Menu Close

Artemis: mengapa ini mungkin menjadi misi luar angkasa terakhir yang melibatkan manusia

Sebuah kamera yang dipasang di ujung salah satu sayap susunan surya kapsul Orion menangkap rekaman pesawat ruang angkasa dan Bulan.
Sebuah kamera yang dipasang di ujung salah satu sayap susunan surya kapsul Orion menangkap rekaman pesawat ruang angkasa dan Bulan. NASA

Neil Armstrong mengambil “satu langkah kecil” bersejarahnya di Bulan pada tahun 1969. Hanya tiga tahun kemudian, astronot Apollo terakhir meninggalkan Bulan. Sejak itu, ratusan astronot telah diluncurkan ke luar angkasa terutama ke Stasiun Luar Angkasa Internasional yang mengorbit Bumi. Faktanya, tidak ada yang mengambil risiko dengan pergi lebih dari beberapa ratus kilometer dari Bumi.

Namun, program Artemis yang dipimpin Amerika Serikat bertujuan untuk mengembalikan manusia ke Bulan pada dekade ini – dengan Artemis 1 yang sedang dalam perjalanan kembali ke Bumi dan mengelilingi Bulan sebagai bagian dari penerbangan uji pertamanya.

Perbedaan paling relevan antara era Apollo dan pertengahan 2020-an adalah adanya peningkatan luar biasa dalam daya komputer dan robotika. Selain itu, persaingan negara adidaya tidak lagi dapat membenarkan pengeluaran besar-besaran pada misi luar angkasa, seperti yang terjadi dalam persaingan Perang Dingin dengan Uni Soviet. Dalam buku terbaru kami, “The End of Astronauts,” Saya dan Donald Goldsmith berpendapat bahwa perubahan ini melemahkan proyek luar angkasa.

Misi Artemis menggunakan Sistem Peluncuran Luar Angkasa NASA terbaru, yang merupakan roket paling kuat yang pernah ada, dengan desain yang mirip dengan roket Saturn V yang mengirim sejumlah astronot Apollo ke Bulan. Seperti pendahulunya, penguat Artemis menggabungkan hidrogen cair dan oksigen untuk menciptakan daya angkat yang sangat besar sebelum jatuh ke laut, dan tidak akan pernah digunakan lagi. Oleh karena itu, setiap peluncuran diperkirakan menelan biaya antara US$2 miliar (Rp19 miliar) dan US$4 miliar (Rp76 miliar).

Ini membedakan Artemis dari kompetitornya, yaitu misi “Starship” milik SpaceX yang memungkinkan perusahaan untuk memulihkan dan kembali menggunakan tahap pertama.

Manfaat robotika

Kemajuan dalam eksplorasi robot ditunjukkan oleh rangkaian penjelajah di Mars, di mana Perseverance, prospektor terbaru NASA, dapat mengemudi sendiri melalui medan berbatu hanya dengan panduan terbatas dari Bumi. Perbaikan dalam sensor dan kecerdasan buatan (AI) selanjutnya akan memungkinkan robot-robot tersebut untuk mengidentifikasi situs yang sangat menarik dan kemudian mengumpulkan sampel untuk kembali ke Bumi.

Dalam satu atau dua dekade mendatang, penjelajahan robotik di permukaan Mars hampir sepenuhnya dapat dilakukan secara otonom, dengan bantuan minim dari manusia. Demikian pula, proyek rekayasa – seperti impian para astronom untuk membangun teleskop radio besar di sisi jauh Bulan yang bebas dari gangguan Bumi – tidak lagi memerlukan campur tangan manusia. Proyek semacam ini dapat sepenuhnya dikonstruksi oleh robot.

Tidak seperti astronot yang membutuhkan tempat tinggal memadai saat ditugaskan untuk tujuan konstruksi, robot dapat secara permanen menetap di tempat kerja mereka. Selain itu, penggunaan robot juga dapat memangkas biaya dan meningkatkan keamanan jika penambangan tanah bulan dan asteroid untuk bahan-bahan langka telah layak secara ekonomi.

Robot juga dapat menjelajahi Jupiter, Saturnus, dan bulan-bulannya yang sangat beragam dengan hanya memerlukan sedikit biaya tambahan karena tantangan yang dihadapi robot dalam perjalanan yang dilakukan selama beberapa tahun lebih sedikit daripada perjalanan enam bulan ke Mars. Beberapa bulan sebenarnya dapat menampung kehidupan di lautan bawah permukaan.

Mengirim manusia ke daerah tersebut bukanlah ide yang baik karena manusia dapat mencemarinya dengan mikroba-mikroba dari Bumi.

Mengelola risiko

Para astronot Apollo merupakan pahlawan. Mereka berani menerima risiko tinggi dan mendorong teknologi hingga batasnya. Sebagai perbandingan, perjalanan singkat ke Bulan pada tahun 2020-an, meskipun program Artemis menelan biaya US$90 miliar (Rp1.4 triliun), akan tampak sebagai proyek yang rutin dilakukan.

Membangkitkan antusiasme publik berskala Apollo membutuhkan sesuatu yang lebih ambisius, seperti pendaratan Mars. Namun misi seperti itu, termasuk persediaan dan roket untuk perjalanan pulang pergi, dapat menelan biaya hingga satu triliun dolar bagi NASA. Pengeluaran sebesar ini patut dipertanyakan di tengah krisis iklim dan kemiskinan di Bumi. Harga yang tinggi adalah hasil dari “safety culture” (“budaya keselamatan”) yang dikembangkan oleh NASA dalam beberapa tahun terakhir sebagai tanggapan atas sikap publik.

Gambar peluncuran Artemis-1.
Peluncuran Artemis-1. NASA

Hal ini mencerminkan trauma dan penundaan program akibat Bencana Pesawat Luar Angkasa pada tahun 1986 dan 2003, yang masing-masing menewaskan tujuh warga sipil di dalamnya. Meski demikian, pesawat ulang-alik yang memiliki keseluruhan 135 peluncuran ini memiliki tingkat kegagalan di bawah dua persen. Tidak realistis untuk mengharapkan tingkat kegagalan serendah ini untuk perjalanan kembali ke Mars, mengingat misi tersebut akan berlangsung selama dua tahun penuh.

Astronot juga membutuhkan lebih banyak “pemeliharaan” daripada robot – perjalanan dan operasi permukaan mereka membutuhkan udara, air, makanan, ruang hidup, dan perlindungan terhadap radiasi berbahaya, terutama dari badai matahari.

Sudah cukup besar untuk perjalanan ke Bulan, perbedaan biaya antara perjalanan manusia dan robot akan tumbuh jauh lebih besar untuk perjalanan jangka panjang. Selain memiliki risiko yang jauh lebih besar bagi para astronot, perjalanan ke Mars, yang ratusan kali lebih jauh dari Bulan, juga membuat dukungan darurat jauh lebih tidak memungkinkan. Bahkan orang-orang yang antusias dengan astronot menerima fakta bahwa perjalanan berawak pertama ke Mars masih harus menunggu hingga hampir dua dekade ke depan.

Pasti akan ada para pencari sensasi dan petualang yang bersedia untuk menerima risiko yang jauh lebih tinggi. Di masa lalu, beberapa orang bahkan telah mendaftar untuk rencana perjalanan satu arah.

Ini menandakan perbedaan utama antara era Apollo dan saat ini: munculnya sektor teknologi luar angkasa pribadi yang kuat, yang sekarang telah mencakup penerbangan luar angkasa manusia. Perusahaan sektor swasta sekarang bersaing dengan NASA, dengan perjalanan berisiko tinggi dengan harga yang lebih rendah ke Mars, dibiayai oleh miliarder dan sponsor swasta, dan dapat diawaki oleh sukarelawan yang bersedia. Pada akhirnya, publik dapat bersorak untuk para petualang pemberani ini tanpa perlu membayar mereka.

Mengingat bahwa penerbangan luar angkasa manusia di luar orbit rendah kemungkinan besar akan dialihkan sepenuhnya ke misi yang didanai swasta yang siap menerima risiko tinggi, patut dipertanyakan apakah proyek Artemis bernilai miliaran dolar NASA adalah cara yang baik untuk menggunakan uang pemerintah. Artemis pada akhirnya lebih cenderung menjadi misi terakhir NASA, bukan awal dari era Apollo baru.


Zalfa Imani Trijatna dari Universitas Indonesia menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now