tag:theconversation.com,2011:/au/topics/pluralisme-67613/articlespluralisme – The Conversation2023-05-07T19:16:44Ztag:theconversation.com,2011:article/2051912023-05-07T19:16:44Z2023-05-07T19:16:44ZBagaimana penobatan Raja Charles III mencerminkan keinginannya untuk membela semua agama<p>Hampir 30 tahun yang lalu, Raja Charles – kala itu masih Pangeran Charles – menyiratkan bahwa ketika menjadi raja, ia tidak hanya ingin mewarisi gelar tradisional raja atau ratu sebagai “pembela agamanya” (<em>defender of faith</em>), tetapi menjadi “pembela agama”.</p>
<p>Pemegang takhta kerajaan Inggris bersumpah setia pada agama Protestan dan sebagai pemimpin tertinggi Gereja Inggris. Tapi, Charles telah <a href="https://www.theguardian.com/uk-news/2022/sep/09/king-charles-to-be-defender-of-the-faith-but-also-a-defender-of-faiths">berulang kali mengatakan</a> bahwa ia juga ingin menjadi melindungi semua agama utama, baik Kristen maupun non-Kristen.</p>
<p>Selama beberapa dekade, pengamat kerajaan sudah mulai berspekulasi bagaimana <a href="https://www.theosthinktank.co.uk/research/2015/09/01/who-wants-a-christian-coronation">bentuk penyelenggaraan penobatan</a> akan berlangsung di zaman desentralisasi dan pluralisme agama yang meluas, serta meningkatnya sekularisasi.</p>
<p>Meski ada beberapa usulan reformasi atau perubahan menjadi upacara sipil, acara <a href="https://www.churchofengland.org/sites/default/files/2023-04/23-24132%20Coronation%20Liturgy.pdf">penobatan takhta</a> tetap dilakukan melalui liturgi ritual kebaktian Gereja Inggris. Hanya saja, kali ini ada upaya mencari keseimbangan antara cara lama dan baru, memperluas lingkup simbolis, serta mengundang perwakilan agama-agama yang lebih besar dan beragam.</p>
<p>Ritual kebaktian tersebut telah dirancang sebaik mungkin seperti yang diharapkan dari sebuah teks hasil persiapan selama beberapa dekade, sebagi wujud negosiasi antara para pemimpin gereja, ahli kebaktian, pejabat istana, aparatur negara dan perwakilan dari berbagai gereja dan kepercayaan lain.</p>
<p>Penobatan kali ini mencoba mengolah ritual lama, yang berasal dari abad pertengahan dan sebagian besar tidak berubah sejak Reformasi abad ke-16, menjadi sebuah ritual bernuansa kontemporer.</p>
<figure class="align-right ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/518785/original/file-20230331-28-8u26d4.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/518785/original/file-20230331-28-8u26d4.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/518785/original/file-20230331-28-8u26d4.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/518785/original/file-20230331-28-8u26d4.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/518785/original/file-20230331-28-8u26d4.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/518785/original/file-20230331-28-8u26d4.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/518785/original/file-20230331-28-8u26d4.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Biasanya ada sesi penghormatan oleh bangsawan turun-temurun, tapi kini digantikan oleh penghormatan oleh rakyat. Dulu sifatnya cenderung eksklusif, sekarang lebih inklusif. Untuk pertama kalinya, perempuan turut serta dalam elemen upacara. Rishi Sunak, Perdana Menteri Inggris pertama yang berasal dari kalangan Hindu, membacakan sebuah ayat Alkitab dalam upacara ini.</p>
<p>Perbedaan yang paling mencolok dari <a href="https://www.oremus.org/liturgy/coronation/1953/">penobatan Ratu Elizabeth II pada tahun 1953</a> adalah partisipasi dari para penganut agama non-Kristen. Kebaktian dibuka dengan prosesi oleh pemimpin dan perwakilan komunitas agama. Penyerahan simbol kerajaan (<em>regalia</em>) – termasuk mahkota dan tongkat – kepada Raja Charles dibuat lebih kompleks, utamanya untuk mengakomodasi anggota Dewan Bangsawan (<em>House of Lords</em>) yang beragama Islam, Yahudi, Hindu, dan Sikh.</p>
<p>Pada akhir upacara, ada salam yang diucapkan secara kolektif oleh para pemimpin dan perwakilan dari komunitas Yahudi, Hindu, Sikh, Muslim, dan Buddha. Pernyataan bersama ini mencerminkan tema utama “pelayanan publik” yang telah dimasukkan ke pelayanan tradisional pengkudusan Raja:</p>
<blockquote>
<p>Tetangga dalam iman, kami mengakui nilai pelayanan publik. Kami bersatu dengan orang-orang dari semua agama dan keyakinan dalam ucapan syukur, dan dalam pelayanan dengan Anda (Raja) untuk kebaikan bersama.</p>
</blockquote>
<p>Doa selama pemberkatan diucapkan oleh para pemimpin Gereja Ortodoks Yunani di Inggris, organisasi <a href="https://www.britannica.com/topic/free-church-Protestantism">Free Churches</a> dan <a href="https://cte.org.uk">Churches Together in England</a>, dan, mengingat sejarah kekristenan kerajaan serta Inggris sebagai negara, oleh Uskup Agung Katolik Roma dari Keuskupan Westminster.</p>
<p>Salah satu inovasi dalam penobatan Ratu tahun 1953 adalah adanya salinan Alkitab yang diberikan kepada Ratu oleh moderator majelis umum Gereja Skotlandia, kepala dari gereja kedua yang didirikan di Inggris. Sekarang, Uskup Agung Gereja Irlandia, Uskup Agung Gereja di Wales, dan Kepala Gereja Episkopal Skotlandia turut terlibat dalam berbagai sesi dalam agenda penobatan. Musik dinyanyikan dalam bahasa Wales, Gaelik Skotlandia, dan Gaelik Irlandia.</p>
<h2>Penobatan untuk audiens modern</h2>
<p>Karena ada jutaan penonton global era modern yang menyaksikan upacara penobatan ini, banyak elemen kuno yang perlu dijelaskan. Ini tak hanya terkait makna kata-kata, tindakan, dan regalia, tetapi juga simbolisme dan relevansinya dengan masyarakat masa kini. Oleh karena itu, diterbitkanlah versi kedua kebaktian, dengan <a href="https://www.churchofengland.org/sites/default/files/2023-05/23-24132%20Coronation%20Liturgy%20Commentary_02%20May.pdf">keterangan tambahan</a>. Sesi khotbah oleh Uskup Agung Canterbury (dihilangkan pada tahun 1953) sekarang juga diperkenalkan kembali untuk dapat memberikan penjelasan lebih lanjut pada audiens.</p>
<p>Akibatnya, seluruh ritual ikut direvisi. Beberapa struktur dan kegiatan kuno tetap dipertahankan, tetapi banyak dari kata-kata yang menyertainya disusun ulang dan dipersingkat. Perjamuan kudus, yang merupakan bagian integral dari pengkudusan seorang pemimpin kerajaan Kristen, dilakukan tidak berdasarkan Buku Doa Umum yang digunakan sejak 1559, tetapi dengan merujuk pada kutipan dari Ibadah Umum yang diperkenalkan pada tahun 2000.</p>
<p><a href="https://www.ucl.ac.uk/constitution-unit/sites/constitution_unit/files/197_swearing_in_the_new_king_complete.pdf">Sumpah secara agama</a>, yang diwajibkan oleh undang-undang dan akan menjadi hal yang aneh jika diubah oleh parlemen, didahului dengan kualifikasi. Uskup Agung menyatakan bahwa Gereja Inggris, yang dijunjung tinggi oleh Raja melalui sumpah, berkomitmen tidak hanya untuk “mengakui Injil secara sunggih-sungguh”, tetapi juga untuk “membina lingkungan di mana orang-orang dari semua agama dan kepercayaan dapat hidup bebas”.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/king-charles-iiis-coronation-oath-is-a-crucial-part-of-the-ceremony-experts-explain-202870">King Charles III's coronation oath is a crucial part of the ceremony – experts explain</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Para pemimpin gereja lain telah turut mengambil bagian dalam prosesi besar kerajaan dan nasional sejak 1980-an, dan komunitas agama lain telah diwakili selama lebih dari 20 tahun.</p>
<p>Pada acara keagamaan pada perayaan “<em>diamond jubilee</em>” (60 tahun kekuasaan) pada 2012, Ratu Elizabeth II <a href="https://www.royal.uk/queens-speech-lambeth-palace-15-february-2012">mengungkapkan keyakinannya</a> bahwa tujuan gereja harus termasuk perlindungan terhadap kebebasan praktik keagamaan untuk semua agama di Inggris.</p>
<p>Sebagai kepala negara simbolis, pemimpin kerajaan harus berusaha untuk mewakili seluruh kalangan. Dalam transformasi budaya agama, Gereja Inggris membutuhkan cara baru untuk membuktikan posisi istimewanya sebagai <a href="https://boydellandbrewer.com/9781783274680/the-church-of-england-and-british-politics-since-1900/">gereja nasional</a>. Semua ini menjelaskan adanya pembaharuan dalam penobatan Raja Charles III.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/205191/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Philip Williamson menerima dana dari The Leverhulme Trust.</span></em></p>Ritual kebaktian dalam penobatan Raja Charles III diselenggarakan dengan lebih kontemporer.Philip Williamson, Emeritus Professor of Modern British History, Durham UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1666372021-08-24T09:56:42Z2021-08-24T09:56:42ZObsesi Indonesia untuk menjaga ketertiban sosial menjadi penghalang perlakuan setara terhadap pemeluk agama minoritas<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/417468/original/file-20210823-15-1ci41jv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=5%2C251%2C3988%2C2407&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Aprillio Akbar/Antara Foto</span></span></figcaption></figure><p>Beberapa minggu lalu, Menteri Agama Cholil Yaqut Qoumas menjadi sasaran <a href="https://en.tempo.co/read/1489204/religious-freedom-group-lauds-ministers-greetings-for-bahais">kecaman dan pujian</a> publik karena mengucapkan selamat kepada penganut agama Baha'i yang merayakan Hari Raya Nowruz.</p>
<p>Nowruz adalah <a href="https://bahai-library.com/walbridge_encyclopedia_nawruz">Hari Tahun Baru</a> dalam kalender Bahaʼi. Hari Raya Norwuz adalah salah satu dari sembilan hari suci bagi penganut Bahaʼi.</p>
<p>Ucapan selamat hari raya oleh pejabat negara dan pemerintah kepada pemeluk agama mayoritas merupakan praktik umum di Indonesia. Hal ini kerap dinilai sebagai praktik toleransi.</p>
<p>Namun mengucapkan selamat kepada komunitas pemeluk agama minoritas, terutama yang tidak diakui secara resmi oleh negara, masih dianggap sebagai dosa politik dan dosa sosial besar.</p>
<p>Selama puluhan tahun, pemerintah Indonesia hanya mengakui enam agama besar – yaitu Buddha, Hindu, Islam, Kristen Protestan, Katolik Roma, dan Konghucu.</p>
<p>Ucapan selamat hari raya dari Cholil kepada penganut Baha'i bukanlah langkah “progresif” pertamanya sebagai menteri agama. Setelah dilantik akhir tahun lalu, ia berjanji untuk menegakkan hak-hak kaum Ahmadiyah dan Syiah, dua kepercayaan minoritas dengan pengikut yang cukup besar di Indonesia.</p>
<p>Awal tahun ini, ia meminta agar doa <a href="https://nasional.kompas.com/read/2021/04/08/18015461/soal-doa-dari-semua-agama-menag-salahnya-doa%20-ini-apa-sih-orang-disuruh-doa">dari semua agama</a> – tidak hanya Islam – dibacakan di acara-acara yang diselenggarakan kementeriannya.</p>
<p>Terlepas dari sikapnya yang terkesan lebih progresif dan liberal, Cholil tampaknya tidak akan berhasil membawa reformasi besar yang diharapkan dapat meningkatkan perlakuan setara terhadap agama minoritas.</p>
<p>Ia menghadapi budaya yang sudah berakar dalam di kalangan pejabat negara, yang cenderung melestarikan “<a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1177/0967828X18769393">tatanan sosial mayoritas</a>”. Dalam tatanan demikian, kelompok mayoritas (baik menurut agama, etnis, kelas sosial, atau identitas lain) di suatu populasi mampu memegang kekuasaan tertentu atau dapat membuat keputusan untuk seluruh masyarakat.</p>
<h2>Tatanan sosial</h2>
<p>Kecenderungan untuk memelihara ketertiban sosial dimulai pada zaman penjajahan Belanda dan terus berkembang sejak berdirinya negara Indonesia.</p>
<p>Berbagai penelitian menunjukkan bahwa <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1177/0967828X18769393">budaya ini</a> bertahan dari zaman ke zaman, meski tingkat penerapannya bervariasi dari waktu ke waktu.</p>
<p>Di bawah rezim otoriter Soeharto, negara sangat menekankan konsep kerukunan dalam masyarakat. Hal ini mengakibatkan penindasan terhadap perbedaan pendapat. </p>
<p>Rezim ini kerap menuduh para pemrotes atau oposisi sebagai kelompok perusak tatanan sosial negara yang ada.</p>
<p>Di era pasca Soeharto, semua lembaga kekuasaan negara, termasuk badan peradilan, melanjutkan budaya ini. Agama mayoritas mendapat hak istimewa, dengan mengorbankan orang-orang yang menganut agama minoritas. </p>
<p>Salah satu contohnya adalah persidangan Tajul Muluk, seorang pemimpin Syiah, yang <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2012/07/13/convicted-shiite-cleric-i-am-not-infidel%20.html">dihukum</a> setelah didakwa menodai Islam dan mengganggu keharmonisan sosial.</p>
<p>Pengadilan Negeri Sampang, dan Pengadilan Tinggi Jawa Timur memvonis Tajul Muluk dengan dua tahun penjara pada 2013. Dia mengajukan banding, tapi Mahkamah Agung sebagai kekuasaan kehakiman tertinggi malah menggandakan hukumannya menjadi <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2013/09%20/19/mk-rejects-tajul-muluk-s-request-a-judicial-review.html">empat tahun</a> penjara.</p>
<p><a href="https://www.hrw.org/report/2013/02/28/religions-name/abuses-against-religious-minorities-indonesia">Banyak</a> tokoh agama Indonesia lainnya telah dipenjara karena tuduhan penodaan agama setelah mencoba memperkenalkan praktik atau kebiasaan keagamaan baru yang dianggap menyimpang dari ritual keagamaan yang dilakukan oleh pemeluk agama mayoritas.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/di-balik-imbauan-mui-soal-salam-lintas-agama-ada-ancaman-terhadap-multikulturalisme-indonesia-126950">Di balik imbauan MUI soal salam lintas agama, ada ancaman terhadap multikulturalisme Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Monoteisme</h2>
<p>Sila pertama dalam Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, merupakan faktor penting yang menghambat terwujudnya perlakuan yang setara.</p>
<p>Para pendiri negara Indonesia merumuskan ideologi dasar ini dalam serangkaian pertemuan sebelum kemerdekaan. </p>
<p>Menurut sarjana politik B.J. Boland, prinsip itu kemudian digunakan oleh Kementerian Agama sebagai “<a href="https://www.jstor.org/stable/10.1163/j.ctvbqs4mn">prinsip operasi</a>” untuk mendukung kelompok mayoritas Muslim. Sebagai imbaasnya, keyakinan minoritas telah ditekan dalam tahun-tahun awal berdirinya negara Indonesia ini.</p>
<p>Nilai ini, yang mendorong monoteisme dan pembentukan negara yang lebih religius, memberi pengaruh yang cukup kuat kepada perumusan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Peraturan-peraturan di Indonesia ini, termasuk <a href="https://www.amnestyusa.org/files/_index-_asa_210182014.pdf">keputusan presiden tentang penodaan agama tahun 1965</a>, sering digunakan untuk menindas pemeluk agama minoritas.</p>
<p>Pada 1965, Presiden Sukarno mengeluarkan sebuah keputusan untuk mencegah konflik antara pemeluk kepercayaan mistik atau agama rakyat dan pemeluk agama mayoritas seperti Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.</p>
<p>Keputusan tersebut menjadi undang-undang empat tahun kemudian. Hingga hari ini, aparat negara sering menggunakan undang-undang ini untuk mengekang aliran yang dituduh sesat dan mengkriminalisasi pemimpinnya.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/melarang-cadar-dan-celana-cingkrang-tidak-efektif-menangkal-radikalisme-127614">Melarang cadar dan celana cingkrang tidak efektif menangkal radikalisme</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Perjuangan berat</h2>
<p>Nilai-nilai budaya dan ideologis ini begitu mengakar dalam praktik negara Indonesia sehingga setiap upaya untuk mereformasi undang-undang dan praktik diskriminatif tertentu akan gagal.</p>
<p>Misalnya, orang Indonesia harus mencantumkan agama dalam dokumen identitas - mencantumkan satu dari enam agama yang diakui negara selama puluhan tahun.</p>
<p>Pengikut agama minoritas dan kepercayaan asli mendapat <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2017/11/13/native-faith-followers-survive-decades-discrimination.html">diskriminasi</a> karena gagal mematuhi persyaratan ini. Mereka kerap mendapatkan hambatan dalam menerima pelayanan publik, seperti fasilitas mendapatkan akta nikah.</p>
<p>Baru pada <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2012/05/02/faith-optional-e-id-card.html">2012</a> pemerintah Indonesia mengizinkan warga negara, terutama penganut kepercayaan, untuk tidak menyatakan keyakinan agama atau keyakinan mereka di kartu identitas. Penganut kepercayaan mendapatkan hak mereka untuk mencantumkan nama keyakinan mereka di kartu identitas sejak <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2015/05/20/indigenous-faiths-allowed-id-card.html">2015</a></p>
<p>Walau ada langkah-langkah progresif tersebut, dan meskipun menteri agama saat ini telah menunjukkan beberapa kecenderungan progresif, reformasi yang lebih mendasar sangat diperlukan untuk menghapus undang-undang dan praktik yang diskriminatif. </p>
<p>Proses reformasi ini memerlukan perombakan besar-besaran terhadap nilai-nilai budaya dan ideologis yang diskriminatif di balik undang-undang dan praktik-praktik diskriminatif.</p>
<p>Kegagalan melakukan perombakan ini akan terus melanggengkan diskriminasi terhadap pemeluk agama minoritas.</p>
<hr>
<p><em>Rachel Noorajavi menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/166637/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>A'an Suryana tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Untuk mengakhiri undang-undang dan praktik yang diskriminatif, diperlukan reformasi yang lebih mendasar.A'an Suryana, Visiting Fellow, ISEAS-Yusof Ishak InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1445052020-08-14T11:14:44Z2020-08-14T11:14:44ZMenguatnya konservatisme memundurkan reformasi kebijakan demi kesetaraan perempuan di Indonesia<p><em>Artikel ini bagian dari rangkaian tulisan untuk memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia.</em></p>
<hr>
<p>Perempuan memiliki peran penting dalam jatuhnya Soeharto, dan tidak diragukan bahwa <a href="https://www.chathamhouse.org/expert/comment/how-women-are-transforming-indonesia">perempuan terus mengalami kemajuan penting sejak Reformasi</a> dimulai pada 1998.</p>
<p>Indonesia telah memiliki presiden perempuan, dan saat ini memiliki menteri-menteri perempuan, di antaranya Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Mereka masing-masing adalah birokrat kelas dunia dan pembaharu ekonomi.</p>
<p>Perempuan, tua atau muda, di desa atau kota, secara aktif urun daya pada keluarga, komunitas dan bangsanya.</p>
<p><a href="https://pekka.or.id/blog/2020/04/23/laporan-tahun-2019-pekka/">Mereka adalah kepala rumah tangga</a> yang aktif secara sosial, menjadi sukarelawan, dan berorganisasi di berbagai bidang kehidupan.</p>
<p>Namun, setelah 75 tahun merdeka, Indonesia masih memiliki kesenjangan yang signifikan dalam kesetaraan.</p>
<p>Di bidang ekonomi hingga keadilan sosial, perempuan tetap dirugikan. Misalnya, tingkat partisipasi mereka di pasar tenaga kerja secara umum <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/00074918.2018.1530727">tidak berubah</a> (hanya sekitar 51% untuk perempuan berusia 15 tahun ke atas) dalam 20 tahun terakhir.</p>
<p>Ada juga catatan-catatan komprehensif atas isu-isu penting seperti <a href="https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/child-marriage-surges-amid-covid-19-and-growing-conservatism/">pernikahan remaja perempuan di bawah umur</a> dan <a href="https://brill.com/view/journals/bki/174/1/article-p24_2.xml?language=en">kekerasan terhadap perempuan</a>.</p>
<p>Saya <a href="https://doi.org/10.1017/trn.2019.14">mengkaji</a> meningkatnya kesalehan publik dan dampaknya terhadap reformasi kebijakan untuk kesetaraan di Indonesia selama dua dekade terakhir.</p>
<p>Walau ada kerugian yang terukur bagi perempuan, ada kecenderungan dalam advokasi kebijakan untuk mendorong agenda kebijakan yang didasari oleh agama - beberapa dipimpin oleh perempuan Muslim - yang menarik mundur kemajuan dan membatasi kebebasan memilih perempuan.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/352868/original/file-20200814-20-1sjgwk0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/352868/original/file-20200814-20-1sjgwk0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/352868/original/file-20200814-20-1sjgwk0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/352868/original/file-20200814-20-1sjgwk0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/352868/original/file-20200814-20-1sjgwk0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/352868/original/file-20200814-20-1sjgwk0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/352868/original/file-20200814-20-1sjgwk0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/352868/original/file-20200814-20-1sjgwk0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption"></span>
<span class="attribution"><span class="source">The Conversation Indonesia</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Konservatisme agama dan politik Islam</h2>
<p><a href="https://www.pewforum.org/2018/06/13/how-religious-commitment-varies-by-country-among-people-of-all-ages/">Riset Pew</a> pada 2018 mengungkapkan bahwa orang Indonesia sangat religius: sekitar 93% penduduk percaya agama dan melihat agama sebagai aspek penting dalam kehidupan mereka.</p>
<p>Temuan ini tentu tidak kontroversial.</p>
<p>Namun, yang kemudian menjadi jelas sejak Reformasi adalah adanya tren politikus dan beragam aktor masyarakat sipil (termasuk organisasi berbasis agama dan perempuan) yang <a href="https://www.cambridge.org/core/journals/trans-trans-regional-and-national-studies-of-southeast-asia/article/rising-public-piety-and-the-status-of-women-in-indonesia-two-decades-after-reformasi/7676157EA18DB194320C44C49219ECC1">mengeksploitasi kesalehan publik</a> untuk memajukan agenda sosial berdasarkan norma-norma agama konservatif. </p>
<p>Akibatnya, dalam banyak contoh, agama merasuk ke dalam wacana publik dan mempengaruhi, bahkan menentukan, masa depan dalam bidang sosial, ekonomi, politik dan hukum.</p>
<p>Secara khusus, bagian dari agenda usaha adalah penggunaan perspektif religius yang didasarkan pada pemisahan peran sosial antara laki-laki dan perempuan.</p>
<p>Perempuan tentu saja terdampak.</p>
<p>Contoh yang menonjol adalah promosi mengenakan pakaian Muslim, semakin populernya <a href="https://www.straitstimes.com/asia/se-asia/indonesian-singles-propose-marriage-without-dating">gerakan “Indonesia tanpa pacaran”</a>, promosi untuk poligami, dan seruan untuk <a href="https://www.newmandala.org/an-anti-feminist-wave-in-indonesias-election/">mencela feminisme</a> berdasarkan nilai-nilai Islam.</p>
<p>Ini adalah <a href="https://theconversation.com/against-the-tide-why-womens-equality-remains-a-distant-dream-in-arab-countries-74410">tren sosial yang terjadi di banyak negara Muslim</a>, seperti Mesir, Maroko dan Tunisia.</p>
<p>Di wilayah tempat Islam mendominasi, perempuan jelas berisiko dipaksa untuk mengikuti satu aliran Islam berdasarkan citra perempuan Muslim ideal dari kacamata patriarki. </p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/352902/original/file-20200814-24-6kmz3w.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/352902/original/file-20200814-24-6kmz3w.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/352902/original/file-20200814-24-6kmz3w.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/352902/original/file-20200814-24-6kmz3w.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/352902/original/file-20200814-24-6kmz3w.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/352902/original/file-20200814-24-6kmz3w.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/352902/original/file-20200814-24-6kmz3w.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/352902/original/file-20200814-24-6kmz3w.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption"></span>
<span class="attribution"><span class="source">The Conversation Indonesia</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Aktivisme melawan kesetaraan gender</h2>
<p>Contoh-contoh gerakan sosial Islam populer ini menunjukkan adanya komitmen untuk secara sukarela patuh pada nilai-nilai tertentu.</p>
<p>Gerakan-gerakan ini merefleksikan adanya kesetiaan pada sebuah cara pandang dalam hidup yang mengatur peran dan perilaku perempuan secara spesifik.</p>
<p>Adanya sebagian perempuan yang mendukung cara pandang ini menunjukkan bahwa di Indonesia hari ini, perempuan tampaknya mampu menentukan pilihan tentang perannya dalam kehidupan dan masyarakat.</p>
<p>Yang menjadi masalah adalah pilihan-pilihan pribadi dan tindakan-tindakan kolektif ini juga telah menjadi dasar dalam upaya untuk mempengaruhi masyarakat lebih luas.</p>
<p>Dengan kata lain, pilihan dan tindakan ini berada di pusat penolakan terhadap inisiatif kebijakan yang bertujuan untuk menguntungkan perempuan dan memajukan kesetaraan dalam forum politik dan hukum.</p>
<p>Serangkaian nilai tertentu yang menjadi identifikasi satu kelompok saat ini diterapkan pada perempuan Indonesia secara keseluruhan.</p>
<p>Bentuk aktivisme yang paling menyeluruh adalah seruan bagi negara untuk mengatur tubuh perempuan, termasuk hak reproduksi, moralitas dan seksualitas perempuan.</p>
<p><a href="https://www.nytimes.com/2008/10/30/world/asia/30iht-indo.1.17378031.html">Pengesahan Undang-Undang (UU) Anti Pornografi</a> pada 2008 adalah contoh awal yang menonjol. </p>
<p>UU tersebut kemudian diikuti oleh upaya <a href="https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/the-anti-sexual-violence-bill-a-clash-of-values-or-politics/">mengkriminalisasi homoseksualitas</a>, yang mempengaruhi kemampuan memilih bagi laki-laki dan juga perempuan.</p>
<p>Ada pula upaya penolakan yang gigih dan <a href="https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/child-marriage-constitutional-court-finally-ditches-religious-arguments/">sangat teorganisasi terhadap usaha untuk meningkatkan kesetaraan di Mahkamah Konstitusi</a>.</p>
<p>Dalam proses pengesahan <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2019/09/13/house-agrees-to-raise-minimum-marriage-age-to-19.html">revisi UU Perkawinan</a> oleh Dewan Perwakilan Rakyat - yang menaikkan usia minimum menikah bagi perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun - tantangan serupa juga muncul.</p>
<p>Tantangan itu datang dari kubu yang sangat <a href="https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/ailas-unsuccessful-petition-a-narrow-escape-from-overcriminalisation/">dimotivasi oleh dan bertujuan mendorong doktrin agama</a> dalam membela sesuatu yang tidak layak dibela.</p>
<p>Yang terbaru, ada penolakan yang tegas dan keras terhadap <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2020/07/02/public-outcry-as-house-plans-to-delay-sexual-violence-bill-again.html">Rancangan Undang-Undang Anti-kekerasan Seksual</a>. </p>
<p>Sekali lagi, para penolak membangun argumentasi berdasarkan atas ajaran Islam.</p>
<p>Kampanye tidak hanya dilakukan oleh politikus tetapi juga kelompok masyarakat sipil yang sangat terorganisasi, seperti <a href="https://www.thejakartapost.com/academia/2019/09/19/how-a-populist-morality-movement-is-blocking-a-law-against-sexual-violence-in-indonesia-analysis.html">Aliansi Cinta Keluarga</a>, yang tanpa henti mempromosikan nilai-nilai sosial konservatif.</p>
<p>Mereka menolak kerangka kebijakan yang dapat <a href="https://theconversation.com/why-indonesias-anti-sexual-violence-bill-important-for-people-with-disabilities-118045">memajukan perempuan, dan khususnya perempuan penyandang disabilitas</a>.</p>
<p>Rancangan UU tersebut memperkenalkan sebuah kerangka keadilan pidana yang komprehensif terhadap kekerasan seksual, yang mencakup pelecehan seksual, eksploitasi seksual, kontrasepsi paksa, prostitusi paksa, perbudakan, dan pelecehan seksual yang terjadi di ranah pribadi dan publik.</p>
<p>Bila rancangan UU itu ditolak, ini berarti kekerasan terhadap perempuan akan terus dinormalisasi.</p>
<h2>Pilihan siapa?</h2>
<p>Sulit bagi banyak orang untuk menentang norma-norma agama dalam masyarakat yang sangat taat dalam beragama.</p>
<p>Para pendukung kebijakan kesetaraan publik juga secara negatif dianggap sebagai pendukung ideologi <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2019/02/05/pks-rejects-antirape-bill-because-it-has-liberal-perspective.html">asing</a> atau <a href="https://nasional.tempo.co/read/1149894/maju-mundur-pembahasan-ruu-pks/full&view=ok">budaya Barat</a> yang bertentangan dengan nilai-nilai Indonesia.</p>
<p>Tantangan yang ada saat ini adalah agar kontestasi publik di Indonesia dapat dengan tepat mencerminkan kebutuhan semua perempuan Indonesia ketimbang pilihan kelompok tertentu.</p>
<p>Demokrasi memastikan adanya ruang terbuka untuk debat semacam ini.</p>
<p>Namun, saat ini ada bahaya nyata bahwa kemajuan-kemajuan bagi perempuan Indonesia yang berada dalam posisi lemah akan hilang dalam hiruk-pikuk perdebatan bias gender berdasarkan agama.</p>
<hr>
<p><em>Artikel ini diterjemahkan oleh Agradhira Nandi Wardhana dari Bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/144505/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Dina Afrianty menerima dana dari Knowledge Sector Initiative yang didanai oleh Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia dan dilaksanakan lewat kemitraan dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia. Pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah pendapat penulis dan tidak mewakili pandangan pemerintah Australia atau Indonesia.</span></em></p>Ada kecenderungan dalam advokasi kebijakan yang menghambat kemajuan perempuan dan membatasi kebebasan perempuan dalam memilih.Dina Afrianty, Research Fellow at La Trobe Law School, La Trobe UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1392182020-06-10T02:49:43Z2020-06-10T02:49:43ZRiset: diskriminasi dalam beragama di Indonesia salah satu yang tertinggi di dunia Islam<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/340307/original/file-20200608-176538-1sdol80.png?ixlib=rb-1.1.0&rect=40%2C313%2C1028%2C451&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://pixabay.com/illustrations/personal-group-puzzle-series-chain-5226775/">Gerd Altman/Pixabay</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Banyak perubahan yang terjadi setelah Soeharto jatuh pada Mei 1998 dan era Reformasi dimulai: sebagian positif, sebagian negatif. </p>
<p>Menurut <a href="https://nasional.tempo.co/read/1090996/20-tahun-reformasi-perlindungan-untuk-kebebasan-beragama-mundur/full&view=ok">beberapa</a> <a href="https://theconversation.com/refleksi-2019-awan-gelap-untuk-ham-di-indonesia-128625">laporan</a>, kebebasan beragama di era Reformasi lebih buruk dari era Soeharto.</p>
<p>Tapi apa benar demikian? <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/00074918.2019.1661354">Riset</a> <a href="http://nathanael.id/publications/">saya</a> yang baru-baru ini dipublikasikan di Bulletin of Indonesian Economic Studies mencoba menjawab hal ini.</p>
<p>Ada dua pertanyaan utama dalam riset itu. Pertama, bagaimana kebebasan beragama Indonesia dibandingkan negara mayoritas Muslim lain? Kedua, bagaimana kebebasan beragama Indonesia sekarang dibandingkan era Soeharto?</p>
<p>Analisis yang saya lakukan menemukan bahwa tingkat diskriminasi oleh negara, legislasi agama, dan diskriminasi sosial Indonesia adalah salah satu yang tertinggi di dunia Islam. </p>
<p>Analisis saya juga menunjukkan bahwa kejatuhan Soeharto memperburuk legislasi agama, yaitu pembentukan produk hukum yang mengatur kehidupan beragama, dan memperparah diskriminasi sosial terhadap pemeluk agama dan kepercayaan minoritas. Sementara, berakhirnya kekuasaan Soeharto tidak berdampak pada diskriminasi yang dilakukan negara terhadap pemeluk agama dan kepercayaan minoritas. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/demi-indonesia-yang-damai-kata-kafir-memang-sebaiknya-dihapus-113193">Demi Indonesia yang damai, kata kafir memang sebaiknya dihapus</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Analisis yang dilakukan</h2>
<p>Dalam riset, saya menggunakan data dari Religion and State (RAS) Project Round 3 yang dilakukan oleh Jonathan Fox, profesor agama dan politik di Bar-Ilan University, Israel.</p>
<p>Data ini bisa diunduh secara bebas di <a href="http://thearda.com/ras">thearda.com/ras</a>. Analisis saya mencakup 183 negara dari tahun 1990 sampai 2014.</p>
<p>Ada banyak indikator kebebasan beragama di data ini. Saya fokus pada tiga indikator: diskriminasi negara (<em>state discrimination</em>), legislasi agama (<em>religious legislation</em>), dan diskriminasi sosial (<em>societal discrimination</em>).</p>
<p>Diskriminasi negara terwujud dalam peraturan legal formal yang mendiskriminasi agama minoritas. Indikator yang digunakan antara lain ada tidaknya peraturan pemerintah yang melarang kegiatan ibadah agama minoritas, atau ada tidaknya peraturan pemerintah yang melarang pendirian rumah ibadah minoritas. Total ada 36 indikator diskriminasi negara yang saya analisis.</p>
<p>Legislasi agama mengacu pada produk hukum yang tidak secara spesifik menyasar agama minoritas, tapi tetap bertujuan mengatur moral dan kehidupan beragama. Contoh indikator tentang legislasi agama adalah ada tidaknya aturan tentang penodaan agama, ada tidak aturan tentang pakaian perempuan, atau ada tidaknya aturan tentang homoseksualitas. Total ada 52 indikator untuk legislasi agama yang saya analisis.</p>
<p>Terakhir, diskriminasi sosial mengukur bagaimana masyarakat itu sendiri mendiskriminasi agama minoritas. Fokus indikator ini adalah pada pembatasan yang dilakukan oleh masyarakat, bukan negara atau aparat pemerintah. </p>
<p>Contoh indikator ini misalnya ada tidaknya perusakan tempat ibadah oleh organisasi kemasyarakatan (ormas) atau ada tidaknya pelarangan ibadah oleh ormas. Total ada 27 indikator diskriminasi sosial yang saya analisis.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/jakarta-dan-yogyakarta-demokratis-tapi-intoleran-mengapa-ini-bisa-terjadi-di-indonesia-116576">Jakarta dan Yogyakarta demokratis tapi intoleran: Mengapa ini bisa terjadi di Indonesia?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Indonesia dibandingkan negara muslim lain</h2>
<p>Pada tiga grafik berikut, saya menampilkan hasil analisis. Pada setiap grafik, sumbu horizontal x menampilkan tahun dan sumbu vertikal y menampilkan nilai atau skor di masing-masing dimensi yang disebutkan di atas.</p>
<p>Di tiap grafik, garis tebal tidak putus-putus menunjukkan angka Indonesia, garis tebal putus-putus menunjukkan angka rata-rata negara Muslim, dan setiap garis tipis mewakili satu negara Muslim.</p>
<p>Dari tiga grafik ini terlihat jelas tingkat diskriminasi negara, legislasi agama, dan diskriminasi sosial Indonesia lebih tinggi dibanding banyak negara Muslim. </p>
<p>Di dunia Islam, kita salah satu yang paling membatasi kelompok agama minoritas.</p>
<p>Mengingat betapa sering elit dan masyarakat kita <a href="https://kemlu.go.id/berlin/id/news/256/indonesia-jadi-inspirasi-toleransi-beragama-dan-multikulturalisme-bagi-jerman">mengaku</a> <a href="https://www.liputan6.com/news/read/4029055/jk-indonesia-jadi-contoh-toleransi-beragama-bagi-dunia">toleran</a>, barangkali sudah saatnya kita berhenti mengaku toleran dan mulai belajar untuk benar-benar bersikap toleran.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/337433/original/file-20200525-106823-7x7xm0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/337433/original/file-20200525-106823-7x7xm0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/337433/original/file-20200525-106823-7x7xm0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/337433/original/file-20200525-106823-7x7xm0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/337433/original/file-20200525-106823-7x7xm0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/337433/original/file-20200525-106823-7x7xm0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/337433/original/file-20200525-106823-7x7xm0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Diskriminasi negara.</span>
</figcaption>
</figure>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/337434/original/file-20200525-106828-1y5shjt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/337434/original/file-20200525-106828-1y5shjt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/337434/original/file-20200525-106828-1y5shjt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/337434/original/file-20200525-106828-1y5shjt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/337434/original/file-20200525-106828-1y5shjt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/337434/original/file-20200525-106828-1y5shjt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/337434/original/file-20200525-106828-1y5shjt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Legislasi agama.</span>
</figcaption>
</figure>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/337435/original/file-20200525-106815-1v1zv2k.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/337435/original/file-20200525-106815-1v1zv2k.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/337435/original/file-20200525-106815-1v1zv2k.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/337435/original/file-20200525-106815-1v1zv2k.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/337435/original/file-20200525-106815-1v1zv2k.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/337435/original/file-20200525-106815-1v1zv2k.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/337435/original/file-20200525-106815-1v1zv2k.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Diskriminasi sosial.</span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Era Reformasi vs Orde Baru</h2>
<p>Apakah kebebasan beragama sekarang lebih buruk dibanding era Soeharto? Apakah reformasi memperburuk kebebasan beragama? </p>
<p>Untuk menjawab pertanyaan ini saya menggunakan teknik <a href="https://economics.mit.edu/files/11859">Synthetic Control Method</a>. Metode ini membandingkan Indonesia sekarang dengan “Indonesia” sintetik atau imajiner yang masih diperintah Soeharto.</p>
<p>Indonesia sintetik ini dibuat dengan menggabungkan negara-negara lain berdasarkan kriteria tertentu seperti Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita, persentase populasi urban, tingkat keragaman agama, dan tingkat demokrasi.</p>
<p>Saya membandingkan Indonesia aktual atau Indonesia yang sebenarnya dengan Indonesia sintetik (Indonesia yang tidak mengalami kejatuhan Soeharto). Perbedaan antara keduanya ada pada perkiraan efek kejatuhan Soeharto terhadap kebebasan beragama.</p>
<p>Terkait diskriminasi negara, tidak ada beda antara Indonesia aktual dengan Indonesia sintetik. Kebebasan beragama di Indonesia sekarang tidak berbeda dengan situasi jika Soeharto masih berkuasa. </p>
<p>Legislasi agama dan diskriminasi sosial justru meningkat jauh. Kejatuhan Soeharto memperburuk dua hal ini.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/337437/original/file-20200525-106842-1o0l9j0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/337437/original/file-20200525-106842-1o0l9j0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/337437/original/file-20200525-106842-1o0l9j0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/337437/original/file-20200525-106842-1o0l9j0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/337437/original/file-20200525-106842-1o0l9j0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/337437/original/file-20200525-106842-1o0l9j0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/337437/original/file-20200525-106842-1o0l9j0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Diskriminasi negara aktual vs sintetik.</span>
</figcaption>
</figure>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/337439/original/file-20200525-106832-d85zko.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/337439/original/file-20200525-106832-d85zko.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/337439/original/file-20200525-106832-d85zko.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/337439/original/file-20200525-106832-d85zko.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/337439/original/file-20200525-106832-d85zko.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/337439/original/file-20200525-106832-d85zko.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/337439/original/file-20200525-106832-d85zko.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Legislasi agama aktual vs sintetik.</span>
</figcaption>
</figure>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/337438/original/file-20200525-106862-1rpcfv8.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/337438/original/file-20200525-106862-1rpcfv8.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/337438/original/file-20200525-106862-1rpcfv8.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/337438/original/file-20200525-106862-1rpcfv8.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/337438/original/file-20200525-106862-1rpcfv8.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/337438/original/file-20200525-106862-1rpcfv8.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/337438/original/file-20200525-106862-1rpcfv8.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Diskriminasi sosial aktual vs sintetik.</span>
</figcaption>
</figure>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/di-balik-imbauan-mui-soal-salam-lintas-agama-ada-ancaman-terhadap-multikulturalisme-indonesia-126950">Di balik imbauan MUI soal salam lintas agama, ada ancaman terhadap multikulturalisme Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Prioritas advokasi</h2>
<p>Ada dua kesimpulan dari analisis ini.</p>
<p>Pertama, tingkat diskriminasi negara, legislasi agama, dan diskriminasi sosial Indonesia ternyata salah satu yang tertinggi di dunia Islam. </p>
<p>Ini pekerjaan rumah bagi pemerintah dan semua pihak. Bila tidak dibenahi, keadaan ini hanya akan memburuk.</p>
<p>Kedua, kejatuhan Soeharto memperburuk legislasi agama dan diskriminasi sosial, tapi tidak memiliki efek terhadap diskriminasi negara. </p>
<p>Banyak kemungkinan kenapa legislasi agama dan diskriminasi sosial memburuk sementara diskriminasi negara tidak banyak berubah. Salah satunya adalah kehadiran ormas radikal.</p>
<p>Ormas radikal memperburuk tingkat diskriminasi sosial lewat <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s11562-013-0288-1">aksi-aksi persekusi mereka</a>. Ormas-ormas ini juga mempengaruhi kebijakan publik lewat kemampuan mereka memberikan <a href="https://www.cambridge.org/core/books/politics-of-sharia-law/DE8D25BFEFFD473EC882311D8023626F">tekanan kepada partai dan politisi</a>.</p>
<p>Ormas, dengan massa mereka yang tidak sedikit, dapat menjanjikan pasokan suara dalam pemilihan umum kepada politikus yang mendengar aspirasi mereka. </p>
<p>Di saat yang sama, mereka juga dapat memberikan ancaman elektoral kepada politisi yang mengabaikan keinginan mereka atau malah terang-terangan berseberangan dengan mereka.</p>
<p>Dari kesimpulan ini, kita bisa mengetahui apa yang harus diprioritaskan dalam advokasi kebebasan beragama di Indonesia. </p>
<p>Advokasi kita perlu fokus kepada legislasi agama dan diskriminasi sosial; fokus kepada bagaimana ormas radikal dan konservatif mempersekusi agama minoritas dan memanfaatkan massa untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan intoleran.</p>
<p>Studi ini juga menunjukkan kegunaan pengkodean yang sistematis dalam penelitian kebebasan beragama. Misalnya, peneliti Indonesia bisa menggunakan pengkodean RAS Project untuk mengukur dan membandingkan kebebasan beragama di provinsi-provinsi di Indonesia. </p>
<p>Provinsi mana yang paling restriktif dan provinsi mana yang intoleran? Informasi demikian pada akhirnya akan membantu kita membuat skala prioritas dalam advokasi kebebasan beragama.</p>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/139218/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Nathanael Gratias Sumaktoyo menerima dana dari the Indonesia Project, the Australian National University.</span></em></p>Diskriminasi beragama Indonesia salah satu yang tertinggi di dunia Islam. Tingkat legislasi agama dan diskriminasi sosial memburuk pasca-Soeharto.Nathanael Gratias Sumaktoyo, Postdoctoral Research Fellow, University of Notre DameLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1307012020-02-06T05:17:48Z2020-02-06T05:17:48ZApa dampak politisasi fatwa MUI bagi Indonesia?<p>Beberapa waktu yang lalu, <a href="https://bisnis.tempo.co/read/1299079/soal-fatwa-haram-netflix-mui-konten-terlarang-ranah-hukum/full&view=ok">masyarakat di dunia maya santer memperbincangkan wacana pengharaman Netflix oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)</a>. </p>
<p>Meski MUI mengeluarkan <a href="https://tekno.kompas.com/read/2020/01/24/06480017/bantah-siapkan-fatwa-haram-begini-pernyataan-mui-soal-netflix">klarifikasi yang membantah telah mengeluarkan fatwa</a> soal layanan <em>streaming</em> digital tersebut, bukan kali ini saja media maupun masyarakat awam menyoroti fatwa MUI. Ini tidak mengherankan, MUI merupakan salah satu majelis penerbit fatwa yang paling berpengaruh di Indonesia. </p>
<p>Faktanya, negara menjadikan sejumlah fatwa penting yang dikeluarkan MUI sebagai acuan dalam undang-undang maupun keputusan lainnya, mulai dari undang-undang yang mengatur soal pornografi hingga pembatasan hak kelompok agama minoritas. </p>
<p>Efek dari politisasi fatwa ini beragam. Beberapa darinya berupa penyeragaman Islam di Indonesia dan ancaman terhadap pluralisme di tengah masyarakat, kendati tak semua dampaknya buruk.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/di-balik-imbauan-mui-soal-salam-lintas-agama-ada-ancaman-terhadap-multikulturalisme-indonesia-126950">Di balik imbauan MUI soal salam lintas agama, ada ancaman terhadap multikulturalisme Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Fatwa di Indonesia: Pra- dan Pasca-MUI</h2>
<p>Dalam hukum Islam, fatwa merupakan opini legal dari seorang atau sekelompok pemuka agama berwenang yang disebut mufti. </p>
<p>Fatwa, idealnya, bersifat tidak mengikat. Artinya, umat Muslim punya kebebasan untuk memutuskan mufti mana yang menurutnya berotoritas dalam memutuskan suatu perkara.</p>
<p>Di Indonesia, MUI bukanlah satu-satunya badan yang berwenang dalam mengeluarkan fatwa. </p>
<p>Sebelum MUI dibentuk pada 1975, geliat aktivitas jurisprudensi Islam telah dapat disaksikan–termasuk penerbitan fatwa mengenai berbagai masalah. Sumber fatwanya pun beragam.</p>
<p><a href="https://www.cairn-int.info/abstract-E_ASSR_125_0007--the-voice-of-the-ulama-fatwas-and.htm">Nico J. G. Kaptein, profesor dari Universitas Leiden, Belanda, menggolongkan tradisi fatwa dalam sejarah Indonesia dalam tiga jenis</a>. Abad ke-19 diwarnai dengan tradisi fatwa tradisionalis yang merujuk kepada mufti di Mekah sebagai sosok yang memiliki kewenangan lebih dibandingkan mufti di Indonesia. </p>
<p>Terdapat sebuah buku fatwa terbitan abad ke-19 berjudul <em>Muhimmat al-nafa'is fi bayan as'ilat al-hadith</em> yang memuat fatwa dari mufti Mekah bermahdzab Syafi'i, Ahmad Dahlan (meninggal pada 1886), yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu.</p>
<p>Kemudian, pada awal abad ke-20, tumbuh gerakan fatwa modernis yang mengedepankan logika independen–-bersumberkan Al-Qur’an dan hadits–-ketimbang otoritas Islam tradisional. </p>
<p>Fatwa modernis yang dikeluarkan organisasi Persatuan Islam (PERSIS), misalnya, mengacu kepada pemuka agama dari Indonesia alih-alih dari Mekah. Bahasan dalam fatwa modernis pun merujuk kepada isu dan bahasa yang dekat dengan masyarakat Indonesia. Ahmad Hassan, salah satu pemuka PERSIS, pernah menerbitkan fatwa mengenai kentongan dan banyak menerjemahkan fatwa yang ia keluarkan ke dalam Bahasa Sunda.</p>
<p>Salah satu perubahan yang kentara dari peralihan Abad ke-19 ke Abad ke-20 adalah munculnya fatwa yang diterbitkan secara kolektif. </p>
<p>Lahir pada awal abad ke-20, Nahdlatul Ulama dengan Lajnah Bahth al-Masail dan Muhammadiyah dengan Majelis Tarjih merupakan contoh badan fatwa kolektif yang ada di Indonesia. Demikian halnya dengan MUI yang mencakup ulama baik dari aliran tradisionalis maupun modernis di Indonesia.</p>
<h2>Fatwa MUI dan negara</h2>
<p>MUI dibentuk pada 1975 di bawah instruksi presiden Soeharto setidaknya untuk dua alasan. </p>
<p>Pertama, sebagai badan yang meredam dan mendisiplinkan suara organisasi Islam yang beragam. Sebagai rezim yang menjunjung tinggi stabilitas nasional, Orde Baru berusaha menghindari perbedaan pendapat antar-ulama yang berpotensi menimbulkan perselisihan. </p>
<p>Kedua, MUI dibentuk sebagai pemberi legitimasi atas kebijakan negara. <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.5367/sear.2014.0220">Posisi MUI terhadap alat kontrasepsi, misalnya</a>, berubah dari melarang menjadi membolehkan, seiring dukungannya terhadap aturan pemerintah Orde Baru terkait program Keluarga Berencana.</p>
<p>Atas dukungannya terhadap pemerintah, <a href="https://www.researchgate.net/publication/305801914_Theologians_Moralising_Indonesia_The_Case_of_the_Post-New_Order_Ulama_Council_of_Indonesia_MUI">segelintir orang memelesetkan kepanjangan MUI menjadi “Majelis Ular Indonesia”.</a> </p>
<p>Kendati demikian, perlu dicatat bahwasanya tidak semua fatwa yang dikeluarkan MUI pada masa Orde Baru bersifat suportif terhadap regulasi negara. </p>
<p>Mohamad Atho Mudzhar, profesor dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, <a href="https://scholar.google.co.id/scholar?hl=en&as_sdt=0,14&cluster=18419874168233810780">dalam disertasinya berargumen bahwa dari 22 fatwa yang dikeluarkan pada rentang tahun 1975–1988 di bawah Orde Baru</a>, 11 fatwa bersifat “netral”, delapan fatwa mendukung pemerintah, dan tiga sisanya bertolak belakang dengan pemerintah.</p>
<p>Runtuhnya Orde Baru pada 1998 diikuti dengan lepasnya MUI dari cengkeraman rezim. Namun demikian, hal ini tidak berarti hubungan MUI dengan negara putus begitu saja. </p>
<p>Kendati fatwa dan keputusan MUI tidak memiliki posisi legal di hadapan negara, <a href="https://journals.sub.uni-hamburg.de/giga/jsaa/article/view/1102/">MUI terbukti banyak menjembatani negara dengan kepentingan agama dan mempengaruhi keputusan negara</a>. </p>
<p>Keinginan MUI untuk mengatur moral negara menjadi contoh pertama. Pada tahun 2001, Komisi Fatwa MUI pertama kali mengeluarkan imbauan atas bahaya pornografi dan pornoaksi bagi umat Muslim. Semenjak itu, <a href="https://www.researchgate.net/publication/305801914_Theologians_Moralising_Indonesia_The_Case_of_the_Post-New_Order_Ulama_Council_of_Indonesia_MUI">MUI dengan getol mendorong Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk merespons permintaan tersebut</a>. </p>
<p>Upaya ini lantas bermuara pada diresmikannya <a href="http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2008_44.pdf">UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi</a> yang–-sejalan dengan permintaan MUI–-mengatur pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.</p>
<p>Kriminalisasi aliran sesat juga menjadi contoh berkelindannya fatwa MUI dengan regulasi negara. Semenjak awal pendiriannya, MUI telah mengeluarkan fatwa yang melabeli beragam kelompok agama sebagai aliran sesat, dari <a href="https://academic.oup.com/jis/article-abstract/15/2/147/818756?redirectedFrom=fulltext">Inkar Sunnah pada 1983</a> hingga <a href="http://mui.or.id/wp-content/uploads/files/fatwa/Fatwa-GAFATAR.pdf">Gafatar pada 2016</a>.</p>
<p>Hari ini, fatwa aliran sesat dari MUI dapat menjadi alasan kuat penangkapan seseorang atau pembubaran kelompok agama atas alasan penistaan agama yang dilindungi Kitab Hukum Undang-Undang Pidana. </p>
<p>Selain itu, MUI menjadi satu-satunya badan yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan fatwa halal dan fatwa syariah berbentuk sertifikat yang diakui oleh negara. </p>
<p>Menurut <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191017124156-20-440322/sertifikasi-halal-di-tangan-kemenag-mui-masih-berperan-besar">UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang berlaku mulai Oktober 2019</a> lalu, Kementerian Agama lewat Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal hanya bertugas menerima pendaftaran dan menerbitkan sertifikat halal, sedangkan proses sertifikasi yang sifatnya substantif (misalnya pemeriksaan dan penetapan fatwa) ada di tangan MUI. </p>
<p><a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-50080006">UU tersebut juga mewajibkan sertifikasi halal bagi seluruh produk pangan, obat-obatan, dan kosmetik di Indonesia</a>, sehingga meletakkan MUI pada posisi yang kuat dan otoritatif dalam regulasi produk pangan, obat-obatan, dan kosmetik di Indonesia. </p>
<p>Di sini, posisi MUI menjadi membingungkan dan mengambang. </p>
<p>MUI memang bukan organisasi agama resmi milik negara. Namun politisasi fatwa dan pemberian kewenangan lebih oleh negara membuktikan bahwa MUI menduduki tempat yang istimewa dibandingkan badan penerbit fatwa lain yang dimiliki oleh organisasi Islam serupa.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bagaimana-agama-berperan-dalam-perilaku-intoleran-individu-dan-masyarakat-124188">Bagaimana agama berperan dalam perilaku intoleran individu dan masyarakat?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Dampak politisasi fatwa</h2>
<p>Pengadopsian fatwa MUI dalam regulasi di Indonesia memiliki beberapa dampak. Beberapa buruk, namun ada pula yang baik.</p>
<p><strong>Pertama</strong>, fenomena ini berpotensi menyeragamkan Islam di Indonesia. Negara menggunakan standar-standar tertentu yang ditetapkan oleh MUI sehingga berpotensi menafikan pluralisme organisasi Islam dengan beragam tradisi jurisprudensinya. </p>
<p>Dengan mengadopsi keputusan MUI dalam regulasi negara, “Islam MUI” seolah menjadi Islam yang lebih otoritatif dibandingkan yang lainnya.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, politisasi fatwa MUI oleh negara dapat menjustifikasi kekerasan oleh negara maupun aktor non-negara. Hal ini terutama membahayakan bagi kelompok minoritas dan kelompok rentan. Sebuah laporan, misalnya, mengatakan bahwa <a href="https://tirto.id/korban-eksploitasi-seksual-rentan-terjerat-uu-pornografi-egEH">korban eksploitasi seksual sangat rentan terjerat UU Pornografi sebagai tersangka</a>. </p>
<p>Sama halnya dengan pemuka maupun kelompok agama minoritas yang difatwakan sesat; fatwa dan undang-undang menaruh pemuka maupun jemaat kelompok agama tersebut pada posisi yang <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39189909">rawan kriminalisasi</a> dan <a href="https://nasional.tempo.co/read/311441/kronologi-penyerangan-jamaah-ahmadiyah-di-cikeusik">kekerasan oleh massa</a>. </p>
<p>Namun demikian, kontroversi dan politisasi fatwa MUI tidaklah selalu berdampak buruk. Menurut Mun’im Sirry, profesor di Universitas Notre Dame, Amerika Serikat, kendati fatwa MUI dan kontroversinya memiliki tendensi untuk memicu kekerasan religius dan sektarianisme, polemik itu juga <a href="https://www.cambridge.org/core/journals/journal-of-southeast-asian-studies/article/fatwas-and-their-controversy-the-case-of-the-council-of-indonesian-ulama-mui/0B1B74AA0BD5448561B1C7619E4990F4">membuka ruang diskusi kritis dan dialogis di antara berbagai aliran Islam di Indonesia.</a></p>
<p>Sebagai organisasi keagamaan, MUI tentu memiliki kewenangan dalam menerbitkan fatwa. </p>
<p>Akan tetapi, MUI bukanlah satu-satunya badan fatwa yang ada di Indonesia. Umat Muslim di Indonesia memiliki kebebasan untuk merujuk pada badan fatwa lainnya, seperti Lajnah Bahth al-Masail milik Nahdlatul Ulama dan Majelis Tarjih milik Muhammadiyah.</p>
<p>Dalam menjaga demokrasi dan pluralisme agama di Indonesia, bijak kiranya jika pemerintah Indonesia menghindari politisasi fatwa dari satu badan fatwa saja dan mulai mengamini ragam tradisi jurisprudensi Islam yang ada di Indonesia.</p>
<p><em>Aisha Amelia Yasmin berkontribusi pada penerbitan artikel ini.</em></p>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/130701/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Amrina Rosyada tergabung dalam Arryman Scholars Initiative dan menerima beasiswa dari Indonesian Scholars and Research Support Foundation (ISRSF).</span></em></p>Walau tidak semuanya buruk, tapi politisasi fatwa bisa berakibat pada penyeragaman Islam di Indonesia dan ancaman terhadap pluralisme.Amrina Rosyada, Visiting scholar, Northwestern UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1269502019-11-20T09:37:44Z2019-11-20T09:37:44ZDi balik imbauan MUI soal salam lintas agama, ada ancaman terhadap multikulturalisme Indonesia<p>Baru-baru ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur mengeluarkan imbauan agar umat Islam <a href="https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-4782035/mui-jatim-imbau-pejabat-tak-salam-semua-agama-wamenag-pasrah-ke-ulama">tidak mengucapkan salam lintas agama</a>-kombinasi ucapan salam dari berbagai agama. </p>
<p>Alasan mereka, salam adalah doa, yakni ibadah yang tidak boleh dicampur aduk demi menjaga kemurnian akidah atau teologi. </p>
<p>MUI pusat <a href="https://nasional.tempo.co/read/1270748/mui-pusat-setuju-umat-islam-tak-sampaikan-salam-semua-agama/full&view=ok">mendukung</a> imbauan MUI Jawa Timur. Menurut MUI, mencampuradukkan salam adalah tindakan yang mengarah pada sinkretisme dan pluralisme agama yang mengakui kesederajatan klaim kebenaran semua agama-sesuatu yang mereka tolak. </p>
<p>Sebaliknya, menurut Helmy Faishal Zaini, Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, salam lintas agama adalah <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191111082426-20-447191/pbnu-sebut-mengucap-salam-agama-lain-simbol-toleransi">simbol toleransi</a> untuk mempererat persaudaraan bangsa dan tidak mengganggu akidah. </p>
<p>Sementara, Menteri Agama Fachrul Razi mengatakan kedua pendapat di atas <a href="https://www.liputan6.com/news/read/4110114/respons-menag-fachrul-soal-imbauan-tak-salam-lintas-agama">tidak salah</a>. </p>
<p>Polemik ini mencerminkan menguatnya penggunaan agama secara berlebihan di ruang publik dan mengerasnya politik identitas, dan adalah bagian dari ancaman terhadap multikulturalisme di Indonesia.</p>
<h2>Di balik polemik</h2>
<p>Menurut saya, ada empat hal yang melatarbelakangi polemik penggunaan salam di ruang publik. </p>
<p><strong>Pertama</strong>, sejak 1990an kelompok Islam mulai mendominasi ruang publik dan mengubah penggunaan salam. </p>
<p>Penggunaan “assalamu’alaikum” dalam pidato resmi untuk khalayak plural menjadi populer menjelang 1990-an. Ini muncul bersamaan dengan makin maraknya pemakaian jilbab, meningkatnya jumlah masjid/musala di kantor-kantor pemerintah dan menjamurnya berbagai sekolah, media massa, buku, rumah sakit, bank, butik, busana, sinetron, serta produk atau acara berlabel Islam. </p>
<p>Salam ini adalah bagian dari pasang naik gelombang <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2009/08/16/thick-islam-and-deep-islam.html">reislamisasi</a> seiring dengan meningkatnya daya tawar umat Islam. </p>
<p>Hingga masa Revolusi, salam yang populer adalah pekik “Merdeka!”. Selama 1970-an, Suharto <a href="http://www.paramadina-pusad.or.id/demi-islam-demi-indonesia-sketsa-biografi-nurcholiash-madjid/">sangat menjaga jarak bahkan cenderung anti-Islam</a>. Ia sengaja menghindari pemakaian “assalamu’alaikum” dan tak pernah ikut salat Jum’at . </p>
<p>Tidak heran, <a href="https://kumparan.com/bandungkiwari/secuil-sejarah-ucapan-salam-di-zaman-perjuangan-sukarno-soeharto-dan-jokowi-1541746625993030938">hingga pertengahan 1980-an</a>, tidak sedikit umat Islam yang merasa canggung mengucap “assalamu’alaikum” di depan umum. </p>
<p>Untuk mengatasi problem “mayoritas bermental minoritas” di kalangan umat Islam, Abdurrahman “Gus Dur” Wahid sempat <a href="https://www.nu.or.id/post/read/23546/filosofi-kenyelenehan-gus-dur">mengusulkan</a> mengganti “assalamu’alaikum” dengan “selamat pagi” yang kemudian menjadi kontroversi. </p>
<p>Penggunaan “assalamu’alaikum” menjadi populer menjelang 1990-an ketika Suharto makin mesra dengan kelompok Islam seiring dengan pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan melemahnya dukungan militer terhadap Orde Baru. </p>
<p>Kekuatan kelompok Islam <a href="https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-1-349-27038-5_6">terus meningkat</a> di Indonesia sebagai akibat tak terduga dari rangkaian proyek modernisasi bernama Pembangunan Lima Tahun (Pelita) sejak 1969. </p>
<p>Pelita dilakukan dalam bentuk antara lain layanan pendidikan publik massal, kesehatan umum, pembangunan irigasi, dan transmigrasi. Pemeluk Islam, sebagai penduduk mayoritas, kemudian menikmati hasilnya sebagaimana terlihat dari makin banyaknya generasi Muslim yang masuk universitas sejak 1990-an - sesuatu yang di luar dugaan Suharto yang semula menganaktirikan Islam. </p>
<p>Kekuatan ini kemudian tak mungkin lagi diabaikan. Ia bahkan menjadi pilihan aliansi politik yang amat strategis. Islam yang dulu dianaktirikan kemudian menjadi “anak emas”. </p>
<p><strong>Kedua</strong>, dalam masyarakat Indonesia terdapat pluralisme semu dan penggunaan agama berlebihan (over-religionisasi) di ruang publik. </p>
<p>Orang Islam yang dulu merasa canggung, sejak 1990-an menjadi percaya diri menggunakan “assalamu’alaikum” di tengah konstelasi politik dan birokrasi yang semakin menerima kelompok Islam. </p>
<p>Demikian tak terbendungnya dominasi Islam khususnya sejak Reformasi, bahkan sebagian non-Muslim kemudian ikut-ikutan mengadopsi “assalamu’alaikum” sebagai salam pembuka pidato resmi. </p>
<p>Mungkin itu adalah bentuk resistansi kelompok non-Muslim untuk menetralkan “assalamu’alaikum” dan menjadikannya sebagai “milik bersama”, atau tindakan untuk menyamarkan identitas kelompok minoritas demi menghindari konsekuensi negatif.</p>
<p>Dalam konteks itulah, tambahan “salam sejahtera bagi kita semua” kemudian dipopulerkan oleh tokoh seperti Gus Dur dan lain-lain. </p>
<p>Dimulai sejak era presiden Megawati, kemudian Susilo Bambang Yudhoyono dan terutama Joko “Jokowi” Widodo, akhirnya kita mengenal salam lintas agama: “Assalamu’alaikum, salam sejahtera, Om Swastiastu, Syalom, Nammo Budaya, Salam Kebajikan.” </p>
<p>Selain menjadi kian rumit, salam ini sesungguhnya justru menyiratkan problem keragaman agama. Akomodasi simbolik ini tetap tak mampu merangkul semua pihak, khususnya para penganut agama lokal. </p>
<p>Inilah bentuk pluralisme yang semu dan merepotkan. Imbauan MUI Jawa Timur adalah salah satu reaksi ekstrem terhadap fenomena pseudo-pluralisme ini.</p>
<p>Mereka yang menolak usul Gus Dur untuk mengganti “assalamu’alaikum” dengan “selamat pagi” maupun imbauan MUI Jawa Timur sama-sama melihat salam sebagai agama.</p>
<p>Padahal menurut saya, meski bisa bernilai agama, mestinya salam cukup ditempatkan sebagai sopan santun relasi sosial biasa. </p>
<p>Dalam relasi sosial, mestinya ucapan “selamat pagi” sudah cukup. <a href="https://www.thejakartapost.com/academia/2018/06/12/high-demand-for-symbols-drive-islamic-black-market.html">Identitas agama tidak perlu ditonjol-tonjolkan di ruang publik</a> karena menurut saya over-religionisasi ruang publik mengistimewakan kaum mayoritas dan meminggirkan kelompok minoritas.</p>
<p>Perhatikan bagaimana mulai kelompok Islam mendapatkan privilese, mulai dari ucapan “assalamu’alaikum” oleh pilot untuk menyapa para penumpang penerbangan komersial yang plural hingga munculnya kos-kosan, perumahan, dan makam khusus Muslim serta imbauan salat Subuh berjemaah oleh kepala daerah. </p>
<p>Penolakan warga baru karena alasan agama atau <a href="https://regional.kompas.com/read/2019/11/15/06360041/fakta-upacara-piodalan-di-bantul-dibubarkan-warga--umat-hindu-butuh-rumah?page=all">pembubaran ritual keagamaan minoritas</a> pun kini semakin tampak “normal”. </p>
<p><strong>Ketiga</strong>, politik identitas di Indonesia semakin mengeras. Terlalu besarnya peran agama di ruang publik akhirnya mendorong politik identitas. Dalam konteks itu, sebagai sistem legitimasi paling efektif, agama lalu dengan mudah digunakan oleh sekelompok orang untuk mendesakkan kepentingan. </p>
<p>Sebagian kelompok Islam kerap menjadi terlalu sensitif ketika kepentingan mereka dipertaruhkan, tapi kehilangan kepekaan ketika mereka melanggar kepentingan kelompok lain. Seakan mayoritas otomatis punya hak yang lebih besar, lebih banyak, dan lebih penting. <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-42184928">Gerakan 212</a> dan yang sejenis adalah contohnya.</p>
<p><strong>Keempat</strong>, multikulturalisme di Indonesia sedang terancam. Di antara <a href="https://www.amazon.com/Multicultural-Citizenship-Liberal-Minority-Political/dp/0198290918">syarat minimal masyarakat multikultural</a> adalah tegaknya prinsip toleransi serta pengakuan dan penghormatan terhadap kelompok lain yang berbeda. Sayangnya, bahkan syarat minimal ini pun sering tak terpenuhi di Indonesia. </p>
<p>Toleransi adalah kemauan dan kemampuan untuk menerima keragaman dan hidup berdampingan secara damai bersama dengan mereka yang berbeda, suka atau tidak suka. </p>
<p>Yang justru banyak berlaku di Indonesia adalah toleransi bersyarat, “asal (minoritas) tidak macam-macam”, seperti tercermin dari sengketa rumah ibadah dan persekusi kelompok mayoritas di luar arus utama di berbagai tempat. </p>
<p>Toleransi bersyarat, penerimaan keragaman sepanjang kaum mayoritas tetap senang, bukanlah toleransi. Di situ tidak ada pengakuan dan penghormatan terhadap pihak lain sebagai anggota yang sederajat. </p>
<h2>Agama dalam kebhinnekaan</h2>
<p>Polemik salam lintas agama sesungguhnya merupakan bagian dari masalah lebih besar terkait ancaman kelangsungan multikulturalisme di Indonesia. </p>
<p>Di ruang publik, agama harus didorong supaya lebih berperan menyediakan landasan dan orientasi etika demi terwujudnya kehidupan bersama yang adil, toleran dan lapang bagi semua. </p>
<p>Agama yang terlalu sibuk mengurus simbol-simbol akhirnya hanya akan disalahgunakan untuk mempertengkarkan hal-hal kecil dan berebut kepentingan sempit jangka pendek. </p>
<p>Sementara, tanggung jawab fundamental untuk mewujudkan keadilan, persaudaraan dan perdamaian justru terabaikan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/126950/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Achmad Munjid tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Polemik ini mencerminkan menguatnya penggunaan agama secara berlebihan di ruang publik dan mengerasnya politik identitas.Achmad Munjid, Assistant Professor of Religious Studies and Literature, Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1131932019-03-12T03:32:08Z2019-03-12T03:32:08ZDemi Indonesia yang damai, kata kafir memang sebaiknya dihapus<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/263085/original/file-20190311-86713-9f3ydd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Secara teologis, konsep kafir memang tetap diperlukan, tetapi tidak dalam kehidupan berbangsa. </span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/home">www.shutterstock.com</a></span></figcaption></figure><p>Rekomendasi Nahdlatul Ulama (NU) agar istilah kafir tidak digunakan untuk menyebut warga negara non-Muslim lewat keputusan <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2019/03/01/nu-calls-for-end-to-word-infidels-to-describe-non-muslims.html">hasil Musyawarah Nasional (Munas) NU</a> beberapa waktu yang lalu mengundang pro dan kontra.</p>
<p>Adu argumen dan saling tuding antara yang setuju dan tidak setuju memenuhi media massa dan media sosial.</p>
<p>Artikel ini akan memetakan perdebatan tersebut. Bagi saya sebagai ahli kajian agama yang menekuni penelitian mengenai dialog antar-agama, toleransi dan kebebasan beragama, polemik ini adalah momentum yang baik untuk mendorong diskusi yang bermakna demi terciptanya kehidupan demokrasi yang lebih baik di Indonesia. </p>
<h2>Menyisir perdebatan</h2>
<p>Rekomendasi penghapusan kata kafir yang kontroversial itu adalah tanggapan NU terhadap sejumlah kasus diskriminasi politik yang belakangan makin kerap dialami oleh warga negara <a href="https://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/pnsdsp384/nasional/news-analysis/19/03/02/pnqn64409-latar-belakang-pbnu-memutuskan-tak-gunakan-istilah-kafir">non-Muslim</a>. </p>
<p>Kelompok yang menolak mempertanyakan landasan agama dari rekomendasi ini. Kelompok ini heran mengapa tiba-tiba ada orang Islam yang terganggu dengan istilah yang digunakan oleh Allah dan Rasul-Nya. “Apa mereka mau mengganti semua kata kafir dalam Alquran dan ketetapan-ketetapannya? Muslim macam apa itu?” begitu ujar pihak-pihak yang menolak.</p>
<p>Lho, rekomendasi ini memang sama sekali tidak untuk menegasikan penggunakan istilah kafir sebagai konsep teologis, balas pihak yang sepakat dengan penghapusan istilah ini.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/dari-kafir-ke-non-muslim-dan-ide-kesetaraan-di-pesantren-dan-nu-113120">Dari 'kafir' ke 'non-Muslim' dan ide kesetaraan di pesantren dan NU</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Menurut mereka, secara teologis, kafir adalah konsep yang tetap diperlukan. Itu istilah yang tercantum dalam Alquran, hadits dan semua kajian kitab klasik untuk membedakan antara yang beriman dan tidak beriman. Tetapi rekomendasi ini diberikan dalam konteks relasi antar-warga negara. Untuk Indonesia yang bukan negara Islam dan masyarakatnya plural, kategori teologis agama tertentu tidak semestinya digunakan dalam pengelolaan kehidupan berbangsa. </p>
<p>Argumen lain yang digunakan kelompok yang menentang rekomendasi ini adalah persepsi mereka bahwa Islam telah menjadi kelompok yang disisihkan. Kepentingan dan posisi orang Islam sebagai kelompok mayoritas di Indonesia kerap disingkirkan bahkan dikorbankan. Buktinya tokoh-tokoh Islam banyak yang dituduh sebagai aktor radikal bahkan teroris. Gerak-gerik umat Islam kerap dicurigai. <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44026822">Hizbut Tahrir Indonesia sebagai organisasi Islam dilarang</a>. Banyak ulama mengalami <a href="https://indeks.kompas.com/tag/kriminalisasi-ulama">kriminalisasi</a>. </p>
<p>Sebaliknya, mereka yang pro rekomendasi Munas NU tidak sepakat bahwa Islam mengalami ketidakadilan. </p>
<p>Sejak era 1990-an umat Islam telah kian mendominasi birokrasi dan jabatan-jabatan strategis dari tingkat lokal hingga nasional. </p>
<p>Kini bahkan Islam sudah menjadi “<a href="https://nuspress.nus.edu.sg/products/islamisation-and-its-opponents-in-java">kekuatan yang tak terbendung</a>.” Hal ini bisa dilihat dari meluasnya penggunaan atribut Islam dalam birokrasi dan di ruang publik, termasuk <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180201083323-20-273067/aceh-wajibkan-pramugari-berhijab-maskapai-pilih-pramugara">aturan wajib berjilbab bagi pramugari ketika masuk Aceh.</a> Di mana-mana pemeluk agama Islam telah mendapat keistimewaan dan menjadi anak emas. </p>
<h2>Mengapa istilah kafir perlu dihapus</h2>
<p>Saya sendiri sepakat dengan penghapusan istilah kafir supaya tidak ada penganakemasan terhadap suatu kelompok agama tertentu dan penganaktirian kelompok yang lain. </p>
<p>Saya akan mencoba membahas argumen-argumen yang dilontarkan oleh kelompok yang menolak rekomendasi NU dari sudut pandang yang berbeda. </p>
<p><strong>1. Penggunan kata kafir secara hati-hati</strong></p>
<p>Saya tak menyangkal bahwa kata kafir adalah bagian penting dari Firman Allah. Di Alquran bahkan ada surat khusus <a href="https://quran.com/109">Al Kafirun</a>.</p>
<p>Tapi hati-hati, penggunaan kata kafir tidak bisa serampangan. </p>
<p>Secara eksplisit, Alquran <a href="https://quran.com/2/62-72">Surat Al Baqarah ayat 62</a> dan <a href="https://quran.com/5/69-79">Surat Al Maidah ayat 69</a> mengatakan bahwa Yahudi dan Kristen adalah agama yang valid. Dengan kata lain, penganutnya adalah juga kaum beriman, bukan kafir. </p>
<p>Sebaliknya, ketika membahas Alquran <a href="https://quran.com/49/14?translations=20">Surat Al Hujurat ayat 14</a>, <a href="https://www.britannica.com/biography/Ibn-Kathir">Ismail bin Umar al-Quraisyi bin Katsir</a> atau yang lebih dikenal sebagai Ibnu Katsir menyatakan bahwa ber-Islam (mengaku Islam secara formal) tidak otomatis sama dengan “beriman”, jika “iman belum turun ke dalam hatimu”. </p>
<p>Karenanya, non-muslim tidak otomatis kafir. Menjadi muslim tidak otomatis menjadi orang beriman, meski idealnya demikian. </p>
<p>Kafir merujuk kepada siapa saja yang tertutup, menutup diri atau menentang kebenaran Tuhan. Dia bisa orang yang mengaku beragama Islam atau bukan. Setiap orang punya potensi dan derajat kafirnya sendiri-sendiri. </p>
<p><strong>2. Menolak tuntutan Islam politik</strong></p>
<p>Penolakan penghapusan kata kafir ini kental nuansa politiknya. Argumen bahwa Islam menjadi korban dan ditindas hanya dipakai oleh kelompok-kelompok tertentu untuk mendorong kepentingan politiknya. </p>
<p>Kelompok ini bermacam-macam. Ada yang menghendaki supaya negara mengutamakan kepentingan mayoritas Muslim dengan melakukan tekanan-tekanan seperti kerap dilakukan Front Pembela Islam (FPI). Ada yang menghendaki berdirinya negara Islam, bahkan khilafah Islamiyah. Meski mengatasnamakan agama, semuanya berorientasi politis. </p>
<p>Kelompok Islam politik ini menunggangi agama untuk kepentingan sempit golongannya. Hal ini terlihat dari <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39035135">gerakan 212 yang mengalahkan Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang lalu dan mengirimnya ke penjara.</a>.</p>
<p>Kehadiran kelompok-kelompok Islam politik ini telah membuat hubungan antar umat beragama yang berbeda menjadi tegang bahkan mengundang konflik. </p>
<h2>Demi Indonesia yang plural dan damai</h2>
<p>Dalam wacana kehidupan negara-bangsa Indonesia yang plural dan bukan negara Islam, penggunaan istilah kafir untuk merujuk non muslim berpotensi mendorong mereka menjadi warga negara kelas dua. Kecenderungan tersebut tampak semakin menguat belakangan ini. </p>
<p>Penolakan terhadap lurah, <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-38565426">camat</a> , pimpinan lembaga hingga calon <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190115135955-32-360979/ahok-sang-pemicu-rentetan-aksi-bela-islam-dan-nama-besar-212">gubernur</a>, penyerangan <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-43021264">rumah ibadah</a> dan, bahkan, <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2018/12/19/burial-christian-test-tolerance-yogyakarta-village.html">kuburan warga non-Muslim</a> merupakan contoh. </p>
<p>Sejalan dengan apa yang telah dirintis pemikir Muslim terkemuka seperti Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Nurcholish Madjid, agama harusnya dijadikan sebagai pedoman moral untuk mewujudkan kehidupan yang adil, lapang, damai dan bermartabat bagi manusia di tengah sesamanya, bukan sebagai pemecah bangsa.</p>
<p>Alih-alih menuntut, Islam harus menjadi anugerah bagi semesta. Muslim Indonesia harus lebih banyak berupaya menawarkan apa yang bisa mereka berikan, bukan apa yang mereka tuntut dari bangsanya. Islam harus menjadi bagian dari solusi, alih-alih bagian dari masalah. </p>
<p>Sebagai mayoritas, umat Islam harus mengambil inisiatif menjangkau yang lain dan membangun kerja sama untuk menyelesaikan masalah-masalah kebangsaan dan kemanusiaan.</p>
<p>Di dalam masyarakat plural yang menganut sistem demokrasi, perlakuan terhadap kelompok minoritas merupakan indikator penting tentang sehat atau tidaknya relasi sosial. Dalam konteks itu, rekomendasi Munas NU untuk tidak menggunakan kata kafir dalam kehidupan berbangsa merupakan upaya konstruktif demi mewujudkan kesetaraan dan keadilan setiap warga negara, demi tercapainya Indonesia sebagai rumah bersama yang memanusiakan setiap penghuninya. </p>
<p><em>Jamiah Solehati ikut berkontribusi dalam penerbitan artikel ini</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/113193/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Achmad Munjid tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Tidak menggunakan kata kafir dalam kehidupan berbangsa merupakan upaya demi mewujudkan kesetaraan dan keadilan tiap warga negara.Achmad Munjid, Assistant Professor of Religious Studies and Literature, Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.