkan <a href="https://theconversation.com/anda-tidak-mengizinkan-ponsel-membocorkan-lokasi-ponsel-ternyata-bisa-tidak-menurut-92749">tetap terpantau</a> walau <a href="https://theconversation.com/pelacakan-data-ponsel-tak-sekadar-mengerikan-ini-alasan-anda-perlu-khawatir-92286">aksesnya sudah diputus</a>. </p>
<p>Ini juga turut berperan dalam membangun <a href="https://theconversation.com/registrasi-kartu-prabayar-jalan-riskan-bagi-perlindungan-hak-sipil-warga-87202">budaya curiga terhadap negara dan satu sama lain</a> di tengah masyarakat.</p>
<p>Memang <a href="https://www.zdnet.com/article/do-intelligence-agencies-need-restructuring-for-the-digital-disinformation-age/">ada sisi positif</a> dari sistem pengawasan berbasis teknologi komunikasi terhadap penyusunan kebijakan pemerintah yang responsif pada situasi mutakhir. </p>
<p>Namun, peningkatan kualitas institusi keamanan, pertahanan, dan intelijen negara - misalnya melalui penambahan jumlah anggaran – akan berdampak pula pada peningkatan kekuatan institusi tersebut dalam melangsungkan aksi pengawasan. </p>
<p>Di Indonesia, alokasi terbesar <a href="https://www.kemenkeu.go.id/media/13730/informasi-apbn-2020.pdf">Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara</a> saat ini diberikan pada Kementerian Pertahanan; kepolisian berada di peringkat ketiga.</p>
<p>Dalam konteks ini, pengawasan yang semakin ketat oleh negara membawa ancaman bawaan berupa peretasan terhadap individu dan kelompok yang kritis terhadap pemerintah. </p>
<p>Beberapa waktu lalu, Amnesty Internasional Indonesia mencatat peretasan <a href="https://www.suara.com/news/2020/08/21/170706/amnesty-internasional-peretasan-tempo-dan-pandu-riono-melanggar-ham?page=all">akun media sosial pribadi</a> epidemiolog Pandu Riono dan aktivis Ravio Patra. Mereka kerap mengkritisi secara terbuka kebijakan pemerintah dalam menangani wabah.</p>
<p>Catatan Amnesty Internasional Indonesia dari Februari hingga Agustus 2020 juga memperlihatkan adanya 39 kasus dugaan intimidasi dan serangan digital terhadap mereka yang aktif mengkritik pemerintah.</p>
<p>Perkumpulan <em>Southeast Asia Freedom of Expression Network</em> (SAFEnet) bahkan menyebut kondisi kemerdekaan berekspresi di Indonesia sudah masuk dalam “<a href="https://id.safenet.or.id/2019/10/proyeksi-2019-2024-siaga-satu-represi-kemerdekaan-berekspresi-dan-kriminalisasi-aktivis-pro-demokrasi/">siaga satu</a>”.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/masalah-penyiaran-butuh-reformasi-menyeluruh-permohonan-uji-materi-rcti-dan-inews-ke-mk-salah-kaprah-145412">Masalah penyiaran butuh reformasi menyeluruh, permohonan uji materi RCTI dan iNews ke MK salah kaprah</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Jaminan kontrol penuh</h2>
<p>Harapan apa yang harus kita sematkan pada RUU PDP dalam upaya menghindari dominasi raksasa teknologi dan pengawasan tak terbatas?</p>
<p>Demi kepentingan kedaulatan pengguna internet, kita perlu mengawasi dan menjaga klausul-klausul yang mendukung kedaulatan pemilik data pribadi hingga pengundangan RUU PDP nanti.</p>
<p>Terkait ancaman pengawasan, misalnya, RUU PDP memiliki prinsip yang bisa melindungi kita, yaitu <a href="http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/RJ5-20200305-121009-3116.pdf">hak untuk dilupakan</a>. Hak ini memberi kewenangan pada pemilik data pribadi untuk mengajukan penghapusan dan pemusnahan rekam jejak digital miliknya.</p>
<p>Instrumen ini tentu bisa menekan potensi pengawasan terhadap data pribadi kita, asalkan diterapkan secara penuh dan transparan.</p>
<p>Terkait ancaman penggalian data pribadi, <a href="https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/users/4752/Rancangan%20UU%20PDP%20Final%20%28Setneg%20061219%29.pdf">draf RUU PDP terakhir</a> menjatuhkan pidana maksimal tujuh tahun penjara dan denda Rp 70 miliar bagi pihak yang dengan sengaja dan melawan hukum menggunakan data pribadi yang bukan miliknya. </p>
<p>Walaupun, dalam draf <a href="https://pusatdata.hukumonline.com/js/pdfjs/web/viewer.html?file=/pusatdata/viewfile/lt5c89dcf405461/parent/lt561f74edf3260">RUU PDP versi Januari 2019,</a> denda maksimal yang ditetapkan mencapai Rp 100 miliar.</p>
<p>Namun setidaknya, draf RUU PDP terakhir masih memberikan denda sebesar tiga kali lipat besaran denda perseorangan pada perusahaan yang melanggar ketentuan-ketentuan pidana.</p>
<p>Oleh karena itu, kita perlu mengawal pembahasan RUU PDP hingga waktu penetapannya, agar hak-hak digital kita sebagai pengguna berada di bawah kendali kita sendiri secara penuh.</p>
<hr>
<p><em>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/145178/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Rifqi Rachman tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Ancaman penggalian data warga tanpa kesepakatan dan pengawasan atas warga tanpa alasan yang jelas perlu ditangani dalam UU baru.Rifqi Rachman, Researcher of Political Affairs, The Indonesian InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1407692020-07-21T07:59:38Z2020-07-21T07:59:38ZMengapa polisi cenderung menggunakan tindakan represif untuk menyelesaikan masalah?<p>Kematian George Floyd di tangan polisi di Mineapolis telah menyorot persoalan klasik di negeri Paman Sam, <a href="https://www.nytimes.com/2020/06/10/us/protests-black-lives-matter-george-floyd.html">rasisme dan diskriminasi berdasar warna kulit</a>. Situasi ini kemudian memunculkan aksi anti-rasis and tuntutan reformasi kepolisian secara nasional. </p>
<p>Dalam aksi-aksi tersebut, selain mendatangi kedutaan AS di setiap negara untuk menyatakan protes, pengunjuk rasa juga menuntut otoritas setempat untuk mengungkap kematian akibat tindakan kekerasan aparat polisi.</p>
<p>Masalah kekerasan polisi bukan hanya terjadi di AS. Di Indonesia, penggunaan kekerasan oleh aparat kepolisian cukup tinggi. </p>
<p>Awal bulan ini, seorang kuli menjadi <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200710074936-12-523065/kuli-disiksa-polisi-agar-mau-jadi-pembunuh-kapolsek-dicopot">korban</a> korban penyiksaan saat berada di sel tahanan kepolisian di Percut Sei Tuan, Deli Serdang, Sumatra Utara.</p>
<p>Bulan lalu, aparat polisi <a href="https://banten.antaranews.com/berita/106346/terkait-kekerasan-unjuk-rasa-polres-pmii-sepakat-berdamai">memukuli</a> sekelompok mahasiswa saat sedang berunjuk rasa di Pamekasan, Madura, Jawa Timur.</p>
<p>Dalam satu tahun terakhir saja, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menemukan 921 kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) oleh polisi sepanjang Juli 2019 sampai Juni 2020. </p>
<p>Tahun sebelumnya, KontraS menemukan <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/07/01/13394191/kontras-tak-ada-kasus-kekerasan-oleh-polisi-yang-tuntas-di-meja-hijau-dalam?page=all">643</a> kekerasan oleh polisi di berbagai daerah dari Juni 2018 hingga Mei 2019.</p>
<p>Mengapa polisi masih menggunakan tindakan represif dalam penanganan masalah sosial oleh kepolisian? </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/polisi-yang-menyerang-petugas-medis-saat-kerusuhan-harus-dihukum-karena-langgar-ham-dan-ancam-nyawa-banyak-orang-124751">Polisi yang menyerang petugas medis saat kerusuhan harus dihukum karena langgar HAM dan ancam nyawa banyak orang</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Pemolisian sipil tidak populer</h2>
<p>Sejak tahun 2002, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) telah berubah menjadi institusi sipil. Namun, pengaruh puluhan tahun berada di bawah angkatan bersenjata belum sepenuhnya hilang.</p>
<p>Pada tahun 2015, saya melakukan survei pada lebih dari 300 siswa tahun ketiga (Taruna Tingkat Tiga) di Akademi Kepolisian di Semarang, Jawa Tengah. Saya mengajukan pertanyaan: penempatan tugas apa yang Anda inginkan setelah selesai pendidikan? </p>
<p>Lebih dari 70% taruna memilih penempatan di reserse dan kriminal (reskrim), diikuti penugasan lalu lintas (lantas), intelejen, dan terakhir samapta. Samapta atau sabhara adalah penugasan terkait melakukan pengendalian massa, misalnya menangani kerusuhan atau unjuk rasa. </p>
<p>Tidak ada taruna yang memilih tugas pembinaan masyarakat (bimas).</p>
<p>Situasi ini menunjukkan paradigma pemolisian masih sangat diwarnai dengan pendekatan penanganan keamanan, bukan pemolisian sipil atau pemolisian masyarakat. </p>
<p>Pemolisian sipil adalah konsep yang menekankan kolaborasi dan kemitraan antara masyarakat dan anggota kepolisian dalam menangani masalah sosial keamanan. Untuk mencegah kekerasan antara aparat dan mahasiswa dalam unjuk rasa, misalnya, polisi perlu berkomunikasi aktif dengan tokoh gerakan mahasiwa. </p>
<p>Saya dan rekan-rekan di Yogyakarta pernah melakukan ini dengan menyambungkan kepolisian di tingkat provinsi dan kotamadya dengan tokoh mahasiswa untuk mencegah kekerasan antara demonstran dan aparat di lapangan.</p>
<p>Untuk masyarakat yang lebih demokratis dan penyelenggaraan pemerintahan yang transparan, <a href="http://portal.divkum.polri.go.id/Documents/PERATURAN%20KAPOLRI_03_25052016_113409.pdf">pemolisian sipil</a> harus dijalankan. </p>
<p>Indikatornya, aparat kepolisian dalam bekerja harus mengembangkan pendekatan kolaborasi dengan masyarakat. Ini dilakukan tidak hanya oleh aparat bimas, namun juga reskrim, lantas, intelejan dan samapta.</p>
<p>Aparat samapta, misalnya, juga perlu memiliki jaringan komunikasi dengan tokoh-tokoh masyarakat (tetap dengan melibatkan petugas bimas dan intelejen). Sehingga, satuan samapta mencegah dan menangani konflik bersama dengan masyarakat.</p>
<p>Tokoh-tokoh masyarakat yang sering digunakan adalah tokoh organisasi masyarakat, tokoh agama dan tokoh pemuda. Ini sebenarnya tidak ideal, namun elite sosial memang memiliki peran dominan dalam pranata hubungan sosial di Indonesia hingga kini.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/sidang-novel-baswedan-tunjukkan-peran-jaksa-yang-masih-kerdil-di-peradilan-indonesia-141702">Sidang Novel Baswedan tunjukkan peran jaksa yang masih kerdil di peradilan Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Pola represif dalam penegakan hukum</h2>
<p>Aparat penegak hukum di Indonesia seringkali menafsirkan perintah undang-undang untuk menciptakan ketertiban umum sebagai landasan untuk penggunaan kekerasan dalam keamanan publik.</p>
<p>Penggunaan kekerasan merupakan pilihan paling murah dan mudah dalam rangka penanganan masalah sosial. Aparat di lapangan seringkali menerjemahkan perintah “amankan” dari atasan dengan melakukan represi demi mencapai stabilitas keamanan. </p>
<p>Kontroversi muncul karena aparat kemudian mengesampingkan hak-hak konstitusional warga dan mengedepankan isu keamanan.</p>
<p>Misalnya, <a href="http://www.dpr.go.id/jdih/index/id/467">undang-undang</a> melindungi hak masyarakat untuk melakukan unjuk rasa. Namun polisi seringkali justru membubarkan dan menuduh pelaku demonstrasi <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190925094311-20-433726/polisi-tangkap-94-orang-dalam-demo-mahasiswa-di-dpr">melakukan tindakan melanggar hukum</a>. </p>
<p>Penangkapan terhadap orang-orang yang menyampaikan <a href="https://metro.tempo.co/read/1336725/kasus-ravio-patra-koalisi-sejumlah-aktivis-alami-peretasan">kritik terhadap pemerintah</a> dan <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181120024418-12-347830/tidak-ada-izin-acara-polisi-bubarkan-diskusi-ormas-di-papua">pembubaran diskusi</a> <a href="https://www.vivanews.com/berita/nasional/37349-penolak-omnibus-law-diintimidasi-gelar-diskusi-dibubarkan-polisi?medium=autonext">oleh aparat</a> juga contoh yang terjadi di banyak tempat.</p>
<p>Pola represif dalam penegakan hukum ini juga dapat dilihat dari data bahwa Polri adalah lembaga yang selalu menempati urutan lima besar -bersama tentara, pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan perusahaan- sebagai institusi yang diadukan ke Komisi Nasional (Komnas) HAM dalam beberapa tahun terakhir.</p>
<p>Korban umumnya mengadu soal <a href="https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2019/7/17/920/komnas-ham-sampaikan-data-pengaduan-caturwulan-pertama.html">lambannya penanganan kasus, upaya paksa yang sewenang-wenang, tindakan kekerasan baik verbal maupun fisik, kriminalisasi, dan penyiksaan</a>. </p>
<p>Data yang dirilis KontraS menunjukkan Polri sering menggunakan tindakan kekerasan yang tidak proporsional dalam menangani masyarakat. Alhasil, tindakan aparat bukan melumpuhkan tetapi menyebabkan kematian. </p>
<p>Setahun terahir, <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200630211022-12-519281/kontras-polri-terlibat-921-kekerasan-dan-ham-dalam-setahun">kekerasan</a> yang dilakukan oleh anggota Polri menyebabkan 1.637 orang luka-luka dan 304 orang meninggal dunia.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kenapa-demo-kerap-berakhir-bentrok-dan-kerusuhan-140557">Kenapa demo kerap berakhir bentrok dan kerusuhan?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Lemahnya jaminan hukum</h2>
<p>Indonesia telah <a href="http://ham.go.id/download/uu-no-5-tahun-1998-tentang-konvensi-menentang-penyiksaan-dan-perlakuan-atau-penghukuman-lain-yang-kejam-tidak-manusiawi-atau-merendahkan-marabat-manusia/">meratifikasi</a> Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, UNCAT).</p>
<p>Sejak 2011, Komite Menentang Penyiksaan (Committee Against Torture), suatu komite yang dibentuk untuk memantau UNCAT, <a href="https://tbinternet.ohchr.org/_layouts/15/TreatyBodyExternal/Countries.aspx?CountryCode=IDN&Lang=EN%20dan%20file:///C:/Users/8/Downloads/G1140892.pdf">telah merekomendasikan</a> agar pemerintah Indonesia segera mengatur perbuatan penyiksaan dalam sistem hukum.</p>
<p>Komite itu meminta agar pemerintah Indonesia menambah konsep penganiayaan (<em>illtreatment</em>) dan konsep penyiksaan dalam aturan hukum. </p>
<p>Penyiksaan adalah tindakan yang menimbulkan derita (fisik maupun psikis) yang dilakukan oleh atau atas perintah dari pejabat publik. Tujuan penyiksaan adalah untuk mendapatkan keterangan. Sedangkan penganiayaan bisa dilakukan oleh siapapun dengan tujuan apapun. </p>
<p>Berdasarkan definisi di atas, kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian termasuk penyiksaaan dilakukan dalam rangka interogasi mencari keterangan.</p>
<p>Kekerasan oleh polisi, baik sebagai penyiksaan maupun penganiayaan adalah tindakan kejam dan merendahkan martabat manusia yang seharusnya dipidana.</p>
<p>Namun, hingga saat ini pemerintah Indonesia belum menjalankan rekomendasi komite tersebut. <a href="https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/17797/rancangan-undang-undang-2019">Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana</a> yang baru juga belum mengatur tentang tindakan penyiksaan. </p>
<p>Tanpa ada larangan terhadap penyiksaan dan perlakuan kejam dan tidak manusiawi, penggunaan kekerasan oleh polisi dalam menangani ancaman gangguan keamanan seakan dibolehkan oleh hukum. </p>
<p>Pendidikan anti penyiksaan juga belum menjadi perhatian serius pemerintah, khususnya pada lembaga pendidikan Polri. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengapa-tindakan-kekerasan-polisi-tidak-efektif-untuk-menangani-aksi-protes-mahasiswa-124421">Mengapa tindakan kekerasan polisi tidak efektif untuk menangani aksi protes mahasiswa?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Penguatan pendidikan dan regulasi</h2>
<p>Polri sesungguhnya telah memiliki Peraturan Kepala Polri (Kapolri) yang secara khusus memberikan <a href="https://icjrid.files.wordpress.com/2012/05/perkap-no-8-tahun-2009.pdf">perintah untuk menghormati HAM</a> dalam menjalankan seluruh tugas dan fungsinya.</p>
<p>Namun, peraturan ini belum dilaksanakan dan diperinci pelaksanaannya dalam prosedur operasi dan ketentuan hukum acara di kepolisian, padahal peraturan ini perlu dipraktikkan dan dilatihkan kepada semua aparat kepolisian. </p>
<p>Pemolisian sipil harus dipahami setidaknya sebagai pemolisian humanis, yang menghormati harkat dan martabat manusia, anti penyiksaan, demokratis dan transparan, dengan mengutamakan pola preventif dan preemptif. </p>
<p>Pemerintah harus segera melengkapi Peraturan Kapolri dengan mengatur penyiksaan dalam sistem hukum Indonesia. </p>
<p>Pemerintah juga perlu melakukan pendidikan yang meluas tentang larangan penyiksaan, perlakuan dan penghukuman lain yang kejam dan merendahkan martabat kemanusiaan.</p>
<p>Bagian penting pada UNCAT adalah bahwa aparat kepolisian (dan aparat militer) harus secara periodik dibekali keterampilan menangani masalah sosial, termasuk konflik dan demonstrasi, dengan tetap menghormati martabat orang serta mengharamkan penggunaan kekerasan dan penyiksaan.</p>
<p>Polisi adalah institusi tempat bagi warga yang hak-haknya terlanggar mengadu untuk mendapatkan perlindungan. Tugas polisi adalah melindungi, bukan melukai. </p>
<hr>
<p><em>Agradhira Nandi Wardhana berkontribusi dalam penerbitan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/140769/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Eko Riyadi, S.H., M.H. tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Ketentuan hukum soal penggunaan kekerasan oleh kepolisian di Indonesia belum kuat.Eko Riyadi, S.H., M.H., Dosen Fakultas Hukum dan Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia di Universitas Islam Indonesia, Universitas Islam Indonesia (UII) YogyakartaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1392182020-06-10T02:49:43Z2020-06-10T02:49:43ZRiset: diskriminasi dalam beragama di Indonesia salah satu yang tertinggi di dunia Islam<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/340307/original/file-20200608-176538-1sdol80.png?ixlib=rb-1.1.0&rect=40%2C313%2C1028%2C451&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://pixabay.com/illustrations/personal-group-puzzle-series-chain-5226775/">Gerd Altman/Pixabay</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Banyak perubahan yang terjadi setelah Soeharto jatuh pada Mei 1998 dan era Reformasi dimulai: sebagian positif, sebagian negatif. </p>
<p>Menurut <a href="https://nasional.tempo.co/read/1090996/20-tahun-reformasi-perlindungan-untuk-kebebasan-beragama-mundur/full&view=ok">beberapa</a> <a href="https://theconversation.com/refleksi-2019-awan-gelap-untuk-ham-di-indonesia-128625">laporan</a>, kebebasan beragama di era Reformasi lebih buruk dari era Soeharto.</p>
<p>Tapi apa benar demikian? <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/00074918.2019.1661354">Riset</a> <a href="http://nathanael.id/publications/">saya</a> yang baru-baru ini dipublikasikan di Bulletin of Indonesian Economic Studies mencoba menjawab hal ini.</p>
<p>Ada dua pertanyaan utama dalam riset itu. Pertama, bagaimana kebebasan beragama Indonesia dibandingkan negara mayoritas Muslim lain? Kedua, bagaimana kebebasan beragama Indonesia sekarang dibandingkan era Soeharto?</p>
<p>Analisis yang saya lakukan menemukan bahwa tingkat diskriminasi oleh negara, legislasi agama, dan diskriminasi sosial Indonesia adalah salah satu yang tertinggi di dunia Islam. </p>
<p>Analisis saya juga menunjukkan bahwa kejatuhan Soeharto memperburuk legislasi agama, yaitu pembentukan produk hukum yang mengatur kehidupan beragama, dan memperparah diskriminasi sosial terhadap pemeluk agama dan kepercayaan minoritas. Sementara, berakhirnya kekuasaan Soeharto tidak berdampak pada diskriminasi yang dilakukan negara terhadap pemeluk agama dan kepercayaan minoritas. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/demi-indonesia-yang-damai-kata-kafir-memang-sebaiknya-dihapus-113193">Demi Indonesia yang damai, kata kafir memang sebaiknya dihapus</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Analisis yang dilakukan</h2>
<p>Dalam riset, saya menggunakan data dari Religion and State (RAS) Project Round 3 yang dilakukan oleh Jonathan Fox, profesor agama dan politik di Bar-Ilan University, Israel.</p>
<p>Data ini bisa diunduh secara bebas di <a href="http://thearda.com/ras">thearda.com/ras</a>. Analisis saya mencakup 183 negara dari tahun 1990 sampai 2014.</p>
<p>Ada banyak indikator kebebasan beragama di data ini. Saya fokus pada tiga indikator: diskriminasi negara (<em>state discrimination</em>), legislasi agama (<em>religious legislation</em>), dan diskriminasi sosial (<em>societal discrimination</em>).</p>
<p>Diskriminasi negara terwujud dalam peraturan legal formal yang mendiskriminasi agama minoritas. Indikator yang digunakan antara lain ada tidaknya peraturan pemerintah yang melarang kegiatan ibadah agama minoritas, atau ada tidaknya peraturan pemerintah yang melarang pendirian rumah ibadah minoritas. Total ada 36 indikator diskriminasi negara yang saya analisis.</p>
<p>Legislasi agama mengacu pada produk hukum yang tidak secara spesifik menyasar agama minoritas, tapi tetap bertujuan mengatur moral dan kehidupan beragama. Contoh indikator tentang legislasi agama adalah ada tidaknya aturan tentang penodaan agama, ada tidak aturan tentang pakaian perempuan, atau ada tidaknya aturan tentang homoseksualitas. Total ada 52 indikator untuk legislasi agama yang saya analisis.</p>
<p>Terakhir, diskriminasi sosial mengukur bagaimana masyarakat itu sendiri mendiskriminasi agama minoritas. Fokus indikator ini adalah pada pembatasan yang dilakukan oleh masyarakat, bukan negara atau aparat pemerintah. </p>
<p>Contoh indikator ini misalnya ada tidaknya perusakan tempat ibadah oleh organisasi kemasyarakatan (ormas) atau ada tidaknya pelarangan ibadah oleh ormas. Total ada 27 indikator diskriminasi sosial yang saya analisis.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/jakarta-dan-yogyakarta-demokratis-tapi-intoleran-mengapa-ini-bisa-terjadi-di-indonesia-116576">Jakarta dan Yogyakarta demokratis tapi intoleran: Mengapa ini bisa terjadi di Indonesia?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Indonesia dibandingkan negara muslim lain</h2>
<p>Pada tiga grafik berikut, saya menampilkan hasil analisis. Pada setiap grafik, sumbu horizontal x menampilkan tahun dan sumbu vertikal y menampilkan nilai atau skor di masing-masing dimensi yang disebutkan di atas.</p>
<p>Di tiap grafik, garis tebal tidak putus-putus menunjukkan angka Indonesia, garis tebal putus-putus menunjukkan angka rata-rata negara Muslim, dan setiap garis tipis mewakili satu negara Muslim.</p>
<p>Dari tiga grafik ini terlihat jelas tingkat diskriminasi negara, legislasi agama, dan diskriminasi sosial Indonesia lebih tinggi dibanding banyak negara Muslim. </p>
<p>Di dunia Islam, kita salah satu yang paling membatasi kelompok agama minoritas.</p>
<p>Mengingat betapa sering elit dan masyarakat kita <a href="https://kemlu.go.id/berlin/id/news/256/indonesia-jadi-inspirasi-toleransi-beragama-dan-multikulturalisme-bagi-jerman">mengaku</a> <a href="https://www.liputan6.com/news/read/4029055/jk-indonesia-jadi-contoh-toleransi-beragama-bagi-dunia">toleran</a>, barangkali sudah saatnya kita berhenti mengaku toleran dan mulai belajar untuk benar-benar bersikap toleran.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/337433/original/file-20200525-106823-7x7xm0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/337433/original/file-20200525-106823-7x7xm0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/337433/original/file-20200525-106823-7x7xm0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/337433/original/file-20200525-106823-7x7xm0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/337433/original/file-20200525-106823-7x7xm0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/337433/original/file-20200525-106823-7x7xm0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/337433/original/file-20200525-106823-7x7xm0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Diskriminasi negara.</span>
</figcaption>
</figure>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/337434/original/file-20200525-106828-1y5shjt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/337434/original/file-20200525-106828-1y5shjt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/337434/original/file-20200525-106828-1y5shjt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/337434/original/file-20200525-106828-1y5shjt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/337434/original/file-20200525-106828-1y5shjt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/337434/original/file-20200525-106828-1y5shjt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/337434/original/file-20200525-106828-1y5shjt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Legislasi agama.</span>
</figcaption>
</figure>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/337435/original/file-20200525-106815-1v1zv2k.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/337435/original/file-20200525-106815-1v1zv2k.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/337435/original/file-20200525-106815-1v1zv2k.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/337435/original/file-20200525-106815-1v1zv2k.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/337435/original/file-20200525-106815-1v1zv2k.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/337435/original/file-20200525-106815-1v1zv2k.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/337435/original/file-20200525-106815-1v1zv2k.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Diskriminasi sosial.</span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Era Reformasi vs Orde Baru</h2>
<p>Apakah kebebasan beragama sekarang lebih buruk dibanding era Soeharto? Apakah reformasi memperburuk kebebasan beragama? </p>
<p>Untuk menjawab pertanyaan ini saya menggunakan teknik <a href="https://economics.mit.edu/files/11859">Synthetic Control Method</a>. Metode ini membandingkan Indonesia sekarang dengan “Indonesia” sintetik atau imajiner yang masih diperintah Soeharto.</p>
<p>Indonesia sintetik ini dibuat dengan menggabungkan negara-negara lain berdasarkan kriteria tertentu seperti Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita, persentase populasi urban, tingkat keragaman agama, dan tingkat demokrasi.</p>
<p>Saya membandingkan Indonesia aktual atau Indonesia yang sebenarnya dengan Indonesia sintetik (Indonesia yang tidak mengalami kejatuhan Soeharto). Perbedaan antara keduanya ada pada perkiraan efek kejatuhan Soeharto terhadap kebebasan beragama.</p>
<p>Terkait diskriminasi negara, tidak ada beda antara Indonesia aktual dengan Indonesia sintetik. Kebebasan beragama di Indonesia sekarang tidak berbeda dengan situasi jika Soeharto masih berkuasa. </p>
<p>Legislasi agama dan diskriminasi sosial justru meningkat jauh. Kejatuhan Soeharto memperburuk dua hal ini.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/337437/original/file-20200525-106842-1o0l9j0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/337437/original/file-20200525-106842-1o0l9j0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/337437/original/file-20200525-106842-1o0l9j0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/337437/original/file-20200525-106842-1o0l9j0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/337437/original/file-20200525-106842-1o0l9j0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/337437/original/file-20200525-106842-1o0l9j0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/337437/original/file-20200525-106842-1o0l9j0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Diskriminasi negara aktual vs sintetik.</span>
</figcaption>
</figure>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/337439/original/file-20200525-106832-d85zko.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/337439/original/file-20200525-106832-d85zko.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/337439/original/file-20200525-106832-d85zko.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/337439/original/file-20200525-106832-d85zko.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/337439/original/file-20200525-106832-d85zko.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/337439/original/file-20200525-106832-d85zko.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/337439/original/file-20200525-106832-d85zko.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Legislasi agama aktual vs sintetik.</span>
</figcaption>
</figure>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/337438/original/file-20200525-106862-1rpcfv8.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/337438/original/file-20200525-106862-1rpcfv8.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/337438/original/file-20200525-106862-1rpcfv8.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/337438/original/file-20200525-106862-1rpcfv8.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/337438/original/file-20200525-106862-1rpcfv8.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/337438/original/file-20200525-106862-1rpcfv8.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/337438/original/file-20200525-106862-1rpcfv8.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Diskriminasi sosial aktual vs sintetik.</span>
</figcaption>
</figure>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/di-balik-imbauan-mui-soal-salam-lintas-agama-ada-ancaman-terhadap-multikulturalisme-indonesia-126950">Di balik imbauan MUI soal salam lintas agama, ada ancaman terhadap multikulturalisme Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Prioritas advokasi</h2>
<p>Ada dua kesimpulan dari analisis ini.</p>
<p>Pertama, tingkat diskriminasi negara, legislasi agama, dan diskriminasi sosial Indonesia ternyata salah satu yang tertinggi di dunia Islam. </p>
<p>Ini pekerjaan rumah bagi pemerintah dan semua pihak. Bila tidak dibenahi, keadaan ini hanya akan memburuk.</p>
<p>Kedua, kejatuhan Soeharto memperburuk legislasi agama dan diskriminasi sosial, tapi tidak memiliki efek terhadap diskriminasi negara. </p>
<p>Banyak kemungkinan kenapa legislasi agama dan diskriminasi sosial memburuk sementara diskriminasi negara tidak banyak berubah. Salah satunya adalah kehadiran ormas radikal.</p>
<p>Ormas radikal memperburuk tingkat diskriminasi sosial lewat <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s11562-013-0288-1">aksi-aksi persekusi mereka</a>. Ormas-ormas ini juga mempengaruhi kebijakan publik lewat kemampuan mereka memberikan <a href="https://www.cambridge.org/core/books/politics-of-sharia-law/DE8D25BFEFFD473EC882311D8023626F">tekanan kepada partai dan politisi</a>.</p>
<p>Ormas, dengan massa mereka yang tidak sedikit, dapat menjanjikan pasokan suara dalam pemilihan umum kepada politikus yang mendengar aspirasi mereka. </p>
<p>Di saat yang sama, mereka juga dapat memberikan ancaman elektoral kepada politisi yang mengabaikan keinginan mereka atau malah terang-terangan berseberangan dengan mereka.</p>
<p>Dari kesimpulan ini, kita bisa mengetahui apa yang harus diprioritaskan dalam advokasi kebebasan beragama di Indonesia. </p>
<p>Advokasi kita perlu fokus kepada legislasi agama dan diskriminasi sosial; fokus kepada bagaimana ormas radikal dan konservatif mempersekusi agama minoritas dan memanfaatkan massa untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan intoleran.</p>
<p>Studi ini juga menunjukkan kegunaan pengkodean yang sistematis dalam penelitian kebebasan beragama. Misalnya, peneliti Indonesia bisa menggunakan pengkodean RAS Project untuk mengukur dan membandingkan kebebasan beragama di provinsi-provinsi di Indonesia. </p>
<p>Provinsi mana yang paling restriktif dan provinsi mana yang intoleran? Informasi demikian pada akhirnya akan membantu kita membuat skala prioritas dalam advokasi kebebasan beragama.</p>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/139218/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Nathanael Gratias Sumaktoyo menerima dana dari the Indonesia Project, the Australian National University.</span></em></p>Diskriminasi beragama Indonesia salah satu yang tertinggi di dunia Islam. Tingkat legislasi agama dan diskriminasi sosial memburuk pasca-Soeharto.Nathanael Gratias Sumaktoyo, Postdoctoral Research Fellow, University of Notre DameLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1377822020-05-13T06:33:30Z2020-05-13T06:33:30ZNegara rentan salah gunakan kewenangan selama pandemi: pentingnya MK adopsi sistem pengaduan konstitusional<p>Peran lembaga peradilan, khususnya peradilan konstitusi, menjadi makin krusial dalam pandemi.</p>
<p>Ini karena pemerintah bisa saja secara <a href="https://theconversation.com/penegak-hukum-indonesia-bertindak-sewenang-wenang-selama-pandemi-perlunya-sistem-pemidanaan-rasional-137604">sewenang-wenang</a> membuat aturan dan kebijakan yang merugikan masyarakat atau <a href="https://theconversation.com/yang-luput-dari-psbb-kewajiban-pemerintah-untuk-penuhi-hak-kesehatan-warga-136747">mengelak kewajiban</a> yang harus dilakukannya dengan dalih suasana darurat pandemi.</p>
<p>Peran peradilan konstitusi penting untuk mengevaluasi kebijakan negara dan permasalahan tata kelola pemerintahan agar memastikan hak dan kewajiban warga negara terpenuhi dengan adil bahkan selama pandemi. </p>
<p>Selama ini lembaga peradilan hanya memiliki dua jalur upaya hukum warga masyarakat dalam menuntut keadilan karena kelalaian pemerintah: gugatan perwakilan kelompok (<em>class action</em>) dan uji materi (<em>judicial review</em>).</p>
<p>Pada awal masa pandemi, beberapa pihak yang mewakili pengusaha usaha kecil dan menengah memang telah menempuh jalur hukum dengan mengajukan <a href="https://theconversation.com/explainer-seperti-apa-gugatan-class-action-di-indonesia-136051">gugatan <em>class action</em></a> terhadap kegagalan pemerintah dalam merespons pandemi. </p>
<p>Namun dampak hukumnya terbatas karena hanya memberikan penyelesaian pada para penggugat terkait dalam bentuk ganti rugi finansial. <em>Class action</em> bukanlah jalur yang tepat untuk menuntut ‘kompensasi politik’ atau perubahan dengan dampak yang lebih universal atas suatu keputusan politik.</p>
<p>Demikian juga <em>judicial review</em>. </p>
<p>Walau warga negara dapat melakukan <em>judicial review</em> ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melindungi hak konstitusionalnya, upaya tersebut hanya terbatas pada <a href="https://www.ifes.org/sites/default/files/law_no24_constitutional_court.pdf">pengujian atas konstitusionalitas undang-undang</a>. </p>
<p>Jalur ini tidak dapat digunakan untuk menguji segala keputusan atau tindakan aparatur negara yang berpotensi mencederai hak asasi manusia, yang mungkin saja berlandaskan pada produk hukum yang lebih rendah daripada undang-undang. </p>
<p>Dalam konteks inilah, pengaduan konstitusional (<em>constitutional complaint</em>) sebagai suatu mekanisme hukum perlu diadopsi.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/penegak-hukum-indonesia-bertindak-sewenang-wenang-selama-pandemi-perlunya-sistem-pemidanaan-rasional-137604">Penegak hukum Indonesia bertindak sewenang-wenang selama pandemi: perlunya sistem pemidanaan rasional</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Konsep <em>constitutional complaint</em></h2>
<p>Pada dasarnya, <em>constitutional complaint</em> dapat diartikan sebagai mekanisme langsung bagi warga negara untuk membuat pengaduan ke peradilan konstitusi manakala mereka merasa bahwa hak-hak konstitusionalnya telah tercederai atau terabaikan oleh kebijakan, keputusan, ataupun tindakan aparatur negara.</p>
<p>Peran lembaga peradilan yang memungkinkan warga untuk melakukan gugatan langsung pada negara muncul seiring gelombang demokratisasi di berbagai belahan dunia yang <a href="https://www.taylorfrancis.com/books/e/9780203115596/chapters/10.4324/9780203115596-6">meningkatkan peran lembaga peradilan dalam merespons kebijakan publik, tata kelola pemerintahan, dan permasalahan politik yang pelik</a>.</p>
<p>Pengaduan ini merupakan perwujudan perlindungan tertinggi atas hak asasi manusia dalam negara demokratis dimana segala keputusan, kebijakan, dan tindakan otoritas publik wajib didasarkan - pertama-tama dan terutama - pada konstitusi yang menggariskan antara kewenangan negara dengan hak dan kewajiban rakyatnya.</p>
<p>Dalam penanganan pandemi, ada kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia yang berpotensi mencederai hak konstitusional warga negara.</p>
<p>Misalnya, negara gagal dalam menyediakan <a href="https://www.channelnewsasia.com/news/asia/indonesia-covid19-doctors-nurses-at-risk-12573980">alat pelindung diri untuk tenaga medis</a> yang memadai dengan segera, sehingga turut meningkatkan jumlah dokter dan perawat yang berguguran dalam penanganan pasien.</p>
<p>Hal ini bertentangan dengan <a href="http://www.unesco.org/education/edurights/media/docs/b1ba8608010ce0c48966911957392ea8cda405d8.pdf">konstitusi Indonesia (Undang-Undang Dasar 1945)</a>, yang menjamin hak tiap warga negara untuk hidup dan melindungi kehidupannya, serta yang mewajibkan negara untuk menyediakan fasilitas kesehatan yang memadai.</p>
<p>Contoh yang lain adalah polisi yang melakukan penangkapan orang-orang yang diduga telah menghina presiden dan otoritas publik dalam mengekpresikan kekecewaannya terkait penanganan wabah oleh pemerintah, sebagaimana dialami oleh <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2020/04/24/activist-arrested-as-he-was-about-to-get-into-dutch-embassy-car-police.html">aktivis Ravio Patra</a> bulan lalu.</p>
<p>Aktivis hukum mengecam kepolisian karena <a href="http://icjr.or.id/enforcing-article-on-the-defamation-of-the-president-police-sets-their-face-against-constitutional-courts-decision/">secara terbuka melawan putusan MK tahun</a> <a href="http://hukum.unsrat.ac.id/etc/mk_013-022_2006.pdf">2006</a>) terkait penghinaan presiden dan kekuasaan umum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Penangkapan ini tentunya bertentangan dengan UUD 1945 tentang hak tiap warga negara untuk bebas berpendapat.</p>
<p>Pengadopsian <em>constitutional complaint</em> sebagai suatu mekanisme hukum akan mengukuhkan perlindungan hak tiap warga negara Indonesia, sebagaimana diatur dalam konstitusi dan perundang-undangan. </p>
<p>Dengan mekanisme ini, warga negara yang merasa hak konstitusionalnya tercederai atau dilanggar oleh kebijakan pemerintah dalam penanganan krisis pandemi sebagaimana diilustrasikan diatas, dapat secara langsung mengajukan permohonan ke MK. </p>
<p>Teknis pengajuan permohonan tentunya perlu diatur lebih lanjut dalam hukum acara persidangan yang berlaku di MK. </p>
<p>Di Jerman, pemohon mengajukan <em>constitutional complaint</em> kepada mahkamah konstitusi setempat <a href="https://www.bundesverfassungsgericht.de/EN/Homepage/_zielgruppeneinstieg/Merkblatt/Merkblatt_node.html"><em>Bundesverfassungsgericht</em></a> secara tertulis dengan menerangkan sejelas-jelasnya tindakan atau kebijakan otoritas publik yang berdampak negatif pada dirinya serta hak konstitusional yang dilanggar oleh kebijakan tersebut.</p>
<p>Di sana, mahkamah berwenang, antara lain, untuk menyatakan suatu tindakan otoritas publik sebagai tidak konstitusional atau membatalkan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait.</p>
<p>Satu kasus yang cukup populer di sana adalah pengajuan <em>constitutional complaint</em> atas <a href="https://www.ft.com/content/bba9ff90-c96e-11e4-b2ef-00144feab7de">larangan pemakaian hijab</a> terhadap guru sekolah di negara bagian North Rhine-Westphalia. Beberapa guru perempuan beragama Islam yang keberatan dan merasa dirugikan atas larangan tersebut mengajukan pengaduan.</p>
<p>Mahkamah konstitusi mengabulkan permohonan tersebut dan kemudian mengeluarkan <a href="https://www.bundesverfassungsgericht.de/SharedDocs/Downloads/EN/2015/01/rs20150127_1bvr047110en.pdf?__blob=publicationFile&v=4">putusan</a> yang menyatakan bahwa larangan tersebut inkonstitusional karena melanggar hak kebebasan beragama sebagaimana diatur dalam konstitusi Jerman. Putusan ini berdampak luas berupa <a href="https://www.bbc.com/news/world-europe-31867732">dicabutnya aturan larangan serupa</a> yang berlaku di beberapa negara bagian lain di sana.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/explainer-seperti-apa-gugatan-class-action-di-indonesia-136051">Explainer: Seperti apa gugatan _class action_ di Indonesia?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Mengadopsi <em>constitutional complaint</em></h2>
<p>Penanganan <em>constitutional complaint</em> oleh MK sebenarnya bukanlah konsep yang baru di Indonesia. Gagasan ini pernah mengemuka di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada masa amandemen konstitusi Indonesia zaman Reformasi. </p>
<p>Namun <a href="https://journal.umy.ac.id/index.php/jmh/article/view/1984">gagasan ini tidak berlanjut</a> karena adanya kekhawatiran tumpang tindih fungsi kehakiman dan perluasan kewenangan MK. </p>
<p>Pada kenyataannya, <a href="https://consrev.mkri.id/index.php/const-rev/article/view/514">di berbagai negara lain</a> sangat jarang peradilan konstitusi yang tidak memiliki kewenangan <em>constitutional complaint</em> mengingat fungsinya yang sangat penting dalam menjamin hak konstitusional warga negara.</p>
<p>Mantan hakim ketua MKRI, <a href="https://journal.umy.ac.id/index.php/jmh/article/view/1984">Hamdan Zoelva</a>, bahkan menyatakan bahwa semenjak didirikan, MK banyak menerima pengajuan kasus yang pada hakekatnya adalah <em>constitutional complaint</em> namun tidak dapat diterima karena tidak adanya kewenangan.</p>
<p>Idealnya, diperlukan amandemen konstitusi atau setidaknya revisi undang-undang yang mengatur <em>constitutional complaint</em> sebagai kewenangan kehakiman MK. </p>
<p>MK sendiri juga secara hukum berwenang untuk melakukan <a href="https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2847496">penafsiran konstitusi</a> guna memasukkan <em>constitutional complaint</em> sebagai bagian dari mekanisme <em>judicial review</em> yang telah dimilikinya. </p>
<p>Kesempatan untuk melakukan hal tersebut sejatinya muncul saat beberapa elemen masyarakat sipil tahun lalu mengajukan <a href="https://mkri.id/public/content/persidangan/resume/resume_perkara_1970_Perkara%20No.%2028%20-%20upload.pdf">permohonan pada MK</a> untuk menginterpretasikan kewenangannya sebagaimana termaktub dalam peraturan perundang-undangan terkait sehingga meliputi kewenangan untuk mengadili <em>constitutional complaint</em>. </p>
<p>Sayangnya, meskipun MK mengakui berwenang mengadili kasus tersebut namun permohonan tersebut tidak diterima karena pemohon dianggap tidak memiliki kedudukan hukum.</p>
<p>Dorongan dan dukungan bagi MK untuk mengambil inisiatif progresif sehingga <em>constitutional complaint</em> dapat diadopsi di Indonesia perlu terus dilakukan demi kemaslahatan warga negara. </p>
<p>Hanya waktu yang akan menjawab apakah MK akan terus berlaku sebagai ‘<em>judicial activist</em>’, memainkan peran aktif dalam membumikan demokrasi dan supremasi hukum di Indonesia seperti dicatat oleh ahli politik <a href="https://www.routledge.com/Routledge-Handbook-of-Southeast-Asian-Democratization-1st-Edition/Case/p/book/9781138939042">Bjoern Dressel</a>, ataukah dia akan secara bertahap menanggalkan jubah ‘kepahlawanannya’ sebagaimana ditulis oleh ahli hukum <a href="https://www.routledge.com/Law-and-Politics-of-Constitutional-Courts-Indonesia-and-the-Search-for/Hendrianto/p/book/9781138296428">Stefanus Hendrianto</a>.</p>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/137782/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Constitutional complaint perlu diadopsi sebagai mekanisme hukum untuk melindungi hak asasi warga negara yang terdampak kebijakan pemerintah.Kris Wijoyo Soepandji, Assistant Professor of Law. Theory of State Lecturer, Universitas IndonesiaFakhridho Susilo, PhD Candidate in Policy and Governance at the Crawford School of Public Policy, Australian National UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1372932020-05-13T03:30:26Z2020-05-13T03:30:26ZKetahui hak Anda jika berhadapan dengan aparat penegak hukum<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/332264/original/file-20200504-83779-1mwt1x8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://pixabay.com/photos/handcuffs-caught-crime-sin-921290/">Klaus Hausmann/Pixabay</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Pada April lalu, kita membaca berita penangkapan beberapa aktivis oleh aparat lewat prosedur yang dipertanyakan: <a href="https://metro.tempo.co/read/1335957/penangkapan-ravio-patra-cacat-prosedur-polisi-bantah-katrok/full&view=ok">Ravio Patra di Jakarta</a> dan <a href="https://nasional.tempo.co/read/1335665/suciwati-dan-aksi-kamisan-tuntut-polisi-bebaskan-pemuda-di-malang/full&view=ok">tiga mahasiswa di Malang</a>, Jawa Timur.</p>
<p>Akhir tahun lalu, masalah <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49871301">prosedur penangkapan demonstran</a> dalam aksi #ReformasiDikorupsi juga mengemuka. </p>
<p>Bagaimanakah seharusnya penangkapan dilakukan menurut Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (<a href="https://www.kpk.go.id/images/pdf/Undang-undang/uu_8_1981.pdf">KUHAP</a>)?</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/uu-ite-dan-merosotnya-kebebasan-berekspresi-individu-di-indonesia-126043">UU ITE dan merosotnya kebebasan berekspresi individu di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Mekanisme penangkapan</h2>
<p>Penangkapan adalah tindakan pengekangan kebebasan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana untuk kepentingan pemeriksaan, baik pada tahap penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksan di persidangan.</p>
<p>Pasal 17 KUHAP menegaskan bahwa penangkapan hanya dapat dilakukan kepada seseorang yang diduga keras telah melakukan suatu tindak pidana, dan dugaan tersebut harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup.</p>
<p><a href="https://mkri.id/public/content/persidangan/putusan/21_PUU-XII_2014.pdf">Mahkamah Konstitusi</a> mendefinisikan bukti permulaan yang cukup sebagai minimal dua alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHP, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, atau keterangan terdakwa. </p>
<p>Tanpa adanya minimal dua alat bukti tersebut, petugas kepolisian tidak dapat melakukan penangkapan.</p>
<p>Lebih lanjut, sebuah peraturan <a href="http://portal.divkum.polri.go.id/Documents/PERKAP%20NOMOR%20%206%20%20TAHUN%202019%20TENTANG%20PENYIDIKAN%20TINDAK%20PIDANA.pdf">Kepolisian Republik Indonesia</a> menegaskan pula bahwa polisi hanya dapat menetapkan seseorang sebagai tersangka apabila telah terdapat setidaknya dua alat bukti dan didukung oleh barang bukti.</p>
<p>Alat bukti mencakup misalnya keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Sedangkan barang bukti adalah bukti-bukti lain di luar itu, misalnya motor hasil curian, narkotika yang disita, dan sebagainya.</p>
<p>Pada saat melakukan penangkapan, petugas kepolisian wajib memperlihatkan surat tugas dan surat perintah penangkapan kepada orang yang akan ditangkap.</p>
<p>Surat perintah tersebut harus mencantumkan identitas orang yang akan ditangkap secara jelas. Surat perintah penangkapan juga harus menyebutkan alasan penangkapan, dilengkapi dengan uraian singkat mengenai tindak pidana yang diduga dilakukan oleh orang yang akan ditangkap tersebut.</p>
<p>Setelah menangkap seseorang, polisi juga harus memberikan tembusan surat perintah penangkapan kepada keluarga orang yang ditangkap.</p>
<p>Jika seseorang tertangkap tangan melakukan suatu tindakan pidana, penangkapan bisa dilakukan tanpa surat perintah. Meski demikian, pihak yang yang melakukan penangkapan harus segera menyerahkan orang yang ditangkap serta bukti-bukti yang ada di tempat kejadian kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat. </p>
<p>Penyidik dan penyidik pembantu dalam hal bisa polisi atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu, misalnya <a href="http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/arsip/ln/2018/pp16-2018bt.pdf">Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Polisi Pamong Praja (Pol PP).</a></p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/menakar-dampak-ruu-cipta-kerja-pada-industri-pers-indonesia-132868">Menakar dampak RUU Cipta Kerja pada industri pers Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Hak-hak seseorang dalam penangkapan</h2>
<p>Selain dalam kondisi tertangkap tangan, seseorang yang akan ditangkap berhak meminta petugas untuk menunjukkan surat tugas dan surat penangkapan. Ia berhak menolak ditangkap bila petugas tidak bisa menunjukkan dokumen-dokumen tersebut. </p>
<p>Apabila tindak pidana yang didakwakan diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara 15 tahun/lebih, maka ia wajib mendapat penasihat hukum secara cuma-cuma. </p>
<p>Penasihat hukum disediakan sesuai dengan tingkat pemeriksaan sejak seseorang ditangkap. Jika tersangka diperiksa dalam tahap penyidikan, maka penasihat hukum disediakan oleh penyidik, misalnya oleh kepolisian. Jika tersangka diperiksa dalam tahap penuntutan, maka penasihat hukum disediakan oleh kejaksaan. Jika tersangka diperiksa dalam tahap persidangan, maka penasihat hukum disediakan oleh pengadilan.</p>
<p>Bantuan hukum secara cuma-cuma juga diberikan apabila seseorang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, dengan catatan bahwa orang tersebut adalah orang yang tidak mampu.</p>
<p>Apabila seseorang diancam dengan pidana di bawah 5 tahun, atau di atas 5 tahun namun dia bukan orang yang tidak mampu, KUHAP tidak mewajibkan orang tersebut untuk didampingi oleh penasihat hukum selama pemeriksaan oleh petugas kepolisian. </p>
<p>Walau tidak ada penasihat hukum, dalam kasus seperti ini hal tersebut tetap sah secara prosedural. </p>
<p>Namun, seseorang tetap berhak didampingi penasihat hukum selama pemeriksaan. Seseorang berhak menunjuk sendiri penasihat hukum yang akan mendampinginya dengan menggunakan biaya pribadi. Bila orang tersebut telah menunjuk penasihat hukum namun kemudian petugas melarang penasihat hukum untuk mendampingi maka itu menjadi pelanggaran prosedur.</p>
<p>Setelah penangkapan, penyidik akan melakukan pemeriksaan kepada orang yang ditangkap sebagai tersangka tersebut. Sepanjang masa pemeriksaan, tersangka berhak menghubungi dan menerima kunjungan — baik secara langsung maupun melalui penasihat hukumnya — dari sanak keluarga. Kunjungan ini diizinkan sepanjang dilakukan untuk kepentingan kekeluargaan atau kepentingan pekerjaan, serta tidak ada hubungannya dari perkara tersangka. Tersangka juga berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari rohaniwan.</p>
<p>Tersangka tidak memiliki kewajiban pembuktian, baik dalam tahap penyidikan maupun dalam tahap persidangan. </p>
<p>Jadi, tersangka berhak untuk tidak memberikan keterangan yang memberatkan dirinya: tidak menjawab atau menolak menjawab pertanyaan yang diajukan. </p>
<p>Hal ini dikenal pula sebagai <em>rights to non-self-incrimination</em> dalam hukum pidana.</p>
<p>Pada praktiknya, tersangka juga tidak disumpah pada saat memberikan keterangan, sehingga tersangka tidak wajib memberi keterangan yang sebenarnya serta dapat memberi keterangan yang menguntungkan dirinya.</p>
<p>Dengan kata lain, tersangka boleh bohong. Namun perlu diperhatikan bahwa keterangan tersangka memiliki kekuatan pembuktian yang paling lemah dan harus didukung oleh alat bukti lainnya.</p>
<p>Penangkapan hanya dapat dilakukan selama satu hari — tidak lebih. </p>
<p>Apabila jangka waktu satu hari sudah lewat, maka tersangka harus dibebaskan atau ditahan oleh penyidik. </p>
<p>Tersangka yang akan ditahan dapat mengajukan agar dilakukan penangguhan penahanan kepada pihak yang melakukan penahanan: kepolisian, kejaksaan, atau pengadilan.</p>
<p>Penangguhan penahanan dapat dilakukan dengan menggunakan jaminan uang atau jaminan orang.</p>
<h2>Apa yang dapat dilakukan jika penangkapan dilakukan tidak sesuai aturan?</h2>
<p>Lembaga praperadilan - misalnya Pengadilan Negeri - yang diatur didalam KUHAP bertujuan untuk menjamin seseorang yang sedang berhadapan dengan aparatur penegak hukum dalam kasus pidana tidak menerima perlakuan sewenang wenang dan melanggar HAM. </p>
<p>Praperadilan <a href="https://www.kpk.go.id/images/pdf/Undang-undang/uu_8_1981.pdf">berwenang</a> <a href="https://mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=10796">untuk</a> menguji sah atau tidaknya penyidikan dan penuntutan perkara pidana; sah atau tidaknya penetapan tersangka seseorang; dan kemudian menetapkan rehabilitasi dan ganti kerugian akibat adanya prosedur yang cacat hukum.</p>
<p>Dalam kasus Ravio, sebagai pihak yang dirugikan, ia dapat mengajukan gugatan praperadilan terhadap penyidik dari kepolisian melalui pengadilan negeri yang berwenang. </p>
<p>Hakim pengadilan negeri memeriksa gugatan praperadilan selama tujuh hari sejak perkara didaftarkan. Dalam proses pemeriksaan, sesuai sifat gugatan, hakim akan melakukan pengujian secara formil saja, yaitu memeriksa apakah bukti surat perintah penangkapan sudah memuat informasi yang jelas dan sudah diberikan kepada orang yang ditangkap. </p>
<p>Menurut KUHAP, hakim yang memeriksa perkara praperadilan berwenang mendengar keterangan dari para pihak, baik tersangka maupun aparat terkait. Hakim juga bisa memerintahkan para pihak untuk menghadirkan bukti-bukti formil untuk menilai kecacatan prosedural yang diduga telah terjadi.</p>
<p>Dalam kasus Ravio, hakim praperadilan dapat memerintahkan penyidik yang bersangkutan untuk menunjukkan surat perintah penangkapan yang digunakan penyidik sebagai legitimasi untuk dapat menangkap. </p>
<p>Jika hakim berkesimpulan bahwa dalam penangkapan ada cacat prosedur, maka proses dan hasil dari penangkapan tersebut (Berita Acara Pemeriksaan/BAP) atas nama Ravio menjadi tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum. </p>
<p>Sehingga, jika di kemudian hari penyidik yakin bahwa tindak pidana yang sebelumnya dilaporkan atas nama Ravio benar telah terjadi, maka untuk memeriksa Ravio, maka penyidik harus mengulangi tahapan penyidikan dari awal.</p>
<p>Jika hakim praperadilan menemukan bahwa penyidik yang bertugas lalai, mereka juga dapat dijatuhi sanksi berupa pembayaran ganti rugi (sejumlah uang) ataupun melakukan rehabilitasi (pemulihan kemampuan, harkat dan martabat) kepada Ravio.</p>
<h2>Mekanisme alternatif praperadilan dalam rancangan KUHAP</h2>
<p>KUHAP yang berlaku di Indonesia saat ini sudah berumur kurang lebih 39 tahun, maka aturan ini perlu diubah sesuai perkembangan dan kemajuan masyarakat. </p>
<p>Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mencatat bahwa setiap tahun antara 2003 dan 2015, KUHAP diujikan ke Mahkamah Konstitusi (MK) - total 75 perkara. </p>
<p>Hingga tahun 2017 terdapat 9 permohonan <em>judicial review</em> yang dikabulkan oleh MK termasuk didalamnya pasal-pasal KUHAP yang berkaitan dengan Praperadilan.</p>
<p>Dalam dokumen rancangan KUHAP yang baru versi Desember 2012, dibentuk lembaga baru yaitu Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) untuk menjalankan fungsi praperadilan yang lebih mendetil. Lembaga ini pada dasarnya merupakan lembaga yang terletak antara penyidik dan penuntut umum di satu pihak dan hakim di lain pihak. Lembaga ini diharapkan lebih mampu melindungi hak-hak orang yang sedang diperiksa dalam perkara pidana.</p>
<p>Dalam rancangan KUHAP itu, HPP diisi oleh hakim yang berwenang mengawasi upaya paksa baik berupa penahanan, penyitaan, penggeledahan badan, penggeledahan rumah, pemeriksaan surat oleh penyidik.</p>
<p>HPP dirancang untuk memastikan aparat penegak hukum telah bertindak sesuai perundang-undangan dan kasus yang sedang diperiksa layak untuk disidangkan karena alat bukti (juga dua bukti permulaan yang cukup) yang ada telah diperoleh secara sah. </p>
<p>Namun, sampai kini belum ada kemajuan dalam pembahasan rancangan tersebut. Revisi KUHAP bahkan <a href="https://icjr.or.id/5-catatan-icjr-terhadap-program-legislasi-nasional-prolegnas-prioritas-2020/">tidak masuk</a> dalam prioritas Program Legislasi Nasional 2020 di Dewan Perwakilan Rakyat.</p>
<p><em>Agradhira Nandi Wardhana berkontribusi dalam penerbitan artikel ini.</em></p>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/137293/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Bagaimanakah seharusnya penangkapan dilakukan menurut Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku?Maria Isabel Tarigan, Research fellow, Indonesia Judicial Research Society Siska Trisia, Researcher, Indonesia Judicial Research Society Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1367472020-05-11T07:02:16Z2020-05-11T07:02:16ZYang luput dari PSBB: kewajiban pemerintah untuk penuhi hak kesehatan warga<p>Pandemi COVID-19 telah memorak-porandakan sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya di <a href="https://www.weforum.org/agenda/2020/03/take-five-quarter-life-crisis/">seluruh dunia</a>.</p>
<p>Untuk mengatasi hal tersebut, <a href="https://www.businessinsider.com/countries-on-lockdown-coronavirus-italy-2020-3">beberapa negara</a> menerapkan kebijakan <em>lockdown</em> untuk mengurangi risiko penyebaran virus di wilayahnya. </p>
<p>Sejak pertengahan April lalu, pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/135059/pp-no-21-tahun-2020">pembatasan sosial berskala besar</a> (PSBB) atau <em>lockdown</em> parsial di berbagai daerah.</p>
<p>PSBB menyebabkan kebebasan warga <a href="http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/PMK_No__9_Th_2020_ttg_Pedoman_Pembatasan_Sosial_Berskala_Besar_Dalam_Penanganan_COVID-19.pdf">dibatasi</a>: hanya mereka yang bekerja pada sektor kesehatan, distribusi pangan, penyediaan energi, perbankan, peternakan dan pertanian, dan media cetak dan elektronik yang boleh bepergian. </p>
<p>Kegiatan-kegiatan lain seperti perkumpulan politik sosial budaya, akademik, hiburan, olah raga, bahkan tempat peribadatan harus ditutup. </p>
<p>Pemerintah juga telah melarang orang untuk <a href="https://indonesia.go.id/layanan/kependudukan/ekonomi/ketentuan-larangan-mudik-dan-pembatasan-transportasi">mudik</a> serta melarang <a href="https://kumparan.com/kumparanbisnis/larangan-penerbangan-yang-membingungkan-dan-penumpang-pesawat-dirugikan-1tI2FauCKQc">penerbangan</a>.</p>
<p>Langkah pemerintah tersebut jelas membatasi kebebasan <a href="https://www.ohchr.org/EN/ProfessionalInterest/Pages/CCPR.aspx">setiap orang</a> <a href="https://advokasi.elsam.or.id/assets/2015/09/20050000_UU-12-2005-Ratifikasi-ICCPR.pdf">untuk bebas bergerak</a>, termasuk kebebasan untuk memilih tempat tinggal dan keluar maupun masuk dari dan ke suatu negara. </p>
<p>Tapi dari perspektif hukum Hak Asasi Manusia (HAM), pemerintah memang <a href="https://www.ohchr.org/EN/ProfessionalInterest/Pages/CCPR.aspx">berwenang </a> melakukan pembatasan terhadap gerak warganya untuk tujuan khusus seperti melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan, dan menjaga moral publik. Kewenangan tersebut tertuang dalam <a href="https://www.ohchr.org/EN/ProfessionalInterest/Pages/CCPR.aspx">Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik</a>, yang telah Indonesia <a href="https://advokasi.elsam.or.id/assets/2015/09/20050000_UU-12-2005-Ratifikasi-ICCPR.pdf">ratifikasi</a> pada 2005</p>
<p>Dalam kasus pandemi COVID-19 ini, pembatasan yang dilakukan pemerintah Indonesia terkait dengan alasan kesehatan: untuk memastikan bahwa virus tidak menulari banyak orang.</p>
<p>Tapi dengan kewenangan tersebut, hukum HAM juga mewajibkan pemerintah untuk memastikan warganya tetap mendapatkan fasilitas dan layanan kesehatan selama pembatasan gerak dilakukan. </p>
<p>Untuk pemerintah Indonesia, kewajiban ini masih belum terlaksana dengan optimal.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/penyandang-disabilitas-rentan-dan-luput-dari-mitigasi-covid-19-136761">Penyandang disabilitas rentan dan luput dari mitigasi COVID-19</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Kewajiban pemerintah</h2>
<p>Sejauh ini, masih banyak perbaikan yang perlu pemerintah lakukan untuk memenuhi kewajibannya selama pandemi.</p>
<p><em>Pertama</em>, pemerintah berkewajiban memastikan bahwa fasilitas dan layanan kesehatan tersedia (<em>available</em>). </p>
<p>Hingga saat ini, pemerintah belum berhasil melakukan ini secara baik. Berbagai media telah melaporkan mengenai <a href="https://www.tempo.co/dw/2251/apd-langka-picu-kreativitas-rumah-sakit-tangani-covid-19">kelangkaan</a> Alat Pelindung Diri (APD), obat-obatan, serta fasilitas medis yang lain. </p>
<p><em>Kedua</em>, pemerintah wajib memastikan bahwa seluruh layanan dan fasilitas kesehatan dapat diakses (<em>accessible</em>) oleh semua orang baik dari sisi biaya, geografis maupun budaya. </p>
<p>Masyarakat miskin, misalnya, masih menghadapi <a href="https://theconversation.com/bagaimana-sistem-tes-covid-19-di-indonesia-berpihak-pada-yang-kaya-dan-bukan-yang-miskin-136846">kesulitan mengakses</a> tes COVID-19.</p>
<p>Karena COVID-19 adalah pandemi global yang belum ditemukan vaksinnya hingga saat ini, maka pembiayaan perawatan dan penyembuhan pasien harus ditanggung oleh negara. </p>
<p><a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20200421162652-4-153427/menyebar-ke-34-provinsi-257-kota-ini-peta-covid-19-di-ri">Seluruh provinsi</a> telah terdampak wabah, maka layanan kesehatan juga harus menyeluruh dan menjangkau seluruh wilayah Indonesia, baik yang potensial terdampak maupun yang telah dinyatakan sebagai zona merah penyebaran virus.</p>
<p>Jakarta memang menjadi episenter (<a href="https://www.covid19.go.id/situasi-virus-corona/">lebih dari 40% </a>kasus ada di sana), namun ada potensi pergerakan orang dari Jakarta ke pelbagai wilayah di Indonesia apalagi menjelang Lebaran.</p>
<p><em>Ketiga</em>, pemerintah wajib memastikan bahwa layanan dan fasilitas kesehatan memenuhi standar (<em>quality</em>) kesehatan. Dokter, perawat, obat, alat kesehatan, termasuk alat pelindung diri yang berkualitas perlu dijaga. </p>
<p>Faktanya, <a href="https://kumparan.com/kumparansains/idi-ungkap-jumlah-dokter-meninggal-dunia-terkait-virus-corona-covid-19-1tIyFkvvsjx/full">puluhan</a> <a href="https://katadata.co.id/berita/2020/04/12/44-dokter-dan-perawat-ri-meninggal-dunia-akibat-virus-corona">dokter</a> meninggal diduga karena terpapar virus.</p>
<p>Situasi ini menuntut tindakan lebih dari pemerintah.</p>
<p><em>Keempat</em>, pemerintah wajib memastikan bahwa layanan dan fasilitas kesehatan diberikan tepat sasaran dan tidak memunculkan diskriminasi (<em>equality</em>).</p>
<p>Akses <a href="https://theconversation.com/bagaimana-sistem-tes-covid-19-di-indonesia-berpihak-pada-yang-kaya-dan-bukan-yang-miskin-136846">masyarakat miskin</a> pada layanan tes masih terbatas. Kelompok rentan, seperti <a href="https://theconversation.com/penyandang-disabilitas-rentan-dan-luput-dari-mitigasi-covid-19-136761">penyandang disabilitas</a>, juga semakin terpojokkan.</p>
<p>Episode-episode seperti <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/03/24/11085111/rencana-anggota-dpr-tes-massal-covid-19-dinilai-sakiti-hati-rakyat">wakil rakyat minta dites terlebih dulu</a> jelas tidak boleh terulang.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bagai-berburu-rusa-solidaritas-dan-kerja-sama-akan-menyelamatkan-kita-di-tengah-pandemi-134159">Bagai “berburu rusa”: solidaritas dan kerja sama akan menyelamatkan kita di tengah pandemi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Peran publik</h2>
<p>Virus ini tidak mengenal status sosial, ekonomi dan politik. Pelayanan yang mengedepankan kesetaraan akses bagi seluruh warga negara harus dilakukan. </p>
<p>Pekerjaan bersama kita adalah memastikan bahwa kewajiban pemerintah diberikan di tengah pembatasan.</p>
<p>Dua hal yang kita bisa lakukan saat ini adalah pengawasan publik dan partisipasi positif. </p>
<p>Dalam hal <a href="https://theconversation.com/korban-covid-19-di-indonesia-makin-banyak-kenapa-tak-ada-open-data-terpadu-nasional-untuk-mudahkan-pemantauan-134145">keterbukaan data</a>, misalnya, publik termasuk <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-52278869">para ahli</a> terus mendesak pemerintah lewat komunitas, <a href="https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e81c24180919/polemik-keterbukaan-informasi-pasien-covid-19-akibat-regulasi-yang-tak-memadai/">organisasi</a>, <a href="https://kumparan.com/kumparansains/informasi-virus-corona-di-indonesia-tidak-transparan-data-pusat-dan-daerah-beda-1tDPX9BZzkF">lembaga swadaya masyarakat</a>, bahkan <a href="https://www.jawapos.com/nasional/25/03/2020/data-pasien-korona-ditutupi-advokat-ajukan-uji-materi-ke-mk/">gugatan hukum</a> ke Mahkamah Konstitusi.</p>
<p>Berbagai kelompok masyarakat juga telah bekerja sama menggalang upaya di tengah wabah, seperti <a href="https://kitabisa.com/campaign/indonesialawancorona">menggalang</a> <a href="https://theconversation.com/sukses-konser-amal-virtual-didi-kempot-patah-hati-sebagai-modal-sosial-untuk-bangun-solidaritas-136180">dana</a>, <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2020/04/27/in-indonesia-rural-helps-urban-to-ensure-food-supply-during-coronavirus-pandemic.html">donasi pangan</a>, berbagi informasi <a href="https://cekdiri.id/">kesehatan</a>, hingga urun daya <a href="https://desalaporcovid.id/">mengawasi penyebaran</a>.</p>
<p>Upaya kolektif dalam berbagi dan saling menguatkan di tengah pandemi jelas patut diapresiasi. Namun, munculnya solidaritas warga seringkali adalah gambaran <a href="https://www.abc.net.au/indonesian/2020-04-28/melawan-virus-corona-dengan-bergotong-royong/12190524">ketidakpercayaan mereka</a> pada kemampuan pemerintah menangani masalah.</p>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/136747/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Eko Riyadi, S.H., M.H. tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Selama membatasi hak dan kebebasan warga dalam situasi pandemi, pemerintah harus memenuhi kewajiban dalam bidang kesehatan.Eko Riyadi, S.H., M.H., Dosen Fakultas Hukum dan Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia di Universitas Islam Indonesia, Universitas Islam Indonesia (UII) YogyakartaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1374072020-05-01T01:58:57Z2020-05-01T01:58:57ZEfektifkah kenaikan upah minimum dalam melindungi pekerja?<p><em>Artikel ini merupakan bagian dari rangkaian tulisan untuk memperingati Hari Buruh pada 1 Mei.</em></p>
<p>Salah satu isu yang yang diperdebatkan dalam <a href="https://theconversation.com/mengapa-indonesia-tidak-membutuhkan-omnibus-law-cipta-kerja-130550">penolakan</a> terhadap rancangan undang-undang (UU) <em>omnibus law</em> Cipta Kerja adalah <a href="https://koran.tempo.co/read/nasional/451898/buruh-berencana-turun-ke-jalan?">upah minimum</a>.</p>
<p>Di Indonesia, kebijakan upah minimum telah ada sejak tahun 1970-an, namun baru benar-benar digalakkan di awal tahun 1990-an akibat adanya tekanan dari negara-negara asing untuk menghentikan praktek “<em>sweatshop</em>” - yaitu memeras pekerja dengan upah murah, jam kerja panjang, dan tempat kerja tidak layak.</p>
<p>Hal ini sesuai dengan tujuan dari penetapan upah minimum menurut <a href="https://www.ilo.org/dyn/natlex/docs/ELECTRONIC/64764/71554/F1102622842/IDN64764.pdf">Organisasi Buruh Internasional</a> (ILO), yaitu untuk memberikan perlindungan terhadap pekerja untuk mendapatkan pengupahan yang layak. </p>
<p>Sejak itu, pemerintah kerap menaikkan upah minimum hingga mencapai 76% dari upah rata-rata buruh di Indonesia pada tahun 2018. Angka ini yang cukup tinggi jika <a href="https://stats.oecd.org/viewhtml.aspx?datasetcode=MIN2AVE&lang=en#">dibandingkan</a> <a href="http://aseantuc.org/2017/11/minimum-wage-in-asean-countries/">negara-negara</a> lain seperti Australia (47%), Jepang (36%), Malaysia (30%, tahun 2017), dan Thailand (34%, tahun 2017). </p>
<p>Akan tetapi, apakah kebijakan upah minimum yang tinggi benar-benar efektif dalam melindungi pekerja? </p>
<p>Untuk menjawab ini tidak mudah, karena pengaruh dari kenaikan upah minimum tergantung banyak faktor, diantaranya cakupan dari kebijakan upah minimum tersebut. </p>
<p>Selain itu, kenaikan upah minimum juga memiliki dampak yang berbeda bagi kelompok pekerja yang berbeda: pekerja dengan keterampilan tinggi versus rendah; pekerja perempuan versus laki-laki.</p>
<p>Pada 2019, saya melakukan sebuah <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/13547860.2019.1625585">studi</a> terhadap dampak upah minimum. </p>
<p>Dengan menggunakan data level provinsi yang diperoleh dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada tahun 2001-2015, saya menganalisa pengaruh kenaikan upah minimum terhadap jumlah pekerja di sektor formal, informal, dan juga pengangguran di Indonesia. </p>
<p>Penelitian saya menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum tidak serta-merta membawa perubahan positif secara merata pada pekerja.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kartu-prakerja-ketika-kelompok-kepentingan-terlibat-dalam-solusi-krisis-covid-19-137021">Kartu Prakerja: ketika kelompok kepentingan terlibat dalam 'solusi' krisis COVID-19</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Dampak berbeda</h2>
<p>Di Indonesia, kenaikan upah minimum memiliki pengaruh yang berbeda terhadap pekerja di sektor formal dan di sektor informal, serta terhadap pekerja laki-laki dan pekerja perempuan. </p>
<p>Mengikuti klasifikasi dari Badan Pusat Statistik (BPS) dengan sedikit penyederhanaan, pekerja di sektor formal diartikan sebagai pekerja yang memiliki status pekerjaan “buruh/karyawan”, dan menerima upah dan tunjangan sesuai aturan ketenagakerjaan. </p>
<p>Sedangkan pekerja informal adalah sebagai pekerja dalam usaha seperti usaha rumahan (pekerja keluarga), pekerja mandiri (seperti <em>freelancer</em>), dan pekerja lepas (buruh tani atau buruh konstruksi).</p>
<p>Penelitian ini menemukan bahwa upah minimum berkaitan dengan berkurangnya jumlah pekerja di sektor formal. Lebih khusus lagi, penurunan jumlah pekerja perempuan di sektor formal lebih banyak dibandingkan jumlah pekerja laki-laki. </p>
<p>Kenaikan upah minimum meningkatkan jumlah biaya tenaga kerja yang harus dikeluarkan oleh perusahaan, terutama apabila tidak diimbangi oleh peningkatan produktivitas para pekerja. </p>
<p>Jumlah penurunan pekerja perempuan yang lebih banyak dibandingkan laki-laki juga mencerminkan kurangnya kesetaraan gender di pasar tenaga kerja Indonesia.</p>
<p>Hasil ini sesuai dengan hasil <a href="http://www.smeru.or.id/sites/default/files/publication/minimumwageexumind.pdf">studi</a>-<a href="https://www.adb.org/publications/minimum-wages-and-changing-wage-inequality-indonesia">studi</a> terdahulu yang menemukan dampak negatif kenaikan upah minimum terhadap jumlah pekerja di sektor formal.</p>
<p>Penelitian juga menunjukkan kemungkinan adanya perpindahan tenaga kerja, terutama laki-laki, dari sektor formal ke sektor informal ketika terjadi kenaikan upah minimum, seperti yang juga ditemukan oleh <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/j.1475-4991.2011.00451.x">studi sebelumnya</a>. </p>
<p>Perpindahan ini salah satunya adalah karena ketiadaan tunjangan atau perlindungan bagi orang yang tidak bekerja (<em>unemployment benefits</em>) sehingga memaksa sebagian pekerja yang gagal mendapatkan pekerjaan di sektor formal untuk berpindah ke sektor informal karena kebutuhan untuk memiliki penghasilan.</p>
<p>Pada 2018, sektor formal hanya mempekerjakan <a href="https://www.bps.go.id/dynamictable/2018/05/16/1311/persentase-tenaga-kerja-formal-menurut-provinsi-2015---2018.html">43% dari total</a> orang yang bekerja di Indonesia.</p>
<p>Terlebih lagi, walau studi tidak menemukan kaitan antara kenaikan upah minimum dan kenaikan jumlah pengangguran di Indonesia, tapi kenaikan upah minimum diketahui berkaitan dengan menurunnya partisipasi angkatan kerja. Angkatan kerja adalah jumlah penduduk berusia 15 tahun ke atas yang bekerja atau mencari kerja. </p>
<p>Hal ini menggambarkan ada juga pekerja yang menyerah dan berhenti mencari pekerjaan karena berkurangnya kesempatan kerja.</p>
<p>Perlu diingat bahwa sektor informal identik dengan kondisi pekerjaan yang lebih buruk dibandingkan sektor formal. </p>
<p>Ekonomi informal kerap diisi oleh pekerjaan-pekerjaan yang tidak teregulasi dan tidak terdaftar - seperti buruh harian dan pedagang kaki lima - sehingga mengakibatkan minimnya perlindungan bagi pekerja di sektor tersebut. </p>
<p>Selain itu, rata-rata upah pekerja di sektor informal pun lebih rendah dibandingkan upah di sektor formal. </p>
<p>Di Indonesia, perlindungan untuk mendapatkan upah minimum berlaku hanya untuk buruh/karyawan, seperti diatur <a href="https://www.ilo.org/dyn/natlex/docs/ELECTRONIC/64764/71554/F1102622842/IDN64764.pdf">UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan</a>. </p>
<p>Akan tetapi, pasar tenaga kerja Indonesia diisi oleh pekerja-pekerja dengan status lain selain “buruh”, yaitu mereka yang bekerja di sektor informal. </p>
<p>Sebuah <a href="https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/publication/wcms_123203.pdf">studi pada 2006</a> memperlihatkan bahwa sebagian besar usaha informal tidak mengetahui tentang peraturan upah minimum, dan tingkat upah dari pekerja di usaha informal beragam tergantung jenis pekerjaan, keterampilan dan jenis kegiatan.</p>
<p>Oleh karena itu, kita harus kembali meninjau apakah kenaikan upah minimum berhasil mencapai tujuannya untuk melindungi pekerja. </p>
<p>Jelas bahwa kenaikan upah minimum berhasil meningkatkan pendapatan sebagian pekerja dengan mengorbankan sebagian pekerja yang lain. Terlebih, pekerja-pekerja yang rentan, seperti pekerja perempuan, lebih banyak menganggung efek negatif dari kenaikan upah minimum.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/tiga-alasan-mengapa-pembahasan-ruu-omnibus-law-seharusnya-ditunda-di-tengah-pandemi-covid-19-136495">Tiga alasan mengapa pembahasan RUU Omnibus Law seharusnya ditunda di tengah pandemi COVID-19</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Lantas harus bagaimana?</h2>
<p>Penting bagi pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan dampak kenaikan upah minimum tidak hanya bagi pekerja di sektor formal, tetapi juga pada mereka yang berada di sektor informal atau akan terpaksa pindah ke sektor informal.</p>
<p>Ada banyak celah hukum, yang dapat dimanfaatkan beberapa kelompok pengusaha untuk tidak memberi upah minimum. Dalam <a href="https://www.ilo.org/dyn/natlex/docs/ELECTRONIC/64764/71554/F1102622842/IDN64764.pdf">undang-undang (UU) ketenagakerjaan</a>, misalnya, pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum untuk dimungkinkan untuk menggaji karyawannya dengan upah lebih rendah.</p>
<p>Ini jelas bertentangan dengan pengertian upah minimum yang merupakan upah yang <em>wajib</em> dibayarkan kepada buruh. </p>
<p>Tingginya ketidakpatuhan terhadap kewajiban membayar upah lebih tinggi dari upah minimum juga merupakan masalah yang harus dituntaskan. Pada tahun 2016, <a href="https://www.adb.org/publication/indonesia-enhancing-productivity-quality-jobs">47% dari karyawan</a> di sektor formal mendapatkan upah yang lebih rendah dari upah minimum. </p>
<p>Meskipun masalah tingkat kepatuhan yang rendah dengan upah minimum telah terdengar begitu lama, hukuman pidana terhadap pelanggaran upah minimum baru terjadi pertama kali pada <a href="https://ekonomi.kompas.com/read/2013/04/25/08215445/Bayar.Karyawan.di.Bawah.UMR.Pengusaha.Dijatuhi.Hukuman?page=all">2013</a>. Ketika itu, Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman 1 tahun dan denda Rp 100 juta kepada seorang pengusaha asal Jawa Timur yang membayar karyawannya di bawah upah minimum regional.</p>
<p>Putusan itu dapat dilihat sebagai dasar untuk memperkuat penegakan hukum mengenai kebijakan upah minimum.</p>
<p>Salah satu alasan tingginya tingkat upah minimum dibandingkan upah rata-rata di Indonesia adalah karena negosiasi upah minimum merupakan satu-satunya sarana bagi serikat pekerja melakukan peran dalam melindungi anggotanya. Sehingga, serikat pekerja cenderung menuntut upah yang sangat tinggi. </p>
<p>Dengan demikian, perlu dibuka ranah perundingan bersama untuk melindungi hak-hak lain pekerja di luar upah, seperti tunjangan atau keamanan dan kelayakan tempat kerja. Perbaikan yang diminta - dan kemudian harus dilakukan - tidak melulu hanya soal upah.</p>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/137407/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Tifani Husna Siregar tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kenaikan upah minimum tidak serta-merta membawa perubahan positif secara merata pada pekerja.Tifani Husna Siregar, Ph.D. candidate at the Graduate School of Economics., Waseda UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1367612020-04-29T02:27:01Z2020-04-29T02:27:01ZPenyandang disabilitas rentan dan luput dari mitigasi COVID-19<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/329982/original/file-20200423-47815-vdcenv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C170%2C1200%2C655&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.flickr.com/photos/anjan58/7272291392/in/photolist-c5CoSm-6WG2bG-i3AWVk-9Y3D7a-6QmQSE-reQ2cb-qkmGCR-rh4TjJ-2g8AFx1-bjEmqm-bxz6Hx-bxz9XP-bxzgYR-bxz9FF-bxz9uM-bxzgjc-bxzfZe-bjEnML-bjEngJ-bjEkt7-bxzd26-bjEfXA-bxzeMg-bxzdUc-qk9qY9-bjEbnC-bjEjiW-bjEi4A-bjEhtC-bxzcLK-bxzbqa-bxz3Vg-bjEcZs-bxz5Gz-bjEbV9-bxz39T-bj7opi-bxzfsg-bxz8KX-bjEawm-bxz7iP-bxz83t-bjEj2J-UG3Bn6-dVuzsC-dVp14R-dVuA17-dVuzfU-dVoZUM-dVuAbU">from www.flickr.com</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan <a href="https://tirto.id/update-corona-indonesia-daftar-20-wilayah-yang-terapkan-psbb-ePVK">Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)</a> untuk mengatasi pandemi COVID-19 yang berdampak pada berbagai sektor. Namun, penyandang disabilitas adalah salah satu kelompok yang rentan dan <a href="https://www.indozone.id/news/ersnLy/darurat-virus-corona-pemerintah-diminta-perhatikan-penyandang-disabilitas/read-all">tidak terjangkau oleh berbagai kebijakan pemerintah</a>.</p>
<p>Indonesia telah meratifikasi konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang hak-hak <a href="https://www.un.org/disabilities/documents/convention/convoptprot-e.pdf">penyandang disabilitas</a> pada <a href="https://www.bphn.go.id/data/documents/11uu019.pdf">2011</a> dan mengesahkan Undang-Undang (UU) No. 8 tahun 2016 tentang <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/37251/uu-no-8-tahun-2016">Penyandang Disabilitas</a>.</p>
<p>Namun, minimnya implementasi UU tentang penyandang disabilitas, membuat <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200421151156-20-495720/komnas-ham-penanganan-corona-belum-jangkau-kaum-disabilitas">mitigasi pandemi bagi penyandang disabilitas tidak maksimal</a>. </p>
<h2>Penyandang disabilitas di tengah pandemi</h2>
<p>Penyandang disabilitas perlu mendapat akses yang baik terhadap informasi komunikasi risiko wabah dan akses transportasi untuk menuju ke fasilitas kesehatan–terutama di tengah kebijakan PSBB ini.</p>
<p>Beberapa komunitas sudah <a href="https://tirto.id/penyandang-disabilitas-minta-informasi-covid-19-lebih-aksesibilitas-eFJ2">melayangkan protes</a> dalam hal informasi dan sosialisasi pandemi. Mereka meminta layanan juru bahasa isyarat dan <a href="https://beritajatim.com/pendidikan-kesehatan/covid-19-penyandang-disabilitas-punya-hak-mendapat-informasi/">sulih suara</a> dalam seluruh perangkat komunikasi dan informasi dari pemerintah dan media.</p>
<p>Sebelum wabah, akses ke fasilitas kesehatan sudah <a href="https://kumparan.com/kumparannews/survei-icw-layanan-kesehatan-untuk-difabel-belum-memadai-1rhBUrQrkQW">menjadi masalah</a>. Misalnya, masih banyak fasilitas kesehatan yang tidak memiliki pegangan rambat, kursi roda, informasi dalam huruf braille, toilet khusus disabilitas, atau loket khusus disabilitas.</p>
<p>Ketidaktersediaan akses informasi dan transportasi, membuat penyandang disabilitas menjadi <a href="https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e7323372400b/dampak-corona--kaum-difabel-pun-butuh-jaminan-kesehatan/">rentan di tengah wabah dan sulit mendapat jaminan kesehatan</a>. </p>
<p>Dalam pandemi ini, upaya untuk perlindungan hak-hak disabilitas seharusnya dilakukan dengan memperhatikan setidaknya dua aspek penting yaitu aksesibilitas dan kesehatan. </p>
<p>Sayangnya, penyediaan fasilitas yang memenuhi dua aspek tersebut belum maksimal karena terbentur oleh <a href="https://www.asiasentinel.com/p/indonesia-disability-issues-lack-data">minimnya data ragam tipe penyandang disabilitas</a>. </p>
<p>Kementerian Sosial (Kemensos), salah satu pelaksana dalam <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/134757/keppres-no-9-tahun-2020">Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19</a>, telah menyusun <a href="https://kemsos.go.id/uploads/topics/15852709524796.pdf">pedoman mitigasi terkait penyandang disabilitas</a>. </p>
<p>Namun, pedoman ini ditujukan kepada institusi di bawah Kemensos saja, seperti balai besar/balai/loka disabilitas dan lembaga kesejahteraan. Idealnya, pedoman ini juga ditujukan kepada jajaran kementerian lain, pemerintah daerah dan pihak swasta yang terkait. </p>
<p>Pedoman ini memang berisi tentang perlindungan kesehatan dan dukungan psikososial. Tetapi, pedoman ini kurang spesifik; isinya lebih berupa pesan dan pertimbangan bagi pendamping dan lembaga pendamping penyandang disabilitas ketimbang mencantumkan usulan tindakan konkret yang mudah dieksekusi. </p>
<p>Kemensos perlu membuat protokol khusus yang inklusif yang memberikan rincian penyediaan fasilitas dan bantuan bagi penyandang disabilitas. </p>
<p>Kemensos perlu melakukan kerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Kesehatan, agar dapat memberi jaminan akses informasi dan transportasi bagi penyandang disabilitas.</p>
<h2>Komisi Nasional Disabilitas</h2>
<p>UU Penyandang Disabilitas mengamanatkan dibentuknya Komisi Nasional Disabilitas (KND) dalam tiga tahun sejak 2016, namun, sampai saat ini proses pembentukannya masih <a href="https://nasional.tempo.co/read/1280985/pokja-tolak-rancangan-perpres-komisi-nasional-disabilitas">tarik ulur</a>. </p>
<p>KND sangat krusial karena memiliki tugas dan fungsi dalam hal pemantauan, evaluasi, dan advokasi pelaksanaan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas. </p>
<p>Belum terbentuknya KND juga berpengaruh pada pelaksanaan mitigasi dan perlindungan bagi penyandang disabilitas di masa pandemi ini. Padahal, KND dapat mendorong mitigasi bagi penyandang disabilitas yang tidak hanya terfokus pada bantuan sosial, namun juga jaminan hak-hak penyandang disabilitas. </p>
<h2>Seperti warga kelas dua</h2>
<p>Salah satu kritik sejak kelahiran UU Penyandang Disabilitas adalah minimnya aspek hak disabilitas yang diakomodir dalam UU. Salah satu poin penting adalah aksesibilitas.</p>
<p>Sebelumnya, rancangan <a href="https://www.pshk.or.id/wp-content/uploads/2016/01/DIM-RUU-Penyandang-Disabilitas-20Jan16.pdf">UU ini</a> menyebut secara spesifik jenis fasilitas yang harus ada dalam setiap gedung agar mempermudah penyandang disabilitas. </p>
<p>Namun, pemerintah menghapus poin-poin tersebut dengan alasan poin-poin tersebut sudah diatur dalam <a href="https://m.hukumonline.com/pusatdata/detail/12622/undangundang-nomor-28-tahun-2002">UU</a>, <a href="http://luk.tsipil.ugm.ac.id/atur/konstruksi/PP36-2005BangunanGedung.pdf">Peraturan Pemerintah</a> dan <a href="http://pug-pupr.pu.go.id/_uploads/PP/Permen%20PU-No%2030-2006.pdf">peraturan Menteri Pekerjaan Umum</a> tentang bangunan gedung.</p>
<p>Tiga peraturan tersebut belum maksimal menjamin aksesibilitas, karena menggunakan frasa “penyandang cacat” sehingga menempatkan mereka sebagai <a href="https://business-law.binus.ac.id/2016/04/29/pergeseran-paradigma-tentang-penyandang-disabilitas-dalam-uu-no-8-tahun-2016/">objek dan warga negara kelas dua dalam pembangunan</a>. </p>
<h2>Diskriminasi dan kekerasan terhadap penyandang disabilitas</h2>
<p>Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) Badan Pusat Statistik pada 2015 menunjukkan jumlah penyandang disabilitas berjumlah <a href="https://difabel.tempo.co/read/1237348/survei-penyandang-disabilitas-2020-pakai-metode-baru-apa-itu/full&view=ok">21,5 juta jiwa</a>.</p>
<p>Ironisnya, SUPAS itu juga juga menyatakan bahwa data tentang penyandang disabilitas terbatas karena ketiadaan pemeriksaan medis pada responden, dan mengandalkan pengamatan, pengakuan dan pengetahuan responden.</p>
<p>Sebelum pandemi terjadi, penyandang disabilitas sudah mengalami banyak diskriminasi dan kekerasan fisik. Hingga tahun 2017, dalam <a href="https://www.sigab.or.id/sites/default/files/field/attachment/Laporan%20Bayangan%20CRPD%20Indonesia%20-%20versi%20Bahasa%20Indonesia.pdf">laporan Tim Konvensi Disabilitas Indonesia kepada PBB</a> mencatat adanya kasus diskriminasi dan kekerasan fisik pada penyandang disabilitas, antara lain kekerasan seksual, terbatasnya akses pada peradilan, masalah hak waris, pemasungan, bahkan tidak tercatat dalam dokumen kependudukan seperti akte kelahiran, kartu keluarga dan kartu tanda penduduk. </p>
<p>Ini menunjukkan bahwa perbaikan perlindungan hak-hak disabilitas membutuhkan proses yang panjang. </p>
<p>Usaha perlindungan tersebut harus berkelanjutan, tidak hanya pada masa pandemi, dan idealnya dimulai dari keinginan politik yang kuat dari pemerintah untuk menegakkan UU yang ada sebagai jaminan hak-hak disabilitas di mata hukum.</p>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/136761/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Eka Nugraha Putra tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Miskin implementasi undang-undang yang sudah ada berdampak pada rentannya penyandang disabilitas di masa pandemi.Eka Nugraha Putra, Doctor of Juridical Science Candidate at Indiana University, Lecturer in Law, Universitas Merdeka MalangLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1293642020-01-09T08:57:28Z2020-01-09T08:57:28ZKinerja Komnas Perempuan lima tahun terakhir beri harapan pada perjuangan hak perempuan<p>Perjuangan perempuan Indonesia untuk bebas dari kekerasan, termasuk kekerasan seksual, dan meraih kesetaraan masih panjang dengan adanya penolakan dari gerakan moralis populis terhadap Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Namun, kehadiran Komisi Nasional Anti Kekerasan pada Perempuan terus memberikan harapan. </p>
<p>Saya peneliti Setara Institute dan merupakan bagian dari tim peneliti yang menyusun “<a href="https://setara-institute.org/indeks-kinerja-ham-2019/">Indeks Kinerja Pemajuan HAM periode pemerintahan Jokowi-JK</a>”. Kami melakukan penilaian terhadap kinerja Komnas Perempuan sepanjang lima tahun lalu dan memberi skor di atas rata-rata, 4,7. Skor ini berada pada skala 1 sampai 7 – skor 1 berarti buruk dan 7 berarti baik. </p>
<p>Di tengah <a href="https://www.ifri.org/sites/default/files/atoms/files/sebastian_nubowo_indonesian_islam_2019.pdf">naiknya konservatisme dalam masyarakat</a> yang mempersempit ruang bagi hak kelompok minoritas, Komnas Perempuan telah mewujudkan diri sebagai tempat berteduh dan bersandar bagi perempuan maupun kelompok di luar heteronormativitas seksual.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bagaimana-menguatkan-perlindungan-perempuan-perkuat-peran-komnas-perempuan-112797">Bagaimana menguatkan perlindungan perempuan? Perkuat peran Komnas Perempuan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Kinerja komnas</h2>
<p>Secara umum, <a href="https://www.komnasperempuan.go.id/about-profile-visi-misi-dan-mandat">mandat Komnas Perempuan</a> mencakup penyebarluasan pemahaman, pengkajian dan penelitian peraturan perundang-undangan, pemantauan dan pencarian fakta, pemberian saran dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislatif, lembaga yudikatif, dan organisasi masyarakat, dan pengembangan kerja sama regional dan internasional. </p>
<p>Dari mandat tersebut, Komnas Perempuan memiliki keterbatasan dalam memengaruhi pengambilan kebijakan karena hanya dapat memberikan rekomendasi yang tidak mengikat bagi pengambil kebijakan. </p>
<p>Namun, kami melihat Komnas Perempuan telah menjalankan mandat yang dimiliki secara taktis dan strategis.</p>
<p>SETARA Institute melakukan penilaian dengan menyisir rekam jejak Komnas Perempuan dalam menjalankan mandatnya selama satu periode pertama Jokowi melalui dokumen dan literatur terkait yang diterbitkan Komnas Perempuan maupun lembaga swadaya masyarakat serta pemberitaan media. </p>
<p>Data yang terkumpul dibahas dalam forum diskusi terbatas bersama ahli yang melibatkan aktivis, akademisi, perwakilan institusi HAM nasional, dan perwakilan pemerintah. Dari kedua proses tersebut tim SETARA Institute menentukan nilai menggunakan skala <a href="https://www.britannica.com/topic/Likert-Scale">likert</a> yang mengukur persepsi suatu kondisi.</p>
<h2>Mengampanyekan hak perempuan</h2>
<p>Komnas Perempuan telah melakukan kampanye terkait hak bagi perempuan sebagai bentuk penyebarluasan pemahaman upaya pencegahan dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. </p>
<p>Sepanjang 2014 hingga 2019, badan ini gencar melakukan kampanye anti kekerasan terhadap perempuan, seperti <a href="https://www.komnasperempuan.go.id/pages-16-hari-anti-kekerasan-terhadap-perempuan">kampanye 16 Hari Anti Kekerasan</a> dan <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-48048006">kampanye mencegah kekerasan seksual bagi pengguna transportasi <em>online</em></a>.</p>
<p>Selain itu, komnas juga mengeluarkan penyataan sikap kepada publik untuk memberikan pemahaman kepada publik di samping mempertegas sikap Komnas Perempuan terkait suatu isu, seperti <a href="https://www.komnasperempuan.go.id/read-news-pernyataan-sikap-komnas-perempuan-hentikan-diskriminasi-yang-akan-memicu-kekerasan-pada-lgbt">pernyataan sikap mengenai penghentian diskriminasi yang dapat memicu kekerasan terhadap LGBT</a>.</p>
<h2>Mengadvokasi kebijakan</h2>
<p>Lembaga ini melakukan advokasi hak bagi perempuan, memberikan rekomendasi pada pemerintah untuk menyusun dan mengesahkan kerangka hukum dan kebijakan, dengan mendasarkan pada kajian dan penelitian. </p>
<p>Setiap tahun Komnas Perempuan mengeluarkan <a href="https://www.komnasperempuan.go.id/publikasi-catatan-tahunan">Catatan Tahunan (CATAHU) Kekerasan terhadap Perempuan</a> yang menyebutkan daftar peraturan yang bermasalah, termasuk peraturan daerah yang diskriminatif. Data peraturan perundang-undangan yang memiliki kaitan dengan kekerasan terhadap perempuan digunakan sebagai pintu masuk untuk melakukan advokasi kebijakan.</p>
<p>Komnas juga melakukan pemantauan dan pencarian fakta dengan hasil berupa laporan pemantauan. CATAHU merekam berbagai narasi dan peristiwa dan tindakan kekerasan disertai konteks kekerasan dari hasil pemantauan Komnas Perempuan serta lembaga mitra di tingkat nasional maupun lokal.</p>
<p>Perspektif perempuan dalam HAM tidak hanya dihadirkan dalam catatan tersebut, namun juga melalui beberapa laporan HAM tematik yang dikeluarkan , seperti <a href="https://www.komnasperempuan.go.id/reads-berdaulat-dalam-keyakinanberteguh-dalam-bhinneka">Laporan Hasil Pemantauan tentang Perjuangan Perempuan Penghayat Kepercayaan, Penganut Agama Leluhur dan Pelaksana Ritual Adat dalam Menghadapi Pelembagaan Intoleransi, Kekerasan, dan Diskriminasi Berbasis Agama</a></p>
<p>Hasil pengkajian dan pemantauan menjadi landasan pemberian rekomendasi kepada pemerintah. </p>
<p>Selama lima tahun terakhir, misalnya, Komnas Perempuan bersama aliansi masyarakat yang memiliki perhatian terhadap kekerasan seksual yang banyak dialami perempuan <a href="https://kumparan.com/kumparanstyle/komnas-perempuan-desak-pengesahan-ruu-penghapusan-kekerasan-seksual-1543061718607335998">mendorong pengesahan rancangan undang-undanga (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS)</a> kepada pemerintah. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/gerakan-moralis-populis-di-balik-penolakan-ruu-pks-123861">Gerakan moralis populis di balik penolakan RUU PKS</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Pemberian rekomendasi kerangka hukum juga dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang memiliki dampak tidak langsung memantik kekerasan terhadap perempuan, seperti <a href="https://www.komnasperempuan.go.id/read-news-siaran-pers-komnas-perempuan-komnas-perempuan-meminta-pemerintah-untuk-melakukan-revisi-uu-no1-pnps-tahun-1965-dan-bersikap-tegas-pada-tindakan-intoleransi-danatau-tindakan-persekusi-jakarta-25-juli-2018">dorongan revisi Undang-Undang No. 1/Penetapan Presiden Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pada 2018</a> sebagai respon terhadap maraknya intoleransi.</p>
<h2>Membangun aliansi</h2>
<p>Komnas melaksanakan beberapa mandat di atas secara strategis dengan memahami bahwa lembaga ini tidak dapat menjadi aktor tunggal dalam penjaminan hak bagi perempuan sehingga harus bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan di setiap level, terutama di tingkat nasional. </p>
<p>Komnas Perempuan gencar berkomunikasi dan berkoordinasi dengan pemerintah sebagai otoritas yang memiliki legitimasi membuat kebijakan publik. </p>
<p>Selain itu, <a href="https://setara-institute.org/indeks-kinerja-ham-2019/">Komnas Perempuan memahami bahwa penguatan akar rumput juga diperlukan sehingga institusi ini berjejaring dengan elemen masyarakat sipil dan komunitas korban</a>. Kerja sama yang dilakukan dengan berbagai pemangku kepentingan mencerminkan kesadaran Komnas Perempuan sebagai pihak yang terlibat dan fasilitator.</p>
<p>Komnas Perempuan memiliki posisi yang fleksibel untuk menjalankan strategi di atas. Lembaga ini dapat berdiri di dua kaki, yaitu di kaki pemerintah mengingat pendiriannya didasarkan pada <a href="http://www.ilo.org/dyn/natlex/docs/ELECTRONIC/51515/105726/F1921073708/IDN51515%20IDN.pdf">keputusan presiden</a> dan di kaki masyarakat sipil yang berpartisipasi aktif. </p>
<p>Karakter ini tidak terpisahkan dari <a href="https://www.komnasperempuan.go.id/about-profile-komnas-perempuan">aspek historis</a> pendirian Komnas Perempuan yang hadir karena tuntutan masyarakat sipil agar negara menjalankan tanggung jawab menangai persoalan kekerasan terhadap perempuan. Tuntutan tersebut muncul ketika pada kerusuhan Mei 1998 banyak perempuan etnis Tionghoa mengalami kekerasan seksual.</p>
<h2>Penguatan perjuangan hak perempuan</h2>
<p>Kini <a href="https://mediaindonesia.com/read/detail/273850-komnas-perempuan-tetapkan-15-nama-anggota-periode-2020-2024">15</a> anggota Komnas Perempuan baru <a href="https://twitter.com/KomnasPerempuan/status/1214433832625004544">sudah mulai</a> menjalankan tugas untuk masa jabatan 2020-2024.</p>
<p>Langkah-langkah menghidupkan perempuan dalam ruang publik yang telah dirintis oleh Komnas Perempuan perlu didorong lebih kuat. </p>
<p>Pemerintah sebagai subyek hukum yang bertanggung jawab melakukan pemenuhan hak, termasuk bagi perempuan, seharusnya lebih akomodatif terhadap rekomendasi yang diberikan oleh Komnas Perempuan, seperti segera mengesahkan RUU PKS.</p>
<p>Di sisi lain, masyarakat sipil yang masih memiliki kegamangan jalur perjuangan pemenuhan HAM, termasuk bagi perempuan, dapat bergabung dengan aliansi yang telah dipertemukan dalam jaringan Komnas Perempuan. </p>
<p>Perjuangan penegakan hak, terutama bagi perempuan, merupakan aksi kolektif yang dapat dihidupkan melalui kepercayaan dan partisipasi aktif masyarakat sipil.</p>
<p>Terakhir, Komnas Perempuan yang telah mendapatkan kepercayaan menjadi salah satu kemudi perjuangan ini – secara kelembagaan maupun individu yang di dalamnya – harus semakin bernas melakukan advokasi. </p>
<p>Pengakomodasian berbagai ragam identitas di dalam tubuh Komnas Perempuan, termasuk pada anggota komisi, dapat menjadi langkah baik untuk menjangkau lebih luas berbagai persoalan yang dihadapi oleh perempuan dari berbagai identitas dan latar belakang.</p>
<p><em>Aisha Amelia Yasmin berkontribusi pada penerbitan artikel ini.</em></p>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/129364/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Selma Theofany merupakan peneliti HAM dan perdamaian di SETARA Institute for Democracy and Peace. </span></em></p>Komnas Perempuan telah mewujudkan diri sebagai tempat berteduh dan bersandar bagi perempuan maupun kelompok marjinal lain.Selma Theofany, Researcher, Setara InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1284622019-12-17T03:17:01Z2019-12-17T03:17:01ZUpaya pemerintah membatasi kebebasan sipil dalam tarik ulur perpanjangan izin FPI<p>Pemberitaan soal Front Pembela Islam (FPI) ramai menyusul adanya <a href="https://www.liputan6.com/news/read/4123805/tarik-ulur-perpanjangan-izin-fpi">silang pendapat di internal pemerintah</a> serta pro-kontra publik terkait perpanjangan izin organisasi tersebut. </p>
<p>Isu radikalisme diyakini menjadi alasan utama mengapa hingga hari ini pemerintah masih mengulur-ulur perpanjangan izin FPI.</p>
<p>Menurut saya, polemik izin FPI menunjukkan bahwa sikap dan pilihan kebijakan pemerintah lebih mengarah pada kecenderungan membatasi kebebasan sipil ketimbang upaya menangani radikalisme.</p>
<p>Perdebatan soal ancaman radikalisme di balik isu FPI cenderung digunakan oleh penguasa untuk memunculkan ketakutan yang berlebihan. </p>
<p>Narasi perang melawan radikalisme merupakan strategi pemerintah untuk melegitimasi upaya penyempitan ruang demokrasi.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/refleksi-2019-awan-gelap-untuk-ham-di-indonesia-128625">Refleksi 2019: awan gelap untuk HAM di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Ancaman radikalisme atau demokrasi yang terancam?</h2>
<p>Isu radikalisme belakangan menjadi arus utama diskursus publik di Indonesia. </p>
<p>Presiden Joko “Jokowi” Widodo bahkan menegaskan kabinet kedua pemerintahannya akan <a href="https://indonesia.go.id/narasi/indonesia-dalam-angka/sosial/cara-baru-tangani-radikalisme">meningkatkan keseriusan melawan radikalisme, baik dengan kebijakan, penindakan, serta mengubah persepsi masyarakat terhadap istilah radikalisme</a>. </p>
<p>Formasi kabinet baru Jokowi bahkan disebut-sebut sebagai <a href="https://tirto.id/kabinet-baru-untuk-melawan-radikalisme-atau-membungkam-demokrasi-ekk1">kabinet untuk melawan radikalisme</a>. </p>
<p>Masalahnya, meskipun persoalan radikalisme tidak bisa dipandang enteng, pendekatan pemerintah dalam menangani radikalisme justru memunculkan ancaman serius terhadap demokrasi. </p>
<p>Kebijakan-kebijakan yang membatasi ruang kebebasan sipil (<em>civic space</em>) berdampak pada menyusutnya ruang demokrasi. </p>
<p>Secara sederhana, <a href="https://monitor.civicus.org/whatiscivicspace/"><em>civic space</em></a> bisa diartikan sebagai situasi ketika warga negara dan organisasi masyarakat sipil (OMS) bisa menikmati hak-hak sipil dasar (seperti kebebasan berekspresi, berorganisasi dan berkumpul) tanpa campur tangan negara. </p>
<p>Sebaliknya, <a href="https://www.tni.org/en/publication/on-shrinking-space">penyusutan ruang demokrasi</a> terjadi manakala ruang gerak itu terbatas, menyempit, dan mengalami tekanan dari negara.</p>
<p>Di seluruh dunia saat ini, kondisi penyusutan ruang demokrasi menjadi tantangan serius yang membatasi ruang gerak masyarakat sipil. Bentuk pembatasannya pun beragam, mulai dari pembatasan pendanaan dari luar negeri, produk regulasi yang anti-organisasi masyarakat sipil (OMS), stigmatisasi, pemberian label (<em>labelling</em>), hingga kriminalisasi aktivis masyarakat sipil. </p>
<p>Dua tahun lalu, saya melakukan penelitian untuk salah satu lembaga donor mengenai status demokrasi di Indonesia dan implikasinya terhadap upaya-upaya peningkatan demokrasi. Salah satu temuan pentingnya adalah negara menjadi aktor utama dibalik tren penyusutan ruang demokrasi sepanjang satu dekade terakhir. </p>
<p>Gejala menyusutnya ruang demokrasi ini terutama terlihat pada aspek kebebasan sipil, baik kebebasan berekspresi, kebebasan berkumpul, maupun kebebasan berorganisasi. </p>
<p>Antoine Buyse, profesor hak asasi manusia dan direktur Netherlands Institute of Human Rights di Universitas Utrech, Belanda, <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/13642987.2018.1492916">dalam risetnya</a> tentang penyempitan ruang kebebasan sipil menunjukkan tiga pola umum metode represi negara terhadap masyarakat sipil. </p>
<p><strong>Pertama</strong>, melalui pembatasan formal, yakni penerapan hukum administratif dan pidana untuk mengatur dan menekan kerja-kerja OMS, pendirian atau pendaftaran OMS, atau pembatasan akses OMS kepada sumber daya. </p>
<p><strong>Kedua</strong>, metode <em>labelling</em> dan stigmatisasi yang bertujuan untuk mencegah dan membungkam kritik dan kebebasan berekspresi, membangun opini negatif terhadap OMS, atau sebagai legitimasi untuk membubarkan OMS yang kritis atau berseberangan dengan pemerintah. </p>
<p><strong>Ketiga</strong>, metode pembatasan kapasitas OMS melalui strategi <em>carrot and stick</em> (imbalan dan hukuman), yang bertujuan untuk menetralisir dan memandulkan potensi OMS; atau ancaman dan penggunaan kekerasan yang menargetkan aktor-aktor OMS.</p>
<p>Riset Buyse juga menunjukkan isu terorisme, kontra-terorisme, dan isu keamanan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi penyusutan ruang demokrasi. </p>
<p>Di banyak negara, propaganda <em>War on Terror</em> dan strategi ‘politik ketakutan’ kerap <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/13642987.2018.1492916">digunakan</a> untuk membenarkan pembatasan yang berorientasi keamanan pada masyarakat sipil.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengapa-tirani-dapat-menjadi-ujung-tak-terhindarkan-dari-demokrasi-127441">Mengapa tirani dapat menjadi ujung tak terhindarkan dari demokrasi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Penyusutan ruang demokrasi di Indonesia</h2>
<p>Meskipun pernah disanjung sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, lembaga-lembaga pengindeks demokrasi justru menilai Indonesia bukan lagi sebuah negara demokrasi. </p>
<p>Sejak tahun 2014 sampai sekarang, Indonesia hanya berstatus negara <a href="https://freedomhouse.org/report/freedom-world/2019/indonesia">setengah bebas</a> dan <a href="https://www.eiu.com/topic/democracy-index">demokrasi yang cacat</a>. </p>
<p>Yang menarik, peneliti politik Edward Aspinall dan Marcus Mietzner dari Australian National University di Canberra, Australia, menyebut kepemimpinan Jokowi adalah <a href="https://theconversation.com/kemunduran-demokrasi-dalam-pemerintahan-jokowi-nyalakan-tanda-bahaya-124100">penyebab kemunduran terbesar demokrasi Indonesia</a>. </p>
<p>Penelitian saya tentang penyusutan ruang demokrasi di Indonesia juga menunjukkan bahwa sepanjang lima tahun terakhir terakhir, terjadi penurunan signifikan berbagai aspek kebebasan sipil. </p>
<p>Kriminalisasi warga negara dengan menggunakan <a href="https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/users/4761/UU%2019%20Tahun%202016.pdf">Undang-Undang No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik</a> (UU ITE) dan kriminalisasi tokoh-tokoh pimpinan agama/kepercayaan, aktivis, ataupun tokoh-tokoh oposisi adalah beberapa contoh kasus yang menunjukkan bagaimana kebebasan berekspresi mengalami tekanan luar biasa. </p>
<p>Pembubaran paksa forum-forum diskusi ataupun kekerasan polisi dalam demonstrasi juga menjadi gambaran bagaimana kebebasan berkumpul semakin menyusut. </p>
<p>Belakangan, kebebasan berorganisasi juga semakin menyempit sejak dikeluarkannya <a href="https://sipuu.setkab.go.id/PUUdoc/175864/Perpres_Nomor_37_Tahun_2019.pdf">Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perppu) No.2 Tahun 2017 tentang Organisasi Massa (ormas)</a>. </p>
<p>Perppu itu digunakan pemerintah untuk melegitimasi kebijakan pemerintah membubarkan ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dituduh <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180301195549-12-279820/eks-kepala-bnpt-ungkap-kaitan-hti-dan-radikalisme">berpaham radikal</a>. Namun, bukan tidak mungkin di masa mendatang perppu tersebut digunakan untuk membubarkan organisasi manapun yang dianggap berseberangan dengan pemerintah dan dilabeli sebagai anti-Pancasila. </p>
<p>Label anti-Pancasila dan radikal inilah yang dijadikan alasan pemerintah untuk mengulur perpanjangan izin FPI. Kementerian Dalam Negeri misalnya, mempersoalkan <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-50602035">dicantumkannya terminologi khilafah Islamiyah dalam anggaran dasar organisasi mereka, tapi tidak menyebut ikrar setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)</a>. </p>
<p>Apalagi, <a href="https://www.suara.com/news/2019/08/09/214137/fpi-anti-pancasila-setelah-pki-menurut-survei-partai-gerindra-membela">persepsi sebagian masyarakat</a> turut mengamini pandangan pemerintah.</p>
<p>FPI sendiri nampaknya menunjukkan sikap perlawanan. Mereka menyatakan <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-50602035">tidak berencana memperpanjang persoalan surat keterangan terdaftar (SKT)</a> karena dianggap tidak wajib dimiliki oleh organisasi masyarakat (ormas). Pernyataan ini bahkan diamini oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM, Mahfud MD, yang menyebut bahwa <a href="https://www.suara.com/news/2019/12/04/094500/menkopolhukam-mahfud-md-tanpa-skt-fpi-boleh-jalan-kok">FPI tetap bisa berjalan tanpa SKT</a>. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/reformasi-sampai-di-sini-jokowi-robohkan-warisan-demokrasi-indonesia-125434">Reformasi sampai di sini: Jokowi robohkan warisan demokrasi Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Apa yang akan terjadi selanjutnya?</h2>
<p>Upaya pembatasan hak-hak sipil dan politik, sekecil apapun itu, sudah pasti akan berdampak negatif terhadap ruang kebebasan dalam demokrasi. Dengan menggunakan instrumen hukum sebagai cara untuk melakukan pembatasan, pemerintah justru merusak fondasi demokrasi, yang semestinya berdasar atas hukum (<em>rule of the law</em>), bukan menggunakan hukum sebagai alat kekuasaan (<em>rule by the law</em>). </p>
<p>Jika tujuannya adalah melawan radikalisme, membiarkan FPI tetap berdiri justru akan memudahkan pemerintah untuk mengawasi tindak tanduk organisasi tersebut. Sebagai ormas yang terdaftar secara resmi, FPI menjadi subjek hukum yang harus patuh dan dapat dijangkau oleh tangan hukum. </p>
<p>Lagi pula, bukankah mengawasi musuh yang kelihatan lebih mudah daripada hantu yang tidak terlihat wujudnya?</p>
<p><em>Aisha Amelia Yasmin berkontribusi pada penerbitan artikel ini.</em></p>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/128462/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Hurriyah tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Narasi perang melawan radikalisme merupakan strategi pemerintah untuk melegitimasi upaya penyempitan ruang demokrasi.Hurriyah, Lecturer, Department of Political Science, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1261092019-11-01T03:30:07Z2019-11-01T03:30:07ZMahasiswa adalah politikus amatir yang mungkin tidak tahu segalanya, tapi negara butuh mereka<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/299641/original/file-20191031-187934-wknq3c.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Luthfi Dzulfikar/The Conversation Indonesia</span></span></figcaption></figure><p>Aksi unjuk rasa mahasiswa terus <a href="https://metro.tempo.co/read/1265686/5-orang-tewas-saat-demo-di-dpr-mahasiswa-menuntut-hal-ini">berlanjut</a> sejak September lalu.</p>
<p><a href="https://www.liputan6.com/news/read/4097012/demo-28-oktober-massa-mulai-padati-jalan-thamrin-jakarta">Selasa</a> lalu, mahasiswa bergabung dengan organisasi buruh melanjutkan penolakan terhadap revisi Undang-Undang (UU) tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)</p>
<p>Masih banyak yang memandang nyinyir gerakan aksi yang dimotori mahasiswa ini dan menyerang ketidaktahuan mereka terhadap permasalahan yang mereka tuntut. </p>
<p>Tidak kurang dari mantan menteri Riset dan Pendidikan Tinggi yang ketika itu masih menjabat, <a href="https://nasional.kompas.com/read/2019/09/26/13214111/menristekdikti-sebut-ada-mahasiswa-demonstran-tak-paham-substansi-persoalan?page=all">Mohammad Nasir</a> dan Ketua Forum Rektor Indonesia Yos Johan Utama <a href="https://nasional.kompas.com/read/2019/10/03/12512591/seusai-bertemu-jokowi-forum-rektor-minta-mahasiswa-menahan-diri">meminta</a> mahasiswa berhenti berdemonstrasi. </p>
<p>Mereka menganggap sebagian mahasiswa “tidak paham substansi persoalan”. </p>
<p>Secara <a href="https://theconversation.com/demonstran-tidak-tahu-isu-apa-yang-sebenarnya-mendorong-individu-berpartisipasi-dalam-unjuk-rasa-124280">psikologi</a>, tindakan kolektif semacam ini tidak selalu didorong oleh pemahaman atas persoalan, melainkan lebih dipengaruhi oleh faktor emosional seperti kemarahan bersama.</p>
<p>Tapi dari sisi politis, pernyataan “jangan demonstrasi jika tak paham substansi” sejatinya problematik. </p>
<p>Mahasiswa yang dianggap tidak tahu apa-apa itu adalah warga negara yang memiliki hak politik untuk menyuarakan aspirasi mereka dalam kehidupan berdemokrasi. Rakyat tak perlu menjadi ahli politik ataupun pakar hukum untuk menyampaikan pendapatnya. </p>
<p>Politik bukan monopoli para profesional seperti sarjana politik, analis kebijakan, konsultan pejabat, maupun politikus. </p>
<p>Justru dengan mengakomodasi kehadiran politikus amatir, negara bisa memperkaya proses demokrasi yang berjalan. </p>
<h2>Dua spektrum</h2>
<p>Ilmuwan politik asal Inggris, <a href="https://www.macmillanihe.com/page/detail/Why-Politics-Matters/?K=9780230360662">Gerry Stoker</a>, menjelaskan bahwa warga negara hakikatnya memang politikus amatir.</p>
<p>Amatir di sini meliputi dua spektrum. </p>
<p>Pertama, warga negara tidak menjadikan politik sebagai karir atau pekerjaan. Mereka adalah karyawan pabrik, petani, guru, pedagang, tukang ojek, sampai pemulung yang tidak mencari nafkah dari politik. </p>
<p>Mereka adalah ‘aktivis’ politik paruh waktu, yang terpanggil entah karena merasa peduli, berkewajiban untuk berpartisipasi, atau karena kebijakan berpengaruh dengan hajat hidupnya. </p>
<p>Kedua, amatir artinya tidak terampil. Namun, Stoker memandang keamatiran warga negara tak identik dengan absennya kecakapan politik. Bahkan, aspirasi warga negara kerap menawarkan beragam cara pandang yang lebih segar, lengkap dengan usul solusi yang orisinal berdasarkan pengalaman kehidupan nyata.</p>
<p>Dengan memahami hakikat warga negara sebagai politikus amatir, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seharusnya tidak antipati dengan keawaman politik. </p>
<p>Justru, para penyelenggara negara seharusnya lebih serius menyediakan dukungan yang dibutuhkan warga guna mengasah potensi kecakapan politik mereka secara berkelanjutan. </p>
<h2>Dua peran</h2>
<p>Seorang warga negara bisa saja memiliki pengetahuan yang terbatas. Dan apa yang ia suarakannya mungkin segera terkesan remeh, sehingga dengan begitu menjadi gampang disepelekan. </p>
<p>Namun, banyak ilmuwan politik telah menunjukkan bukti bahwa warga negara dengan keawamannya memiliki setidaknya dua peran penting dalam praktik politik dan pemerintahan. </p>
<p>Pertama, suara warga negara merupakan potensi yang memperkaya, melengkapi, dan bahkan mengoreksi teknokrasi. </p>
<p><a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s11077-016-9260-2">Teknokrasi</a> mengandaikan politik dan pemerintahan dikelola oleh pakar atau ahli. Asumsinya, pertimbangan yang digunakan pakar itu murni teknis dan bersifat apolitis (bebas dari kepentingan politik). </p>
<p>Kenyataannya, sistem teknokrasi yang mengandalkan kepakaran tetap ditentukan oleh keputusan politik. Dan dalam politik, peran serta warga negara sangat dibutuhkan agar kebijakan pemerintah sesuai kebutuhan masyarakat. </p>
<p>Sebuah riset <a href="https://www.ksi-indonesia.org/file_upload/Pentingnya-Pengetahuan-Lokal-04Oct2018101455.pdf"><em>Knowledge Sector Initiative</em></a>, program kerjasama antara pemerintah Indonesia dan Australia, menunjukkan bahwa pengetahuan dari warga negara diperlukan dalam pembuatan kebijakan agar keputusan yang dibuat peka pada keadaan, sehingga lebih efektif dan tepat sasaran.</p>
<p>Kedua, warga negara mampu menyediakan perspektif dan informasi yang masih jernih karena belum tersandera oleh persekongkolan politik. </p>
<p>Diakui atau tidak, syahwat untuk berkuasa cenderung mengungkung daya candra para pengambil kebijakan di pemerintah dan DPR. Visi dan penilaian pada suatu keputusan dilumpuhkan oleh rabun jauh politik padahal keputusan itu berdampak sistemik di masa depan.</p>
<p><a href="https://www.cambridge.org/core/books/comparative-historical-analysis-in-the-social-sciences/big-slowmoving-and-invisible/B0F153B76E295D76305F547395DB3EE9">Paul Pierson</a>, ilmuwan politik dari University of California at Berkeley, AS, mengingatkan betapa peristiwa atau perubahan besar dalam politik memerlukan proses yang bertahap, samar-samar, serta melibatkan kombinasi peristiwa-peristiwa pemantik yang tidak mudah dikenali apalagi diantisipasi. </p>
<p>Dalam analogi Pierson, tidak semua dampak politik terjadi melalui proses yang baik dan berlangsung cepat. Ada pula dampak politik yang butuh proses lama untuk kemudian seketika meluluh-lantahkan tatanan lama. </p>
<p>Dalam konteks ini, partisipasi warga negara berfungsi sebagai pengingat agar pengambil kebijakan lebih saksama dalam menimbang manfaat dan akibat negatif jangka panjang dari suatu kebijakan publik.</p>
<h2>Dua kewajiban</h2>
<p>Penyelenggara negara dapat mengoptimalkan dua peran para amatir politik tersebut. </p>
<p>Pertama adalah lewat penegakan berbagai jaminan konstitusional dan legal atas hak warganya untuk memperoleh informasi perihal isi kebijakan dan proses politik yang sedang berlangsung. </p>
<p>Jaminan atas akses informasi ini, meski hanya memenuhi syarat <a href="https://yalebooks.yale.edu/book/9780300194463/democracy">minimal</a> dalam demokrasi, sangatlah strategis. </p>
<p>Misalnya, naskah revisi KUHP mengandung istilah-istilah hukum yang tidak mudah dimengerti masyarakat. Bayangkan jika informasi ini jauh hari disampaikan melalui akun resmi DPR atau Presiden Joko “Jokowi” Widodo di platform Twitter, Facebook, atau Instagram. Warga negara bisa memperoleh informasi resmi dan bukan hoaks.</p>
<p>Namun yang terjadi adalah akses informasi sengaja ditutup sehingga pemerintah dan DPR dapat melakukan revisi kilat sejumlah UU kunci. </p>
<p>Akibatnya sangat serius. Warga tidak memiliki pemahaman yang utuh terhadap apa yang terjadi. </p>
<p>Ketiadaan informasi mengenai tahapan dan proses legislasi juga menyulitkan warga untuk mempengaruhi pemerintah dan DPR secara tepat pada tahapan-tahapan legislasi yang strategis. Masyarakat tidak diberikan waktu yang cukup untuk menelaah isi berbagai rancangan UU yang sedang dibahas.</p>
<p>Kedua, sebagai wujud pengakuan terhadap hak politik warganya, pemerintah dan DPR berkewajiban memastikan bahwa saluran keterlibatan dan mekanisme dialog senantiasa tersedia ketika warganya membutuhkan atau merasa terpanggil untuk berpartisipasi.</p>
<p>Tentu ini bukan berarti pemerintah dan DPR berhak menagih warga agar sepanjang waktu hadir di setiap tahapan legislasi atau memeriksa draf pasal demi pasal suatu naskah rancangan UU secara rinci. </p>
<p>Ingat, warga negara adalah politikus amatir. Mereka berpartisipasi ketika isu kebijakan yang dibahas dirasa penting atau berdampak langsung pada hajat hidupnya.</p>
<p>Prinsipnya, saat warga membutuhkan, penyelenggara negara <a href="https://www.macmillanihe.com/page/detail/Why-Politics-Matters/?K=9780230360662">menjamin ketersediaan saluran</a> keterlibatan dan mekanisme dialog tersebut.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/126109/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ashari Cahyo Edi menerima beasiswa dari Program DIKTI-funded Fulbright Grants for Indonesian Lecturers untuk menempuh S3 Ilmu Politik di Rockefeller College of Public Affairs & Policy, University at Albany, SUNY, Amerika Serikat.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Laila Kholid Alfirdaus tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Politik bukan monopolii sarjana politik, analis kebijakan, maupun politikus. Kehadiran politikus amatir bisa memperkaya proses demokrasi.Laila Kholid Alfirdaus, Lecturer at Department of Politics and Government, Universitas DiponegoroAshari Cahyo Edi, Lecturer at Department of Politics and Government, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1256452019-10-24T06:06:43Z2019-10-24T06:06:43ZKesetaraan di Hong Kong buruk. Kenapa pendemo tidak marah pada orang yang kaya dan berkuasa?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/298496/original/file-20191024-170462-vigi2q.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=150%2C131%2C3728%2C2522&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Fazry Ismail/EPA</span></span></figcaption></figure><p>Sudah ada banyak penjelasan terhadap gejolak di Hong Kong, yang kini memasuki pekan ke-16. Namun, yang tidak banyak disentuh adalah soal hubungan kuat antara elite bisnis dan politik di kota itu, dan sistem pemerintahan yang sangat timpang.</p>
<p>Dalam menjelaskan sumber kericuhan di Hong Kong, dapat ditebak, banyak pemimpin menyalahkan <a href="https://www.scmp.com/news/hong-kong/politics/article/3017180/former-hong-kong-leader-tung-chee-hwa-blames-liberal">ilmu-ilmu liberal di sekolah</a>. Para pembuat kebijakan seakan sulit percaya bahwa para siswa bisa memiliki kemampuan pemahaman kritis terhadap politik dan masyarakat – terlebih lagi melakukan partisipasi aktif.</p>
<p>Di sisi lain, kemarahan para pendemo diarahkan sebagian besar ke pemerintah Cina dan Hong Kong, terutama Kepala Eksekutif Carrie Lam. Tindakan Lam – dengan sikap birokratik yang keras kepala – memperburuk keadaan, demikikian juga tindakan polisi yang dulu dipuji “Terbaik di Asia” dan aparat Cina. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/hong-kong-protesters-dont-identify-as-chinese-amid-anger-at-inequality-survey-suggests-122293">Hong Kong protesters don't identify as Chinese amid anger at inequality – survey suggests</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Semua tindakan ini telah <a href="https://theconversation.com/hong-kong-protesters-dont-identify-as-chinese-amid-anger-at-inequality-survey-suggests-122293">mengeraskan identitas lokal</a> yang semakin jelas pada para pendemo seiring gejolak berlanjut.</p>
<p>Terlebih lagi, rasa saling membenci sudah sedemikian parah hingga sepertinya tidak mungkin ada pihak yang mau mundur. Dalam minggu-minggu terakhir ini eskalasi sepertinya lebih mudah terjadi.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1153244876156411904"}"></div></p>
<h2>Kemunduran tanpa harapan</h2>
<p>Namun, penjelasan yang paling mungkin atas gejolak ini bukanlah kurikulum pendidikan atau pengaruh Beijing, tapi keadaan pemerintah dan masyarakat Hong Kong itu sendiri.</p>
<p>Kebalikan dari citra yang ingin ditampilkan pemerintah Hong Kong – yaitu ketaatan pada hukum dan lingkungan bisnis yang sangat baik – kota ini sebenarnya sudah membusuk selama berpuluh tahun</p>
<p>Pertama, Hong Kong sudah mengalami “pengeroposan” – situasi ketika industri hilang dan tidak ada yang menggantikan – seperti yang dialami negara industri lain.</p>
<p>Yang patut dicermati, situasi ini dibarengi dengan ketidakmampuan para pembuat kebijakan memahami ketimpangan yang kemudian muncul. Menurut data pemerintah, <a href="https://www.scmp.com/news/hong-kong/economy/article/2097715/what-hope-poorest-hong-kong-wealth-gap-hits-record-high">kesenjangan kemakmuran Hong Kong terburuk</a> sepanjang sejarah pada 2017, ketika penghasilan rumah tangga paling kaya 44 kali lebih besar dari pada rumah tangga yang paling miskin.</p>
<p>Banyak orang di Hong Kong mengalami <a href="https://asia.nikkei.com/Opinion/Social-mobility-the-key-to-addressing-Hong-Kong-discontent">penurunan atau stagnasi perpindahan sosial</a>, harga hunian yang luar biasa tinggi (<a href="https://www.scmp.com/business/article/2182980/nothing-be-proud-hong-kong-tops-table-worlds-most-expensive-housing-market">tertinggi di dunia</a>), buruknya kualitas udara, memburuknya infrastruktur (kecuali MRT dan bandara), timpangnya <a href="https://www.hongkongfp.com/2015/12/15/lets-criticise-the-inequality-at-the-core-of-our-education-system-not-just-the-symptoms/">pendidikan</a> dan <a href="https://www.researchgate.net/publication/335269901_Poverty_affects_access_to_regular_source_of_primary_care_among_the_general_population_in_Hong_Kong">kesehatan</a> (<a href="https://edition.cnn.com/2018/03/02/health/hong-kong-world-longest-life-expectancy-longevity-intl/index.html">terlepas dari data statistik yang digaungkan</a>, dan kurangnya ruang publik yang layak.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/new-research-shows-vast-majority-of-hong-kong-protesters-support-more-radical-tactics-122531">New research shows vast majority of Hong Kong protesters support more radical tactics</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Mereka sulit berpindah ke perumahan umum. “<a href="https://www.hongkongfp.com/2018/06/17/video-hong-kongs-box-like-nano-flats-tight-squeeze-young-professionals/">Apartemen nano</a>” yang ukurannya bagai kotak korek api adalah pilihan satu-satunya bagi banyak orang, dan banyak rusun yang dihuni keluarga hingga ada anak dan cucu.</p>
<p>Kaum muda Hong Kong, yang tumbuh besar dengan cerita taipan masa keemasan seperti <a href="https://www.businessinsider.com/heres-how-li-ka-shing-became-the-richest-man-in-hong-kong-2015-6">Li Ka Shing</a>(yang akrab disebut “Superman”) juga menghadapi masa depan suram karena terjebak dalam pekerjaan kasar bergaji rendah.</p>
<p>Pendidikan tinggi tidak membantu kaum muda mendapat pekerjaan bergaji lebih tinggi. Menurut <a href="https://www.scmp.com/news/hong-kong/education/article/2178402/hong-kong-university-graduates-take-home-less-pay">sebuah survei baru-baru ini</a>, rata-rata gaji lulusan S1 jauh lebih rendah dibanding tahun 1987.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/294306/original/file-20190926-51457-5phhjl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/294306/original/file-20190926-51457-5phhjl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/294306/original/file-20190926-51457-5phhjl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/294306/original/file-20190926-51457-5phhjl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/294306/original/file-20190926-51457-5phhjl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/294306/original/file-20190926-51457-5phhjl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/294306/original/file-20190926-51457-5phhjl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Pengunjuk rasa mahasiswa mengambil bagian dalam rantai manusia di Hong Kong bulan ini.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Fazry Ismail/EPA</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Walau fundamentalis ekonomi pasar seperti Milton Friedman <a href="https://www.youtube.com/watch?v=xqh0zXSd4vc">mempelopori</a>) <em>entrepreneurialism</em> (kewirausahaan) di Hong Kong, pada kenyataannya hukum pasar hanya menguntungkan para elite, sementara rakyat lain tetap hidup dalam birokrasi zaman penjajahan. Orang muda yang ingin membuka usaha harus berhadapan dengan oligopoli, biaya sewa yang mencekik, dan peraturan pemerintah yang kaku di beberapa sektor. </p>
<p>Yang membuat keadaan lebih buruk, sedikit saja ada perbaikan dalam distribusi kemakmuran dianggap para pendemo anti-pemerintah tidak lebih sebagai usaha yang fokus pada ekonomi semata dan tidak pada reformasi demokratis.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/beijing-is-moving-to-stamp-out-the-hong-kong-protests-but-it-may-have-already-lost-the-city-for-good-121815">Beijing is moving to stamp out the Hong Kong protests – but it may have already lost the city for good</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Individualisme untuk memajukan diri sendiri lewat usaha sendiri tertanam di Hong Kong, tidak berbeda dengan di Amerika Serikat – yang banyak dijadikan contoh positif oleh para pendemo.</p>
<p>Dan alih-alih menyerang para taipan dan konglomerat yang mendominasi ekonomi, atau para pengembang dan pemilik lahan yang mengendalikan harga hunian, para pendemo justru menyerang pemerintah.</p>
<p>Pendemo juga tidak menyerang pemerintah karena melindungi kepentingan ekonomi para elite, tapi karena pemerintah menuruti kehendak Beijing.</p>
<h2>Kenapa pendemo tidak berfokus pada elite bisnis</h2>
<p>Walaupun beberapa orang terkaya di wilayah itu telah <a href="https://www.scmp.com/news/china/diplomacy/article/3026960/casino-queen-pansy-ho-makes-pro-beijing-case-hong-kong">menyuarakan</a> dukungan pada pemerintah, namun sedikit sekali pendemo yang mengungkapkan kemarahan pada golongan ekonomi elite.</p>
<p>Ini membuktikan kuatnya mitos asal-usul Hong Kong modern dan bagaimana kaum kaya Hong Kong dianggap baik. Ada semacam penghormatan pada taipan di kota ini, dibarengi dengan kurangnya kesadaran akan kelas dan ketidaksukaan yang tertanam terhadap apa pun yang secara politik terlihat “kiri”.</p>
<p>Walau hak politik universal adalah tuntutan utama para pendemo, tuntutan ini lebih dikaitkan pada pemilihan ketua eksekutif, bukan pada struktur pemerintahan itu sendiri.</p>
<p>Misalnya, dalam pengaturan yang sudah ada sejak era kolonial, dikenal dengan <a href="https://thediplomat.com/2016/09/what-exactly-is-hong-kongs-legislative-council/">perwakilan fungsional</a>, beberapa sektor ekonomi (seperti jasa keuangan, perumahan dan pariwisata) memiliki wakil politik di dewan perwakilan; ini mengurangi keterwakilan warga negara lain.</p>
<p>Hanya sedikit upaya telah dilakukan untuk menjelaskan mengapa hak politik sangat penting di Hong Kong, lebih penting daripada mengusir pengaruh Cina. Hal ini telah membatasi terbentuknya koalisi dalam gerakan protes yang dapat mendorong peningkatan kekuatan politik untuk mengatasi masalah sosial yang mendesak.</p>
<p>Pendemo kadang mengibarkan bendera Amerika Serikat, Inggris dan bendera kolonial, serta memakai gambar Presiden AS Donald Trump di atas tank, sehingga gerakan ini sering terlihat sebagai gerakan reaksi populisme semata.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/294278/original/file-20190926-51414-1oc4nr9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/294278/original/file-20190926-51414-1oc4nr9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/294278/original/file-20190926-51414-1oc4nr9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/294278/original/file-20190926-51414-1oc4nr9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/294278/original/file-20190926-51414-1oc4nr9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/294278/original/file-20190926-51414-1oc4nr9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/294278/original/file-20190926-51414-1oc4nr9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Bendera AS sering terlihat dalam demonstrasi di Hong Kong.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Jerome Favre/EPA</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Membangun kembali harapan dan kota</h2>
<p>Usaha para kaum muda untuk membentuk masa depan yang lebih baik patut diapresiasi. Tapi, supaya Hong Kong bisa memiliki masa depan positif, kota ini membutuhkan transformasi ekonomi dan politik dalam skala besar.</p>
<p>Hak politik adalah sebagian dari transformasi ini, tapi tidak cukup itu saja. Pertanyaan untuk Hong Kong adalah apakah pendemo dan anggota masyarakat lainnya memahami apa yang perlu dilakukan secara menyeluruh dan apakah mereka mampu bergerak bersama untuk mewujudkannya.</p>
<p>Karena ketimpangan kekuasaan ekonomi dan politik di kota ini demikian besar, maka tantangan ini jelaslah sebuah tantangan yang benar-benar revolusioner.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/125645/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Toby Carroll has received funding from the Hong Kong government General Research Fund.</span></em></p>Gejolak di Hong Kong disebabkan bukan oleh pengaruh Beijing, tapi keadaan pemerintahan dan masyarakat kota itu sendiri.Toby Carroll, Associate Professor, City University of Hong KongLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.