Menu Close
Dalam aksi langsung ‘Aladdin,’ Mena Massoud membintangi Aladdin, sementara Will Smith berperan sebagai Jin. Daniel Smith/Walt Disney Pictures

Bagaimana film ‘Aladdin’ yang baru melawan stereotip Hollywood

Meskipun banyak mendapat pujian dan disukai banyak orang, film animasi Aladdin pada tahun 1992 punya masalah serius soal penciptaan stereotip dalam film tersebut.

Lewat film Aladdin terbaru yang rilis pada 24 Mei lalu Disney tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama.

Disney bahkan sampai meminta saran para cendekiawan muslim, aktivis, orang-orang kreatif, serta komunitas Timur Tengah dan Asia Selatan yang tergabung dalam Dewan Penasihat Komunitas di Amerika Serikat (AS). Saya juga diminta untuk jadi bagian dari tim film ini karena keahlian saya mengenai representasi orang Arab dan Muslim di media AS.

Fakta bahwa sebuah studio besar ingin mendengar opini dari komunitas-komunitas ini sudah mencerminkan komitmen Hollywood yang semakin terbuka terhadap keanekaragaman.

Tetapi, meskipun film Aladdin terbaru berhasil memperbaiki stereotip dan praktik whitewashing di Hollywood, yaitu ketika aktor kulit putih memerankan peran karakter non kulit putih dari Timur Tengah, namun hal tersebut masih belum mencapai apa yang diharapkan.

Jin ajaib dan syekh bejat

Dalam buku “Orientalisme” tahun 1978, profesor sastra Edward Said berpendapat bahwa budaya Barat secara historis sukses membangun stereotip atas Timur Tengah untuk membenarkan kekuasaan Barat terhadap Timur.

Poster film untuk film 1921 The Sheik Library of Congress

Orientalisme di Hollywood memiliki sejarah panjang. Film-film awal Hollywood seperti The Sheik dan Arabian Nights menggambarkan Timur Tengah sebagai negeri fantasi yang mengesankan–dengan padang pasir magis penuh dengan jin, karpet terbang, dan orang-orang kaya yang tinggal di istana mewah dengan gadis-gadis sebagai selir mereka.

Penggambaran ini bisa dibilang konyol, mereka menyamakan budaya Timur Tengah sebagai wilayah terbelakang yang membutuhkan peradaban dari Barat.

Kemudian serangkaian konflik dan perang terjadi Timur Tengah: perang Arab-Israel tahun 1967, Embargo Minyak Arab tahun 1973, Krisis Penyanderaan Iran, dan Perang Teluk. Di media Amerika, Timur Tengah yang eksotis memudar; diganti dengan citra kekerasan dan terorisme yang menakutkan.

Seperti pengamatan pakar media Jack G. Shaheen, ratusan film Hollywood selama 50 tahun terakhir telah mengaitkan Islam dengan perang suci dan terorisme, sambil menggambarkan Muslim sebagai “alien pengganggu” atau “syekh jahat licik yang berminat menggunakan senjata nuklir.”

Momen canggung dalam film animasi Aladdin

Dengan pemahaman di atas, orientalisme dari film animasi Aladdin tahun 1992 tidak terlalu mengejutkan.

Lirik lagu pembuka dari film ini menggambarkan sebuah daerah “di mana mereka memotong telinga Anda jika mereka tidak menyukai wajah Anda” dan menyatakan, tempat tersebut “biadab, tapi hei, itu rumah!”

Ketika Komite Anti-Diskriminasi Arab di AS memprotes lirik tersebut, Disney menghilangkan bagian memotong telinga dalam versi yang ditayangkan di rumah-rumah tetapi tetap mempertahankan bagian biadabnya.

Begitu pula dengan penggambaran karakternya, seperti yang telah diamati oleh banyak orang: orang-orang Arab yang jahat tampak jelek dan memiliki aksen asing, sedangkan orang Arab yang baik–Aladdin dan Jasmine–tampak seperti orang Eropa dengan aksen kulit putih Amerika.

Dalam animasi ‘Aladdin,’ orang-orang Arab yang baik digambarkan dengan sebagai orang kulit putih, sementara orang jahat berbicara dengan aksen asing. Disney

Film juga mempertahankan tradisi yang menghilangkan perbedaan antara budaya Timur Tengah. Sebagai contoh, Jasmine, yang berasal dari Agrabah–seharusnya Baghdad, tetapi sengaja diciptakan karena adanya Perang Teluk pada tahun 1991–memiliki harimau bernama India yang bernama Rajah.

Kemajuan yang dipertanyakan

Setelah peristiwa 9/11, serentetan film muncul dengan mengulang cerita teroris yang usang. Namun yang mengejutkan, beberapa representasi positif dari karakter Timur Tengah dan Muslim mulai muncul.

Pada 2012, saya menerbitkan buku saya Arabs and Muslims in the Media: Race and Representation after 9/11 (Masyarakat Arab dan Muslim di Media: Ras dan Representasi setelah 9/11). Di dalamnya, saya merinci strategi yang digunakan para penulis dan orang-orang kreatif setelah 9/11 untuk mengatasi stereotip ini.

Yang paling umum digunakan yaitu penggunaan tokoh pahlawan dari Timur Tengah atau Muslim untuk mengimbangi penggambaran kaumnya sebagai teroris. Dalam serial TV, Homeland misalnya ada Fara Sherazi, seorang analis CIA Muslim Amerika Iran yang dibunuh oleh seorang teroris Muslim. Karakter Sherazi menunjukkan bahwa Muslim Amerika yang “baik” adalah mereka yang bersedia mati untuk Amerika Serikat.

Tapi hal ini tidak mengubah fakta bahwa orang Timur Tengah dan Muslim pada umumnya digambarkan sebagai ancaman bagi Barat. Menambahkan karakter Timur Tengah yang ‘baik’ ternyata tidak banyak membantu dalam menghilangkan stereotip jika sebagian besar karakter lama masih muncul dalam cerita-cerita tentang terorisme.

Strategi lain juga muncul: kembali ke paham Orientalis yang yang menggambarkan Timur Tengah sebagai sesuatu yang eksotis dan romantis. Mungkin para penulis dan produser berasumsi bahwa dengan langkah tersebut lebih baik.

Film tahun 2004 Hidalgo misalnya, bercerita tentang seorang koboi Amerika yang melakukan perjalanan ke padang pasir Arab pada tahun 1891 untuk berpartisipasi dalam pacuan kuda. Dengan gaya Orientalis klasik, tokoh koboi tersebut menyelamatkan putri syekh kaya dari keponakan syekh yang haus kekuasaan.

Film 2017 Victoria and Abdul yang menggambarkan persahabatan antara Ratu Victoria dan pelayan yang beragama Islam dari India dan bernama Abdul Karim. Meskipun film ini mengkritik rasisme dan Islamofobia di Inggris abad ke-19, film ini juga memperlihatkan sisi kekanak-kanakan dan eksotisme Abdul.

Meskipun demikian, beberapa masalah mencolok tetap ada. Jake Gyllenhaal berperan sebagai karakter utama dalam film The Prince of Persia: The Sands of Time (2010), sementara Christian Bale dan Joel Edgerton memainkan karakter Mesir dalam film Exodus: Gods and Kings.

Mengapa aktor kulit putih memainkan peran ini?

Ketika ditanya, produser Ridley Scott mengatakan bahwa dia tidak bisa “memilih aktor utama yang bernama Mohammad. Saya tidak akan mendapatkan dana untuk filmnya.”

Apakah Aladdin yang baru membuat terobosan?

Dengan keinginan menghindari kesalahan masa lalu, eksekutif Disney meminta nasihat dari konsultan budaya seperti saya.

Tentunya ada beberapa kemajuan penting yang dibuat dalam film Aladdin terbaru.

Aktor Mesir-Kanada bernama Mena Massoud dipilih memerankan Aladdin. Mengingat kelangkaan orang-orang keturunan Timur Tengah dalam peran utama, pentingnya pemilihan Massoud sangat penting. Dan terlepas dari kenyataan bahwa beberapa pemain kulit putih lainnya membuat kulit mereka menjadi gelap selama pembuatan film, Disney sudah memilih aktor keturunan Timur Tengah untuk sebagian besar peran utama.

Memilih aktris India-Inggris Naomi Scott sebagai Jasmine juga merupakan langkah yang cukup kontroversial; banyak yang berharap untuk melihat seorang aktris Arab atau Timur Tengah dalam peran ini dan bertanya-tanya apakah pemilihan seseorang keturunan India hanya akan memperkuat gagasan tentang Timur. Meskipun demikian, film ini menjelaskan bahwa ibu Jasmine berasal dari negeri lain.

Masalah terbesar dengan film Aladdin terbaru adalah film tersebut tetap melanggengkan gaya Orientalisme magis-seolah-olah orientalisme lebih baik daripada penggambaran teroris. Sebenarnya, langkah tersebut bukan langkah yang berani karena menukar rasisme yang eksplisit hanya untuk eksotisme yang klise.

Setidaknya, Aladdin membedakan dirinya dari Hidalgo dan film-film gaya orientalis lainnya dengan tidak berkutat di sekitar pengalaman protagonis kulit putih.

Namun, sekali lagi, karakter orang baik ditampilkan dengan aksen Amerika sementara karakter dengan aksen non-Amerika sebagian besar, tetapi tidak sepenuhnya, adalah orang jahat. Baik penonton zaman sekarang maupun penonton pada tahun 1992 atau 1922 merasa kesulitan dalam mengidentifikasi budaya Timur Tengah yang berbeda di budaya “Timur” yang digambarkan di film. Tari perut, tarian khas Bollywood, lalu aksen Arab dan Iran muncul dalam film secara bergantian.

Menambahkan sedikit citra positif Timur dalam film yang bercerita tentang Timur yang eksotis tidak akan mengubah apa-apa sama seperti menambahkah sedikit citra positif Timur dalam sebuah film tentang terorisme. Representasi yang beragam membutuhkan langkah untuk keluar dari kiasan yang kuno ini dan memperluas jenis cerita yang telah diceritakan.

Aladdin tentu saja adalah dongeng fantastis, jadi pertanyaan tentang akurasi representasi mungkin tampak berlebihan. Ini merupakan film yang sangat menyenangkan di mana Mena Massoud, Naomi Scott, dan Will Smith semuanya bersinar dalam peran mereka. Tetapi selama seabad terakhir, Hollywood telah menghasilkan lebih dari 900 film yang menggambarkan stereotip orang Arab dan Muslim dan tanpa henti mempertahankan stereotip yang mempengaruhi opini dan kebijakan publik.

Jika ada 900 film yang tidak menggambarkan orang Arab, Iran, dan Muslim sebagai teroris atau menggunakan kiasan Orientalis lama, maka film seperti Aladdin bisa jadi “hanya hiburan” saja.

Sampai saatnya tiba, kita menunggu jin keluar dari lampu ajaib dan menghadirkan penggambaran yang lebih bernuansa dan beragam keluar.

Amira Swastika menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now