Menu Close

Apakah dunia tengah menghadapi kemunduran globalisasi dan bersiap menyambut “gelombang kelima”?

Globalisasi telah berlangsung selama empat gelombang. Apakah kita tengah menuju gelombang kelima? Andrea Piacquadio/Pexels

Selama 25 tahun terakhir, banyak penelitian dan riset bergulir mengenai konsep, sejarah, dan perkembangan globalisasi – termasuk berbagai dimensi dan keuntungannya.

World Economic Forum berargumen bahwa dunia telah mengalami empat gelombang globalisasi. Organisasi tersebut menerbitkan sebuah artikel yang merangkum perkembangan globalisasi.

Menurut artikel tersebut, revolusi industri memunculkan gelombang pertama globalisasi pada akhir abad ke-19, didorong oleh perkembangan transportasi dan komunikasi. Gelombang pertama ini berakhir seiring dengan pecahnya Perang Dunia I pad 1914.

Gelombang kedua bangkit setelah Perang Dunia II pada akhir 1945, dan berakhir pada 1989. Gelombang ketiga dimulai ketika tembok Berlin runtuh pada 1989 dan Uni Soviet bubar pada 1991, sebelum akhirnya mandek akibat krisis finansial global pada 2010. Seiring dengan pemulihan pascakrisis, bertumbuhnya ekonomi digital dan intelejensi buatan (artificial intellligence), serta naiknya Cina sebagai kekuatan global – gelombang keempat muncul.

Belakangan, muncul perdebatan mengenai apakah gelombang keempat tengah mengalami kemunduran dan apakah dunia telah siap untuk menyaksikan gelombang kelima tinggal landas.

Persamaan dalam periode kemunduran gelombang pertama dengan dinamika global yang tengah terjadi sekarang cukup mengejutkan. Apakah persamaan yang terpisah jarak satu abad ini berarti kemunduran gelombang keempat akan terjadi? Apakah ada cukup bukti bahwa proses deglobalisasi tengah berlangsung ataukah ini hanya sekadar “slowbalisation” (perlambatan globalisasi)?

Paralel

Mundurnya globalisasi selama 30 tahun dari 1914 hingga 1945 merupakan dampak geopolitik dan ekonomi dari Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Faktor lainnya melingkupi Pandemi Flu Spanyol pada 1918-1920; kehancuran pasar saham pada 1929 yang diikuti oleh krisis ekonomi Great Depression pada 1930; dan bangkitnya blok komunis di bawah rezim Stalin pada dekade 1940an.

Periode ini lebih jauh ditandai dengan sentimen proteksionisme, kenaikan tarif dan hambatan perdagangan lainnya, serta penurunan perdagangan internasional secara umum.

Terdapat paralel yang tidak dapat dimungkiri jika melihat konteks ekonomi global saat ini. Dunia masih berjuang menghadapi pandemi COVID-19 yang membawa dampak yang merugikan bagi perekonomian global, rantai pasokan, dan kesejahteraan masyarakat.

Perang Rusia-Ukraina juga memiliki kontribusi terhadap ketidakpastian global dan kelangkaan pangan. Konflik ini juga menyebabkan meroketnya harga gas dan bahan bakar minyak, gangguan lebih jauh terhadap rantai nilai global, dan polarisasi politik.

Melonjaknya harga berbagai barang konsumsi dan energi memberikan tekanan terhadap tingkat harga secara umum. Inflasi dunia menanjak agresif untuk pertama kalinya selama 40 tahun. Otoritas moneter di seluruh dunia kini tengah bergelut melawan inflasi.

Institusi tata kelola global seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang berfungsi dengan baik pasca-Perang Dunia II, kini mengalami penurunan pengaruh.

Sementara, Perang Rusia-Ukraina membagi perpolitikan dunia menjadi tiga kelompok. Mereka adalah kelompok pendukung invasi, negara-negara netral, serta negara-negara oposisi yang didominasi oleh Amerika Serikat (AS), Uni Eropa, dan Inggris. Perpecahan ini menimbulkan tantangan geopolitik yang rumit, yang pelan-pelan mengarah pada perubahan mitra dagang dan regionalisme.

Eropa kini mulai mencari pemasok minyak dan gas baru sebagai alternatif dari Rusia. Di sisi lain, indikasi awal perluasan pengaruh Cina di Asia semakin jelas.

Dunia yang makin tak terhubung

Deglobalisasi didefinisikan sebagai

sebuah gerakan menuju dunia yang makin tak terhubung, dengan ciri khas keberadaan berbagai negara bangsa yang kuat, solusi lokal, dan kontrol perbatasan alih-alih institusi global, perjanjian, dan pergerakan bebas.

Saat ini, muncul pula perbincangan soal slowbalisation. Terminologi ini pertama kali diperkenalkan oleh pengamat tren dan futurolog Adjiedji Bakas pada 2015 untuk mendeskripsikan fenomena

integrasi ekonomi global berkelanjutan melalui arus perdagangan, keuangan, dan lainnya, walaupun pada laju yang sangat melambat.

Data globalisasi ekonomi memberikan gambaran yang menarik. Data tersebut menunjukkan bahwa, bahkan sebelum pandemi COVID-19 menyebar pada 2020, perlambatan intensitas globalisasi jelas terlihat. Data yang menampilkan takaran globalisasi melingkupi:

  • Ekspor barang dan jasa di tingkat global. Persentase ekspor pada total pendapatan domestik bruto (PDB) mencapai angka tertingginya di level 31% pada 2008, tepat menjelang gelombang ketiga berakhir. Proporsi ekspor pada PDB global anjlok dan baru mulai pulih pada 2011, atau ketika dunia memasuki tahap awal globalisasi gelombang keempat. Namun, angka ekspor terus mengalami kemunduran, mencapai 28% dari PDB global pada 2018 dan 26% ketika pandemi menyerang pada 2020.

  • Volume arus masuk investasi asing langsung (FDI). Arus masuk FDI mencapai puncaknya pada kisaran US$2 triliun (Rp 29.795 triliun) pada 2016, sebelum mengalami penurunan dan menyentuh US$1,48 triliun pada 2019. Walaupun arus masuk FDI pada 2020 hanya berkisar di angka US$963 miliar atau 20% di bawah level krisis finansial 2009, angka ini mengalami pemulihan menjadi US$1,58 miliar pada 2021.

  • Persentasi FDI terhadap PDB mengalami kenaikan dari hanya sekitar 1% pada 1989 hingga mencapai puncak 5,3% in 2007. Setelah mengalami penurunan akibat krisis keuangan global, sebelum naik pada 2015 dan 2016 ke kisaran 3,5%. Angka ini kembali amblas ke level 1,7% pada 2019 dan 1,4% pada 2020.

  • Seiring perkembangan zaman, perusahaan multinasional menjadi motor penggerak globalisasi ekonomi. Jumlah mereka mengindikasikan kemauan perusahaan untuk berinvestasi di luar batas negaranya. UN Conference on Trade and Development (UNCTAD) melaporkan bahwa terdapat 82.000 perusahaan multinasional yang beroperasi pada 2008. Angka ini menyusut menjadi 60.000 pada 2017.

  • Data arus modal swasta dunia (termasuk investasi asing langsung, arus ekuitas portofolio, pengiriman uang, dan pinjaman sektor swasta) tidak tersedia. Namun, Data Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menunjukkan bahwa arus modal swasta untuk negara-negara pelapor mencapai titik tertinggi sepanjang masa sebesar US$414 miliar pada 2014, diikuti dengan tren penurunan menjadi US$229 miliar pada 2019, dan arus keluar negatif sebesar US$8 miliar pada 2020.

Tren penurunan ini semakin termaterialisasi dengan fragmentasi hubungan ekonomi yang makin dalam akibat fenomena Brexit dan relasi problematis antara AS dan Cina, terutama pada era kepemimpinan Presiden AS Donald Trump.

Bagaimana selanjutnya?

Pertanyaannya sekarang adalah apakah data yang ada:

  • mengindikasikan kemunduran dari globalisasi, seperti yang terjadi pada gelombang pertama satu abad lalu;

  • atau itu hanya proses deglobalisasi;

  • atau slowbalisation untuk mengantisipasi pemulihan ekonomi dunia setelah terdampak pandemi COVID-19 dan Perang Ukraina?

Kesamaan antara gelombang pertama globalisasi dengan peristiwa global yang berlangsung saat ini sangat besar, meski terjadi dalam tatanan dunia yang sangat berbeda.

Dinamika yang saat ini membentuk dunia – seperti kemajuan teknologi, era digital, dan kecepatan penyebaran teknologi dan informasi – tentu akan mempengaruhi intensitas kemunduran pada ketergantungan yang ada pada globalisasi.

Negara bangsa telah menyadari bahwa menyepakati kontrak dan perjanjian dengan perusahaan-perusahaan dari negara lain secara sembarangan bisa menyebabkan masalah. Oleh karena itu, mitra dagang dan investasi harus dipilih dengan cermat.

Peristiwa-peristiwa yang terjadi selama tiga tahun ke belakang menunjukkan bahwa perekonomian dunia sangat terintegrasi. Meskipun banyak contoh pendekatan proteksionisme dan kebijakan yang fokus pada ranah domestik, dunia tidak mungkin seutuhnya mundur dari globalisasi.

Fenomena yang paling mungkin terjadi adalah fragmentasi, yaitu rantai pasok menjadi lebih fokus pada tingkat kawasan.

Peraih Nobel di bidang ekonomi, Joseph Stiglitz merujuk langkah ini sebagai “friend shoring” (mengarahkan rantai pasok ke mitra sahabat), sebuah frasa yang dicetuskan oleh Menteri Keuangan AS Janet Yellen.

Sekarang ini, cukup jelas bahwa proses globalisasi menunjukkan baik karakteristik deglobalisasi maupun slowbalisation. Selain itu, cukup jelas bahwa guncangan eksternal global yang terjadi menunjukkan perlunya pemikiran ulang, pengaturan ulang tujuan, dan reformasi proses globalisasi secara menyeluruh.

Hal-hal ini kemungkinan akan mengarahkan dunia pada gelombang globalisasi kelima.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now