Menu Close
Petani menyemprotkan cairan pestisida pada tanaman padi yang berusia 2,5 bulan, di Desa Branta Tinggi, Tlanakan, Pamekasan, Jawa Timur. (Saiful Bahri/Antara)

Analisis: petani terus ‘dicekoki’ pestisida sintetis sehingga kian rapuh hadapi perubahan iklim

Petani termasuk kelompok yang rentan dalam menghadapi perubahan iklim. Sebagian besar petani skala kecil – terutama di negara-negara berkembang – tidak dibekali dukungan kebijakan maupun insentif yang memadai guna menopang aktivitasnya di tengah perubahan suhu bumi akibat kenaikan emisi gas rumah kaca.

Terkhusus di Indonesia, penelitian saya menunjukkan kapasitas adaptasi petani dalam menghadapi perubahan iklim sangatlah rendah karena minimnya sumber daya ekonomi dan terbatasnya akses pengetahuan. Kerentanan ini disebabkan oleh tingginya ketergantungan petani terhadap penggunaan pestisida sintetis sejak revolusi hijau –- gerakan global untuk menggenjot produktivitas pertanian melalui penggunaan teknologi – sejak tahun 1960-an.

Persoalan ini mesti diatasi karena perubahan iklim berisiko meningkatkan serangan hama. Akhirnya petani yang bergantung dengan pestisida sintetis terpaksa meningkatkan penggunaannya karena tak mau mengambil risiko kegagalan panen.

Padahal, penggunaan pestisida yang berlebihan dapat meningkatkan resistensi hama serta berdampak pada kualitas tanah serta komoditas pertanian yang ditanam.

Dimabuk pestisida sintetis

Saya melakukan penelitian seputar kondisi adaptasi petani di Indramayu selama 2017-2019. Indramayu merupakan salah satu ‘lumbung padi’ yang memasok 60% total produksi beras di Jawa Barat.

Studi saya menemukan sebanyak 99% responden petani di Indramayu menggunakan lebih dari satu bahan aktif pestisida sintetis baik itu jenis insektisida (racun serangga) ataupun herbisida (pengendali gulma ataupun tanaman pengganggu) dengan frekuensi sebanyak 7 hingga 8 kali dalam satu musim tanam padi. Jika terjadi serangan hama yang masif di lahan sawah, penggunaan insektisida sintetis dapat mencapai 10 hingga 12 kali.

Sementara, saya mendapati hanya satu persen responden petani yang tidak menggunakan pestisida sintetis.


Read more: Produksi beras juga bisa beradaptasi dengan perubahan iklim, syaratnya riset iklim harus diperbanyak


Di Indramayu, petani bahkan memakai herbisida berbahan aktif glifosat dan parakuat yang telah dilarang di banyak negara seperti Australia, Uganda, Uni Eropa, Kosta Rika, dan Sri Lanka. Larangan ini berbasis studi yang menunjukkan bahwa glifosat memiliki zat beracun yang meninggalkan residu dan punya risiko terhadap kesehatan manusia maupun satwa.

Kemasan produk pestisida sintetis di lahan sawah (Dokumentasi penulis)

Pemakaian pestsida sintetis ini berdampak besar pada keseimbangan ekosistem di Indramayu. Contohnya adalah resistensi hama wereng batang coklat, wereng batang putih, dan tikus yang mengakibatkan kegagalan panen ratusan hektare sawah di Indramayu.

Selain terkait produktivitas, penggunaan pestisida sintetis telah dianggap menjadi alat untuk mencapai kesejahteraan (melalui upaya memanen padi sebanyak-banyaknya) bagi petani skala kecil. Umumnya, petani padi skala kecil tidak memiliki aktivitas alternatif yang dapat menopang pendapatannya.

Anggapan berbahaya tersebut juga ‘dilestarikan’ melalui promosi pestisida sintetis oleh para produsen. Bahkan beberapa korporasi memberi iming-iming hadiah paket perjalanan kepada petani apabila membeli produk pestisida dengan jumlah tertentu.

Serbuan promosi tak berhenti sampai di situ. Saya menemukan produsen pestisida sintetis juga bermitra dengan petugas penyuluh pertanian maupun kelompok tani untuk meraup konsumen dalam jumlah besar.

Spanduk produk pestisida sintetis di toko sarana produksi tani. (Dokumentasi penulis)

Alih-alih sejahtera, anggapan yang salah soal pestisida tersebut justru menambah kerentanan ekonomi petani skala kecil lantaran sebagian besar modal bertani dihabiskan untuk membeli pestisida sintetis. Petani juga sering harus berhutang untuk membeli pestisida sintetis dengan dalih ‘sing penting selamat’ (yang penting selamat) alias terhindar dari risiko gagal panen.

Para petani sebenarnya mengakui penggunaan pestisida sintetis dalam jangka panjang dan intensitas yang tinggi berdampak pada resistensi hama. Namun, penggunaan tersebut mau tak mau dilakukan karena ketiadaan insentif sebagai jaring pengaman?* bagi petani saat terjadi gagal panen.

Kondisi lainnya yang memaksa penggunaan pestisida terkait dengan benih. Sejauh ini petani memprioritaskan benih yang bisa cepat dipanen dan memiliki produktivitas tinggi. Sayangnya, benih ini rentan terhadap serangan hama wereng batang coklat.

Sebenarnya pemerintah menyediakan benih yang bisa diakses petani. Sayangnya, selain menghasilkan beras berkualitas buruk sehingga tak laku dijual, benih ini juga tidak tahan hama.

Kembali ke sekolah

Studi saya menemukan kerentanan petani terjadi karena kekurangan pendampingan dari penyuluh pertanian maupun pemahaman terkait dampak-dampak perubahan iklim. Rendahnya tingkat pendidikan juga mempengaruhi akses petani terhadap pengetahuan.

Persoalan ini semestinya dapat diatasi secara cepat melalui gerakan penyuluhan pertanian oleh pemerintah. Gerakan yang digalakkan saat era Orde Baru ini melemah karena otoritas penyuluhan pertanian tak lagi menjadi perantara utama antara pemerintah dengan kelompok tani. Akibatnya, penyuluhan resiko penggunaan pestisida sintetis dan langkah antisipasi dampak penggunaan pestisida dalam jangka panjang kepada petani tidak berjalan optimal.

Pemerintah dapat memperkuat kembali gerakan penyuluhan pertanian hingga ke satuan administrasi terkecil seperti desa dan kelurahan.


Read more: Petani dan nelayan tak bisa menghadapi pemanasan global sendirian, harus berkelompok


Upaya lainnya adalah penggalakkan kembali Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) yang sempat sukses diberlakukan selama 1989-1999. Melalui program ini, petani dibekali informasi pengendalian hama terpadu (PHT) melalui penggunaan predator alami untuk mengusir hama. Dalam PPHT, petani masih dibolehkan menggunakan pestisida sintetis selama berada dalam jumlah yang aman.

Penyuluhan tersebut, berdasarkan studi yang saya lakukan, efektif meningkatkan kemampuan adaptasi kolektif petani terhadap hama maupun perubahan iklim. Seorang petani alumni SLPHT juga menyaksikan lahannya yang tidak menggunakan pestisida sintetis menghasilkan hasil panen lebih besar dibandingkan lahan dengan pestisida sintetis.

Sejumlah studi di Malawi, Pakistan, dan Jamaika menunjukkan bahwa metode sekolah lapang petani terbukti efektif membangun ketahanan petani menghadapi perubahan iklim dan meningkatkan kemampuan petani mengolah lahan.

Peserta sekolah lapang para petani di Sumatra Utara. (Bitra.or.id)

Namun begitu, Prinsip PHT harus dianggap sebagai solusi sementara. Indonesia harus bertransisi dari praktik pertanian konvensional ke pengelolaan yang berkelanjutan, misalnya dengan menggalakkan metode pertanian organik. Transisi juga mesti didukung pemberian insentif dan dukungan penyuluhan yang kuat sampai ke lapangan.

Pemerintah pun mesti merangsang aktivitas riset dan inovasi di bidang pertanian. Harapanya, rangsangan ini dapat memicu penemuan pengganti pestisida sintetis yang lebih efektif tapi tetap ramah lingkungan. Dukungan ini esensial agar ambisi ketahanan pangan dapat harmonis dengan kesejahteraan petani, kesehatan masyarakat dan kelestarian bumi.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 181,000 academics and researchers from 4,921 institutions.

Register now