Menu Close

Apa itu ‘dana pandemi’ hasil pertemuan G20 dan bagaimana peran Indonesia di dalamnya?

Presiden Joko Widodo (kanan) dan Perdana Menteri India Narendra Modi saat perhelatan G20 Summit di Bali. M Risyal Hidayat/Antara Foto

Salah satu pencapaian terbesar dari perhelatan G20 tahun ini adalah pembentukan dana pandemi (pandemic fund) yang bertujuan untuk mencegah, maupun bersiap menghadapi, ancaman pandemi di masa mendatang.

Dana pandemi untuk pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons – yang awalnya disebut the Financial Intermediary Fund (FIF) for Pandemic Prevention, Preparedness and Response (PPR) – ini diluncurkan pada 13 November 2022.

Indonesia, selaku tuan rumah G20 serta memiliki rekam jejak yang bagus dalam bidang diplomasi kesehatan, bisa memainkan peran penting untuk memastikan bahwa dana ini bisa dipergunakan dengan baik.

Hingga saat ini, total dana pandemi yang berhasil dikumpulkan baru sebesar US$1,4 miliar (Rp 21,68 triliun), yang merupakan hasil sumbangan dari 20 negara (Australia, Kanada, Uni Eropa, Perancis, Jerman, Tiongkok, India, Indonesia, Italia, Jepang, korea Selatan, Selandia Baru, Norwegia, Afrika Selatan, Singapura, Inggris Raya, Spanyol, Amerika Serikat dan Uni Emirat Arab) serta tiga organisasi filantropis (the Bill & Melinda Gates Foundation, the Rockefeller Foundation, dan Wellcome Trust).

Indonesia menyumbang sebesar US$50 juta, sedangkan Amerika Serikat (AS) menyumbang US$450 juta atau setara dengan hampir sepertiga dari total dana.

Melihat antusiasme dan besaran angka ini, apa sebenarnya peruntukan dana pandemi ini dan bagaimana peran Indonesia di dalamnya, khususnya sebagai tuan rumah kegiatan G20 tahun ini?

Pembentukan dana pandemi

Dana pandemi awalnya diusulkan pada masa presidensi G20 Italia tahun 2021. Namun, pada saat itu belum ada kesepakatan resmi. Hasil deklarasi G20 Roma, Rome Leaders’ Statement, hanya menyatakan bahwa “pendanaan terkait pencegahan, kesiapsiagaan dan tindakan terhadap pandemi harus lebih menyeluruh, berkelanjutan dan terkoordinasi dengan lebih baik”.

Kebutuhan dana pandemi ini didasarkan pada pengalaman negara berpenghasilan rendah dan menengah yang mengalami kesulitan mendanai sistem kesehatannya di masa pandemi COVID-19.

Keterbatasan dana menciptakan risiko sistemik karena adanya konektivitas global antar negara yang mendorong transmisi penyakit. Ini kemudian mendorong munculnya diskusi terkait dana kolektif global yang secara khusus ditujukan untuk pencegahan (prevention), kesiapsiagaan (preparedness) dan tindakan (response) terhadap pandemi atau biasa disebut PPR.

Di masa presidensi G20 Indonesia, isu pendanaan ini kembali dimunculkan, khususnya karena Indonesia memasukkan agenda arsitektur kesehatan global sebagai salah satu isu prioritas.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Bank Dunia mengestimasi bahwa ada kesenjangan pendanaan PPR pandemi sebesar US$10,5 miliar per tahunnya. Dana tersebut dibutuhkan untuk mendukung upaya kesetaraan vaksin, pengujian dan terapi, pengawasan global, riset dan pengembangan, produksi, serta penguatan sistem kesehatan secara umum.

Ini adalah jumlah dana total yang diharapkan dapat terkumpul melalui dana pandemi.

Bagaimana cara kerja dana pandemi?

Pada dasarnya, dana pandemi mengumpulkan dana dari donor untuk didistribusikan kepada negara berpenghasilan rendah dan menengah untuk berbagai keperluan khusus. Keperluan ini mencakup pangawasan penyakit, peningkatan kapasitas untuk tenaga kerja kesehatan, pendirian laboratorium dan pembentukan komunikasi kegawatdaruratan.

Lembaga pelaksana atau implementing agencies – yang mencakup bank pembangunan regional seperti Asia Development Bank, African Development Bank, dan beberapa organisasi internasional lainnya – akan menjadi agensi yang mendistribusikan dana ini.

Bank Dunia, WHO dan badan pengelola (governing body) – yang terdiri dari perwakilan negara, yayasan filantropis dan organisasi masyarakat sipil – akan mengelola dana pandemi ini secara kolektif. Keanggotaan di dalam badan pengelola mencakup negara donor dan resipien - atau disebut co-investors - untuk menjamin inklusivitas dan model pengambilan keputusan yang setara antar negara.

Model tata kelola seperti ini meniru model pengambilan keputusan di Global Fund to Fight AIDS, Tuberculosis and Malaria (GFATM) dan cenderung berbeda dengan model pengambilan keputusan tradisional milik Bank Dunia di mana negara mendapatkan saham dan suara berdasarkan kontribusi ekonominya.

Diplomasi kesehatan Indonesia

Salah satu pemain kunci dalam pendirian dan pengelolaan dana pandemi ini adalah Indonesia.

Indonesia merupakan salah satu negara donor pertama dan saat ini menjadi ketua bersama (co-chair) dari badan pengelola dana pandemi. Ini tidak mengherankan mengingat Indonesia aktif dalam upaya diplomasi kesehatan selama beberapa tahun terakhir.

Pada tahun 2021, Indonesia terpilih menjadi ketua bersama dari COVAX Advanced Market Commitment Engagement Group (COVAX AMC EG), yang tugas utamanya mendorong pemerataan akses vaksin global. Indonesia juga menjadi co-sponsor dari proposal India dan Afrika Selatan terkait TRIPS Waiver – penghapusan sementara beberapa klausul khusus menyangkut hak atas kekayaan intelektual untuk pencegahan, penanganan dan perawatan COVID-19.

Pada 2007, Indonesia menahan sampel H5N1 avian influenzanya untuk menunjukkan perlawanannya atas realitas situasi ketika negara miskin dan berkembang menyediakan sampel secara gratis, namun industri farmasi negara maju lah yang menggunakan sampel tersebut untuk menghasilkan produk paten yang kemudian dijual kembali ke negara miskin dan berkembang.

Penolakan ini mendorong perubahan di WHO, sehingga negara berkembang bisa mendapatkan akses yang lebih baik terhadap vaksin influenza.

Melihat rekam jejak di atas, setidaknya ada dua tantangan utama terkait pengelolaan dana pandemi yang Indonesia bisa masuk dan berperan penting.

Pertama, memastikan keberlanjutan dari kontribusi finansial.

Jumlah dana yang saat ini terkumpul masih cukup jauh dari target global, yakni sebesar US$10,5 miliar per tahun. Situasi menjadi lebih mengkhawatirkan mengingat dunia saat ini tengah menghadapi ancaman resesi global.

Selain itu, model pengunaan dana yang hanya berbasis hibah tanpa skema pinjaman juga terlihat kurang menarik bagi donor yang, biasanya, ingin mendapatkan imbalan atas kontribusinya.

Kedua, memastikan praktik pengumpulan dana yang berimbang.

Indonesia perlu mendorong agar pengumpulan dana pandemi tidak akan tercampur dengan kebutuhan dana sejenis lainnya.

Dana pandemi berpotensi menjadi kompetisi bagi institusi pendanaan kesehatan lainnya dan bisa mengurangi manfaat keseluruhan dari skema pendanaan kesehatan global. Menilik daftar donor dari dana pandemi, banyak dari mereka yang juga manjadi donor di skema pendanaan kesehatan lain seperti di the Global Fund.

Ini memunculkan kekhawatiran bahwa kontribusi kepada Global Fund akan dialihkan ke dana pandemi.

Karenanya, penilaian jangka panjang terhadap mekanisme pendanaan dana pandemi perlu dilakukan untuk memastikan ketersediaan dan keberlanjutan dana. Ini termasuk perluasan cakupan donor dan mendorong keterlibatan sektor swasta secara proporsional.

Hal ini mungkin terdengar cukup sulit mengingat kondisi ekonomi global saat ini, namun dunia pernah mengalami kondisi yang lebih berat dari ini.

Pada akhirnya, ketika terjadi krisis kesehatan global, tidak ada yang benar-benar selamat hingga semua selamat dan karenanya, bebannya terletak pada kita semua.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now