tag:theconversation.com,2011:/au/topics/tahanan-94350/articlestahanan – The Conversation2021-03-18T06:51:47Ztag:theconversation.com,2011:article/1565762021-03-18T06:51:47Z2021-03-18T06:51:47ZNapi terorisme perempuan: dianggap berperan kecil di jaringan teroris, terpinggirkan di penjara<p>Perkembangan sistem penanganan napi teroris perempuan tidak secepat peningkatan jumlah. Stereotip keliru tentang napi terorisme perempuan - antara kolaborator pasif atau monster dengan gangguan jiwa - serta jumlah mereka yang relatif sedikit membuat mereka bukan prioritas. </p>
<p>Akibatnya, pembinaan napi teroris perempuan dibebankan secara tidak seimbang kepada lembaga pemasyarakatan (lapas), khususnya wali pemasyarakatan. Mereka harus berinovasi dari prosedur yang ada dan mencoba berbagai cara untuk membina napi teroris. </p>
<p>Padahal, itu tidak cukup untuk mengakomodasi kebutuhan dan memonitor dinamika napi teroris perempuan dalam penjara, misalnya mengasuh anak, pentingnya menjaga aurat, dan berinteraksi dengan lawan jenis. </p>
<p>Namun, sebuah peraturan presiden baru tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (<a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/157948/perpres-no-7-tahun-2021">RAN-PE</a>), yang disahkan Januari ini, diharapkan bisa mengatasi hal ini. </p>
<h2>Perempuan dalam jaringan kekerasan</h2>
<p><a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44097913">Aksi Bom Surabaya</a> di Jawa Timur pada 2018 yang dilakukan satu keluarga, termasuk ibu dan anak-anaknya, cukup membuka mata publik akan peran perempuan dalam aksi teror. </p>
<p>Sayangnya, stereotip bahwa perempuan hanya berperan sebagai pemeran pendukung dan tidak memiliki keberdayaan masih kental. Selama ini, citra perempuan dalam jaringan terorisme terkesan liyan. </p>
<p>Perempuan seringkali dianggap secara naluriah cinta damai dan diposisikan sebagai <a href="https://genderandsecurity.org/projects-resources/research/duped-examining-gender-stereotypes-disengagement-and-deradicalization">korban yang mudah terperdaya</a>. </p>
<p>Mereka dianggap tidak berdaya dan hanya dimanfaatkan oleh jaringannya karena <a href="https://www.liputan6.com/news/read/4283057/bnpt-perempuan-banyak-dilibatkan-dalam-terorisme-karena-setia">loyal, setia, dan patuh</a> terhadap suami dan ajaran agama.</p>
<p><a href="https://asumsi.co/post/riset-bnpt-2020-perempuan-paling-potensial-terpapar-radikalisme">Riset Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tahun lalu</a> menyatakan perempuan paling potensial terpapar radikalisme karena mudah mendapat pengaruh dari sekitar. Padahal perbedaan jumlah perempuan dan laki-laki yang terpapar radikalisme dalam riset itu hanya 0.2%. </p>
<p>Kalaupun ada kasus perempuan yang terlibat aktif dalam aksi kekerasan, sosoknya digambarkan <a href="https://tirto.id/polisi-terduga-teroris-perempuan-lebih-militan-dibanding-laki-laki-djwU">lebih militan</a>, seperti monster, bahkan memiliki gangguan kejiwaan. </p>
<p>Asumsi pasifnya peran perempuan dalam kelompok ekstremis kekerasan sebenarnya sudah <a href="http://www.understandingconflict.org/en/conflict/read/58/Mothers-to-Bombers-The-Evolution-of-Indonesian-Women-Extremists">sangat usang</a>.</p>
<p>Stereotip lama yang terus menjadi dasar pengambilan kebijakan berpotensi menghambat upaya pencegahan dan deradikalisasi. </p>
<p>Peran perempuan dalam kelompok teror disepelekan; ini mempermudah kelompok teror untuk memanfaatkan mereka dalam aksi-aksinya. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/pentingnya-melibatkan-organisasi-masyarakat-sipil-dalam-program-deradikalisasi-pemerintah-132363">Pentingnya melibatkan organisasi masyarakat sipil dalam program deradikalisasi pemerintah</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Penanganan dan pembinaan dalam Lapas</h2>
<p>Dalam lima tahun ke belakang, jumlah tahanan dan napi teroris perempuan meningkat signifikan. Institute for Policy Analysis for Conflict (IPAC) <a href="http://www.understandingconflict.org/en/conflict/read/97/Extremist-Women-Behind-Bars-in-Indonesia">mencatat</a> jumlah tahanan dan napi teroris perempuan mencapai 39 orang antara tahun 2000-2020. Di tahun 2018-2019 saja, kepolisian menangkap lebih dari 30 terduga teroris perempuan. </p>
<p>Sebagian besar tahanan perempuan ditempatkan di Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, sementara 11 narapidana per akhir 2020 ditempatkan di sembilan lembaga permasyarakatan (lapas) di seluruh Indonesia. </p>
<p>Ini berarti hanya satu atau dua orang napi terorisme perempuan di setiap lapas, dan memudahkan pengawasan dan pembinaan secara intensif. </p>
<p>Namun, kemampuan lapas dalam menangani napi terorisme perempuan tidak seragam. </p>
<p>Absennya standar prosedur operasi untuk napi terorisme perempuan menjadikan penanganan semakin pelik.</p>
<p>Petugas lapas, yaitu wali pemasyarakatan, pada akhirnya harus berinovasi dalam mengembangkan program pembinaan bagi napi terorisme perempuan.</p>
<p>Beberapa wali lebih berpengalaman karena beberapa kali mendampingi napi teroris dan telah mengikuti pelatihan khusus, tapi sebagian besar lainnya tidak. </p>
<p>Peran wali sangat krusial dalam program pembinaan karena mereka yang sehari-hari berinteraksi dengan napi. </p>
<p>Rasa percaya dan komunikasi yang terus mereka bangun dengan napi, dalam banyak kasus, mampu mengubah kerasnya hati napi menjadi lebih terbuka. </p>
<p>Hal ini dibantu dengan lingkungan dan teman-teman satu sel yang mendukung perkembangan napi, serta kontrol lapas untuk menjauhkan mereka dari pengaruh kelompok ekstremis, dan menghubungkan kembali dengan keluarga dan relasi lama dari luar kelompok ekstremis. </p>
<p>Upaya-upaya seperti ini seringkali <a href="http://www.understandingconflict.org/en/conflict/read/97/Extremist-Women-Behind-Bars-in-Indonesia">lebih efektif</a> dibandingkan program formal seperti konseling keagamaan dan wawasan kebangsaan yang menekankan pada ‘NKRI harga mati’. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bagaimana-propaganda-teroris-meradikalisasi-perempuan-98773">Bagaimana propaganda teroris meradikalisasi perempuan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Aspek penting lainnya adalah pengukuran risiko yang mencakup penilaian psikologis dan tingkat radikalisme. </p>
<p>Hasil pengukuran ini digunakan untuk penempatan napi dalam sel, derajat keamanan yang perlu dipersiapkan lapas, serta penyusunan program pembinaan dalam lapas. </p>
<p>Hingga saat ini, <a href="https://journals.sfu.ca/jd/index.php/jd/article/view/317">belum ada kesepakatan</a> instrumen pengukuran risiko yang paling efektif dan efisien untuk digunakan pada napi terorisme di lapas, baik laki-laki, perempuan, maupun anak. </p>
<p>Isu-isu ini tidak terlepas dari permasalahan umum di lapas perempuan: <a href="https://www.insideindonesia.org/overcrowding-crisis">kelebihan kapasitas</a>, <a href="https://www.ombudsman.go.id/produk/lihat/321/SUB_BL_5a25a712a8fc9_file_20200127_162304.pdf">maraknya korupsi</a>, minimnya <a href="https://www.emerald.com/insight/content/doi/10.1108/IJPH-06-2017-0031/full/html">fasilitas kesehatan untuk ibu hamil dan menyusui</a>, serta kurangnya perhatian pada kesehatan mental napi. </p>
<p>Berdasarkan <a href="https://www.who.int/bulletin/volumes/87/6/09-066928/en/">studi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)</a> pada 2009, napi perempuan lebih rentan mengalami permasalahan psikologis karena berbagai faktor, termasuk di antaranya pengalaman kekerasan serta rasa cemas dan trauma setelah berpisah dengan anak. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/analisis-pemerintah-perlu-memulangkan-keluarga-eks-isis-132001">Analisis: pemerintah perlu memulangkan keluarga eks ISIS</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Acuan penanggulangan dan pencegahan ektremisme</h2>
<p>Setelah tertunda lebih satu tahun karena pandemi COVID-19, Januari kemarin, pemerintah akhirnya mengesahkan <a href="https://setkab.go.id/inilah-perpres-rencana-aksi-nasional-pencegahan-dan-penanggulangan-ekstremisme-berbasis-kekerasan/">acuan</a> untuk pencegahan dan penanggulangan ekstremisme yang melibatkan kekerasan dan mengarah pada terorisme. </p>
<p>Salah satu fokus dalam RAN-PE adalah pentingnya pengembangan mekanisme pengukuran risiko dan pengelolaan napi teroris perempuan dan anak yang dipimpin oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas). </p>
<p>Hal tersebut sedikit banyak menjawab permasalahan sistem penanganan tahanan dan napi teroris perempuan yang sejauh ini belum komprehensif. </p>
<p>Perubahan penanganan napi teroris perempuan tidak hanya melibatkan aspek teknis-administratif, tetapi juga persoalan cara pikir.</p>
<p>Pemerintah di segala lini perlu memahami bahwa perempuan memiliki peran yang sama aktifnya dengan laki-laki. Oleh karena itu, pendalaman pada peran dan jaringan perempuan juga sama diperlukannya seperti jaringan laki-laki. </p>
<p>Perlunya pemahaman ini juga memperkuat alasan untuk meningkatkan kemampuan personel, baik di kepolisian maupun petugas lapas terkait perspektif gender. </p>
<p>Ini bukan berarti menambah personel perempuan semata, seperti yang telah dilakukan beberapa tahun ke belakang, melainkan memastikan bahwa petugas mampu membuat inovasi program dan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan napi teroris perempuan. </p>
<p>Terkait penanganan dalam lapas, Ditjenpas perlu mengembangkan standar prosedur penanganan napi terorisme perempuan yang mengakomodasi aspek hak asasi manusia perempuan, sambil mempertimbangkan aspek keamanan dan efektivitas program pembinaan. </p>
<p>Sistem pemberian insentif kepada wali/pamong yang kreatif dan inovatif juga diperlukan untuk memberikan dorongan kepada mereka.</p>
<p>Ditjenpas dan BNPT juga perlu sepakat bahwa pakta setia pada Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan menjadi tujuan utama dalam program pembinaan, melainkan rasa percaya dan terbangunnya hubungan yang baik dengan napi sehingga ada perubahan sikap dari menerima ke menolak kekerasan. </p>
<p>Terakhir, kita perlu memastikan proses reintegrasi ke masyarakat dapat berjalan dengan baik. </p>
<p>Stigma dan pelabelan pada napi teroris perempuan dan istri napi teroris mempersulit ruang gerak mereka untuk berfungsi dalam masyarakat seperti biasa. </p>
<p>Akibatnya, mereka akan kembali ke jaringan lama yang pasti akan menerima mereka. Di sinilah, peran aktif kita diperlukan untuk merangkul mereka kembali.</p>
<hr>
<p><em>Catatan penulis: tulisan ini disusun berdasarkan laporan IPAC <a href="http://www.understandingconflict.org/en/conflict/read/97/Extremist-Women-Behind-Bars-in-Indonesia">“Extremist Women Behind Bars in Indonesia</a>” yang terbit pada 21 September 2020.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/156576/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Dyah Ayu Kartika tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Penanganan secara komprehensif mencakup penentuan instrumen penilaian tingkat radikalisasi dan risiko keamanan, penanganan dalam lapas, pembinaan napi, dan program reintegrasi pasca bebas.Dyah Ayu Kartika, Analis, Institute for Policy Analysis of Conflict Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1563042021-03-16T02:24:45Z2021-03-16T02:24:45ZLayakkah prioritas vaksin COVID-19 untuk tahanan korupsi?<p>Bulan lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kementerian Kesehatan melakukan vaksinasi terhadap <a href="https://nasional.tempo.co/read/1436676/publik-kritik-vaksin-covid-19-untuk-tahanan-korupsi-begini-kpk-menjawab">39 dari 61 tahanan</a>. Kebijakan itu cepat menimbulkan polemik.</p>
<p>Masyarakat mempertanyakan apa urgensinya tahanan KPK mendapat vaksin lebih dulu ketimbang dibandingkan tahanan dan narapidana yang berada di lembaga pemasyarakatan (lapas) lain. </p>
<p>Selain itu <a href="https://theconversation.com/menyanggah-keputusan-pemerintah-prioritaskan-vaksinasi-covid-19-untuk-umur-18-59-tahun-153543">masalah</a> <a href="https://theconversation.com/mempersoalkan-keputusan-pemerintah-tak-prioritaskan-vaksinasi-covid-19-untuk-masyarakat-adat-154942">prioritas</a> vaksin di luar penjara pun belum usai. </p>
<p>Tahanan KPK seharusnya bukan penerima vaksin prioritas baik berdasarkan situasi penahanan yang mereka jalani ataupun atas kejahatan yang telah mereka lakukan.</p>
<h2>Prioritas vaksin</h2>
<p>Direktorat Jenderal (Ditjen) Pemasyarakatan – lembaga di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang mengurusi pemasyarakatan – baru sampai tahap melakukan identifikasi kebutuhan penerima vaksin baik untuk petugas, pejabat dan tahanan serta narapidana di lingkungan lapas.</p>
<p>Per Februari lalu, <a href="http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/current/monthly">data Ditjen Pemasyarakatan</a> mencatat jumlah tahanan dan narapidana mencapai 252.999 orang dengan komposisi jumlah tahanan 48.509 dan jumlah narapidana 204.805. </p>
<p>Sementara kapasitas rumah tahanan (rutan) dan lapas sebesar 135.704 orang. Maka saat ini narapidana yang ditahan jumlahnya 86% melebihi dari kapasitas (<em>overcrowding</em>) yang ada, sebuah kondisi yang jauh dari kata layak.</p>
<p>Dari 525 rutan dan lapas yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, 395 di antaranya mengalami <em>overcrowding</em>. </p>
<p>Prioritas pemberian vaksin seharusnya diberikan pada tempat yang memang mengalami <em>overcrowding</em> karena mengalami <a href="https://www.hrw.org/news/2020/03/30/covid-19-threatens-indonesias-overcrowded-prisons">risiko penularan wabah</a> lebih besar. </p>
<p>Skala prioritas untuk tahanan selanjutnya dapat dilakukan berdasarkan kerentanan dalam konteks kelompok usia misalnya kelompok lanjut usia dan – dalam beberapa jenis vaksin – anak, serta ibu menyusui. </p>
<p>Kondisi kesehatan para narapidana kemudian menjadi kriteria berikut untuk menentukan prioritas. </p>
<p>Vaksin produksi Sinovac yang <a href="https://kesehatan.kontan.co.id/news/10-juta-vaksin-sinovac-sudah-diterima-pemerintah-indonesia">digunakan pemerintah</a>, misalnya, <a href="https://kesehatan.kontan.co.id/news/17-kelompok-masyarakat-yang-tidak-bisa-divaksin-covid-19-sinovac">tidak dapat diberikan</a> kepada orang-orang yang memiliki kondisi atau riwayat medis, seperti diabetes melitus, asma dan TBC, kecuali dalam kondisi tertentu.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/setelah-vaksinasi-apakah-covid-19-akan-segera-terkendali-156943">Setelah vaksinasi, apakah COVID-19 akan segera terkendali?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Piramida kejahatan</h2>
<p>Selain situasi penahanan, ada juga pertimbangan derajat perbuatan jahat yang telah dilakukan.</p>
<p><a href="https://sociology.northwestern.edu/people/faculty/core/john-hagan.html">John Hagan</a> – profesor sosiologi dan hukum di Northwestern University, Illinois, Amerika Serikat (AS) – pada tahun 1985 membuat alat ukur kejahatan yang kemudian disebut <a href="https://www.ukessays.com/essays/criminology/examining-the-concept-of-crime-and-its-dimensions-criminology-essay.php">piramida kejahatan</a>. </p>
<p>Menurut Hagan, perbedaan keseriusan kejahatan bergantung pada tiga dimensi yang masing-masing mempunyai rentang dari peringkat rendah/ringan hingga peringkat tinggi/berat. </p>
<p>Dimensi pertama adalah <em>agreement about the norm</em> atau persetujuan, yaitu derajat benar atau salah suatu tindakan berdasarkan kesepakatan atau konsensus oleh masyarakat.</p>
<p>Dimensi kedua adalah <em>severity of societal response</em> yaitu keseriusan respons masyarakat yang tercantum dalam hukum. </p>
<p>Respons sosial ini mulai dari pengabaian, pemberian peringatan, denda, penghukuman penjara, bahkan hukuman mati. Menurut Hagan, semakin serius ancaman hukuman yang dirumuskan, semakin luas dukungan masyarakat terhadap sanksi tersebut, dan semakin serius penilaian masyarakat terhadap tindakan tersebut.</p>
<p>Dimensi ketiga adalah <em>evaluation of social harm</em> yang dirumuskan Hagan sebagai dampak relatif suatu kejahatan berdasarkan akibat yang dihasilkannya. </p>
<p>Ada pelanggaran hukum yang dampaknya hanya diderita pelanggar, seperti penyalahgunaan narkotika, berjudi, pelacuran dan perilaku lain-lain yang menyimpang. </p>
<p>Ada pula pelanggaran hukum yang merugikan orang lain baik dalam jumlah sedikit hingga pelanggaran hukum yang merugikan banyak orang, misalnya kerugian yang diakibatkan oleh perusahaan yang menjual produk membahayakan kesehatan atau bahkan mematikan.</p>
<p>Piramida kejahatan Hagan dapat menjadi masukan tambahan untuk penentuan pemberian prioritas vaksin bagi tahanan dan narapidana.</p>
<p>Prioritas dapat diberikan dengan memberi vaksin pada pelaku kejahatan ringan terlebih dulu sebelum diberikan kepada pelaku kejahatan berat seperti terorisme dan kejahatan luar biasa seperti <a href="http://e-pushamuii.org/content/3-korupsi-sebagai-extra-ordinary-crime">korupsi</a>. </p>
<p><a href="https://www.britannica.com/biography/John-Rawls">John Rawls</a> – seorang filsuf politik asal AS – dalam buku <a href="https://core.ac.uk/download/pdf/267855963.pdf">A Theory of Justice</a> mengusung “justice as fairness”, yakni sebuah kondisi yang membutuhkan hadirnya keadilan dalam suatu masyarakat plural yang setara. </p>
<p>Menurut Rawls, keadilan merupakan kebajikan utama dalam sebuah institusi sosial. Hal ini juga berlaku pada konteks pemberian vaksin; dalam hal ini negara memiliki peran. </p>
<p>Jika prioritas vaksin untuk tahanan dan narapidana dilakukan dengan layak dan tepat, tentu tidak akan timbul kegaduhan.</p>
<p>Kementerian Kesehatan yang membidangi isu kesehatan dan penanganan COVID-19 haruslah proaktif dan mengedepankan asas keadilan ini dalam distribusi dan pemberian vaksin terhadap tahanan dan narapidana.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/5-hal-penting-terkait-pengaruh-virus-corona-varian-baru-dari-inggris-masuk-indonesia-156574">5 hal penting terkait pengaruh virus corona varian baru dari Inggris masuk Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Kebijakan yang didukung</h2>
<p>Pemberian vaksin terhadap tahanan dan narapidana perlu didukung karena walau bagaimanapun mereka yang sedang menjalani masa hukuman adalah warga negara Indonesia juga. Termasuk di dalamnya adalah tahanan kasus korupsi. </p>
<p>Hanya saja pada kasus ini, tahanan KPK bukan merupakan prioritas penerima vaksin baik berdasarkan situasi penahanan atau dalam konteks berat-ringan kejahatan.</p>
<p>Pemerintah sendiri telah menetapkan korupsi <a href="https://bphn.go.id/data/documents/kpd-2011-7.pdf">sebagai kejahatan luar biasa</a> (<em>extra ordinary crime</em>). </p>
<p>Selanjutnya perlu ada pemeriksaan terlebih dahulu untuk memastikan tahanan KPK masuk dalam kategori kelompok rentan yang perlu segera menerima vaksin.</p>
<p>Kesadaran bersama diperlukan untuk pentingnya memelihara keadilan, dalam hal ini dalam pertimbangan pemilihan prioritas penerima vaksin. </p>
<p>Segala kebijakan pemerintah yang baik, layak, dan terukur tentu akan mendapat dukungan dari masyarakat tanpa keraguan sedikit pun.</p>
<p><em>Rinaldi Ikhsan Nasrulloh, seorang manajer program di Yayasan Ruang Damai, berkontribusi pada penulisan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/156304/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Leebarty Taskarina tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Tahanan KPK seharusnya bukan penerima vaksin prioritas baik berdasarkan situasi penahanan yang mereka jalani ataupun atas kejahatan yang telah mereka lakukan.Leebarty Taskarina, Doctoral student, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1470402020-10-16T09:01:55Z2020-10-16T09:01:55ZKelompok rentan kian kesulitan mengakses bantuan hukum selama pandemi. Terobosan perlu dilakukan<p>Tidak hanya masalah kesehatan dan ekonomi, pandemi juga menimbulkan banyak isu hukum di tengah masyarakat seperti ancaman terhadap kebebasan sipil dan kekerasan terhadap perempuan. Bantuan hukum menjadi layanan yang semakin dibutuhkan.</p>
<p>Beberapa kelompok seperti buruh dan ibu rumah tangga menjadi semakin rentan terhadap pemutusan hubungan kerja sepihak dan kekerasan dalam rumah tangga selama wabah. </p>
<p>Walau para pemberi bantuan hukum telah berupaya untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan untuk menjaga jarak fisik dan sosial, hambatan tetap ada.</p>
<p>Situasi serupa terjadi di seluruh dunia. Kita bisa mempelajari cara-cara yang berhasil di negara lain.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/masalah-akses-kesehatan-membuat-kelompok-menengah-bawah-rentan-dalam-pandemi-covid-19-138115">Masalah akses kesehatan membuat kelompok menengah-bawah rentan dalam pandemi COVID-19</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Masalah meningkat</h2>
<p>Selama pandemi, ancaman terhadap hak-hak asasi, politik, dan ekonomi meningkat.</p>
<p>Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) <a href="https://kontras.org/2020/05/11/15985/">mencatat</a> dalam kurun waktu 5 Maret- 21 April 2020, tercatat 93 peristiwa penindakan oleh aparat yang mengancam kebebasan sipil selama masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). </p>
<p>Beragam pihak, termasuk <a href="https://www.amnesty.id/peretasan-tempo-dan-pandu-riono-serangan-terhadap-kebebasan-berekspresi/">aktivis dan pakar kesehatan</a>, keras mengkritik langkah dan kinerja pemerintah dalam menangani wabah.</p>
<p>Peristiwa yang dicatat KontraS termasuk penangkapan sewenang-wenang (17 kasus), penangkapan dengan tuduhan penghinaan pejabat negara (8) dan penanganan hoax (41), dan problem akses terhadap bantuan hukum pada <a href="https://news.detik.com/berita/d-5005152/ylbhi-kritik-mekanisme-penangkapan-aktivis-ravio-patra-oleh-polisi">pendampingan kasus</a>.</p>
<p>Sebelum pandemi, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Jakarta <a href="https://www.mampu.or.id/kegiatan/lbh-apik-perempuan-rentan-tertular-virus-rentan-juga-menjadi-korban-kekerasan-di-masa-pandemi-covid-19/">rata-rata</a> menerima 60 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan setiap bulannya. </p>
<p>Dalam periode 16 Maret hingga 19 April, LBH Apik Jakarta menerima 97 laporan kasus - atau melonjak lebih dari 60%.</p>
<p>Catatan tersebut menunjukkan peningkatan kasus terjadi karena beban perempuan bertambah besar selama masa pembatasan fisik dan sosial, khususnya perempuan dalam keluarga dengan budaya patriarkis. </p>
<p>Buruh juga menghadapi sejumlah masalah saat pandemi COVID-19. Misalnya, upah yang <a href="https://www.merdeka.com/peristiwa/lbh-papua-minta-pemerintah-jamin-perlindungan-buruh-saat-pandemi-covid-19.html?page=2">tidak sesuai</a> hingga ancaman “diistirahatkan” padahal dipecat tanpa uang pesangon. </p>
<p>Ini diperparah dengan tertutupnya informasi dari perusahaan mengenai jumlah karyawan yang terinfeksi COVID-19.</p>
<h2>Masalah pendampingan bantuan hukum selama pandemi</h2>
<p>Tantangan-tantangan pendampingan bantuan hukum dapat dikelompokkan menjadi tiga isu, yakni kesenjangan digital, kesejahteraan pemberi bantuan hukum, dan minimnya pemahamanan kasus baru.</p>
<p>Pertama, kesenjangan digital. Pandemi memaksa para pemberi bantuan hukum untuk menggunakan teknologi digital. </p>
<p>Namun, banyak dari mereka yang kurang cakap untuk memanfaatkan teknologi-teknologi yang baru berkembang dewasa ini seperti <em>video conference</em>.</p>
<p>Kedua, kesejahteraan. Pemberi bantuan hukum mengalami penurunan pendapatan di tengah pandemi. </p>
<p>Tidak semua pemberi bantuan hukum menjadikan pekerjaan ini sebagai sumber pendapatan utama karena realitanya anggaran dari negara (dalam hal lewat Badan Pembinaan Hukum Nasional atau BPHN) ataupun organisasi tempat ia bernaung tidak mencukupi kebutuhan hidupnya. </p>
<p>Sehingga, banyak dari mereka yang meninggalkan pelayanannya memberikan bantuan hukum dan berfokus mencari sumber pendapatan baru.</p>
<p>Ketiga, munculnya beberapa jenis kasus baru yang belum pernah dihadapi oleh pemberi bantuan hukum sebelumnya. </p>
<p>Dua jenis kasus baru yang sering dihadapi kini adalah perlindungan hak atas akses kesehatan ke rumah sakit rujukan COVID-19 dan maladministrasi bantuan sosial. </p>
<p>Banyak dari pemberi bantuan hukum tidak memiliki informasi dan kemampuan yang cukup untuk menangani kasus-kasus tersebut.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/di-indonesia-analisis-ungkap-perempuan-miskin-yang-paling-menderita-selama-pandemi-covid-19-146676">Di Indonesia, analisis ungkap perempuan miskin yang paling menderita selama pandemi COVID-19</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Adaptasi pemberi bantuan</h2>
<p>Untuk menjawab kebutuhan bantuan hukum dan tantangan pencegahan penularan virus pada masa pandemi, berbagai pengurus organisasi bantuan hukum <a href="https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e97116aef2c9/covid-19-menghambat--layanan-bantuan-hukum-gratis-diberikan-secara-daring?page=all">mengoptimalkan saluran-saluran</a> yang ada untuk menghindari kerumunan dalam pelayanan bantuan hukum.</p>
<p>LBH Ansor, misalnya, membuka posko layanan online khusus untuk masalah hukum akibat wabah. Para pencari keadilan juga difasilitasi konsultasi video jarak jauh lewat layanan Zoom. </p>
<p>Sementara itu, jaringan lembaga bantuan hukum di bawah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) memaksimalkan alamat surel dan nomor telepon yang diaktifkan pada jam layanan. Nomor kontak tersebut diumumkan lewat situs internet dan akun media sosial masing-masing kantor LBH. </p>
<p>Mereka juga menambah layanan pesan teks seperti WhatsApp karena para pengacara publik tak lagi berkumpul di kantor.</p>
<p>Pemanfaatan layanan daring juga dilakukan LBH Bogor. LBH mengirimkan draf surat kuasa ke calon klien secara daring, lalu setelah diteken dikirimkan kembali ke kantor LBH Bogor.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bagaimana-covid-19-memperparah-kesejahteraan-penyandang-disabilitas-di-indonesia-144109">Bagaimana COVID-19 memperparah kesejahteraan penyandang disabilitas di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Pelajaran dari negara lain</h2>
<p>Terobosan-terobosan dalam pemberian bantuan hukum juga dilakukan di negara-negara lain selama wabah mencengkeram dunia.</p>
<p>Dalam <a href="https://ilac2020.rj.def.br/">konferensi internasional tentang akses bantuan hukum</a> yang kami hadiri secara daring bulan lalu, 800 peserta dari 800 peserta dari 89 negara berbagi tentang cara-cara baru yang mereka lakukan untuk menyediakan bantuan hukum di tengah pandemi.</p>
<p>Dalam konferensi yang diselenggarakan oleh International Legal Foundation (ILF), the Open Society Justice Initiative (OSJI), United Nations Development Programme (UNDP), dan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) itu, berbagai perwakilan pemangku kebijakan menjabarkan upaya untuk menerapkan <a href="https://www.unodc.org/documents/justice-and-prison-reform/UN_principles_and_guidlines_on_access_to_legal_aid.pdf">Panduan tentang Akses menuju Bantuan Hukum di dalam Sistem-sistem Peradilan Tindak Kejahatan</a> dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). </p>
<p>Di Brazil, pengadilan memperbaharui layanan hukum mereka dengan mendorong penggunaan teknologi seperti pemanfaatan <em>video conference</em> dan sidang jarak jauh guna memastikan hak-hak tersangka atau terdakwa yang berperkara tetap terpenuhi meskipun sedang dalam kondisi pandemik.</p>
<p>Aktivis bantuan hukum di Amerika Serikat (AS) menyelenggarakan serangkaian upaya pelatihan pada komunitas-komunitas dengan bantuan lembaga swadaya masyarakat (LSM) terkait maraknya demonstrasi atau upaya melawan pemerintahan dan isu rasisme.</p>
<p>Khusus untuk tahanan anak, sebuah kantor hukum Makenzie Lawfirm juga melakukan advokasi khusus, yakni mempermudah akses atas sanitasi, air bersih dan layanan Kesehatan mental. Mereka juga mendorong penyediaan layanan bagi tahanan anak berupan telepon, video conference, dan sejenisnya kepada keluarganya</p>
<p>Di Nepal, para aktivis di bidang hukum melakukan beberapa upaya advokasi untuk pelepasan tahanan dan orang-orang yang dirampas hak kemerdekaannya secara sewenang-wenang dengan mengikutsertakan aktor strategis yang sudah dipetakan sebelumnya. </p>
<p>Para aktivis memberikan pelatihan kepada pengacara dan jaksa terkait isu pelepasan tahanan dan melakukan mobilisasi media agar terlibat dan menerbitkan konten pemberitaan terkait isu yang dikerjakan. </p>
<p>Di Afganistan, aktivis bantuan hukum mendorong pelepasan para tahanan sebelum masa penghukuman selesai mengingat kondisi <em>overcrowding</em> rumah tahanan di negara tersebut sangat berpotensi menjadi tempat penyebaran kuat Covid 19. </p>
<p>Mereka meminta pelepasan awal terutama untuk tahanan perempuan, berusia 55 tahun ke atas, dan memiliki riwayat penyakit berat.</p>
<p>Bagi korban kekerasan rumah tangga di Mongolia, pemberi bantuan hukum membangun <em>domestic criminal center</em> atau pusat konsultasi. </p>
<p>Mereka juga menyelenggarakan berbagai diskusi publik tentang isu kriminal, menerbitkan buku saku panduan bantuan hukum untuk kasus perempuan, serta bekerja sama dengan berbagai pihak untuk menyediakan <em>hotline</em> bantuan hukum.</p>
<h2>Menanti kebijakan pemerintah Indonesia</h2>
<p>Pada akhirnya, pemerintah tidak bisa hanya fokus terhadap penyelamatan ekonomi dan kesehatan masyarakat Indonesia, tetapi juga bertanggung jawab atas tersedianya akses terhadap keadilan melalui bantuan hukum. </p>
<p>Dibutuhkan langkah-langkah yang strategis dan komprehensif untuk menjawab kebutuhan layanan bantuan hukum di level akar rumput, khususnya bagi kelompok yang semakin rentan di situasi pandemi. </p>
<hr>
<p><em>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/147040/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kelompok-kelompok rentan semakin kesulitan mengakses bantuan hukum selama wabah. Kita bisa belajar dari negara-negara lain.Josua Satria Collins, Research fellow, Indonesia Judicial Research Society Siska Trisia, Researcher, Indonesia Judicial Research Society Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.