Menu Close

Bagaimana COVID-19 akan menahan meroketnya harga pangan menjelang Lebaran

Aktivitas jual beli di Pasar Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (1/4/2021). Antara Foto

Masyarakat biasanya selalu menjerit saat Ramadan dan menjelang Hari Raya Idul Fitri karena harga bahan pangan seperti bawang, cabai, sampai daging sapi selalu meroket. Salah satu pemicunya adalah permintaan bahan pangan meningkat tidak bisa diimbangi oleh persediaan pangan yang cukup.

Momen perayaan Lebaran biasanya dirayakan secara meriah dengan suguhan makanan yang lebih mewah dibanding biasanya. Tradisi ini biasanya mendorong peningkatan permintaan, terutama untuk daging ayam, daging sapi, dan gula untuk suguhan manis.

Namun tahun ini, karena pandemi COVID-19, sepertinya fenomena tahunan itu akan berbeda.

Pelemahan ekonomi yang masih berlanjut dan penurunan daya beli serta permintaan masyarakat kemungkinan akan kembali menahan kenaikan harga sembako seperti yang terjadi tahun lalu.

Tahun lalu Lebaran berlangsung dua bulan setelah penyebaran COVID-19 di Indonesia dimulai awal Maret. Tren harga pangan menjelang Lebaran pun menjadi sangat berbeda karena dari segi permintaan dan persediaan yang terganggu.

Riset terbaru dari Bank Dunia menunjukkan 23% rumah tangga mengalami kerawanan makanan dan 29% rumah tangga mengkonsumsi makanan lebih sedikit dari biasanya selama pandemi.

etugas Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Bogor melakukan inspeksi mendadak (sidak) di Pasar Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (12/4/2021). Antara Foto

Anomali pandemi

Jauh sebelum pandemi, sebuah survei konsumen pada 2018 dari perusahaan riset asal Australia EY Sweeney mencatat 96% warga DKI Jakarta dan 89% warga Medan meningkatkan pembelian daging sapi secara signifikan untuk persiapan Idul Fitri. Ini menyebabkan harga daging sapi naik dari Rp 117.000 per kilogram pada hari biasa menjadi Rp 127.000 per kilogram di minggu-minggu lebaran.

Namun selama pandemi, jutaan masyarakat Indonesia pendapatannya anjlok. Hampir tiga juta orang Indonesia telah jatuh di bawah garis kemiskinan, sehingga jumlah penduduk miskin menjadi 27,55 juta orang.

Situasi ekonomi ini mengakibatkan masyarakat menjadi enggan atau tidak mampu mengkonsumsi makanan yang identik mahal, seperti daging sapi. Akhirnya, permintaan justru menurun.

Contoh dari Lebaran tahun lalu, harga cabai merah dan cabai rawit malah turun 23% dan 17%, dan harga daging sapi naik lebih kecil dibanding tahun-tahun sebelumnya sebesar 2%..

Harga kebutuhan pokok di pasar secara garis besar tergantung pada tiga macam kategori faktor, yaitu tingkat permintaan (demand-side), ketersediaan stok baik dari produksi domestik maupun impor (supply-side), dan kelancaran distribusi hingga ke retail.

Ketiga faktor ini mempengaruhi harga pangan di pasar, sesuai dengan hukum pasar bahwa permintaan yang lebih besar dari persediaan akan menaikkan harga.

Seperti sebelum pandemi COVID-19 pada 2019, harga daging sapi meningkat 7% dan cabai merah melonjak 54%, sementara gula naik tipis sebanyak 3% pada H-1 Lebaran dibandingkan rata-rata harga tahun tersebut.

Pemerintah harus tetap menjaga harga

Lebaran tahun ini terjadi pada Mei, tepat setelah masa panen beras pada Maret-April sehingga ketersediaan beras terjamin dan harga beras bisa tetap stabil. Hal ini juga serupa dengan waktu Lebaran tahun-tahun sebelumnya.

Namun, untuk komoditas lain seperti daging sapi, gula, dan bawang putih, produksi domestik tidak mencukupi tingkat konsumsi. World Food Programme mencatat bahwa tingkat pemenuhan impor Indonesia hanya sebesar 28% untuk daging sapi, 70% untuk gula, dan 94% untuk bawang putih.

Maka dari itu, pemerintah harus membuka kran impor yang tepat waktu untuk memastikan tidak terjadi kekurangan. Tahun ini, pemerintah sudah proaktif mengambil keputusan mengimpor daging sapi dan gula sebelum bulan Ramadan sehingga pasokan dan stabilitas harga bisa lebih terjaga.

Faktor terakhir dan tak kalah penting adalah kelancaran distribusi di seluruh rantai pasok pangan. Menjelang dan selama Lebaran, distribusi memang sedikit terganggu karena beberapa pedagang pasar berhenti berjualan atau tenaga kerjanya juga berkurang karena telah libur.

Disrupsi pangan sangat tertantang selama pandemi COVID-19. Selain mengganggu kesehatan termasuk untuk pelaku usaha di rantai pasok, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan pembatasan mobilitas untuk mengurangi risiko transmisi yang akhirnya menggangu distribusi pangan.

Efek sampingnya, gangguan di rantai pasok pangan jadi jauh lebih besar dan luas.

Mulai dari kemampuan petani mendapat akses ke bahan baku produksi, penurunan kapasitas pengolahan karena tenaga kerja yang terpapar COVID-19 atau karena pembatasan kapasitas, hingga terhambatnya distribusi antar daerah yang tetap terjadi walau komoditas pangan sudah dikecualikan.

Disrupsi ini bukan hanya di skala lokal atau nasional, melainkan dalam skala global, sehingga menghambat akses Indonesia terhadap komoditas yang membutuhkan impor.

Harga ini bisa sewaktu-waktu melonjak atau anjlok berdasarkan faktor-faktor yang sudah disebutkan di atas. Untuk menjaga kestabilan harga, perlu terus memperhatikan ketersediaan dan distribusi yang lancar.

Namun dengan daya beli yang masih melemah dari masyarakat, sepertinya tren kenaikan harga yang tidak signifikan akan terjadi lagi tahun ini. Karena daging sapi dan bahan pokok lainnya seperti cabai dan bawang telah menjadi komoditas yang berharga tinggi.

Preferensi makanan masyarakat beralih ke bahan pangan pokok yang lebih murah dan mengenyangkan, seperti beras. Ini bisa menjelaskan mengapa kenaikan harga daging sapi pada 2020 tidak sebesar tahun-tahun sebelumnya dan akan terulang lagi pada tahun ini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now