Menu Close
The message over the doorway to London’s Kirkaldy Testing Museum. But don’t be too quick to believe the facts and dismiss the opinions. Pesan di pintu keluar masuk Museum Kirkaldy Testing di London. Namun, jangan terlalu cepat memercayai fakta dan mengabaikan pendapat. Flickr/Kevo Thomson, CC BY-NC-ND

Apakah fakta selalu lebih penting ketimbang opini?

Mana yang lebih penting, fakta atau opini tentang suatu subjek? Mungkin kita akan tergoda untuk mengatakan fakta. Namun, jangan buru-buru…

Akhir-akhir ini, kita mendapati diri kita meratapi sebuah dunia post-truth, ketika fakta-fakta tidak tampak lebih penting daripada opini, dan terkadang justru menjadi kurang begitu penting.

Kita juga cenderung melihat ini sebagai menurunnya nilai pengetahuan baru-baru ini. Namun, hal ini adalah fenomena dengan sejarah panjang.

Penulis fiksi ilmiah, Isaac Asimov, menulis pada 1980:

Anti-intelektualisme telah menjadi benang merah yang berliku-liku dalam kehidupan politik dan budaya kita, pandangan ini dipupuk oleh anggapan keliru bahwa dalam demokrasi “ketidaktahuan saya sama derajatnya dengan pengetahuan Anda”.

Pandangan bahwa pendapat bisa lebih penting daripada fakta tidaklah kemudian merendahkan pengetahuan. Sering kali, dalam situasi tertentu pendapat lebih penting daripada fakta, dan ini adalah sesuatu yang baik. Mari saya jelaskan.

Tidak semua fakta itu benar

Menyebut sesuatu sebagai fakta berarti – kita asumsikan – membuat klaim bahwa sesuatu itu benar. Dalam banyak hal, ini tidak masalah meski mempertahankan klaim sesuatu itu fakta bisa lebih sulit dari yang kita kira.

Apa yang kita kira sebagai fakta – yaitu, hal-hal yang kita anggap benar – bisa saja salah walaupun kita sudah melakukan penyelidikan terhadap hal itu dengan sangat jujur dan terbuka.

Misalnya, apakah anggur merah baik atau buruk untuk kesehatan? Dan apakah ada dinosaurus bernama brontosaurus atau tidak? Peneliti Harvard, Samuel Arbesman, menunjukkan contoh-contoh ini dan contoh lainnya tentang bagaimana fakta berubah dalam bukunya The Half Life of Facts.

Masalahnya bukan hanya karena fakta dapat berubah. Misalnya, kita bisa saja dengan senang hati menerima bahwa Bumi itu bulat. Padahal Bumi itu tidak benar-benar bulat, melainkan agak “gendut” di area khatulistiwa.

Namun, bagaimanapun juga, meyakini Bumi mirip bola sangatlah berbeda dari meyakini Bumi itu datar.

Asimov mengungkapkan ini dengan indah dalam esainya The Relativity of Wrong. Bagi Asimov, orang yang berpikir bahwa Bumi itu bulat itu salah, dan begitu pula orang yang berpikir bahwa Bumi itu datar. Namun, orang yang berpikir bahwa dua kelompok itu sama-sama salah, justru lebih salah daripada keduanya.

Terlepas dari bagaimana persisnya bentuk Bumi, menyebut sesuatu sebagai fakta bukanlah pernyataan kebenaran. Fakta biasanya mengacu pada suatu pengetahuan paling baik yang kita miliki pada saat tertentu.

Ini juga bukan pukulan mematikan yang bisa kita gunakan dalam bertarung soal argumen. Mengatakan sesuatu sebagai fakta tidak serta-merta mengubah keyakinan orang yang tidak sependapat dengan kita.

Bila tidak disertai dengan kaitan terhadap keyakinan, ini bukanlah teknik persuasi argumen yang baik. Bukti yang dihadirkan dengan suara keras berulang-ulang – berulang-ulang berteriak “Tapi ini fakta!” – tidak akan berhasil sama sekali. Atau minimal, cara ini memang seharusnya tidak boleh berhasil.

Masalah fakta dan opini

Di lain pihak, menyebut sesuatu sebagai opini tidak harus berarti membawa diri ke negeri dongeng dan angan-angan. Ini juga bukan serangan KO dalam berargumen.

Jika kita menganggap pendapat sebagai suatu pandangan seseorang tentang suatu subjek, maka banyak pendapat bisa menjadi kuat.

Sebagai contoh, saya berpendapat bahwa sains memberi kita narasi yang kuat untuk membantu memahami posisi kita di Alam Semesta, seperti halnya perspektif agama apapun. Ini bukan fakta empiris, tapi ini hal yang saya yakini dan berguna bagi pemahaman saya.

Namun kita bisa lebih jelas dalam menyampaikan maksud kita jika kita memisahkan mana yang fakta dan mana yang opini.

Hal-hal terkait fakta terbatas pada klaim empiris; contoh, titik didih suatu zat, apakah timbal lebih padat daripada air, atau apakah suhu planet ini memanas.

Hal-hal yang berupa opini adalah klaim non-empiris, dan termasuk masalah tentang nilai dan preferensi pribadi; misalnya, makan daging itu boleh atau tidak, apakah es krim vanila lebih baik daripada cokelat. Etika adalah contoh sistem yang tidak begitu saja memungkinkan fakta mendorong terjadinya suatu tindakan.

Pendapat dapat dibuat berdasarkan pada fakta (misalnya, mengetahui bahwa hewan dapat merasakan sakit bisa mempengaruhi keputusan saya makan daging), tapi pada akhirnya pendapat tidak dapat diselesaikan oleh fakta (apa relevansinya bahwa hewan merasakan sakit?).

Menunjang fakta dan opini

Opini bukan sekadar cermin buram sebuah fakta; pendapat adalah penilaian dan kesimpulan. Pendapat dapat menjadi hasil dari pertimbangan yang cermat dan canggih ketika penyelidikan empiris tidak memadai atau tidak cocok.

Tentu enak bila dunia bisa rapi memisahkan masalah fakta dan masalah pendapat, tapi kenyataannya tidak demikian. Misalnya, bahwa saya lebih suka es krim vanila daripada cokelat itu fakta. Atau dengan kata lain, bahwa saya memiliki suatu pengalaman subjektif itu adalah suatu kejadian fakta.

Namun kita dapat mencegah potensi perdebatan dengan membatasi masalah fakta pada hal-hal yang dapat diverifikasi oleh orang lain.

Preferensi saya soal es krim memang dapat ditunjukkan secara eksperimental dengan mengamati perilaku saya dan mewawancarai saya, namun preferensi itu tidak dapat diverifikasi secara independen oleh orang lain tanpa keraguan. Saya bisa saja berpura-pura.

Namun kita semua dapat secara prinsip sepakat apakah atmosfer mengandung lebih banyak nitrogen atau karbon dioksida karena kita dapat berbagi metodologi penyelidikan dalam memperoleh jawaban.

Kita juga dapat menyepakati masalah nilai jika suatu pandangan tertentu secara rasional dapat berguna dalam mencari jawaban.

Fakta dan pendapat tidak perlu diposisikan secara bertentangan satu sama lain karena dua hal itu memiliki fungsi yang saling melengkapi dalam pengambilan keputusan kita.

Dalam kerangka kerja rasional, keduanya sama-sama bermanfaat. Tapi ini hanya pendapat saya – ini bukan fakta.

Aisha Amelia Yasmin menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 181,000 academics and researchers from 4,921 institutions.

Register now