Menu Close

Mengapa Gojek, Grab, hingga Maxim perlu memberikan jaminan pendapatan dasar bagi para ojol

antarafoto harapan mitra pasca merger gojek tokopedia app. Antara Foto

Pandemi COVID-19 menurunkan secara drastis pendapatan para ojek online (ojol) baik roda dua dan roda empat karena pembatasan gerak di kota-kota besar dan berkurangnya mobilitas masyarakat.

Sebelum pandemi, survei kami juga menunjukkan adanya trend penurunan pendapat dari para Ojol. Hal itu terjadi karena mulai diakhirinya periode bulan madu (honeymoon) oleh perusahaan platform, yaitu Gojek dan Grab.

Dua kondisi di atas, meningkatkan kerentanan dan ketidakpastian kerja bagi para ojol. Karena itu menjadi penting bagi pemerintah untuk menetapkan kebijakan “jaminan pendapatan dasar” bagi para ojol sebagai langkah untuk memberi mereka keamanan kerja.

antarafoto harapan mitra pasca merger gojek tokopedia app. Antara Foto

Kerentanan dan ketidakpastian pendapatan

Kerentanan dan ketidakpastian pendapatan dialami ojol karena ekonomi gig yang berjalan saat ini menekankan pada kerja borongan atau piecework, di mana jumlah pekerjaan yang ditawarkan ke para ojol bergantung pada kebijakan perusahaan platform.

Dalam penawaran pekerjaan berupa orderan atau pesanan, tidak ada batasan minimal yang wajib diberikan oleh perusahaan kepada ojol sebagai “mitra” mereka.

Perusahaan platform seperti Gojek, Grab, hingga Maxim dapat menghindar dari tanggung jawab untuk memberikan pendapatan minimal dan jam kerja layak kepada ojol karena status ojol sebagai mitra bukan buruh.

Namun, proses kemitraan yang berjalan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kemitraan, karena kontrol kerja dipegang secara sepihak oleh perusahaan platform. Hal ini kami sebut sebagai kemitraan palsu yang mana itu merugikan pihak ojol.

Ojol dapat disanksi menjadi sepi order, atau dimatikan akunnya sementara waktu, hingga diputus “mitra” secara sepihak ketika dinilai oleh sistem tidak disiplin atau melakukan kecurangan, dan ketika ada komplain dari konsumen.

Mekanisme kontrol dan sanksi sepihak ini yang mempengaruhi kerentanan dan ketidakpastian pendapatan harian dari ojol.

Kondisi kerja ini diperparah dengan adanya pandemi COVID-19.

Kami mensurvei 290 ojol yang bermitra dengan Gojek (133 responden), Grab (130 responden), dan Maxim (27 responden) di tiga provinsi, yaitu DI Yogyakarta, DKI Jakarta, dan Bali pada bulan Juni-Oktober 2020.

Hasilnya menunjukkan bahwa pendapatan para ojol benar-benar anjlok saat pandemi.

Pada April atau sebulan setelah pandemi COVID-19 menghantam Indonesia, rata-rata pendapatan kotor dari ojol hanya Rp 89.267 per hari atau turun 67% dibanding pada bulan Februari 2020 yaitu sebesar Rp 266.225 per hari.

Pada akhir Mei 2020 saat pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan new normal, rata-rata pendapatan ojol tidak mampu melonjak seperti sebelum pandemi.

Ojol hanya mendapatkan pendapatan kotor Rp 95.039 per hari di bulan Juni dan sedikit meningkat menjadi Rp 99.610 per hari pada Juli 2020.

Data survei dalam penelitian kami juga menunjukkan bahwa tren penurunan pendapatan ojol di Grab, Gojek, dan Maxim sudah terjadi sebelum pandemi COVID-19.

Data ini membantah klaim bahwa penurunan pendapatan ojol semata-mata terjadi karena adanya resesi akibat pandemi COVID-19.

Penurunan pendapatan sebelum pandemi COVID-19 didorong oleh mulai diakhirinya kebijakan strategi bisnis “bakar-bakar uang” dari Gojek dan Grab atau juga disebut akhir dari periode bulan madu (honeymoon).

Akhir periode bulan madu tersebut ditandai dengan adanya peningkatan potongan untuk ojol hingga 20%, pengurangan besaran insentif/bonus, penaikan target untuk mendapat bonus, dikuranginya diskon ke konsumen, penambahan biaya tertentu yang didapat perusahaan (misalkan biaya pemesanan), dan juga perekrutan banyak “mitra” sehingga mengurangi penawaran orderan ke ojol.

Laporan Riset IGPA MAP-FISIPOL UGM (2020), Author provided

Tren penurunan pendapatan pada saat sebelum pandemi COVID-19 sebagaimana tabel di atas, menyebabkan sebagian besar ojol hanya memiliki sedikit tabungan. Kondisi itu membuat mereka kesulitan untuk bertahan hidup pada masa pembatasan sosial dan penurunan drastis pendapatan saat pandemi COVID-19.

Ada beberapa Ojol yang memilih berhenti, sebanyak 16,3% responden dalam penelitian kami tidak lagi bekerja sebagai ojol ketika awal pandemi COVID-19.

Mereka beralasan karena rendahnya pendapatan yang diperoleh, atau karena kehilangan alat produksi sebab pendapatan mereka tidak cukup untuk membayar biaya kredit motor atau mobil yang mereka pakai, dan juga terkait alasan keamanan kesehatan.

Di tengah situasi yang sulit, para ojol terpaksa menambah waktu kerja mereka sebagai cara untuk meningkatkan peluang mendapatkan penawaran pesanan masuk di akun mereka. Bahkan ada yang mengaktifkan akunnya di aplikasi hingga 24 jam.

Cara itu ditempuh agar mereka memperbanyak peluang mendapatkan pesanan, sehingga pendapatan yang mereka terima dapat digunakan untuk bertahan hidup di tengah pandemi.

Kondisi itu, tentu tidak baik bagi kondisi kesehatan, kejiwaan, dan kehidupan sosial para ojol. Bekerja dalam kondisi lelah dan beban pikiran yang tinggi, pada kenyataannya meningkatkan risiko kecelakaan kerja.

Dalam survei kami, sebanyak 68,62% responden ojol menyatakan pernah mengalami sakit akibat pekerjaannya.

Bahkan beberapa menceritakan bahwa rekan seprofesi mereka meninggal dunia di jalan akibat faktor kelelahan dan tingginya beban pikiran sehingga membuat mereka tidak bisa fokus dan konsentrasi saat berkendara.

Jaminan pendapatan dasar bisa menjadi solusi

Kerentanan dan ketidakpastian kerja dari ojol, mendorong pentingnya skema jaminan pendapatan dasar dalam model ekonomi gig.

Para ojol akan mendapatkan kepastian pendapatan minimum melalui skema ini.

Jaminan pendapatan dasar ini penting karena akan memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar, seperti ketercukupan gizi, waktu istirahat, kesehatan fisik, kesehatan mental, pembaruan alat produksi, dan terpenuhinya kehidupan sosial yang menyenangkan bagi ojol.

Skema ini juga akan menambal kekurangan dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 12 Tahun 2019.

Pasal 11 peraturan tersebut menyebut bahwa formula perhitungan biaya jasa untuk ojol terdiri atas biaya: penyusutan kendaraan, bunga modal, pengemudi (tenaga kerja), asuransi, pajak kendaraan bermotor, bahan bakar, ban, pemeliharaan dan perbaikan, penyusutan telepon seluler, pulsa atau kuota internet, dan profit untuk mitra.

Namun, biaya jasa itu diformulakan dalam tarif dasar dengan asumsi bahwa tiap bulan ojol mendapat jumlah pesanan yang sesuai dengan total dari formula biaya di atas.

Masalahnya, pelaksanaan formula biaya jasa ojol itu didasarkan pada asumsi yang tidak pasti. Akibatnya, tarif dasar ditetapkan akan tapi jumlah pesanan bagi Ojol bergerak liar sesuai hukum pasar dan kepentingan perusahaan platform.

Alih-alih sekadar mengatur tarif dasar, peraturan tersebut harusnya mengatur jaminan pendapatan dasar yang sesuai poin dalam Pasal 11.

Dalam jangka pendek, jaminan pendapatan dasar dapat diterapkan dengan mewajibkan perusahaan platform memberikan jumlah pesanan minimal dalam rentang waktu delapan jam yang nilainya setara dengan formula Pasal 11.

Pihak pemerintah bisa menentukan besaran pendapatan dasar bagi ojol dengan mesurvei pasar di masing-masing daerah yang melibatkan pihak ojol, perusahaan, dan pemerintah untuk menghitung besaran poin dalam Pasal 11.

Alternatif ini akan turut membatasi tindakan moral hazard atau menyimpang dari perusahaan platform yang merugikan pihak ojol.

Adanya jaminan pendapatan dasar juga akan membuat perusahaan platform tidak gegabah melakukan perang tarif, mengarahkan algoritme untuk memaksimalkan keuntungan, dan membuka pendaftaran menjadi “mitra” secara besar-besaran. Bagaimana pun mereka memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi ojol.

Dalam jangka menengah dan panjang, pemerintah perlu melindungi ojol, tidak hanya terbatas pada jaminan pendapatan dasar. Namun juga terkait tentang faktor penentu kerja layak yang lain, seperti posisi yang setara ketika bermitra, hak libur, pesangon, hak berserikat, pendapatan lembur, perundingan kerja, jaminan kesehatan, akses data, hingga kondisi kerja yang aman.

Seluruh pemangku kepentingan perlu melakukan upaya nyata untuk melindungi pihak terlemah dalam hubungan kerja. Jika tidak, maka ekonomi gig ini akan mengorbankan jutaan ojol untuk menopang kebanggaan ilusif masyarakat tentang ekonomi gig sebagai ekonomi masa depan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now