tag:theconversation.com,2011:/africa/topics/karir-58214/articleskarir – The Conversation2022-07-15T09:43:31Ztag:theconversation.com,2011:article/1858092022-07-15T09:43:31Z2022-07-15T09:43:31ZRiset: Gen Z cukup ‘pede’ dengan keterampilan profesional mereka untuk masuk dunia kerja<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/474245/original/file-20220715-12-ae4j5h.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">(Pexels/George Pak)</span></span></figcaption></figure><p><em>Artikel ini kami terbitkan untuk menyambut United Nations (UN) World Youth Skills Day yang jatuh pada tanggal 15 Juli.</em></p>
<hr>
<p>Pada seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tahun ini, <a href="https://money.kompas.com/read/2022/05/26/222224826/105-cpns-mengundurkan-diri-ini-sanksi-yang-akan-diberikan?page=all">Badan Kepegawaian Negara (BKN)</a> mengumumkan bahwa ada sekitar 100 orang yang <a href="https://theconversation.com/pro-kontra-pengunduran-diri-cpns-refleksi-perlunya-perbaikan-sistem-keamanan-kerja-agar-pns-tidak-lagi-jadi-satu-satunya-karir-idaman-mertua-184402">mengundurkan diri</a>. Mayoritas kandidat tersebut berasal dari Generasi Z (lahir sekitar tahun 1996-2012).</p>
<p>Anomali ini menjadi menarik mengingat PNS merupakan ‘pekerjaan impian’ bagi generasi sebelumnya. Tapi, banyak calon pekerja Generasi Z tersebut nampaknya dengan mudah melepaskan peluang mendapatkan ‘pekerjaan impian’ ini. Mengapa?</p>
<p>Bisa jadi, ini berhubungan erat dengan konsep <a href="https://www.researchgate.net/publication/223858759_Self-perceived_employability_Construction_and_initial_validation_of_a_scale_for_university_students"><em>perceived employability</em></a> – yakni <a href="https://doi.org/10.1108/PR-07-2012-0110">seberapa ‘percaya diri’</a> seorang pekerja bisa mempertahankan pekerjaan atau meraih pekerjaan yang lebih baik, berdasarkan <a href="https://www.middletowncityschools.com/media/studentservices/Information_Grade10_WhatAreEmployabilitySkills.pdf">kualifikasi dan keterampilan (<em>skill</em>)</a> yang mereka miliki.</p>
<p>Dalam kasus di atas, ini dapat berarti bahwa Generasi Z merasa nyaman dengan kehilangan kans mendapat ‘pekerjaan impian’ sebagai PNS – yang dalam beberapa tahun terakhir pun banyak dikritik atas <a href="https://theconversation.com/generasi-muda-masih-ingin-jadi-pns-tapi-minat-mereka-terancam-pudar-jika-pemerintah-tidak-segera-berbenah-165906">ketimpangan gaji dan lingkungan kerja yang statis</a> – karena cukup <em>pede</em> meraih karier yang saat ini dianggap lebih prestisius. </p>
<p>Tren ini pun kami amati secara umum pada Generasi Z dalam riset yang kami lakukan (belum dipublikasikan).</p>
<p>Pada 2021, Tim Penelitian Pusat Karier di Universitas Andalas dan Tanoto Foundation melakukan survei daring pada mahasiswa Generasi Z. Kami mendapatkan 1175 responden mahasiswa semester 5-9 dari 23 provinsi di Indonesia.</p>
<p>Para responden Generasi Z dalam survei kami menyatakan kepercayaan diri yang tinggi untuk memasuki dunia kerja, dengan keterampilan profesional yang mereka rasa selaras dengan kebutuhan oleh industri.</p>
<h2>Generasi yang percaya diri</h2>
<p>Riset kami menemukan bahwa 67% responden Generasi Z menganggap keterampilan mereka tergolong tinggi. Hanya 1,5% yang menilai bahwa <em>skill</em> mereka masih rendah.</p>
<p>Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas Generasi Z di Indonesia menilai bahwa dengan kemampuan yang mereka memiliki, mereka kemungkinan besar bisa meraih pekerjaan yang mereka inginkan – bahkan di tengah makin ketatnya persaingan kerja dan disrupsi teknologi.</p>
<iframe src="https://flo.uri.sh/visualisation/10621220/embed" title="Interactive or visual content" class="flourish-embed-iframe" frameborder="0" scrolling="no" style="width:100%;height:500px;" sandbox="allow-same-origin allow-forms allow-scripts allow-downloads allow-popups allow-popups-to-escape-sandbox allow-top-navigation-by-user-activation" width="100%" height="400"></iframe>
<div style="width:100%!;margin-top:4px!important;text-align:right!important;"><a class="flourish-credit" href="https://public.flourish.studio/visualisation/10621220/?utm_source=embed&utm_campaign=visualisation/10621220" target="_top"><img alt="Made with Flourish" src="https://public.flourish.studio/resources/made_with_flourish.svg"> </a></div>
<p>Hasil ini mungkin juga dapat menjawab mengapa mereka cukup percaya diri untuk meninggalkan pekerjaan yang mereka nilai kurang sesuai dengan diri mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih pantas.</p>
<p>Generasi Z, misalnya, merupakan kelompok yang cukup rajin bergonta-ganti pekerjaan (<em>job-hopping</em>).</p>
<p>Berdasarkan <a href="https://www.forbes.com/sites/lucianapaulise/2021/10/26/why-millennials-and-gen-z-are-leading-the-great-resignation-trend/">kajian dari platform pekerjaan <em>CareerBuilder</em></a>, rerata masa bekerja Generasi Z pada suatu perusahaan adalah 2 tahun 3 bulan, lebih kilat dari generasi terdahulu seperti milenial (2 tahun 9 bulan), Generasi X (5 tahun 2 bulan), dan <em>Baby Boomers</em> (8 tahun 3 bulan).</p>
<p>Dalam riset kami, kepercayaan diri yang tinggi antara Generasi Z terwujud dalam beberapa keyakinan.</p>
<p>Mayoritas responden, misalnya, merasa yakin akan menembus pasar kerja karena punya pengalaman yang cukup relevan dengan bidang pekerjaan (87%) dan memiliki <em>skill</em> yang sesuai dengan kebutuhan industri (80%). Sebagian besar (82%) juga merasa yakin bahwa mereka akan berhasil saat wawancara kerja.</p>
<iframe src="https://flo.uri.sh/visualisation/10621396/embed" title="Interactive or visual content" class="flourish-embed-iframe" frameborder="0" scrolling="no" style="width:100%;height:450px;" sandbox="allow-same-origin allow-forms allow-scripts allow-downloads allow-popups allow-popups-to-escape-sandbox allow-top-navigation-by-user-activation" width="100%" height="400"></iframe>
<div style="width:100%!;margin-top:4px!important;text-align:right!important;"><a class="flourish-credit" href="https://public.flourish.studio/visualisation/10621396/?utm_source=embed&utm_campaign=visualisation/10621396" target="_top"><img alt="Made with Flourish" src="https://public.flourish.studio/resources/made_with_flourish.svg"> </a></div>
<h2>Merasa punya keterampilan profesional tinggi dan didukung kampus</h2>
<p>Berdasarkan cerita para responden kami, tingkat kepercayaan diri atau <em>perceived employability</em> mereka dipengaruhi oleh beberapa faktor.</p>
<p><strong>Pertama</strong>, ada kecenderungan bahwa responden mahasiswa yang aktif dalam berbagai organisasi, kegiatan, dan program kemahasiswaan memiliki <em>perceived employability</em> yang tinggi. Dalam data kami, sebanyak 68% mahasiswa Generasi Z menyatakan aktif dalam kegiatan kampus.</p>
<p>Mereka merasa kegiatan-kegiatan ini dapat memberikan pengalaman dan peningkatan <em>soft skill</em> (keterampilan non-teknis).</p>
<p>Salah satu kegiatan yang banyak diikuti mahasiswa adalah kepanitian pada acara kampus. Sebagai panitia, mahasiswa dituntut mengembangkan dan mengasah keterampilan manajerial, komunikasi, negosiasi, hingga membangun jaringan profesional.</p>
<p>Apalagi, saat ini juga makin banyak kegiatan dan klub kampus yang menawarkan pengalaman yang dekat dengan dunia profesional – dari <a href="https://www.instagram.com/chronicsugm/?hl=en">kompetisi desain produk</a> bagi mahasiswa teknik, hingga <a href="http://bmcc.hukum.ub.ac.id/program-kerja/">klub peradilan semu (<em>moot court</em>)</a> bagi mahasiswa hukum.</p>
<p>Tak hanya di dalam kampus, pengalaman bekerja di luar kampus juga meningkatkan kepercayaan diri para responden.</p>
<p>Banyak dari mereka, misalnya, memiliki kegiatan profesional seperti <em>freelance</em> (bekerja lepas) dan program magang – hal-hal yang tentu menjadi poin plus dalam resume seorang pelamar kerja. Riset kami juga mendapati 11% responden sudah membuka usahanya sendiri.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, kemahiran dalam penguasaan bahasa Inggris juga meningkatkan level kepercayaan diri responden kami untuk memasuki dunia kerja. </p>
<p>Dalam beberapa dekade belakangan, dari <a href="https://theconversation.com/kapan-sebaiknya-anak-indonesia-belajar-bahasa-inggris-99450">Indonesia</a> hingga <a href="https://www.economist.com/books-and-arts/2010/05/27/top-dog">Cina</a>, anak dan siswa semakin gencar mendapatkan pengajaran dan terpapar bahasa Inggris di kelas maupun di media sosial. Hal ini melahirkan generasi yang <a href="http://repository.uinbanten.ac.id/8529/">sangat lihai menggunakan atau bahkan mencampur bahasa Inggris</a> dibanding generasi-generasi sebelumnya.</p>
<p>Ini juga berkaitan dengan kenyataan bahwa bahasa Inggris telah menjadi <em>lingua franca</em> (bahasa umum) – baik bagi masyarakat dunia maupun dunia kerja global. </p>
<p>Semakin mahir bahasa Inggris, semakin besar peluang para lulusan menembus perusahaan papan atas atau korporasi dan lembaga multinasional. Beberapa kajian pun telah menyebutkan bahwa <a href="https://research.newamericaneconomy.org/report/not-lost-in-translation-the-growing-importance-of-foreign-language-skills-in-the-u-s-job-market/">kompetensi multilingual bisa menjadi poin plus pekerja</a> di pasar global.</p>
<p><strong>Ketiga</strong>, keberadaan semacam pusat bantuan karier atau <em>career development center</em> (CDC) di perguruan tinggi juga membuat para responden Generasi Z memiliki <em>perceived employability</em> yang tinggi.</p>
<p>Berbagai program dilaksanakan oleh pusat karier – mulai dari <a href="https://cdc.trisakti.ac.id/news/read/148/closing-exclusive-program-bersama-ikigai-consulting">pelatihan kesiapan kerja</a> dan berwirausaha, pengadaan <a href="https://careercenter.atmajaya.ac.id/event/jobfair/index/microsite">pameran kerja</a>, hingga <a href="https://www.instagram.com/p/Cf3o0c8vCcA/?hl=en">kerjasama rekrutmen</a> dengan perusahaan. Bahkan, beberapa pusat karier sudah menyediakan <a href="http://karir.unand.ac.id/content/view?id=26&t=layanan-konseling">layanan konseling karier</a> bagi mahasiswa dan alumni yang mengalami kebingungan atau hambatan.</p>
<p><div data-react-class="InstagramEmbed" data-react-props="{"url":"https://www.instagram.com/p/CfnSBtrvSdk/?utm_source=ig_web_copy_link","accessToken":"127105130696839|b4b75090c9688d81dfd245afe6052f20"}"></div></p>
<p>Beberapa perguruan tinggi sebenarnya sudah memiliki pusat karier sejak lama. Namun, berbeda dengan kegiatan terdahulu yang lebih banyak menyasar calon wisudawan dan alumni sehingga kurang dikenal oleh mahasiswa, banyak pusat karier saat ini mengadakan program dan layanan yang membidik mahasiswa sejak awal masuk kuliah.</p>
<p>Adanya berbagai pusat karier ini membuat mahasiswa memiliki akses informasi yang lebih baik terkait lapangan kerja, <em>link</em> (relasi) kampus yang bisa mempercepat pencarian kerja mereka, serta hal apa saja yang harus mereka persiapkan untuk memasuki dunia kerja nantinya.</p>
<p>Berbagai faktor di atas membantu membekali para responden kami dengan keterampilan yang dibutuhkan dalam dunia kerja. Akhirnya, mereka menjadi lebih percaya diri atas <em>employability</em> mereka.</p>
<p>Penting bagai dunia pendidikan tinggi dan aktor terkait untuk terus memfasilitasi mereka dengan peningkatan keterampilan, termasuk yang belum <em>pede</em> akan <em>skill</em> mereka – dari memastikan keberadaan pusat karier hingga memperluas program dan kegiatan profesional di dalam maupun luar kampus.</p>
<hr>
<p><em>Artikel ini terbit melalui dukungan dari Tanoto Foundation. Meifal Rusli, Rahmi Fahmy, dan Lala Septiyani dari Universitas Andalas juga berkontribusi dalam penulisan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/185809/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Amatul Firdausa Nasa menerima dana dari Tanoto Foundation untuk pelaksanaan riset ini.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Meria Susanti menerima dana dari Tanoto Foundation untuk pelaksanaan riset ini. </span></em></p>Para responden Generasi Z dalam survei kami menyatakan kepercayaan diri yang tinggi untuk memasuki dunia kerja, dengan keterampilan profesional yang mereka rasa selaras dengan kebutuhan oleh industri.Amatul Firdausa Nasa, Lecturer in Psychology Department, Faculty of Medicine, Universitas AndalasMeria Susanti, Dosen, Universitas AndalasLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1862032022-07-07T09:20:44Z2022-07-07T09:20:44ZMengapa sekolah perlu memperkenalkan dunia kerja pada anak sedini mungkin?<p>Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) memperkirakan <a href="https://www.unicef-irc.org/research/child-labour/">152 juta anak di dunia</a> terlibat pekerjaan berbahaya dan eksploitatif. Hal ini juga mendorong lahirnya target penghapusan pekerja anak dalam berbagai agenda global, terutama <a href="https://www.un.org/sustainabledevelopment/sustainable-development-goals/">Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDG</a> (<a href="https://www.un.org/sustainabledevelopment/economic-growth/">poin 8.7</a>).</p>
<p>Meski demikian, berdasarkan hasil <a href="http://smeru.or.id/sites/default/files/publication/eclt_id.pdf">studi kami di SMERU Research Institute</a>, pemerintah sebenarnya telah membedakan konsep ‘pekerja anak’ dan ‘anak yang bekerja’.</p>
<p>Pemerintah menyediakan ruang bagi anak untuk mendalami dunia kerja, tetapi mengharamkan pekerja anak, sebagaimana yang digambarkan ILO di atas. </p>
<p>Anak usia 5–17 tahun boleh berlatih bekerja sepanjang pekerjaannya dalam rangka membantu orang tua, melatih keterampilan baru, atau mendidik anak bertanggung jawab dalam melakukan pekerjaan. Persyaratan lainnya adalah anak harus tetap bersekolah, hanya bekerja pada waktu senggang, dan keselamatan dan kesehatan mereka terjamin.</p>
<p>Saya berpendapat bahwa, dengan memenuhi rambu-rambu di atas secara ketat, sistem pendidikan Indonesia bisa mulai memperkenalkan dunia kerja pada anak sejak dini. Mengapa?</p>
<p>Pada 2021, <a href="https://www.bps.go.id/indicator/28/304/1/angka-partisipasi-murni-a-p-m-.html">data Badan Pusat Statistik (BPS)</a> menunjukkan <a href="https://sirusa.bps.go.id/sirusa/index.php/indikator/568">angka partisipasi murni (APM)</a> di Indonesia – persentase anak yang bersekolah untuk tiap usia jenjang tertentu – mulai menurun pasca level SD.</p>
<p>Anak usia SD (7-12 tahun) yang bersekolah sebesar 97,8%, sementara angkanya menurun menjadi 80,6% untuk SMP (13-15 tahun), dan makin anjlok menjadi 61,7% pada level SMA/K (16-18 tahun).</p>
<p>Artinya, selain 60% anak usia sekolah tidak bersekolah, mereka juga berhenti menempuh pendidikan sebelum mencapai tingkat di mana mereka umumnya diperkenalkan dan dilatih dengan kompetensi dan pengalaman dunia kerja – yakni <a href="https://theconversation.com/banyak-pekerja-salah-jurusan-apa-yang-harus-diperbaiki-di-sistem-pendidikan-indonesia-173662">pendidikan tinggi</a>.</p>
<p>Jumlah <a href="https://www.kompas.com/stori/read/2021/05/19/123946879/jumlah-penduduk-indonesia-2020-berdasarkan-komposisi-usia">penduduk usia SMA yang tidak bersekolah</a> pada tahun 2020, misalnya, setara 14 juta jiwa. Bisa jadi, mereka berujung menjadi pekerja anak. Nasib ini menjadi realitas bagi banyak anak lainnya yang putus sekolah selepas lulus SD dan SMP.</p>
<iframe src="https://flo.uri.sh/visualisation/10564434/embed" title="Interactive or visual content" class="flourish-embed-iframe" frameborder="0" scrolling="no" style="width:100%;height:350px;" sandbox="allow-same-origin allow-forms allow-scripts allow-downloads allow-popups allow-popups-to-escape-sandbox allow-top-navigation-by-user-activation" width="100%" height="400"></iframe>
<div style="width:100%!;margin-top:4px!important;text-align:right!important;"><a class="flourish-credit" href="https://public.flourish.studio/visualisation/10564434/?utm_source=embed&utm_campaign=visualisation/10564434" target="_top"><img alt="Made with Flourish" src="https://public.flourish.studio/resources/made_with_flourish.svg"> </a></div>
<p>Namun, akibat level pendidikan mereka yang rendah, ditambah belum dibekali dengan kompetensi yang dibutuhkan industri, mereka umumnya bekerja sebagai pekerja domestik atau buruh kasar dengan upah yang rendah.</p>
<p>Beriringan dengan upaya meredam angka putus sekolah demi mencegah banyaknya pekerja anak ini, sistem pendidikan Indonesia juga bisa mulai memasukkan kompetensi dan pengenalan dunia kerja pada pengajaran di sekolah.</p>
<p>Selain membekali pekerja yang berpendidikan rendah, ini pun bermanfaat bagi seluruh murid dari segi pembelajaran maupun penentuan aspirasi karir.</p>
<p>Sayangnya, <a href="https://theconversation.com/banyak-pekerja-salah-jurusan-apa-yang-harus-diperbaiki-di-sistem-pendidikan-indonesia-173662">beberapa akademisi</a> telah menjelaskan bagaimana kurikulum sekolah di Indonesia masih miskin dalam pengenalan kompetensi semacam ini.</p>
<p>Dalam buku mereka <a href="https://www.pearson.com/us/higher-education/program/Niles-Career-Development-Interventions-with-My-Lab-Counseling-with-Pearson-e-Text-Access-Card-Package-5th-Edition/PGM334442.html"><em>Career Development Interventions</em> (2017)</a>, peneliti pendidikan Spencer Niles dan JoAnne Harris-Bowlsbey mengatakan bahwa meremehkan proses pengenalan karir di masa kecil adalah layaknya tukang kebun mengabaikan kualitas tanah yang akan ia tanami.</p>
<h2>Mengenalkan kerja melalui sekolah</h2>
<p>Hasil <a href="https://www.educationandemployers.org/wp-content/uploads/2021/03/Starting-early-Building-the-foundations-for-success.pdf">penelitian di beberapa negara maju </a> dalam lima tahun terakhir menunjukkan bahwa pengenalan berbagai jenis kerja memberi banyak manfaat bagi murid. </p>
<p>Pertama, membantu murid melihat relevansi pelajaran dalam kehidupan. Kedua, meningkatkan mobilitas sosial murid-murid dari level ekonomi rendah. Ketiga, membantu murid untuk tidak mengesampingkan pilihan kerja tertentu tanpa memahami kelebihan dan kekurangannya.</p>
<p>Hasil studi ini juga melaporkan bahwa setelah mengikuti pelajaran terkait karir, 82% dari 9.300 responden murid menyetujui bahwa “<em>Saya sekarang mengerti bagaimana belajar matematika, bahasa Inggris, atau sains bermanfaat dalam banyak jenis pekerjaan</em>”.</p>
<p>Dari 1.200 murid di sekolah dengan anak dari keluarga kurang mampu, 78% mengatakan “<em>Saya sekarang tahu ada banyak pekerjaan yang tersedia ketika saya dewasa</em>”. Selain itu, 74% juga menyatakan “<em>Saya merasa lebih percaya diri dengan apa yang dapat saya lakukan kelak</em>”.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/banyak-pekerja-salah-jurusan-apa-yang-harus-diperbaiki-di-sistem-pendidikan-indonesia-173662">Banyak pekerja salah jurusan: apa yang harus diperbaiki di sistem pendidikan Indonesia?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Temuan di atas mengisyaratkan bahwa pengenalan kerja kepada murid memperkaya kualitas pembelajaran dan memberi pemahaman bermakna bagi masa depan kehidupan karir mereka.</p>
<p>Program <a href="https://myfuture.edu.au">Myfuture</a>, yakni layanan informasi karir tingkat nasional di Australia, menyarankan bahwa dalam mengembangkan pengenalan kerja di sekolah, perlu menimbang antara lain beberapa hal berikut:</p>
<ul>
<li><p>Pastikan guru merasa nyaman. Untuk menjadi pelaku utama program ini, guru membutuhkan pengetahuan, keterampilan, dan pelatihan yang memadai dalam membawakan materi dan program terkait karir dan pekerjaan. </p></li>
<li><p>Kaitkan program pengenalan kerja di dalam kurikulum, dan tidak memperlakukannya sebagai sesuatu di luar kurikulum. Pengenalan kerja ini harus bisa memperkaya pembelajaran berbagai mata pelajaran.</p></li>
<li><p>Libatkan komunitas di sekitar sekolah. Diskusikan dengan orang tua, pelaku bisnis, serikat pekerja, lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat tentang berbagai ide yang mungkin dapat mereka sumbangkan.</p></li>
<li><p>Mulailah lebih awal. Namun, penting untuk menyesuaikan semua kegiatan dengan tingkat kesiapan murid. Hindari cara “satu pendekatan untuk semua” (<em>one size fits all</em>).</p></li>
</ul>
<p>Program pengenalan kerja pada dasarnya sesuai dengan kebijakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek) tentang <a href="https://www.youtube.com/watch?v=T2-s6yY9yoI">Kurikulum Merdeka dan Merdeka Belajar</a>. Tujuannya adalah memberikan otonomi kepada sekolah, guru, dan bahkan murid.</p>
<p>Profesor pendidikan karir di Inggris, Tristram Hooley menyatakan bahwa karir adalah perjalanan seumur hidup yang <a href="https://myfuture.edu.au/docs/default-source/insights/career-education-in-primary-school.pdf">dimulai jauh lebih awal</a> dari kesadaran banyak orang.</p>
<p>Di masa lalu, kaum muda kerap kali mengenal jalur karir ketika berada di ambang transisi ke dunia kerja. Ini <a href="https://theconversation.com/banyak-pekerja-salah-jurusan-apa-yang-harus-diperbaiki-di-sistem-pendidikan-indonesia-173662">bisa jadi merupakan salah satu alasan</a> mengapa ada banyak sekali mahasiswa dan lulusan kampus di Indonesia yang <a href="https://www.detik.com/edu/perguruan-tinggi/d-5793585/nadiem-ungkap-80-lulusan-tak-bekerja-sesuai-prodi-bagaimana-sisanya">salah jurusan</a>.</p>
<p>Sudah waktunya kita mempertimbangkan untuk mengenalkan lika-liku kerja melalui sekolah.</p>
<p>Komunitas internasional tentu mengutuk adanya pekerja anak, tetapi nyatanya banyak anak yang terpaksa harus bekerja tanpa persiapan sama sekali. Sembari berupaya mengatasi masalah itu, program pengenalan kerja kepada murid akan membantu mengantar mereka agar kelak berpenghidupan layak.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/186203/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Syaikhu Usman tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Meremehkan proses pengenalan karir di masa kecil anak itu layaknya tukang kebun mengabaikan kualitas tanah yang akan ia tanami.Syaikhu Usman, Peneliti Utama, SMERU Research InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1779322022-02-26T11:14:11Z2022-02-26T11:14:11Z“Job-education mismatch”: mengurai akar fenomena salah jurusan di Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/448687/original/file-20220226-32611-mqqvgh.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption"></span> </figcaption></figure><iframe style="border-radius:12px" src="https://open.spotify.com/embed/episode/3p3xsqMvFrapcdsjZb3XeX?utm_source=generator" width="100%" height="232" frameborder="0" allowfullscreen="" allow="autoplay; clipboard-write; encrypted-media; fullscreen; picture-in-picture"></iframe>
<p>Akhir tahu lalu, Menteri Pendidikan Nadiem Makarim <a href="https://www.detik.com/edu/perguruan-tinggi/d-5793585/nadiem-ungkap-80-lulusan-tak-bekerja-sesuai-prodi-bagaimana-sisanya">menyatakan</a> hanya maksimal 20% lulusan perguruan tinggi bekerja sesuai dengan jurusannya.</p>
<p>Pernyataan ini menyusul statistik serupa yang <a href="https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3620313/63-orang-indonesia-bekerja-tak-sesuai-jurusan">disampaikan Kementerian Ketenagakerjaan</a> pada 2017 lalu yang menyebutkan hanya 37% angkatan kerja yang selaras dengan bidang akademiknya.</p>
<p><a href="https://doi.org/10.1016/j.ijedudev.2019.102101">Menurut riset</a>, latar belakang pendidikan yang tidak cocok dapat menyebabkan “<em>job-education mismatch</em>” (ketidakcocokan bidang keahlian pekerja) dan semakin menyulitkan masyarakat di negara berkembang untuk naik kelas secara ekonomi.</p>
<p>Ketidakcocokan ini, misalnya, bisa membuat mereka mendapat penghasilan yang lebih rendah dari pekerja lain yang bidangnya selaras.</p>
<p><a href="https://doi.org/10.14203/JEP.29.1.2021.1-16">Riset terbaru di Indonesia</a> menyebutkan bahwa potensi perbedaan penghasilan ini bisa mencapai lebih dari 5%. Bahkan, <a href="https://doi.org/10.1080/1331677X.2020.1723427">studi di Bosnia-Herzegovina</a> menyebutkan angkanya mencapai 13-15%.</p>
<p>Bagaimana pola fenomena salah jurusan yang terjadi di Indonesia, dan apa akar penyebabnya dan solusi yang bisa diterapkan di sistem pendidikan?</p>
<p>Untuk menjawabnya, pada episode podcast SuarAkademai kali ini, kami berbicara dengan Carter Bing Andika, mahasiswa S3 di bidang kepemimpinan pendidikan di Universitas Pelita Harapan (UPH).</p>
<p>Carter menjelaskan pola <em>job-education mismatch</em> di berbagai belahan dunia, sesat pikir penjurusan akademik di Indonesia, perbaikan pada sistem bimbingan dan konseling sekolah, hingga pentingnya fleksibilitas bidang akademik di tingkat perguruan tinggi.</p>
<p>Simak lengkapnya di SuarAkademia – ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/177932/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Pada episode SuarAkademai kali ini, kami berbicara dengan Carter Bing Andika, mahasiswa S3 di bidang kepemimpinan pendidikan untuk membedah fenomena salah jurusan di Indonesia.Luthfi T. Dzulfikar, Youth + Education EditorLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1736622021-12-15T09:32:20Z2021-12-15T09:32:20ZBanyak pekerja salah jurusan: apa yang harus diperbaiki di sistem pendidikan Indonesia?<p>Amartya Sen, ekonom dan peraih Nobel Ekonomi pada 1998, menyatakan bahwa memperluas akses pendidikan bisa membantu menyelesaikan berbagai masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat.</p>
<p>Tapi jika pendidikan seseorang tidak selaras dengan pekerjaannya, apakah pendidikan tersebut akan efektif dalam menciptakan dampak sosial?</p>
<p>Pada awal November lalu, Menteri Pendidikan Nadiem Makarim <a href="https://www.detik.com/edu/perguruan-tinggi/d-5793585/nadiem-ungkap-80-lulusan-tak-bekerja-sesuai-prodi-bagaimana-sisanya">menyatakan</a> hanya ada maksimal 20% lulusan perguruan tinggi yang bekerja sesuai dengan program studinya. <a href="https://www.viva.co.id/edukasi/1405586-ahli-observasi-anak-87-persen-mahasiswa-salah-jurusan">Survei</a> lain juga menyatakan bahwa hanya 13% mahasiswa merasa mengambil program studi yang tepat.</p>
<p>Statistik ini bahkan lebih rendah dari yang <a href="https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3620313/63-orang-indonesia-bekerja-tak-sesuai-jurusan">disampaikan</a> Kementerian Ketenagakerjaan pada 2017 lalu, yang menyatakan hanya 37% angkatan kerja yang bekerja sesuai dengan bidang pendidikannya.</p>
<p>Jika hal ini tidak dibenahi secara sistematis dan serius, negara ini dalam jangka panjang berpotensi terus menghadapi ketidakcocokan bidang keahlian pekerja, atau yang disebut “<em>job-education mismatch</em>.”</p>
<p><a href="https://doi.org/10.1016/j.ijedudev.2019.102101">Penelitian tahun 2019 dari Vietnam</a> menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan yang tidak selaras dapat semakin menyulitkan masyarakat di negara berkembang untuk naik kelas secara ekonomi.</p>
<p>Pasalnya, ketidakcocokan ini bisa membuat mereka mendapat penghasilan yang lebih rendah dari pekerja lain.</p>
<p><a href="https://doi.org/10.14203/JEP.29.1.2021.1-16">Riset terbaru di Indonesia</a> menyebutkan bahwa potensi perbedaan penghasilan ini bisa mencapai lebih dari 5%. Bahkan, <a href="https://doi.org/10.1080/1331677X.2020.1723427">studi di Bosnia-Herzegovina</a> menyebutkan angkanya mencapai 13%-15%.</p>
<p>Apa yang menyebabkan fenomena ini, dan apa yang bisa dilakukan ke depannya?</p>
<h2>Kampus sebagai <em>pit-stop</em></h2>
<p>Sebagai seseorang yang telah mengenyam tiga level pendidikan tinggi, saya berpendapat bahwa kampus, khususnya, dapat dianalogikan sebagai sebuah <em>pit-stop</em> layaknya pada olahraga balapan. Pelajar melakukan persiapan terakhir sebelum mereka menjalani iklim dunia kerja setelah lulus.</p>
<p>Artinya, para calon mahasiswa tidak hanya perlu mempertimbangkan program studi yang ingin diambil, tapi juga apa yang hendak mereka jadikan aspirasi karir setelah lulus dari program studi tersebut.</p>
<p>Banyak orang yang mengalami <em>job-education mismatch</em> justru tidak mempertimbangkan perkembangan pasar ketenagakerjaan atau menggali panggilan jiwa mereka sebelum memilih program studi. Studi menyebutkan mereka biasanya <a href="https://doi.org/10.35542/osf.io/ehskd">baru menyadari ini</a> ketika akan atau sudah lulus.</p>
<p>Dengan kata lain, <em>we put the cart before the horse</em> (memikirkan kereta kuda saat belum memiliki kuda).</p>
<p>Masalahnya, sistem pendidikan kita memang tidak secara sengaja memberi ruang bagi para peserta didik untuk mengembangkan wawasan ini sedini mungkin.</p>
<p>Program magang yang bertujuan memberi <a href="https://theconversation.com/orang-magang-di-perusahaan-perlu-dibayar-atau-tidak-telaah-hukum-dan-etika-111354">kesempatan bagi pelajar untuk mengenal lapangan pekerjaan</a>, misalnya, baru terjadi setelah mereka kuliah (kecuali bagi pelajar di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)).</p>
<p>Sementara di level Sekolah Menengah Atas (SMA), para calon mahasiswa sibuk memikirkan berbagai ujian yang harus mereka lalui sebelum mereka bisa menapakkan kakinya di jenjang pendidikan tinggi. Pada akhirnya, mereka minim memikirkan aspirasi karir saat masuk perguruan tinggi. </p>
<p>Proses <a href="https://tesbakatindonesia.com/perbedaan-snmptn-sbmptn-um-dan-umb-pt/">seleksi masuk perguruan tinggi</a> (SNMPTN, SBMPTN, dan UM) pun tidak banyak memberikan evaluasi terkait seberapa selaras program studi yang dipilih dengan minat dan bakat calon mahasiswa. Masih ada banyak universitas yang lebih memprioritaskan jumlah mahasiswa yang berhasil direkrut ketimbang aspek-aspek ini.</p>
<p>Selain itu, beberapa universitas di Indonesia mendorong agar mahasiswa memilih penjurusan bidang sedini mungkin.</p>
<p>Beberapa program studi bahkan sudah sangat spesifik sejak semester awal. Di Universitas Bina Nusantara (BINUS), misalnya, ada program studi <a href="https://binus.ac.id/program/mobile-application-and-technology/"><em>Mobile Application & Technology</em></a> yang tentu jauh lebih spesifik dibandingkan program studi Teknologi Informatika.</p>
<p>Hal tersebut dapat mengurangi fleksibilitas mahasiswa jika ternyata menemukan bahwa mereka berada di program studi yang kurang tepat.</p>
<p>Di negara lain seperti Amerika Serikat (AS), <a href="https://studyinthestates.dhs.gov/2014/10/changing-majors">kesempatan</a> bagi mahasiswa untuk berganti program studi – atau biasanya disebut <a href="https://sc.edu/about/offices_and_divisions/advising/changing_majors/index.php">pergantian <em>major</em> (bidang studi utama)</a> – di tengah proses perkuliahan cenderung lebih terbuka.</p>
<p>National Center for Education Statistics di AS menunjukkan bahwa setidaknya <a href="https://localnews8.com/news/2018/10/12/nces-report-about-80-percent-of-college-students-change-major-at-least-once/">80%</a> peserta didik di negara tersebut pernah mengubah pilihan program studinya.</p>
<h2>Minim layanan konseling karir di sekolah</h2>
<p>Sebenarnya, salah satu resep yang bisa mencegah terjadinya salah jurusan adalah adanya layanan bimbingan dan konseling (BK) yang baik di sekolah.</p>
<p>Selain sebagai pusat pendampingan aspek kesejahteraan siswa, layanan ini juga <a href="https://doi.org/10.24832/jpnk.v17i4.40">berfungsi</a> membantu mereka memilih kegiatan ekstrakurikuler, program studi saat kuliah, dan memantapkan penguasaan karir yang sesuai minat, bakat, ciri kepribadian lainnya.</p>
<p>Namun, melihat statistik <em>job-education mismatch</em> yang begitu timpang, layanan ini sepertinya tidak berjalan dengan maksimal di sistem pendidikan Indonesia.</p>
<p>Berbagai sumber menyebutkan bahwa Indonesia saat ini tidak hanya <a href="https://www.antaranews.com/berita/377371/abkin-tegaskan-indonesia-butuh-129000-guru-bk">kekurangan tenaga BK</a>, namun <a href="https://www.kompas.com/edu/read/2021/06/09/125926671/tingkatkan-mutu-pendidikan-dan-layanan-bk-guru-besar-upi-rekomendasikan-2?page=all">kompetensi maupun dukungan sumber daya</a> mereka juga belum ideal untuk menunjang kesejahteraan siswa – termasuk aspirasi karir dan <a href="https://theconversation.com/peran-penting-guru-bk-dalam-mendeteksi-depresi-pada-remaja-102923">kesehatan mental</a>.</p>
<p>Jika kemudian kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi oleh pihak sekolah, maka peserta didik yang membutuhkan layanan ini harus mencari informasi di luar sekolah: para psikolog profesional, konsultan pendidikan, <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/06/21/media-sosial-sumber-informasi-perguruan-tinggi-jurusan-mayoritas-siswa">media sosial</a>, atau terkadang staf dari universitas.</p>
<p>Beberapa sekolah juga dengan terbuka mengundang pihak-pihak tersebut untuk datang dan memberi <a href="https://www.sman7pekanbaru.sch.id/berita/detail/101770/siswa-sman-7-pekanbaru-antusias-mengikuti-sosialisasi-dari-binus-university/">informasi terkait kuliah dan karir</a> bagi para siswa.</p>
<p>Sayangnya, tidak semua peserta didik pun mengerti atau dijelaskan tentang pentingnya layanan tersebut.</p>
<p>Banyak murid lebih banyak mendengar masukan yang berpotensi subjektif seperti pandangan keluarga, saudara, atau teman sebayanya. Mereka bisa juga hanya fokus pada kelebihan kampus, lokasi, biaya perkuliahan, atau informasi lainnya seperti prospek gaji pekerjaan tertentu yang di atas rata-rata.</p>
<p>Informasi di atas tentu membantu pengambilan keputusan. Tapi, para siswa acap kali tidak menyelaraskannya dengan minat, kemampuan, dan kepribadian mereka, sehingga berkontribusi pada pemilihan bidang studi yang kurang tepat.</p>
<h2>Langkah ke depan</h2>
<p>Membenahi masalah ini butuh kerja sama dari berbagai pihak termasuk pemerintah pusat dan pemerintah daerah, namun juga organisasi nirlaba maupun pemerhati pendidikan.</p>
<p>Institusi pendidikan harus mulai menanamkan pengetahuan dan wawasan tentang iklim pasar ketenagakerjaan sedini mungkin. Sekolah juga bisa memberi peluang bagi murid untuk ‘mencicipi’ aspirasi karir tertentu sebelum mereka dihadapkan dengan keputusan memilih jurusan kuliah.</p>
<p>Program magang atau <a href="https://theconversation.com/belajar-di-luar-kampus-ala-kampusmerdeka-progresif-tapi-pr-masih-banyak-131177">pengambilan mata kuliah lintas bidang</a> yang umum berjalan di pendidikan tinggi, misalnya, dapat dibuat lebih sederhana dan dimasukkan dalam kurikulum pada jenjang SMA untuk membantu murid mengenali beragam bidang studi maupun karir yang ada.</p>
<p>Organisasi nirlaba atau filantropi, serta berbagai proyek kolaborasi riset pemerintah dan non-pemerintah yang kerap memberi program intervensi di lingkungan pendidikan, juga harus mulai mempertimbangkan pentingnya layanan konseling karir yang berkualitas di sekolah.</p>
<p>Saat ini, pemerintah Indonesia juga tengah merancang <a href="https://www.mediaeducations.com/2021/12/kurikulum-2022-kurikulum-prototipe.html?m=1">kurikulum baru</a> yang memberi ruang gerak bagi sekolah untuk melakukan berbagai inovasi pembelajaran di sekolah.</p>
<p>Ini merupakan sebuah momen yang tepat bagi perubahan.</p>
<p>Jangan sampai upaya reformasi pendidikan di Indonesia berujung tidak optimal karena kurang mampu menggali potensi peserta didik dan menyebabkan <em>job-education mismatch</em>.</p>
<hr>
<p><em>Artikel ini terbit melalui dukungan dari Tanoto Foundation.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/173662/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Carter Bing Andika terafiliasi dengan Tanoto Foundation, organisasi filantropi yang berfokus pada peningkatan akses pengetahuan dan pendidikan.</span></em></p>Kementerian Pendidikan menyatakan hanya ada maksimal 20% lulusan perguruan tinggi yang bekerja sesuai program studinya. Apa yang menyebabkan fenomena ini, dan apa yang bisa dilakukan ke depannya?Carter Bing Andika, Doctoral Student, Universitas Pelita Harapan Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1726182021-11-26T06:48:06Z2021-11-26T06:48:06ZBagi orang Indonesia, mencapai ‘work life balance’ ternyata dipengaruhi nilai-nilai agama<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/434061/original/file-20211126-13-1g67rmi.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=18%2C0%2C4069%2C2715&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">austin neill ZahNAl Ic o unsplash</span> <span class="attribution"><span class="source">Foto oleh Austin Neill dari Unsplash</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Banyak penelitian menunjukkan bahwa <a href="https://hbr.org/2015/08/the-research-is-clear-long-hours-backfire-for-people-and-for-companies">terlalu banyak bekerja mengarah pada hasil yang negatif</a> dan bahkan dapat <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0160412021002208">membunuh pekerja</a>. Meski temuan studi menyatakan hal-hal tersebut, bagi banyak orang mencapai keseimbangan antara waktu yang digunakan untuk bekerja dan hidup <em>work-life balance (WLB)</em> masih menjadi utopia.</p>
<p><a href="https://bit.ly/KarirRiset">Studi yang sedang saya kerjakan</a> mengungkapkan bagaimana agama memengaruhi para pekerja untuk menyeimbangkan waktu mereka untuk pekerjaan dan untuk keluarga - yang juga dikenal dengan <em>work-family balance</em> (WFB).</p>
<p><a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0090261616300602">Sebuah studi berskala global</a> menempatkan WFB sebagai bagian dari WLB, dengan fokus spesifiknya pada<a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/B9780123739476006942"> mencapai keseimbangan antara waktu untuk urusan pekerjaan dan urusan keluarga</a>.</p>
<p>Penelitian ini dilakukan di Indonesia, <a href="https://worldpopulationreview.com/country-rankings/muslim-population-by-country">negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia</a>. Selain Islam, secara hukum, Indonesia juga <a href="https://www.newworldencyclopedia.org/entry/Religion_in_Indonesia">mengakui lima agama lainnya</a>: Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, dan Konghucu.</p>
<p>Setelah mengumpulkan tanggapan kuesioner dari 1.147 responden dengan latar belakang agama yang berbeda di Indonesia, penelitian ini memastikan bahwa nilai-nilai agama secara positif dan signifikan berpengaruh terhadap persepsi pentingnya penerapan WFB.</p>
<iframe src="https://flo.uri.sh/visualisation/7940313/embed" title="Interactive or visual content" class="flourish-embed-iframe" frameborder="0" scrolling="no" style="width:100%;height:600px;" sandbox="allow-same-origin allow-forms allow-scripts allow-downloads allow-popups allow-popups-to-escape-sandbox allow-top-navigation-by-user-activation" width="100%" height="400"></iframe>
<div style="width:100%!;margin-top:4px!important;text-align:right!important;"><a class="flourish-credit" href="https://public.flourish.studio/visualisation/7940313/?utm_source=embed&utm_campaign=visualisation/7940313" target="_top"><img alt="Made with Flourish" src="https://public.flourish.studio/resources/made_with_flourish.svg"> </a></div>
<h2>Tentang riset</h2>
<p>Penelitian ini membingkai karakteristik unik orang Indonesia yang religius untuk menjelaskan preferensi mereka dalam memiliki keseimbangan untuk pekerjaan dan keluarga.</p>
<p>Nilai-nilai agama dipilih sebagai variabel yang difokuskan mengikuti berbagai hasil survei yang menyatakan bahwa orang Indonesia sangat religius.</p>
<p>Studi dari lembaga penelitian terkemuka seperti <a href="https://www.pewforum.org/2018/06/13/how-religious-commitment-varies-by-country-among-people-of-all-ages/"><em>Pew Research Center</em></a>, <a href="https://www.worldvaluessurvey.org/WVSContents.jsp"><em>World Values Survey</em></a>, dan <a href="https://news.gallup.com/poll/142727/religiosity-highest-world-poorest-nations.aspx"><em>Gallup</em></a> menemukan sebagian besar (lebih dari 90%) orang Indonesia yang disurvei menyebutkan bahwa agama menjadi elemen penting bagi kehidupan mereka.</p>
<p>Membawa agama ke tempat kerja telah berkembang menjadi bahasan populer, sebagai tuntutan dari karyawan (yang religius) untuk <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/14766086.2015.1054864">membawa diri mereka yang utuh ketika bekerja.</a></p>
<p>Pada saat yang sama, semua ajaran agama di Indonesia juga menyoroti pentingnya menjalin hubungan yang baik dengan keluarga.</p>
<p>Hal ini tertera bagi umat Islam di dalam <a href="https://tafsirq.com/4-an-nisa/ayat-36">Al-Qur'an</a>, bagi umat Kristiani dan Katolik di dalam <a href="https://www.bible.com/bible/114/EPH.6.1-4.NKJV">Alkitab</a>, bagi umat Buddha dalam <a href="https://www.buddhistelibrary.org/buddhism-online/bs-s08a.htm">Sigalovada Sutta</a> yang berisikan kumpulan khotbah Buddha Gautama, bagi umat Hindu di <a href="https://www.hindu-blog.com/2021/07/rules-for-householder-in-hinduism.html">Grihastha Ashrama</a>, sebuah kitab yang membahas bagian dari tahapan kehidupan menurut kepercayaan Hindu dan bagi umat Konghucu dalam <a href="https://epochtimes.today/confucius-living-a-harmonious-family-life-the-confucian-way/">analek</a>.</p>
<p>Studi ini menggunakan dua pertanyaan untuk mengukur bagaimana nilai-nilai agama mempengaruhi keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga.</p>
<p>Pertanyaan-pertanyaan tersebut mencerminkan seberapa besar kehidupan responden didasarkan pada agama mereka dan seberapa pentingnya pencapaian keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga bagi responden.</p>
<p>Hasil olah data menunjukkan bahwa semakin religius seseorang, semakin mereka berpikir bahwa keseimbangan pekerjaan-keluarga adalah elemen penting dalam karir mereka.</p>
<h2>Agama: sebuah rem untuk menahan kerja berlebihan</h2>
<p>Selain pengaruh langsung agama terhadap WFB, saya berpendapat bahwa agama juga secara tidak langsung mendorong individu untuk menerapkan WFB dalam karir mereka.</p>
<p>Misalnya, di antara faktor lain yang menjelaskan pentingnya WFB adalah <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/epdf/10.1111/j.1741-3737.2010.00768.x">melakukan tanggung jawab sebagai orang tua</a> dan <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0021886304263855">rasa cinta kepada keluarga.</a></p>
<p>Ketika agama meresap ke dalam pola pikir dan perilaku individu, maka masuk akal untuk juga mengharapkan bahwa rasa tanggung jawab dan rasa cinta kepada keluarga di dalam benak individu tersebut dipengaruhi oleh agama.</p>
<p>Lebih jauh lagi, konsep kehidupan setelah kematian yang diajarkan agama semestinya membentuk pola pikir individu religius, bahwa kehidupan setelah kematian, jauh lebih penting dibandingkan kehidupan saat ini. </p>
<p>Oleh karena itu, menjadi tidak masuk akal bagi mereka untuk terlalu berorientasi pada pekerjaan (kehidupan saat ini) sehingga mengorbankan keluarga (yang lebih berarti untuk kehidupan setelah kematian).</p>
<p>Karena hasil survei mengungkapkan bahwa karyawan dari berbagai generasi menilai pentingnya memiliki keseimbangan pekerjaan-keluarga (dengan nilai yang sangat tinggi, di atas 90%), manajer perlu memastikan bahwa tuntutan pekerjaan tidak menghalangi karyawan untuk merawat hubungan baik mereka dengan keluarga.</p>
<p>Hasil riset ini juga mengisyaratkan bahwa orang Indonesia memang ingin membawa agama mereka ketika bekerja. Tempat kerja yang akomodatif untuk ekspresi keagamaan dapat menjadi salah satu fondasi yang baik dalam membangun hubungan harmonis antara karyawan dan pemberi kerja.</p>
<p>Terakhir namun tak kalah penting, mengingat keseimbangan antara kerja dan keluarga adalah manifestasi dari praktik keagamaan, kegagalan untuk mengakomodasi keseimbangan tersebut secara inheren menyalahi preferensi pribadi karyawan dan juga agama mereka.</p>
<h2>Persepsi berbeda antar-generasi</h2>
<p>Korelasi tertinggi antara religiusitas dan pentingnya WFB ditemukan pada generasi <em>Baby Boomer</em> (dengan usia antara 57 hingga 75 tahun), diikuti oleh generasi Y (25 - 40 tahun), dan terakhir, generasi X (usia antara 41 dan 56 tahun) dan Z (berusia hingga 24 tahun).</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/434069/original/file-20211126-19-uw5onl.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/434069/original/file-20211126-19-uw5onl.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=257&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/434069/original/file-20211126-19-uw5onl.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=257&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/434069/original/file-20211126-19-uw5onl.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=257&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/434069/original/file-20211126-19-uw5onl.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=323&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/434069/original/file-20211126-19-uw5onl.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=323&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/434069/original/file-20211126-19-uw5onl.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=323&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Persepsi WFB di berbagai generasi.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Penulis</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Tahapan karir yang dialami setiap generasi dapat menjelaskan hasil yang berbeda ini.</p>
<p>Kelompok yang paling tidak dipengaruhi oleh agama dalam menilai pentingnya keseimbangan pekerjaan-keluarga adalah generasi Z dan X.</p>
<p>Kedua generasi tersebut saat ini sedang mengalami perubahan ekonomi yang drastis. Sebuah konsepsi umum menyatakan bahwa <a href="https://www.pewforum.org/2018/06/13/why-do-levels-of-religious-observance-vary-by-age-and-country/">kondisi keuangan individu mempengaruhi tingkat religiusitas</a>: semakin maju ekonomi seseorang, semakin jauh individu tersebut dari agama.</p>
<p>Bagi generasi Z, bekerja merupakan pengalaman baru saat mereka mendapatkan gaji pertama, beralih status dari anggota keluarga yang menjadi tanggungan ke status pekerja muda yang mandiri.</p>
<p>Sementara itu, setelah bekerja selama beberapa waktu, generasi X umumnya akan mengalami lonjakan jabatan dan insentif ekonomi. Penjelasan tersebut juga menjelaskan sikap generasi Y. Generasi Y telah melewati euforia masa-masa awal menerima gaji sebagai individu yang produktif, tetapi belum sampai pada tahap melonjaknya tingkat finansial mereka.</p>
<p>Sedangkan sikap pada generasi <em>baby boomer</em> konsisten dengan banyak <a href="https://www.routledge.com/Aging-and-Spirituality-Spiritual-Dimensions-of-Aging-Theory-Research/Moberg/p/book/9780789009395">temuan penelitian</a>, semakin tua seseorang, semakin banyak mereka akan merujuk kepada agama dalam mengambil keputusan hidup (termasuk untuk karir mereka).</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/172618/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Jaya Addin Linando tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Keinginan orang-orang Indonesia untuk mencapai work and life balance berdasar pada pentingnya agama dalam kehidupan mereka.Jaya Addin Linando, Organizational behavior and human resources management lecturer-researcher, Universitas Islam Indonesia (UII) YogyakartaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1659062021-10-28T07:52:06Z2021-10-28T07:52:06ZGenerasi muda masih ingin jadi PNS, tapi minat mereka terancam pudar jika pemerintah tidak segera berbenah<p>Pendaftaran Seleksi Calon Aparatur Sipil Negara (CASN) secara resmi <a href="https://www.kompas.com/tren/read/2021/07/27/134700065/pendaftaran-ditutup-berikut-jadwal-lengkap-seleksi-cpns-2021?page=all">telah ditutup</a> untuk tahun ini pada akhir Juli kemarin.</p>
<p>Namun, jumlah total pendaftar tahun ini baru mencapai sekitar 4 juta orang – turun dari tahun lalu sekitar 4,2 juta orang. Angka ini <a href="https://www.kompas.id/baca/nusantara/2021/07/27/pendaftar-casn-2021-belum-memenuhi-target/">belum mencapai target</a> tahun ini dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) sekitar 5 juta pendaftar CASN yang terdiri dari pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).</p>
<p>Berbagai pihak mengatakan hal tersebut menandakan turunnya minat generasi muda pada karier dalam instansi pemerintahan.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/dcZHFJLKzZU?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
</figure>
<p>Beberapa media, misalnya, melaporkan bahwa tidak banyak Milenial muda dan Generasi Z yang menganggap karier PNS ideal untuk <a href="https://www.narasi.tv/narasi-newsroom/tumben-pendaftar-cpns-turun-kenapa-milenial-dan-gen-z-ogah">perkembangan profesional</a>. Mereka lebih menginginkan bekerja di <a href="https://bandung.bisnis.com/read/20190904/550/1144398/kadisnaker-kota-bandung-milenial-lebih-pilih-jadi-pengusaha-dibanding-pns">sektor swasta atau berbisnis</a>.</p>
<p>Apakah benar minat generasi muda pada karier PNS telah (atau berpotensi) menurun? Dan apa yang bisa dilakukan untuk mengembalikan minat mereka di masa depan?</p>
<h2>Masih stabil untuk sementara</h2>
<p>Menurut saya, minat generasi muda untuk berkarier sebagai PNS masih cenderung stabil – setidaknya untuk saat ini.</p>
<p>Terdapat dua kanal untuk menjadi PNS: pertama melalui seleksi <a href="https://sscasn.bkn.go.id/">CASN umum</a>, dan kedua melalui seleksi masuk <a href="https://dikdin.bkn.go.id/">sekolah kedinasan</a>. </p>
<p>Perbandingan pendaftar pada dua tahun terakhir dari kedua jenis jalur tersebut menunjukkan tren yang berbeda.</p>
<p>Jumlah total pendaftar CPNS umum, misalnya, seperti yang saya sampaikan sebelumnya, memang cenderung menurun.</p>
<p>Namun, kita juga perlu melihat bahwa ternyata, pendaftar di instansi dengan gaji yang tinggi menunjukkan peningkatan.</p>
<p>Misalnya, jumlah pendaftar CPNS umum untuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta – yang merupakan instansi dengan gaji bersih (<em>take home pay</em>) PNS <a href="https://money.kompas.com/read/2020/03/07/143757126/5-instansi-pns-dengan-tunjangan-tertinggi-siapa-juaranya?page=all">tertinggi kedua di Indonesia</a> – menunjukan tren kenaikan dari 50.528 orang pada tahun <a href="https://www.kompas.com/tren/read/2019/11/29/074945665/update-cpns-2019-5-juta-akun-10-instansi-dengan-pelamar-paling-sedikit?page=all">2019</a> menjadi 52.946 orang pada tahun <a href="https://nasional.tempo.co/read/1488340/instansi-dengan-jumlah-pelamar-terbanyak-dan-tersedikit-cpns-2021">2021</a>. </p>
<p>Sementara itu, pendaftar sekolah kedinasan juga mengalami kenaikan selama dua tahun terakhir. Pendaftar di tahun 2020 berjumlah 204.823 dan meningkat cukup drastis menjadi 286.287 pada tahun 2021.</p>
<p>Mengapa hal ini bisa terjadi?</p>
<p>Secara umum, sekolah kedinasan lebih memberikan kepastian karier dibandingkan CPNS umum. Lulusan sekolah kedinasan biasanya menawarkan jaminan posisi sebagai pimpinan di masa depan.</p>
<p>Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), tempat saya mengajar, misalnya, seringkali <a href="https://www.merdeka.com/peristiwa/wapres-jk-ingatkan-calon-pemimpin-lulusan-ipdn-tak-prioritaskan-daerah-sendiri.html">menghasilkan lulusan yang menjadi calon pemimpin</a> di level pemerintah daerah dan pemerintah pusat, khususnya Kementerian Dalam Negeri. </p>
<h2>Apakah tren ini akan bertahan?</h2>
<p>Meski demikian, sangat memungkinkan jika minat generasi muda untuk berkarier sebagai PNS mengalami penurunan di masa depan. </p>
<p>Komposisi pendaftar CPNS umum di tahun 2021 mencerminkan bahwa PNS kemungkinan bukan merupakan pilihan pertama para pendaftar. Sebagian besar lowongan PNS yang ada <a href="https://data-sscasn.bkn.go.id/spf">menuntut latar belakang pendidikan</a> yang saat ini prospek kariernya sebenarnya lebih menjanjikan daripada karier PNS – misalnya ekonomi, teknologi informasi, atau hukum. Ini berbeda, misalnya, dengan latar belakang pendidikan guru di mana PNS kerap dianggap menjadi capaian terbaik.</p>
<p>Selain itu, terdapat celah yang cukup besar antara minat pekerjaan dan karakteristik generasi muda dengan kondisi dan budaya kerja PNS.</p>
<p>Milenial muda dan Generasi Z cenderung meminati pekerjaan yang menawarkan <a href="https://gaya.tempo.co/read/1309843/alasan-jadi-pekerja-lepas-kian-diminati-generasi-milenial">fleksibilitas lokasi dan waktu kerja</a>, serta melakukan pekerjaan dengan <a href="https://tekno.kompas.com/read/2019/02/14/19530017/gen-z-indonesia-punya-minat-tinggi-untuk-berkarir-di-bidang-teknologi">dukungan teknologi yang canggih</a>. </p>
<p>Faktor-faktor lain seperti <a href="https://jurnal.ugm.ac.id/jurnalpemuda/article/view/45287">idealisme yang tinggi</a> terkait pekerjaan, dan <a href="https://jurnal.ugm.ac.id/jurnalpemuda/article/view/45287">karakter komunikasi kerja</a> yang terbuka, kritis, berani, serta menjunjung tinggi pola kerja yang melindungi hak pegawai akan sangat mempengaruhi minat karier mereka.</p>
<p>Kestabilan gaji beserta jam kerja yang santai, bukan lagi menjadi pertimbangan utama. Ini tergeser prioritas generasi muda yang lebih memilih <a href="https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/list/9acde-buku-profil-generasi-milenia.pdf">iklim kerja yang dinamis dan adaptif</a>, serta menawarkan ruang untuk mengembangkan diri dengan cepat.</p>
<p>Pandemi COVID-19 sendiri memang mendorong beberapa instansi seperti Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk menerapkan <a href="https://www.djkn.kemenkeu.go.id/berita/baca/20571/Flexible-Working-Space-Budaya-Kerja-Baru-kemenkeu-untuk-Tingkatkan-Produktivitas-dan-Kinerja-Organisasi.html">sistem kerja fleksibel</a> – misalnya kerja jarak jauh (<em>remote</em>) bagi jenis pekerjaan tertentu dan bagi pegawai dengan performa tinggi.</p>
<p>Namun, secara umum instansi lain belum memiliki sistem seperti itu. </p>
<p><a href="https://jdih.menpan.go.id/data_puu/PermenPANRB%206%20Tahun%202018.pdf">Dalam kondisi normal</a>, PNS wajib melakukan pekerjaan di kantor dari hari Senin sampai Jumat. Apabila menginginkan karier yang cemerlang, mereka harus siap sedia 24 jam, selama 7 hari, untuk sewaktu-waktu menerima perintah dari atasan.</p>
<p>Sistem kerja PNS juga biasanya <a href="https://www.tempo.co/abc/4859/pemerintah-jangan-paranoid-sikapi-dinamika-pns-larangan-nyinyir-di-medsos-secara-demokrasi-tidak-mendidik">tidak ramah terhadap pemikiran yang kritis, berani, dan terbuka di ruang publik</a>. Selain itu, komunikasi yang baik bisa jadi terjaga dalam lingkungan PNS, namun pelaksanaannya dilakukan secara <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/151184/permendes-pdtt-no-15-tahun-2020">berjenjang sesuai dengan hierarki organisasi</a>.</p>
<p>Misalnya, untuk menyampaikan usulan kepada pegawai Eselon 1, seseorang dengan jabatan fungsional muda (setingkat Eselon 4) membutuhkan persetujuan secara berjenjang dari pejabat fungsional madya (setingkat Eselon 3) dan kemudian Eselon 2.</p>
<p>Apabila seseorang merasa pekerjaan atau lingkungan kerja saat ini tidak sesuai dengan minat diri, mereka tidak serta merta dapat mengajukan mutasi ke instansi lain. Prosesnya pun <a href="https://www.bkn.go.id/wp-content/uploads/2019/04/PERATURAN-BKN-NO.-5-TAHUN-2019-TATA-CARA-PELAKSANAAN-MUTASI-update.pdf">membutuhkan waktu yang cukup panjang</a>.</p>
<p>Seorang PNS juga tidak bisa meraih <a href="http://www.djpk.kemenkeu.go.id/attach/post-pp-no-100-tahun-2000-tentang-pengangkatan-pegawai-negeri-sipil-dalam-jabatan-struktural/--256-291-PP100_2000.pdf">promosi jabatan</a> tanpa usulan dari atasan. Hal ini menjadi celah tumbuh suburnya budaya <a href="https://www.eastasiaforum.org/2021/05/13/patronage-is-politicising-indonesias-bureaucracy/">“patronase”</a> (balas budi atau favoritisme) dan <a href="http://digilib.ui.ac.id/detail?id=20511550&lokasi=lokal">politik kantor</a>. </p>
<p>Perbedaan <em>take home pay</em> antar instansi pemerintah pun masih tinggi.</p>
<p>Dalam hal ini, <em>take home pay</em> PNS terdiri dari <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20210222091641-4-225060/paling-besar-ini-rincian-gaji-dan-tunjangan-pns-dki">gaji pokok dan tunjangan</a>. Gaji pokok PNS di seluruh instansi besarannya sama, sementara angka tunjangan berbeda-beda tergantung kemampuan anggaran pemerintah pusat dan daerah, dan seberapa baik capaian instansi tersebut dalam <a href="https://www.menpan.go.id/site/berita-terkini/percepatan-reformasi-birokrasi-berpengaruh-pada-tunjangan-kinerja">indeks reformasi birokrasi</a>.</p>
<p><a href="https://money.kompas.com/read/2020/03/07/143757126/5-instansi-pns-dengan-tunjangan-tertinggi-siapa-juaranya?page=all">Kementerian Keuangan</a>, misalnya, berada di urutan pertama untuk tingkat gaji – untuk golongan III (lulusan S1-S3) menawarkan tunjangan hingga <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/41763/perpres-no-37-tahun-2015">Rp 46 juta</a> per bulan. Sementara institusi lainnya <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/97843/perpres-no-127-tahun-2018">maksimal Rp 9 juta</a>.</p>
<h2>Merombak iklim kerja birokrasi untuk mempertahankan minat generasi muda</h2>
<p>Saya menawarkan beberapa langkah untuk memperbaiki iklim kerja PNS yang cenderung kaku, dan kurang menarik bagi generasi muda.</p>
<p><strong>Pertama</strong>, iklim pekerjaan sebaiknya mengadopsi sistem lokasi dan waktu kerja fleksibel, serta didukung teknologi digital.</p>
<p>Harapannya, langkah ini – yang sudah diadopsi oleh banyak perusahaan bahkan hingga setelah pandemi – bisa membantu menciptakan iklim kerja di instansi pemerintah yang menarik minat pendaftar baru.</p>
<p>Tentu ini tidak berlaku bagi jabatan yang tidak dapat dilakukan dengan gaya tersebut – seperti jabatan Lurah, Camat, dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang harus siap sedia 24 jam. Generasi muda pasti bisa memahami bahwa esensi jabatan tersebut adalah melayani masyarakat.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, untuk mendukung langkah pertama, pemerintah perlu semakin gencar mendorong reformasi birokrasi di seluruh instansi pemerintahan. Patokan yang ideal, misalnya, adalah kualitas perampingan birokrasi yang berlangsung di tubuh Kemenkeu.</p>
<p>Jika reformasi birokrasi berlangsung merata antar lembaga negara, tunjangan kinerja pegawai akan meningkat dan semakin setara.</p>
<p>Pada akhirnya, hal ini akan memperkecil jarak <em>take home pay</em> antar instansi yang masih cukup lebar, sehigga bisa tetap menarik untuk generasi muda.</p>
<p><strong>Ketiga</strong>, setiap lembaga perlu menanamkan budaya kerja yang lebih menghargai ide dan keterbukaan pegawai.</p>
<p>Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) perlu punya peran lebih besar sebagai lembaga yang independen dan objektif dalam melaksanakan mutasi dan promosi PNS.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/165906/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Adfin Rochmad Baidhowah tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Apakah benar minat generasi muda pada karier PNS telah (atau berpotensi) menurun? Dan apa yang bisa dilakukan untuk mengembalikan minat mereka di masa depan?Adfin Rochmad Baidhowah, Lecturer at the Faculty of Politics and Governance; and Researcher at Lembaga Riset dan Kajian Strategis Pemerintahan, Institut Pemerintahan Dalam Negeri, Institut Pemerintahan Dalam NegeriLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1662472021-08-20T04:24:06Z2021-08-20T04:24:06ZSaat pekerjaan impianmu ternyata sebuah mimpi buruk<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/416474/original/file-20210817-14-uo3lm1.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=1348%2C40%2C5311%2C4406&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Para karyawan sering terkejut saat mendapati pekerjaan impian mereka ternyata melibatkan tugas-tugas kasar dan pekerjaan yang membosankan. Meskipun mereka perlu mengelola harapan mereka, pengusaha juga harus lebih jujur dalam menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di pekerjaan mereka.</span> <span class="attribution"><span class="source">(Unsplash)</span></span></figcaption></figure><p>Apa yang terjadi ketika Anda mendapatkan pekerjaan impian tapi ternyata tidak sesuai harapan?</p>
<p>Teman, konsultan karier, dan media membanjiri kita dengan rentetan nasihat yang terus-menerus mendukung kita untuk mengejar impian, menemukan kebahagiaan atas diri kita sendiri, atau mengejar <em>passion</em> kita dalam kehidupan profesional yang kelak ada. Namun saran semacam ini <a href="https://hbr.org/2019/10/3-reasons-its-so-hard-to-follow-your-passion">tidak selalu mudah diikuti</a>.</p>
<p>Bahkan ketika diperhatikan, saran itu bisa datang <a href="https://www.linkedin.com/pulse/perils-following-your-career-passion-adam-grant/">dengan kelemahan</a> yang mengikutinya, terutama ketika ternyata pekerjaan tersebut melibatkan pekerjaan yang mencangkup tugas rutin harian yang biasanya kurang disukai orang. Singkatnya, bekerja seringkali didefinisikan sebagai <em>bekerja keras</em>.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Seoarang pria menatap laptopnya" src="https://images.theconversation.com/files/399820/original/file-20210510-18-i3v0zu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=455%2C441%2C2292%2C1601&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/399820/original/file-20210510-18-i3v0zu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/399820/original/file-20210510-18-i3v0zu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/399820/original/file-20210510-18-i3v0zu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/399820/original/file-20210510-18-i3v0zu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/399820/original/file-20210510-18-i3v0zu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/399820/original/file-20210510-18-i3v0zu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Dalam memilih karier, kita dianjurkan untuk mengikuti <em>passion</em> kita. Tapi apa yang terjadi ketika pekerjaan yang Anda ajukan malah memerosokkan Anda dalam pekerjaan yang membosankan?</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Unsplash)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Contohnya orang-orang yang mendapatkan pekerjaan di bidang ilmu data dan kecerdasan buatan, mereka berharap dapat menciptakan algoritme brilian yang akan memecahkan masalah besar. </p>
<p>Tapi mereka malah berakhir dengan bekerja hanya untuk melakukan tugas-tugas menjenuhkan seperti pengumpulan dan pembersihan data kasar. Keinginan atas pekerjaan-pekerjaan di bidang teknologi kemudian meredup oleh hadirnya pekerjaan yang sulit dan membosankan yang seringkali berada di luar bidang minat utama pekerja.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/riset-tenaga-kesehatan-perempuan-himpitan-peran-gender-sangat-pengaruhi-karier-mereka-129219">Riset tenaga kesehatan perempuan: himpitan peran gender sangat pengaruhi karier mereka</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Dan tidak semua orang yang dipromosikan ke <a href="https://pubsonline.informs.org/doi/pdf/10.1287/orsc.2020.1361?casa_token=rFOnD_1WnQ0AAAAA:lTPqI9rZDYbfx6qfJ9L0UOIUCJvq2S2J3sEHThw_echvRECpKDtBiplObL85hMDHyV3huwBTVns">peringkat manajemen yang lebih tinggi</a> antusias untuk melakukan tugas manajemen, atau bahkan melihat pekerjaan itu sebagai sebuah langkah maju.</p>
<p>Orang-orang meromantisasi berbagai pekerjaan di media, mode, film, seni rupa dan pertunjukan, serta industri budaya lainnya, tapi pekerjaan itu sering kali berakhir lebih membosankan daripada glamor. Pekerjaan apa pun, terutama di posisi pemula, memiliki unsur pekerjaan yang membosankan.</p>
<h2>Pekerjaan prestisius tidak selamanya menyenangkan</h2>
<p>Kesenjangan antara ekspektasi dan kenyataan yang ada atas pekerjaan harian ini adalah fenomena yang kami namai sebagai “<em>glossy work</em>” atau pekerjaan polesan atau berkilau yang ternyata membosankan dalam <a href="https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=3243098">studi yang baru-baru ini diterbitkan</a>.</p>
<p>Dalam studi ini, kami mewawancarai pemeriksa fakta untuk sebuah majalah yang penuh glamor ternyata hanya menjalankan tugas mendasar setiap harinya. Mereka mengalami semacam ketidaksesuaian antara status pekerjaan mereka dan kenyataan yang ada.</p>
<p>Pemeriksa fakta tersebut menjelaskan:</p>
<blockquote>
<p>“Karena Anda berafiliasi dengan majalah, orang-orang berpikir Anda adalah seorang dengan tipe pekerjaan yang megah, tidak peduli bagaimana Anda sebenarnya berafiliasi di dalamnya.”</p>
</blockquote>
<p>Kami mempelajari bagaimana fenomena ini mempengaruhi mereka.</p>
<p>Bagi para karyawan, ketidaksesuaian pekerjaan berkilau dapat memacu upaya yang mengubah pekerjaan dan menciptakan frustrasi serta keinginan untuk cepat keluar dari posisi tersebut. </p>
<p>Pekerjaan polesan juga menimbulkan dilema tentang bagaimana pekerja dapat menghadirkan karya dan diri mereka kepada dunia. Bagaimana mereka menyeimbangkan kebutuhan mereka untuk meningkatkan diri, untuk sepenuhnya dipahami, dan menjadi otentik?</p>
<h2>Memoles pekerjaan yang membosankan dan biasa saja</h2>
<p>Kami menemukan mereka melakukan hal ini dengan membedakan deskripsi pekerjaan mereka di audiens yang berbeda. Ketika berbicara dengan orang asing — orang-orang di pertemuan sosial, misalnya — mereka fokus pada aspek yang lebih glamor: bekerja di jurnalisme dan untuk majalah yang masyhur.</p>
<p>Untuk penulis berstatus tinggi yang berkolaborasi dengan mereka, mereka fokus pada keahlian mereka sendiri dan pada berbagai faktor yang dapat meningkatkan status mereka. Sedangkan kepada orang dalam, mereka menyajikan pandangan yang lebih lengkap tentang pekerjaan mereka.</p>
<p>Menampilkan diri mereka secara berbeda – tergantung pada siapa mereka berbicara, dapat memberikan artian bahwa siapa pun yang bukan orang dalam di perusahaan akan berakhir dengan pandangan parsial atau bias tentang pekerjaan tersebut. Citra asli dari pekerjaan sering disamarkan, dan itu menjadi masalah bagi mereka yang sedang mempertimbangkan diri untuk mengajukan posisi pada pekerjaan ini.</p>
<p>Ketika mereka hanya mendengar tentang hal-hal yang megah, para calon karyawan akan berakhir dengan harapan palsu yang cenderung memicu siklus kekecewaan.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Seorang laki-laki mengacak-acak rambutnya dan terlihat gelisah saat di depan laptopnya" src="https://images.theconversation.com/files/399821/original/file-20210510-23-1mtyhor.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=6%2C125%2C1296%2C1241&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/399821/original/file-20210510-23-1mtyhor.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/399821/original/file-20210510-23-1mtyhor.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/399821/original/file-20210510-23-1mtyhor.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/399821/original/file-20210510-23-1mtyhor.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=504&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/399821/original/file-20210510-23-1mtyhor.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=504&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/399821/original/file-20210510-23-1mtyhor.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=504&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Jika Anda hanya menerima informasi-informasi <em>megah</em> atas suatu pekerjaan, pada akhirnya Anda hanya akan merasa kecewa.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Tim Gouw/Unsplash</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Para karyawan yang berpotensial dapat menyiasati penyamaran informasi ini dengan melakukan penelitian yang lebih cermat tentang hal mendasar atas opsi pekerjaan yang sedang mereka pertimbangkan. Mereka harus mengajukan pertanyaan tentang kegiatan sehari-hari dan berkonsultasi dengan berbagai orang yang saat ini memiliki pekerjaan serupa atau yang pernah memegang posisi tersebut sebelumnya.</p>
<h2>Apa yang pemberi kerja dapat lakukan</h2>
<p>“Pekerjaan polesan” juga menimbulkan kerugian bagi pemberi kerja karena mereka pun mencoba mengelola rasa frustrasi yang dialami para karyawannya dan juga kasus pergantian staf. Mereka dapat menghentikan lingkaran setan ini dengan memberikan pratinjau pekerjaan yang realistis. Ini tidak berarti mereka dituntut untuk menunjukkan sisi negatif dari pekerjaan, tapi perlu kiranya bagi mereka untuk memberikan keseimbangan penjelasan yang jujur baik dari pekerjaan ternama atau tidak terlalu ternama. </p>
<p>Pemberi kerja juga bisa mempertimbangkan metode <a href="https://pubsonline.informs.org/doi/pdf/10.1287/orsc.1110.0737?casa_token=5ERq-YaxCNEAAAAA:CjdUvUEscrReYnFEtDzUOIh0A8t_BUGIhl1eexc2PszP6FomEXgITCQ7ZKjiJ2McD4XM6dGl_6o">penghimpunan tugas</a> yang mana dapat menjadikan pekerjaan-pekerjaan tidak-terlalu-mengenakkan bisa terbagi rata kepada seluruh karyawan dari berbagai jenis posisi; tidak bertumpu pada posisi tertentu saja.</p>
<figure class="align-right ">
<img alt="Seorang perempuan tersenyum menatap laptopnya." src="https://images.theconversation.com/files/399841/original/file-20210510-5469-1g3ul69.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/399841/original/file-20210510-5469-1g3ul69.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=902&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/399841/original/file-20210510-5469-1g3ul69.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=902&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/399841/original/file-20210510-5469-1g3ul69.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=902&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/399841/original/file-20210510-5469-1g3ul69.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1133&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/399841/original/file-20210510-5469-1g3ul69.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1133&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/399841/original/file-20210510-5469-1g3ul69.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1133&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Mengizinkan karyawan untuk membantu menyusun deskripsi pekerjaan mereka dan menciptakan peluang baru dapat sangat membantu.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Unsplash)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Para pemberi pekerjaan juga kerap ingin menjadi terbuka atas usaha-usaha para karyawan untuk <a href="https://www.jstor.org/stable/pdf/259118.pdf?casa_token=a_IqF6V5AEYAAAAA:XVVLpcHX6P5VFG3sLkl8yPW6P74nusFnraA1HXixtE1iJz6HBBJPsoFmo8SCpJC3TlaAyQ7QIomvJ3BSEJyGMd-4Mt-87914zD-z2vnfGh9NrhkxM84">mengulik</a> pekerjaannya dan menciptakan peluang baru dengan organisasinya. </p>
<p>Namun, pada akhirnya melakukan banyak tugas rutin yang biasa-biasa saja acap kali tetap menjadi kenyataan di semua pekerjaan meski ada janji bahwa AI akan menghilangkan lebih banyak tugas-tugas rutin.</p>
<p>Terlebih lagi, manajer perekrutan harus berhati-hati saat mencantumkan narasi “<em>passion</em>” atau gairah sebagai persyaratan pekerjaan. Dalam analisis lebih dari 200 wawancara atas <a href="https://www.researchgate.net/project/Beyond-Warm-Bodies-The-Unintended-Consequences-of-Hiring">proyek tentang perekrutan startup</a>, gairah telah menjadi bahan diskusi yang sudah terlalu sering digunakan. Dalam mempekerjakan manajer, memang narasi gairah perlu ada karena posisi manajer membutuhkan hal itu. Sedang karyawan biasa yang potensial pastilah sudah mengasaskan gairah mereka.</p>
<p>Namun tidak satu pun dari manajer perekrutan yang sudah mencari gairah pada calon karyawan mereka dapat menjelaskan bagaimana mereka akan menilai gairah tersebut, atau menjelaskan seberapa penting eksistensi gairah atas pekerjaan tertentu. </p>
<p>Risikonya adalah mereka mempekerjakan orang-orang yang bersemangat dan kemudian memberikan pekerjaan yang tidak cocok dan kemudian memadamkan gairah itu, akhirnya menciptakan situasi bermasalah bagi kedua belah pihak karyawan dan perusahaan.</p>
<hr>
<p><em>Rachel Noorajavi menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/166247/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Suatu saat Anda berhasil mendapat pekerjaan impian Anda. Namun ternyata ia menjadi mimpi buruk dengan berbagai tugas menjenuhkan. Maka, apa yang dapat karyawan dan pengusaha lakukan?Lisa Cohen, Associate Professor, Business Administration, McGill UniversitySandra E. Spataro, Professor, Northern Kentucky UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1319242020-02-26T09:54:19Z2020-02-26T09:54:19ZMengapa menjadi cantik penting di media sosial<p>Belum lama ini sempat viral seorang pemilik toko tahu di kawasan Haji Nawi, Jakarta Selatan, yang <a href="https://kumparan.com/kumparannews/bertemu-amanda-penjual-tahu-kriuk-di-dekat-stasiun-mrt-yang-viral-1shokkpTBdM">dagangannya laris karena paras cantiknya</a>. Banyak orang beranggapan bahwa penampilan seseorang akan menentukan kesuksesan orang tersebut. </p>
<p>Dalam proses seleksi pekerjaan, <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0001879119300247?via%3Dihub">penampilan yang menarik terbukti bisa meningkatkan kemungkinan diterima bekerja</a>. Bahkan, seseorang dengan penampilan sesuai dengan keinginan perekrut <a href="https://www.mitpressjournals.org/doi/abs/10.1162/rest_a_00792">cenderung memiliki pendapatan yang lebih besar</a>.</p>
<p>Tampil menarik bagi semua orang adalah hal yang penting. Tidak hanya perempuan, tapi juga laki-laki. Lalu, mengapa perempuan berpenampilan menarik dengan karir seperti penjual tahu masih dianggap aneh?</p>
<p>Tampaknya di era digital seperti sekarang, media sosial memiliki peran penting dalam mengamplifikasi kesan tersebut.</p>
<h2>Cara pandang masyarakat</h2>
<p>Pembahasan yang ramai terkait perempuan penjual tahu berpenampilan cantik berasal dari adanya konstruksi gender pada masyarakat Indonesia yang memiliki nilai-nilai patriarkis yang kuat. Konstruksi gender dengan nilai patriarki yang kuat mengedepankan sudut pandang laki-laki dalam melihat suatu fenomena. </p>
<p>Hal ini menjelaskan mengapa yang ramai dibicarakan adalah perempuan yang berparas cantik bukan laki-laki yang tampan. </p>
<p>Sudut pandang patriarkis yang kuat ini juga dipengaruhi oleh adat, agama, kelas sosial, dan etnis. </p>
<p>Sejak kecil, orang tua sudah menanamkan pentingnya memuaskan sudut pandang laki-laki ini pada anak-anak. Hal ini mengapa berdandan menjadi sebuah keharusan bagi sebagian orang. </p>
<p>Cara pandang yang menghargai kecantikan mendorong tumbuhnya <a href="https://www.youtube.com/watch?v=e623lfn-bZs">industri fesyen dan kosmetik untuk menunjang penampilan</a>. Pada 2018 <a href="https://www.statista.com/statistics/297070/growth-rate-of-the-global-cosmetics-market/">industri kosmetik dunia bertumbuh sebesar 5,5%</a> dan <a href="https://www.mckinsey.com/%7E/media/McKinsey/Industries/Retail/Our%20Insights/The%20influence%20of%20woke%20consumers%20on%20fashion/The-State-of-Fashion-2019.ashx">persentase penjualan di industri fesyen dunia meningkat hingga 5%</a>. </p>
<p>Cara pandang yang menghargai kecantikan ini diperkuat dengan kehadiran media sosial. </p>
<p>Komentar yang mengapresiasi kecantikan seseorang dan mengaitkan dengan kesuksesannya sebelumnya hanya terbatas di kalangan tertentu. Dengan adanya media sosial, semua orang ikut membicarakannya. </p>
<h2>Peran internet</h2>
<p><a href="https://www.internetsociety.org/internet/history-internet/brief-history-internet/">Internet awalnya dipercaya bisa memberikan kesempatan yang sama dan lebih demokratis dibandingkan media lainnya</a>. Pertanyaannya adalah <a href="https://www.academia.edu/38149637/_at_NOTOFEMINISM_FEMINISTSAREUGLY_AND_MISANDRY_MEMES_How_Social_Media_Feminist_Humor_is_Calling_out_Antifeminism">apakah internet memberi ruang-ruang yang sama kepada setiap orang untuk memiliki kesempatan dan akses</a>.</p>
<p>Namun, sama seperti yang terjadi di dunia nyata, lewat media sosial masyarakat juga cenderung melihat seseorang lewat tampilan fisik. Media sosial berperan mendorong penyebaran cara pandang yang lebih menghargai penampilan ketimbang karya. </p>
<p>Media sosial juga cenderung memproyeksikan apa yang terjadi di masyarakat dan juga nilai-nilai yang dianut. Sehingga, ketika masyarakat mendukung keberadaan nilai-nilai patriarkis dengan kuat maka wacana yang dominan di media sosial juga merefleksikan kondisi ini.</p>
<p>Hal ini yang terjadi pada viralnya penjual tahu yang cantik. </p>
<p>Komentar tentang penjual tahu cantik, tidak lebih dari kenyataan tentang cara pandang laki-laki yang patriarkis. Bahkan, cara pandang tersebut dapat disebut bisa dikatakan seksis (diskriminasi yang diderita seseorang karena jenis kelaminnya). Dalam hal ini yang menderita tentu saja perempuan. </p>
<h2>Cara melawan nilai-nilai patriarkis</h2>
<p>Nilai-nilai patriarki tersebut merugikan perempuan karena tidak hanya berujung pada diskriminasi pada perempuan tapi juga membebani perempuan.</p>
<p>Beban ini bisa saja berupa kerugian material. Misalnya karena demi memuaskan pandangan laki-laki, maka perempuan harus mengeluarkan duit lebih untuk merias diri. </p>
<p>Bagaimana kita bisa mengatasinya?</p>
<p>Caranya adalah dengan mengakui bahwa laki-laki dan perempuan tidak berbeda. Mereka semua setara. </p>
<p>Pemahaman seperti ini bisa diberikan lewat pendidikan sehari-sehari di keluarga dan sekolah. Lewat pelajaran moral, orang tua dan guru bisa mengajarkan bahwa hak-hak perempuan dan laki-laki sama dan kita bisa menghargai orang apa adanya tanpa bergantung pada gender atau tampilan fisik semata.</p>
<p>Kita juga tidak perlu turut serta mengukuhkan keberadaan nilai-nilai patriarkis tersebut dalam media sosial. Dalam kasus penjual tahu yang cantik tersebut, kita tidak perlu ikut-ikutan memviralkan beritanya. </p>
<p><em>Nashya Tamara ikut berkontribusi dalam penerbitan artikel ini</em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/131924/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Widjajanti M. Santoso tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Penampilan perempuan yang dihargai di media sosial, membuktikan lingkungan sosial di dunia nyata dan maya sama-sama dipengaruhi oleh konstruksi feminitas.Widjajanti M. Santoso, Research at Research Center for Society and Culture, Indonesian Institute of Sciences (LIPI)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1318232020-02-14T07:13:43Z2020-02-14T07:13:43ZCo-working space: di balik revolusi dunia kerja<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/315446/original/file-20200214-10991-uh9ubx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Co-working space telah menjadi sebuah cara yang innovative untuk bekerja diluar kantor pusat tanpa menjadi bekerja sendiri di rumah.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/">(Shutterstock)</a></span></figcaption></figure><p><em>Co-working space</em> atau ruang kerja bersama telah menjamur di semua kota utama dunia selama 15 tahun terakhir. Tapi apa yang membuatnya populer? Mengapa dan kapan tempat kerja jenis ini muncul? Siapa anggotanya?</p>
<p>Teknologi baru seperti kecerdasan buatan dan robot telah mempengaruhi pola kerja perusahaan-perusahaan terkemuka. Pada saat yang sama, para pekerja menginginkan lebih banyak otonomi dan fleksibilitas. Banyak yang memilih pekerjaan lepas untuk membebaskan diri dari batasan-batasan organisasi dan menentukan di mana dan kapan mereka bekerja.</p>
<p><a href="https://www.puq.ca/catalogue/livres/repenser-travail-2799.html">Aspirasi pekerja dan perusahaan</a> pun turut berubah secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Banyak yang ingin bekerja dari rumah; ada pula yang ingin bekerja di luar kantor pusat perusahaan tapi masih bersama orang lain.</p>
<p>Sebagai spesialis di bidang sumber daya manusia dan sosiologi kerja, saya dan tim saya telah mengkaji ruang kerja bersama selama tiga tahun terakhir dan menemukan faktor-faktor utama yang membuat tempat tersebut menarik dan berhasil.</p>
<h2>Tempat yang netral dan terbuka</h2>
<p>Ruang kerja bersama, <em>fab labs</em> (konsep laboratorium yang berfungsi seperti bengkel), dan <em>living labs</em> (konsep ekosistem yang mendorong inovasi terbuka) juga disebut sebagai <a href="https://books.google.ca/books/about/The_Great_Good_Place.html?id=0aOjHGdSKLMC">tempat ketiga, sebuah tempat sosial yang bukan rumah maupun tempat kerja</a>. Sosiolog Amerika Serikat Ray Oldenburg menjabarkan tempat ini sebagai ruang kerja di luar kantor atau tempat kerja lainnya dan juga di luar rumah, atau yang biasanya dikenal sebagai <em>teleworking</em> atau <em>telecommuting</em>.</p>
<p>Tempat ketiga bersifat netral (bukan rumah maupun kantor), terbuka bagi semua, memiliki akses bebas dan tak terbatas (terutama dalam melakukan berbagai kegiatan). Ia seyogyanya memfasilitasi percakapan dan rapat serta menyediakan ruang rapat dan ruangan untuk istirahat, makan siang, dan makan malam. </p>
<p>Idealnya, ruangan ini digunakan secara berkala oleh pengguna-pengguna yang sama.</p>
<h2>Ruangan untuk berkolaborasi</h2>
<p>Ruang kerja bersama yang pertama dibangun pada 2005 di San Francisco dengan tujuan memudahkan penggunanya mengembangkan kreativitas, inovasi, dan gagasan mereka. </p>
<p>Jumlah ruang kerja bersama <a href="http://www.deskmag.com/en/coworking-space-members-how-when-why-are-people-working-in-coworking-spaces-statistics-market-report">saat ini ada lebih dari 14.000</a>. Ada yang sudah tutup tapi juga ada ruang baru yang muncul.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/308931/original/file-20200108-107219-1lj817a.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/308931/original/file-20200108-107219-1lj817a.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/308931/original/file-20200108-107219-1lj817a.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/308931/original/file-20200108-107219-1lj817a.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/308931/original/file-20200108-107219-1lj817a.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=565&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/308931/original/file-20200108-107219-1lj817a.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=565&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/308931/original/file-20200108-107219-1lj817a.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=565&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Ruang kerja bersama yang pertama pada 2005 ada di Silicon Valley, San Francisco.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Ruang kerja bersama menawarkan penggunanya untuk berbagi sebuah tempat dengan segala peralatan yang dapat ditemukan di kantor (mesin <em>photo copy</em>, mesin cetak, mesin pemindai). Para pekerja dapat memanfaatkan peralatan tersebut dan membagi pengeluaran terkait sebagai pengganti biaya sewa mingguan atau bulanan.</p>
<p>Kantor dapat berada di area terbuka untuk meningkatkan kemungkinan perjumpaan yang bersifat kebetulan. Hal ini lebih disukai para pekerja lepas, sementara UMKM atau perusahaan rintisan biasanya lebih memilih kantor yang tertutup untuk alasan kerahasiaan. Kedua jenis kantor tadi dapat berada di sebuah ruang kerja bersama, yang membantu mengurangi keterasingan <a href="https://journals.openedition.org/tem/4200">melalui keberadaan dapur atau mesin kopi, di tempat para pekerja berkumpul</a>.</p>
<p>Dengan demikian, ruang kerja bersama telah menjadi solusi inovatif atas keinginan untuk bekerja dari sebuah kantor tanpa perlu merasa kesepian di rumah. Ia juga lebih menarik bagi pekerja lepas yang lebih memilih untuk bekerja di sebuah ruangan terdapat pekerja-pekerja lain.</p>
<h2>Membantu perluasan jaringan</h2>
<p>Idealnya, sebuah ruang kerja bersama tidak hanya terbatas pada pembagian biaya atau layanan yang ditawarkan. Ia seharusnya juga menjadi tempat untuk berbagi gagasan dan mengembangkan jaringan, dan anggotanya dapat mengembangkan kerja sama profesional.</p>
<p>Beberapa ruang kerja bersama mempertemukan pekerja di bidang-bidang tertentu, dari sektor atau koneksi profesional yang sama. Prinsip ruang kerja bersama adalah menyewakan ruang kerja, dengan tujuan mengurangi biaya, serta mendukung perluasan jaringan dan pertukaran gagasan.</p>
<p>Untuk mengembangkan kolaborasi seperti ini, orang-orang harus menemukan minat yang sama untuk mendukung pertukaran tersebut. Ada ruang kerja bersama yang menekankan kedekatan misi atau bidang (misalnya, diisi oleh semua perusahaan yang bergerak di sektor ekonomi sosial), yang dapat meningkatkan minat anggotanya atau keinginan untuk bekerja sama di antara mereka.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/308935/original/file-20200108-107249-1c8c8pb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/308935/original/file-20200108-107249-1c8c8pb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/308935/original/file-20200108-107249-1c8c8pb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/308935/original/file-20200108-107249-1c8c8pb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/308935/original/file-20200108-107249-1c8c8pb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/308935/original/file-20200108-107249-1c8c8pb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/308935/original/file-20200108-107249-1c8c8pb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Perancang ruang kerja bersama mendesain ruang untuk berbagi agar penggunanya dapat melakukan perjumpaan-perjumpaan yang bersifat kebetulan.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Dengan bekerja bersama di ruangan yang sama, pengguna dapat menemukan solusi bersama untuk mendukung kegiatan berbagi pengetahuan dan dalam menghadapi lingkungan yang semakin bersaing. Meski beberapa pekerja lepas lebih senang bekerja sendiri, mereka masih dapat berjumpa dengan orang lain saat istirahat atau makan siang. Pada saat seperti itu terkadang mereka juga menemukan gagasan dan jaringan melalui kegiatan dan pertukaran tersebut.</p>
<p>Tidak ada strategi yang pasti untuk mendukung interaksi, tapi banyak ruang kerja bersama mempekerjakan fasilitator yang bertugas secara spesifik memastikan penggunanya mengenal satu sama lain dan kemungkinan bekerja bersama-sama dalam suatu proyek.</p>
<p>Penelitian kami menekankan pentingnya keberadaan akses finansial, peralatan, dan tenaga kerja, terutama yang mendukung keaktifan. Ruang kerja bersama yang dibangun tanpa hal-hal tadi lebih kecil kemungkinannya dapat mendukung kegiatan berbagi pengetahuan, <a href="https://www.cairn.info/revue-journal-of-innovation-economics-2019-0.htm">kolaborasi, dan bahkan kesinambungan dari ruang kerja bersama itu sendiri</a>.</p>
<h2>Kenyataan yang beragam</h2>
<p>Ruang kerja bersama tumbuh subur di penjuru dunia, tapi masing-masing menghadapi kenyataan yang berbeda. Tergantung pada kota atau wilayah mana ruang kerja bersama itu berada, jumlah pengguna, pekerja lepas atau UMKM atau perusahaan rintisan pun berbeda, <a href="https://www.puq.ca/catalogue/livres/tiers-lieux-3590.html">masing-masing dengan tujuan yang berbeda mengapa mereka memutuskan memulai usaha atau bekerja di sana</a>.</p>
<p>Ruang kerja berama dapat digunakan oleh mereka yang menginginkan alamat kerja yang lebih profesional daripada rumah pribadi untuk bertemu klien. Selain itu, ruang kerja bersama biasanya juga memiliki ruang rapat yang besar, yang menawarkan suasana yang lebih formal untuk mengadakan pertemuan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/workers-in-the-gig-economy-feel-lonely-and-powerless-127188">Workers in the gig economy feel lonely and powerless</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Beberapa penggunan ruang kerja bersama dapat memanfaatkan tempat ini untuk mengurangi biaya, berbagi sumber daya manusia (staf administratif) atau peralatan (mesin cetak, mesin <em>photo copy</em>, ruang rapat) atau untuk alasan kenyamanan dan ketersediaan fasilitas (dapur umum, mesin kopi yang berfungsi, sofa dan kursi yang nyaman).</p>
<h2>Takut bersaing</h2>
<p>Terkadang sulit untuk berinteraksi dengan kolega yang bekerja di bidang yang sama. Ada yang menganggap mereka sebagai pesaing yang dapat membajak pelanggan. Beberapa ruang kerja bersama menolak calon anggota yang dapat dipandang sebagai pesaing oleh anggota lainnya.</p>
<p>Kolaborasi tidak selalu terjadi di ruang kerja bersama. Meski kolaborasi kerap ditawarkan sebagai nilai jual, belum ada penelitian yang menunjukkan keunggulan ruang kerja bersama dalam mendukung kolaborasi. Hal ini perlu ditinjau lebih lanjut.</p>
<p>Kedekatan fisik tidak bermakna akan berdampak pada kedekatan profesional mengingat beberapa orang lebih senang bekerja sendiri. Misalnya, kami telah mengamati ruang kerja bersama yang ingin mengkhususkan dirinya pada sektor tertentu, seperti sektor budaya atau ekonomi sosial, tapi nyatanya mereka sangat sedikit atau bahkan tidak mendapat anggota yang bergerak di bidang tersebut.</p>
<p>Sekalipun wacana atau tujuan dari masing-masing ruang kerja bersama berbeda, kebanyakan manajer ruang kerja bersama pada akhirnya mengakomodasi semua jenis pekerja. Sebuah penelitian yang baru-baru ini dilakukan menunjukkan bahwa tanpa visi yang inklusif, bisa jadi tidak ada cukup klien yang dapat membuat suatu ruang kerja bersama bertahan, terutama di kota-kota kecil atau di pinggiran perkotaan.</p>
<p>Ruang kerja bersama dapat mendorong kreativitas, inovasi, inisiatif, dan rasa menjadi bagian dari suatu komunitas yang sama, tapi hal ini tidak mutlak. </p>
<p>Pertukaran dan kolaborasi lebih mudah dilakukan bagi sesama pekerja lepas daripada dengan pekerja dalam suatu perusahaan yang sama, yang cenderung berkumpul dengan sesamanya di sebuah ruang kerja bersama. Pertukaran kerap dapat dibantu berkat keberadaan fasilitator.</p>
<p>Dengan demikian, ruang kerja bersama adalah ruang yang beragam dan menciptakan kesempatan untuk berkolaborasi, tapi juga memiliki tantangannya sendiri (laba, kegiatan pertukaran). Apa pun itu, minat akan ruang seperti ini ada di semua kota utama dunia dan juga di banyak kota kecil. Ini jelas merupakan cara bekerja yang baru, yang menawarkan pertukaran, kolaborasi, dan jejaring.</p>
<p><em>Bram Adimas Wasito menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/131823/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Diane-Gabrielle Tremblay tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Sejak diluncurkan pada tahun 2005 co-working space telah menjadi tempat yang populer, tapi apakah ruangan ini benar-benar bermanfaat?Diane-Gabrielle Tremblay, Professeure à l'Université TELUQ, Université du Québec, directrice de l'ARUC sur la gestion des âges et des temps sociaux et de la Chaire de recherche du Canada sur l'économie du savoir, Université TÉLUQ Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1202912019-07-17T06:08:22Z2019-07-17T06:08:22ZRobot perlu belajar dari anak-anak agar bisa merawat orang tua mereka pada usia senja<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/284041/original/file-20190715-173334-1j3hnhs.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C4045%2C2054&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Anak cerdas melawan iCub. iCub mempelajari cara anak bermain.</span> <span class="attribution"><span class="source">Sandy Spence</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0/">CC BY-NC</a></span></figcaption></figure><p>Tidak lama lagi, robot mungkin akan berada di rumah untuk merawat orang tua dan membantu mereka hidup mandiri. Untuk melakukannya, mereka harus belajar bagaimana melakukan semua pekerjaan kecil yang mungkin bisa kita lakukan tanpa berpikir. Banyak sistem kecerdasan buatan atau <em>(Artificial Intelligence)</em> (AI) modern dilatih untuk melakukan tugas tertentu dengan menganalisis ribuan gambar dari tindakan yang dilakukan. Meskipun teknik ini membantu menyelesaikan masalah yang semakin kompleks, teknik yang dimaksud masih fokus pada tugas yang sangat spesifik dan untuk melatihnya dibutuhkan banyak waktu dan tenaga.</p>
<p>Jika robot ingin dibuat agar membantu kita merawat orang tua, maka berbagai masalah yang akan ditemui. Selama sehari, robot mungkin diharapkan melakukan segalanya mulai dari membuat secangkir teh hingga mengganti tempat tidur sambil mengajak obrol. Ini semua adalah tugas yang menantang dan akan lebih menantang ketika dilakukan bersamaan. </p>
<p>Kondisi rumah tiap orang berbeda-beda, yang berarti robot harus belajar dengan cepat dan beradaptasi dengan lingkungannya. Misalnya benda-benda yang Anda butuhkan tidak akan selalu ditemukan di tempat yang sama. Robot harus berpikir keras untuk menemukan mereka.</p>
<p>Salah satu pendekatan yang dilakukan adalah mengembangkan robot yang mampu belajar seumur hidup dan dapat menyimpan pengetahuan berdasarkan pengalaman, dan mencari cara untuk beradaptasi dan menerapkannya pada masalah baru. Setelah belajar membuat secangkir teh, keterampilan yang sama bisa diterapkan untuk membuat kopi.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/280697/original/file-20190621-61743-17r9tqw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/280697/original/file-20190621-61743-17r9tqw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/280697/original/file-20190621-61743-17r9tqw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/280697/original/file-20190621-61743-17r9tqw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/280697/original/file-20190621-61743-17r9tqw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/280697/original/file-20190621-61743-17r9tqw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/280697/original/file-20190621-61743-17r9tqw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Melipat handuk - tidak semudah itu dilakukan bila Anda adalah robot.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/robotic-arm-holds-terry-towels-bar-1286298154?src=2KWq8p8yNaGVkxYt5OLBcw-1-4&studio=1">Tanja Esser/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Agen pembelajaran terbaik yang diketahui para ilmuwan adalah pikiran manusia, yang mampu belajar sepanjang hidupnya. Manusia dapat beradaptasi dengan lingkungan yang kompleks dan selalu berubah serta memecahkan berbagai masalah setiap hari. </p>
<p>Melihat bagaimana manusia belajar dapat membantu mengembangkan robot yang berinteraksi secara alami, hampir seperti kita berinteraksi dengan orang lain.</p>
<h2>Simulasi perkembangan seorang anak</h2>
<p>Pertanyaan pertama yang diajukan ketika mulai membuat model manusia adalah dari mana harus memulainya? <a href="https://theconversation.com/uk/topics/alan-turing-2078">Alan Turing</a>, ahli matematika dan pemikir terkenal tentang kecerdasan buatan <a href="https://academic.oup.com/mind/article/LIX/236/433/986238">pernah berkata</a>:</p>
<blockquote>
<p>Alih-alih mencoba membuat program untuk mensimulasikan pikiran orang dewasa, mengapa tidak mencoba membuat program yang mensimulasikan anak? Jika program ini kemudian diberikan program pendidikan yang tepat, kita akan mendapatkan otak orang dewasa.</p>
</blockquote>
<p>Dia menganalogikan otak anak dengan buku catatan kosong yang dapat diisi melalui pendidikan untuk mengembangkan “sistem” dewasa yang cerdas. Tetapi berapa usia anak manusia yang harus dicoba oleh para ilmuwan untuk dijadikan model dan dipasang pada robot? Jenis pengetahuan dan keterampilan apa yang dibutuhkan robot untuk pengembangan awal?</p>
<p>Bayi yang baru lahir sangat terbatas dalam melakukan dan merasakan berbagai hal. Kekuatan otot di leher bayi tidak cukup untuk menopang kepala dan mereka belum belajar mengendalikan lengan dan anggota badan mereka.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/280699/original/file-20190621-61767-1q9x5h9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/280699/original/file-20190621-61767-1q9x5h9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=437&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/280699/original/file-20190621-61767-1q9x5h9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=437&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/280699/original/file-20190621-61767-1q9x5h9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=437&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/280699/original/file-20190621-61767-1q9x5h9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=549&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/280699/original/file-20190621-61767-1q9x5h9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=549&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/280699/original/file-20190621-61767-1q9x5h9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=549&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Kemampuan bayi yang baru lahir terbatas karena kondisi tubuh mereka, tapi ini membantu mereka fokus pada peningkatan kinerja tugas-tugas kecil secara bertahap.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/new-born-baby-boy-resting-mothers-663728050?src=OzwG6NCaqUhTAnenzgOhGw-1-5&studio=1">KieferPix/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Memulainya ketika manusia berusia nol bulan mungkin terlihat sangat terbatas untuk robot, tapi keterbatasan fisik pada bayi sebenarnya membantunya untuk fokus pada sekelompok kecil masalah, seperti belajar mengkoordinasikan matanya dengan apa yang didengar dan dilihatnya. Langkah-langkah ini membentuk tahap awal bagi bayi untuk membangun model tubuhnya sendiri, sebelum mencoba memahami dunia yang kompleks di sekitarnya.</p>
<p>Kami memberikan serangkaian keterbatasan kepada robot dengan mengunci berbagai sendi agar tidak dapat digerakkan untuk mensimulasikan tidak adanya kontrol otot. Kami juga menyesuaikan gambar dari penglihatan kamera robot untuk “melihat” dunia layaknya bayi yang baru lahir, yakni dengan memiliki pandangan yang jauh lebih buram daripada orang dewasa. Daripada memberi tahu robot cara bergerak, kita bisa membiarkannya menemukan caranya sendiri. Manfaatnya, saat kalibrasi berubah seiring waktu, atau saat anggota tubuh rusak, robot akan dapat beradaptasi dengan perubahan tersebut dan terus beroperasi.</p>
<h2>Belajar melalui permainan</h2>
<p>Studi kami menunjukkan bahwa dengan menerapkan batasan-batasan ini pada robot, robot tidak hanya menjadi lebih cepat menyerap pengetahuan dan cepat belajar keterampilan baru, tapi juga pada <a href="https://link.springer.com/article/10.2478/s13230-013-0103-y">lebih akurat dari apa yang dipelajari</a>.</p>
<p>Ketika kita menghilangkan batasannya, misalnya dengan memberikan kemampuan kepada robot untuk lebih bisa mengontrol persendiannya dan meningkatkan penglihatannya, <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/1059712307082085">robot dapat mengontrol kecepatan pembelajarannya sendiri</a>. Dengan mengangkat batasan ketika robot dalam proses pembelajaran, kita dapat mensimulasikan pertumbuhan otot pada bayi dan memungkinkan robot menjadi dewasa dengan kecepatannya sendiri.</p>
<p><a href="https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fnbot.2014.00001/full">Kami memodelkan bagaimana seorang bayi belajar</a> dan mensimulasikan 10 bulan pertama pertumbuhan. Ketika robot mempelajari korelasi antara gerakan motorik yang mereka buat dan informasi sensorik yang mereka terima, perilaku stereotip yang diamati pada bayi, seperti ketika anak-anak menatap tangan mereka dengan lama sambil digerakkan, juga terlihat dalam perilaku robot.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/280702/original/file-20190621-61747-1pddboe.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/280702/original/file-20190621-61747-1pddboe.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/280702/original/file-20190621-61747-1pddboe.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/280702/original/file-20190621-61747-1pddboe.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/280702/original/file-20190621-61747-1pddboe.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/280702/original/file-20190621-61747-1pddboe.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/280702/original/file-20190621-61747-1pddboe.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Anak-anak belajar melalui permainan. Robot bisa belajar dengan cara yang sama.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/asian-boy-about-2-year-5-1170468457?src=BeLiJI5uoN1xqGyTiDoWDA-1-9&studio=1">BonNontawat/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Ketika robot belajar untuk mengkoordinasikan tubuhnya sendiri, proses penting berikutnya adalah mulai memahami dunia di sekitarnya. <a href="https://www.frontiersin.org/research-topics/5527/modeling-play-in-early-infant-development#overview">Bermain adalah bagian utama dari pembelajaran anak</a>. Ini membantu mereka menjelajahi lingkungan mereka, menguji berbagai kemungkinan, dan mempelajari hasilnya.</p>
<p>Mungkin berawal dari sesuatu yang sederhana seperti membenturkan sendok ke meja, atau mencoba untuk meletakkan berbagai benda di mulut, tapi perilaku ini dapat berkembang menjadi aktivitas membangun menara balok, mencocokkan bentuk, atau memasukkan benda ke lubang yang benar. Semua kegiatan ini membangun pengalaman yang akan memberikan landasan bagi keterampilan di kemudian hari, seperti menemukan kunci yang tepat untuk dimasukkan ke dalam kunci dan keterampilan motorik halus untuk memasukkan kunci ke dalam lubang kunci kemudian memutarnya.</p>
<p>Ke depannya, membangun teknik-teknik ini dapat memberi robot sarana untuk belajar dan beradaptasi dengan lingkungan dan tantangan kompleks yang diterima manusia dalam kehidupan sehari-hari. Suatu hari nanti, ini bisa berarti adanya pengasuh robot yang menyesuaikan dengan kebutuhan manusia dan mampu memenuhi kebutuhan mereka sebagai manusia lain.</p>
<p><em>Las Asimi Lumban Gaol menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/120291/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Patricia Shaw menerima dana dari Engineering and Physical Sciences Research Council. Ia adalah anggota BCS.</span></em></p>Mengajarkan robot untuk merawat kita di usia senja akan menjadi bagian dari permainan anak.Patricia Shaw, Lecturer in Computer Science, Aberystwyth UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1103602019-01-29T08:54:33Z2019-01-29T08:54:33ZBekerja dari rumah ternyata membawa dampak buruk bagi para pekerja<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/255108/original/file-20190123-135154-6let7a.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=1%2C0%2C997%2C636&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Bekerja dari rumah berarti membawa sebagian bobot pekerjaan Anda ke rumah.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://images.theconversation.com/files/253605/original/file-20190114-43535-i3yz5h.jpg">shutterstock.com</a></span></figcaption></figure><p>Bagaimana jika Anda tidak memiliki keharusan untuk bekerja di kantor?</p>
<p>Anda dapat mengurus anak-anak Anda saat libur sekolah. Anda juga tidak perlu bermacet-macetan. Atasan Anda juga dapat diuntungkan dengan adanya <a href="https://academic.oup.com/qje/article-abstract/130/1/165/2337855">peningkatan produktivitas, berkurangnya karyawan yang berhenti bekerja, serta berkurangnya biaya yang dikeluarkan untuk sewa kantor</a>. Namun, bekerja di rumah juga membawa beberapa kerugian.</p>
<p>Pada tahun 2010, di Australia, sebagai bagian dari upaya untuk mengembangkan jaringan internet di tingkat nasional, pemerintahan Perdana Menteri Julia Gillard menetapkan target agar masyarakatnya bekerja dari rumah dengan memanfaatkan jaringan internet (<em>teleworking</em>) dengan harapan Australia dapat melakukan <a href="http://apo.org.au/system/files/155366/apo-nid155366-737706.pdf">penghematan ekonomi</a> sebesar A$1,4 miliar (Rp 14 triliun) hingga $1.9 miliar setiap tahunnya jika 10% dari pekerja bekerja dari rumah separuh waktu.</p>
<p>Pemerintahan selanjutnya meninggalkan ide tersebut. Laman <a href="http://www.billshorten.com.au/launch_of_national_teleworkweek">www.telenetwork.gov.au</a> sudah tidak lagi dapat diakses, selain itu saat ini sudah tidak lagi ditemukan data statistik yang dapat dipercaya mengenai <em>teleworking</em>.</p>
<p>Sekalipun demikian, ide tentang <em>teleworking</em> tetap menarik untuk ditelusuri.</p>
<h2>Ini terlihat seperti ide yang baik</h2>
<p>Beberapa penelitian menemukan bahwa bekerja dari rumah <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/1529100615593273">mengurangi</a> kepenatan yang diakibatkan oleh waktu perjalanan dari dan ke kantor, kemacetan, dan dampak lingkungan lainnya. Secara global, semakin banyak pemberi kerja yang mengizinkan karyawannya bekerja secara <em>teleworking</em> <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/1529100615593273">untuk menarik dan mempertahankan stafnya</a>.</p>
<p>Sedangkan para pekerja, terutama generasi milenial, <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/1529100615593273">memandang <em>teleworking</em></a> sebagai upaya untuk menciptakan keseimbangan antara hidup dan pekerjaan.</p>
<p>Kantor, juga seakan telah menjadi mimpi buruk bagi sebagian orang. Beberapa <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0272494413000340">penelitian</a> menemukan bahwa karyawan yang bekerja di kantor dengan desain kantor terbuka (<em>open-plan offices</em>) yang modern merasa sangat terganggu dengan kebisingan dan interupsi-interupsi yang tak berkesudahan yang menyebabkan mereka tidak dapat berkonsentrasi </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/akan-terlihat-seperti-apakah-bekerja-pada-tahun-2030-110434">Akan terlihat seperti apakah bekerja pada tahun 2030?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Dalam riset saya mengenai tempat kerja, para karyawan sering berkata kepada saya bahwa <a href="https://theconversation.com/a-new-study-should-be-the-final-nail-for-open-plan-offices-99756">mereka harus berkerja dari rumah untuk dapat menyelesaikan pekerjaannya</a>.</p>
<p><a href="https://academic.oup.com/qje/article-abstract/130/1/165/2337855">Penelitian lainnya</a> mendukung temuan ini. Sebuah <a href="https://academic.oup.com/qje/article-abstract/130/1/165/2337855">penelitian</a> yang dilakukan selama dua tahun dengan menggunakan sampel dari dua kelompok yang dibentuk secara acak menemukan bahwa terdapat kenaikan produktivitas sebesar 13%. Penelitian ini juga menemukan bahwa kecenderungan karyawan untuk pindah kerja pada karyawan yang bekerja di rumah menurun sekitar 50% dan mereka (para karyawan yang bekerja di rumah) mengambil lebih sedikit cuti. Selain itu, perusahaan menghemat sekitar US$2.000 (Rp 28 juta) untuk biaya sewa kantor per karyawan.</p>
<p>Alasan-alasan tersebut cukup memberikan alasan bagi pemberi kerja untuk membebaskan karyawannya bekerja dari rumah bagi mereka yang dapat melakukannya. Namun sebuah temuan penting dalam penelitian yang sama memberikan sebuah peringatan tentang bahaya <em>teleworking</em>.</p>
<p>Lebih dari setengah partisipan yang bekerja dari rumah merasa sangat terisolasi sehingga mereka <a href="https://academic.oup.com/qje/article-abstract/130/1/165/2337855">mengubah pikirannya</a> untuk bekerja dari rumah setiap saat.</p>
<h2>Tunggu sampai Anda merasakannya…</h2>
<p>Ini ternyata bukan hanya masalah perasaan terisolasi dan kesepian</p>
<p>Sebuah riset juga menemukan bahwa bahwa bekerja dari rumah memberikan pengaruh buruk bagi <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/1529100615593273">kekompakan tim dan inovasi</a>.</p>
<p>Pada tahun 2013, direktur eksekutif Yahoo, Marissa Mayer, <a href="https://www.theguardian.com/technology/2013/feb/25/yahoo-chief-bans-working-home">melarang karyawannya untuk bekerja dari rumah</a>. Mayer mengatakan, “untuk menjadi sebuah tempat kerja yang baik, komunikasi dan kolaborasi sangatlah penting, jadi kita harus bekerja berdampingan. Itulah mengapa kehadiran kita semua di kantor sangatlah penting.” </p>
<p>Sejak saat itu, beberapa perusahaan besar lainnya telah mengikuti pandangan Mayer, termasuk <a href="https://www.nbcnews.com/business/business-news/ibm-tells-it">Bank of America dan IBM</a></p>
<p>Berbeda dengan pandangan umumnya, penelitian menunjukkan bahwa meski pun ketersediaan laptop dan perangkat kerja jarak jauh lainnya semakin banyak, justru kedekatan fisik menjadi lebih penting.</p>
<p>Sebuah penelitian menunjukkan bahwa para pekerja yang berbagi kantor secara fisik memiliki 20% lebih besar <a href="https://hbr.org/2014/10/workspaces-that-move-people">kemungkinan untuk berhubungan secara digital</a> dibandingkan para pekerja yang bekerja jarak jauh. Karyawan yang bekerja di kantor yang sama melakukan komunikasi melalui surat elektronik kepada karyawan lainnya empat kali lebih sering dibanding dengan karyawan yang tidak bekerja di kantor. Sebagai hasilnya, para karyawan yang bekerja di kantor yang sama ini dapat menyelesaikan sebuah proyek 32% lebih cepat dibanding dengan karyawan yang bekerja jarak jauh. </p>
<p><a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S026323731300159X">Penelitian lainnya</a> menemukan bahwa interaksi tatap muka penting untuk mengidentifikasi peluang untuk melakukan kolaborasi, dan mengembangkan relasi serta jaringan.</p>
<p><a href="http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---dgreports/---dcomm/---publ/documents/publication/wcms_544138.pdf">Penelitian</a> lainnya tentang pekerja yang bekerja dari rumah di 15 negara menemukan bahwa 42% dari mereka memiliki kesulitan untuk tidur, dan sering terbangun pada malam hari bila dibandingkan dengan hanya 29% bagi pekerja yang bekerja di kantor.</p>
<iframe src="https://datawrapper.dwcdn.net/ZABfv/1/" scrolling="no" frameborder="0" width="100%" height="300"></iframe>
<p>Sekitar 41% pekerja yang bekerja di rumah hampir selalu merasa tertekan dibandingkan dengan hanya 25% karyawan yang bekerja di kantor fisik.</p>
<p>Tekanan itu kebanyakan dilatarbelakangi oleh tuntutan untuk terus menerus terhubung dengan perangkat seluler, yang biasanya disimpan dekat dengan tempat tidur, belum lagi tantangan lainnya dari bekerja di rumah. </p>
<p>Melacak kolega agar proyek tetap berjalan dan mencoba melakukan pertemuan daring (<em>online</em>) dengan dikelilingi oleh anak-anak, anjing yang menggonggong atau gangguan lainnya, tidaklah semudah yang terlihat.</p>
<iframe src="https://datawrapper.dwcdn.net/k3pQr/1/" scrolling="no" frameborder="0" width="100%" height="300"></iframe>
<p>Mungkin tidaklah aneh jika <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0001879107000681">penelitian</a> lainnya menemukan bahwa alih-alih membantu, bekerja dari rumah cenderung mengganggu kehidupan keluarga.</p>
<p>Penelitian lainnya menunjukkan bahwa orang yang berulang kali tidak bisa hadir secara fisik di kantor dapat terhambat karirnya. Mereka bisa tidak mendapatkan kesempatan mendapatkan proyek baru atau promosi jabatan. “Tidak terlihat” juga dapat berarti “tidak ada dalam pikiran”.</p>
<h2>Untuk sebagian orang, pilihan terbaik adalah menjalaninya dengan seimbang</h2>
<p>Terdapat alasan yang kuat dan berbasis bukti untuk bekerja dari rumah maupun bekerja di kantor secara fisik. Jadi, mana pilihan yang terbaik?</p>
<p>Satu hal yang pasti adalah para pekerja tidak boleh dipaksa untuk bekerja dari rumah karena kantor terlalu berisik bagi mereka untuk berkonsentrasi.</p>
<p>Para pemberi kerja harus memastikan bahwa tempat kerjanya telah didesain secara efektif untuk jenis pekerjaan yang harus dikerjakan, juga untuk tipe orang yang melakukan pekerjaan tersebut.</p>
<p>Akses terhadap kerja yang fleksibel, termasuk mendapatkan kesempatan untuk bekerja dari rumah, penting. Namun hal tersebut harus diimbangi dengan interaksi tatap muka.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/anda-kecanduan-gawai-bagai-zombi-ini-beberapa-fitur-untuk-menghentikannya-104407">Anda kecanduan gawai bagai zombi? Ini beberapa fitur untuk menghentikannya</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Salah satu jalan tengah bagi para pekerja yang bekerja dari rumah adalah dengan memiliki akses ke tempat bekerja bersama atau <em>coworking space</em> (sebuah tempat yang bertujuan untuk memberikan ruang kerja bagi para pekerja dari berbagai industri dan korporasi yang berbeda) di mana mereka bisa mendapatkan manfaat bekerja di kantor tanpa harus bepergian jauh. </p>
<p><em>Co-working spaces</em> telah <a href="https://journals.aom.org/doi/abs/10.5465/ambpp.2014.139">terbukti</a> dapat mengurangi perasaan terisolasi bagi para karyawan, dengan memberikan akses ke jaringan yang lebih beragam dan juga paparan terhadap ide-ide inovatif.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/tiga-hal-yang-bisa-kita-pelajari-dari-orang-yang-tidak-menggunakan-ponsel-dan-media-sosial-104396">Tiga hal yang bisa kita pelajari dari orang yang tidak menggunakan ponsel dan media sosial</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p><em>Ariza Muthia menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/110360/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Libby (Elizabeth) Sander tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Perasaan tertekan, sulit untuk tidur dan terganggunya waktu keluarga adalah sebagian kecil dari kerugian yang didapat dari bekerja dari rumah.Libby (Elizabeth) Sander, Assistant Professor of Organisational Behaviour, Bond Business School, Bond UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1007852018-08-16T09:50:27Z2018-08-16T09:50:27ZSistem kerja empat hari dengan bayaran lima hari berdampak baik buat karyawan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/230872/original/file-20180807-191025-hmj5b9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C5615%2C3732&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Percobaan kerja empat hari seminggu menunjukkan jika pekerja bisa mengontrol pekerjaanya, maka mereka merasa dan bekerja lebih baik.</span> <span class="attribution"><span class="source">shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>Karyawan-karyawan di sebuah perusahaan di Selandia Baru yang tergabung dalam sebuah <a href="https://www.perpetualguardian.co.nz/our-services/four-day-working-week-trial">percobaan inovatif kerja empat hari seminggu</a> telah menyatakan kesuksesan sistem kerja empat hari tersebut dengan 78% dari mereka menyatakan dirinya merasa lebih mampu mengatur keseimbangan antara kerja dan kehidupannya.</p>
<p><a href="https://www.perpetualguardian.co.nz/"><em>Perpetual Guardian</em></a>, sebuah perusahaan yang mengelola perihal warisan dan wasiat, menerbitkan <a href="https://www.4dayweek.co.nz/">temuannya</a> dari percobaan tersebut yang didorong oleh <a href="https://www.vouchercloud.com/resources/office-worker-productivity">penelitian</a> sebelumnya yang menyatakan bahwa pekerja modern hanya produktif bekerja selama tiga jam sehari. </p>
<p>Analisis tersebut menunjukkan bahwa karyawan yang bekerja empat hari seminggu merasa lebih baik dan terlibat dengan pekerjaannya. Mereka juga merasa kehidupan karir dan pekerjaan lebih seimbang dan tingkat stres berkurang – semua hal tersebut terjadi dengan tetap mempertahankan tingkat produktivitas yang sama. Yang menarik adalah orang-orang tersebut juga merasakan sedikit penurunan signifikan atas tuntutan pekerjaannya.</p>
<h2>Pengaturan</h2>
<p>Perusahaan tersebut meminta 240 karyawannya untuk bekerja selama empat hari seminggu (delapan jam setiap harinya), bukannya lima hari dengan tetap mendapatkan gaji untuk kerja lima hari. Percobaan tersebut terinspirasi oleh semakin banyaknya bukti yang menunjukkan bahwa model ruang kerja terbuka modern bisa mengganggu pekerja dan menurunkan produktivitas.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/gaya-kerja-milenial-dan-tantangan-kolaborasi-di-era-disrupsi-teknologi-90544">Gaya kerja milenial dan tantangan kolaborasi di era disrupsi teknologi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Direktur pelaksana perusahaan tersebut, <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Andrew_Barnes_(businessman)">Andrew Barnes</a>, berpendapat bahwa kerja mingguan yang lebih pendek mungkin adalah cara yang inovatif untuk membuat para pekerja menjadi fokus pada pekerjaan dan menjaga produktivitasnya secara keseluruhan, sambil memberikan manfaat untuk meningkatkan keseimbangan antara kerja dan kehidupan, kesehatan mental yang lebih baik serta lebih sedikit kemacetan di jalan raya.</p>
<p>Hasilnya menunjukkan peningkatan 24% pada karyawan yang menyatakan keseimbangan kehidupan-kerjanya meningkat, peningkatan signifikan dalam keterlibatan dan penurunan sebesar 7% dalam tingkat stres - semuanya itu tanpa penurunan produktivitas</p>
<h2>Tantangan</h2>
<p>Tantangan pertama bagi perusahaan adalah tidak semua orang melakukan pekerjaan yang sama di seluruh bagian tempat kerja tersebut. Perusahaan bukanlah barisan produksi yang membuat perangkat eletronik yang produktivitasnya bisa dengan mudah diukur.</p>
<p>Solusinya adalah dengan meminta tiap tim (dan tiap managernya) untuk memberi detail apa yang sebenarnya mereka lakukan dan bagaimana mereka mungkin melakukan hal tersebut selama empat hari, bukannya lima. Hal ini melibatkan pengaturan dari tiap tim sehingga mereka dapat memenuhi tenggat waktu dan mempertahankan kinerja dan produktivitasnya. Dalam praktiknya, empat hari seminggu berarti karyawan dalam sebuah tim memiliki satu hari libur di tiap minggunya, tetapi hari libur tersebut pindah selama hari Senin hingga Jumat selama masa percobaan ini.</p>
<p>Harapannya adalah jika karyawan mampu menjaga tingkat produktivitasnya dan tetap begitu dengan kerja empat hari, maka mereka harusnya mampu mencapai keuntungan pribadi yang lebih baik dan perusahaan pun akan mendapatkan keuntungan dengan mendorong reputasi, rekrutmen dan bonus, serta penghematan energi (pengurangan 20% pekerja di tempat kerja).</p>
<p>Terdapat banyak penelitian yang menunjukkan jika organisasi peduli dengan kesejahteraan karyawannya maka para pegawainya pun akan merespons dengan <a href="http://classweb.uh.edu/eisenberger/wp-content/uploads/sites/21/2015/04/01_Perceived_Organizational_Support.pdf">perilaku</a> dan <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0148296308001203">kinerja</a> yang lebih baik. Selain itu, penelitian juga menunjukkan keseimbangan kerja dan kehidupan adalah hal yang penting untuk <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0001879114001110">kepuasan kerja</a> dan [kesejahteraan secara umum], dan juga bahwa dengan menghabiskan waktu lebih banyak di luar pekerjaannya, para karyawan <a href="http://nzjhrm.co.nz/includes/download.ashx?ID=149678">terlibat lebih baik pada pekerjaannya</a>.</p>
<p>Meski begitu, ada potensi bahwa karyawan mungkin melaporkan stres dan masalah yang lebih besar terkait tuntutan pekerjaan karena mereka sekarang, pada dasarnya, mengerjakan beban kerjanya ke dalam empat hari, bukan lima.</p>
<h2>Temuan</h2>
<p>Untuk memungkinkan analisis atas percobaan ini, karyawan dan manajer diminta mengisi survei sebelum dan sesudah percobaan. Data karyawan tambahan dikumpulkan pada akhir tahun. Sehingga analisisnya didasarkan pada lima set data yang berbeda, baik dari karyawan maupun manajer.</p>
<p><a href="https://static1.squarespace.com/static/5a93121d3917ee828d5f282b/t/5b4e4237352f53b0cc369c8b/1531855416866/Final+Perpetual+Guardian+report_Professor+Jarrod+Haar_July+2018.pdf">Hasilnya</a> menunjukkan bahwa persepsi para karyawan berubah sepanjang percobaan ini. Para pegawai merasa bahwa kerja empat hari dalam seminggu (dengan gaji untuk kerja selama lima hari) menunjukkan seberapa perhatian atasan terhadap kesejahteraan mereka. Persepsi yang seperti inilah yang membantu organisasi karena akan membuat karyawannya bekerja lebih keras, lebih puas dan lebih ingin untuk bertahan pada pekerjaan tersebut lebih lama. Mereka juga bekerja dengan lebih baik.</p>
<p>Para karyawan melaporkan kepuasan dan keterlibatan kerja yang lebih baik, mereka pun merasa timnya semakin solid dan terlatih dalam melakukannya pekerjaannya bersama-sama. Hal ini mencerminkan fokus tim ketika mereka diminta untuk mengembangkan pendekatan kerja empat hari sejak awal percobaan. </p>
<p>Temuan lain adalah para pegawai melaporkan tuntutan pekerjaan yang menurun secara signifikan. Hal ini menarik karena terdapat kemungkinan masalah pada para pegawai karena merasa lebih tertekan, namun <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1002/job.441">penelitian</a> menunjukkan bahwa memiliki kemampuan lebih untuk mengatur pekerjaannya menaikkan kesejahteraan psikologis. Fakta bahwa <em>Perpetual Guardian</em> memperbolehkan pegawainya untuk merencanakan kerja mingguan memperbaiki kemampuan mereka untuk melakukan pekerjaan mereka secara stabil dan tepat waktu.</p>
<p>Yang terakhir, para pengawas menilai kerja tim tidak berubah selama percobaan. Meski begitu, pengawas juga menemukan bahwa tim mereka memiliki kreativitas yang lebih besar serta melakukan hal-hal yang lebih bermanfaat, termasuk memiliki kinerja pelayanan yang lebih baik.</p>
<p>Uji coba kerja empat hari dalam seminggu menunjukkan bahwa karyawan mampu menyelesaikan pekerjaan mereka secara memuaskan, atau bahkan lebih baik dalam beberapa aspek, sambil menikmati keseimbangan kerja dan kehidupan yang lebih besar serta mengurangi stres. Ini menggambarkan kekuatan dukungan organisasi dan menggarisbawahi manfaat kinerja yang bisa dicapai ketika organisasi mengambil risiko untuk mempercayai pegawainya dan mendukung mereka dalam pendekatan baru dalam bekerja. </p>
<p>Uji coba selama delapan minggu ini dinyatakan sukses dan sekarang organisasi sedang menyempurnakan pendekatannya sebelum melaksanakan sistemnya secara total.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/100785/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Jarrod Haar tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Sebuah percobaan empat hari kerja menunjukkan karyawan merasa lebih baik dan terlibat dengan pekerjaan mereka. Mereka juga merasa kehidupan karir dan pekerjaan lebih seimbang dan tingkat stres berkurang.Jarrod Haar, Professor of Human Resource Management, Auckland University of TechnologyLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.