tag:theconversation.com,2011:/au/topics/kebijakan-kesehatan-71977/articleskebijakan kesehatan – The Conversation2023-07-26T06:28:11Ztag:theconversation.com,2011:article/2104582023-07-26T06:28:11Z2023-07-26T06:28:11Z‘Mandatory spending’ kesehatan dihapus: himpitan antara nasib APBN dan rakyat, apa yang bisa diadvokasi?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/539448/original/file-20230726-29-ii0clw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (kanan) menyampaikan pandangan pemerintah terkait RUU Kesehatan dalam rapat paripurna pengesahan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta,11 Juli 2023.</span> </figcaption></figure><p>Indonesia termasuk salah satu negara yang mengimplementasikan <a href="https://djpk.kemenkeu.go.id/?ufaq=apakah-yang-disebut-dengan-mandatory-spending">konsep <em>mandatory
spending</em></a> atau belanja wajib minimal dalam anggaran negara. </p>
<p>Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Indonesia menerapkan <em>mandatory spending</em> untuk <a href="https://djpk.kemenkeu.go.id/?ufaq=apakah-yang-disebut-dengan-mandatory-spending">bidang pendidikan, kesehatan, transfer ke daerah, dan dana desa</a>. Namun, dalam <a href="https://nasional.kompas.com/read/2023/07/15/16371051/mandatory-spending-dihapus-kemenkes-kalau-dulu-enggak-jelas-berapa-duit-kita">Undang Undang Kesehatan yang baru disahkan</a>, <em>mandatory spending</em> (5% dari APBN, 10% dari APBD) untuk sektor kesehatan dihapus total. </p>
<p>Penghapusan <em>mandatory spending</em> ini <a href="https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20230713063035-532-972826/bahaya-mandatory-spending-dihapus-dalam-uu-kesehatan">menuai pro dan kontra</a>. </p>
<p>Di satu sisi, dari perspektif pengelolaan anggaran, penghapusan <em>mandatory spending</em> membuat pemerintah lebih fleksibel mengatur anggaran sesuai prioritas pembangunan yang mungkin bisa berubah, baik karena tantangan internal maupun eksternal.</p>
<p>Dalam hal tantangan eksternal, beberapa tahun terakhir kita belajar bagaimana kondisi geopolitik yang memicu perang Ukraina versus Rusia dan pandemi memaksa pemerintah di banyak negara menyesuaikan rencana pembangunan dan anggaran.</p>
<p>Namun, di sisi lain, penghapusan <em>mandatory spending</em> dianggap berisiko mengurangi anggaran kesehatan. Penghapusan dapat berdampak negatif terhadap akses, kualitas layanan, dan program-program kesehatan di tanah air. Kita perlu memastikan bahwa anggaran kesehatan tetap prioritas dan digunakan secara efisien.</p>
<h2><em>Mandatory spending</em> dan tantangan pengelolaan anggaran</h2>
<p>Salah satu perbedaan tantangan pembangunan sebelum dan sesudah Reformasi 1998 adalah kapasitas fiskal atau pendapatan negara. Dengan pendapatan per kapita yang lebih kecil pada era sebelum Reformasi, tantangan pembangunan adalah bagaimana menambah pendapatan negara atau memperbesar kapasitas fiskal. </p>
<p>Sedangkan pada era setelah Reformasi, <a href="https://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.CD?locations=ID">produk domestik bruto (GDP) Indonesi</a>a telah bertambah beberapa kali lipat. Tantangannya pun bergeser. Ibarat sebuah rumah tangga, tantangan yang dihadapi berubah dari semula bagaimana menyediakan uang menjadi bagaimana membelanjakan uang lebih efektif dan efisien.</p>
<p><em>Mandatory spending</em> adalah mandat konkret <a href="https://www.dpr.go.id/jdih/uu1945">Pasal 34 (3) dan 28H (1) UUD 1945</a>. Ini merupakan contoh kebijakan progresif bagi negara berkembang seperti Indonesia dan memiliki beberapa manfaat. </p>
<p>Hal yang utama, <em>mandatory spending</em> akan meningkatkan akuntabilitas pemerintah dalam penggunaan APBN dan APBD. Publik juga bisa melihat bahwa negara memprioritaskan kas negara untuk kepentingan kesehatan masyarakat. </p>
<p>Besaran belanja minimum juga <a href="https://apps.who.int/iris/handle/10665/255004">melindungi anggaran kesehatan dari konflik kepentingan</a> antara aktor atau sektor lain.</p>
<p>Keberlanjutan layanan kesehatan juga bisa dipengaruhi oleh keyakinan bahwa anggaran pada sektor ini menjadi prioritas, baik dalam situasi normal, apalagi ketika ekonomi tidak menentu.</p>
<p>Sebagai hajat hidup orang banyak, layanan kesehatan akan berjalan lebih efisien apabila <a href="https://doi.org/10.1596/36583">kebutuhan finansialnya terpenuhi tepat waktu</a> dengan jumlah yang tidak berfluktuasi.</p>
<p>Dalam isu penghapusan <em>mandatory spending</em> untuk bidang kesehatan, salah satu
perdebatan yang muncul adalah penghapusan <em>mandatory spending</em> akan mengurangi angka harapan hidup masyarakat. </p>
<p>Studi di negara anggota Organisasi Untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kenaikan angka belanja kesehatan negara dengan kenaikan angka harapan hidup masyarakat. Kenaikan 10% belanja kesehatan akan <a href="http://dx.doi.org/10.1787/health_glance-2017-en">memberikan 3,5 bulan tambahan Angka Harapan Hidup</a>.</p>
<p>Studi lain <a href="https://doi.org/10.1787/4dd50c09-en">dari OECD</a> juga menunjukkan bahwa angka belanja kesehatan negara berpengaruh terhadap luaran kesehatan, angka kematian, akses, serta kualitas layanan kesehatan negara.</p>
<p>Di sisi yang lain, penghapusan <em>mandatory spending</em> kesehatan dilatari realisasi belanjanya yang tidak selalu optimal beberapa tahun terakhir. Hal ini berkaitan dengan kemampuan kita dalam merencanakan dan mengimplementasikan program. </p>
<p>Penghapusan <em>mandatory spending</em> ini, meskipun tidak menyenangkan semua pihak, bisa menjadi langkah reflektif: ketersediaan anggaran dan dukungan peraturan perlu diimbangi dengan kemampuan perencanaan dan pengelolaan.</p>
<p>Sebagai negara demokrasi, ada tahapan hukum yang dapat ditempuh oleh masyarakat jika tidak puas terhadap sebuah peraturan perundang-undangan. Penghapusan <em>mandatory spending</em> di UU Kesehatan bisa diuji konstitusionalitasnya melalui <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230711195551-20-972260/nakes-bakal-gugat-uu-kesehatan-yang-baru-disahkan-ke-mk"><em>judicial review</em></a> di Mahkamah Konstitusi.</p>
<p>Terlepas adanya <em>judicial review</em> atau tidak, ada beberapa langkah alternatif juga dapat ditempuh untuk memastikan aspek kesehatan tetap diutamakan di tengah penghapusan <em>mandatory spending</em> dan anggaran kesehatan dapat digunakan secara efisien.</p>
<h2>1. Penyusunan turunan UU Kesehatan yang berkeadilan</h2>
<p>Pemerintah masih bisa mengamankan alokasi dana untuk sektor kesehatan dalam APBN melalui penerbitan peraturan pemerintah sebagai turunan Undang-Undang Kesehatan. </p>
<p>Aturan turunan nantinya dapat memastikan bahwa anggaran kesehatan tidak boleh berkurang secara signifikan dari tahun ke tahun. Harapannya, prioritas belanja negara untuk sektor ini tetap terjaga. </p>
<p>Selain itu, aturan turunan perlu memastikan setiap warga negara Indonesia memiliki akses yang adil dan merata terhadap layanan kesehatan berkualitas.</p>
<p>Meskipun sektor kesehatan tetap diutamakan, aturan turunan ini perlu mempertimbangkan kondisi APBN secara keseluruhan. </p>
<p>Sebagai contoh, dalam menyusun ketentuan turunan tersebut, pemerintah harus menganalisis secara mendalam mengenai pengaruh alokasi anggaran kesehatan terhadap aspek-aspek fiskal dan kemampuan fiskal jangka panjang.</p>
<h2>2. Pengelolaan anggaran kesehatan secara terencana dan responsif</h2>
<p>Pemerintah juga harus mengambil langkah-langkah untuk mengatasi inefisiensi belanja. Selama ini inefisiensi ini lebih banyak disebabkan oleh tidak meratanya pemahaman terhadap perencanaan, belum optimalnya arahan teknis penggunaan anggaran, dan rendahnya kapasitas pemantauan dan evaluasi penyerapan anggaran terutama di daerah. </p>
<p>Hal ini dapat diperbaiki dengan membuat panduan bagaimana anggaran kesehatan harus dianggarkan dan dibelanjakan. Panduan rancangan anggaran ini kemudian bisa diatur sesuai prinsip yang mendukung efisiensi. </p>
<p>Perumusan panduan rancangan anggaran harus mengedepankan program prioritas nasional tapi juga harus cukup fleksibel agar lebih sesuai dengan prioritas dan kebutuhan di setiap daerah. </p>
<p>Dengan demikian, prioritas kesehatan tetap terjaga tanpa mengorbankan stabilitas fiskal. </p>
<p>Aspek lainnya, program pengembangan kapasitas bagi aparatur negara dalam perencanaan, pemantauan, dan evaluasi anggaran baik di pusat maupun di daerah juga perlu ditingkatkan. </p>
<h2>3. Menaikkan pendapatan untuk anggaran kesehatan</h2>
<p>Pemerintah pun harus berusaha keras meningkatkan pendapatan negara. Hal ini dapat dilakukan melalui kelanjutan reformasi pajak dan pengurangan penghindaran pajak. Tujuannya agar APBN memiliki sumber daya memadai untuk memprioritaskan kesehatan. Dua contohnya seperti peningkatan pajak alkohol dan cukai <a href="https://theconversation.com/cukai-rokok-naik-lagi-bagaimana-dampaknya-terhadap-masyarakat-194813">rokok</a>. </p>
<p>Di samping itu, kemitraan pendanaan yang inovatif dengan pihak swasta atau lembaga internasional untuk sektor kesehatan perlu digencarkan. </p>
<p>Selain mengatasi tantangan keterbatasan anggaran, eksplorasi sumber pembiayaan alternatif untuk sektor kesehatan juga dapat mempromosikan kerja sama lintas sektor. Misalnya pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, organisasi nonpemerintah, lembaga donor, dan lembaga internasional. </p>
<p>Apapun keadaannya, kesehatan adalah hak setiap rakyat. Negara, melalui kebijakan dan anggaran, berkewajiban meningkatkan derajat kehidupan rakyatnya.</p>
<hr>
<p><em>Muhammad Wildan Rabbani Kurniawan, alumni MPH in Global Health, Harvard T.H. Chan School of Public Health, Harvard T.H. Chan School of Public Health, berkontribusi dalam penulisan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/210458/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Dwinanda Ardhi Swasono (He/him/his) tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Mandatory spending akan meningkatkan akuntabilitas pemerintah dalam penggunaan APBN dan APBDDwinanda Ardhi Swasono (He/him/his), PhD Student in International Development, King's College LondonLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2084602023-07-03T23:21:00Z2023-07-03T23:21:00ZPerawatan paliatif pasien kanker di rumah kurang dukungan, apa yang harus pemerintah lakukan?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/535110/original/file-20230701-15-tht509.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Suami mendukung istrinya yang sakit.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.freepik.com/free-photo/husband-supporting-sick-wife_2910739.htm#query=cucu%20merawat%20nenek%20sakit&position=49&from_view=search&track=ais">Rawpixel/Freepik</a></span></figcaption></figure><p>Kanker merupakan salah satu penyakit tidak menular dengan tingkat kematian tertinggi di Indonesia. Data <a href="https://gco.iarc.fr/today/data/factsheets/populations/360-indonesia-fact-sheets.pdf">Global Burden of Cancer Study tahun 2020</a> mencatat jumlah kasus baru penyakit kanker di Indonesia mencapai hampir 400 ribu kasus. </p>
<p>Tiga jenis <a href="https://gco.iarc.fr/today/data/factsheets/populations/360-indonesia-fact-sheets.pdf">kanker di Indonesia dengan peningkatan kasus tertinggi</a> adalah kanker payudara (16,6%), serviks (9,2%), dan paru-paru (8,8%). </p>
<p>Kebutuhan <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0960977622000741">pasien kanker</a> selama menjalani pengobatan sangat beragam, seperti obat-obatan, tindakan penanganan atau terapi, dan kontrol rutin. Mereka juga perlu <a href="https://docs.google.com/presentation/d/16EJE671wGOwSvsYLNItLE1s7ZlTNjPWP/edit#slide=id.p1">perawatan paliatif</a> selama berada di rumah, dan dukungan rumah singgah untuk pasien dari luar daerah saat berobat di kota-kota besar seperti Jakarta. </p>
<p>Perawatan paliatif merupakan perawatan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien yang kemungkinan sembuhnya kecil.</p>
<p>Masalahnya adalah cakupan <a href="https://docs.google.com/presentation/d/16EJE671wGOwSvsYLNItLE1s7ZlTNjPWP/edit#slide=id.p1">perawatan paliatif</a> di Indonesia masih sangat rendah, yakni 1% dari total pasien terminal.</p>
<p>Penelitian terbaru <a href="https://theprakarsa.org/konsekuensi-finansial-pengobatan-kanker-di-indonesia-studi-kasus-penderita-kanker-di-ibu-kota-jakarta/">kami, yang akan terbit akhir bulan ini, menunjukkan</a> bahwa ketahanan pasien kanker dipengaruhi oleh dukungan dari keluarga, komunitas, dan lingkungan kerja. </p>
<p>Temuan lapangan dalam penelitian ini membuktikan bahwa keluarga menjadi sosok utama untuk mendukung dan mendampingi pasien kanker selama dan setelah proses pengobatan. </p>
<h2>Risiko kanker makin tinggi, tapi kebijakan belum akomodatif</h2>
<p>Peningkatan risiko <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2515569/#:%7E:text=The%20fact%20that%20only%205,major%20opportunities%20for%20preventing%20cancer.">penyakit kanker sekitar 90-95% disebabkan</a> oleh gaya hidup tidak sehat. </p>
<p>Kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, obesitas, infeksi virus, dan lingkungan yang terkontaminasi oleh polutan merupakan faktor-faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan penyakit kanker. </p>
<p>Peningkatan polutan dalam udara akibat perubahan iklim juga meningkatkan risiko penduduk dunia terkena penyakit kanker. Faktanya, <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC9853937/">2,6 miliar penduduk negara miskin</a> dan berkembang tidak memiliki akses pada bahan bakar nonfosil, sehingga peningkatan risiko kanker akibat paparan polusi udara juga bertambah. </p>
<p>Peningkatan <a href="https://www.cancer.gov/types/lung/hp/non-small-cell-lung-treatment-pdq#_37_toc">polusi udara</a> juga diprediksi akan meningkatkan risiko penyakit kanker paru-paru dan risiko kematian pada pasien <a href="https://aacrjournals.org/cebp/article/28/4/751/71913/Particulate-Matter-and-Traffic-Related-Exposures">kanker payudara</a> stadium awal secara khusus. </p>
<p>Selama ini, upaya pemerintah untuk mengatasi permasalahan rendahnya cakupan perawatan paliatif ini belum menyasar pada perawatan paliatif berbasis rumah (<em>homebase palliative care</em>). Absennya kebijakan mengenai perawatan paliatif yang dilakukan oleh keluarga di rumah membuat kebutuhan atas pelatihan perawatan paliatif bagi keluarga pasien terabaikan. </p>
<p>Struktur penduduk di Indonesia juga akan mengalami penuaan dan jumlahnya akan meningkat tajam akibat bonus demografi saat ini. Sehingga kesiapan perawat, keluarga, dan tenaga profesional dalam melaksanakan perawatan paliatif harus diperhatikan.</p>
<p>Sayangnya <a href="https://p2ptm.kemkes.go.id/uploads/VHcrbkVobjRzUDN3UCs4eUJ0dVBndz09/2017/08/PEDOMAN_NASIONAL_PROGRAM_PALIATIF_KANKER.pdf">perawatan paliatif di Indonesia</a> masih berfokus pada perawatan paliatif berbasis rumah sakit. </p>
<p>Kebijakan khusus perawatan paliatif hanya diatur dalam <a href="http://pdk3mi.org/file/download/KMK%20No.%20812%20Th%202007%20ttg%20Kebijakan%20paliatif.pdf">keputusan Menteri Kesehatan (KMK) Nomor 812 Tahun 2007 tentang kebijakan paliatif</a>. Kebijakan ini hanya berfokus pada pelaksanaan perawatan paliatif yang dilakukan oleh dokter, perawat, tenaga kesehatan, dan tenaga terkait lainnya. Keluarga pasien masih diposisikan sebagai sasaran dari perawatan paliatif. </p>
<p>Padahal, perawatan yang dilakukan oleh keluarga selama pasien melakukan pengobatan dapat dikategorikan sebagai <em>homebase palliative care</em>. </p>
<h2>Perawat yang tidak dibayar</h2>
<p>Riset <a href="https://theprakarsa.org/konsekuensi-finansial-pengobatan-kanker-di-indonesia-studi-kasus-penderita-kanker-di-ibu-kota-jakarta/">kami menunjukkan</a> bahwa keluarga merupakan bagian dari tim perawatan karena ikut membantu dan mengawasi pemberian obat. Mereka juga mengelola efek samping, melaporkan masalah pasien, dan memberikan bantuan perawatan diri serta hal-hal lain.</p>
<p>Mereka dikategorikan sebagai perawat dari keluarga atau perawat informal yang tidak dibayar dalam memberikan perawatan pada pasien kanker. </p>
<p>Model <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30665063/">trayektori kesakitan <em>(illness trajectory)</em></a> yang digunakan dalam riset ini menangkap bagaimana dukungan keluarga sangat berpengaruh terhadap kondisi fisik dan psikologis pasien kanker.</p>
<p>Dukungan dari keluarga membuat pasien kanker mampu melewati setiap stadium pengobatan sesuai dengan jenis kankernya. Oleh karena itu, perawatan berbasis rumah sangat penting bagi pasien karena proses pradiagnosis hingga pascadiagnosis diakui memberatkan fisik dan psikis pasien serta keluarganya. </p>
<p>Selain absennya kebijakan mengenai <em>homebased palliative care</em>, modul pelatihan untuk perawat keluarga informal juga belum tersedia, sehingga kebutuhan atas pelatihan perawatan paliatif bagi keluarga belum terjawab. </p>
<p>Data persebaran perawatan paliatif yang dilakukan oleh Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) atau rumah sakit juga tidak dapat ditemukan. Hanya terdapat satu rumah sakit rujukan kanker nasional yang mempublikasikan data perawatan paliatif berbasis fasilitas kesehatan. Sehingga perawatan paliatif di fasilitas kesehatan belum bisa teridentifikasi dengan jelas. </p>
<h2>Belajar dari Australia</h2>
<p>Australia merupakan salah satu negara yang memiliki <a href="https://www.mja.com.au/journal/2003/179/6/home-based-support-palliative-care-families-challenges-and-recommendations">tren pertumbuhan praktik perawatan paliatif di rumah</a> bagi pasien dengan penyakit yang tidak dapat disembuhkan.</p>
<p>Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk optimalisasi penyelenggaraan perawatan paliatif berbasis rumah adalah kompleksitas perawatan dan peningkatan keterampilan perawat dari keluarga untuk mengatasi gejala pasien. Juga tanggung jawab mereka terhadap kebutuhan fisik dan psikologis pasien, dan dinamika hubungan antara perawat dan pasien. </p>
<p>Perawat dari keluarga juga akan terdampak secara fisik, emosional, finansial, dan sosial saat merawat pasien kanker di rumah. Beban sosial seperti keterbatasan waktu untuk diri sendiri, perubahan rutinitas, dan berkurangnya waktu senggang dialami oleh perawat keluarga.</p>
<p>Oleh karena itu, penerapan praktik perawatan paliatif berbasis rumah wajib memberikan dukungan kebijakan bagi perawat dari aspek psikososial, kesehatan, dan pekerjaan. Dukungan ini dapat diwujudkan dengan perluasan manfaat program jaminan kesehatan nasional bagi keluarga pasien kanker. </p>
<p>Pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten atau kota perlu mengembangkan kebijakan dan program yang mengintegrasikan perawatan paliatif untuk seluruh pasien kanker di seluruh jenjang fasilitas kesehatan dengan perawatan paliatif berbasis rumah.</p>
<p>Integrasi ini dapat memberikan edukasi pada perawat keluarga apa yang perlu dilakukan saat proses pradiagnosis, selama pengobatan, dan pascapengobatan pasien kanker. Peningkatan kualitas hidup pasien kanker dan keluarganya juga bisa terjamin bila integrasi ini dilakukan sesuai dengan praktik baik yang sudah ada sebelumnya. </p>
<p>Satu catatan penting bagi pemerintah bahwa rekomendasi mengenai optimalisasi peran keluarga untuk melaksanakan perawatan paliatif berbasis di rumah tidak dapat dicapai tanpa dukungan pemerintah. </p>
<p>Pemerintah wajib hadir untuk mendukung sistem perawatan paliatif di Indonesia dapat berjalan dengan baik dan paripurna. Sehingga proses perawatan bagi pasien kanker bukan hanya menjadi tanggung jawab perawat keluarga dan tenaga kesehatan saja, tapi juga tanggung jawab negara. </p>
<p>Namun, pentingnya transformasi perawatan paliatif di Indonesia belum terefleksikan dalam muatan <a href="https://news.detik.com/berita/d-6797153/ruu-kesehatan-belum-disahkan-juga-oleh-dpr-ternyata-ini-alasannya">Rancangan Undang-Undang Kesehatan</a> yang sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/208460/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Aqilatul Layyinah tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Optimalisasi peran keluarga untuk melaksanakan perawatan paliatif berbasis di rumah tidak dapat dicapai tanpa dukungan pemerintah.Aqilatul Layyinah, Peneliti kebijakan sosial, The PrakarsaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1526112021-01-06T02:32:13Z2021-01-06T02:32:13ZTenaga kesehatan makin banyak gugur akibat COVID-19, lima langkah ini bisa cegah keadaan lebih buruk<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/376952/original/file-20210104-17-1uco7i2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Perawat beristirahat dengan mengenakan alat pelindung diri di Instalasi Gawat Darurat khusus COVID-19 di RSUD Arifin Achmad, Kota Pekanbaru, Riau, 5 Juni 2020.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1609144844"> ANTARA FOTO/FB Anggoro/pras</a></span></figcaption></figure><p>Hingga akhir tahun kemarin, angka kematian tenaga kesehatan Indonesia akibat COVID-19 telah <a href="https://twitter.com/LaporCovid/status/1344561193621438467">mencapai 523 kasus</a> atau bertambah hampir 10 kali lipat dibanding Mei lalu. Angka ini mencatatkan rekor <a href="https://www.kompas.com/sains/read/2021/01/04/193000323/kematian-tenaga-medis-indonesia-akibat-covid-19-tertinggi-di-asia-kenapa-?page=all">tertinggi di Asia Tenggara. </a></p>
<p>Ini berarti secara rata-rata sejak kasus kematian pertama dilaporkan di negeri ini, setiap hari ada dua tenaga kesehatan yang meninggal akibat COVID-19. </p>
<p>Pada Mei 2020, saya pernah <a href="https://theconversation.com/petugas-kesehatan-gugur-akibat-covid-19-pentingnya-data-terbuka-dokter-dan-perawat-yang-terinfeksi-virus-corona-137627">mengingatkan</a> pemerintah tentang pentingnya mengambil langkah strategis untuk segera melindungi para tenaga kesehatan dari kematian akibat COVID-19. </p>
<p>Saat itu jumlah kematian tenaga kesehatan di Indonesia <a href="https://tirto.id/gugus-tugas-covid-19-55-tenaga-medis-meninggal-saat-pandemi-corona-flvF">mencapai 55 kasus kematian</a>. </p>
<p>Namun hingga akhir 2020, data menunjukkan bahwa pemerintah telah gagal melindungi para penjaga benteng terakhir tersebut dari serangan virus corona. Hal yang mengkhawatirkan adalah kematian tenaga kesehatan <a href="https://www.ijidonline.com/article/S1201-9712(20)30743-8/fulltext">justru lebih banyak terjadi di fasilitas kesehatan non-COVID</a>.</p>
<p>Karena itu, saya mengusulkan sejumlah langkah yang bisa diambil pemerintah, dengan didukung organisasi profesi, tenaga kesehatan, rumah sakit, hingga puskesmas yang bisa efektif untuk mencegah kematian tenaga kesehatan. </p>
<h2>Kematian justru di fasilitas kesehatan non-COVID</h2>
<p>Kasus infeksi dan kematian saat ini terjadi tidak hanya menimpa tenaga kesehatan yang bertugas di unit khusus atau rumah sakit rujukan COVID, tapi juga terjadi di unit yang tidak melayani pasien secara langsung hingga fasilitas layanan primer yang tidak melayani pasien COVID.</p>
<p><a href="https://thorax.bmj.com/content/75/12/1089">Studi di Inggris</a> menemukan bahwa angka infeksi yang menimpa para tenaga pembersih rumah sakit lebih besar (34,5%) dibandingkan infeksi yang terjadi pada tenaga kesehatan di ICU (14,8%). Hal ini mungkin karena upaya pencegahan dan penggunaan APD yang maksimal selama ini telah diterapkan di ICU, namun pada unit yang tidak melayani pasien secara langsung menjadi terlupakan.</p>
<p>Selanjutnya sebuah <a href="https://www.ijidonline.com/article/S1201-9712(20)30743-8/fulltext">riset di Qatar</a> di 14 rumah sakit dan melibatkan lebih dari 28 ribu responden menemukan bahwa 95% kasus penularan terjadi di fasilitas kesehatan non-COVID-19. Hanya 5% yang terjadi di fasilitas kesehatan khusus COVID-19. </p>
<p>Fenomena di Indonesia menunjukkan hal yang serupa. Temuan kasus kematian justru lebih banyak menimpa para tenaga kesehatan yang <a href="https://www.jawapos.com/nasional/29/12/2020/innalihahi-sudah-507-tenaga-kesehatan-wafat-selama-pandemi-covid-19/">bekerja di fasilitas kesehatan primer</a>, yang bukan melayani pasien COVID-19 secara khusus.</p>
<h2>Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali</h2>
<p>Butuh waktu hampir setahun dan 523 kematian tenaga kesehatan, hingga pemerintah baru mulai serius menghadapi masalah ini.</p>
<p>Pemerintah merespons banyak kematian ini dengan rencana membentuk <a href="https://kumparan.com/kumparannews/doni-monardo-akan-bentuk-badan-perlindungan-tenaga-kesehatan-nakes-wajib-libur-1utAWPWhFn7">bidang perlindungan tenaga kesehatan di Satuan Tugas Penanganan COVID-19</a>. Walau terlambat, ini merupakan sebuah langkah yang tepat. </p>
<p>Pada awal masa pandemi, tingginya angka kematian tenaga kesehatan mungkin sesuatu yang sulit dihindari oleh negara mana pun. Pada saat itu COVID-19 adalah penyakit yang baru. Pengetahuan kita terhadap mekanisme penularan dan pencegahan hingga <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/03/23/11015511/tenaga-medis-keluhkan-apd-langka-jokowi-180-negara-berebutan">ketersediaan alat pelindung diri yang sesuai standar masih terbatas</a>.</p>
<p>Namun, setelah hampir setahun perang melawan COVID-19, penyebab tingginya angka kematian tenaga kesehatan menjadi jauh lebih kompleks. Masalahnya, lebih dari sekadar menyiapkan alat pelindung diri yang memadai dan meningkatkan pengetahuan pencegahan penularan. </p>
<p>Bahkan solusinya tidak sesederhana dengan hanya memprioritaskan para tenaga kesehatan mendapatkan vaksin di gelombang pertama. Program vaksinasi tidak akan dapat langsung menghilangkan permasalahan tingginya infeksi dan kematian di tenaga kesehatan. </p>
<p>Program vaksinasi masih memiliki segudang masalah seperti <a href="https://tekno.tempo.co/read/1419604/satu-dosis-vaksin-pfizer-tak-mampu-lindungi-240-warga-israel-dari-covid-19">tingkat efektifitas vaskin</a>, <a href="https://www.merdeka.com/peristiwa/eijkman-belum-ada-bukti-berapa-lama-kekebalan-bertahan-setelah-divaksin.html">lama kekebalan yang diperoleh dan bertahan</a> setelah divaksin, tingkat <a href="https://covid19.go.id/edukasi/hasil-kajian/covid-19-vaccine-acceptance-survey-indonesia">penerimaan sasaran/masyarakat</a>, rencana waktu program vaksinasi yang lama (<a href="http://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20210103/2536122/pelaksanaan-vaksinasi-covid-19-indonesia-membutuhkan-waktu-15-bulan/">15 bulan</a>) untuk memvaksin seluruh sasaran agar kekebalan komunitas dapat terbentuk hingga <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6157708/">sifat alamiah mutasi virus</a>.</p>
<p>Sejarah bahkan telah mengajarkan kepada kita bahwa <a href="https://theconversation.com/how-do-pandemics-end-history-suggests-diseases-fade-but-are-almost-never-truly-gone-146066">tidak ada satu pun pandemi yang benar-benar berakhir karena hadirnya vaksin</a>.</p>
<h2>Apa yang perlu dilakukan? 5 langkah utama</h2>
<p>Pemerintah harus segera merealisasikan pembentukan Satuan Tugas COVID-19 bidang perlindungan tenaga kesehatan. Untuk jangka panjang, pemerintah harus menjaga ketersediaan alat pelindung diri, memperbarui pengetahuan dan keterampilan pencegahan untuk para tenaga kesehatan.</p>
<p>Selanjutnya untuk jangka pendek, pemerintah setidaknya fokus pada 5 hal utama berikut.</p>
<p>Pertama, memperbaiki <a href="https://theconversation.com/petugas-kesehatan-gugur-akibat-covid-19-pentingnya-data-terbuka-dokter-dan-perawat-yang-terinfeksi-virus-corona-137627">sistem pelaporan dan keterbukaan data infeksi dan kematian tenaga kesehatan</a>. Hal ini penting karena tanpa adanya data yang akurat dan terbuka, kita tidak akan dapat membuat kajian dan perencanaan yang tepat serta mendapatkan masukan dari berbagai <em>stakeholders</em> kesehatan. Manajemen data harus bagus dan mudah diakses. </p>
<p>Sebagai contoh di <a href="https://www.cdc.gov/mmwr/volumes/69/wr/mm6938a3.htm">Amerika Serikat</a>, Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) sebagai lembaga resmi pemerintah selalu mengumumkan data terbaru dan hasil kajian tenaga kesehatan mereka yang terinfeksi atau meninggal akibat COVID-19. </p>
<p>Di Indonesia, kita hanya dapat mendapatkan data seperti ini dari <a href="https://nakes.laporcovid19.org/">lembaga-lembaga non-pemerintah seperti Laporcovid19</a> atau tersebar di berbagai organisasi profesi kesehatan. </p>
<p>Fokus kedua, Kementerian Kesehatan harus segera membuat kebijakan secara nasional tentang pengaturan beban kerja tenaga kesehatan selama pandemi. </p>
<p>Hal ini penting karena telah banyak <a href="https://reader.elsevier.com/reader/sd/pii/S2093791120302961?token=ADB19C4E030580B52487C3C65A133B5E70F1DADD46E08CB6AE8B5E0DE273B480A05059444F5F429CAB52776FFF231F33">bukti ilmiah</a> menunjukkan bahwa beban kerja yang tinggi selama era pandemi telah berpengaruh terhadap tingginya angka infeksi dan kematian tenaga kesehatan.</p>
<p>Selama pandemi, tenaga kesehatan telah <a href="https://theconversation.com/4-gelombang-besar-pandemi-covid-19-menghantam-sistem-pelayanan-kesehatan-142049">bekerja dengan intensitas waktu kerja yang panjang dan dalam lingkungan yang berat</a>. </p>
<p>Sebuah <a href="https://reader.elsevier.com/reader/sd/pii/S2590142720300173?token=9B45080B93AFA5FA198AD1D729229D7277C2EE3AC5257C01D43B34BB1126BEA9D5C880617AAA191F7B60EC1DD4D51E29">studi di Wuhan Cina</a> menemukan bahwa tingginya beban kerja ditambah kualitas istirahat yang rendah telah meningkatkan risiko tertular di kalangan tenaga kesehatan. </p>
<p>Beban kerja yang tinggi dapat menimbulkan <a href="https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0238217">kelelahan</a>, <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S088915912030845X">stres</a> hingga <a href="https://bmcpublichealth.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12889-020-09980-z">depresi</a> yang berakibat pada penurunan imunitas diri. Akhirnya berujung pada risiko infeksi dan kematian yang meningkat.</p>
<p>Fokus ketiga adalah pemerintah harus punya program untuk meningkatkan perlindungan tenaga kesehatan yang bekerja bukan di fasilitas pelayanan kesehatan khusus COVID-19. </p>
<p>Selama ini sepertinya semua terlalu fokus pada pencegahan dan perlindungan hanya pada rumah sakit yang melayani pasien COVID-19. Padahal, angka penularan dan kematian <a href="https://www.ijidonline.com/article/S1201-9712(20)30743-8/fulltext">ternyata lebih banyak terjadi di fasilitas pelayanan kesehatan yang bukan</a> melayani pasien COVID-19 secara khusus.</p>
<p>Fokus keempat, pemerintah perlu meningkatkan pembinaan, pengawasan hingga peningkatan sarana prasarana pelaksanaan program pencegahan infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan secara menyeluruh. </p>
<p>Selama ini kita masih terlalu fokus melakukan upaya dan meningkatkan sarana pencegahan penularan dari pasien ke petugas kesehatan. Dampaknya, <a href="https://theconversation.com/heres-the-proof-we-need-many-more-health-workers-than-we-ever-thought-are-catching-covid-19-on-the-job-145092">ruang-ruang interaksi sosial antar sesama tenaga kesehatan maupun peserta didik di fasilitas kesehatan menjadi terlupakan</a>. </p>
<p>Hal ini penting karena saat ini <a href="https://www.bmj.com/content/371/bmj.m3944">risiko penularan antartenaga kesehatan</a> menjadi jauh lebih besar. <a href="https://www.ijidonline.com/article/S1201-9712(20)30743-8/fulltext">Sebuah penelitian di Qatar </a> menemukan bahwa penularan antar sesama tenaga kesehatan telah menyumbang 45% dari jumlah kasus sedangkan penularan dari pasien hanya sebesar 29%.</p>
<p>Fokus terakhir, pemerintah perlu mengembangkan program perlindungan khusus bagi para tenaga kesehatan yang memiliki risiko tinggi. Mereka yang <a href="https://www.asms.org.nz/wp-content/uploads/2020/04/Covid-19-%E2%80%93-assessing-the-risk-to-the-lives-of-healthcare-workers_173491.1.pdf">berusia lanjut dan atau memiliki penyakit penyerta</a> harus mendapat perlindungan lebih tinggi. </p>
<p>Misalnya, kebijakan yang dapat dibuat seperti pengaturan <em>shift</em> kerja, pembatasan jam kerja hingga pelarangan bekerja pada lokasi yang berisiko tinggi dapat diberlakukan.</p>
<p>Langkah ini bukan pekerjaan mudah, pemerintah harus berkolaborasi dengan asosiasi profesi kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan hingga para tenaga kesehatan itu sendiri untuk menekan angka kematian tenaga kesehatan agar tidak terus meningkat.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/152611/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Irwandy tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Setelah hampir setahun perang melawan COVID-19, penyebab tingginya angka kematian tenaga kesehatan menjadi jauh lebih kompleks.Irwandy, Ketua Departemen Manajemen Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas HasanuddinLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1434742020-07-29T03:14:52Z2020-07-29T03:14:52ZMengapa kota yang padat baik untuk kesehatan, bahkan selama pandemi<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/349657/original/file-20200727-27-ru1yxn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/walking-people-crowd-599948174">samjapan/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Wabah penyakit membentuk perkotaan kita. Masalah kesehatan berpengaruh dalam beberapa perkembangan paling menonjol dalam perencanaan kota. </p>
<p>Sistem pembuangan limbah dikembangkan di London, Inggris, sebagai <a href="http://www.choleraandthethames.co.uk/cholera-in-london/cholera-in-westminster/">respons terhadap wabah kolera</a> pada abad ke-19. Di Amerika Serikat (AS) pada pergantian abad ke-20, taman kota menjadi cara yang populer (<a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2820065/">walau mungkin tidak efektif</a>) untuk <a href="https://placesjournal.org/article/frederick-law-olmsted-and-the-campaign-for-public-health/?cn-reloaded=1">menawarkan udara yang lebih bersih</a> , untuk melindungi warga dari penyakit seperti tuberkulosis.</p>
<p>Penyebaran COVID-19 di beberapa kota besar telah <a href="https://www.nytimes.com/2020/03/24/upshot/coronavirus-urban-density-risks.html">menimbulkan kekhawatiran tentang kepadatan penduduk</a> - jumlah orang yang menghuni daerah urban tertentu. </p>
<p>Trotoar, gedung dan ruang publik yang ramai membuat jarak fisik menjadi sulit, sehingga meningkatkan risiko penularan. </p>
<p>Kritik terhadap kepadatan ini telah ada sejak akhir abad ke-19, ketika beberapa pemimpin warga AS berpendapat bahwa <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK218224/">penyakit dan kemiskinan</a> berasal dari kondisi yang padat dan tidak bersih di kota-kota besar.</p>
<p>Namun, pendapat bahwa padatnya penduduk itu tidak sehat adalah penyederhanaan yang berlebihan dan menyesatkan dalam hal COVID-19. </p>
<p>Temuan dari <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/23748834.2020.1783479">penelitian kami</a> menunjukkan bahwa hampir tidak ada hubungan antara kepadatan 36 kota dunia (yang diukur dengan jumlah orang per kilometer persegi) dan tingkat kasus COVID-19 serta jumlah kematian.</p>
<p>Untuk mengendalikan COVID-19, kota-kota besar yang padat seperti Hong Kong, Tokyo dan Seoul memperkenalkan tindakan kesehatan masyarakat seperti pengujian, pelacakan kontak, isolasi, dan karantina secara tepat waktu dan menggabungkan dengan pembatasan fisik dan pemakaian masker. </p>
<p>Langkah-langkah ini telah efektif dalam menahan wabah virus, meski kepadatan penduduk yang tinggi meningkatkan risiko infeksi.</p>
<p>Dalam menentukan seberapa rentan penduduk kota terhadap COVID-19, kepadatan kemungkinan hanya menjadi salah satu dari <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/01944363.2020.1777891">beberapa faktor kunci</a>. </p>
<p>Sebaliknya, masalah utama adalah <a href="https://www.sciencedaily.com/releases/2020/06/200618124756.htm">kurangnya ruang</a>, baik ruang pribadi maupun ruang publik yang lebih luas. </p>
<p>Lima wilayah dengan ruang publik dan pribadi paling sempit di Inggris telah mengalami <a href="https://www.theguardian.com/world/2020/apr/12/virus-hitting-hardest-modern-equivalent-victorian-slums">70% lebih banyak kasus COVID-19</a> dibanding lima wilayah dengan ruang paling luas, bahkan setelah adanya penanganan lokal. </p>
<p>Masalahnya bukan pada berapa banyak orang yang tinggal di daerah tertentu, tapi pada kondisi tempat mereka tinggal.</p>
<h2>Mengurangi kepadatan kota akan memperburuk kesehatan</h2>
<p>Mengingat hal di atas, kami prihatin dengan rekomendasi untuk <a href="https://www.nytimes.com/2020/03/23/nyregion/coronavirus-nyc-crowds-density.html?auth=login-email&login=email">mengurangi kepadatan penduduk perkotaan</a> dan menggalakkan kehidupan pinggiran kota dalam upaya untuk mengendalikan COVID-19. </p>
<p>Kepadatan perkotaan bukan pendorong utama COVID-19; kepadatan justru bermanfaat bagi kesehatan.</p>
<p>Lebih dari 20 tahun penelitian menunjukkan kepadatan perkotaan yang lebih tinggi berkaitan dengan <a href="https://www.annualreviews.org/doi/full/10.1146/annurev-publhealth-040218-043657?url_ver=Z39.88-2003&rfr_id=ori%3Arid%3Acrossref.org&rfr_dat=cr_pub++0pubmed">risiko penyakit kronis yang lebih rendah</a>, seperti obesitas, diabetes, dan penyakit jantung. </p>
<p>Hal ini sebagian besar karena orang-orang yang ada di wilayah kepadatan tinggi lebih aktif secara fisik. Wilayah mereka lebih ramah pejalan kaki, artinya mereka lebih sering berjalan ke toko-toko terdekat, sekolah, dan layanan lainnya. </p>
<p>Mengurangi kepadatan kota kemungkinan besar akan memiliki dampak negatif terhadap kesehatan, meningkatkan tingkat penyakit tidak menular yang disebutkan di atas.</p>
<p>Menurunkan kepadatan kota akan meningkatkan permintaan akan transportasi. Pada masa depan, mobil pribadi mungkin lebih disukai daripada transportasi umum karena meminimalkan kontak sosial, menurunkan risiko penyakit. </p>
<p>Tetapi kendaraan pribadi akan meningkatkan risiko penyakit <a href="https://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(16)30066-6/fulltext">tidak menular</a> karena orang tidak aktif selama berkendara, <a href="https://theicct.org/publications/health-impacts-transport-emissions-2010-2015">penyakit pernapasan</a> karena polusi udara, <a href="https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/road-traffic-injuries">cedera, dan kematian</a> akibat kecelakaan lalu lintas.</p>
<p>Ditambah lagi, pembangunan wilayah pinggiran kota yang berpusat pada penggunaan mobil menciptakan ketidakadilan. </p>
<p>Tuntutan memiliki mobil merupakan beban bagi orang yang tidak mampu membelinya (atau tidak mau). </p>
<p>Rumah tangga berpendapatan rendah, penyandang disabilitas, dan lansia yang tidak dapat lagi mengemudikan mobil akan menghadapi ketidakadilan yang lebih besar dalam mengakses perumahan, pendidikan, fasilitas hiburan dan peluang kerja yang terjangkau.</p>
<h2>Mencari solusi yang lebih baik</h2>
<p>Cara yang lebih baik untuk melindungi kesehatan adalah dengan memberi orang lebih banyak ruang untuk aktif di lingkungan mereka, misalnya ruang untuk berjalan dan bersepeda. </p>
<p>Ini kemungkinan memiliki manfaat ganda, baik mengurangi penyebaran COVID-19 dengan mengurangi kepadatan di jalan-jalan dan <a href="https://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(16)30067-8/fulltext#:%7E:text=Considerable%20health%20gains%20are%20observed,that%20encourages%20cycling%20and%20walking.">menurunkan risiko penyakit kronis yang mematikan</a>.</p>
<p>Memastikan adanya lebih banyak pilihan untuk aktivitas fisik luar ruangan pada masyarakat berpenghasilan rendah juga akan <a href="https://www.youtube.com/watch?v=WISVtcVJQdY">mengurangi ketidaksetaraan kesehatan</a>. </p>
<p>Rumah tangga berpendapatan rendah lebih cenderung tinggal di unit perumahan yang penuh dan sesak, yang muncul sebagai pusat infeksi COVID-19. Dalam kondisi sempit dengan kurangnya ruang pribadi, hampir tidak mungkin untuk mengikuti pedoman isolasi diri.</p>
<p>Area perumahan penduduk berpenghasilan rendah mungkin juga memiliki lebih sedikit ruang terbuka publik, yang menambah masalah kepadatan penduduk, risiko infeksi coronavirus mungkin <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0160412020317876">20 kali lebih tinggi</a> ketika di dalam ruangan daripada di luar rumah. </p>
<p>Ada juga <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4504358/">hubungan yang kuat</a> antara olahraga di luar ruangan dan sistem kekebalan tubuh yang kuat.</p>
<p>Jadi bagi penghuni di perumahan sempit tanpa ruangan luar pribadi, taman lokal dapat menawarkan kelegaan dan mengurangi paparan penyakit menular. </p>
<p>Jika taman tidak tersedia, mengalokasikan lebih banyak area di jalan untuk berjalan dan bersepeda akan menjadi penting. </p>
<p>Beberapa kota sudah menerapkan <a href="http://pedbikeinfo.org/resources/resources_details.cfm?id=5209">tindakan sementara</a> untuk membuat jalan lebih aman bagi pejalan kaki dan pesepeda, seperti realokasi ruang jalan jauh dari kendaraan bermotor dan menurunkan batas kecepatan.</p>
<p>Banyak temuan menunjukkan bahwa kita seharusnya tidak membiarkan COVID-19 menjadi alasan pengurangan kepadatan kota. </p>
<p>Ya, upaya diperlukan untuk mengurangi kepadatan yang ekstrem, seperti di daerah kumuh, dan memberi orang-orang di setiap lingkungan dengan ruangan luar yang cukup untuk jarak fisik. </p>
<p>Tapi kepadatan kota secara umum tidak memiliki hubungan kuat dengan kasus COVID-19 dan kematian. </p>
<p>Sebaliknya, kepadatan kota merupakan komponen penting dari konsep masyarakat pejalan kaki; ini dapat melindungi orang dari penyakit kronis.</p>
<hr>
<p><em>Artikel ini diterjemahkan oleh Agradhira Nandi Wardhana dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/143474/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Deepti Adlakha menerima dana dari Economic and Social Research Council (Inggris), Department for the Economy (Irlandia Utara), Royal Institution of Chartered Surveyors, dan Scheme for the Promotion of Academic and Research Collaboration (India). Dia merupakan anggota dewan penasihat Low- and Middle-Income Country Research Council of the International Society for Physical Activity and Health (ISPAH) dan duta STEM Ambassador yang bekerja dengan sekolah lokal secara sukarela.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>James F Sallis bekerja di University of California San Diego and Australian Catholic University, Melbourne. Dia menerima dana dari US National Institutes of Health dan Robert Wood Johnson Foundation. Dia anggota dewan direksi Rails to Trails Conservancy. Dia mendapat honorium dan royalti dari Gopher Sport Inc. terkait program kegiatan fisik orang muda.</span></em></p>Menurunkan kepadatan kota untuk melindungi dari penyebaran wabah akan menjadi respons yang salah.Deepti Adlakha, Lecturer (Assistant Professor) in Environmental Planning, Queen's University BelfastJames F Sallis, Professor of Family Medicine, University of California, San DiegoLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1338702020-03-17T03:14:07Z2020-03-17T03:14:07ZApa itu ‘social distancing’ dan kenapa ini cara terbaik untuk melawan penyebaran COVID-19<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/320830/original/file-20200316-27643-19tm0by.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Menjaga jarak beberapa meter dari orang lain dapat membantu mencegah penyebaran virus corona. </span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com/detail/photo/school-children-in-uniforms-standing-on-painted-royalty-free-image/1083673198?adppopup=true">Klaus Vedfelt/ DigitalVision via Getty Images</a></span></figcaption></figure><p><em>Seiring menyebarnya COVID-19 ke banyak komunitas, pejabat kesehatan masyarakat menempatkan tanggung jawab pada individu untuk membantu dalam memperlambat pandemi. Social distancing adalah cara yang harus dilakukan. Ahli geriatri, Thomas Perls, menjelaskan bagaimana cara penting ini bekerja.</em></p>
<h2>Apa itu <em>social distancing</em>?</h2>
<p><em>Social distancing</em> adalah sebuah cara yang direkomendasikan oleh ahli kesehatan masyarakat untuk memperlambat penyebaran penyakit yang ditularkan dari orang ke orang. Sederhananya, cara ini mengharuskan kita untuk menjaga jarak satu sama lain sehingga virus - atau patogen apa pun - tidak dapat menyebar dari satu orang ke orang lain. </p>
<p>Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (AS), <em>social distancing</em> adalah <a href="https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/php/risk-assessment.html">menghindari pertemuan massal dan menjaga jarak</a> 2 meter - atau kira-kira satu depa - dari orang lain. Di New York City, misalnya, <a href="https://www.cbsnews.com/news/broadway-closes-new-york-state-bans-public-gatherings-of-500-people-over-coronavirus/">bioskop telah ditutup sementara</a>, banyak <a href="https://www.latimes.com/business/story/2020-03-05/coronavirus-industry-conventions">konvensi di seluruh dunia dibatalkan</a>, dan <a href="https://www.chicagotribune.com/nation-world/ct-nw-coronavirus-united-states-school-closings-20200312-sh2d5vi525drvcf5dwm7hnebru-story.html">seluruh sekolah di AS ditutup</a>. </p>
<p>Saya berhenti naik kereta saat jam sibuk. Sekarang saya bekerja dari rumah atau berkendara dengan istri saya, atau saya naik kereta di luar jam kerja sehingga saya bisa menjaga jarak 2 meter dari orang lain.</p>
<p><em>Social distancing</em> juga berarti tidak menyentuh orang lain, termasuk jabat tangan. <a href="https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/about/prevention.html">Sentuhan fisik adalah cara yang paling memungkinkan</a> seseorang terpapar SARS-CoV2 (virus corona baru) dan cara termudah untuk menyebarkannya. Ingat, jaga jarak sejauh 2 meter dan jangan bersentuhan.</p>
<p><em>Social distancing</em> tidak akan dapat mencegah 100% penularan, tapi dengan mengikuti aturan sederhana ini, individu dapat memainkan peran penting dalam memperlambat penyebaran virus. Jika jumlah kasus tidak dapat ditekan di bawah jumlah yang bisa ditangani oleh sistem pelayanan kesehatan pada suatu waktu – disebut <a href="https://www.statnews.com/2020/03/11/flattening-curve-coronavirus/">perataan kurva</a> (<em>flattening the curve</em>) – rumah sakit bisa kewalahan dan berujung pada kematian dan penderitaan yang tidak perlu.</p>
<figure>
<img src="https://cdn.theconversation.com/static_files/files/890/Flatten_the_curve1.gif?1583941324">
<figcaption><span class="caption">Meratakan kurva adalah sebutan lain dari memperlambat penyebaran.</span></figcaption>
</figure>
<p>Ada beberapa istilah lain selain <em>social distancing</em> yang mungkin Anda dengar. Salah satunya adalah “swakarantina” (<em>self-quarantine</em>). Ini berarti <a href="https://time.com/5796642/how-to-quarantine-yourself-coronavirus/">tinggal diam, mengisolasi diri Anda dari orang lain</a> karena ada kemungkinan Anda telah bersentuhan atau terpapar dengan orang yang terkena virus.</p>
<p>Ada juga “karantina wajib”. Karantina wajib terjadi ketika otoritas pemerintah menyatakan bahwa seseorang harus tinggal di satu tempat, misalnya rumah atau suatu fasilitas, selama 14 hari. Karantina wajib <a href="https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/php/risk-assessment.html">dapat diperintahkan untuk orang yang hasil tes virusnya negatif, tapi kemungkinan telah terpapar</a>. </p>
<p>Pemerintah AS telah memberlakukan karantina wajib untuk untuk <a href="https://www.nytimes.com/2020/03/09/us/coronavirus-cruise-ship-oakland-grand-princess.html">orang-orang di kapal pesiar</a> dan mereka <a href="https://www.cdc.gov/quarantine/pdf/Public-Health-Order_Generic_FINAL_02-13-2020-p.pdf">yang bepergian dari Provinsi Hubei, Cina</a>. </p>
<h2>Mengapa <em>social distancing</em> bisa berhasil?</h2>
<p>Jika dilakukan dengan tepat dan dalam skala besar, <a href="https://wwwnc.cdc.gov/eid/article/26/5/19-0995_article"><em>social distancing</em> dapat menghancurkan atau memperlambat rantai transmisi</a> dari orang ke orang. Orang dapat menyebarkan virus corona selama <a href="https://medicalxpress.com/news/2020-03-covid-days-incubation-period.html">setidaknya lima hari sebelum mereka menunjukkan gejala</a>. <em>Social distancing</em> membatasi jumlah orang yang terinfeksi - dan berpotensi menyebarkan virus - sebelum mereka menyadari bahwa mereka terinfeksi virus.</p>
<p>Sangat penting untuk tidak menyepelekan kemungkinan terjadinya paparan dan mengarantina diri Anda sendiri. Menurut penelitian yang baru-baru ini dipublikasikan, <a href="https://doi.org/10.7326/M20-0504">swakarantina harus berlangsung selama 14 hari</a> – dalam periode waktu tersebut seseorang dapat menunjukkan gejala COVID-19. </p>
<p>Jika setelah dua minggu mereka masih tidak memiliki gejala, maka karantina dapat dihentikan. Masa karantina yang lebih pendek dapat dilakukan pada orang yang tidak memiliki gejala seiring tersedianya pengujian secara lebih luas.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/320430/original/file-20200313-115112-1hlkj34.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/320430/original/file-20200313-115112-1hlkj34.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/320430/original/file-20200313-115112-1hlkj34.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/320430/original/file-20200313-115112-1hlkj34.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/320430/original/file-20200313-115112-1hlkj34.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/320430/original/file-20200313-115112-1hlkj34.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/320430/original/file-20200313-115112-1hlkj34.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/320430/original/file-20200313-115112-1hlkj34.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Stadion kosong, konferensi yang dibatalkan dan jalanan kota yang sepi adalah pertanda terjadinya <em>social distancing</em></span>
<span class="attribution"><a class="source" href="http://www.apimages.com/metadata/Index/APTOPIX-Sports-Virus-Outbreak-Basketball/7c9931a43dd447fab54264506ffad39d/3/0">AP Photo/Michael Conroy</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Mengapa <em>social distancing</em> menjadi sangat penting?</h2>
<p>Saat ini, <em>social distancing</em> adalah satu-satunya cara yang tersedia untuk memerangi penyebaran virus corona.</p>
<p>Para ahli memperkirakan bahwa <a href="https://www.newyorker.com/news/news-desk/how-long-will-it-take-to-develop-a-coronavirus-vaccine">vaksin baru tersedia 12 hingga 18 bulan lagi</a>. Untuk saat ini, tidak ada obat yang tersedia yang dapat memperlambat infeksi virus corona. </p>
<p>Tanpa cara untuk mengobati orang setelah mereka jatuh sakit atau mengurangi kemungkinan mereka menulari orang lain, satu-satunya taktik yang efektif adalah memastikan perawatan rumah sakit tersedia bagi mereka yang membutuhkannya. </p>
<p>Untuk memastikan ketersediaan perawatan rumah sakit bagi mereka yang membutuhkan, kita harus memperlambat atau menghentikan penyebaran virus dan mengurangi jumlah kasus dalam suatu periode waktu.</p>
<h2>Siapa yang harus melakukannya?</h2>
<p>Setiap orang harus mempraktikkan <em>social distancing</em> untuk mencegah meledaknya jumlah kasus pada satu saat yang bersamaan. Saya adalah seorang ahli geriatri yang peduli pada orang-orang yang paling rentan: <a href="https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/specific-groups/high-risk-complications.html">orang usia lanjut yang lemah</a>. </p>
<p>Tentu saja, para lansia harus melakukan semua yang mereka bisa untuk melindungi diri mereka sendiri, rajin mempraktikkan <em>social distancing</em> dan secara signifikan mengubah perilaku publik sampai pandemi ini berakhir. Orang yang tidak lemah perlu melakukan semua yang mereka bisa untuk melindungi mereka yang lemah, dengan membantu meminimalkan paparan mereka terhadap COVID-19. </p>
<p>Jika publik secara keseluruhan menyeriusi <em>social distancing</em>, layanan medis tidak akan kewalahan menangani para penderita. Memperlambat dan mengurangi penyebaran penyakit ini ada di tangan kita masing-masing. </p>
<p><em>Aisha Amelia Yasmin menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/133870/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Thomas Perls tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Belum ada vaksin atau obat untuk COVID-19; perang melawan virus ini dapat dilakukan lewat perubahan perilaku. Ini cara kerjanya.Thomas Perls, Professor of Medicine, Boston UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1306922020-01-28T10:57:12Z2020-01-28T10:57:12ZWabah coronavirus dari Cina: penjelasan mengapa WHO belum beri status darurat kesehatan global<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/312232/original/file-20200128-81346-1udxlfw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Masker dijual di Singapura di tengah kekhawatiran tentang virus Wuhan.</span> <span class="attribution"><span class="source">Ng Sor Luan/EPA</span></span></figcaption></figure><p><a href="https://www.who.int/news-room/detail/23-01-2020-statement-on-the-meeting-of-the-international-health-regulations-(2005)-emergency-committee-regarding-the-outbreak-of-novel-coronavirus-(2019-ncov)">Keputusan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)</a> per 23 Januari untuk tidak menyatakan wabah coronavirus baru (2019-nCoV) di Cina sebagai keadaan darurat kesehatan global tentu mengejutkan banyak orang. </p>
<p>Jumlah kasus dan kematian yang telah dilaporkan meningkat dua kali lipat setiap beberapa hari dengan pasiennya berdatangan dari negara-negara Asia, serta Timur Tengah, Eropa, Australia, hingga Amerika Serikat.</p>
<p>Anda mungkin bertanya-tanya bagaimana hal-hal buruk harus terjadi sebelum hal itu dinyatakan sebagai keadaan darurat kesehatan publik secara global. Namun, menurut Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, pernyataan seperti itu bukanlah perkara mudah.</p>
<p>Konsep WHO yang menyatakan keadaan darurat kesehatan publik global pertama kali muncul setelah <a href="https://www.who.int/ith/diseases/sars/en/">wabah coronavirus SARS</a> tahun 2003. Seperti halnya wabah saat ini, penyakit SARS bermula dari pasar hewan hidup yang memungkinkan terjadinya penyebaran virus antarspesies dari kotoran hewan yang terinfeksi ke manusia. Tapi tidak seperti situasi saat ini, dulu wabah SARS <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK92479/">tumbuh selama berbulan-bulan</a> hingga akhirnya pihak berwenang Cina baru mengakui bahwa mereka memiliki masalah. Ketika wabah SARS dapat dikendalikan, telah ada <a href="https://www.who.int/ith/diseases/sars/en/">8.000 kasus dan 700 kematian di 37 negara berbeda</a>.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/coronavirus-does-not-look-like-a-black-swan-event-here-are-some-reasons-to-be-cautiously-optimistic-130564">Coronavirus does not look like a 'black swan' event – here are some reasons to be cautiously optimistic</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>WHO memutuskan bahwa mendeklarasikan kondisi darurat, yang diperkenalkan sebagai bagian dari <a href="https://www.who.int/ihr/current/en/">Regulasi Kesehatan Internasional pada 2005</a>, akan membantu mengelola situasi-situasi seperti ini.</p>
<p>Sebelumnya, dengan payung hukum yang telah berusia 150 tahun, kolera, wabah, dan demam kuning dikendalikan dengan karantina dan embargo di perbatasan negara. Sedangkan, kerangka hukum tahun 2005 berfokus pada <a href="https://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(19)31566-1/fulltext#bib1">penanggulangan wabah pada sumbernya</a> yang ditekankan pada kesiapan menghadapi wabah ini. </p>
<p>Hukum ini mengharuskan negara untuk mempertahankan “kapasitas inti” yang diperlukan seperti kemampuan dalam mendiagnosis infeksi dan mengisolasi pasien yang terinfeksi. Bukan hanya mampu melaporkan penyakit tertentu yang diketahui, sebuah negara harus mampu melaporkan pola kesehatan masyarakat yang tidak biasa, misalnya peningkatan tak terduga pada pasien yang memiliki gejala pernapasan parah.</p>
<p><a href="https://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(19)31566-1/fulltext#bib1">Kondisi darurat kesehatan global dideklarasikan</a> ketika ada “kejadian luar biasa … yang menimbulkan risiko kesehatan masyarakat ke negara-negara lain melalui penyebaran penyakit antarnegara.” Deklarasi semacam ini meningkatkan dukungan internasional, juga meningkatkan upaya diplomatik dan keamanan serta membuat lebih banyak dana yang tersedia untuk mendukung tim respons di lapangan.</p>
<p><a href="https://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(19)31406-0/fulltext">Salah satu yang perlu jadi catatan</a> bahwa dengan mendeklarasikan keadaan darurat kesehatan publik global dapat mempengaruhi perdagangan dan pariwisata yang berimplikasi bahwa negara yang bersangkutan tidak dapat mengendalikan penyakit tersebut sendiri. Kendati demikian, mengingat respons Cina yang mengkarantina <a href="https://www.channelnewsasia.com/news/asia/wuhan-virus-china-pneumonia-outbreak-city-shut-12320076">41 juta penduduknya di 13 kota</a>, hal-hal ini tidak menjadi penghalang.</p>
<p>Sampai saat ini, telah ada <a href="https://thehill.com/policy/healthcare/453524-who-says-ebola-is-global-emergency">5 keadaan darurat kesehatan publik</a> yang dideklarasikan oleh WHO, yakni wabah “flu babi” H1N1 pada 2009, munculnya kembali virus polio pada 2014, wabah Ebola Afrika Barat 2014, Zika Afrika 2015 hingga 2016, serta, setelah melalui banyak pertimbangan, wabah Ebola di Kivu, Republik Demokratik Kongo tahun 2018 hingga 2019. </p>
<p>Sebagaimana ditekankan oleh Tedros, bahkan tanpa deklarasi kondisi darurat, sudah ada respons kesehatan yang terkoordinasi antarnegara yang menangani wabah coronavirus saat ini. Dan dalam beberapa hal, ini tampak seperti model respons kesehatan publik dengan melakukan aksi bersama secara langsung. Cina telah begitu cepat dalam melaporkan wabah di Wuhan dan membagikan semua informasi yang mereka punya.</p>
<p>Rilis data awal telah memungkinkan <a href="https://www.imperial.ac.uk/mrc-global-infectious-disease-analysis/news--wuhan-coronavirus/">peneliti untuk memprediksi</a> jumlah total yang terinfeksi yang diperkirakan sudah mencapai ribuan orang. Para ilmuwan di Cina secara cepat mengurutkan virus baru untuk menentukan susunan genetiknya. Studi yang akan mereka rilis memungkinkan para ilmuwan lain di berbagai belahan dunia untuk mengembangkan tes diagnostik mereka sendiri.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mystery-china-pneumonia-outbreak-likely-caused-by-new-human-coronavirus-129729">Mystery China pneumonia outbreak likely caused by new human coronavirus</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Langkah karantina yang diambil oleh pemerintah Cina menggarisbawahi tekad mereka untuk melakukan apa pun yang mereka bisa untuk mengendalikan penyebaran penyakit ini. Meski langkah mengisolasi begitu banyak orang dapat membantu mengendalikan epidemi ini juga diragukan.</p>
<p>Di Inggris dan beberapa negara lainnya, penumpang pesawat penerbangan yang datang langsung dari Wuhan menjalani <a href="https://www.businessinsider.com/wuhan-china-virus-airports-actions-screening-stop-spread-travel-2020-1?r=US&IR=T#china-is-checking-the-temperature-of-all-passengers-taking-off-from-wuhan-temperatures-doing-so-in-bus-terminals-and-train-stations-as-well-as-airports-1">beberapa pemeriksaan kesehatan</a> dan diberi informasi mengenai apa yang perlu mereka lakukan jika merasa tidak sehat. Sekarang, penerbangan lainnya telah dihentikan, namun langkah-langkah ini perlu diperluas dengan menghentikan pula penerbangan dari wilayah lain di Cina.</p>
<h2>Pertanyaan yang tidak terjawab</h2>
<p>Meski begitu, beberapa pertanyaan masih tidak terjawab, beberapa di antaranya akan menjadi kunci bagi pertimbangan lebih lanjut WHO mengenai deklarasi kondisi darurat dalam beberapa pekan ke depan. </p>
<p>Sudah jelas bahwa penularan coronavirus Wuhan dari manusia ke manusia dapat terjadi karena adanya infeksi yang menyebar dari pasien ke petugas kesehatan dan kontak manusia dekat lainnya. Yang belum jelas adalah bagaimana virus ini menular. Berapa banyak penularan yang sedang terjadi dan akan ada berapa banyak pasien lagi dari kontak pasien kedua dengan ketiga, ketiga dengan keempat, dan seterusnya? Dan dapatkah seseorang menyebarkan virus ini sebelum mereka memiliki gejalanya?</p>
<p>Para ilmuwan menggunakan istilah Ro untuk mendeskripsikan seberapa mudah virus menyebar dan semakin tinggi penyebarannya, semakin besar pula kemungkinan penyebaran wabah lebih cepat terjadi. Tingkat keparahan penyakit juga penting. </p>
<p>Pada 26 Januari, <a href="https://www.who.int/docs/default-source/coronaviruse/situation-reports/20200126-sitrep-6-2019--ncov.pdf?sfvrsn=beaeee0c_4">56 (2,8%) dari 2.014 kasus yang dikonfirmasi telah meninggal</a>. Sedangkan tingkat kematian coronavirus SARS <a href="https://www.who.int/csr/sars/country/table2004_04_21/en/">hampir 10%</a>. Jika coronavirus baru ini menyebar secara cepat namun memiliki tingkat kasus kematian yang lebih rendah, maka tingkat kekhawatiran akan lebih sedikit. </p>
<p>Ilmuwan Cina sedang melakukan tes untuk menentukan hewan apa saja di pasar tradisional di Wuhan yang menjual hewan hidup dan mati termasuk hewan liar untuk konsumsi, yang mungkin menjadi sumber virus. Ada juga pertanyaan mengenai aturan mana yang akan dipatuhi. </p>
<p>Setelah wabah tahun 2003, <a href="https://theconversation.com/wuhan-coronavirus-we-still-havent-learned-the-lessons-from-sars-130484">aturan sementara diberlakukan</a> untuk menghentikan penjualan hewan eksotis, seperti musang, yang menularkan coronavirus SARS. Kendati demikian, pasar tradisional yang biasanya ramai menjadi tempat orang-orang menjual unggas hidup dan hewan lainnya tetap populer di kalangan pembeli di Asia. </p>
<p>Sekitar 600 orang meninggal di Inggris tiap tahunnya karena flu saja, dan sekitar ratusan ribu kematian lainnya dari seluruh penjuru dunia. Jadi, sementara virus yang baru akan selalu muncul dan menimbulkan bahaya, respons terkini dari pejabat kesehatan masyarakat dan ilmuwan di Cina dan di seluruh dunia, yang menggabungkan segala yang mereka punya untuk mempelajari virus ini sejak wabah SARS, harusnya dapat mengamankan publik untuk saat ini, terlepas apakah WHO akan mendeklarasikan kejadian ini sebagai keadaan darurat kesehatan global atau tidak.</p>
<p><em>Rizki Nur Fitriansyah menerjemahan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/130692/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Tom Solomon receives funding from NIHR, MRC, Welcome.</span></em></p>Status darurat kesehatan global baru dinyatakan saat ada kejadian luar biasa yang ditentukan untuk menyatakan adanya bahaya kesehatan publik kepada negara lain melalui penyebaran penyakit antarnegara.Tom Solomon, Director of the National Institute for Health Research (NIHR) Health Protection Research Unit in Emerging and Zoonotic Infections, and Professor of Neurology, Institute of Infection and Global Health, University of LiverpoolLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1185252019-06-12T04:14:06Z2019-06-12T04:14:06ZHoaks anti-vaksinasi marak, bagaimana menyusun kebijakan kesehatan berbasis kebenaran ilmiah<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/278841/original/file-20190611-32347-1gneab8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Petugas kesehatan memvaksinasi untuk mencegah difteri di sekolah dasar di Surabaya, 2013. Imunisasi terbukti meningkatkan kekebalan tubuh penduduk dari serangan penyakit menular.
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/surabayaindonesia-december-11-2013-health-worker-1388242763?src=mcpyY-E5lLenYhW5VbCZ7Q-1-18">Spotters/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Pemberian imunisasi telah terbukti membuat masyarakat lebih sehat dan sejahtera karena vaksinasi mencegah terjadinya pengeluaran yang sia-sia akibat penyakit yang sebenarnya bisa dicegah. </p>
<p>Riset Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang mengestimasi dampak ekonomi dari vaksinasi periode 2001-2020 menyebutkan vaksinasi 10 jenis penyakit menular dapat <a href="https://www.who.int/bulletin/volumes/95/9/16-178475.pdf">mencegah 20 juta kematian di 73 negara</a>, termasuk Indonesia. Vaksinasi, menurut riset tersebut, juga dapat menyelamatkan kerugian yang ditimbulkan sebesar US$350 miliar (hampir Rp5.000 triliun) untuk biaya perawatan kesehatan, sedangkan nilai ekonomi dan sosial yang lebih luas dari vaksinasi ini diperkirakan mencapai US$820 miliar (sekitar Rp11.700 triliun) di 73 negara tersebut.</p>
<p>Tapi rupanya tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap keampuhan vaksinasi perlu ditingkatkan. Akhir tahun lalu, Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan, alih-alih naik, cakupan imunisasi dasar lengkap (IDL) pada anak berusia 12-23 bulan <a href="https://theconversation.com/krisis-kepercayaan-penyebab-cakupan-imunisasi-anak-indonesia-menurun-5-tahun-terakhir-107900">hanya 57,9%</a>. Ini turun dibanding lima tahun tahun lalu yang mencapai 59,2%. Lebih dari tiga juta anak usia tersebut tidak menerima vaksinasi lengkap. Sementara, untuk mencapai level imunitas yang optimal pada populasi semestinya cakupannya di atas 80 persen. </p>
<p>Amat disayangkan bahwa data-data tentang manfaat vaksinasi seperti hasil riset WHO tersebut tidak bermakna apa-apa bagi sebagian orang tua akibat pengaruh <a href="http://www.depkes.go.id/article/view/19050100002/hoax-imunisasi-masih-beredar.html">berita palsu</a> dan <a href="https://psmag.com/news/a-brief-history-of-vaccine-conspiracy-theories">teori konspirasi tentang vaksinasi</a>, yang marak tersebar melalui media sosial. Karena itu, kebijakan kesehatan dan komunikasi sains yang tepat sangat dibutuhkan untuk menyakinkan masyarakat ihwal manfaat imunisasi. </p>
<h2>Anti-vaksin dari hoaks Wakefield</h2>
<p>Argumentasi yang sering kita dengar digunakan oleh orang dan kelompok anti-vaksin adalah hasil riset yang dilakukan <a href="https://www.independent.co.uk/news/health/andrew-wakefield-who-is-mmr-doctor-anti-vaccine-anti-vaxxer-us-a8328326.html">(bekas) dokter Inggris Andrew Wakefield</a> pada 1998. Riset tersebut diterbitkan di jurnal kedokteran prestisius <em>The Lancet</em>, tapi tak lama kemudian artikel tersebut dicabut oleh penerbit karena Wakefield terbukti <a href="https://www.vox.com/2018/2/27/17057990/andrew-wakefield-vaccines-autism-study">terlibat pelanggaran etika penelitian</a> yang serius berupa <a href="https://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(04)15699-7/fulltext">konflik kepentingan finansial dan pelanggaran ilmiah.</a></p>
<p>Wakefield menjelaskan ada keterkaitan antara pemberian vaksin MMR (Mumps Measles rubella) dan risiko kejadian <em>Pervasive Developmental Disorder (PDD)</em> atau autisme. Penelitiannya mendorong khalayak untuk mengaitkan pemberian vaksin MMR dengan beberapa kriteria diagnostik autisme yang berupa aspek komunikasi, interaksi sosial, minat atau perhatian.</p>
<p><a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15173555">Banyak penelitian setelahnya</a>, termasuk <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/30831578">studi terbaru</a> yang terbit April 2019, dengan tegas membantah temuan palsu Wakefield dengan memberikan bukti yang solid bahwa vaksinasi MMR tidak meningkatkan risiko autisme, tidak memicu autisme, dan juga tidak ada kaitannya dengan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). </p>
<p>Menariknya, meski sudah banyak studi serupa yang membantah temuan Wakefield dan dilakukan lebih cermat secara saintifik, kelompok anti-vaksin selalu mengutip studi, yang disebut oleh ahli kesehatan dari Universitas Charleston Amerika <a href="https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1345/aph.1Q318">Dennis K Flaherty</a> sebagai “hoaks kesehatan paling merusak selama 100 tahun terakhir” itu. Hoaks Wakefield ini amat berbahaya karena selalu dijadikan pembenaran kaum anti-vaksin untuk menolak vaksinasi dan mendorong terbentuknya mitos-mitos lainnya yang berhubungan dengan keamanan vaksinasi. </p>
<p>Belakangan diketahui bahwa misinformasi dan disinformasi bukan satu-satunya faktor yang menjelaskan naiknya popularitas gerakan anti-vaksin, namun lebih dipengaruhi <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5784985/">sentimen dan ideologi politik</a> yang menyertainya. </p>
<h2>Kabar bohong dan epistemologi kebijakan</h2>
<p>Laporan <a href="https://dailysocial.id/post/laporan-dailysocial-distribusi-hoax-di-media-sosial-2018">DailySocial</a> tentang distribusi hoaks di media sosial pada 2018 menjelaskan bahwa informasi hoaks paling banyak ditemukan di Facebook (82,25 persen), WhatsApp (56,55%), dan Instagram (29,48%). </p>
<p>Disinformasi tersebut amat beragam, mulai dari beberapa makanan penyebab kematian, penyebab kanker, vaksinasi dan <a href="http://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20190501/4230135/hoax-imunisasi-masih-beredar/">imunisasi</a>. Seiring meluasnya akses terhadap internet, penyebaran informasi palsu ini malah semakin sulit untuk dikendalikan. </p>
<p>Perlawanan berbahaya terhadap kebenaran ilmiah terkait vaksin tak hanya di Indonesia. Di Amerika, politikus punya andil besar dalam maraknya disinformasi ini. Contohnya, bagaimana cara Presiden Amerika Serikat Donald Trump menanggapi kaitan antara vaksinasi dan kejadian autisme yang kemudian menjadi komoditas politik. Politikus Partai Republik yang terkenal konservatif itu mendukung dan membuat pembenaran atas <a href="https://www.bmj.com/content/355/bmj.i6545.full">penelitian Wakefield</a> sehingga persoalan kredibilitas penelitian dan etik tidak menjadi hal yang patut diperhitungkan.</p>
<p>Yang menyedihkan, masyarakat menganggap informasi palsu ini seolah-olah menggambarkan yang nyata terjadi. Informasi palsu mengenai vaksinasi ini semakin liar karena dibumbui berbagai <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/30307753">teori konspirasi</a>. </p>
<p>Tokoh filantropis untuk gerakan pengendalian tembakau global dan politikus Partai Demokrat Amerika Michael R. Bloomberg dalam <a href="https://www.mikebloomberg.com/news/mike-bloomberg-delivers-2018-commencement-address-rice-university/">pidatonya di Rice University</a> Mei tahun lalu, menyatakan para politikus populis terus menyangkal informasi faktual yang membuat publik merasa terancam. Bloomberg dengan tegas mengatakan “wabah ketidakjujuran” ini adalah satu-satunya komoditas yang terus dikapitalisasi oleh para politikus agar mendapatkan keuntungan elektoral. Namun kebenaran tetap kebenaran, sehingga kebohongan tak mungkin mampu terus-terusan menutupi yang sebenarnya terjadi.</p>
<p>Karena itu, kehadiran bukti empirik dalam perumusan kebijakan kesehatan tak bisa ditawar-tawar. Saat ini pemerintah Indonesia belum mengembangkan strategi yang jelas untuk melawan miskonsepsi dan krisis kredibilitas pada figur ilmuwan dan penelitian ilmiah yang mendasari beragam kebijakan kesehatan. Padahal efeknya jelas dan langsung dirasakan, seperti menurunnya cakupan imunisasi.</p>
<h2>Kebijakan kesehatan berbasis kebenaran</h2>
<p>Para ilmuwan dan perumus kebijakan kesehatan harus memahami lanskap politik di era paska-kebenaran agar dapat melewati tantangan ini dengan baik. Komunitas akademik juga dituntut untuk mereformasi strategi mereka dalam melakukan komunikasi sains supaya menutup kesenjangan pemahaman antara ilmuwan dengan pengambil kebijakan dan masyarakat awam. </p>
<p>Dalam <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5675585/">karya ilmiahnya</a>, pakar kebijakan kesehatan dari London, Martin McKee dan David Stuckler, menyebutkan setidaknya ada 6 prinsip yang harus diadopsi oleh praktisi kesehatan masyarakat dalam menanggapi situasi ini. </p>
<ol>
<li>Menggunakan keahlian epidemiologis, praktisi kesehatan masyarakat dapat memberikan wawasan yang menjelaskan mengapa politik populis mendapatkan pengaruh yang luas. </li>
<li>Menggunakan keahlian dalam menyusun model dan asesmen dampak kesehatan, praktisi kesehatan masyarakat dapat mengantisipasi dan memberi peringatan mengenai bahaya kebijakan populis.</li>
<li>Praktisi kesehatan masyarakat dapat membantu pemerintah menyusun instrumen kebijakan kesehatan yang efektif.</li>
<li>Praktisi kesehatan masyarakat harus menghindari menjadi partisan, dan secara aktif mempromosikan solidaritas dan persatuan. </li>
<li>Praktisi kesehatan masyarakat harus terlibat aktif dalam mendorong strategi cek fakta dan mempromosikan penggunaan bukti faktual.</li>
<li>Praktisi kesehatan perlu kembali menilik masa lalu, saat ilmu kesehatan masyarakat pernah berkelindan dengan pemerintahan totaliter Nazi di Polandia yang berupaya mencegah tuberkulosis dengan <a href="https://www.worldcat.org/title/model-nazi-arthur-greiser-and-the-occupation-of-western-poland/oclc/501395007">genosida</a> terhadap penduduk yang terinfeksi penyakit menular tersebut pada 1 Mei 1942. </li>
</ol>
<p>Selain itu, dalam <a href="https://www.pnas.org/content/110/Supplement_3/14033.short">mengkomunikasikan temuannya</a>, ilmuwan tidak boleh melakukan klaim berlebihan dan selalu berhati-hati dalam mendeskripsikan ketidakpastian. Ada beberapa teknik komunikasi sains yang dapat dilakukan, misalnya dengan memadukan strategi <em>framing</em> dengan <em>storytelling</em>. Strategi ini dilakukan dengan pengemasan dan seleksi fakta peristiwa yang ditujukan untuk membentuk persepsi publik melalui proses dialogis. Sebuah studi menunjukkan <a href="https://bsapubs.onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.3732/ajb.0900041">pendekatan dialogis</a> yang melibatkan masyarakat secara aktif dapat menghasilkan kebijakan yang lebih efektif.</p>
<p>Ketika menyuplai bukti yang melandasi kebijakan kesehatan, ilmuwan harus menjamin kualitas penelitiannya. Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah dengan mengadopsi <a href="https://theconversation.com/sains-terbuka-mengapa-penting-bagi-indonesia-yang-dana-risetnya-kecil-111069">pendekatan Sains Terbuka</a>, yang mengedepankan <a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/1745691617751884">prinsip keterbukaan dan transparansi</a>. Pendekatan ini memperluas kolaborasi lintas disiplin ilmu dan memperkuat jaringan peneliti dengan pengambil kebijakan dan LSM, sehingga dapat menghasilkan temuan riset yang solid, kredibel, dan berkualitas tinggi. </p>
<p>Kita membutuhkan kerja sama banyak pihak untuk melawan hoaks anti-vaksinasi sekaligus meningkatkan kepercayaan masyarakat pada kebenaran ilmiah.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/118525/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ilham Akhsanu Ridlo tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kehadiran bukti empirik dalam perumusan kebijakan kesehatan tak bisa ditawar-tawar. Namun kita belum memiliki strategi yang jelas untuk melawan miskonsepsi kesehatan di Indonesia.Ilham Akhsanu Ridlo, Assistant Lecturer in Department of Health Policy and Administration, Universitas Airlangga, Universitas AirlanggaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.