Akhir Agustus 2024 kemarin, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP), merilis panduan pendidikan perubahan iklim. Ini merupakan hasil nyata pertama dari proses perencanaan panjang integrasi pendidikan perubahan iklim ke dalam pendidikan formal di Indonesia yang dimulai sejak pertengahan 2023.
Panduan ini ditujukan kepada pemangku kebijakan di daerah, kepala sekolah, dan pendidik, dengan tujuan memberikan pemahaman mendalam mengenai isu perubahan iklim, termasuk definisi dan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat. Selain itu, panduan ini menekankan pentingnya pendidikan perubahan iklim sebagai alat untuk memberdayakan generasi muda yang kritis dan proaktif melalui aksi mitigasi dan adaptasi iklim.
Meskipun positif, panduan ini memerlukan pengembangan terkait konten, mekanisme implementasi, dan strategi jangkauan agar dapat diimplementasikan secara maksimal dan efektif.
Integrasi dimensi afektif
Menurut UNESCO, pendidikan perubahan iklim dituntut untuk mencakup tiga dimensi pembelajaran, yaitu kognitif (pengetahuan), afektif (sosio-emosi/perasaan), dan konatif (perilaku). Sayangnya, dari segi konten, panduan ini belum menekankan dimensi afektif atau perasaan.
Panduan ini hanya mengakui pentingnya dimensi afektif, tapi tidak menyertakan strategi konkret untuk meningkatkannya di kalangan peserta didik. Ini berpotensi membuat dimensi afektif terabaikan dalam proses pembelajaran, mengingat topik ini belum lazim diterapkan di sekolah-sekolah Indonesia.
Penelitian saya di Jepang menemukan bahwa dimensi afektif adalah prediktor paling penting untuk niat berperilaku yang berkelanjutan. Individu yang memiliki keterlibatan emosional dengan perubahan iklim akan lebih memiliki kemauan untuk melakukan aksi iklim. Artinya, dimensi afektif adalah kunci penting untuk menjembatani kesenjangan antara pengetahuan dan tindakan (knowledge-action gap). Kesenjangan ini membuktikan bahwa pengetahuan saja tidak cukup untuk menghasilkan aksi nyata.
Pendekatan emosional yang interaktif dan mendalam, seperti yang diterapkan di Prancis, bisa menjadi contoh. Di sana, pendidikan perubahan iklim tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga melibatkan siswa secara emosional melalui diskusi terbuka tentang kekhawatiran dan ketakutan terhadap dampak perubahan iklim antarsiswa serta antara siswa dan guru.
Dalam proses ini, guru memosisikan diri mereka setara dengan siswa, tanpa bersikap menghakimi terhadap perasaan yang disampaikan. Refleksi secara emosional ini sangat krusial dalam pembelajaran transformatif—salah satu prinsip pedagogis dari pendidikan perubahan iklim, yang menargetkan perubahan cara berpikir siswa.
Pengakuan atas perasaan siswa ini belum tampak pada panduan pendidikan perubahan iklim di Indonesia. Peta kompetensi di dalam panduan ini, misalnya, masih menggunakan kata-kata seperti ‘memahami’, ‘mengenal’, dan ‘mengidentifikasi’, yang mencerminkan pendekatan pedagogi konvensional berbasis transmisi pengetahuan dan fokus pada dimensi kognitif.
Akibatnya, metode pengajaran yang diterapkan bersifat pasif, menyerupai metode ‘menyuapi’ atau spoon-feeding. Untuk mengatasi hal ini, kata-kata seperti ‘mengekspresikan‘, ‘mengeksplorasi’, ‘mengaplikasikan’, ‘menganalisis’, dan ‘mengembangkan’ dapat ditambahkan ke dalam panduan, seperti yang direkomendasikan oleh panduan pendidikan perubahan iklim di Arizona, Amerika Serikat (AS), Victoria, Australia, dan Prancis.
Memasukkan elemen politik
Panduan ini juga belum mengintegrasikan elemen politik. Padahal perubahan sistemik untuk resolusi perubahan iklim sangat dipengaruhi oleh aksi politik. Kurangnya dorongan bagi siswa untuk memahami dan berpartisipasi dalam proses politik yang memengaruhi kebijakan iklim menjadi kelemahan lain yang signifikan.
Di sini, aksi politik masyarakat menjadi sangat krusial untuk mendorong dan menopang political will pemerintah dalam strategi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim melalui kebijakannya.
Swedia, misalnya, sudah menjadikan pendidikan politik sebagai bagian integral dari pendidikan perubahan iklim. Siswa belajar memahami proses legislasi dan cara memengaruhi kebijakan melalui partisipasi demokratis, seperti melalui kegiatan debat dan lobbying.
Alhasil, generasi muda, seperti Greta Thunberg, sudah memiliki kesadaran politik dan berani menyuarakan aspirasinya sejak berusia 15 tahun.
Posisi di dalam kurikulum
Dari sisi implementasi, panduan ini menekankan pentingnya pendekatan lintas disiplin dalam pendidikan perubahan iklim. Namun, belum ada detail mengenai siapa yang akan bertanggung jawab serta bagaimana koordinasi antar-mata pelajaran. Ini dapat menimbulkan kebingungan di lapangan, khususnya dalam menetapkan tanggung jawab guru mata pelajaran yang tidak secara langsung berkaitan dengan topik perubahan iklim.
Memang pendidikan perubahan iklim diklaim memiliki ambiguitas epistemologis—sebagai disiplin ilmu sendiri, atau bidang pengetahuan dalam suatu disiplin ilmu. Tanpa pemahaman yang jelas, sulit untuk mengembangkan strategi integrasi ke dalam kurikulum serta membuat peta kompetensi dan hasil pembelajaran yang efektif.
Buktinya, pendidikan perubahan iklim kerap tersebar di seluruh kurikulum (cross-curriculum). Namun, mata pelajaran apa yang bertanggung jawab terhadap integrasi pendidikan perubahan iklim di sekolah masih belum jelas. Begitu juga dengan siapa guru yang berperan melakukan koordinasi.
Riset di Republik Ceko menemukan bahwa pendekatan lintas kurikulum dalam pendidikan perubahan iklim di negara tersebut memang memberikan siswa pengetahuan dari berbagai mata pelajaran. Namun, hasilnya justru membuat siswa kesulitan menghubungkan informasi tersebut menjadi pemahaman yang utuh.
Untuk mengatasi tantangan ini, Jepang telah menerapkan satu mata pelajaran khusus, sogotekina gakushuu no jikan atau waktu pembelajaran terintegrasi. Ini memungkinkan siswa menggabungkan pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu dalam konteks perubahan iklim.
Jam pelajaran ini membahas topik-topik isu sosial dan lingkungan hidup, termasuk perubahan iklim. Sehingga, siswa dapat melihat gambaran yang lebih besar dan memahami keterkaitan antar-isu. Pendekatan ini memiliki kesamaan dengan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) dalam Kurikulum Merdeka, meskipun P5 lebih bersifat kokurikuler (pendalaman mata pelajaran yang telah dipelajari di kelas) bukan intrakurikuler (kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan sesuai jadwal).
Mengupayakan jangkauan holistik
Tantangan lainnya adalah memastikan bahwa panduan ini mendapat perhatian serius dari para pendidik. Guru-guru yang kurang berminat atau kurang memahami pentingnya pendidikan perubahan iklim mungkin tidak akan mengakses, apalagi menerapkan panduan ini secara aktif. Selain itu, keterbatasan sumber daya, kapasitas guru, minimnya pelatihan khusus, dan kurangnya alat bantu pembelajaran interaktif juga menjadi hambatan utama.
Salah satu negara yang berhasil menjangkau pendidikan perubahan iklim ke dalam pendidikan formal secara menyeluruh adalah Italia. Negara ini mewajibkan pendidikan perubahan iklim di seluruh jenjang sekolah minimal 33 jam dalam satu tahun, dengan memasukkannya ke dalam pendidikan kewarganegaraan.
Pemerintah pusat menerapkan kebijakan ketat dan terstruktur, termasuk pelatihan wajib bagi guru serta evaluasi rutin atas implementasi pendidikan perubahan iklim di sekolah-sekolah. Hasilnya, literasi guru terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals, SDGs), termasuk perubahan iklim, sangat tinggi. Penelitian di dua daerah di Italia juga menemukan bahwa generasi muda di sana memiliki kesadaran yang lebih tinggi tentang perubahan iklim dibandingkan dengan orang dewasa.
Dengan kata lain, keberhasilan panduan ini memerlukan upaya kolaboratif yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah pusat dan daerah, guru, dan orang tua. Terutama, Kemendikbudristek perlu melakukan penjangkauan yang proaktif kepada pemangku kepentingan di daerah dan kepala satuan pendidikan mengenai pentingnya pendidikan perubahan iklim di sekolah.