Menu Close

Bagaimana chat box Zoom muncul sebagai ruang alternatif mahasiswa untuk mengatasi kebosanan selama kuliah daring

(Unsplash/Lucas Law), CC BY

Selama hampir lima semester mahasiswa Indonesia berkuliah secara daring akibat pandemi, popularitas platform daring sebagai media pembelajaran pun meningkat drastis. Platform Zoom menjadi salah satu yang paling eksis, termasuk di kampus.

Nah, yang menarik, filosofi platform Zoom – mendekatkan yang jauh – sebenarnya awalnya tidak secara spesifik dirancang untuk kondisi pendidikan.

Sang pendiri aplikasi Zoom, Eric Yuan, misalnya, mengatakan dasar inovasi teknologi Zoom merupakan ‘imajinasi’-nya ketika ia menjalani hubungan jarak jauh (atau LDR) dengan pacarnya saat itu.

Perbedaan tujuan ini membuat Zoom tidak sepenuhnya bisa mereplikasi suasana interaktif ruang kelas sehingga memunculkan masalah – kebosanan di antara mahasiswa.

Bagaimana mahasiswa mengadaptasi fitur-fitur di dalam Zoom supaya dapat mengatasi masalah kebosanan tersebut? Inilah yang coba kami dalami melalui suatu proyek dalam kelas “Politik dan Teknologi” yang kami ajarkan di UGM.

Selama 3 pertemuan, para mahasiswa mengisi catatan harian (diary) dan merefleksikan berbagai hal yang mereka lakukan saat kebosanan melanda di tengah kelas Zoom. Tentu banyak yang menyibukkan diri melalui TikTok, menyelami Twitter untuk melihat gambar-gambar kucing lucu, hingga menyambi kuliah dengan mengerjakan cucian (laundry).

Tapi, yang paling menarik adalah temuan tentang bagaimana para mahasiswa kami mengatasi kebosanan dengan mengadaptasi salah satu fitur Zoom menjadi ruang ngobrol dan bercanda – yakni fitur kolom komentar (chat box).

Platform Zoom menunjukkan dirinya tidak bersifat ‘deterministik’ – apa yang dirancang pada awal dengan satu tujuan, pada akhirnya digunakan untuk hal lain. Teknologi ini dibentuk juga oleh kondisi dan interaksi atas keadaan-keadaan sosial yang ada, termasuk dalam pendidikan.

Fitur chat box yang awalnya dirancang untuk keperluan diskusi secara tertulis dalam konferensi, kini diadaptasi oleh mahasiswa menjadi semacam 'ruang alternatif’ untuk mengatasi kebosanan.

Chat box sebagai ruang alternatif

Daya konsentrasi manusia pada era digital, apalagi kaum muda, memiliki rentang yang cukup pendek – menurut mahasiswa kami hanya rata-rata 30 menit sampai satu jam. Tentu merupakan perjuangan bagi mereka untuk bertahan di Zoom selama kuliah yang umumnya berdurasi selama 1,5 hingga 2 jam.

Fitur chat box Zoom menjadi salah satu cara mahasiswa untuk melawan kebosanan dan kesulitan konsentrasi ini.

Dalam latar pendidikan, fitur chat box ini awalnya berfungsi sebagai wadah bagi mahasiswa untuk bertanya atau mengklarifikasi materi yang tidak mereka dipahami. Namun, seiring kebosanan melanda, mahasiswa kami mengembangkan fungsi chat box untuk hal-hal candaan – seperti menggoda teman yang sedang presentasi atau memberi tanda ikon lucu saat ada hal yang menarik muncul di kelas.

Dengan kata lain, chat box menjadi ruang kolektif, atau medium interaksi non-formal, bagi mahasiswa untuk mengatasi kebosanan secara spontan.

Chat box Zoom muncul sebagai ruang kolektif untuk mengatasi kebosanan secara spontan. (Unsplash/Gabriel Benois), CC BY

Saat ada lelucon yang menarik, akan banyak mahasiswa yang ikut merespons – terjadilah ruang alternatif ini di sebelah ruang layar resmi perkuliahan. Tapi, saat ada mahasiswa serius menanggapi materi kuliah dosen, tidak ada yang merespons. Bagi dosen, chat box diimajinasikan sebagai saluran untuk klarifikasi materi kelas.

Dengan kata lain, terdapat perbedaan makna penggunaan chat box oleh platform perkuliahan online. Wieber Bijker, seorang peneliti teknologi kenamaan asal Belanda, menyebut ini sebagai sifat “fleksibilitas interpretatif” dari teknologi. Apa yang dirancang oleh sebuah instrumen teknologi bisa digunakan secara berbeda oleh pengguna.

Perbedaan penggunaan chat box antara dosen dan mahasiswa menemukan titik temunya ketika dosen pun ikut nimbrung meramaikan diskusi di chatbox, dan juga ikut meramaikan kegiatan canda – jangan lupa dosen juga bisa bosan!

Biasanya durasi kegiatan di ruang alternatif ini cukup pendek, tidak lebih dari 20 chat. Setelah itu chat box kembali senyap, dan akan muncul lagi saat ada ‘bahan’ baru.

Mahasiswa dan dosen kemudian menyambi dua hal secara bergantian: mendengarkan materi kuliah, serta membaca chat box dan ikut berkomentar.

Dalam interaksi di ruang alternatif ini, platform Zoom pun mengalami proses “pembentukan teknologi” (framing of technology) yang dihasilkan oleh interaksi tersebut. Kerangka ini berbeda dengan apa yang dimaksudkan dalam desain awal Zoom.

Relasi sosial membentuk teknologi

Serangkaian penjelasan di atas mengantarkan kita terhadap dua hal kunci.

Pertama, terdapat perluasan makna dan pengguna teknologi.

Pada mulanya, ide dasar aplikasi Zoom adalah mendekatkan satu individu dengan individu lainnya melalui ruang virtual. Pandemi COVID-19 kemudian mengubah status Zoom menjadi media pembelajaran sehingga berdampak juga terhadap perluasan makna dan pengguna.

Kedua, chat box dan percakapan di dalamnya, merupakan salah satu bentuk dari bagaimana manusia merespons atau mengkonstruksi teknologi, dan tidak semata-mata teknologi yang “membentuk” manusia.

Chat box yang awalnya bertujuan sebagai ruang bertanya atau mengklarifikasi materi kuliah di layar besar, menjadi ruang alternatif baru.

Relasi sosial membentuk teknologi Zoom, bukan sebaliknya. (Unsplash/Iyus Sugiharto), CC BY

Melalui tulisan ini, kami berpendapat aktivitas atau relasi sosial telah ‘membentuk’ teknologi, bukan sebaliknya.

Cerita pengalaman penggunaan Zoom ini menjadi pelajaran penting bagi kita untuk memahami desain teknologi tidak selalu sama dengan apa yang dirancang pencipta teknologi. Desain dan pemanfaatan teknologi akan berubah dari waktu ke waktu yang disebabkan oleh pola-pola aktivitas dan relasi sosial yang baru dari manusia.

Kalau desain teknologi tidak fleksibel, kita tidak bisa membayangkan bagaimana mahasiswa dapat bersiasat mengatasi kebosanan mereka. Dengan “fleksibilitas interpretatif” pula aplikasi seperti Zoom akan terus relevan keberadaannya.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now