Menu Close

Bagaimana agar residivis kasus terorisme tidak lagi melakukan aksi teror setelah bebas dari penjara?

Bom bunuh diri di Polsek Astanaanyar, Bandung, Jawa Barat. Raisan Al Farisi/Antara Foto

Pada Rabu, 7 Desember 2022, terjadi peledakan bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar Bandung, Jawa Barat, yang mengakibatkan dua orang tewas – si pelaku sendiri dan satu anggota polisi – serta beberapa lainnya luka-luka.

Yang cukup mengagetkan adalah pelakunya merupakan mantan narapidana kasus terorisme.

Menurut laporan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC, dari 825 mantan narapidana terorisme yang dibebaskan dalam kurun waktu tahun 2002 hingga Mei 2020, 94 orang di antaranya menjadi residivis terorisme. Sebagian dari mereka melakukan aksi teroris kedua kalinya, dan sebagian lagi memilih bergabung kembali dengan kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Suriah.

Laporan tersebut menyebutkan ada beberapa faktor yang menyebabkan residivisme, yakni terkait dengan radikalisme dan deradikalisasi dalam proses pemidanaan, adanya pasangan militan atau anggota keluarga dekat lainnya yang masih militan, serta kuatnya konsep ideologis yang masih mereka yakini.

Pada umumnya, ada dua pendekatan yang digunakan untuk menghentikan seseorang dari aktivitas terorisme, yaitu deradikalisasi dan pelepasan (disengagement) . Deradikalisasi fokus pada mengubah pemikirannya, sementara disengagement fokus pada rekayasa sosial yang berimplikasi pada perubahan perilakunya. Di Indonesia sendiri program yang dominan dilakukan adalah deradikalisasi, sesuai amanat dari UU no 5 tahun 2018.

Namun demikian, hingga kini proses deradikalisasi maupun disengagement ternyata belum bisa sepenuhnya membuat mantan narapidana lepas dari jerat ideologi ekstremisme dan kekerasan. Sehingga, mereka rentan kembali melakukan aksi teror.

Sebagai peneliti di bidang kriminologi yang fokus pada radikalisme dan terorisme, saya mengkaji bagaimana seseorang bisa lepas dari jerat terorismenya dengan menggunakan teori desistensi dari terorisme (desifter).

Desistensi dari terorisme: membedah mengapa pelaku berhenti

Secara harfiah, desistensi artinya berhenti. Desistensi dari terorisme berarti berhentinya seseorang dari aktivitas di dalam dunia terorisme.

Potensi seseorang untuk berhenti menjadi pelaku teror dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terdiri atas tiga kanal. Kanal inilah yang harus diperhatikan dalam setiap praktik desistensi.

Kanal pertama memuat parameter kebutuhan dasar, narasi dan jaringannya (network). Kanal kedua adalah kanal inti yang mencakup keluarga, introspeksi diri, kedewasaan, aktivitas ekonomi, dan efek jera. Sementara kanal ketiga terdiri dari kepercayaan terhadap hukum, integrasi, relasi sosial, dan peluang-peluang situasional.

Ketika faktor-faktor tersebut belum tersentuh dengan baik, maka besar kemungkinan pelaku terorisme akan melakukan kembali aksi teror, cepat atau lambat. Ini hanya persoalan waktu dan adanya peristiwa yang menjadi katalis untuk membangkitkan semangat aksi terornya.

Saya melakukan riset pada tahun 2020-2022 terhadap 35 Mantan pelaku teror di 12 Provinsi yang – ketika penelitian tersebut dilakukan mereka sudah berhenti , baik berhenti sementara, ataupun paripurna dari aktivitas terorisme.

Riset ini membagi empat tipologi individu yang pernah menjadi pelaku terorisme.

Tipologi pertama adalah primary desistance from terorism (desifter) yang menunjukan individu tersebut masih sangat rentan melakukan kembali aksi terorisme. Hanya saja, mereka menunggu momen yang tepat. Secara ideologis dan perilaku, mereka belum menunjukkan tanda-tanda mau berhenti.

Tipologi kedua adalah secondary desifter, yakni ketika seorang mantan pelaku sudah berhenti secara perilaku, namun secara ideologi belum menunjukan tanda-tanda kemauan untuk berhenti sepenuhnya.

Tipologi ketiga adalah tertiary desifter, yaitu mantan pelaku yang sudah berhenti secara ideologi, namun secara perilaku belum berubah. Contohnya, mereka masih menggunakan kebiasaan lama seperti ketika aktif di jaringan terorismenya.

Tipologi terakhir adalah quartinary desifter, yaitu mantan pelaku yang sudah berhenti sepenuhnya secara ideologi maupun perilakunya. Tipologi terakhir ini menunjukkan pelaku sudah tidak akan kembali melakukan aksi terorisme dan mereka bukan lagi ancaman.

Terkait pelaku bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar, ia tampaknya masih belum selesai dengan faktor ideologis dan perilakunya. Ia bisa masuk ke dalam tipologi primary ataupun secondary.

Jika kita analisis lebih jauh, faktor lain yang mungkin mendorong pelaku melakukan aksi teror lagi adalah koneksi yang baik dengan jaringannya lamanya, ada kebutuhan dasar yang belum terpenuhi, bahkan bisa jadi ia mengalami kegagalan dalam berintegrasi kembali dengan masyarakat umum.

Contoh serupa lainnya adalah pelaku pengeboman gereja di Samarinda tahun 2016 yang merupakan resividis narapidana terorisme. Ia sebelumnya mendekam di penjara atas upaya peledakan di Serpong pada 2011.

Sebelum mengulang aksinya pada 2016, pelaku masih masuk kategori primary desifter. Saat itu, ideologi prokekerasan yang ia percayai masih sangat kuat, ditambah dengan kegagalannya dalam berintegrasi kembali ke masyarakat umum dan aktivitas ekonominya yang belum stabil. Semua faktor tersebut menjadikan si pelaku memiliki semangat tinggi untuk kembali melakukan aksi teror.

Rekomendasi untuk stakeholder terkait

Salah satu kelemahan dari regulasi penanggulangan teror saat ini – Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme – adalah fokus dari penghukuman ada pada perbuatan, bukan pada ideologinya.

Jadi, tidak mengherankan jika seorang mantan napi terorisme yang sudah menyelesaikan masa pidananya, ideologinya belum berubah dan masih pro kekerasan. Ini menjadi bukti bahwa program deradikalisasi yang berdasarkan asas Hak Asasi Manusia (HAM) tidak dapat dilakukan dengan paksaan.

Para pelaku berhak menolak dan tidak mengikuti program deradikalisasi. Tentu saja, permasalahan ini menjadi beban berat untuk para pemangku kepentingan yang menangani para pelaku terorisme.

Ada dua rekomendasi untuk otoritas terkait, baik itu BNPT sebagai lembaga koordinator ataupun kementerian/lembaga yang terlibat aktif menanggulangi terorisme di Indonesia:

Pertama, otoritas terkait perlu melakukan proses identifikasi dan asesmen yang dapat menembus akar permasalahan ideologis dan perilaku dari para pelaku teror. Akar permasalahan tersebut harus menyentuh tiga kanal yang disebutkan di atas.

Kedua, intervensi yang dilakukan harus berkelanjutan dan sistematis. Pendekatan untuk mantan pelaku teror biasanya menggunakan strategi pendekatan 3H – Heart, Hand dan Head.

Namun, saya merekomendasikan dua tambahan pendekatan. Pendekatan pertama yaitu Heaven sebagai alternatif narasi idologis-surgawi, karena pendekatan inilah yang lekat dengan habit dan budaya dan kelompok lamanya. Kedua, Home yang menitikberatkan pada penguatan keluarga, baik secara kesejahteraan maupun ideologi.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now