Menu Close

Apakah penurunan demokrasi global terkait dengan media sosial? Kami menyisir bukti untuk mencari tahu

Demonstrasi terkait media sosial. Manish Swarup/AP

Ada dua pola pikir umum tentang demokrasi di era online. Pertama, internet adalah teknologi pembebasan dan akan membawa kita ke era demokrasi global. Kedua, kita dapat memilih antara ikut bermedia sosial atau hidup berdemokrasi, tetapi tidak bisa keduanya sekaligus.

Mana yang lebih benar? Tidak diragukan bahwa demokrasi di seluruh dunia kini sedang mengalami kemunduran. Bahkan negara-negara yang selama ini demokrasinya kita anggap stabil baru-baru ini mengalami peristiwa yang sangat bertentangan dengan prinsip demokrasi dan supremasi hukum, seperti serangan kekerasan di US Capitol, gedung Kongres Amerika Serikat (AS), pada tahun 2021.

Untuk memahami peran media sosial dalam proses kemunduran demokrasi ini, kami melakukan tinjauan menyeluruh terhadap sejumlah bukti yang menghubungkan media sosial dengan sepuluh indikator kesejahteraan demokratis (democratic wellbeing). Indikator tersebut adalah partisipasi politik, pengetahuan, kepercayaan, paparan berita, ekspresi politik, kebencian, polarisasi, populisme, struktur jaringan, dan misinformasi.

Kami meninjau hampir 500 studi yang meliputi berbagai platform dan berbagai negara di seluruh dunia, dan menemukan beberapa pola besar yang muncul. Penggunaan media sosial ternyata berkorelasi dengan peningkatan keterlibatan politik, peningkatan polarisasi, populisme, dan ketidakpercayaan pada institusi.

Bukti yang beragam

Kajian kami lebih menekankan pada penelitian yang membangun hubungan sebab akibat antara media sosial dan indikator kesejahteraan demokratis, bukan hanya korelasi.

Sekadar membahas korelasinya memang menarik, tetapi ini tidak dapat membuktikan apakah suatu hal, peristiwa, atau pola, benar-benar disebabkan oleh penggunaan media sosial atau tidak.

Misalnya, kita menemukan adanya hubungan antara penggunaan media sosial dan ujaran kebencian. Ini karena orang yang melontarkan ujaran kebencian ternyata memang lebih banyak menggunakan media sosial, bukan karena penggunaan media sosial itu memicu ujaran kebencian.

Hubungan sebab akibat dapat dibangun dengan beberapa cara, misalnya melalui eksperimen lapangan skala besar. Peserta eksperimen bisa kita minta untuk mengurangi penggunaan Facebook menjadi 20 menit per hari atau tidak menggunakannya sama sekali selama sebulan. Dua cara itu terbukti bisa meningkatkan kesejahteraan, bahkan tidak menggunakan Facebook sama sekali bisa mengurangi polarisasi politik secara signifikan.

Makin terlibat, makin terpolarisasi

Kami menemukan bahwa dari 496 studi yang kami kaji – yang sebagian besar bersifat korelasi ketimbang hubungan sebab akibat – ada efek positif maupun negatif. Seperti yang sering terjadi dalam sains, polanya memang rumit tetapi masih bisa kita tafsirkan.

Sisi positifnya, kami menemukan penggunaan media digital berhubungan dengan keterlibatan politik yang lebih tinggi dan paparan terhadap berita yang lebih beragam. Satu studi di Taiwan menemukan bahwa penggunaan media sosial yang berorientasi informasi dapat meningkatkan partisipasi politik. Namun, ini hanya terjadi jika penggunanya percaya bahwa aktivitas online individu dapat mempengaruhi situasi politik.


Read more: Clickbait extremism, mass shootings, and the assault on democracy – time for a rethink of social media?


Sisi negatifnya, kami menemukan banyak bukti bahwa media sosial dapat mendorong polarisasi dan populisme, serta mengurangi kepercayaan publik terhadap institusi negara. Efeknya terhadap tingkat kepercayaan pada institusi dan media sangat terasa. Selama pandemi, penggunaan media digital berkaitan dengan keraguan masyarakat terhadap vaksin COVID-19.

Dampak negatif lainnya dari penggunaan media sosial, dalam berbagai konteks politik dan di berbagai platform, adalah meningkatnya polarisasi politik.

Kami menemukan bahwa peningkatan polarisasi berkaitan dengan paparan informasi di media sosial yang menyajikan berbagai sudut pandang yang berlawanan. Dengan kata lain, melihat unggahan berisi pesan-pesan dari lawan politik pun tidak meredam polarisasi politik – bahkan justru membuatnya semakin intens.

Berkaitan dengan kekerasan

Kami juga menemukan adanya hubungan yang kuat antara penggunaan media sosial dengan populisme. Penggunaan media sosial yang lebih banyak berpengaruh pada meningkatnya perolehan suara untuk partai-partai populis.

Studi di Austria, Swedia dan Australia menemukan bukti adanya kaitan antara peningkatan penggunaan media sosial dan radikalisasi sayap kanan di dunia maya. Studi di Jerman dan Rusia juga membuktikan adanya hubungan sebab akibat, bahwa media digital dapat meningkatkan insiden kejahatan dan kebencian antaretnis.


Read more: Meet BreadTube, the YouTube activists trying to beat the far-right at their own game


Penelitian di Jerman, misalnya, menemukan pemadaman lokal Facebook (karena kesalahan teknis atau gangguan internet) telah menurunkan angka kekerasan di daerah tersebut. Para penelitinya memperkirakan dengan berkurangnya sentimen antipengungsi di media sosial sebesar 50%, insiden kekerasan berkurang sebanyak 12,6%.

Sebaran dampak penggunaan media sosial di seluruh dunia juga bisa terlihat. Dampak positif terkait partisipasi politik dan konsumsi informasi yang paling menonjol dapat kita temui di negara-negara demokrasi baru, seperti di Amerika Selatan, Afrika, dan Asia. Sementara dampak negatifnya lebih banyak ditemukan di negara demokrasi mapan, seperti di Eropa dan Amerika Serikat (AS).

Tidak ada jawaban sederhana

Jadi, kembali ke pertanyaan awal: apakah internet adalah teknologi pembebasan? Atau apakah media sosial justru tidak sejalan dengan demokrasi?

Jawabannya tidak sesederhana ‘ya’ atau ‘tidak’. Namun, ada bukti bahwa media digital memang mempengaruhi perilaku politik secara global. Bukti ini menimbulkan kekhawatiran akan dampak buruk media sosial terhadap demokrasi.


Read more: The 'digital town square'? What does it mean when billionaires own the online spaces where we gather?


Facebook, Twitter, dan media sosial lainnya tidaklah bertentangan dengan demokrasi. Kesejahteraan demokratis, bagaimanapun, mengharuskan para ilmuwan mempelajari dengan cermat efek sosial dari media sosial. Pihak yang harus mengevaluasi dan mengatur dampak tersebut adalah masyarakat dan para pembuat kebijakan, bukan sekelompok kecil orang-orang super kaya.

Sudah ada beberapa langkah kecil namun penting untuk mengendalikan dampak buruk penggunaan media sosial. Di antaranya adalah UU Layanan Digital Uni Eropa dan Platform Accountability and Transparency Act (PATA) yang tengah diajukan di AS, meskipun nasib peraturan ini masih belum jelas.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now