Menu Close

Alasan Cina pertimbangkan Indonesia sebagai pangkalan militernya dan respons Indonesia menolak rencana tersebut sudah tepat

Sejumlah kapal perang bersandar di Komando Armada RI Kawasan Timur (Koarmatim), Ujung, Surabaya, Jawa Timur. ANTARA FOTO/Didik Suhartono/kye/18

Sebuah laporan terbaru dari Kementerian Pertahanan Amerika Serikat menyatakan Cina kemungkinan besar sedang mempertimbangkan untuk membangun sebuah pangkalan militer di Asia, Afrika dan Timur Tengah. Salah satu negara yang menjadi tujuannya adalah Indonesia.

“Sangat mungkin, Cina pun sudah mempertimbangkan dan merencanakan tambahan pembangunan fasilitas logistik militer luar negeri untuk mendukung angkatan laut, air, dan darat,” laporan itu menyatakan.

Walau belum ada pernyataan resmi dari pemerintah Cina, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengatakan Indonesia tidak akan menjadi pangkalan militer untuk negara mana pun. Pernyataannya sejalan dengan kebijakan politik luar negeri Indonesia yang “bebas dan aktif” atau bersikap netral dari keberpihakan pada pihak mana pun.

Hingga saat ini, kabar tersebut masih simpang siur. Laporan yang diterbitkan oleh Amerika Serikat tidak merinci secara spesifik mengapa Cina mempertimbangkan Indonesia sebagai pangkalan militernya, dan beberapa pengamat politik mengatakan bahwa laporan tersebut tidak berdasar.

Terlepas apa pun alasan Cina, topik ini menjadi menarik untuk dibahas lebih lanjut. Terdapat dua alasan utama mengapa menjadikan Indonesia sebagai pangkalan militer adalah langkah yang strategis bagi Cina dan mengapa keputusan Indonesia menolak tegas gagasan tersebut adalah hal yang benar.

Mengamankan Laut Cina Selatan

Pertama, logis bagi Cina mengambil langkah ini sebagai usaha untuk mengamankan kepentingannya di Laut China Selatan, yang sejak beberapa waktu terakhir telah memicu ketegangan dengan beberapa negara ASEAN.

Meski Indonesia tidak terlibat langsung dalam sengketa tersebut, namun Perairan Natuna, yang letaknya sangat strategis di bagian utara Indonesia, berada tidak jauh dari Laut Cina Selatan.

Ketika ketegangan di sekitar area tersebut meningkat, Cina selalu mendekati Indonesia demi hubungan militer yang lebih dekat dan lebih kuat.

Jika alasan ini dihubungkan dengan laporan dari Amerika Serikat di atas, maka Cina diprediksi sedang berusaha untuk memperkuat posisinya di tengah meningkatnya ketegangan di Laut Cina Selatan dengan menggandeng Indonesia. Penting bagi Cina untuk menjaga hubungan militer yang baik dengan Indonesia dalam rangka usaha agar dapat mengoperasikan pangkalan militer di negara ini.

Awal tahun ini, Angkatan Laut Indonesia menuduh Cina mencoba membangun pangkalan militer dari atol (struktur terumbu karang berbentuk cincin yang mengelilingi sebuah laguna) di dekat Kepulauan Natuna.

Bagi Cina, memiliki pangkalan militer di Indonesia akan sangat strategis mengingat di kemudian hari akan terjadi gejolak militer dengan berbagai negara ASEAN lain yang bersengketa di Laut Cina Selatan. Hal tersebut juga membantu Cina berhadapan dengan Amerika Serikat, yang selama beberapa waktu terakhir juga memperkuat kehadirannya di Asia Tenggara untuk melawan dominasi Cina.

Untuk memperkuat hegemoni Cina

Kehadiran Cina di Indonesia semakin berpengaruh dalam satu dekade terakhir, baik dilihat dari sisi ekonomi maupun budaya.

Pada paruh pertama tahun ini, investasi dari Cina merupakan yang terbesar kedua di Indonesia setelah Singapura. Pada kuartal pertama 2020, investasi dari Negeri Tirai Bambu tersebut telah mencapai US$ 1,3 miliar atau sekitar Rp 19 triliun.

Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2019 menemukan bahwa pengaruh Cina telah meningkat signifikan di Asia dalam 10 tahun terakhir, termasuk di Indonesia. Meski survei tersebut mengungkapkan bahwa sentimen negatif atas Cina juga meningkat drastis, namun pengaruh Cina di Asia saat ini telah melebihi AS.

Cina juga telah memperluas pengaruhnya melalui penyebaran budaya dengan berbagai pagelaran budaya dan bahkan turut mendirikan Confucius Institute yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia.

Setelah berhasil memperluas pengaruhnya secara ekonomi dan budaya, saat ini Cina tengah berharap dapat memperkuat kehadiran militernya pula di NKRI.

Sebagai negara terbesar di Asia Tenggara dan merupakan salah satu negara yang tidak memiliki pangkalan militer Amerika Serikat, Cina melihat Indonesia sebagai pintu gerbang untuk memperluas pengaruh militernya di kawasan ASEAN, sekaligus sebagai poros guna menyeimbangkan kehadiran militer Amerika di regional tersebut.

Respon yang tepat dari Indonesia

Keputusan Indonesia untuk menolak rencana Cina sudah benar. Negeri ini memiliki hak untuk menolak gagasan Cina mendirikan pangkalan militer di dalam perbatasan perairan Nusantara.

Indonesia secara aktif juga turut mempromosikan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh negara-negara ASEAN untuk menciptakan zona yang netral, damai dan bebas (Zone of Peace, Freedom, and Neutrality) .

ZOPFAN disepakati pada 1971 dengan persetujuan lima negara ASEAN - Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand - untuk membatasi campur tangan asing di kawasan tersebut. Sejak saat itu, negara-negara ASEAN selalu menolak untuk dijadikan pangkalan militer asing oleh pihak mana pun.

Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/foc

Selain itu, kebijakan luar negeri yang bebas dan aktif , yang mengacu pada keputusan Indonesia untuk menjaga kenetralan dan tidak beraliansi pada negara adidaya global mana pun, membuat penolakan Indonesia sah-sah saja.

Nilai-nilai tersebut menjadi patokan dan pengingat bagi pemerintah Indonesia untuk tidak boleh membiarkan ketergantungan ekonominya yang semakin besar pada Cina mempengaruhi sikapnya.

Adapun apabila laporan dari Amerika Serikat tersebut benar adanya, maka seharusnya daya tawar Indonesia terhadap Cina menjadi lebih besar, karena Cina tidak hanya membutuhkan Indonesia secara ekonomi tetapi juga untuk alasan keamanan.

Daya tawar tersebut harus dapat dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memegang teguh pada prinsip politik luar negerinya yang tidak berpihak pada mana pun.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now