Menu Close

Apa yang membuat Apple goyah hingga Steve Jobs pun tak dapat menolongnya?

Apakah hilangnya sosok Steve Jobs berdampak signifikan pada kinerja Apple? www.shutterstock.com/franz12

Apple memulai tahun baru dengan memberi peringatan untuk pertama kalinya dalam 17 tahun kepada para investor bahwa laba mereka akan turun. Perusahaan tersebut menyalahkan buruknya penjualan seri terbaru iPhone mereka sebagai penyebab lemahnya kinerja mereka dari September ke Desember 2018. Apple kemudian menurunkan target pendapatan mereka menjadi US$84 miliar (Rp1.194 triliun) dengan margin laba kotor 38%, dari yang sebelumnya menargetkan pendapatan sejumlah $89 miliar hingga $93 miliar. Dalam periode yang sama tahun lalu, Apple menghasilkan $88,3 miliar dengan margin laba kotor 42%.

Penurunan target pendapatan tersebut menyebabkan saham perusahaan turun 10% ke level terendahnya dalam 21 bulan. Sekarang waktunya untuk mencari kambing hitam, dan saya tidak akan heran melihat berita-berita yang menyalahkan pemimpin Apple sekarang, Tim Cook, yang tidak mampu meneruskan kinerja pendahulunya, Steve Jobs, pendiri Apple. Tapi, penelitian membuktikan bukan Jobs masalahnya.

Alasan mengapa bukan Jobs yang menjadi masalah dijelaskan dalam buku The Halo Effect, yang diterbitkan oleh kolega saya Phil Rosenzweig tahun 2007. Menurut saya, buku tersebut adalah salah satu buku terpenting dalam sejarah manajemen. Phil berpendapat bahwa persepsi kita terhadap kinerja mengaburkan penilaian kita terhadap manajer dan pimpinan. Ia memakai beberapa contoh perusahaan seperti Lego, untuk menunjukkan bahwa kemampuan seorang pimpinan tidak mempengaruhi kinerja sebuah perusahaan secara signifikan.

Ketika sebuah perusahaan kinerjanya baik, kita cenderung memberi nilai terlalu berlebihan bahwa ini karena pimpinannya. Hal ini membuat kita menghubungkan kinerja luar biasa dari sebuah perusahaan dengan kemampuan seorang figur pemimpin tertentu. Jadi, dalam kasus Steve Jobs, banyak yang mengenang visi perfeksionisnya, dan risiko risiko besar yang ia ambil dalam menciptakan pasar elektronik konsumen. Namun, bukti-bukti yang ada tidak mendukung hal tersebut.

Kebenaran sesungguhnya

Satu tulisan akademik yang melakukan identifikasi dan perhitungan dampak kepemimpinan individual terhadap kinerja perusahaan adalah penelitian ini yang dilakukan pada tahun 2003. Kedua profesor, Marianne Bertrand dan Antoinette Schoar, masing-masing dari University of Chicago dan MIT, menemukan bahwa kemampuan pimpinan perusahaan hanya menyumbang 2%-4% dari total kinerja perusahaan.

Dengan kata lain, jika margin laba Apple sebesar 38%, maka Tim Cook hanya bisa menambah atau mengurangi paling banyak 1,5%. Hal yang sama juga berlaku untuk Steve Jobs saat dirinya memimpin Apple selama dua periode (1976-85 dan 1997-2011). Kita tidak bisa sepenuhnya menganggap saham Apple yang saat itu meroket berkat Steve Jobs seorang karena kita tidak tahu skenario terbaik lainnya yang mungkin terjadi.

Tim Cook berbicara dalam peluncuran iPad Pro. John Gress Media Inc

Menurut saya, masalah Apple terjadi terutama karena hal-hal eksternal. Dalam surat yang dibuatnya, Cook menjelaskan bahwa bisnis Apple akan merosot, kecuali bisnis layanan, yang termasuk di dalamnya adalah App Store dan iTunes yang menyumbang 14% dari total pendapatan tahun 2018. Bisnis yang merosot itu merujuk pada penjualan Mac, iPad, Apple Watch dan, yang terpenting, iPhone yang menyumbang 62,7% dari total pendapatan Apple tahun 2018, atau turun dari angka 63.4% pada tahun 2016.

Apa yang menyebabkan penurunan ini? Salah satunya adalah semakin meningkatnya persaingan dari perusahaan Cina seperti Huawei dan Xiaomi, Google, LG, dan Samsung. Perusahaan-perusahaan tersebut telah menggeser posisi Apple yang sempat jaya di pasar ponsel pintar. Persaingan ini merusak kinerja Apple terutama di pasar negara berkembang. Di pasar tersebut, Cook menyalahkan nilai tukar matang uang dolar yang kuat dan kondisi ekonomi makro yang lemah di negara-negara tersebut, ketimbang cacatnya strategi Apple di sana.

Di negara di mana iPhone mendominasi pasar, seperti Amerika Serikat, Apple menyadari bahwa konsumen sudah tidak mengganti ponsel mereka sesering dulu. Sebuah laporan terbaru tahun 2015 oleh BayStreet Research memperkirakan rata-rata pengguna mengganti iPhone mereka tiap 24 bulan. Hingga kuartal terakhir 2018, periode penggantian ini berubah menjadi 36 bulan.

Menurut Apple, hal ini terjadi karena menipisnya subsidi operator telekomunikasi kepada pengguna Apple. Tetapi menurut pandangan saya, fakta yang menunjukkan bahwa ponsel terbaru Apple tidak menawarkan hal yang baru juga berpengaruh. Saya memakai iPhone 7 yang saya beli tahun 2016 dan, jujur, saya tidak tertarik menghabiskan $1,000 untuk versi yang terbaru. Saya sudah mendapat lebih dari yang saya butuhkan dari peranti saya saat ini.

Masalah Apple

Saya khawatir melihat Apple sebagai perusahaan yang bergantung pada satu produk saja. Di antara sumber pendapatannya yang lain, penjualan iPad, yang diluncurkan delapan tahun setelah iPhone, hanya sepersepuluh dari penjualan iPhone. Jika dibandingkan dengan Samsung, maka penjualan ponsel Samsung hanya mewakili 36,6% dari total pendapatan mereka. Hasil penjualan dari produk sandangan (wearables) Apple pun tidak meroket. Apple juga tidak memonetisasi platform bisnis mereka dengan menjual data pemakainya seperti saingan mereka; Google, Amazon, dan Facebook.

Seperti pendapat saya dalam artikel di The Conversation beberapa minggu lalu, turunnya saham Apple dalam beberapa bulan terakhir (turun 37% sejak Agustus 2018) menunjukkan perubahan persepsi pasar mengenai kemampuan perusahaan tersebut untuk tumbuh. Apple sudah tidak dipandang lagi sebagai saham yang nilainya akan terus naik. Di mata para investor, Apple hanya dipandang sebagai perusahaan yang nilainya bukan ditentukan karena masa depannya yang cerah tetapi kemampuannya untuk memberikan dividen kepada pemegang saham saat ini. Laporan keuangan terbaru mereka membuktikan hal ini.

Harga saham Apple, 2010-19

Yahoo Finance

Seperti yang dijelaskan dalam buku Phil Rosenzweig, cerita Apple bukanlah hal baru. Saat ini, kita menyalahkan manajemen Apple yang terlalu bergantung pada satu produk saja. Cook dan timnya akan merespons dengan melakukan diversifikasi produk lewat akuisisi, atau bermain lebih banyak di pasar-pasar baru, atau bahkan tetap setia dengan tawaran produknya saat ini.

Entah cara-cara di atas akan sukses atau gagal, gaya kepemimpinan dari manajemen ini akan tetap diapresiasi atau dikritisi secara tak seimbang. Selalu mudah bagi para analis untuk memberikan komentar mereka di belakang. Namun, kenyataannya perusahaan-perusahaan besar di dunia lebih rentan terhadap hal-hal eksternal dari yang kita kira. Apapun reaksi sang pemimpin dan siapapun mereka, ternyata efek yang mereka miliki ternyata cukup terbatas.


Artikel ini diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Reza Pahlevi.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now