Menu Close
Menatap ke depan, Jokowi menyuarakan niat menjadikan Australia dan Indonesia mitra dalam mengembangkan kawasan Pasifik. Lukas Coch/AAP

Bagaimana Australia dan Indonesia bisa berkolaborasi seperti Avengers?

Dapatkah Australia dan Indonesia berkolaborasi seperti Avengers? Senin kemarin, Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengatakan:

Saat kekuatan yang baik bersatu, saat Avengers berkumpul, maka musuh bersama dapat dikalahkan. Jika Indonesia dan Australia terus berkolaborasi, maka intoleransi, proteksionisme, ketakutan terhadap kemiskinan dan ancaman perubahan iklim dapat diatasi.

Poin Jokowi soal krisis iklim mungkin isu yang kurang menarik di Australia, tetapi kedua pemimpin tampak optimis tentang kolaborasi antara kedua negara dan masa depan yang cerah bagi kedua negara.

Kemitraan dan kolaborasi adalah pendekatan yang semakin sering dilakukan untuk mengatasi beberapa tantangan yang paling mendesak bagi kedua negara: dari penelitian kanker, hingga proyek infrastruktur besar, dan bahkan mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Namun, dalam banyak kasus, kolaborasi itu sendiri ternyata menjadi salah satu tantangan besar.

Meskipun orang Australia dan Indonesia sama-sama ramah dan terbuka, ada batas-batas sistemik –- kurangnya sumber daya, tatatan institusi, dan proses kolaboratif yang tidak setara –- yang dapat memperlambat proses.

Kami di Australia-Indonesia Centre membantu menghubungkan ratusan peneliti, kementerian, mitra bisnis, dan pemangku kepentingan lainnya dalam berbagai kemitraan kolaboratif di kedua negara.

Melalui evaluasi ekstensif yang kami lakukan, kami memperoleh banyak pelajaran berharga tentang hal-hal utama apa saja yang wajib ada dalam melakukan kolaborasi yang sukses.

Berikut adalah beberapa prasyarat yang sering diabaikan dalam berurusan dengan batasan sistemik.

Posisi yang setara

Kemitraan inovatif dan kolaborasi baru biasanya menghasilkan banyak energi dan antusiasme.

Namun, hambatan sistemik dapat menyebabkan proyek dan usaha tertunda serta orang-orang menjadi kehilangan semangat. Misalnya, ketika ada keterlambatan dalam pertukaran data antara negara, orang cenderung menyalahkan satu sama lain, alih-alih berusaha memahami bahwa sejak semula tidak ada kesepakatan yang memungkinkan untuk pertukaran data.

Respons ini terjadi karena “kesalahan atribusi mendasar”, yakni ketika kita mengkaitkan hambatan atau ketidaksesuaian dengan orang perorangan, ketimbang mempertimbangkan kendala situasional sebagai penyebab.

Ini disayangkan karena sebagian besar orang sangat siap untuk berkolaborasi dan memberikan yang terbaik.

Kontribusi dalam hal uang, usaha, waktu atau ide memerlukan pertimbangan yang cermat. Kontribusi tidak harus setara secara absolut, tetapi harus adil agar dapat melibatkan semua orang begitu kolaborasi dimulai.

Ini kelihatannya sederhana secara teori. Namun, perbedaan dalam aturan hukum dan birokrasi dapat mempengaruhi otonomi mitra serta waktu proyek.

Indonesia dan Australia berada dalam siklus birokrasi yang berbeda. Ini berarti, misalnya, keputusan dan alokasi anggaran yang dibuat sering tidak selaras.

Karena adanya perbedaan dalam pengambilan keputusan birokrasi, waktu tambahan mungkin diperlukan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Oleh karena itu, kontrak dan perjanjian terkait kolaborasi membutuhkan perencanaan dan pertimbangan yang cermat untuk mencegah kesalahpahaman serta keterlambatan di kemudian hari.

Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, kiri dan Menteri Luar Negari Australia, Marise Payne, menandatangani perjanjian di Gedung Parlemen di Canberra pada Senin, 10 Februari 2020. AAP Image/Rick Rycroft

Memastikan partisipasi yang adil

Setelah posisi setara ditetapkan, kita harus mengatasi hambatan sistemik antara orang-orang yang berada di kelompok yang sama.

Untuk membuat orang Australia dan Indonesia berada pada pemahaman yang sama serta untuk memastikan partisipasi yang adil, penting bagi setiap orang untuk berpartisipasi langsung dari tahap awal.

Penyusunan proyek secara kolaboratif mendorong representasi gagasan dan kepemilikan yang sama, serta memastikan komitmen tim pada hasil.

Upaya merangsang sebuah “cara berpikir bersama” tentang siapa yang ada dalam tim (dan siapa yang tidak), apa yang akan dilakukan tim, mengapa dan bagaimana mereka akan melakukannya, dapat mendukung kolaborasi.

Adanya pemahaman bersama tentang aspek-aspek kerja tim ini dapat mengatasi perbedaan dalam budaya dan menciptakan budaya yang unik bagi tim. Tujuan bersama dapat menguatkan kolaborasi dan mengarahkan energi dengan benar.

Adanya fasilitator yang baik pada tahap-tahap awal ini dapat menyatukan orang-orang yang berbicara bahasa yang berbeda (termasuk jargon) dan berasal dari berbagai budaya dan bidang keahlian.

Misalnya, pada tahap awal, orang Indonesia cenderung tidak banyak berbicara dan lebih banyak mendengar dalam rapat. Sementara, orang Australia senang mengisi kesempatan. Akibatnya, suara Australia bisa mengalahkan Indonesia. Seorang fasilitator dapat membantu mengakomodasi perbedaan budaya ini serta memastikan adanya masukan dan pengaruh yang sama.

Avengers, assemble!

Australia dan Indonesia telah memiliki hubungan kerjasama sejak masa awal kemerdekaan Indonesia. Seperti layaknya sebuah hubungan yang terjalin erat, ada banyak tantangan yang dihadapi.

Jokowi menyuarakan niat kuat bagi Australia dan Indonesia untuk menjadi mitra dalam pengembangan kawasan Pasifik. Visi ini akan menjadi bagian proses dari hubungan bilateral yang kuat menjadi kolaborasi multilateral.

Saat tantangan menjadi lebih rumit, kolaborasi ikut menjadi lebih rumit, tetapi juga berpotensi juga menjadi lebih menarik dan lebih bermanfaat.

Baik dalam memerangi kebakaran hutan, merangsang kesetaraan melalui perdagangan, atau mendukung pengembangan wilayah Pasifik, kita akan membutuhkan tim jawara untuk memperoleh hasil.


Aisha Amelia Yasmin menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris


The Australia-Indonesia Centre memberi dukungan pada The Conversation Indonesia sebagai mitra strategis.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now