Pada awal karier di bidang penelitian saya sekitar 15 tahun yang lalu, setiap pendapat bahwa seekor lebah, atau hewan tak bertulang belakang apa pun, memiliki pikirannya sendiri atau bahwa mereka dapat memahami dunia dengan cara yang rumit dan beragam akan pasti disambut dengan ejekan. Seperti yang diutarakan oleh Lars Chittka dalam bab bab awal The Mind of a Bee (Pikiran Lebah), atribusi emosi dan pengalaman manusia pada lebah dipandang sebagai kenaifan dan ketidaktahuan, dengan kata lain, Antropomorfisme adalah bukan hal yang populer.
Pemilik hewan peliharaan secara penuh melihat emosi pada hewan mereka, tetapi otak sederhana seekor lebah pasti tidak dapat mengalami realitas yang kompleks seperti manusia. Mereka terlalu sederhana dan robotik, bukan?
Lars Chittka telah meneliti lebah madu selama 30 tahun terakhir. The Mind of a Bee adalah kumpulan cerita penelitiannya. Buku ini juga menampilkan tokoh-tokoh penelitian berpengaruh lainnya dalam penelitian lebah dan memberikan perspektif historis tentang dasar dari banyaknya penelitian perilaku yang telah dibuat di masa kini.
Kebanyakan orang sudah lama ingin tahu tentang perilaku lebah. Banyak pertanyaan yang diajukan pada tahun 1800-an yang masih ada hingga saat ini. Walaupun “cerita” Chittka yang disusun dengan indah dan menawan tidak selalu menyajikan hasil penelitian yang baru, dengan membacanya saja membuat diri saya tergoda oleh pertanyaan-pertanyaan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Misalnya, bagaimana lebah memutuskan siapa yang tinggal dan siapa yang pergi ketika satu koloni terbentuk?
Dunia seekor lebah
Buku ini dibuka dengan sebuah tantangan untuk memasukkan dirimu dalam dunia sebuah lebah.
Pengalaman sebuah lebah madu tentang dunia merupakan hal yang sangat asing bagi kita sendiri dan ini membuat usaha untuk memahami serta menelitinya menjadi sebuah tantangan yang tidak bisa diremehkan. Memang, ketika kita melihat kesulitan yang dihadapi oleh para peneliti, merupakan hal yang dapat dimengerti jika kita menyimpulkan bahwa pengalaman sebuah lebah sebagai hal yang sederhana dan robotik.
Pertama-tama, bayangkan diri kamu sebagai seekor lebah. Kamu memiliki sayap yang memungkinkan untuk melakukan penerbangan. Penglihatanmu sudah tidak tajam bahkan lebih buruk dari kakekmu dengan gelasnya yang berisi soda, namun kamu melihat sesuatu dengan lebih cepat. Hidupmu dialami pada garis waktu yang lebih cepat dan apa yang dulunya terlihat sebagai suatu film sekarang lebih seperti serangkaian gambar dalam tayangan salindia.
Antena yang menonjol dari kepalamu berfungsi sebagai tangan, telinga, lidah, dan juga hidung, semuanya jadi satu. Kamu akan dapat mengetahui apakah lebah lain telah mengunjungi bunga sebelum kamu dari ladang yang berisi ratusan bunga dengan aromanya masing masing dan bunga yang kamu temukan dengan cara mengikuti petunjuk yang kamu rasakan dari sesama lebah yang menari untukmu di dalam sarang hitam pekat yang mungkin berjarak sepuluh kilometer dari posisimu.
Chittka kemudian mengajak kita untuk membayangkan kehidupan lebah. Setelah keluar dari sarang untuk pertama kalinya, kamu harus mempelajari lokasinya melalui serangkaian penerbangan yang dimana hal ini merupakan perilaku normal yang dilakukan hewan berkoloni lainnya seperti semut dan tawon. Kegagalan untuk mengetahui posisi sarang sama saja dengan kematian.
Setelah berhasil mengingat lokasi sarangmu, kemudian kamu harus berhasil menavigasi jalan ke dan dari berbagai tambalan kaya sumber daya seefisien mungkin, mempelajari lokasi baru, mengetahui waktu bunga tertentu melepaskan nektar mereka, dan teknik yang diperlukan untuk memanipulasi bunga lain agar melepaskan nektarnya.
Sejauh ini, hal hal yang telah disebutkan di atas terdengar instingtif dan merupakan respons dasar terhadap kelaparan. Namun Chittka menyajikan penelitian tambahan - baik yang bersifat lama dan baru - yang memberikan wawasan tentang keterampilan kognitif seekor lebah. Kita belajar bahwa lebah dapat menghitung. Mereka dapat mempelajari aturan dan mengkategorikan bunga. Merekapun dapat belajar dari lebah lain mengenai tidak hanya bunga mana yang bermanfaat tetapi juga bagaimana cara mengaksesnya.
Salah satu eksperimen favorit saya mungkin jatuh kepada video yang mempublikasikan kumpulan lebah yang mendorong bola ke dalam lubang untuk mendapatkan hadiah. Keterampilan ini dapat dipelajari oleh lebah pengamat dan yang benar-benar menarik adalah ketrampilan tersebut dapat ditingkatkan. Lebah pengamat dapat menyelesaikan tugas dengan cara lebih kepada meniru tujuan atau hasil akhir daripada meniru teknik secara kaku, hal ini menunjukkan pemahaman tentang apa tugas dan hasil yang diinginkan.
Lalu kemudian kapan sebenarnya seekor lebah perlu untuk mendorong sebuah bola masuk ke dalam suatu lubang agar dihadiahi nektar?
Sebagaimana yang ditunjukkan secara tepat oleh Chittka, pertanyaan yang kita ajukan untuk memahami pemikiran lebah harus memiliki relevansi biologis agar masuk akal. Artinya, kita perlu memahami apa yang penting bagi kelangsungan hidup lebah, apa yang penting dalam keberadaan mereka, dan membingkai pertanyaan kita tentang kecerdasan dan kehidupan di sekitar aspek itu. Jika kita mengajukan pertanyaan yang salah, kita tidak akan pernah sepenuhnya memahami jawabannya seperti meminta ikan untuk memanjat pohon dan merasa kurang dengan hasilnya.
Kesadaran dan emosi
Bagian terbaik dalam buku ini terdapat pada perkembangan cerita yang cerdik pada bab terakhirnya di mana pada bagian ini membuat kita semakin sulit untuk menolak ide bahwa seekor lebah mempunyai pikiran.
Walaupun untuk membuktikan sebuah organisme lain mempunyai suatu kesadaraan merupakan sebuah hal yang tidak mungkin, riset yang dilakukan oleh Chittkan telah menghasilkan sebuah argumen yang menarik. Dari pikiran seekor lebah, kita bisa mengetahui bahwa mereka dapat merasakan emosi dan rasa sakit, mempunyai kemampuan metakognisi (kemampuan mengetahu suatu hal) serta menunjukan perbedaan diri dalam kemampuan mereka untuk belajar dengan cepat dan lambat. Seekor lebah sadar terhadap tubuh dan hasil dari aksi-aksi yang mereka lakukan, hal ini terlihat dari penggunaan alat alat yang sebelumnya hanya digunakan oleh manusia; primata; dan keluarga burung Corvidae.
Tanpa kamu percaya apakah lebah punya pikiran atau tidak, secara global pun telah terdapat perubahan dalam penelitian-penelitian yang ada yang mengungkapkan bahwa para hewan tidak bertulang belakang terlihat lebih “hidup” di dunia ini.
Persetujuan secara etis diperlukan dalam penelitian mengenai hewan tidak bertulang belakang seperti krustasea dan sefalopoda, hal lain seperti pernyataan penanganan secara etis terhadap hewan tidak bertulang belakang lainnya juga diperlukan dalam manuskrip beberapa jurnal. Bukan sebuah hal yang mengundang ejekan lagi untuk menganggap bahwa hewan tidak bertulang belakang seperti lebah memiliki kemungkinan untuk memiliki pengalaman yang banyak dalam hidupnya, tetapi hal ini sebaliknya menciptakan ruang yang tidak nyaman bagi peneliti serangga, yang mungkin tidak ingin menghadapi realitas eksperimen mereka.
Kita telah menganggap remeh kecerdasan seekor lebah dan beberapa spesies “bawahan” lainnya secara cukup lama, ini adalah waktu kita untuk memperhatikannya. Chittka menunjukkan kepada kita bahwa lebah mempunyai suatu hal penting bagi sebuah pikiran yaitu representasi ruang, mereka bisa belajar dengan melakukan observasi, dan mereka dapat menggunakan alat alat sederhana. Lebah telah mendemonstrasikan memori yang fleksibel mengenai hal hal yang mau mereka capai, sebuah kemampuan untuk mencari solusi dan kesadaran akan hal yang mungkin terjadi dari aksi-aksi mereka.
Berbagai eksperimen telah menunjukan terhadap kita bahwa lebah memanifestasikan keadaan emosional mereka dalam wujud hadiah dan hukuman. Walaupun keadaan biologis serta pengalaman mereka terhadap dunia sangat berbeda dengan kita, merupakan suatu hal yang masuk akal untuk percaya bahwa memang benar mereka memiliki kemampuan untuk hidup di dunia ini yang selama ini kita anggap hanya tersedia untuk manusia.
Ditulis pada saat yang sembrono dan dipenuhi dengan keingintahuan, The Mind of a Bee adalah buku yang bagus. Walaupun beberapa orang mungkin tidak siap untuk menginvestasikan perasaan mereka terhadap hal yang sederhana seperti seekor lebah, buku ini akan memberikan pertanyaan “kenapa tidak?” Seperti yang Chittka katakan secara elegan baru baru ini “Kita adalah makhluk yang berpikir, menderita, dan penikmat di dunia yang juga berisi mahluk yang menderita dan penikmat dengan pikiran dan persepsi yang berbeda
Dengan kenyataan itu, saya melihat dunia dengan cara yang berbeda.