Menu Close

Analisis: pemuka agama bisa berperan lebih dalam komunikasi terkait pandemi

Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia

Tagar #KamiTidakTakut adalah tagar yang sempat populer di media sosial pasca serangan teroris terjadi di Jakarta pada Januari 2016.

Tagar tersebut bertujuan untuk menunjukkan keberanian dan semangat, serta mengagalkan upaya teroris menimbulkan ketakutan di masyarakat. Sebagian keberanian tersebut diwujudkan dalam beberapa swafoto di tempat kejadian, lengkap dengan para pedagang asongan yang berjualan di lokasi yang mendadak menjadi tempat wisata.

Sebagai negara yang berlokasi di Cincin Api, masyarakat Indonesia juga akrab dengan berbagai bencana alam: gempa, tsunami, dan gunung meletus. Namun, berbeda dengan serangan teroris, berita soal bencana alam umumnya dibarengi dengan kewaspadaan dan solidaritas warga.

Sayangnya, narasi publik ketika menghadapi wabah COVID-19 cenderung mengikuti narasi #KamiTidakTakut, alih-alih mengikuti narasi bencana.

Hingga Maret, kegiatan yang mengumpulkan massa dalam jumlah banyak, seperti pernikahan dan peribadatan, masih lazim dilakukan oleh masyarakat Indonesia.

Padahal, pandemi ini bencana yang mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat di seluruh dunia, bukan serangan teroris yang dapat diidentifikasi pelakunya dan dipatahkan serangannya sesederhana dengan tagar #KamiTidakTakut.

Kesalahan persepsi ini sebagian disebabkan oleh kegagalan pemerintah melakukan komunikasi efektif.

Sebagai negara dan bangsa yang memiliki sentimen keagamaan kuat, Indonesia bisa mengandalkan tokoh agama untuk berperan lebih dalam komunikasi di tengah krisis.


Read more: Bagaimana agama dan kepercayaan membentuk gerakan peduli lingkungan hidup di Indonesia


Peran institusi agama

Di Indonesia, pemimpin keagamaan memiliki potensi membangun narasi publik.

Sentimen keagamaan masyarakat Indonesia masih sangat kuat, terutama dalam preferensi politik .

Data dari Pew Research Center pada 2018 menunjukkan bahwa 83% populasi di Indonesia berpendapat bahwa agama memiliki peran yang lebih besar saat ini dibanding 20 tahun yang lalu.

Pemimpin keagamaan juga memiliki peranan penting untuk meningkatkan kesadaran publik mengenai isu kesehatan di level lokal.

Pemuka agama lokal Indonesia, misalnya, terbukti berperan penting dalam program vaksinasi rubella antara 2017 dan 2018.

Salah satu kesulitan dalam meningkatkan kesadaran publik di Indonesia adalah persepsi bahwa COVID-19 adalah penyakit global yang jauh dari konteks lokal.

Pesan-pesan untuk diam di rumah, menghindari kerumunan, isolasi mandiri, dan menjaga sanitasi akan lebih mudah dipahami oleh masyarakat di level akar rumput jika disampaikan oleh tokoh keagamaan.

Kegiatan keagamaan seringkali melibatkan massa dalam jumlah yang banyak. Kesadaran tokoh keagamaan untuk menyesuaikan aktivitas keagamaan dengan kondisi wabah akan sangat berpengaruh pada potensi penyebaran wabah.

Di Italia, Paus Fransiskus memutuskan untuk mengadakan Misa Paskah di Vatikan tanpa kehadiran umat. Di Arab Saudi, Masjidil Haram ditutup.

Beberapa negara seperti Inggris sudah menutup segala kegiatan keagamaan sejak pertengahan Maret.

Di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI), misalnya, sudah mengeluarkan fatwa yang membolehkan untuk tidak melaksanakan salat Jumat selama kondisi wabah masih membahayakan umat. Anjuran ini belum dilaksanakan dan ditaati dengan sama dan seragam oleh umat Islam di seluruh Indonesia.

Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) menetapkan bahwa gereja-gereja Katolik tidak menggelar ibadah harian, mingguan atau ibadah lain yang melibatkan umat datang ke gereja terkait situasi wabah.

Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) juga telah menerbitkan surat edaran mengenai pedoman pemulasaraan jenazah yang menyesuaikan dengan kondisi wabah.


Read more: Pentingnya riset tentang keseharian anak muda dalam memahami tingkat konservatisme di antara mereka


Dakwah wabah

Per 30 Maret, sudah ada 1.414 kasus positif di Indonesia, meningkat hampir dua kali lipat dibanding 4 hari sebelumnya, dengan total 122 pasien yang meninggal.

Peneliti sudah memprediksi bahwa pada akhir bulan April jumlah kasus COVID yang positif di Indonesia bisa menyentuh angka 71.000 orang. Pemerintah juga memperkirakan bahwa 600.000-700.000 orang di Indonesia berisiko terinfeksi.

Pemerintah sendiri sejak awal gagal membangun narasi publik yang waspada, malah cenderung menciptakan citra Indonesia sebagai negara yang aman dari virus.

Pada saat yang sama, pilihan awal untuk menyelamatkan ekonomi, ditambahkan tidak adanya koordinasi dan transparansi informasi dengan pemerintah daerah, menciptakan beragam narasi di publik yang membingungkan.


Read more: Apa dampak politisasi fatwa MUI bagi Indonesia?


Indonesia juga memiliki tantangan besar dalam media dan sistem komunikasi. Televisi nasional cenderung tidak memiliki agenda publik yang terstruktur, sementara media sosial diperkeruh oleh misinformasi.

Dalam kondisi genting saat ini, kesehatan dan keselamatan umat perlu dijadikan prioritas yang utama.

Tokoh keagamaan harus berada di garda terdepan dalam memberikan pencerahan dan menaruh kepercayaan pada bukti-bukti ilmiah.

Dalam kondisi saat perkumpulan publik harus dihindari dan penetrasi media sosial semakin meningkat, peran tokoh keagamaan di media sosial perlu semakin ditingkatkan.

Sementara sistem komunikasi, sistem kesehatan, dan kepemimpinan di level nasional belum bisa diandalkan, narasi keagamaan yang menekankan akan keseimbangan antara harapan dan kewaspadaan sangat penting untuk menghindari pemahaman masyarakat yang keliru terhadap krisis.

Aisha Amelia Yasmin berkontribusi pada penerbitan artikel ini.


Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di sini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,900 academics and researchers from 4,919 institutions.

Register now