Menu Close
Pabrik mengeluarkan asap.
Shutterstock,Valentina Petrov

Apakah tertundanya pertemuan iklim COP26 mengganggu upaya untuk mengurangi emisi karbon? Ini penjelasannya

Apakah tertundanya negosisasi iklim PBB, COP26, berdampak pada aksi internasional untuk dekarbonisasi? Akankah pertemuan susulan membantu? Apakah pertemuan tersebut bisa gagal karena negara-negara berhenti melakukan aksi?

Pertemuan tingkat tinggi PBB tentang perubahan iklim ke-26 (C0P26) dijadwalkan diadakan di Glasgow, UK, pada minggu pertama dan kedua November 2020.

Namun, pandemi COVID-19 sejak April memaksa penundaan acara dan berubah menjadi November 2021.

Ini berarti 12 bulan penundaan bagi perwakilan-perwakilan dari 200 negara, salah satunya Selandia Baru, yang mendapatkan tugas pengawasaan dan pelaksanaan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).


Read more: Climate explained: does building and expanding motorways really reduce congestion and emissions?


Sangat penting untuk membuat kemajuan atas target-target yang sudah ditetapkan dalam Perjanjian Paris 2015, yaitu membatasi rata-rata pemanasan global pada 1,5-2°C di abad ini, relatif terhadap tahun 1890-an (periode pra-industri).

Mencegah ‘Bumi Rumah Kaca’ (Hothouse Earth)

Target suhu yang disetujui di Paris dipilih dengan penuh pertimbangan.

Banyak studi menunjukkan peningkatan di atas 2°C akan berdampak kepada sistem iklim (seperti melemahnya penyerapan karbon di laut dan darat).

Ini membuat planet kita menjadi “Bumi Rumah Kaca” yang akan bertahan ribuan tahun, terlepas dari kondisi emisi di masa depan.

Untuk menghindari skenario ini, perjanjian PBB yang mengikat secara hukum tersebut mendorong semua negara yang berpartisipasi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secepat mungkin.

Sebagai bagian dari Perjanjian Paris, negara-negara maju setuju untuk menyediakan 100 miliar dolar dari tahun 2020 bagi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di negara-negara berkembang.

Sayangnya, laju emisi global saat ini mengarah pada peningkatan rata-rata suhu global sebesar lebih dari 2°C dan mungkin sebesar 4°C, melebihi batas target yang ditetapkan di Paris.
Satu penelitian baru-baru ini menunjukkan kerugian ekonomi jika gagal memenuhi target Perjanjian Paris berpotensi mencapai 600 triliun dolar pada 2100.

Ini membuat planet dalam keadaan resesi permanen.

Perwakilan negara diharapkan hadir di Glasgow tahun depan dengan rencana yang lebih matang untuk mengurangi emisi dan memenuhi komitmen mereka untuk membantu negara-negara berkembang.

Pandemi dan emisi

Pertemuan 30.000 delegasi di Glasgow akan diwarnai ketidakpastian terkait COVID-19 dan hantaman besar bagi ekonomi global sejak Depresi Besar pada 1930-an.

Pandemi ini sangat berpengaruh tapi belum jelas dampaknya bagi pengurangan emisi.

Sebagian besar orang sudah membatalkan perjalanan dan bekerja dari rumah, dan melalui daring, akibat pandemi.

Data Google dan Apple menunjukkan bahwa setengah dari populasi dunia mengurangi perjalanan hingga setengahnya di bulan April.

Sayangnya, emisi gas rumah kaca masih tetap tinggi.

Emisi karbon dioksida global per hari turun sebanyak 17% pada awal April.

Begitu ekonomi dunia mulai pulih, emisi naik, menurut PBB, penurunan karbon dioksida hanya mencapai 4-7% tahun 2020, relatif dibandingkan dengan 2019.

Untuk mencapai target Paris dan membatasi pemanasan pada suhu 1,5°C, dunia perlu menurunkan 7,6% dari tahun-ke-tahun pada dekade berikutnya, dan mencapai nol emisi pada 2050.

Banyak yang harus dikerjakan

Kenyataannya, negara-negara perlu melakukan lebih banyak aksi untuk dekarbonisasi ekonomi mereka.

Namun, bagi banyak pemerintah negara, pertanyaan yang lebih sulit adalah bagaimana mencapai target emisi yang lebih ambisius dan membangun kembali ekonomi yang tenggelam karena COVID-19 secara bersamaan.

Meski PBB memiliki penurunan keuangan yang besar sebanyak 711 juta dolar (pada akhir 2019) karena beberapa negara tidak membayar kewajiban tahunan, seperti AS, Brazil, dan Arab Saudi sebagai pelanggar terbesar, tidak ada alasan membatalkan pertemuan COP26 di tahun depan.

Pertemuan susulan memang sudah dibicarakan, tapi belum ada pengumuman lebih lanjut.

Ini bukan berarti tidak ada negosiasi dan komitmen intensif menjelang COP26 di Glasgow nanti. Dan, ada beberapa kemajuan positif.

Pemulihan pandemi

Saat dunia mulai memulihkan ekonomi setelah pandemi, beberapa negara maju mengarah kepada stimulus hijau dan komitmen publik untuk mengurangi investasi bahan bakar fosil.

Sebagai contoh, Cina sebagai penghasil karbon dioksida terbesar di dunia mengumumkan puncak target emisi karbon pada 2030 dan mencapai karbon netral pada 2060, saat Majelis Umum PBB ke 75.


Read more: China just stunned the world with its step-up on climate action – and the implications for Australia may be huge


Komitmen yang lebih ambisius adalah European Green Deal yang diumumkan pada akhir 2019.

Tujuannya mengurangi emisi gas rumah kaca hingga setengah pada dekade berikutnya dan membuat Eropa menjadi benua karbon netral pertama di dunia.

Untuk mencapai ini, pajak karbon diusulkan pada barang-barang impor ke Uni Eropa.

Ini berdampak luas bagi mitra dagang Eropa, seperti Selandia Baru dan Australia.


Read more: Climate explained: are we doomed if we don't manage to curb emissions by 2030?


Selain pengumuman dari negara, industri juga berkomitmen untuk melakukan dekarbonisasi.

Sektor keuangan dengan multitriliun dolar memberikan tekanan dengan fokus pada perusahaan rentan terhadap perubahan iklim dan mengidentifikasi “aset terdampar”.

Semua komitmen akan mendorong negosiasi penurunan emisi lebih besar, seiring dari persiapan para delegasi di COP26 tahun depan.

Ini hanya akan mendorong semua negara untuk lebih ambisius.

Perhatian akan tetap fokus kepada penghasil emisi terbesar di dunia dalam sejarah, AS, yang keluar secara resmi dari Persetujuan Paris pada 4 November nanti, sehari setelah pemilihan presiden di sana.

Jadi, pertemuan COP26 tidak akan gagal, tapi penundaan mungkin memberikan waktu untuk mencapai ambisi Persetujuan Paris dan menghindari kemungkinan terburuk dari perubahan iklim.


Ignatius Raditya Nugraha menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.


Dapatkan kumpulan berita lingkungan hidup yang perlu Anda tahu dalam sepekan. Daftar di sini.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,900 academics and researchers from 4,919 institutions.

Register now