tag:theconversation.com,2011:/au/topics/perjanjian-paris-75349/articlesPerjanjian Paris – The Conversation2023-09-19T00:23:41Ztag:theconversation.com,2011:article/2137652023-09-19T00:23:41Z2023-09-19T00:23:41ZPemanasan global sudah menyentuh 1,5°C, apakah Bumi ‘game over’? Ternyata belum<p>Juli 2023 menjadi bulan dengan suhu global terpanas <a href="https://public.wmo.int/en/media/news/july-2023-confirmed-hottest-month-record">dalam sejarah</a>. </p>
<p>Kenyataan ini membikin gusar. Sebab, pekan lalu Badan Antariksa Eropa mengumumkan suhu rata-rata global pada Juli sudah mencapai 1,5°C lebih tinggi dibandingkan era praindustri (sejak 1850-an).</p>
<p><a href="https://www.abc.net.au/news/2023-09-11/global-temperatures-pass-1-5c-above-pre-industrial-levels/102836304">Sebuah judul berita yang tidak menyenangkan</a> kemudian menyatakan bahwa kita telah melampaui target Perjanjian Paris tahun 2015. Perjanjian ini bertujuan menahan pemanasan Bumi hingga 1,5°C—sekitar satu dekade lebih awal dari perkiraan dalam Perjanjian Paris pada 2030.</p>
<p>Lantas, apakah kita sudah <em>game over</em> dalam usaha meredam kenaikan suhu bumi? Apa umat manusia sudah kalah?</p>
<p>Jawabannya sama dengan semua hal terkait perubahan iklim: tidak sesederhana itu. Batasan tersebut naik hanya sebulan, kemudian temperatur rata-rata Bumi menurun lagi. </p>
<p>Juli 2023 juga bukanlah yang pertama saat kita melampaui target 1,5°C. Pada <a href="https://climate.copernicus.eu/tracking-breaches-150c-global-warming-threshold">Februari 2016 lalu</a>, kejadian serupa berlangsung walaupun cuma beberapa hari.</p>
<h2>Ingatkan saya, kenapa 1,5°C begitu penting?</h2>
<p>Pada 2015, suasana dunia berlangsung seperti kita siap memulai aksi memerangi perubahan iklim. Setelah debat panas selama puluhan tahun, sekitar 195 negara mengadopsi Perjanjian Paris, <a href="https://www.ipcc.ch/sr15/faq/faq-chapter-1/">kesepakatan formal yang tak mengikat</a> dengan kesepakatan yang jelas: membatasi pemanasan global sampai 1,5°C di atas level praindustri untuk menghindari efek terburuk perubahan iklim. </p>
<p>Namun, angka tersebut bukanlah nomor sakti. Setiap kenaikan suhu akan memperburuk dampak perubahan iklim. </p>
<p>Lantas mengapa angka 1,5°C begitu krusial? Jawaban utamanya, angka tersebut dipatok sebagai batasan untuk mewakili kegawatan yang akan kita hadapi. <a href="https://unfccc.int/process-and-meetings/the-paris-agreement">Perjanjian paris menyatakan</a> usaha menghindari perubahan iklim yang berbahaya, kenaikan temperatur bumi “harus berada di bawah 2°C”. Inilah yang melahirkan batasan 1,5°C.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/sudahkah-kebijakan-perubahan-iklim-indonesia-responsif-gender-209791">Sudahkah kebijakan perubahan iklim Indonesia responsif gender?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Lalu, apakah itu <a href="https://www.nature.com/articles/nclimate3179">level berbahaya</a> dari perubahan iklim? Level ini terjadi saat kerusakan akibat perubahan iklim menjadi sangat luas ataupun parah. Kerusakan ini dapat mengancam perekonomian, ekosistem, pertanian, dan memiliki risiko superbesar yang tak bisa dipulihkan lagi seperti keruntuhan lapisan es ataupun sirkulasi laut. Yang lebih penting, tingkat pemanasan ini berisiko melampaui batas kemampuan manusia beradaptasi.</p>
<p>Gampangnya, ambang batas 1,5°C adalah ‘jalur terbaik seperti saat kita berada dalam perahu di atas sungai, tanpa dayung’.</p>
<h2>Apakah kita terlambat?</h2>
<p>Lalu, apakah kita menyerah saja? </p>
<p>Belum.</p>
<p>Otoritas global tentang perubahan iklim, Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC_, mengartikan 1,5°C sebagai titik landasan suhu rata-rata global yang naik dari rata-rata suhu selama 1850 - 1900 (praindustrial).</p>
<p>Memang benar bahwa batasan ini sudah terlampaui pada Juli 2023. Namun, iklim tak hanya dilihat dari fenomena sebulan.</p>
<p>Temperatur rata-rata global naik-turun setiap tahun di atas tren pemanasan global. Pasalnya, secara alamiah iklim dari tahun ke tahun bervariasi.</p>
<p>Suhu global beberapa tahun belakangan memang lebih panas dari rata-rata. Namun tren tersebut sebenarnya agak dingin karena fenomena La Niña yang berturut-turut. </p>
<p>Apalagi, tahun ini ada pemanasan signifikan yang terutama berlangsung akibat kejadian El Niño di kawasan Pasifik. Tahun-tahun El Niño membuat Bumi <a href="https://theconversation.com/why-are-so-many-climate-records-breaking-all-at-once-209214">menjadi lebih panas</a>.</p>
<p>Agar tren tahunan terlihat lebih jelas, kita biasanya menggunakan data rata-rata selama beberapa dekade. Oleh karena itu, laporan IPCC 2021 menetapkan ambang batas 1,5°C sebagai <a href="https://www.nature.com/articles/d41586-023-01702-w">periode 20 tahun pertama</a> yang dihitung ketika kenaikan suhu global menyentuh 1,5°C (berdasarkan suhu udara di permukaan Bumi).</p>
<p><a href="https://www.pnas.org/doi/10.1073/pnas.2207183120">Penelitian terbaru</a> menunjukkan perkiraan terbaik untuk melewati ambang batas ini adalah pada awal tahun 2030-an. Artinya, berdasarkan definisi IPCC, rata-rata suhu global antara awal dekade 2020-an dan dekade tahun 2040-an diperkirakan sebesar 1,5°C.</p>
<h2>Nyaris melampaui garis merah</h2>
<p>Sejauh ini kita memang belum melampaui target Perjanjian Paris. Namun, temperatur Juli lalu menunjukkan kita sedang berada di ujung tanduk.</p>
<p>Saat dunia terus memanas, kita akan terus melihat ‘Juli-juli’ selanjutnya. Kita akan terus bergerak semakin dekat dengan batas 1,5°C, dan pemanasan global akan menjadi lebih berbahaya. </p>
<p>Apakah mungkin pemanasan suhu Bumi ini di bawah 1,5°C? Mungkin saja. Kita membutuhkan pemangkasan emisi yang agresif nan ekstrem untuk mencapai kondisi tersebut. Jika gagal, kita bakal melampaui target Perjanjian Paris dalam satu dekade mendatang ataupun sesudahnya.</p>
<p>Katakanlah itu batasan itu sudah kita lewati. Apakah artinya kita sudahi saja aksi iklim di dunia ini? </p>
<p>Jangan sampai begitu. Kenaikan suhu 1,5°C saja sudah buruk, apalagi 1,6°C. Pemanasan global 2°C lebih buruk lagi. Kenaikan suhu 3°C akan <a href="https://theconversation.com/seriously-ugly-heres-how-australia-will-look-if-the-world-heats-by-3-c-this-century-157875">tak terbayangkan</a>. Setiap pergerakan suhu akan sangat krusial.</p>
<p>Sedekat mungkin kita dengan batas itu–-sekalipun sudah terlewat–-masih lebih baik.</p>
<p>Saat ini, ada <a href="https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1748-9326/accd83/meta">bukti menggembirakan</a> bahwa sekalipun kita sudah melampaui 1,5°C, kita masih bisa membalikannya dengan mengakhiri pelepasan emisi gas rumah kaca dan menyedot kelebihannya di atmosfer. Upaya ini seperti membalikkan kapal kontainer raksasa-–membutuhkan waktu untuk mengatasi kelambanan kita. Namun, secepat mungkin kita berusaha, maka akan lebih baik.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/studi-emisi-gas-rumah-kaca-mencapai-titik-tertinggi-dan-pemanasan-global-sedang-melaju-amat-cepat-207516">Studi: Emisi gas rumah kaca mencapai titik tertinggi dan pemanasan global sedang melaju amat cepat</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<img src="https://counter.theconversation.com/content/213765/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ailie Gallant menerima dana dari Dewan Riset Australia dan Departemen Perubahan Iklim, Energi, Lingkungan dan Air.
</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Kimberley Reid menerima dana dari Dewan Riset Australia.</span></em></p>Juli adalah bulan terpanas sepanjang sejarah-–dan suhunya melebihi 1,5 derajat. Namun satu bulan ini berarti kita gagal memenuhi tujuan Perjanjian Paris.Ailie Gallant, Associate Professor, School of Earth, Atmosphere and Environment, Monash UniversityKimberley Reid, Postdoctoral Research Fellow in Atmospheric Sciences, Monash UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1579702021-04-22T04:38:02Z2021-04-22T04:38:02ZGerakan aksi iklim Indonesia meningkat tapi belum pengaruhi kebijakan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/395736/original/file-20210419-15-4v29vv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=11%2C23%2C3976%2C2628&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Aksi "Jeda Untuk Iklim di Jakarta, sebelum pandemi. </span> <span class="attribution"><span class="source">ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/wsj.</span></span></figcaption></figure><p>Aksi protes perubahan iklim bukan hal yang baru di Indonesia. Namun, memang baru pada 2019 bisa disebut sebagai tahun <a href="https://www.tempo.co/dw/1768/2019-tahun-bangkitnya-kesadaran-dan-aksi-protes-perubahan-iklim">kebangkitan aksi protes perubahan iklim</a>. </p>
<p>Selama pandemi, protes iklim virtual di Indonesia pernah berhasil mengumpulkan kurang lebih 1.000 orang yang tergabung dalam <em>zoom</em> dan siaran langsung YouTube tahun lalu.</p>
<p>Selain itu, para pemuda mengajak masyarakat terdampak, rohaniawan, hingga musisi, dalam protes virtual ini. </p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/Bg8L00knYLo?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption">Digital Climate Strike 2020 - “Pukul Mundur Krisis Iklim” (Greenpeace Indonesia)</span></figcaption>
</figure>
<p>Di satu sisi, protes yang masih berjalan meski pandemi menunjukkan animo masyarakat dalam memperjuangkan soal krisis iklim. </p>
<p>Sayangnya, gerakan ini masih belum bisa <strong>memengaruhi</strong> kebijakan iklim di Indonesia karena setidaknya butuh 9 jutaan orang untuk turun ke jalan dan melakukan protes. </p>
<h2>Dari masyarakat terdampak hingga fans K-Pop</h2>
<p>Protes iklim setiap hari Jumat oleh <a href="https://www.bbc.com/indonesia/majalah-50697434">Greta Thunberg</a>, remaja asal Swedia, sejak 2018 atau dikenal sebagai <em>Fridays for Future</em> memang <strong>memengaruhi</strong> maraknya aksi protes iklim di Indonesia. </p>
<p>Berdasarkan perhitungan <em>Fridays for Future</em>, sudah ada <a href="https://fridaysforfuture.org/what-we-do/strike-statistics/list-of-countries/">116 aksi protes iklim</a> di Indonesia sejak 15 Maret 2019 hingga 26 Maret 2021.</p>
<p>Jumlah ini relatif banyak mengingat dalam jangka waktu 2 tahun sudah ada ratusan aksi protes muncul di Indonesia.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/riset-awal-tunjukkan-nilai-kesadaran-perubahan-iklim-gen-z-di-indonesia-sangat-tinggi-150958">Riset awal tunjukkan nilai kesadaran perubahan iklim Gen-Z di Indonesia sangat tinggi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Pada 17 Maret 2021, puncak <a href="https://www.instagram.com/p/CMZfp3Ag7Jf/?utm_source=ig_web_copy_link">aksi protes iklim virtual</a> di Indonesia berhasil melibatkan banyak pihak, tidak hanya kelompok lingkungan.</p>
<p>Mulai dari ibu-ibu pejuang <a href="https://tirto.id/ibu-ibu-petani-kendeng-tagih-penuntasan-kasus-pabrik-semen-c2XC">Kendeng</a>, <a href="http://www.solidaritasperempuan.org/kontak/sp-kinasih-jogjakarta/">Solidaritas Perempuan Kinasih</a>, masyarakat terdampak banjir Kalimantan Selatan, hingga perempuan nelayan di <a href="https://www.walhi.or.id/dampak-perubahan-iklim-pulau-pari-alami-banjir-rob-dua-kali-setahun">Pulau Pari</a>, sebagai masyarakat terdampak dari krisis iklim, juga mengikuti protes daring ini. </p>
<p>Selain itu, ada juga gerakan pemuda, seperti <a href="https://www.instagram.com/youth_actkalimantan/?hl=en">Youth Act Kalimantan</a>, Federasi Pelajar Jakarta, NGO <a href="https://www.haka.or.id/">HAkA (Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh)</a>, serta tokoh agama dan musisi. </p>
<p>Keikutsertaan mereka menggambarkan dampak krisis iklim akan menghantam semua lapisan masyarakat.</p>
<p>Selama beberapa tahun belakangan, koalisi dan kelompok lingkungan peduli iklim mulai banyak bermunculan di Indonesia, seperti <a href="https://www.instagram.com/jedaiklim/">Jeda Untuk Iklim</a>, <a href="https://www.instagram.com/extinctionrebellion.id/">Extinction Rebellion Indonesia</a>, <a href="https://www.instagram.com/jaga_rimba/">Jaga Rimba</a>, <a href="https://www.golonganhutan.id/about-us">Golongan Hutan</a>, <a href="https://www.instagram.com/koproliklim/">Koprol Iklim</a>, dan <a href="https://www.instagram.com/climaterangers/">Climate Rangers</a>. </p>
<p>Ada juga <a href="https://www.instagram.com/kpop4planet/">kop4planet</a>, kelompok peduli lingkungan yang terbentuk karena terinspirasi oleh <a href="https://www.kompas.com/hype/read/2021/02/26/230540566/blackpink-ditunjuk-jadi-duta-konferensi-perubahan-iklim-pbb-2021">Blackpink</a>, grup penyanyi perempuan asal Korea Selatan, yang menjadi duta untuk Konferensi Perubahan Iklim PBB (<a href="https://unfccc.int/">UNFCCC</a>) tahun 2021.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/ibu-rumah-tangga-dan-petani-perempuan-berperan-vital-dalam-pergerakan-lingkungan-indonesia-133522">Ibu rumah tangga dan petani perempuan berperan vital dalam pergerakan lingkungan Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Selama pandemi, kelompok-kelompok ini mampu beradaptasi dan tetap melanjutkan aksi protes, bahkan sejak September 2020. </p>
<p>Tidak akan mengejutkan apabila pandemi berakhir, aksi protes turun ke jalan skala besar akan bertambah besar di Indonesia dan global. </p>
<h2>Belum cukup pengaruhi kebijakan</h2>
<p>Secara umum, gerakan ini di Indonesia belum cukup kuat untuk memengaruhi kebijakan iklim pemerintah.</p>
<p>Dalam presentasi di TEDxTalk pada 2013, profesor kebijakan publik dari Universitas Harvard AS Erica Chenoweth mengatakan bahwa perlawanan nirkekerasan kemungkinan besar dapat berhasil apabila melibatkan setidaknya 3,5% dari total populasi.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/YJSehRlU34w?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption">The success of nonviolent civil resistance: Erica Chenoweth at TEDxBoulder.</span></figcaption>
</figure>
<p>Sebagai ilustrasi, gerakan iklim di Indonesia perlu melibatkan setidaknya 9.457.000 orang untuk berhasil, ini mengacu kepada <a href="https://www.bps.go.id/subject/12/kependudukan.html">total penduduk Indonesia saat ini</a>, yaitu 270,2 juta jiwa. </p>
<p>Jumlah ini masih terlampau jauh dari angka massa yang terlibat saat aksi protes, baik daring dan luring, pada Maret lalu. </p>
<p>Sehingga, aksi protes iklim ini masih membutuhkan dukungan dari seluruh masyarakat, khususnya anak muda. </p>
<p>Riset terbaru dari Dana R. Fisher dan Sohana Nasrin, peneliti dari Universitas Maryland AS tentang <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1002/wcc.683">aktivisme iklim dan dampaknya</a> menemukan bahwa aksi protes digital memiliki kelebihan bisa menghubungkan orang dari berbagai lokasi secara bersamaan. </p>
<p>Namun, aksi daring cenderung hanya melibatkan peserta dan perspektif yang terbatas.</p>
<p>Aksi protes digital belum efektif untuk menarik lebih banyak massa seperti aksi turun ke jalan, tempat aktivis dapat berinteraksi dengan masyarakat umum secara langsung untuk menarik perhatian. </p>
<p>Meski demikian, aksi ini efektif dan tetap penting untuk menjaga momentum pergerakan.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1380543699059408905"}"></div></p>
<h2>Menuntut penurunan emisi</h2>
<p>Meski karakter protes berubah, seruan global para aktivis iklim tidak bergeming. </p>
<p>Mereka menuntut agar negara-negara di dunia menurunkan emisi karbon secara ambisius untuk mencegah dampak perubahan iklim yang lebih parah.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bila-pemanasan-global-melebihi-2-c-lelehan-es-antarktika-bisa-menaikkan-muka-laut-hingga-20-meter-126509">Bila pemanasan global melebihi 2°C, lelehan es Antarktika bisa menaikkan muka laut hingga 20 meter</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Kelompok ini menuntut <a href="https://www.instagram.com/p/CMPJlQNANRz/?utm_source=ig_web_copy_link">5 hal</a> kepada pemerintah Indonesia, yaitu:</p>
<p>1) mendeklarasikan darurat iklim.</p>
<p>2) meningkatkan komitmen iklim Indonesia sesuai dengan <a href="http://ppid.menlhk.go.id/siaran_pers/browse/298">Perjanjian Paris</a>, yaitu mencegah suhu Bumi lebih dari 1,5 derajat Celsius.</p>
<p>3) menghentikan investasi di sektor energi kotor (terutama batu bara) dan memilih energi bersih terbarukan untuk pertumbuhan ekonomi yang sehat. </p>
<p>4) menjamin keadilan bagi semua pejuang lingkungan.</p>
<p>5) mencabut seluruh kebijakan yang merusak lingkungan dan memastikan kebijakan baru yang fokus pada penanggulangan krisis iklim.</p>
<p>Menyambut hari Bumi 22 April 2021, koalisi lingkungan kembali menggelar aksi luring, <a href="https://www.instagram.com/p/CN2JFnfAbJi/?utm_source=ig_web_copy_link">Joget Jagat</a>, aksi joget bersama sebagai ekspresi keresahan atas krisis iklim yang terjadi.</p>
<p>Mereka juga menambah <a href="https://www.instagram.com/p/CN1fzvMAZYl/?utm_source=ig_web_copy_link">2 tuntutan</a> yang lebih spesifik, yaitu mengembalikan hutan melalui reboisasi (mencapai 600.000 hektare per tahun) dan memangkas penggunaan serta produksi batu bara sampai nol pada 2030. </p>
<p>Pemerintah Indonesia menargetkan <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2021/03/22/indonesia-mulls-net-zero-emissions-target-by-2070.html">nol emisi</a> tercapai pada 2070. </p>
<p>Target ini mundur 20 tahun dari <a href="https://www.un.org/press/en/2020/sgsm20183.doc.htm">perjanjian yang telah disepakati global</a> di Paris. </p>
<p>Hingga kini, Indonesia tidak berencana menaikkan target emisi secara ambisius dan tetap dengan angka 29% dan 41% (dengan bantuan internasional) hingga 2030.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/tiga-kerugian-indonesia-bila-tidak-meningkatkan-target-penurunan-emisi-153097">Tiga kerugian Indonesia bila tidak meningkatkan target penurunan emisi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Pada Februari, Badan PBB untuk Perubahan Iklim mengeluarkan <a href="https://unfccc.int/sites/default/files/resource/cma2021_02E.pdf">laporan</a> bahwa total target penurunan emisi sukarela negara-negara saat ini hanya akan mengurangi sekitar 2,8% pada 2030.</p>
<p>Ini tidak cukup untuk bisa menahan suhu Bumi melampaui 1,5 derajat Celsius dan mencegah dampak dari krisis iklim. </p>
<p>Mekanisme negosiasi internasional dalam Perjanjian Paris belum efektif untuk mengubah kebijakan iklim Pemerintah Indonesia. </p>
<p>Namun, tekanan domestik yang persisten terhadap pemerintah dari koalisi kelompok-kelompok lingkungan bisa mengubah kebijakan yang lebih menjanjikan.</p>
<hr>
<p><em>Penulis mewawancarai Melissa Kowara, Koordinator Nasional Extinction Rebellion Indonesia dan Steering Committee Jeda Untuk Iklim, dan Syaharani, salah satu mahasiswi dan penggiat aksi Jeda Untuk Iklim untuk kelengkapan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/157970/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Stanislaus Risadi Apresian adalah mahasiswa doktoral di Univeristy of Leeds penerima dana Beasiswa Unggulan Dosen Indonesia (BUDI) dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP)</span></em></p>Gerakan protes iklim di Indonesia meningkat, tetapi belum bisa memengaruhi kebijakan.Stanislaus Risadi Apresian, Assistant Professor of International Relations, Universitas Katolik ParahyanganLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1588322021-04-16T07:54:50Z2021-04-16T07:54:50ZMakhluk laut di ekuator berpindah ke tempat yang lebih dingin. Sejarah tunjukkan ini bisa berujung pada kepunahan massal<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/395203/original/file-20210415-23-1ozzlgp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=5%2C5%2C3355%2C2348&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span></figcaption></figure><p>Perairan tropis di kawasan ekuator terkenal dengan keragaman kehidupan laut di Bumi, memiliki terumbu karang berwarna-warni dan ikan tuna, penyu laut, pari manta dan hiu paus.</p>
<p>Jumlah spesies laut secara alami akan berkurang di wilayah yang semakin dekat ke kutub-kutub. </p>
<p>Para ahli ekologi sebelumnya berasumsi bahwa pola global ini akan tetap stabil selama beberapa abad. Sekarang, asumsi ini sudah berubah. </p>
<p><a href="https://www.pnas.org/content/118/15/e2015094118">Studi terbaru kami</a> menemukan bahwa lautan di sekitar ekuator telah menjadi terlalu panas bagi spesies untuk bertahan hidup. Ini akibat pemanasan global. </p>
<p>Singkatnya, pola global kini berubah sangat cepat.</p>
<p>Dan, ketika spesies berpindah ke perairan dingin, menuju kutub, maka akan ada dampak besar bagi ekosistem laut dan mata pencaharian manusia. </p>
<p>Ketika hal serupa terjadi sekitar 252 juta tahun lalu, setidaknya 90% dari semua spesies laut mati.</p>
<h2>Kekayaan spesies dalam bahaya</h2>
<p>Pola global ini, di mana jumlah spesies sedikit di area kutub dan lebih banyak di area ekuator, menghasilkan gradien kekayaan spesies yang berbentuk menyerupai lonceng. </p>
<p>Kami meneliti catatan distribusi dari hampir 50.000 spesies laut dari tahun 1955 dan menemukan ada penurunan yang cukup tajam. </p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/393752/original/file-20210407-19-cqd2db.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="Grafik dengan 3 garis yang saling beririsan, masing-masing mewakili dekade yang berbeda. Ini menunjukkan antara tahun 1955 dan 1974, kurva hampir rata di bagian atas. Untuk garis 1975-1994 dan 1995-2015, penurunan terlihat lebih dalam, dengan puncak pada setiap sisi di bagian tengah." src="https://images.theconversation.com/files/393752/original/file-20210407-19-cqd2db.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/393752/original/file-20210407-19-cqd2db.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=337&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/393752/original/file-20210407-19-cqd2db.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=337&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/393752/original/file-20210407-19-cqd2db.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=337&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/393752/original/file-20210407-19-cqd2db.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/393752/original/file-20210407-19-cqd2db.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/393752/original/file-20210407-19-cqd2db.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Apabila kita lihat setiap garis pada grafik ini, bisa terlihat penurunan dalam untuk kekayaan spesies antara 1955 dan 1974. Ini semakin mendalam pada beberapa dekade selanjutnya.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Anthony Richardson</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Jadi, saat lautan menghangat, para penghuni laut mencari suhu yang mereka inginkan dengan cara berenang ke arah kutub. </p>
<p>Meskipun pemanasan di ekuator sebesar 0.6°C selama 50 tahun terakhir masih relatif rendah, <a href="https://science.sciencemag.org/content/334/6056/652">spesies tropis harus berpindah</a> untuk menjaga suhu tubuh mereka. </p>
<p>Saat pemanasan laut meningkat selama beberapa dekade karena perubahan iklim, penurunan di sekitar ekuator semakin tajam. </p>
<p><a href="https://www.nature.com/articles/nclimate2769">Kami memprediksi</a> perubahan semacam ini sekitar 5 tahun lalu menggunakan pendekatan modeling, dan kini kami sudah memiliki bukti hasil observasi. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/the-ocean-is-becoming-more-stable-heres-why-that-might-not-be-a-good-thing-157911">The ocean is becoming more stable – here's why that might not be a good thing</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Untuk setiap 10 grup spesies utama yang kami pelajari, termasuk ikan pelagis, ikan karang dan moluska, yang hidup di perairan atau dasar laut, jumlah mereka tetap atau sedikit menurun pada wilayah dengan suhu permukaan laut tahunan rata-rata di atas 20°C.</p>
<p>Saat ini, kekayaan spesies terbesar berada di belahan bumi utara pada garis lintang sekitar 30°LU (lepas pantai Cina bagian selatan dan Meksiko) dan di selatan sekitar 20°LS (lepas pantai Australia bagian selatan dan Brasil bagian selatan). </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="gerombolan ikan tuna." src="https://images.theconversation.com/files/393937/original/file-20210408-13-1cvlkq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/393937/original/file-20210408-13-1cvlkq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/393937/original/file-20210408-13-1cvlkq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/393937/original/file-20210408-13-1cvlkq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/393937/original/file-20210408-13-1cvlkq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/393937/original/file-20210408-13-1cvlkq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/393937/original/file-20210408-13-1cvlkq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Perairan tropis di ekuatorial terkenal memiliki keragaman kehidupan lautan, termasuk ikan tuna.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Sudah pernah terjadi</h2>
<p>Kita seharusnya tidak terkejut bahwa keanekaragaman hayati global akan bereaksi terhadap pemanasan global. </p>
<p>Ini sudah pernah terjadi sebelumnya dan memiliki akibat yang dramatis. </p>
<p><strong>252 juta tahun lalu…</strong></p>
<p>Pada akhir periode Permian, sekitar 252 juta tahun lalu, suhu global menghangat hingga 10°C selama 30.000-60.000 tahun sebagai hasil dari emisi gas rumah kaca akibat letusan gunung api di Siberia. </p>
<p><a href="https://www.pnas.org/content/117/30/17578">Sebuah studi pada tahun 2020</a> dari fosil yang ditemukan masa itu menunjukkan puncak keanekaragaman hayati di kawasan ekuator mendatar dan tersebar. Pada masa ini, pengaturan ulang besar-besaran pada biodiversitas global menyebabkan sehingga 90% dari spesies laut mati. </p>
<p><strong>125.000 tahun lalu…</strong></p>
<p><a href="https://www.pnas.org/content/109/52/21378">Studi tahun 2012 menunjukkan</a> selama pemanasan yang cepat sekitar 125.000 tahun lalu, ada perubahan yang mirip dari terumbu karang yang menjauhi daerah tropis, seperti terdokumentasikan pada catatan fosil. </p>
<p>Hasil ini merupakan pola yang sama dengan yang kami gambarkan, meski pun tidak ada hubungan dengan kepunahan massal. </p>
<p>Penulis dari studi tersebut menyebutkan bahwa hasil mereka mungkin meramalkan dampak dari pemanasan global saat ini, memperingatkan adanya kepunahan massal di masa depan ketika spesies berpindah ke daerah subtropis, di mana mereka harus berjuang untuk hidup dan beradaptasi. </p>
<p><strong>Masa kini…</strong></p>
<p><a href="https://www.pnas.org/content/117/23/12891">Sepanjang zaman es yang terakhir</a>, yang berakhir sekitar 15.000 tahun lalu, keragaman foram (sejenis cangkang keras dan plankton bersel satu) meningkat di kawasan ekuator dan menurun drastis kemudian.<br>
Ini penting karena plankton adalah spesies kunci dalam jaring makanan. </p>
<p>Studi kami menunjukkan bahwa penurunan tajam pada beberapa dekade belakangan akibat perubahan iklim dari kegiatan manusia. </p>
<h2>Dampak yang besar</h2>
<p>Kehilangan spesies di ekosistem tropis berarti resiliensi ekologis atas perubahan lingkungan telah menurun, sehingga mengancam keberlanjutan ekosistem. </p>
<p>Kekayaan spesies di ekosistem subtropis justru meningkat. </p>
<p>Ini berarti akan ada spesies invasif, interaksi antara predator dan mangsa yang baru, dan hubungan kompetisi yang baru. </p>
<p>Misalnya, <a href="https://www.abc.net.au/news/2019-09-13/sydney-growing-own-coral-reef-with-help-from-tropical-fish/11466192">ikan tropis</a> yang memasuki area iklim baru akan berkompetisi dengan spesies setempat untuk makanan dan habitat. </p>
<p>Ini bisa menghasilkan runtuhnya ekosistem, seperti yang kita lihat di pergantian antara periode Permian dan Triassic, di mana spesies punah dan pasokan ekosistem (persediaan makanan) berubah permanen. </p>
<p>Perubahan yang kami gambarkan juga akan memiliki dampak besar bagi mata pencaharian manusia. </p>
<p>Sebagai contoh, negara-negara kepulauan tropis bergantung kepada pemasukan dari armada pemancingan tuna dengan menjual izin di perairan mereka. </p>
<p>Spesies tuna dengan mobilitas tinggi sangat mungkin berpindah cepat ke wilayah subtropis, melampaui batas-batas negara. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/tropical-fisheries-does-limiting-international-trade-protect-local-people-and-marine-life-133403">Tropical fisheries: does limiting international trade protect local people and marine life?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Sama halnya dengan ikan karang yang penting bagi nelayan artisanal, dan megafauna dengan mobilitas tinggi seperti hiu paus, pari manta dan penyu laut yang menjadi pendukung wisata, akan berpindah ke daerah subtropis. </p>
<p>Pergerakan ikan komersial dan artisanal serta megafauna dapat memberikan hambatan bagi kemampuan negara-negara tropis untuk memenuhi target <a href="https://sdgs.un.org/goals">Tujuan Pembangunan Berkelanjutan</a> terkait kelaparan dan kehidupan laut. </p>
<h2>Apa yang bisa kita lakukan?</h2>
<p>Salah satu cara sudah tercantum dalam Perjanjian Iklim Paris dan ini melibatkan penurunan emisi secara agresif. </p>
<p>Ada pula cara-cara lain yang juga muncul yang bisa menjaga biodiversitas dan meminimalkan dampak terburuk dari perpindahan menjauhi ekuator. </p>
<p>Saat ini baru 2,7% laut yang mendapatkan <a href="https://mpatlas.org">perlindungan secara penuh</a>. </p>
<p>Ini masih jauh dari target 10% pada tahun 2020 di bawah Konvensi PBB untuk Keanekaragaman Hayati. </p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/393915/original/file-20210408-19-46u3s8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="Pari manta dengan ikan lainnya" src="https://images.theconversation.com/files/393915/original/file-20210408-19-46u3s8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/393915/original/file-20210408-19-46u3s8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/393915/original/file-20210408-19-46u3s8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/393915/original/file-20210408-19-46u3s8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/393915/original/file-20210408-19-46u3s8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/393915/original/file-20210408-19-46u3s8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/393915/original/file-20210408-19-46u3s8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Pari manta dan megafauna lainnya meninggalkan ekuator akan memiliki dampak besar bagi pariwisata.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Namun, <a href="https://www.gov.uk/government/topical-events/global-ocean-alliance-30by30-initiative/about#global-ocean-alliance-members">41 negara</a> sedang mendorong target baru untuk melindungi 30% dari kawasan lautan pada tahun 2030. </p>
<p>Target “30 by 30” ini bisa melarang pertambangan dasar laut dan perikanan di kawasan lindung yang bisa menghancurkan habitat dan melepaskan karbon dioksida sama seperti <a href="https://www.nature.com/articles/s41586-021-03371-z">dunia penerbangan global</a>. </p>
<p>Langkah-langkah ini bisa menghilangkan tekanan terhadap keanekaragaman hayati dan mendorong resiliensi ekologis. </p>
<p>Merancang kawasan lindung yang sadar iklim juga bisa melindungi biodiversitas dari perubahan di masa depan. </p>
<p>Misalnya, kawasan lindung untuk kehidupan laut bisa berada di tempat pengungsian di mana iklim lebih stabil di masa depan. </p>
<p>Kita memiliki bukti bahwa perubahan iklim memengaruhi pola global terkuat di ekologi. Sehingga, kita tidak boleh menunda aksi-aksi mitigasi. </p>
<figure class="align-right ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/369797/original/file-20201117-13-180ibt9.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/369797/original/file-20201117-13-180ibt9.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/369797/original/file-20201117-13-180ibt9.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/369797/original/file-20201117-13-180ibt9.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/369797/original/file-20201117-13-180ibt9.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=504&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/369797/original/file-20201117-13-180ibt9.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=504&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/369797/original/file-20201117-13-180ibt9.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=504&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
</figcaption>
</figure>
<p><strong><em>Tulisan ini bagian dari <a href="https://theconversation.com/uk/topics/oceans-21-96784">Oceans 21</a></em></strong>
<br><em>Serial kami terkait lautan global yang dibuka dengan <a href="https://oceans21.netlify.app">5 profil samudra</a>. Nantikan artikel-artikel baru terkait keadaan laut dunia menjelang konferensi iklim PBB berikutnya, C0P26. Serial ini merupakan persembahan dari jaringan internasional The Conversation.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/158832/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Anthony Richardson menerima dana dari Australian Research Council. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Chhaya Chaudhary bekerja untuk Goethe University, Frankfurt am Main, Jerman. Saat menjalani studi PhD (2014- 2019), ia menerima sebagian dana dari European Marine Observation Data Network (EMODnet) Biology didanai dari Direktorat Komisi Eropa - Direktorat Jendral untuk Maritim dan Perikanan (DG MARE) dan menerima U21 Doctoral Mobility Scholarship dari Universitas Auckland, tahun 2016.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>David Schoeman menerima dana dari Australian Research Council.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Mark John Costello tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Perubahan iklim telah membuat lautan tropis terlalu panas bagi beberapa spesies. Ketika berpindah ke arah kutub, akan berdampak besar bagi ekosistem dan mata pencaharian manusia.Anthony Richardson, Professor, The University of QueenslandChhaya Chaudhary, University of Auckland, Waipapa Taumata RauDavid Schoeman, Professor of Global-Change Ecology, University of the Sunshine CoastMark John Costello, Professor, University of Auckland, Waipapa Taumata RauLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1541862021-02-08T05:22:43Z2021-02-08T05:22:43ZTanya-jawab : Pengaruh Amerika Serikat kembali masuk ke dalam Perjanjian Paris bagi Indonesia dan upaya pengendalian krisis iklim<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/381874/original/file-20210202-19-1yc53xy.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=49%2C0%2C5466%2C3640&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/b/bc/Joe_Biden_%2848651032061%29.jpg">Gage Skidmore/Wikimedia commons</a></span></figcaption></figure><p>Beberapa jam setelah dilantik, Presiden Amerika Serikat (AS) terpilih, Joe Biden, langsung membatalkan beberapa keputusan presiden sebelumnya, Donald Trump, dengan mengeluarkan <a href="https://www.whitehouse.gov/briefing-room/presidential-actions/2021/01/27/executive-order-on-tackling-the-climate-crisis-at-home-and-abroad/">perintah eksekutif (<em>executive order</em>)</a>. </p>
<p>Salah satu perintah yang diambil memasukkan kembali AS ke dalam <a href="https://unfccc.int/process-and-meetings/the-paris-agreement/the-paris-agreement">Perjanjian Paris</a>, sebuah perjanjian internasional yang disepakati pada tahun 2015 untuk mencegah kenaikan suhu Bumi. </p>
<p>Trump menarik AS keluar dari perjanjian tersebut pada tahun 2017, meskipun negara tersebut adalah <a href="https://www.usatoday.com/story/money/2019/07/14/china-us-countries-that-produce-the-most-co-2-emissions/39548763/">salah satu negara penghasil emisi karbon terbesar di dunia</a>. </p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1352072818847068163"}"></div></p>
<p>Banyak yang menyatakan bahwa kembali bergabungnya AS akan memberikan dukungan positif kepada upaya seluruh negara untuk bisa mencegah pemanasan global dan menghindari dampak krisis iklim di masa depan. </p>
<p>Kami bertanya kepada Mahawan Karuniasa, pakar perubahan iklim dari Universitas Indonesia dan salah satu anggota delegasi Indonesia untuk negosiasi iklim di <a href="https://unfccc.int">UNFCCC</a> (Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Perubahan Iklim), terkait dengan masuknya AS ke dalam Perjanjian Paris dan apa saja dampaknya bagi Indonesia : </p>
<p><strong>Apa pendapatnya tentang AS bergabung kembali ke dalam Perjanjian Paris di bawah pemerintahan Joe Biden?</strong> </p>
<p>Banyak pihak mengetahui bahwa <a href="https://www.climatechangenews.com/2021/01/04/majority-countries-miss-paris-agreement-deadline-increase-climate-ambition/">Kesepakatan Paris belum menjamin tercapainya upaya untuk mengendalikan pemanasan global</a>. </p>
<p>Berdasarkan Laporan Gap Emisi (<em><a href="https://www.unenvironment.org/emissions-gap-report-2020">Emissions Gap Report</a></em>) dari <a href="https://www.unep.org">Badan PBB untuk Lingkungan Hidup</a> (UNEP) tahun 2020, untuk mencapai tujuan global di bawah 1,5 derajat Celsius pada tahun 2030, emisi global yang dilepaskan perlu dibatasi tidak lebih dari 25 GtCO2e (Gigaton karbon dioksida ekuivalen), atau <a href="https://www.unenvironment.org/emissions-gap-report-2020">setara 66% emisi CO2 dari penggunaan energi fosil dunia sesaat sebelum COVID-19</a>. </p>
<p>Sedangkan, jika semua negara memenuhi komitmen mereka dalam mereduksi emisi sesuai Kesepakatan Paris, maka emisi global masih berada pada <a href="https://www.unenvironment.org/emissions-gap-report-2020">angka 53-56 GtCO2e pada tahun 2030</a>. </p>
<p>Artinya, jika Perjanjian Paris saja tidak cukup untuk mengendalikan pemanasan global.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/WiGD0OgK2ug?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
</figure>
<p>Sepanjang dekade terakhir, terdapat 4 negara penghasil emisi terbesar, yaitu Cina, AS, Uni Eropa (termasuk Inggris), dan India. Keempat wilayah ini berkontribusi <a href="https://www.wri.org/blog/2020/02/greenhouse-gas-emissions-by-country-sector">sekitar hampir 55% emisi global</a>. </p>
<p>AS sendiri berada pada posisi kedua, setelah Cina, dengan menghasilkan emisi lebih dari <a href="https://www.unenvironment.org/emissions-gap-report-2020">6 GtCO2e pada tahun 2019</a>.</p>
<p>Kembalinya AS pada Perjanjian Paris tentunya akan memperkuat upaya untuk menahan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celsius.</p>
<p><strong>Apa dampaknya, baik langsung dan tidak langsung, bagi Indonesia?</strong></p>
<p>Dampak langsung kembalinya AS mengambil peran dalam aksi iklim global adalah mengurangi tekanan jatah reduksi emisi kepada negara lain, termasuk Indonesia dalam mencapai target emisi global. </p>
<p>Dampak lainnya, meningkatnya peluang pendanaan hijau dan pengembangan investasi serta kerja sama teknologi hijau dari AS di Indonesia.</p>
<p>Sedangkan, untuk dampak tidak langsung, antara lain akan menghambat laju <a href="https://www.kompas.com/sains/read/2021/01/25/172800423/puncak-musim-hujan-indonesia-ini-wilayah-waspada-risiko-bencana?page=all">bencana hidrometeorologis di Indonesia</a> karena berkurangnya emisi global akan berpengaruh pada cuaca ekstrem yang terjadi di berbagai belahan Bumi di dunia, termasuk Indonesia.</p>
<p><strong>Apa yang bisa Indonesia dapatkan dari momentum ini?</strong></p>
<p>Angin perubahan dari AS ini diperkirakan akan berpengaruh terhadap pendanaan dari Bank Dunia, IMF (Dana Moneter Internasional), dan entitas finansial global lainnya yang saat ini sedang giat mendorong transisi pembangunan dunia menuju <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/BF01867238">pembangunan global yang berkelanjutan </a>. </p>
<p>Dalam praktiknya, bisa ada potensi pengucuran dana dari AS untuk memasukkan program-program ekonomi berkelanjutan. </p>
<p>Sebelumnya, di bawah pemerintahan Barack Obama, ada kebijakan AS untuk berkomitmen menyediakan <a href="https://www.greenclimate.fund/news/green-climate-fund-board-approves-usd-1-billion-climate-action-sets-out-strategic-vision"><em>Green Climate Fund</em> (GCF)</a>, suatu platform global untuk pendanaan aksi-aksi mitigasi dan adaptassi perubahan iklim, sebesar US$ 3 juta (Rp42 miliar). </p>
<p>Dari dana ini, sudah didistribusikan sebesar US$1 juta (Rp14 miliar) di tahun 2017 kepada <a href="https://www.enviro.or.id/#indonesia-environment-talks-5">GCF</a>. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/lh-fund-terobosan-pendanaan-iklim-dari-indonesia-128121">_LH FUND_ : terobosan pendanaan iklim dari Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Ini akan berdampak pada dukungan terhadap badan-badan PBB terkait penanganan perubahan iklim maupun kepada negara berkembang, termasuk Indonesia.</p>
<p>Berbagai <a href="https://joebiden.com/climate-plan/">pernyataan Biden tentang isu perubahan iklim</a>, juga menegaskan komitmen AS. </p>
<p>Pemerintahan Joko “Jokowi” Widodo perlu memanfaatkan momentum Biden ini dengan
memperkuat berbagai bentuk kemitraan bilateral dengan AS maupun kemitraan internasional lainnya. </p>
<p>Indonesia juga perlu memanfaatkan momentum untuk merestorasi alam dan manusia Indonesia, mengambil peluang membangun peradaban baru, menjadi negara maju yang harmonis dengan lingkungan.</p>
<p><strong>Di mana posisi Indonesia dalam perundingan iklim ini?</strong></p>
<p>Indonesia adalah bagian dari kelompok <a href="https://seasia.co/2018/12/01/meet-the-only-southeast-asia-representative-country-in-g20-group-of-twenty">G20 sejak tahun 2008</a>, sebuah forum internasional berisikan pemerintah dan lembaga finansial dunia dari 20 negara yang didirikan untuk mencapai stabilisasi keuangan global. </p>
<p>Hingga tahun 2020, <a href="https://www.unenvironment.org/interactive/emissions-gap-report/2019/">UNEP mencatat negara-negara anggota G20 menyumbang 78% emisi global</a>. </p>
<p>Secara kolektif, menurut UNEP, <a href="https://www.unenvironment.org/news-and-stories/press-release/lagging-climate-action-g20-nations-have-huge-opportunities-increase">anggota G20 diperkirakan tidak dapat memenuhi target penurunan emisi mereka</a> dalam dokumen <a href="https://unfccc.int/process-and-meetings/the-paris-agreement/nationally-determined-contributions-ndcs/nationally-determined-contributions-ndcs"><em>Nationally Determined Contribution</em></a> (NDC). Dokumen tersebut berisi komitmen setiap negara untuk menurunkan emisi mereka masing-masing hingga batas tertentu. </p>
<p>Bahkan, beberapa negara, seperti Australia, Brasil, Kanada, Korea Selatan, dan Amerika, tidak memenuhi target yang mereka tentukan sendiri. </p>
<p>Namun, Indonesia berpotensi dapat mencapai target NDC pada tahun 2030, dengan catatan Indonesia bisa mengendalikan <a href="https://www.siej.or.id/karhutla-penentu-capaian-target-ndc-indonesia/">pengendalian kebakaran hutan dan lahan, khususnya lahan gambut</a>.</p>
<p><strong>Apa yang bisa kita nantikan dalam perundingan iklim di Glasgow, Inggris, pada bulan November 2021 mendatang, dengan perkembangan terbaru ini?</strong></p>
<p>Perundingan iklim di Glasgow, Inggris, merupakan pertemuan antar negara (<em>Conference of Parties</em>) yang ke-26 atau COP26, di bawah Badan PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC). </p>
<p>Sempat tertunda pada tahun 2020 akibat pandemi, pertemuan ini akan melanjutkan kembali negosiasi terkait penerapan komitmen penurunan emisi global di bawah Perjanjian Paris. </p>
<p>Berdasarkan Perjanjian Paris yang disepakati pada tahun 2015, negara-negara di dunia berusaha mencegah peningkatan suhu global mencapai 2 derajat Celsius, dan lebih baik lagi berada di bawah 1,5 derajat Celsius. </p>
<p>Situasi pandemi saat ini, selain berimplikasi pada teknis pelaksanaan perundingan iklim (COP), namun juga pada agenda penting dalam perundingan iklim berikutnya. </p>
<p>Agenda penting pertama adalah memperkuat solidaritas global dengan menumbuhkan semangat bersama antarbangsa untuk menghadapi krisis iklim. </p>
<p>Kedua, menetapkan target yang lebih besar bagi Cina, AS, Uni Eropa (termasuk Inggris), dan India untuk menurunkan emisi mereka.</p>
<p>Ketiga, mengintegrasikan tujuan pengendalian krisis lingkungan dengan agenda COVID-19 sehingga proses pemulihan ekonomi tetap bisa berlangsung.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/154186/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Bergabungnya AS kembali ke Perjanjian Paris memberikan harapan adanya perubahan bagi penurunan emisi global dan upaya mengatasi dampak krisis iklim, termasuk Indonesia.Fidelis Eka Satriastanti, Editor Lingkungan HidupLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1518502020-12-16T09:08:06Z2020-12-16T09:08:06ZRiset baru tunjukkan perubahan iklim berdampak semakin parah bagi kesehatan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/374146/original/file-20201210-23-160w0oi.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=147%2C8%2C5218%2C3628&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock </span></span></figcaption></figure><p><a href="https://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(20)32290-X/fulltext">Laporan terbaru</a> dari 120 peneliti menyatakan bahwa perubahan iklim memiliki dampak semakin parah bagi kesehatan di seluruh negara. </p>
<p>Laporan tahunan <em>The Lancet Countdown on Health and Climate Change</em> menyajikan data terbaru tentang dampak kesehatan akibat iklim yang berubah. </p>
<p>Salah satu hasil dari penelitian adalah ada 296.000 kematian dini berkaitan dengan panas pada usia lebih dari 65 tahun di 2018 (ini naik 54% selama 2 dekade belakangan). Lebih lanjut, potensi panen pangan global menurun 1,8-5,6% antara tahun 1981 dan 2019. </p>
<p>Kami adalah bagian dari sub-kelompok kerja <em>The Lancet Countdown</em> yang fokus pada<a href="https://theconversation.com/how-many-people-will-migrate-due-to-rising-sea-levels-our-best-guesses-arent-good-enough-145776">migrasi manusia di dunia yang semakin panas</a>. </p>
<p>Kami memperkirakan, berdasarkan data populasi saat ini, 145 juta orang akan berpotensi menghadapi banjir dengan muka air laut global naik satu meter. Jumlah ini akan bertambah menjadi 565 juta orang dengan kenaikan muka air laut 5 meter. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/coronavirus-is-a-wake-up-call-our-war-with-the-environment-is-leading-to-pandemics-135023">Coronavirus is a wake-up call: our war with the environment is leading to pandemics</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Konsekuensi perubahan iklim bagi kesehatan akan memburuk apabila tidak ada tindakan apa-apa. </p>
<p>Upaya global yang terkoordinasi untuk mengatasi COVID-19 dan perubahan iklim menjadi penting, dan ini bisa menjadi kemenangan berlipat : kesehatan publik yang baik, ekonomi berkelanjutan, dan perlindungan lingkungan. </p>
<h2>Kekeringan, kebakaran dan panas ekstrim</h2>
<p>Laporan tahun ini memasukkan penelitian dari beragam bidang, termasuk sains iklim, geografi, ekonomi dan kesehatan publik. </p>
<p>Penelitian ini berfokus kepada 43 indikator global, seperti perubahan geografi menyebarkan penyakit menular, keuntungan kesehatan atas diet rendah karbon, harga karbon net, migrasi iklim, dan kematian terkait dengan panas. </p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/Bp6avcskCcg?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption"><em>The Lancet Countdown on Health and Climate Change: 2020 report</em></span></figcaption>
</figure>
<p>Lima tahun terpanas sudah terjadi sejak tahun 2015, dan 2020 akan menjadi <a href="https://www.carbonbrief.org/state-of-the-climate-2020-set-to-be-first-or-second-warmest-year-on-record">tahun pertama atau kedua terpanas</a>. </p>
<p>Lebih lanjut, laporan ini juga menemukan bahwa kejadian panas ekstrim akan meningkat pada setiap kawasan di dunia dan berdampak kepada manula, terutama yang berada di Jepang, India bagian utara, Cina bagian timur dan Eropa bagian tengah.</p>
<p>Hal ini juga akan menjadi masalah besar bagi mereka yang sudah memiliki kondisi kesehatan tertentu dan pekerja di lapangan seperti di sektor pertanian dan konstruksi.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/the-world-endured-2-extra-heatwave-days-per-decade-since-1950-but-the-worst-is-yet-to-come-141983">The world endured 2 extra heatwave days per decade since 1950 – but the worst is yet to come</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Meski kematian terkait panas ekstrim tidak berhubungan langsung dengan perubahan iklim, namun kenaikan suhu dan kelembaban bisa berarti semakin banyak kematian dini terkait cuaca panas. </p>
<p>Perubahan iklim juga merupakan faktor penting pada kekeringan. Laporan menunjukkan bahwa pada tahun 2019, <a href="https://theconversation.com/the-science-of-drought-is-complex-but-the-message-on-climate-change-is-clear-125941">kekeringan berlebihan</a> mempengaruhi wilayah dua kali lebih luas di seluruh, bila dibandingkan dengan baseline tahun 1950-2005. </p>
<p>Kekeringan dan kesehatan saling terkait. Kekeringan akan berujung kepada berkurangnya suplai air minum, ternak, dan produktivitas pangan, serta kenaikan risiko kebakaran. </p>
<p><a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0921800919302368">Penelitian</a> dari Australia awal tahun ini juga mengkonfirmasi bahwa kesehatan mental akan berpengaruh. </p>
<p>Studi ini melihat dari menurunnya kesehatan mental dari para petani yang mengalami dampak kekeringan di Basin Murray-Daring selama 14 tahun. </p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/372712/original/file-20201203-15-z691yo.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="Asap dan api di hutan eukaliptus" src="https://images.theconversation.com/files/372712/original/file-20201203-15-z691yo.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/372712/original/file-20201203-15-z691yo.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/372712/original/file-20201203-15-z691yo.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/372712/original/file-20201203-15-z691yo.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/372712/original/file-20201203-15-z691yo.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/372712/original/file-20201203-15-z691yo.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/372712/original/file-20201203-15-z691yo.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Lebih dari 445 kematian terkait asap dari kebakaran <em>Black Summer</em>.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Lebih lanjut, laporan Lancet ini juga menemukan bahwa antara 2015 dan 2019, <a href="https://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMsr2028985%22%22">angka kematian orang yang terpapar dengan kebakaran hutan</a> meningkat di 128 negara, dibandingkan pada baseline 2001-2004. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/climate-change-is-bringing-a-new-world-of-bushfires-123261">Climate change is bringing a new world of bushfires</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Perubahan iklim memperburuk <a href="https://theconversation.com/climate-change-is-bringing-a-new-world-of-bushfires-123261">faktor risiko</a> untuk kebakaran hutan terjadi lebih sering dan besar. </p>
<p>Kita hanya perlu melihat kebakaran hutan di Australia, musim panas lalu, untuk mendapat gambaran nyata. Angka orang yang terpapar oleh kebakaran hutan menjadi besar akibat pemukiman meluas dan minimnya upaya penurunan risiko. </p>
<h2>Kenaikan muka laut, migrasi manusia dan kesehatan</h2>
<p>Ketika dunia menghangat dan muka laut naik, jutaan orang akan terdampak akibat perubahan pesisir, termasuk banjir dan erosi. </p>
<p>Kenaikan muka laut memiliki konsekuensi langsung dan tidak langsung bagi kesehatan manusia. Di beberapa tempat, kualitas air dan tanah dan suplai akan terganggu akibat adanya intrusi air laut. </p>
<p>Banjir dan arus laut akan merusak infrastruktur, termasuk air minum dan layanan sanitasi. Selain itu, ekologi vektor penyakit juga berubah, seperti <a href="https://bmcinfectdis.biomedcentral.com/articles/10.1186/1471-2334-11-18">densitas nyamuk</a> meningkat di habitat pesisir, yang berpotensi menyebarkan penyakit menular seperti dengue atau malaria. </p>
<p>Meski demikian, orang dan komunitas bisa saja pindah dari tempat itu sebagai upaya adaptasi. Sebagai contoh, <a href="https://theconversation.com/climate-change-forced-these-fijian-communities-to-move-and-with-80-more-at-risk-heres-what-they-learned-116178">setidaknya 4 komunitas</a> telah pindah akibat perubahan pesisir di Fiji. </p>
<p>Pemerintah Fiji telah menyatakan bahwa rencana relokasi merupakan <a href="https://www.pacificclimatechange.net/document/planned-relocation-guidelines-framework-undertake-climate-change-related-relocation">pilihan terakhir</a>, ketika sudah tidak ada lagi pilihan adaptasi. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/climate-change-forced-these-fijian-communities-to-move-and-with-80-more-at-risk-heres-what-they-learned-116178">Climate change forced these Fijian communities to move – and with 80 more at risk, here's what they learned</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p><a href="https://www.weforum.org/agenda/2019/04/how-will-retreating-from-the-sea-affect-our-health">Relokasi juga bisa berujung kepada masalah kesehatan</a>. </p>
<p>Ini termasuk konsekuensi kesehatan fisik akibat mengubah diet, karena kegiatan melaut dan pertanian yang mungkin terganggu. </p>
<p>Ada juga persoalan dampak kesehatan mental bagi orang yang kehilangan keterikatan dan koneksi mereka dengan tempat mereka berada. </p>
<p>Namun, beberapa kali, reaksi migrasi terhadap perubahan iklim bisa mendatangkan keuntungan kesehatan. </p>
<p>Berpindah dari pesisir pantai yang rentan akan mengurangi paparan terhadap dampak, seperti banjir, mendorong untuk mencari mata pencarian dan gaya hidup yang lebih sehat, dan meningkatkan akses bagi layanan kesehatan. </p>
<p>Estimasi kami atas jumlah orang yang berpotensi menghadapi banjir berdasarkan proyeksi rata-rata kenaikan muka laut global dan data populasi terkini. </p>
<p>Pada skenario emisi tinggi dengan suhu <a href="https://www.ipcc.ch/srocc/chapter/chapter-4-sea-level-rise-and-implications-for-low-lying-islands-coasts-and-communities">4.5°C</a>, lautan bisa naik hingga 1 meter pada tahun 2100, relatif terhadap tahun 1986-2005. </p>
<p>Ini akan berdampak kepada 145 juta orang mengalami banjir. </p>
<p>Melelehnya Lapisan Es Antarktika Barat akan menyebabkan kenaikan muka laut <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/13669870600717632">5 hingga 6 meter</a>. Berdasarkan skenario ekstrim ini, 565 juta orang akan mengalami banjir. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/how-many-people-will-migrate-due-to-rising-sea-levels-why-our-best-guesses-arent-good-enough-145776">How many people will migrate due to rising sea levels? Why our best guesses aren't good enough</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Meski demikian, penting juga untuk menyadari bahwa ketidakpastian membatasi kemampuan kami untuk memprediksi jumlah migrasi akibat kenaikan muka laut. </p>
<p>Ketidakpastian ini termasuk faktor lingkungan dan demografi di masa depan, serta respons adaptasi (dan maladaptasi), seperti tinggal bersama air atau benteng pantai.</p>
<h2>Apakah ada kabar baik?</h2>
<p>Laporan <em>2020 Lancet Countdown</em> ini menuliskan beberapa perkembangan dengan adanya sektor dan negara-negara yang mengambil langkah tegas dalam merespon perubahan iklim. </p>
<p>Kita melihat, misalnya, keuntungan kesehatan yang muncul dari peralihan ke energi bersih. Kematian dari polusi udara terkait dengan pembangkit listrik tenaga batubara menurun dari 440.000 pada tahun 2015 menjadi 400.000 di tahun 2018, meski ada kenaikan populasi. </p>
<p>Namun, masih banyak hal yang harus dilakukan: kita perlu menurunkan emisi gas rumah kaca, meningkatan penyerapan gas rumah kaca dan proaktif dalam aksi adaptasi. </p>
<p>Meski demikian, upaya global untuk perubahan iklim masih jauh dari harapan saat Perjanjian Paris dibuat 5 tahun lalu. </p>
<p>Kita tidak bisa hanya fokus kepada pandemi dan mengorbankan aksi perubahan iklim. </p>
<p>Apabila respons terhadap dampak ekonomi akibat COVID-19 bisa sejalan dengan respons terhadap perubahan iklim, kita bisa melihat keuntungan berlipat bagi kesehatan manusia, dengan udara bersih, diet lebih sehat dan kota-kota yang lebih nyaman dihuni.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/151850/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Celia McMichael adalah dosen senior School of Geography, University of Melbourne. Celia sedang berkolaborasi dengan kolega nasional, internasional, dan lembaga partner untuk dua hibah dari Australian Research Council Grants, dengan fokus kepada perubahan iklim, mobilitas manusia di negara pulau-pulau kecil. Ia menulis the Lancet Countdown on Health and Climate Change, sebagai bagian dari kelompok kerja yang membahas perubahan iklim, migrasi, dan kesehatan, yang juga termasuk Prof Ilan Kelman (University College London, Inggris), Dr Shouro Dasgupta (Università Ca' Foscari Venezia, Italia), dan Dr Sonja Ayeb-Karlsson (United Nations University Institute for Environment and Human Security, Jerman). <a href="https://orcid.org/0000-0002-4572-602X">https://orcid.org/0000-0002-4572-602X</a>
</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Sonja Ayeb-Karlsson bekerja untuk UNU-EHS. Sonja juga terafiliasi dengan University of Sussex, bagian dari WG1 dari Lancet Countdown, dan anggota board editorial untuk Climate and Development, UCL Open: Environment and SEI WeAdapt.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Ilan Kelman menerima dana dari lembaga riset di Inggris dan Norwegia, juga Wellcome Trust (yang mendanai proyek Lancet Countdown yang disebutkan di artikel ini) dan dana UCL internal. Ilan juga merupakan Profesor II di University of Agder, Norwegia dan co-direktur Risk RED (Risk Reduction Education for Disasters).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Shouro Dasgupta tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Laporan terbaru terkait data kesehatan di dunia yang memanas. Setidaknya 296.000 kematian terkait panas terjadi pada usia di atas 65 tahun pada tahun 2018.Celia McMichael, Senior Lecturer in Geography, The University of MelbourneDr Sonja Ayeb-Karlsson, Senior Researcher, Institute for Environment and Human Security (UNU-EHS), United Nations UniversityIlan Kelman, Professor of Disasters and Health, UCLShouro Dasgupta, Lecturer in Environmental Economics, Ca' Foscari University of VeniceLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1480942020-10-16T04:41:08Z2020-10-16T04:41:08ZApakah tertundanya pertemuan iklim COP26 mengganggu upaya untuk mengurangi emisi karbon? Ini penjelasannya<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/363387/original/file-20201014-17-1ozugwm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=22%2C34%2C3748%2C2491&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock,Valentina Petrov </span></span></figcaption></figure><blockquote>
<p>Apakah tertundanya negosisasi iklim PBB, COP26, berdampak pada aksi internasional untuk dekarbonisasi? Akankah pertemuan susulan membantu? Apakah pertemuan tersebut bisa gagal karena negara-negara berhenti melakukan aksi?</p>
</blockquote>
<p>Pertemuan tingkat tinggi PBB tentang perubahan iklim ke-26 (<a href="https://www.ukcop26.org">C0P26</a>) dijadwalkan diadakan di Glasgow, UK, pada minggu pertama dan kedua November 2020.</p>
<p>Namun, pandemi COVID-19 sejak April memaksa <a href="https://www.ukcop26.org/cop26-postponement/">penundaan</a> acara dan <a href="https://www.ukcop26.org/new-dates-agreed-for-cop26-united-nations-climate-change-conference/">berubah</a> menjadi November 2021.</p>
<p>Ini berarti 12 bulan penundaan bagi perwakilan-perwakilan dari 200 negara, salah satunya <a href="https://www.mfat.govt.nz/en/environment/climate-change/">Selandia Baru</a>, yang mendapatkan tugas pengawasaan dan pelaksanaan <em>United Nations Framework Convention on Climate Change</em> (<a href="https://unfccc.int">UNFCCC</a>). </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/climate-explained-does-building-and-expanding-motorways-really-reduce-congestion-and-emissions-147024">Climate explained: does building and expanding motorways really reduce congestion and emissions?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Sangat penting untuk membuat kemajuan atas target-target yang sudah ditetapkan dalam <a href="https://theconversation.com/the-paris-climate-agreement-at-a-glance-50465">Perjanjian Paris 2015</a>, yaitu membatasi rata-rata pemanasan global pada 1,5-2°C di abad ini, relatif terhadap tahun 1890-an (periode pra-industri). </p>
<h2>Mencegah ‘Bumi Rumah Kaca’ (<em>Hothouse Earth</em>)</h2>
<p>Target suhu yang disetujui di Paris dipilih dengan penuh pertimbangan. </p>
<p><a href="https://www.pnas.org/content/115/33/8252" title="Trajectories of the Earth System in the Anthropocene">Banyak studi</a> menunjukkan peningkatan di atas 2°C akan berdampak kepada sistem iklim (seperti melemahnya penyerapan karbon di laut dan darat). </p>
<p>Ini membuat planet kita menjadi “<a href="https://www.bbc.com/news/science-environment-45084144">Bumi Rumah Kaca</a>” yang akan bertahan ribuan tahun, terlepas dari kondisi emisi di masa depan. </p>
<p>Untuk menghindari skenario ini, perjanjian PBB yang mengikat secara hukum tersebut mendorong semua negara yang berpartisipasi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secepat mungkin. </p>
<p>Sebagai bagian dari Perjanjian Paris, negara-negara maju setuju untuk menyediakan 100 miliar dolar dari tahun 2020 bagi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di negara-negara berkembang. </p>
<p>Sayangnya, laju emisi global saat ini mengarah pada peningkatan rata-rata suhu global sebesar <a href="https://climateactiontracker.org">lebih dari 2°C dan mungkin sebesar 4°C</a>, melebihi batas target yang ditetapkan di Paris.<br>
Satu <a href="https://www.nature.com/articles/s41467-020-15453-z" title="Self-preservation strategy for approaching global warming targets in the post-Paris Agreement era">penelitian</a> baru-baru ini menunjukkan kerugian ekonomi jika gagal memenuhi target Perjanjian Paris berpotensi mencapai 600 triliun dolar pada 2100. </p>
<p>Ini <a href="https://science.sciencemag.org/content/356/6345/1362">membuat planet dalam keadaan resesi permanen</a>.</p>
<p>Perwakilan negara diharapkan hadir di Glasgow tahun depan dengan rencana yang lebih matang untuk mengurangi emisi dan memenuhi komitmen mereka untuk membantu negara-negara berkembang.</p>
<h2>Pandemi dan emisi</h2>
<p>Pertemuan 30.000 delegasi di Glasgow akan diwarnai ketidakpastian terkait COVID-19 dan hantaman besar bagi ekonomi global sejak Depresi Besar pada 1930-an. </p>
<p>Pandemi ini sangat berpengaruh tapi belum jelas dampaknya bagi pengurangan emisi. </p>
<p>Sebagian besar orang sudah membatalkan perjalanan dan bekerja dari rumah, dan melalui daring, akibat pandemi. </p>
<p>Data Google dan Apple menunjukkan bahwa setengah dari populasi dunia <a href="https://www.nature.com/articles/s41558-020-0883-0" title="Current and future global climate impacts resulting from COVID-19">mengurangi perjalanan hingga setengahnya di bulan April</a>.</p>
<p>Sayangnya, emisi gas rumah kaca masih tetap tinggi. </p>
<p>Emisi karbon dioksida global per hari <a href="https://www.nature.com/articles/s41558-020-0797-x" title="Temporary reduction in daily global CO2 emissions during the COVID-19 forced confinement">turun sebanyak 17% pada awal April</a>. </p>
<p>Begitu ekonomi dunia mulai pulih, emisi naik, <a href="https://library.wmo.int/doc_num.php?explnum_id=10361">menurut PBB</a>, penurunan karbon dioksida hanya mencapai 4-7% tahun 2020, relatif dibandingkan dengan 2019. </p>
<p>Untuk mencapai target Paris dan membatasi pemanasan pada suhu 1,5°C, dunia perlu <a href="https://unfccc.int/news/cut-global-emissions-by-76-percent-every-year-for-next-decade-to-meet-15degc-paris-target-un-report">menurunkan 7,6% dari tahun-ke-tahun pada dekade berikutnya</a>, dan mencapai nol emisi pada 2050. </p>
<h2>Banyak yang harus dikerjakan</h2>
<p>Kenyataannya, negara-negara perlu melakukan lebih banyak aksi untuk dekarbonisasi ekonomi mereka. </p>
<p>Namun, bagi banyak pemerintah negara, pertanyaan yang lebih sulit adalah bagaimana mencapai target emisi yang lebih ambisius dan membangun kembali ekonomi yang tenggelam karena COVID-19 secara bersamaan. </p>
<p>Meski PBB memiliki <a href="https://www.un.org/press/en/2020/db200402.doc.htm">penurunan keuangan yang besar</a> sebanyak 711 juta dolar (pada akhir 2019) karena beberapa negara tidak membayar kewajiban tahunan, seperti <a href="https://www.un.org/en/ga/contributions/honourroll.shtml">AS, Brazil, dan Arab Saudi</a> sebagai <a href="https://www.un.org/en/ga/contributions/honourroll.shtml">pelanggar terbesar</a>, tidak ada alasan
membatalkan pertemuan COP26 di tahun depan.</p>
<p><a href="https://www.climatechangenews.com/2020/08/26/extra-un-climate-talks-mooted-2021-help-negotiators-catch/">Pertemuan susulan memang sudah dibicarakan</a>, tapi belum ada pengumuman lebih lanjut. </p>
<p>Ini bukan berarti tidak ada negosiasi dan komitmen intensif menjelang COP26 di Glasgow nanti. Dan, ada beberapa kemajuan positif. </p>
<h2>Pemulihan pandemi</h2>
<p>Saat dunia mulai memulihkan ekonomi setelah pandemi, beberapa negara maju mengarah kepada stimulus hijau dan komitmen publik untuk mengurangi investasi bahan bakar fosil.</p>
<p>Sebagai contoh, Cina sebagai <a href="https://ourworldindata.org/co2/country/china?country=%7ECHN">penghasil karbon dioksida terbesar di dunia</a> mengumumkan puncak target emisi karbon pada 2030 dan mencapai <a href="https://www.bbc.com/news/science-environment-54256826">karbon netral pada 2060</a>, saat Majelis Umum PBB ke 75. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/china-just-stunned-the-world-with-its-step-up-on-climate-action-and-the-implications-for-australia-may-be-huge-147268">China just stunned the world with its step-up on climate action – and the implications for Australia may be huge</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Komitmen yang lebih ambisius adalah <a href="https://www.theguardian.com/world/2020/mar/09/what-is-the-european-green-deal-and-will-it-really-cost-1tn"><em>European Green Deal</em></a> yang diumumkan pada akhir 2019. </p>
<p>Tujuannya mengurangi emisi gas rumah kaca hingga setengah pada dekade berikutnya dan membuat Eropa menjadi benua karbon netral pertama di dunia. </p>
<p>Untuk mencapai ini, <a href="https://www.bcg.com/en-au/publications/2020/how-an-eu-carbon-border-tax-could-jolt-world-trade">pajak karbon</a> diusulkan pada barang-barang impor ke Uni Eropa. </p>
<p>Ini berdampak luas bagi mitra dagang Eropa, seperti Selandia Baru dan Australia.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/climate-explained-are-we-doomed-if-we-dont-manage-to-curb-emissions-by-2030-143526">Climate explained: are we doomed if we don't manage to curb emissions by 2030?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Selain pengumuman dari negara, industri juga <a href="https://www.economist.com/technology-quarterly/2018/11/29/how-to-get-the-carbon-out-of-industry">berkomitmen untuk melakukan dekarbonisasi</a>. </p>
<p>Sektor keuangan dengan multitriliun dolar memberikan tekanan dengan <a href="https://www.theguardian.com/business/2020/jan/14/blackrock-says-climate-crisis-will-now-guide-its-investments">fokus pada perusahaan rentan terhadap perubahan iklim</a> dan mengidentifikasi “<a href="https://www.lse.ac.uk/granthaminstitute/explainers/what-are-stranded-assets/">aset terdampar</a>”.</p>
<p>Semua komitmen akan mendorong negosiasi penurunan emisi lebih besar, seiring dari persiapan para delegasi di COP26 tahun depan. </p>
<p>Ini hanya akan mendorong semua negara untuk lebih ambisius.</p>
<p>Perhatian akan tetap fokus kepada penghasil emisi terbesar di dunia dalam sejarah, AS, <a href="https://www.theguardian.com/us-news/2020/jul/27/us-paris-climate-accord-exit-what-it-means">yang keluar secara resmi</a> dari Persetujuan Paris pada 4 November nanti, sehari setelah pemilihan presiden di sana. </p>
<p>Jadi, pertemuan COP26 tidak akan gagal, tapi penundaan mungkin memberikan waktu untuk mencapai ambisi Persetujuan Paris dan menghindari kemungkinan terburuk dari perubahan iklim.</p>
<hr>
<p><em>Ignatius Raditya Nugraha menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p>
<hr>
<p><em>Dapatkan kumpulan berita lingkungan hidup yang perlu Anda tahu dalam sepekan. Daftar di <a href="https://theconversation.com/id/newsletters/sepekan-lingkungan-66">sini</a>.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/148094/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Chris Turney adalah penasihat ilmiah dan memilki saham di perusahaan cleatnech, CarbonScape (<a href="http://www.carbonscape.com">www.carbonscape.com</a>) dan menerima dana dari Australian Research Council. </span></em></p>Pandemi COVID-19 mengakibatkan pertemuan konferensi iklim tahunan ditunda selama 1 tahun, tapi juga menurunkan emisi karbon. Apakah itu cukup dan apakah kondisi ini akan terus berlangsung?Christian Turney, Professor of Earth Science and Climate Change, Director of Chronos 14Carbon-Cycle Facility, Director of PANGEA Research Centre, and UNSW Node Director of ARC Centre for Excellence in Australian Biodiversity and Heritage, UNSW SydneyLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1280102019-12-04T02:41:11Z2019-12-04T02:41:11ZInovasi teknologi tidak cukup untuk atasi krisis iklim; inovasi sosial juga diperlukan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/304407/original/file-20191129-95272-1cwdwbe.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.paimages.co.uk/image-details/2.45437803">Jane Barlow/PA Wire/PA Images </a></span></figcaption></figure><p>Aksi massal untuk perubahan iklim telah mencapai intensitas yang baru: ribuan pelajar bolos sekolah demi memprotes dan gerakan yang bernama <em>Extinction Rebellion</em> (harafiah : perlawanan terhadap kepunahan) membuat lumpuh kota-kota besar di seluruh dunia dengan aksi mereka. </p>
<p>Tentu saja, aksi dan protes semacam ini penting dalam mendorong perubahan. Namun, pergerakan ini bisa menjadi salah satu kunci untuk menciptakan masa depan tanpa emisi karbon. Dengan bantuan <a href="https://policy.bristoluniversitypress.co.uk/social-innovation">inovasi sosial</a>, ide-ide baru yang selaras dengan kebutuhan sosial bisa berkembang. </p>
<p>Terakhir kali isu perubahan iklim menjadi sangat penting adalah saat <a href="https://unfccc.int/kyoto_protocol">Kyoto</a> tahun 1997.
Lalu, isu itu muncul kembali dalam perbincangan pada pertengahan tahun 2000. Saat itu, sebagian besar penekanan adalah pada target penurunan emisi dan perjanjian di satu sisi, serta dana untuk penelitian bagi teknologi ramah lingkungan pada sisi lainnya.</p>
<p>Kini, mulai ada pemahaman lebih baik bahwa apabila keseluruhan tindakan tersebut tidak digabungkan dengan inovasi sosial dengan pendekatan dari bawah-ke-atas (<em>bottom-up</em>), maka tidak akan ada perubahan. </p>
<p>Alasannya adalah bahwa penurunan emisi karbon juga bergantung pada perubahan norma dan perilaku sosial, tidak hanya teknologi, contohnya <a href="https://theconversation.com/going-entirely-organic-could-mean-food-emissions-up-70-in-england-and-wales-125656">pemilihan makanan lokal</a> atau <a href="https://theconversation.com/why-you-should-stop-buying-new-clothes-123881">pengurangan <em>fast fashion</em></a> (pakaian yang dijual secara retail dan murah).</p>
<p>Alasan lain, untuk menunjukkan kepada para skeptis perubahan iklim bahwa <a href="https://theconversation.com/emmanuel-macrons-carbon-tax-sparked-gilets-jaunes-protests-but-popular-climate-policy-is-possible-108437">kenaikan harga bensin</a> atau menyusutnya industri ekstraktif, seperti <a href="https://theconversation.com/coal-mines-can-be-closed-without-destroying-livelihoods-heres-how-124336">penambangan batubara</a> tidak sepenuhnya akan merugikan manusia. </p>
<p>Sebaliknya, ekonomi rendah emisi karbon bisa <a href="https://insideclimatenews.org/news/18112015/low-carbon-economy-may-create-2-million-jobs-study-finds-clean-energy">membuka peluang pekerjaan</a>, misalnya dalam bidang perbaikan atau daur ulang limbah elektronik.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/apakah-etis-mengganti-emisi-dari-polusi-pabrik-di-california-dengan-membayar-karbon-dari-hutan-amazon-ini-jawaban-akademisi-125376">Apakah etis mengganti emisi dari polusi pabrik di California dengan membayar karbon dari hutan Amazon? Ini jawaban akademisi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Namun, hal ini membutuhkan pendekatan inovasi yang berbeda. Investasi untuk teknologi baru harus sesuai dengan investasi sosial masyarakat. Sayangnya, dalam satu abad terakhir, hanya investasi teknologi saja yang mendominasi untuk isu perubahan iklim. </p>
<h2>Berinvestasi dalam perangkat keras</h2>
<p>Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, terjadi perubahan besar dalam institusionalisasi ilmu pengetahuan. Awalnya, ilmu pengetahuan hanya melayani kebutuhan militer (membuat kapal perang atau senjata) atau hanya untuk para amatir yang antusias dengan pengetahuan, kini menjadi lebih sistematis. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/298319/original/file-20191023-119438-1dufayj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/298319/original/file-20191023-119438-1dufayj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=452&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/298319/original/file-20191023-119438-1dufayj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=452&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/298319/original/file-20191023-119438-1dufayj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=452&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/298319/original/file-20191023-119438-1dufayj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=569&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/298319/original/file-20191023-119438-1dufayj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=569&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/298319/original/file-20191023-119438-1dufayj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=569&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Produk awal litbang.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://en.wikipedia.org/wiki/File:HMS_Dreadnought_1906_H61017.jpg#/media/File:HMS_Dreadnought_1906_H61017.jpg">Wikimedia Commons</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Pemerintah AS telah menginvestasikan banyak uang, dengan pertumbuhan <a href="https://fas.org/sgp/crs/natsec/R45403.pdf">lebih dari 50%</a>, untuk laboratorium penelitian dan universitas, sekaligus alokasi untuk teknologi militer.</p>
<p>Perusahaan-perusahaan besar berlomba-lomba mendirikan laboratorium untuk litbang, meningkatkan porsi pendapatan domestik bruto (PDB) menjadi <a href="https://www.ons.gov.uk/economy/governmentpublicsectorandtaxes/researchanddevelopmentexpenditure/bulletins/ukgrossdomesticexpenditureonresearchanddevelopment/2017">sekitar 2%</a>, seperti di Inggris dan <a href="https://data.worldbank.org/indicator/GB.XPD.RSDV.GD.ZS?end=2017&start=1996">hampir 4%</a> di Korea dan Finlandia. Hasilnya, mereka berhasil menciptakan teknologi-teknologi baru yang mengubah setiap aspek kehidupan manusia. </p>
<p>Sayangnya, inovasi perangkat keras tidak diimbangi dengan inovasi dalam masyarakat. Seperti yang terjadi saat ini. </p>
<p>Sejumlah besar uang publik dihabiskan untuk memajukan kedirgantaraan atau dunia farmasi, tetapi hanya sedikit inovasi yang dapat dilakukan untuk tuna wisma atau mengatasi rasa kesepian.</p>
<p>Di satu sisi, timbul kesenjangan kronis antara dinamika teknologi dan ekonomi, di sisi lain, muncul stagnasi sosial yang kerap memicu resistensi terhadap isu perubahan iklim.</p>
<p>Sebagai kepala unit strategi pemerintah Inggris, saya terlibat dalam merancang <a href="http://www.gci.org.uk/Documents/TheEnergyReview.pdf">strategi perubahan iklim</a> pada awal tahun 2000-an, ketika Inggris pertama kali berkomitmen melakukan pengurangan emisi karbon sebesar 60% hingga tahun 2050, yang kemudian meningkat menjadi 80%. </p>
<p>Kini, Inggris menargetkan <a href="https://theconversation.com/2050-is-too-late-we-must-drastically-cut-emissions-much-sooner-121512">emisi karbon nol</a>. </p>
<p>Melihat ke belakang, kita meremehkan pentingnya inovasi dari bawah-ke-atas. Kita nyaman berbicara tentang pajak dan insentif, peraturan dan target. Tapi, kita tidak menyadari adanya alat-alat sosial untuk memobilisasi kreativitas massa - <em>testbeds</em> (pengujian sains) dan laboratorium, investasi dampak dan <em>crowdfunding</em> (pengumpulan dana), serta tantangan dan inovasi terbuka.</p>
<h2>Alat sosial</h2>
<p>Alat-alat sosial ini sekarang menjadi lebih umum, selain sains dan teknologi.</p>
<p>Sebagai contoh, percobaan untuk mencari tahu alasan apa yang paling berhasil membujuk orang untuk memasang insulasi di atap, menjadi vegetarian, atau beralih dari mengendarai mobil menjadi bersepeda. Contoh lain, munculnya organisasi sosial baru yang mencoba merancang lingkungan rendah emisi karbon, (seperti inisiatif desa ramah lingkungan bernama <a href="https://www.bioregional.com/projects-and-services/case-studies/bedzed-the-uks-first-large-scale-eco-village">BEDZed</a> di London) hingga aksi <a href="https://www.nesta.org.uk/project/big-green-challenge/">seluruh komunitas</a> untuk menurunkan emisi mereka.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/298909/original/file-20191028-113991-15bwtzn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/298909/original/file-20191028-113991-15bwtzn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/298909/original/file-20191028-113991-15bwtzn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/298909/original/file-20191028-113991-15bwtzn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/298909/original/file-20191028-113991-15bwtzn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=501&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/298909/original/file-20191028-113991-15bwtzn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=501&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/298909/original/file-20191028-113991-15bwtzn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=501&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">BedZED - desa ramah lingkungan berskala besar pertama di Inggris.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://search.creativecommons.org/photos/d9902518-7f7b-4fbd-8b01-291fd2cbbc92">_Bioregional International_</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/">CC BY-NC-ND</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Tokoh-tokoh seperti <a href="https://www.huffpost.com/entry/the-white-house-office-on_b_223759">presiden Barrack Obama</a> dan Gubernur California, <a href="https://calmatters.org/economy/2019/06/newsom-digital-innovation-budget-technology/">Gavin Newsom</a> telah mendirikan kantor inovasi sosial. </p>
<p>Negara-negara seperti Malaysia dan Kanada telah memiliki strategi nasional untuk inovasi sosial.</p>
<p>Carlos Moedas, anggota komisi penelitian Uni Eropa, <a href="https://horizon-magazine.eu/article/carlos-moedas-eu-will-fund-more-social-innovation-because-it-s-future-innovation.html">mengatakan</a> di akhir tahun 2018, bahwa Uni Eropa akan berinvestasi lebih banyak untuk inovasi sosial “bukan karena trend, tetapi karena kami percaya bahwa masa depan inovasi ada pada inovasi sosial”. </p>
<p>Pergeseran pemahaman tentang inovasi sosial akan berdampak besar bagi transisi menuju ekonomi tanpa karbon.</p>
<p>Ini berarti adanya dukungan yang besar bagi tempat yang mengubah gaya hidup mereka, seperti <a href="https://www.world-habitat.org/world-habitat-awards/winners-and-finalists/30-years-of-planning-continuity-in-freiburg-germany/">Freiburg</a> di Jerman, yang telah melarang dan membatasi penggunaan mobil, dan membangun energi terbarukan ke dalam jaringan kota.</p>
<p>Ini juga berarti muncul eksperimen tentang peran masyarakat, seperti adanya <a href="http://english.seoul.go.kr/creating-sharing-energy-energy-welfare-communities/">koperasi energi</a> di Seoul yang mendanai panel surya melalui pinjaman murah.</p>
<p>Jadi, dukungan terhadap ribuan proyek pangan lokal di seluruh dunia yang tidak tergantung kepada agribisnis dan bisnis daging, juga menurunkan produksi limbah makanan (sepertiga dari makanan <a href="https://theconversation.com/food-security-we-throw-away-a-third-of-the-food-we-grow-heres-what-to-do-about-waste-64854">dibuang</a>). </p>
<p>Dan, ini juga menunjukkan bahwa mendukung aksi publik, seperti <a href="https://www.nytimes.com/2019/09/20/opinion/al-gore-climate-change.html">aksi luar biasa</a> Etiopia yang berhasil menanam ratusan juta pohon dalam satu hari, awal tahun ini.</p>
<p>Pesan utama dari inovasi sosial adalah bahwa skala perubahan yang diperlukan dalam beberapa tahun mendatang tidak dapat dicapai hanya dengan kebijakan pemerintah dari atas-ke-bawah atau aksi di lapangan semata. </p>
<p>Hal ini akan terlihat dalam perjuangan untuk memenuhi target perjanjian Paris, dan semoga bisa terlampaui. Inovasi sosial memiliki peran penting dalam memobilisasi masyarakat sebagai mitra dalam upaya mencapai target penurunan emisi. </p>
<p>Kita perlu memusatkan energi untuk hasil pada beberapa abad berikutnya. Perubahan harus dipercepat, tidak hanya dalam pengaturan fisik, tetapi juga dalam cara kita hidup dan berhubungan satu sama lain.</p>
<p><em>Franklin Ronaldo menerjemahkan artikel ini dari Bahasa Inggris</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/128010/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Geoff Mulgan adalah CEO Nesta, yang menerima dana dari Komisi Eropa untuk bekerja terkait dengan inovasi sosial. Ia merupakan anggota board bekerja pro-bono dari SIX, pertukaran inovasi sosial. Bukunya, 'Social innovation; how societies find the power to change' akan diterbitkan oleh Polity Press, bulan ini.
</span></em></p>Penurunan emisi karbon juga bergantung pada perubahan norma dan perilaku sosial, tidak hanya dengan teknologi.Geoff Mulgan, Chief Executive, NestaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1267822019-11-26T09:48:07Z2019-11-26T09:48:07ZBagaimana agama dan kepercayaan membentuk gerakan peduli lingkungan hidup di Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/303378/original/file-20191125-74542-7c5vru.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Agama dan pemimpin agama secara aktif menyuarakan dampak perubahan iklim, bersama dengan para ilmuwan dan gerakan pemuda.</span> <span class="attribution"><span class="source">Billy Halim/Pixabay </span></span></figcaption></figure><p>Kutipan terkenal dari aktivis lingkungan Greta Thunberg “<a href="https://www.theguardian.com/us-news/2019/sep/18/greta-thunberg-testimony-congress-climate-change-action">dengarkan para ilmuwan</a>”, dalam pertemuannya dengan Kongres AS, beberapa waktu lalu, merupakan desakan keras bagi para pembuat kebijakan untuk mengambil tindakan demi menyelamatkan planet Bumi.</p>
<p>Berbagai <a href="https://www.un.org/en/climatechange/reports.shtml">laporan terbaru</a> sudah jelas menunjukkan konsensus ilmiah tentang krisis iklim dan adanya urgensi untuk mengambil aksi terhadap krisis iklim yang sedang terjadi. </p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/9h0tB0RrqQA?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
</figure>
<p>Namun, masalah perubahan iklim bukan hanya masalah sains dan teknologi, tetapi juga masalah moral, etis dan spiritual tentang bagaimana kita menjalani kehidupan.</p>
<p>Selain mendengarkan para ilmuwan dan aktivis muda seperti Greta, ada kelompok berpengaruh lain yang membicarakan lingkungan, yaitu kelompok agama dan kepercayaan.</p>
<p>Meskipun kelompok-kelompok agama dan kepercayaan ini dibedakan dalam keyakinan dan praktiknya, sebagian besar setuju tentang kebutuhan bersama untuk menjaga lingkungan.</p>
<p>Ada peningkatan pesat terkait aktivisme lingkungan dari kelompok-kelompok agama, secara global, dalam 15 tahun terakhir. </p>
<p><a href="https://jurnal.ugm.ac.id/kawistara/article/view/25908">Penelitian</a> saya di Indonesia menunjukkan bahwa kelompok-kelompok agama dan kepercayaan telah memainkan peran penting dalam menanggapi perubahan iklim di negara tersebut.</p>
<p>Para pemuka dan penganut agama berpartisipasi dalam kampanye lingkungan dan menerjemahkan bahasa ilmiah dan kebijakan untuk kalangan mereka sendiri.</p>
<h2>Kampanye lingkungan berlandaskan religiusitas di Indonesia</h2>
<p>Indonesia memiliki <a href="https://www.pewresearch.org/fact-tank/2019/04/01/the-countries-with-the-10-largest-christian-populations-and-the-10-largest-muslim-populations/">populasi umat Muslim terbesar</a> di dunia - <a href="http://www.globalreligiousfutures.org/countries/indonesia/religious_demography#/?affiliations_religion_id=0&affiliations_year=2010">87,2% dari 240 juta lebih penduduk Indonesia</a> memeluk agama Islam.</p>
<p>Indonesia mengakui agama Buddha, Kristen (Protestan dan Katolik), Konghucu, Hindu, dan Kepercayaan Adat sebagai agama resmi.</p>
<p>Indonesia, yang memiliki belasan ribu pulau, rentan terhadap dampak kenaikan permukaan laut dan peristiwa cuaca ekstrem lainnya akibat <a href="https://reliefweb.int/report/indonesia/climate-change-profile-indonesia">perubahan iklim</a> yang disebabkan oleh manusia. Sehingga, dampak negatif dari krisis iklim akan dirasakan <a href="https://reliefweb.int/report/indonesia/climate-change-profile-indonesia">lebih awal</a> dibandingkan dengan negara lain. </p>
<p>Pada tahun 2007, ketika Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Iklim di Bali, 10 pemimpin agama dari enam kelompok agama di Indonesia mempresentasikan <a href="http://www.academia.edu/2320670/Religion_and_Conservation_Opportunities_for_Working_Together_to_Avoid_Deforestation_and_Address_Climate_Change">pernyataan antaragama</a> tentang tanggung jawab kelompok agama untuk isu perubahan iklim.</p>
<p>Pernyataan antaragama ini menyatakan komitmen para pemimpin agama untuk menggunakan “ajaran agama dan kearifan lokal” dalam “[menginspirasi dan memotivasi orang-orang di tingkat tapak] dengan ”<a href="http://www.academia.edu/2320670/Religion_and_Conservation_Opportunities_for_Working_Together_to_Avoid_Deforestation_and_Address_Climate_Change">mengajarkan tentang lingkungan" dan “memulai proyek konservasi di lapangan</a>”.</p>
<p>Di Indonesia, agama memiliki fungsi sosial yang penting, para pemimpin agama diharapkan berkontribusi dalam diskusi publik dan bekerja sama untuk memecahkan berbagai masalah di tingkat lokal dan nasional.</p>
<p>Fungsi ini juga yang mendorong kelompok-kelompok agama dan kepercayaan memiliki kontribusi dalam perkembangan aktivisme lingkungan di Indonesia yang berusaha memengaruhi cara pikir orang dan bagaimana manusia hidup melalui ajaran religius.</p>
<p>Beberapa contoh aksi tersebut, antara lain rumah ibadah yang <a href="https://www.researchgate.net/publication/277947475_Faiths_from_the_Archipelago_Action_on_the_Environment_and_Climate_Change">ramah lingkungan</a>, seperti “Masjid Hijau” dan “Gereja Hijau”, yang menggunakan energi terbarukan dan mendorong konservasi. Juga ada sejumlah <a href="https://www.researchgate.net/publication/277947475_Faiths_from_the_Archipelago_Action_on_the_Environment_and_Climate_Change">inisiatif</a> dari kelompok agama Hindu dan Buddha yang giat menanam pohon dan meningkatkan daur ulang lokal.</p>
<p>Kelompok-kelompok agama dan kepercayaan juga bergabung dengan aktivis lain untuk menciptakan koalisi kampanye lingkungan yang kuat dan beragam. Kampanye ini kerap dipimpin oleh masyarakat adat yang mencoba melindungi tanah mereka dari eksploitasi.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/300957/original/file-20191109-194637-1urud3f.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/300957/original/file-20191109-194637-1urud3f.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=407&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/300957/original/file-20191109-194637-1urud3f.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=407&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/300957/original/file-20191109-194637-1urud3f.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=407&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/300957/original/file-20191109-194637-1urud3f.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=512&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/300957/original/file-20191109-194637-1urud3f.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=512&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/300957/original/file-20191109-194637-1urud3f.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=512&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
<span class="attribution"><span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Sebagai contoh, <a href="https://thegeckoproject.org/saving-aru-the-epic-battle-to-save-the-islands-that-inspired-the-theory-of-evolution-b96a5c2b9c32">Gerakan <em>Save Aru Islands</em></a> yang berupaya menjaga 5.000 kilometer persegi tanah di provinsi Maluku agar tidak diubah menjadi perkebunan gula oleh perusahaan multinasional.</p>
<p>Para pemimpin gerakan ini antar lain para pemimpin Katolik dan Protestan yang besama-sama dengan kelompok masyarakat lokal menyuarakan <a href="https://thegeckoproject.org/saving-aru-the-epic-battle-to-save-the-islands-that-inspired-the-theory-of-evolution-b96a5c2b9c32">hak atas tanah masyarakat adat</a> terancam hilang.</p>
<p>Petani lokal di <a href="https://crcs.ugm.ac.id/ekologi-adat-kendeng-bergerak-untuk-keadilan-ibu-bumi/">Kendeng</a>, di Jawa Tengah, yang mempraktikkan ajaran Samin, sebuah agama tradisi Jawa yang digunakan sebagai alat memerangi kolonialisme Belanda pada akhir abad 19 dan 20, <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2017/03/22/anti-cement-plant-rally-goes-on-after-farmers-death.html">memprotes</a> karena tanah suci mereka yang diambil alih perusahaan Belanda untuk penambangan semen.</p>
<p>Di Bali, [proyek reklamasi Teluk Benoa] memicu protes keras dari umat Hindu setempat karena mengancam keselamatan <a href="https://www.theguardian.com/environment/the-coral-triangle/2016/mar/22/mounting-opposition-to-bali-mass-tourism-project">situs-situs suci</a> di pulau Dewata. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/sebelum-jabatan-berakhir-susi-pudjiastuti-tetapkan-teluk-benoa-sebagai-kawasan-konservasi-maritim-ini-langkah-selanjutnya-126842">Sebelum jabatan berakhir, Susi Pudjiastuti tetapkan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi maritim. Ini langkah selanjutnya</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Kelompok agama angkat bicara soal perubahan iklim</h2>
<p><a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00393380903345057">Mereka yang acuh terhadap iklim</a> juga dapat ditemukan dalam <a href="https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/0096340215599789">kelompok agama</a>.</p>
<p>Namun, adanya pengakuan yang berkembang bahwa krisis lingkungan membutuhkan solusi selain ilmiah atau teknologi, telah mendorong banyak pemimpin agama untuk bertindak.</p>
<p>Tahun 2016, para pemimpin agama Indonesia, – Katolik, Buddha, Kristen, Hindu, Yahudi, Muslim, Sikh, dan para pemimpin agama lainnya – membuat pernyataan lintas agama mendesak para pemimpin dunia untuk bertindak atas perubahan iklim.</p>
<p>Ratusan pemimpin agama tersebut menandatangani <a href="http://www.mipandl.org/faith_resources/Interfaith_Climate_Change_Statement_2016.pdf">Pernyataan Perubahan Iklim Antar Agama Kepada Para Pemimpin Dunia</a> (ICS).</p>
<p>Dalam pernyataan itu, mereka mendesak para pemimpin dunia menandatangani dan meratifikasi Perjanjian Paris, sebuah pakta internasional untuk membatasi kenaikan suhu bumi dari batas 2°C.</p>
<p><a href="http://www.mipandl.org/faith_resources/Interfaith_Climate_Change_Statement_2016.ptersebut%20df">Pernyataan</a> itu berisikan rekomendasi kebijakan tentang penggunaan energi, serta dan ajaran agama dan kepercayaan tentang keterkaitan hidup dan pentingnya refleksi spiritual.</p>
<p>Para pemuka agama menggabungkan bahasa kebijakan (menyerukan negara untuk mengurangi emisi karbon) dan bahasa agama dan kepercayaan (“Ibu Bumi”, “dimensi spiritual kehidupan kita”) dalam menyusun pernyataan nilai-nilai etis global. </p>
<p>Mereka berusaha menjadikan pernyataan ini menarik bagi para pembuat kebijakan dan orang-orang dari kelompok agama yang berbeda.</p>
<p>Pernyataan ini adalah contoh dari apa yang disebut “<a href="https://www.bloomsbury.com/uk/religion-and-ecology-in-the-public-sphere-9780567631961/">tafsiran</a>” oleh sosiolog Peter Beyer.</p>
<p>Kelompok-kelompok agama dan kepercayaan telah <a href="https://www.bloomsbury.com/uk/religion-and-ecology-in-the-public-sphere-9780567631961/">menafsirkan konsep lingkungan ilmiah</a> menjadi “idiom agama khusus dan kelompok simbolik”.</p>
<p>Salah satu contohnya adalah ensiklik lingkungan yang dikeluarkan oleh Paus Francis di tahun 2015 yang berjudul <a href="https://press.vatican.va/content/salastampa/en/bollettino/pubblico/2018/10/30/181030c.html"><em>Laudato Si’: On Care for Our Common Home</em></a>.</p>
<p>Dokumen berpengaruh ini mendorong penganut agama Katolik untuk melindungi lingkungan dan menyerukan pemerintah agar mengambil tindakan untuk mengurangi <a href="https://www.caritas.org.au/learn/newsroom/news-detail/six-powerful-quotes-from-laudato-si">emisi karbon</a>.</p>
<p>Di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengembangkan banyak fatwa tentang konservasi lingkungan, antara lain <a href="https://www.researchgate.net/publication/274714367_Reviving_an_Islamic_Approach_for_Environmental_Conservation_in_Indonesia">pedoman untuk penambangan ramah lingkungan</a> pada tahun 2011, berdasarkan argumen Islami. </p>
<p>Meskipun tidak ada <a href="https://www.researchgate.net/publication/274714367_Reviving_an_Islamic_Approach_for_Environmental_Conservation_in_Indonesia">penelitian</a> yang cukup mengenai seberapa efektif fatwa ini dalam mengubah praktik penambangan di Indonesia, tetap saja, fatwa-fatwa agama ini merupakan upaya inovatif untuk menerjemahkan kebijakan lingkungan ke dalam bahasa agama untuk melestarikan hutan dan mengurangi pemanasan global.</p>
<h2>Bekerja sama untuk iklim</h2>
<p>Semakin banyak orang di dunia yang merasakan dampak perubahan iklim, maka akan semakin sadar mereka akan lingkungan.</p>
<p>Aktivis lingkungan keagamaan dan kepercayaan dapat berperan dalam meningkatkan kesadaran ini di tingkat global, dan dalam komunitas lokal - yang paling merasakan dampak perubahan iklim.</p>
<p>Reformasi global terhadap kebijakan lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan pada akhirnya akan ditentukan oleh tindakan jutaan komunitas lokal.</p>
<p>Para aktivis, ilmuwan, dan pemimpin perlu mendengarkan komunitas lokal dengan cermat dan bekerja dengan mereka untuk merespons perubahan global di tingkat lokal secara kreatif dan efektif.</p>
<p><em>Franklin Ronaldo menerjemahkan artikel ini dari Bahasa Inggris</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/126782/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Jonathan D Smith menerima dana dari UK Arts and Humanities Research Council (number AH/L503848/1) melalui White Rose College of the Arts and Humanities untuk penelitian ini. Penelitian Jonathan juga didukung oleh Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Universitas Gadjah Mada.
</span></em></p>Persoalan perubahan iklim tidak hanya soal sains dan teknologi, melainkan juga soal moral, etis, dan spiritual tentang cara kita hidup.Jonathan D Smith, PhD Researcher in Religious Studies, University of LeedsLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1270782019-11-22T07:51:44Z2019-11-22T07:51:44ZSering terbang, selebritas seperti Bill Gates dan Paris Hilton menyumbang emisi karbon 10.000 kali lipat orang biasa<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/302374/original/file-20191119-111676-5xi1wk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/single-aircraft-flying-among-clouds-blue-781176490">Mental_Visual/Shutterstock.com </a></span></figcaption></figure><p>Gaya hidup mewah Bill Gates dan Paris Hilton menunjukkan mereka mengeluarkan 10.000 kali lebih banyak emisi karbon akibat bepergian melalui udara lebih banyak daripada orang biasa.</p>
<p>Ini merupakan kesimpulan dari <a href="https://authors.elsevier.com/a/1ZwGl_3fvx2jaK">penelitian saya</a>, berdasarkan pengamatan akun media sosial mereka (unggahan Twitter, Instagram, dan Facebook) dan selebritas lainnya, untuk mengetahui tempat yang dikunjungi dan transportasi yang digunakan selama tahun 2017. </p>
<p>Konsekuensinya, perkiraan ini bersifat konservatif karena mereka bisa saja bepergian dengan pesawat jauh lebih banyak tapi tidak membagikan informasi tersebut kepada jutaan pengikut mereka.</p>
<p>Hal ini menunjukkan adanya perbedaan yang sangat jauh antara si kaya dan si miskin dalam produksi emisi karbon. </p>
<p>Tahun 2018, rata-rata orang menghasilkan kurang dari <a href="https://www.iea.org/geco/emissions/">lima ton</a> CO₂ secara keseluruhan. </p>
<p>Namun, di dalamnya tersembunyi perbedaan kontribusi emisi yang besar setiap orang. </p>
<p>Perjalanan udara adalah aktivitas manusia yang paling membutuhkan banyak energi. Tidak ada aktivitas manusia lain yang mengonsumsi energi banyak dalam waktu yang sangat singkat. Rata-rata global untuk perjalanan udara adalah 115kg CO₂ per orang per tahun.</p>
<p>Namun, sebagian besar manusia di dunia tidak pernah melakukan perjalanan udara. </p>
<p>Rata-rata global ini justru muncul dari proporsi emisi yang jomplang antara orang kaya dan miskin.</p>
<p>Saya menghitung bahwa Bill Gates, misalnya, menyumbang setidaknya 1.600 ton CO₂ ke atmosfer - dan ini baru dari perjalanan udara saja.</p>
<p>Tentu saja, bukan hanya selebritas penyumbang emisi.</p>
<p><a href="https://www.theguardian.com/environment/2019/sep/25/1-of-english-residents-take-one-fifth-of-overseas-flights-survey-shows">Data</a> terbaru mengungkapkan bahwa 1% penduduk Inggris bertanggung jawab atas hampir seperlima dari semua penerbangan ke luar negeri.</p>
<p>Sementara, hampir setengah (48%) dari populasi Inggris tidak terbang ke luar negeri di tahun 2018.</p>
<h2>Kesenjangan karbon</h2>
<p>Menunjukkan adanya kesenjangan semacam ini sebagai pengingat bahwa kita telah sepakat untuk mencegah pemanasan global pada kenaikan suhu di bawah 2°C. </p>
<p>Untuk mencapai tujuan ini, maka emisi gas rumah kaca harus berkurang drastis.</p>
<p>Perjanjian Paris telah menyepakati adanya distribusi beban emisi dengan lebih baik antar negara. Artinya, negara penghasil emisi terbesar harus memberikan kontribusi tinggi untuk dekarbonisasi, atau penurunan emisi karbon. </p>
<p>Tentu saja, tetap akan ada kesenjangan di masing-masing negara: ada yang menghasilkan emisi tinggi dan ada yang tidak berkontribusi sama sekali terhadap pemanasan global.</p>
<p>Saya ingin mencari tahu seberapa pentingnya peran penghasil emisi tertinggi dengan menanyakan: Seberapa banyak beban yang harus kita tanggung akibat gaya hidup mereka?</p>
<p>Selebritas, menurut definisi, adalah orang-orang yang berpengaruh dan sebagian besar kaya. </p>
<p>Meski ada bukti menunjukkan seringnya mereka berpergian dengan pesawat, masih sulit menentukan kontribusi mereka terhadap pemanasan global. </p>
<p>Orang yang sangat kaya jarang terwakili dalam survei rumah tangga.</p>
<p>Untuk mengetahuinya, saya melacak gaya hidup <em>jet-set</em> <a href="https://authors.elsevier.com/a/1ZwGl_3fvx2jaK">sepuluh selebritas</a> dengan menganalisis tampilan mereka di media sosial.</p>
<p><div data-react-class="InstagramEmbed" data-react-props="{"url":"https://www.instagram.com/p/Bx_xf88B3Bf/?utm_source=ig_web_copy_link","accessToken":"127105130696839|b4b75090c9688d81dfd245afe6052f20"}"></div></p>
<p>Saya menganalisis akun Twitter, Facebook, dan Instagram untuk informasi perjalanan mereka.</p>
<p>Untuk membatasi penelitian ini, hanya perjalanan udara yang dicatat, meskipun tentu saja mereka menjangkau jarak (tambahan) dengan mobil.</p>
<p>Saya melihat unggahan media sosial berdasarkan titik asal dan akhir perjalanan, jenis pesawat yang digunakan, dan jarak yang ditempuh. Informasi ini digunakan untuk menghitung kemungkinan penggunaan bahan bakar dan emisi terkait.</p>
<p>Berdasarkan emisi yang dihasilkan, mereka - sebagai bagian kecil saja dari populasi manusia - memiliki peran yang sangat signifikan dalam pemanasan global. </p>
<p>Temuan ini bisa saja mencakup jangkauan yang lebih luas, untuk kalangan elit ekonomi, budaya, dan politik.</p>
<h2><em>Flight shame</em> : Malu terbang karena emisi karbon</h2>
<p>Kita telah mengetahui bahwa 10% orang terkaya di dunia memproduksi <a href="https://www.theguardian.com/environment/2015/dec/02/worlds-richest-10-produce-half-of-global-carbon-emissions-says-oxfam">setengah dari emisi karbon global</a>. Namun sejauh ini, kebijakan iklim cenderung mengabaikan masalah kesenjangan karbon.</p>
<p>Negara-negara di seluruh dunia berfokus pada penurunan emisi karbon dari hasil produksi dalam negeri, namun mengabaikan perbedaan gaya konsumsi yang cukup besar. </p>
<p>Semakin terlihat bahwa krisis iklim tidak akan bisa diatasi apabila segelintir orang, penghasil emisi besar, terus meningkatkan konsumsi energi mereka dan menggambarkan gaya hidup yang dijalani sebagai gaya hidup yang diinginkan banyak orang melalui akun media sosial mereka.</p>
<p>Didukung oleh kekayaan mereka, para elit ini juga <a href="https://www.forbes.com/profile/bill-gates/#6a72810d689f">berada di luar</a> kerangka kerja berbasis pasar yang diterapkan untuk mengurangi emisi, seperti pajak karbon, pajak penerbangan, atau anggaran karbon bagi maskapai.</p>
<p>Ini juga merupakan masalah utama yang disoroti oleh gerakan anak muda yang sedang berkembang, yang menuntut akuntabilitas karbon yang dihasilkan oleh individu. </p>
<p>Seperti yang ditegaskan Greta Thunberg, “semakin besar jejak karbon Anda, semakin besar tugas moral Anda”. Terbang, sebagai aktivitas yang sangat menguras energi, telah dicap <a href="https://www.theguardian.com/environment/2019/apr/26/greta-thunberg-train-journey-through-europe-flygskam-no-fly">sangat berbahaya</a> dan tidak diinginkan secara sosial.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/294524/original/file-20190927-185383-w843pb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/294524/original/file-20190927-185383-w843pb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/294524/original/file-20190927-185383-w843pb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/294524/original/file-20190927-185383-w843pb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/294524/original/file-20190927-185383-w843pb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=565&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/294524/original/file-20190927-185383-w843pb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=565&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/294524/original/file-20190927-185383-w843pb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=565&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Pesawat yang ramah lingkungan adalah pesawat yang tidak terbang.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Dan Meyers/Unsplash</span>, <a class="license" href="http://artlibre.org/licence/lal/en">FAL</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Hal ini berujung kepada pertarungan antara norma dan moral sosial terkait perjalanan udara. </p>
<p>Selama puluhan tahun, <em>frequent fliers</em> (orang yang sering terbang dengan pesawat) merupakan gaya hidup yang diinginkan oleh kebanyakan orang. </p>
<p>Rajin bepergian ke luar negeri secara otomatis menyimpulkan kedudukan sosial yang tinggi.</p>
<p>Selebritas, khususnya, telah memupuk perspektif ini melalui gaya hidup glamor yang mereka bagikan di media sosial.</p>
<p>Sepuluh selebriti yang kami teliti, misalnya, secara kolektif menjangkau 170 juta pengikut di Instagram. </p>
<p>Namun, kini, semakin banyak orang orang mulai mempertanyakan tentang apa yang diinginkan, dapat dibenarkan, dan “normal” untuk dikonsumsi. </p>
<p>Dalam kasus ini, dikenal “<em>flight shame</em>” (rasa malu karena menggunakan pesawat udara). </p>
<p>Di beberapa kalangan, perjalanan udara mulai dicap sebagai aktivitas yang merusak. </p>
<p>Ini adalah perubahan besar dari pendekatan produksi ke mitigasi perubahan iklim. Fokus baru pada konsumsi ini menantang setiap individu untuk menata anggaran karbon pribadi yang berkelanjutan. Cara ini mungkin menjadi cara paling kuat untuk memaksa perubahan kebijakan dan industri.</p>
<p>Implikasi kebiasaan terbang oleh para penghasil emisi semakin luas jangkauannya.</p>
<p>Semakin jelas bahwa pemerintah perlu mengikuti keinginan masyarakat dan memperhatikan konsumsi untuk membendung berkembangnya kelas masyarakat <em>jet-set</em> yang berkontribusi secara signifikan terhadap emisi dan orang-orang untuk bercita-cita memiliki gaya hidup yang merusak ini.</p>
<p><em>Franklin Ronaldo menerjemahkan artikel ini dari Bahasa Inggris</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/127078/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Stefan Gössling tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Emisi besar yang dihasilkan oleh individu-individu ini menunjukkan bahwa sebagian kecil dari populasi manusia memiliki peran yang sangat signifikan dalam pemanasan global.Stefan Gössling, Professor in Service Management and Service Studies, Lund UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1265092019-11-08T03:50:50Z2019-11-08T03:50:50ZBila pemanasan global melebihi 2°C, lelehan es Antarktika bisa menaikkan muka laut hingga 20 meter<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/300584/original/file-20191107-10935-yotmiy.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=2%2C4%2C1343%2C667&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Selama Pliosen, sepertiga lapisan es Antartika mencair, menyebabkan kenaikan permukaan laut sebesar 20 meter.</span> <span class="attribution"><span class="source">from www.shutterstock.com, CC BY-ND </span></span></figcaption></figure><p>Kita tahu bahwa Bumi pernah mengalami periode yang lebih panas selama <a href="https://www.nature.com/articles/nclimate1504?proof=true1">zaman geologis Pliosen</a>, sekitar tiga juta tahun yang lalu.</p>
<p><a href="https://www.nature.com/articles/s41586-019-1619-z">Penelitian</a> kami, yang terbit beberapa waktu lalu, menunjukkan bahwa sepertiga lapisan es Antarktika telah mencair dalam periode Pliosen dan akan menyebabkan permukaan laut naik 20 meter dari level saat ini pada beberapa abad mendatang.</p>
<p>Kami dapat mengukur perubahan permukaan laut di masa lalu dengan mengebor titik tertentu di sebuah lokasi di Selandia Baru, dikenal sebagai Cekungan Whanganui, yang berisi sedimen laut dangkal dengan resolusi tertinggi di dunia.</p>
<p>Dengan menggunakan metode baru yang kami kembangkan untuk memprediksi tinggi air laut berdasarkan ukuran partikel pasir yang terkena gelombang, kami mencatat perubahan permukaan laut global dengan presisi yang jauh lebih akurat daripada sebelumnya.</p>
<p>Pliosen adalah periode terakhir di mana konsentrasi karbon dioksida di atmosfer mencapai 400 bagian per juta (ppm). Masa tersebut juga mencatat suhu bumi 2°C lebih hangat dibandingkan zaman pra-industri. </p>
<p>Kami menunjukkan bahwa pemanasan lebih dari 2°C dapat memicu kembali melelehnya es secara luas di Antarktika dan mengulang iklim tiga juta tahun lalu. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/not-convinced-on-the-need-for-urgent-climate-action-heres-what-happens-to-our-planet-between-1-5-c-and-2-c-of-global-warming-123817">Not convinced on the need for urgent climate action? Here's what happens to our planet between 1.5°C and 2°C of global warming</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Melampaui target Perjanjian Paris</h2>
<p>Minggu lalu, kita telah menyaksikan <a href="https://www.theguardian.com/environment/2019/sep/27/climate-crisis-6-million-people-join-latest-wave-of-worldwide-protests">protes global</a> yang belum pernah terjadi sebelumnya. </p>
<p>Di bawah slogan iklim yang dicetuskan oleh Greta Thunberg, yaitu #FridaysForFuture, jutaan orang turun ke jalan dan bergabung dengan protes iklim karena menyadari adanya urgensi menjaga pemanasan global di bawah target <a href="https://unfccc.int/process-and-meetings/the-paris-agreement/the-paris-agreement">Perjanjian Paris</a>, yaitu 2°C.</p>
<p>Thunberg berhasil menangkap rasa frustrasi bersama saat ia mengritik keras PBB yang tidak bisa bertindak lebih cepat meskipun sudah memiliki bukti ilmiah.</p>
<p>Dalam <a href="https://www.washingtonpost.com/climate-environment/2019/09/23/greta-thunberg-vows-that-if-un-doesnt-tackle-climate-change-we-will-never-forgive-you/">pidatonya</a>, Thurnberg mengingatkan kita bahwa:</p>
<blockquote>
<p>Dengan tingkat pengeluaran emisi saat ini, sisa anggaran CO₂ [1,5°C] yang bisa dilepaskan ke atmosfer habis dalam waktu kurang dari delapan setengah tahun.</p>
</blockquote>
<p>Dengan tingkat emisi global saat ini, kita <a href="https://www.ipcc.ch/sr15/">mungkin akan kembali ke Pliosen pada tahun 2030</a> dan melampaui target Paris 2°C. Salah satu pertanyaan penting adalah seberapa banyak dan seberapa cepat permukaan laut global akan naik.</p>
<p>Menurut <a href="https://www.ipcc.ch/srocc/home/">laporan khusus baru-baru ini tentang samudra dan kriosfer dunia</a> oleh Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (<a href="https://www.ipcc.ch/">IPCC</a>), gletser dan lapisan es kutub terus kehilangan massa dengan kecepatan yang semakin cepat.</p>
<p>Sementara, melelehnya lapisan es kutub, khususnya di lapisan es Antarktika, yang berujung terhadap naiknya permukaan laut di masa depan masih sulit untuk diatasi.</p>
<p>Jika kita terus mengikuti tren emisi saat ini, median (probabilitas 66%) permukaan laut global yang akan dicapai akhir abad ini akan menjadi 1,2 meter lebih tinggi dari sekarang, dengan batas atas sebesar dua meter (probabilitas 5%). Tapi, tentu saja, perubahan iklim tidak berhenti begitu saja setelah tahun 2100.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/with-15-other-children-greta-thunberg-has-filed-a-un-complaint-against-5-countries-heres-what-itll-achieve-124090">With 15 other children, Greta Thunberg has filed a UN complaint against 5 countries. Here’s what it’ll achieve</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Kembali ke masa depan</h2>
<p>Kita perlu memahami sensitivitas lapisan es kutub apabila ingin melindungi garis pantai di masa depan. </p>
<p>Jika ingin tahu berapa kenaikan permukaan air laut pada 400PPM CO₂, maka jaman
Pliosen merupakan pembanding yang terbaik.</p>
<p>Pada tahun 2015, kami mengebor sedimen yang terkubur selama jaman Pliosen di Cekungan Whanganui. Salah satu rekan kami, Timothy Naish, sudah bekerja di area ini selama 30 tahun dan berhasil mengidentifikasikan lebih dari <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0277379197000759">50 perubahan pada muka laut secara global</a> selama 3,5 juta tahun sepanjang sejarah Bumi. </p>
<p>Permukaan laut global telah naik dan turun dalam menanggapi siklus iklim alami, dikenal sebagai <a href="https://earthobservatory.nasa.gov/features/Milankovitch/milankovitch_2.php">siklus Milankovitch</a>, yang disebabkan oleh perubahan jangka panjang dalam orbit matahari Bumi setiap 20.000, 40.000 dan 100.000 tahun. Perubahan ini yang menentukan lapisan es kutub bertambah atau meleleh.</p>
<p>Sementara, permukaan laut diperkirakan telah berfluktuasi beberapa puluh meter, sampai sekarang upaya untuk <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0012821X13006006">merekonstruksi amplitudo yang tepat sulit dilakukan </a> karena proses deformasi Bumi dan sifat tidak lengkap dari banyak siklus.</p>
<p><a href="https://www.nature.com/articles/s41586-019-1619-z">Penelitian</a> kami menggunakan dasar teoretis yang menghubungkan antara ukuran partikel yang dihempas gelombang di daratan dengan yang berada di dasar laut.</p>
<p>Kami menerapkan metode ini pada inti bor dan singkapan sedalam 800 meter, mewakili urutan sedimen kontinu yang mencakup periode waktu 2,5 hingga 3,3 juta tahun yang lalu.</p>
<p>Kami menemukan bahwa selama Pliosen, permukaan laut global berfluktuasi secara teratur, antara lima hingga 25 meter.</p>
<p>Kami memperhitungkan pergerakan tanah tektonik lokal dan perubahan permukaan laut regional yang disebabkan oleh perubahan gravitasi dan kerak bumi untuk menentukan perkiraan permukaan laut, yang dikenal sebagai <a href="https://www.nature.com/articles/s41586-019-1619-z">catatan permukaan laut PlioSeaNZ</a>. Ini memberikan perkiraan perubahan permukaan laut rata-rata global.</p>
<h2>Kontribusi Antarktika bagi kenaikan permukaan laut</h2>
<p><a href="https://www.nature.com/articles/s41586-019-1619-z">Penelitian</a> kami juga menunjukkan bahwa sebagian besar kenaikan permukaan laut selama Pliosen berasal dari lapisan es Antarktika.</p>
<p>Selama masa Pliosen, geografi benua dan lautan Bumi serta ukuran lapisan es kutub mirip dengan kondisi hari ini, dengan hanya lapisan es kecil di Greenland selama periode terpanas.</p>
<p>Pencairan lapisan es Greenland akan memberikan kontribusi paling banyak lima hingga 25 meter dari kenaikan permukaan laut global yang tercatat di Cekungan Whanganui.</p>
<p>Yang menjadi masalah kritis adalah bahwa <a href="https://www.ipcc.ch/srocc/home/">lebih dari 90% panas dari pemanasan global</a> sampai saat ini bergerak ke laut.</p>
<p>Sebagian besar telah masuk ke Samudra Selatan, yang mengairi bagian pinggir lapisan es Antarktika.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/new-research-shows-that-antarcticas-largest-floating-ice-shelf-is-highly-sensitive-to-warming-of-the-ocean-121864">New research shows that Antarctica's largest floating ice shelf is highly sensitive to warming of the ocean</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Kami telah mengamati pergerakan <em>circumpolar deep water</em> (percampuran seluruh massa air lautan di seluruh dunia) dan <a href="https://science.sciencemag.org/content/341/6151/1236">memasuki gua es</a> di beberapa lokasi di sekitar Antarktika hari ini.</p>
<p>Di sepanjang pantai Laut Amundsen di Antarktika Barat, tempat lautan paling panas, <a href="https://www.nature.com/articles/nature10968">lapisan es menipis dan mencair paling cepat</a>.</p>
<p>Sepertiga dari lapisan es Antarktika - setara dengan kenaikan permukaan laut hingga 20 meter - berada di bawah permukaan laut dan <a href="https://www.the-cryosphere.net/7/375/2013/">rentan terhadap keruntuhan luas akibat pemanasan laut</a>.</p>
<p>Studi kami memiliki implikasi penting untuk stabilitas dan sensitivitas lapisan es Antarktika dan potensinya untuk berkontribusi pada permukaan laut di masa depan.</p>
<p>Ini mendukung konsep bahwa titik kritis di lapisan es Antarktika dapat dilintasi jika suhu global dibiarkan naik lebih dari 2°C.</p>
<p>Hal ini dapat mengakibatkan sebagian besar lapisan es mencair dalam beberapa abad mendatang, mengubah letak garis pantai di seluruh dunia.</p>
<p><em>Franklin Ronaldo menerjemahkan artikel ini dari Bahasa Inggris</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/126509/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Studi ini didanai oleh Royal Society Te Apārangi’s Marsden Fund, dan melibatkan Dr Gavin Dunbar dari Victoria University’s Antarctic Research Centre, serta peneliti lainnya dari GNS Science, Universitas Waikato, dan Belanda, AS dan Cile. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Timothy Naish tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Penelitian terbaru menunjukkan pemanasan lebih dari 2°C menjadi titik penting bagi lapisan es di Antarktika, yaitu pencairan es secara besar-besar dan perubahan garis pantai di masa mendatang.Georgia Rose Grant, Postdoctoral Research Assistant, Paleontology Team, GNS ScienceTimothy Naish, Professor, Te Herenga Waka — Victoria University of WellingtonLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1222142019-08-26T13:26:55Z2019-08-26T13:26:55ZNegara maju harus ambil peran lebih banyak dalam perubahan iklim<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/289367/original/file-20190826-170914-r2c7j6.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C2768%2C1848&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Turisme, yang penting bagi kebutuhan kaum elit, bertanggung jawab hampir 8% emisi CO2 global. </span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://Unsplash.com/photos/Iqs4tpxXyng">Blake Barlow/Unsplash</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Persoalan ketimpangan antara negara maju dan berkembang terkait dengan perubahan iklim selalu menjadi perdebatan dalam setiap dialog internasional lingkungan. </p>
<p>Negara-negara berkembang selalu berupaya untuk membuat negara-negara maju mengambil tanggung jawab dan kewajiban lebih besar dalam membangun ekonomi rendah karbon. </p>
<p>Perdebatan antara negara berkembang dan maju atas konsep keadilan iklim ini yang kemudian melahirkan prinsip ‘tanggung jawab sama namun berbeda’ atau sering disingkat sebagai CBDR. </p>
<p>Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sebagai badan internasional yang mengawasi jalannya negosiasi iklim, mengakui keberadaan prinsip CBDR. Upaya PBB bisa dilihat terwujud pada konferensi iklim di Paris (COP24) yang menghasilkan <a href="https://www.vie-publique.fr/focus/decrypter-actualite/qu-est-ce-que-accord-paris.html">Perjanjian Paris</a> dengan komitmen yang spesifik dan terukur, terutama soal pendanaan antara negara maju dan berkembang, yaitu <a href="https://unfccc.int/sites/default/files/resource/l20f_0.pdf">“100 miliar dolar”</a> setahun. </p>
<p>Angka ini menjadi target kolektif negara-negara maju pada tahun 2020. Tujuannya adalah membantu negara-negara ekonomi berkembang untuk menurunkan emisi serta beradaptasi terhadap iklim yang berubah. </p>
<h2>Ketimpangan emisi CO<sub>2</sub></h2>
<p>Analisis kami memperhitungkan kompleksitas hubungan antara ketimpangan dengan perubahan iklim.</p>
<p>Melalui pendekatan yang sederhana, kami mengidentifikasi ketimpangan dalam konteks emisi karbon pada satu sisi, dan dampaknya di sisi lain. Perbedaan emisi ini bisa diukur dalam tingkatan yang berbeda. </p>
<p>Berdasarkan negara, Cina menjadi penyumbang emisi CO<sub>2</sub> terbesar di dunia, yaitu 26% dari emisi karbon global. </p>
<p>Sementara, Afrika menempati ranking terbawah dari seluruh benua dengan Afrika Selatan sebagai negara penghasil emisi terbesar. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/280097/original/file-20190618-118501-agfkph.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/280097/original/file-20190618-118501-agfkph.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=423&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/280097/original/file-20190618-118501-agfkph.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=423&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/280097/original/file-20190618-118501-agfkph.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=423&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/280097/original/file-20190618-118501-agfkph.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=531&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/280097/original/file-20190618-118501-agfkph.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=531&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/280097/original/file-20190618-118501-agfkph.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=531&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Emisi CO2 tahunan berdasarkan negara (2016). “zoomable="true”/>
Pada tingkatan individu, <a href=</span>
<span class="attribution"><span class="source">Our World in Data</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>Oxfam memperkirakan bahwa 10% orang terkaya menghasilkan sekitar setengah dari seluruh emisi CO<sub>2</sub> yang berasal dari aktivitas konsumsi. <p></p>
<p>Ketika kita melihat data per kapita dari seluruh dunia, perbedaannya menjadi lebih mencolok.</p>
<p><a href="https://policy-practice.oxfam.org.uk/publications/extreme-carbon-inequality-why-the-paris-climate-deal-must-put-the-poorest-lowes-582545">Studi Oxfam</a> pada tahun 2015 tersebut juga menunjukkan bahwa gaya hidup orang-orang terkaya di Amerika Serikat (AS) ternyata 10 kali lebih intensif menghasilkan emisi ketimbang orang-orang terkaya di Cina. </p>
<p>Hal tersebut akibat banyaknya orang yang <a href="https://en.wikiquote.org/wiki/The_Theory_of_the_Leisure_Class">mengikuti kebiasaan dan pola konsumsi dari orang-orang kaya</a>, yang hanya mencakup 1%. </p>
<p>Peningkatan emisi di AS terlihat saat pendapatan dari 10% golongan terkaya meningkat antara tahun 1997 dan 2012. </p>
<p><figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/280099/original/file-20190618-118526-bgur60.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/280099/original/file-20190618-118526-bgur60.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=418&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/280099/original/file-20190618-118526-bgur60.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=418&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/280099/original/file-20190618-118526-bgur60.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=418&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/280099/original/file-20190618-118526-bgur60.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=525&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/280099/original/file-20190618-118526-bgur60.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=525&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/280099/original/file-20190618-118526-bgur60.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=525&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Ranking negara berdasarkan emisi CO2 per kapita.“ zoomable="true”/>
Selain konsumsi, sektor pariwisata yang menjadi kebutuhan utama golongan elit kini menyumbang <a href=</span>
<span class="attribution"><span class="source">Oxfam</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>hampir 8% dari emisi CO<sub>2</sub> global. Pertumbuhan di sektor pariwisata jauh pesat ketimbang upaya untuk mengatasi dampak dari emisi karbon. </p>
<p>Kondisi masyarakat di mana golongan kaya memegang kuasa ekonomi, budaya, dan politik secara tidak proporsional menjadi jelas. Hal ini cenderung menciptakan situasi yang bisa menghasilkan lebih banyak emisi karbon di masa depan. </p>
<p>Ketimpangan akan menggerus kohesi sosial dan mengabaikan keinginan individu untuk terlibat dalam aksi kolektif. Ketimpangan juga melemahkan rasa tanggung jawab sosial yang penting bagi kebijakan pro lingkungan hidup, seperti yang saat ini <a href="https://theconversation.com/climate-strikes-researcher-explains-how-young-people-can-keep-up-the-momentum-113594">sedang digugat oleh para pejuang iklim</a> hampir di seluruh Eropa. </p>
<p>Dari perspektif teknologi, ekonom <a href="https://econpapers.repec.org/article/eeeecolec/v_3a70_3ay_3a2011_3ai_3a11_3ap_3a2201-2213.htm">Francesco Vona and Fabrizio Patriarca</a> telah menunjukkan tingginya ketimpangan akan menghambat perkembangan dan penerapan teknologi ramah lingkungan karena hanya bisa diakses oleh segelintir orang. </p>
<p>Lucas Chancel dan Thomas Piketty telah mengusulkan <a href="http://www.ledevoir.com/documents/pdf/chancelpiketty2015.pdf">indeks ketimpangan emisi berbasis konsumsi</a> untuk mengukur perbedaan antara desil pendapatan di setiap negara dan menggeser fokus dari tingkat nasional ke individu. </p>
<p>Mereka berpendapat bahwa dalam ekonomi global lebih masuk akal untuk mempertimbangkan jumlah emisi yang “dikonsumsi” (melalui produk yang kita beli dan layanan yang kita gunakan) daripada berbicara tentang emisi yang “diproduksi” .</p>
<p>Ketika kita mengadopsi pendekatan berbasis konsumsi ini, maka terlihat jelas ketimpangan emisi yang ada dari negara maju dan berkembang, tapi juga antara <a href="https://www.inegalites.fr/La-mesure-des-inegalites-qu-est-ce-qu-un-decile-A-quoi-ca-sert">10%</a> golongan terkaya di dunia dan sisanya. </p>
<p>
</p><h2>Paparan yang berbeda terhadap bahaya iklim</h2>
<p>Tingkat kerentanan yang berbeda terhadap dampak perubahan iklim sangat berkorelasi dengan pola ketimpangan pendapatan yang ada. Paparan individu dan masyarakat terhadap bahaya iklim sangat bervariasi, tidak hanya antara negara maju dan negara berkembang (kesenjangan yang telah kita ketahui sejak lama), tetapi juga antara berbagai kelompok di suatu negara.</p>
<figure class="align-right zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/280101/original/file-20190618-118526-t7trjy.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/280101/original/file-20190618-118526-t7trjy.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/280101/original/file-20190618-118526-t7trjy.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=438&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/280101/original/file-20190618-118526-t7trjy.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=438&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/280101/original/file-20190618-118526-t7trjy.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=438&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/280101/original/file-20190618-118526-t7trjy.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=550&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/280101/original/file-20190618-118526-t7trjy.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=550&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/280101/original/file-20190618-118526-t7trjy.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=550&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Satu hari ekstra ketika suhu melebihi 33°C juga berdampak pada kesenjangan antara kuartil pendapatan di Vietnam.</span>
<span class="attribution"><span class="source">De Laubier el al. (2019)</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Sebagai contoh, dampak dari perubahan iklim dirasakan secara tidak proposional oleh kelas yang paling tidak beruntung di AS, sehingga isu ini dipakai untuk <a href="https://science.sciencemag.org/node/696077.full">memperkuat ketidaksetaraan yang ada</a>.</p>
<p>Efek serupa tetapi jauh lebih nyata dapat diamati di negara berkembang seperti Vietnam, yang sangat rentan karena tingginya proporsi pekerjaan pertanian dan peningkatan kerentanan terhadap bahaya perubahan iklim. </p>
<p>Kami telah menunjukkan ini dalam konteks yang lebih besar melalui proyek yang dilakukan oleh Badan Pengembangan Prancis (AFD), <a href="https://vn.ambafrance.org/800-jeunes-reunis-pour-le-lancement-de-gemmes-Vietnam">GEMMES Vietnam</a>. Proyek ini yang menyajikan analisis sistematis tentang “dampak sosial ekonomi dari perubahan iklim dan strategi adaptasi di Vietnam.”</p>
<p>Kami menemukan bahwa ketika ada tambahan satu hari per tahun, yang suhunya melebihi 33°C, hal ini memiliki efek buruk pada <a href="https://www.afd.fr/sites/afd/files/2019-03-02-55-35/Impacts%20of%20Climate%20Events%20in%20Vietnamese%20Agriculture.pdf">efisiensi budidaya padi</a> dan <a href="https://www.afd.fr/en/impacts-extreme-climate-events-technical-efficiency-vietnamese-agriculture">pendapatan rumah tangga</a>, memperbesar kesenjangan antara kuartil pendapatan (populasi yang telah dibagi menjadi empat kelompok pendapatan) terlepas dari pekerjaannya. Hal ini menggambarkan bahwa paparan terhadap bahaya iklim tidak merata.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/274445/original/file-20190514-60554-1nwds0k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/274445/original/file-20190514-60554-1nwds0k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/274445/original/file-20190514-60554-1nwds0k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/274445/original/file-20190514-60554-1nwds0k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/274445/original/file-20190514-60554-1nwds0k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/274445/original/file-20190514-60554-1nwds0k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/274445/original/file-20190514-60554-1nwds0k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Budidaya padi di Vietnam sangat sensitif terhadap variasi suhu, dengan dampak langsung pada pendapatan petani padi.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/fr/image-photo/rice-planting-37212694">Beboy/Shutterstock</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/">CC BY-NC-ND</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Perubahan iklim tidak hanya meningkatkan bahaya terhadap kelompok yang paling rentan, tetapi juga sensitivitas mereka dalam merasakan dampak negatif serta mengurangi kapasitas mereka untuk beradaptasi dan pulih setelah kejadian iklim ekstrem.</p>
<p>Semua indikasi yang ada tampaknya menunjukkan perlunya mempromosikan pola konsumsi yang lebih terkendali untuk kalangan atas, selain dari prinsip umum untuk mengurangi ketimpangan, jika kita ingin mencapai tujuan Perjanjian Paris. </p>
<p>Jika kita tidak bisa mengatasi ketimpangan dan menurunkan emisi berlebihan dari gaya hidup kalangan atas, maka ada risiko upaya mencapai Perjanjian Paris malah merusak ikatan sosial. </p>
<p>Dengan kata lain, tanggung jawab untuk mengurangi emisi karbon harus dipikul oleh negara-negara maju, dan oleh kelompok sosial elit di negara-negara maju dan berkembang. </p>
<p>Untuk mencapai tujuan tersebut membutuhkan perubahan drastis kebiasaan konsumsi masyarakat. Jalan paling pasti untuk memenuhi tujuan COP21 adalah dengan mengatasi ketimpangan dan memperkuat ikatan sosial - terutama jika kita ingin mencapai tujuan yang paling ambisius untuk membatasi kenaikan suhu global 1,5°C.</p>
<p><em>Fahri Nur Muharom menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/122214/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kalangan termiskin paling menderita akibat emisi CO₂ yang berasal dari gaya hidup orang kaya. Sekarang waktunya bertindak atas nama keadilan iklim dan sosial.Anda David, Chargée de recherche, Agence française de développement (AFD)Étienne Espagne, Économiste, Agence française de développement (AFD)Nicolas Longuet Marx, Project Officer for Uzbekistan and Kazakhstan, Agence française de développement (AFD)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.