Menu Close
Seorang wanita memluk wanita lain nya
Aman untuk mengatakan bahwa cukup sering, ada harapan tak terucapkan yang menghambat jawaban jujur. (Erika Giraud/Unsplash)

‘Apa kabar?’: Ilmuwan beri tips bagaimana menjawab pertanyaan ini tanpa terkesan basa-basi selama pandemi

Saat efek pandemi dan krisis global lainnya menumpuk, meninggalkan banyak orang merasa terkepung dan lelah secara emosional jawaban kita yang biasanya sopan untuk pertanyaan, “Apa kabar?” sedang dipertanyakan.

Menanggapi dengan, “Baik, terima kasih, dan kamu” dianggap tidak memadai, tidak pantas dan kadang-kadang bahkan tidak dapat dimengerti. Mungkin yang sebenarnya kita komunikasikan melalui interaksi ini adalah, “Saya mengakui keberadaan kamu.”

Banyak dari kita yang terus mengalami interaksi sosial yang terbatas karena pandemi, interaksi yang kita miliki menjadi lebih penting. Jadi kita mungkin bertanya apakah ada ruang untuk bersikap tulus dalam hal ini. Bisakah kita menanggapinya dengan cara yang lebih dari sekadar sapaan, dengan cara yang otentik dan sopan?

Kesopanan Kanada : fakta atau fiksi

“Orang Kanada yang baik dan sopan” adalah identitas yang diakui secara international, yang dalam realitanya lebih merupakan mitos. Fakta atau bukan, bentuk komunikasi sopan masih dihargai dan dianggap umum.

Ketika kita terhubung dengan orang lain, di tempat kerja dan dalam kehidupan pribadi kita, banyak dari kita mulai dengan bertanya, “Bagaimana kabarmu?” Dalam bagian wacana sosial di sini yang sudah lama dan diterima secara luas: kami tidak selalu berharap untuk memberikan atau menerima jawaban yang jujur untuk pertanyaan ini .

Faktanya, aman untuk mengatakan bahwa cukup sering, ada harapan tak terucapkan yang menghambat jawaban yang jujur. Dalam situasi-situasi tersebut ketika jawaban biasa, “Baik, terima kasih,” diganti dengan respons yang lebih panjang dan kurang positif, bisa muncul kecanggungan.

Menanggapi dengan “Baik, terima kasih, dan kamu?” menjaga sesuatunya berjalan seperti biasa. Jawaban itu tidak meminta penerima untuk menanggung beban emosional, dan juga merahasiakan pikiran dan perasaan yang lebih intim yang melekat. Perasaan rentan biasanya menunjukkan perjuangan pribadi, yang bisa membuat kita khawatir akan dihakimi jika kita merespons secara jujur.

Dan, di saat-saat ketika kita membutuhkan semua yang kita miliki untuk menjaga diri tetap pada tempatnya, kita mungkin takut ditanyai, “Bagaimana kabarmu?” karena bisa membuat kita terbongkar.

Jadi, kami cenderung bermain aman. Tetapi apakah hubungan sosial yang dangkal ini benar-benar tentang bersikap sopan? Atau, adakah alasan lain yang mungkin menjelaskan mengapa kita cenderung tidak bersikap terlalu personal saat saling menyapa? Mungkinkah ada sesuatu dalam jiwa komunal yang membuat kita enggan membagikan apa yang sebenarnya terjadi pada kita?

A man and a woman fist bump
Apakah salam sederhana lebih penting sekarang daripada sebelumnya?? (Shutterstock)

Melihat diri sendiri sebagai pengganggu

Banyak yang khawatir bahwa memberi tahu seseorang dengan jujur tentang diri mereka mungkin diterima sebagai hal yang mengganggu dan bertanya kepada seseorang tentang apa yang sebenarnya mereka rasakan dapat dianggap sebagai gangguan.

Tetapi kemampuan yang diasah dengan baik ini sering dimaksudkan untuk mencegah ketidaknyamanan internal yang mungkin dirasakan, dan potensi ketidaknyamanan yang mungkin terjadi, ketika batas-batas sosial-relasional yang dianggap luas ini dilanggar.

Di satu sisi, dapat dikatakan bahwa memberi tahu seseorang bagaimana keadaan kita sebenarnya sama dengan meminta mereka untuk “membawa barang-barang kita”. Namun, kita juga tahu bahwa berbagi pikiran dan perasaan yang intim adalah suatu fitur inti dari psikoterapi, dan memberi tahu cerita kita memungkinkan penyembuhan fisik dan emosional adalah hal mendasar untuk pengobatan naratif

Seperti kata pepatah, “membagi masalah membuatnya menjadi lebih ringan.” Nilai dari melepaskan perasaan yang terpendam sebagai sarana untuk melepaskan beban memiliki sejarah yang panjang. Gagasan katarsis — pelepasan emosi setelah ekspresi emosi yang ditekan — berasal dari zaman Plato dan muridnya, Aristoteles, ketika dirasakan memiliki nilai terapeutik.

Tidak mengherankan, keinginan untuk mengungkapkan diri sendiri seringkali lebih kuat pada saat beban emosional terasa paling berat, menciptakan kebutuhan yang lebih kuat akan perasaan untuk melepaskannya tanpa beban.

Selain itu, kebutuhan untuk memiliki adalah kebutuhan dasar manusia, dan berbagi perasaan kita dengan orang lain dapat meningkatkan rasa keterhubungan kita. Sifat kritis terhadap kesehatan mental secara keseluruhan telah disorot lebih lanjut akibat pandemi.

A man reaches out his hand to someone else
Keinginan untuk mengungkapkan diri seringkali lebih kuat pada saat beban emosional terasa paling berat. (Shutterstock)

Apakah sudah waktunya untuk bersikap apa adanya?

Sama pentingnya dengan mempertimbangkan tanggapan kita terhadap pertanyaan kuno, pertanyaan “Apa kabarmu?” adalah upaya introspeksi tentang mengapa dan bagaimana kita menanyakannya.

Jika kita hanya bermaksud “Bagaimana kabarmu?” untuk dijadikan sebagai sapaan atau semacam pelumas sosial, mungkin kita tidak mengharapkan atau menginginkan tanggapan yang otentik. Namun, jika kita bermaksud menggali di luar formalitas ini, menuju koneksi dan makna dalam interaksi kita dengan orang lain, mungkin ada cara untuk menanyakan hal ini pertanyaan yang lebih bermakna, tulus, dan penuh perhatian.

Selama periode gelombang keenam pandemi ini, keletihan emosional menjadi semakin nyata, dan diperparah oleh berbagai bencana global lainnya. Ada banyak hal yang perlu diperhatikan, sementara banyak hal tentang cara kita berinteraksi satu sama lain telah berubah.

Saat kami mempertimbangkan bagaimana kelelahan emosional kolektif kami yang berkembang dapat mempengaruhi aturan keterlibatan sosial yang biasanya sopan, mau tak mau kami bertanya apakah hubungan sosial yang berdasarkan pada sapaan sopan sedang dihadapkan oleh adanya keinginan yang lebih besar untuk mendapatkan respons yang benar-benar murni selama pandemi. Apakah sudah waktunya bagi kita untuk merombak simbol-simbol sosial yang sudah lama ada ini?


Arina Apsarini dari Binus University menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now