Menu Close
Gajah menyebrang jalan di Botswana. poco_bw / Getty Images.

Bagaimana cuitan netizen yang salah kaprah bisa menghambat pelestarian gajah

Gajah asia (Elephas maximus), Gajah hutan Afrika (Loxodonta cyclotis), dan gajah sabana Afrika (Loxodonta africana) merupakan spesies dengan tingkat keterancaman yang tinggi. Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) menyatakan bahwa aktivitas perburuan, kehilangan habitat, dan konflik dengan manusia merupakan ancaman utama bagi kelangsungan tiga spesies tersebut.

Upaya mengatasi ancaman populasi gajah membutuhkan dukungan politik dan publik yang kuat agar bisa terealisasi. Sejauh ini, upaya konservasi gajah bergantung pada pendanaan internasional, sehingga sangat membutuhkan dukungan dari penduduk negara-negara habitat gajah maupun orang-orang di seluruh dunia.

Contohnya, selama 2010-2017, lembaga donor internasional mengucurkan dana US$500 juta (sekitar Rp 7,77 triliun) untuk program melawan perburuan gajah di seluruh Afrika.

Karena itulah, persepsi publik seputar ancaman utama populasi gajah mempengaruhi penempatan prioritas sekaligus pendanaan konservasi satwa ini. Persepsi ini salah satunya terbentuk dari berbagai peliputan media, termasuk media sosial yang membantu meningkatkan kesadaran warga dunia seputar ancaman kelestarian gajah.

Namun, jika perhatian warganet tidak selaras dengan ancaman utama terhadap gajah, maka dukungan publik, sokongan politik, termasuk juga pendanaannya, berisiko salah sasaran ke persoalan dan kampanye yang tidak menguntungkan gajah-gajah di alam liar.

Dalam penelitian terbaru, kami menganalisis cuitan yang terbit tentang gajah sejak 2019 untuk memahami apa saja ancaman terbesar kelestarian gajah – sebagaimana telah diidentifikasi oleh IUCN – yang mendapatkan perhatian yang cukup dari pengguna Twitter.

Kami menemukan bahwa perhatian masyarakat di Twitter tidak sejalan dengan ancaman utama kelestarian gajah. Misalnya, kehilangan habitat dan konflik manusia-gajah hanya mendapatkan sedikit perhatian.

Studi kami juga menggarisbawahi perbedaan perhatian di antara warga yang tinggal di negeri habitat gajah, maupun negeri non-habitat, terhadap gajah. Misalnya, konflik manusia-gajah merupakan masalah penting bagi orang-orang di negara habitat gajah. Sebaliknya, hanya sedikit penduduk di negara non-habitat yang memperhatikan konflik tersebut.

Persoalan lainnya, seperti kehilangan habitat, juga mendapatkan sedikit perhatian dari pengguna Twitter (tak sampai 1% dari seluruh cuitan tentang gajah).

Temuan ini cukup memprihatinkan. Sebab, minimnya perhatian seputar ancaman kehilangan habitat dan konflik manusia-gajah dapat menggiring opini publik bahwa kedua masalah tersebut kurang penting. Akibatnya bisa mempengaruhi besaran pendanaan maupun aksi politik dari pemangku kebijakan.

Gajah dan manusia

Konflik manusia-gajah adalah persoalan rumit. Pasalnya, persoalan kelestarian populasi gajah tersebut kerap dihadapkan dengan kehidupan serta keselamatan warga sehari-hari di sekitar habitat gajah.

Sayangnya, di sosial media, ada anggapan yang salah bahwa gajah tinggal di alam liar tanpa manusia. Konflik dianggap terjadi karena orang-orang telah merambah habitat gajah.

Kenyataannya, gajah tak selalu terkurung di kawasan yang dilindungi. Spesies ini hidup di bentang alam yang berdampingan dengan manusia, tanpa pagar-pagar tertentu. Misalnya, penelitian memperkirakan hampir sekitar 70% gajah hutan Afrika tinggal di luar area yang dilindungi.


Read more: Bagaimana ilmu sosial dapat membantu pelestarian gajah di Way Kambas?


Sementara, warga yang tinggal berdampingan dengan gajah justru mengalami dampak tertentu. Misalnya, Bostwana adalah negara dengan populasi gajah terbesar di Afrika. Ada sekitar 130 ribu individu gajah, yang senang menghabiskan waktunya di luar kawasan dilindungi. Akibatnya konflik gajah-manusia kerap terjadi. Selama 2009-2019, gajah bertanggung jawab atas 67 kasus kematian warga Botswana. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan kasus kematian dari satwa liar lainnya.

Sementara, di Asia dan Afrika, para petani ditaksir kehilangan sekitar 10-15% dari total hasil panen mereka karena aktivitas gajah.

Warga yang hidup berdampingan dengan gajah telah berkorban besar atas nama kelestarian satwa ini. Sayangnya, pengorbanan mereka jarang menjadi perbincangan di sosial media.

Tuduhan dan dendam

Berbekal pelacakan unggahan melalui Twitter Academic Research, kami mengunduh seluruh cuitan di Twitter yang berisikan kata kunci “gajah” sepanjang 2019. Kami kemudian membaca sampel cuitan dan mencatat asal negaranya. Kami juga menilai apakah cuitan-cuitan tersebut mendiskusikan ancaman utama gajah liar.

Kami menemukan cuitan yang terkait langsung dengan gajah hanya sebesar 21% dari total cuitan. Perburuan merupakan ancaman yang paling sering didiskusikan (13%), diikuti konflik manusia-gajah (7%), dan kehilangan habitat (kurang dari 1%).

Hanya 27% dari cuitan yang berasal dari pengguna di negara-negara habitat gajah. Artinya diskusi tentang konflik manusia-gajah, dan isu yang penting bagi negara habitat, kerap dibayangi oleh pengguna Twitter dari negara-negara barat.


Read more: Dari gajah hingga rusa: bagaimana herbivora berperan besar menyelamatkan iklim bumi?


Ketika ada percakapan seputar konflik manusia-gajah, biasanya itu hanya dalam rangka merespon gajah yang terbunuh. Media internasional kerap memberitakan masyarakat lokal yang tidak peduli dan menyalahkan warga atas konflik yang terjadi. Misalnya, ada satu cuitan:

Jika manusia tidak mau gajah berada di tanah mereka, maka seharusnya mereka tidak memindahkan lahan pertaniannya di tengah-tengah habitat gajah. Gajah lebih dulu berada di sana.

Selain itu, banyak pula pengguna Twitter dari negara-negara habitat gajah lebih mempermasalahkan perhatian kematian gajah, dibandingkan isu seputar dampak gajah pada komunitas lokal.

Sejalan dengan studi sebelumnya, banyak pengguna media sosial Afrika mengkritik pengguna Twitter dari negara barat. Pasalnya, mereka kerap menempatkan kehidupan satwa liar di atas orang Afrika. Misalnya, satu cuitan dari Botswana mengatakan:

Orang-orang terbunuh oleh gajah di sini setiap hari. Pencari nafkah, orang tua yang meninggalkan anak-anak mereka … apa orang desa di Botswana tidak diperhatikan?

Langkah selanjutnya

Upaya mengatasi konflik manusia-gajah akan menjadi masalah mendesak di tahun-tahun mendatang. Pasalnya, perubahan iklim dapat semakin mengurangi habitat gajah, sehingga manusia dan gajah terpaksa memperebutkan sumber daya yang terbatas.

Jika orang peduli dan menginginkan gajah lestari di alam liar, mereka juga perlu memperhatikan – dan mengadvokasi – komunitas yang hidup berdampingan dengan gajah.

Tanpa dukungan dari masyarakat lokal, konservasi gajah tidak akan mungkin berjalan mulus. Proyek konservasi yang lebih inklusif untuk melindungi satwa liar dan sekaligus menjaga kehidupan masyarakat, bisa meningkatkan dukungan untuk konservasi.

Sebaliknya, kurangnya pengakuan atas dampak manusia saat hidup bersama gajah, dan salah kaprah tentang siapa yang harus disalahkan atas konflik, berisiko melemahkan upaya konservasi.

Pelaku konservasi – dan pengguna media sosial secara lebih luas – perlu menantang stigma negatif tentang masyarakat lokal, meningkatkan kesadaran akan kenyataan hidup bersama gajah, dan mengakui hak masyarakat untuk mengelola kehidupan mereka di alam liar secara berkelanjutan.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 181,800 academics and researchers from 4,938 institutions.

Register now