Menu Close
Pengemudi Becak di seberang Tugu Muda Semarang. Midori / CC BY-SA

Akademisi: pemerintah masih gunakan bahasa langit dalam komunikasi COVID-19

Saat ini, tiada hari terlewat tanpa kehadiran juru bicara pemerintah Achmad Yurianto di televisi untuk mengumumkan status terakhir penanganan COVID-19 di Indonesia. Dia mengucapkan berulang kali istilah-istilah seperti physical distancing, ODP (orang dengan pengawasan), dan PDP (pasien dengan pengawasan).

Meski tiap hari diucapkan, istilah-istilah itu tetap asing bagi Wardiyah, seorang laki-laki baruh baya yang bekerja sebagai petugas kebersihan di sebuah pusat perbelanjaan di kawasan Jakarta Selatan.

Pria lulusan SMP ini mengakui bahwa istilah-istilah pemerintah dalam membahasakan dan menyebarkan informasi terkait COVID-19 ini sulit untuk dipahami.

“Untuk informasi soal corona[virus] ini, saya banyak dapat dari briefing kantor. Kalau untuk informasi lebih lanjut dari TV,” ujar Wardiyah.

Peneliti bahasa dari Universitas Negeri Semarang di Jawa Tengah Surahmat mengatakan pemilihan istilah yang dilakukan pemerintah masih menandakan bahwa pemerintah hanya menyasar pada masyarakat perkotaan terdidik yang berasal dari kelas menengah.

“Untuk memahami bahasa-bahasa tersebut, seseorang harus memerlukan prasyarat pengetahuan tertentu. Bahkan sekalipun kata-kata itu bisa diterjemahkan, belum tentu pesan yang dimaksudkan tersampaikan,” ujarnya.

Misalnya untuk memahami frasa “meratakan kurva” (flatten the curve), menurut Surahmat, orang harus memiliki tingkat pendidikan tertentu karena ada tiga hal yang setidaknya harus dipahami: apa itu kurva, kemudian dalam konteks COVID-19, kurva ini menggambarkan apa, dan mengapa harus dibuat rata?

Akibatnya mungkin tidak banyak dari masyarakat miskin yang tidak berpendidikan memahami maksud yang ingin disampaikan pemerintah. Padahal banyak dari penduduk Indonesia berasal dari ekonomi bawah dari berpendidikan rendah.

Laporan Badan Pusat Statistik terkini menunjukkan saat ini satu per sepuluh penduduk Indonesia, atau sekitar 24 juta orang, adalah orang miskin dan hampir 60% hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan sederajat.

Mengapa bahasa elitis

Pemerintah sejauh ini membela pendekatan komunikasi yang diterapkannya selama pandemi ini sebagai upaya untuk menghindari kepanikan di masyarakat.

Hermin Indah Wahyuni, pakar komunikasi dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta menjelaskan bahwa strategi komunikasi yang diterapkan pemerintah tersebut berisiko membawa kesalahpahaman di kalangan masyarakat karena banyak yang tidak mengerti.

“Mereka (pemerintah) menggunakan gaya bahasa eufemisme (bahasa yang dihaluskan) yang sangat berisiko untuk digunakan di tengah krisis seperti ini,” ujar Hermin.

Sebuah penelitian di Australia yang dipublikasikan pada 2016 mengingatkan bahaya penggunaan eufemisme dalam komunikasi kesehatan yang bisa mengurangi pemahaman masyarakat akan penyakit itu sendiri.

Penelitian tersebut juga menganjurkan penggunaan istilah-istilah kesehatan yang mudah dipahami masyarakat awam agar dapat terjalin hubungan baik antara petugas kesehatan dengan pasien atau masyarakat.

Hermin juga menambahkan bahwa pilihan gaya bahasa pemerintah yang rumit dalam mengkomunikasikan isu COVID-19 didorong oleh fokus pemerintah yang lebih berat kepada sektor ekonomi.

“Dari segi komunikasi, pemerintah masih memainkan double code (kode ganda) ekonomi dan kesehatan tanpa fokus yang jelas,” jelas Hermin.

Hal tersebut menjelaskan mengapa pilihan-pilihan istilahnya sangat elitis dan hanya dapat diakses dan dipahami oleh masyarakat kelas menengah atas.

Senada dengan Hermin, Justito Adiprasetio, seorang dosen komunikasi dari Universitas Padjadjaran, Jawa Barat, berpendapat bahwa penggunaan bahasa asing ini merupakan wujud ekspresi pascakolonial.

“Sesuatu yang bersifat ‘lokal’ tidak bisa menjadi wacana ilmiah dan elite. Bahwa untuk menjelaskan sesuatu yang ilmiah dan elite, harus menggunakan bahasa asing,” kata Justito.

Dengan menggunakan bahasa langit dan rumit yang hanya menyasar pada kalangan tertentu, strategi komunikasi pemerintah dalam masa pandemi ini menimbulkan masalah-masalah baru.

Seorang pemulung berjalan di sebuah jalan di Jakarta. Rangga Cahya Nugraha

Gap informasi

Justito mengatakan salah satu dampak yang timbul akibat pendekatan komunikasi pemerintah yang elitis tersebut adalah munculnya gap informasi antara masyarakat kelas menengah ke atas dan menengah ke bawah.

Justito memberi contoh peristiwa panic buying yang pernah terjadi. Saat itu, kepanikan didominasi oleh kelas menengah ke atas. Media sosial juga penuh dengan keluhan, ketakutan, kemarahan warga atas keterlambatan pemerintah.

“Namun, di perempatan jalan, di akar rumput kita dapat melihat warga kelas menengah bawah masih beraktivitas seperti biasa. Ada gap informasi di sana yang membuat mereka (masyarakat menengah ke bawah) tidak takut (akan bahaya COVID-19),” jelas Justito.

Contoh lainnya adalah penerapan imbauan physical distancing yang hanya terjadi di wilayah perkotaan, sementara di kota kecil seperti Indramayu, Jawa Barat dan kota di wilayah timur Indonesia, Jayapura, Papua, imbauan tersebut masih diabaikan.

Tidak dihiraukannya imbauan pemerintah ini akibat banyaknya masyarakat kelas bawah atau yang berada di lingkungan pedesaan (rural) masih sulit memahami maksud yang ingin disampaikan pemerintah.

Sebagai contoh, Wardiyah masih berencana mudik ke daerah asalnya Indramayu menjelang lebaran nanti meski sudah ada imbauan keras pemerintah agar jangan mudik di kala pandemi ini. Pemerintah berpesan jika tetap nekat, akan ditetapkan sebagai ODP setelah sampai di kampung halaman.

Namun, jika masyarakat bahkan tidak memahami arti dari ODP, bagaimana mereka dapat mematuhi imbauan tersebut.

“Imbauan-imbauan pemerintah tidak tersampaikan dengan efektif dan muncul interpretasi bebas dari konsep-konsep yang beredar,” ujar Hermin.

Hal ini merupakan dampak dari kegagalan pemerintah dalam mengakomodasi keragaman masyarakat Indonesia ketika menyampaikan pesan-pesan terkait COVID-19.

Sebuah penelitian tahun lalu mengenai komunikasi dan mitigasi bencana gempa bumi di Lombok pada 2018 juga menyarankan komunikasi dalam penanganan bencana membutuhkan penyesuaian dengan gaya kultural dan bahasa dari tiap daerah agar lebih efektif.

Masalah akses media

Pemerintah saat ini menyebarkan informasi mengenai COVID-19 kepada masyarakat luas dengan menggunakan aplikasi daring dan situs resmi.

Namun dengan akses internet yang kurang merata di Indonesia, pilihan moda komunikasi pemerintah juga kurang tepat.

Survei Asosiasi Penyelenggaraan Internet Indonesia menunjukkan baru 64,8% penduduk Indonesia, atau sekitar 171,7 juta orang, yang memiliki akses internet. Dari angka tersebut, lebih dari setengahnya berada di Pulau Jawa.

Hal ini kemudian juga diperparah dengan tidak adanya saluran media publik yang berkualitas dan terpercaya.

Widarti, seorang pekerja rumah tangga berumur 34 tahun di Depok, sejauh ini mendapatkan informasi terkait COVID-19 hanya dari televisi.

Widarti adalah bagian dari jutaan orang Indonesia yang masih mengandalkan televisi untuk mendapatkan informasi.

Laporan Nielsen tahun 2019 menunjukkan, televisi masih menjadi media yang paling sering masyarakat Indonesia gunakan, dengan rata-rata penggunaan per hari selama 4 jam 59 menit, dibandingkan dengan internet yang hanya 3 jam 20 menit.

Namun ketika sistem media, termasuk stasiun televisi, di Indonesia saat ini dikendalikan oleh kepentingan pasar maka informasi yang diberikan pun tidak semuanya berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan.

Justito menjelaskan bahwa media tidak jarang mengutip pernyataan spekulasi pemerintah tanpa didukung data yang jelas ataupun validasi yang layak.

Kesimpangsiuran informasi di media massa akibat tidak adanya saluran media publik yang dapat dipercaya ikut mendorong Wardiyah dan Widarti masih berencana mudik sebelum Idul Fitri nanti.

“Rencana, kalau ada angin segar, ya mudik,” kata Wardiyah.

Wardiyah tidak sendiri.

Sebuah survei memprediksikan bahwa sekitar 2 juta orang dari area Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi masih berencana untuk mudik di tengah pandemi corona ini.

Inisiatif masyarakat

Di tengah kekosongan peran pemerintah dan saluran media yang efektif, banyak inisiatif kampanye yang datang dari masyarakat sendiri untuk mengkomunikasikan bahaya COVID-19.

Seorang sukarelawan membagikan masker kepada pekerja jalanan di Denpasar, Bali. Made Nagi/EPA

Sebagai contohnya, dai kondang AA Gym berkeliling menggunakan pengeras suara untuk menyampaikan bahaya coronavirus ke warga. Lalu petinggi gereja di Bogor juga turut mengkampanyekan untuk tetap di rumah dan menjaga kebersihan.

Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) di Bandung, Jawa Barat, juga turut menciptakan kampanye untuk untuk membumikan bahasa dan informasi seputar COVID-19 dengan membuat poster edukatif yang menggunakan 43 bahasa daerah.

Inisiatif ini pun akhirnya didukung oleh pemerintah dengan menyebarkan poster-poster tersebut ke tingkat RT dan RW.

Meski begitu, Surahmat menyayangkan keterlambatan pemerintah.

“Gerakan masif ini baru terjadi ketika persebaran COVID-19 sudah terjadi di sebagian besar provinsi di Indonesia. Seandainya dilakukan sejak awal, saya kira penanggulangannya akan lebih efektif”, ujarnya.

Beberapa pakar telah memperkirakan, kasus COVID-19 di Indonesia akan terus bertambah hingga 71.000 pada akhir bulan ini jika tidak ada intervensi cepat dari pemerintah.

Intervensi apa pun itu, baik Surahmat, Hermin, dan Justito sepakat bahwa intervensi tersebut perlu mencakup perubahan gaya komunikasi pemerintah dalam menyampaikan isu COVID-19 ke masyarakat.

Langkah tersebut diperlukan untuk mencegah banyaknya korban jiwa seperti Wardiyah dan Widarti yang berisiko menjadi korban karena kegagalan pemerintah dalam berkomunikasi dengan mereka.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now