Menu Close

Ainun Najib dan diaspora lain tidak harus ‘pulang’ untuk bisa bermanfaat bagi Indonesia

Diaspora Indonesia melaksanakan upacara 17 Agustus peringatan HUT RI ke-74 di KBRI Muscat, Oman.
Upacara peringatan HUT RI di KBRI Muscat, Oman. Kementerian Luar Negeri RI

Baru-baru ini, Presiden Joko “Jokowi” Widodo secara terang-terangan mengajak Ainun Najib, ahli IT asal Indonesia yang kini menetap di Singapura, untuk ‘pulang’ dan berkontribusi untuk negara.

Sementara, di media sosial, banyak netizen yang meminta para penerima beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang bersekolah di luar negeri untuk kembali ke Indonesia guna menciptakan lapangan kerja baru.

Hingga saat ini, memang cukup banyak warga Indonesia yang enggan kembali ke tanah air setelah menempuh pendidikan di luar negeri. Banyaknya tenaga kerja Indonesia (TKI) atau buruh migran juga termasuk dalam daftar panjang diaspora Indonesia yang tersebar di sejumlah negara di dunia.

Tuntutan untuk ‘pulang’, terutama bagi diaspora yang memiliki keahlian tertentu di sektor formal, biasanya dilontarkan negara-negara yang sistem kesejahteraannya masih bertumpu pada pajak.

Penerima beasiswa LPDP, misalnya, dianggap oleh banyak pihak sebagai ‘penikmat pajak’. Akhirnya, masyarakat merasa bahwa penerima beasiswa LPDP semestinya ‘membayar hutang’ kepada negara dan berkontribusi di Indonesia. Mengingat pajak ditarik dari warga yang tinggal di Indonesia, sang penerima beasiswa wajib ‘pulang’ agar uang rakyat kembali ke rakyat.

Berdasarkan telaah saya, konsep “kontribusi” dalam fenomena tersebut bertumpu pada dua lokus, yakni ‘teritori’ dan ‘loyalitas’. Hubungan keduanya menyiratkan sebuah pandangan: di mana seseorang itu hadir, di situlah ia memiliki loyalitas dan berkontribusi.

Dengan kata lain, ‘ketidakhadiran’ seseorang di wilayah asalnya menjadikan ia tak loyal dan tak dapat berkontribusi.

Meski ada benarnya, konsep tersebut bisa dibilang sudah usang dan tidak lagi relevan ketika memasuki era 1990an. Sebab, revolusi perangkat teknologi dan komunikasi telah mampu mengikis batas-batas teritorial.

Menjadi aset jarak jauh bagi negara

Perdebatan serupa pernah terjadi di Cina pada tahun 1990-2000. Saat itu, semakin banyak warga Cina yang bersekolah di luar negeri dan lulus menjadi akademisi top, pengusaha besar, maupun eksekutif perusahaan multinasional.

Sebelum 1990, negara dan masyarakatnya mengutuk dan menganggap mereka sebagai pengkhianat dan beban. Namun setelah tahun 2000, hasil penelitian Pál Nyiri, Professor Sejarah Global dari Vrije Universiteit Amsterdam, menunjukkan bahwa Pemerintah Cina, yang didukung oleh paguyuban migran, justru menganggap mereka yang berkiprah di luar negeri sebagai contoh sukses, bahkan patriotik.

Serupa halnya dengan diaspora Indonesia. Mereka tetap dapat menghasilkan gebrakan-gebrakan yang manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat luas di dalam negeri.

Walaupun menetap di Singapura, Ainun Najib tetap dapat menjadi aset bagi negara, dengan menciptakan berbagai platform yang memudahkan jutaan warga Indonesia mengakses informasi seputar Pemilu serta persebaran Covid-19.

Kesadaran dan tingginya antusiasme diaspora Indonesia di luar negeri untuk berpartisipasi dalam momen-momen politik dalam negeri, seperti pemilu presiden, juga telah membuat cabang-cabang partai politik mulai hadir di negara-negara lain, menjadi wadah bagi para diaspora untuk berkontribusi dan terlibat dalam menentukan kebijakan pembangunan di tanah air.

Jadi, di era transnasionalisme ini, kontribusi (dan nasionalisme) tidak melulu tentang kehadiran. Perkembangan teknologi komunikasi mutakhir membuat siapapun dapat ‘hadir’ dimanapun, tak terikat pada wilayah tertentu, serta tetap dapat berkontribusi bagi negara asalnya.

Pekerja migran, contoh loyalitas tanpa perlu kehadiran

Jika bicara soal loyalitas kepada negara, ratusan pekerjan migran Indonesia yang tersebar di banyak negara sudah tidak diragukan lagi loyalitas dan kontribusinya bagi negara.

Pada tahun 2017, saya melakukan riset etnografi di Selangor, Malaysia, dan mewawancara seorang pekerja migran asal Madura yang tinggal di Kuala Lumpur yang sering berkumpul dengan komunitas Madura di negara itu.

Di masa pemilu 2014, komunitas pekerja migran Madura tersebut – mayoritasnya masih terbata-bata dalam menggunakan bahasa Indonesia – turut serta datang ke tempat pemungutan suara untuk memilih calon presiden.

Hingga saat ini pula, tak terhitung jumlah remitansi atau uang yang mereka kirimkan ke kampung halaman. Uang itu kemudian juga dimanfaatkan untuk membangun pesantren, pertokoan, bahkan jalan dan jembatan di desa asalnya.

Jika pekerja migran dibolehkan pergi ke luar negeri agar dapat berkontribusi untuk remitansi, mengapa logika yang sama tak berlaku untuk para diaspora yang berprofesi sebagai pakar atau pekerja di sektor formal?

Berdasarkan penjelasan di atas, jelas bahwa loyalitas manusia tak dapat diukur dengan ikatan teritorial, atau sekadar ‘di mana ia hadir’. Identitas menjadi penentu utama untuk manusia mengarahkan kepada siapa ia mesti berkontribusi.

Nasionalisme dari jarak jauh, sebagaimana dipopulerkan oleh Benedict Anderson, seorang ilmuwan politik kawakan dari Universitas Cornell, pada umumnya lebih kuat ketimbang mereka yang tak pernah beranjak dari tanah airnya.

Manusia adalah makhluk rasional sekaligus sosial. Individu yang berkualitas tahu di mana mereka harus hadir, dan kepada siapa mereka akan menjadi bermanfaat. Negara, dan netizen, tak perlu mengkhawatirkan warganya yang memilih ‘tidak pulang’.

Ketidakhadiran bukan berarti akhir dari pengabdian kepada negara atau masyarakat asal. Ketidakhadiran seseorang terkadang justru memperluas cakrawala pengetahuan dan mengubah mental masyarakat di tempat asalnya.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now