Menu Close
Lebih dari 100 peneliti dunia hadir untuk mempromosikan penelitian karbon rendah kepada pembuat kebijakan dalam Pertemuan Tahunan Jejaring Kerja Riset Rendah Karbon Asia di Bogor, Jawa Barat. (ANTARAFOTO/Jafkhairi)

Bagaimana ilmuwan bisa bantu rumuskan kebijakan berbasis bukti yang diterima secara politik

Riset dan bukti ilmiah lainnya merupakan salah satu faktor yang berkontribusi secara signifikan pada seberapa efektifnya kebijakan pemerintah.

Penelitian dari lembaga studi pembangunan di Inggris, Overseas Development Institute, menyimpulkan bahwa kebijakan dengan basis ilmiah yang kuat dapat membantu negara berkembang dalam menyelamatkan nyawa dan memangkas kemiskinan dengan lebih tepat sasaran.

Namun, seringkali hal tersebut menemui hambatan karena berbagai keterbatasan yang dimiliki pembuat kebijakan.

Surya Tjandra, dosen hukum di Universitas Katolik Atma Jaya yang kini menjadi Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang menjelaskan setidaknya tiga dilema yang kerap menghambat pengadopsian riset dan bukti ilmiah dalam perumusan kebijakan di Indonesia.

Ketiga hal tersebut adalah durasi jabatan politik yang terlalu pendek untuk menerapkan kebijakan ilmiah, realita ekonomi dan politik yang sering bertentangan dengan tuntutan bukti ilmiah, serta komunikasi hasil riset yang kurang membumi.

“Inilah yang dihadapi, dilemanya para ilmuwan yang masuk pemerintahan atau pejabat yang harus menggunakan sains,” ujarnya pada webinar yang diadakan The Conversation Indonesia pada akhir September berjudul “Saatnya Ilmuwan Bersuara: Pentingnya Komunikasi Sains Dalam Mendorong Kebijakan Berbasis Bukti”.

Ilmuwan harus memperhatikan karakter pengambil keputusan

Surya mengatakan bahwa dilema utama pembuatan kebijakan berkualitas - terutama bagi pejabat politik - adalah masa jabatan mereka yang cenderung pendek.

“Pejabat politik punya kutukan, kerjanya kan terbatas waktunya. Paling lama kalau terpilih lagi 10 tahun, presiden dua kali perode maksimal, dan juga seluruh kabinetnya itu. Saya juga, pejabat politik saat ini. Tapi kalau di-reshuffle besok?”

Penelitian tahun 2019 dari UGM menunjukkan bahwa keterbasan itu mendorong mereka memilih kebijakan dengan risiko politik rendah.

Hal ini bertentangan dengan bukti ilmiah yang kerap menuntut reformasi jangka panjang - seperti dalam kebijakan perubahan iklim, manajemen bencana, hingga reformasi agraria.

“Kalau yang modelnya waktu terbatas begini, apa sih yang jadi concern? Quick-wins [hasil jangka pendek], yang cepat, yang langsung berasa,” kata Surya, menjelaskan bagaimana ilmuwan bisa mengatasi tantangan ini.

Namun, senada dengan rekomendasi dari studi di atas, Surya juga meminta ilmuwan memperhatikan kebijakan jangka panjang.

Menurutnya, sembari menyediakan bukti ilmiah untuk kebijakan jangka pendek bagi pejabat politik, ilmuwan juga secara bersamaan bisa mendukung reformasi dan kebijakan berbasis sains untuk dilakukan pejabat birokrasi yang periode tugasnya lebih lama.


Read more: Kebijakan kilat, pemimpin inovatif, dan nasib demokrasi Indonesia


“Teman-teman ilmuwan bisa membantu setelah quick-wins terpenuhi, tawarkan juga nih mungkin long-wins,” katanya.

Indonesia bisa belajar dari lembaga riset kemiskinan J-PAL di Amerika Serikat yang menceritakan bagaimana Ohio State University (OSU) yang sejak tahun 1995 secara periodik menyediakan data gaji dan pendidikan kepada pemerintah negara bagian Ohio untuk mendukung berbagai kebijakan penanggulangan kemiskinan mereka.

Durasi proyek risetnya seringkali hanya sekitar satu tahun untuk menyesuaikan prioritas politik dan juga menunjukkan hasil sebelum masa penyusunan anggaran periode berikutnya.

Namun, dibekali pemahaman proses politik di Ohio dan juga berbagai data yang dikumpulkan selama itu, peneliti di OSU kemudian membangun pusat data ketenagakerjaan secara jangka panjang - bernama Ohio Longitudinal Data Archive (OLDA) - yang diluncurkan pada tahun 2013.

Sejak saat itu, pusat data ini telah digunakan berbagai departemen pemerintah Ohio untuk kebijakan ketenagakerjaan dan pendidikan. Pada tahun ini, misalnya, Lembaga Pendanaan Rumah Ohio (OHFA) menggunakan pusat data ini untuk bereksperimen dengan kebijakan jangka panjang seperti subsidi perumahan bagi warga Ohio.

Sains yang lebih peka realitas politik

Iqbal Elyazar, peneliti epidemiologi di Eijkman-Oxford Clinical Research Unit (EOCRU), mengatakan kerja ilmuwan harus mendukung pemerintah dalam melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dengan menggunakan bukti ilmiah.

Dia menyesalkan keputusan pemerintah untuk tetap menyelenggarakan pilkada.

“Apakah mereka concern terhadap poin melindungi segenap bangsa? Kondisi seperti ini [pilkada dan pelonggaran PSBB di tengah pandemi] pasti akan ada mobilitas, kerumunan, dan risiko tinggi untuk infeksi dan kematian,” keluhnya.

Meskipun sepakat dengan kekhawatiran Iqbal, Surya beranggapan bahwa menjawab “kepentingan warga negara” seringkali merupakan hal yang tidak hitam putih. Menurutnya ada banyaknya faktor ekonomi, politik, dan pandangan masyarakat yang membuat pegambilan kebijakan menjadi menantang.

“Misal kalau kita PSBB terus-terusan, siapa yang bayar orang supaya di rumah terus dan tetap hidup layak? Negara enggak sanggup membayar, warga juga banyak tidak punya tabungan,” katanya.

Pada tahun 2019, 74 juta orang di Indonesia memiliki pekerja informal, setara dengan 57% total pekerja di Indonesia. Selain itu, hanya terdapat 1 dari 5 orang di Indonesia yang punya keamanan finansial. Sekitar 60 juta lainnya rawan jatuh miskin.

“Bagi pengambil keputusan seperti kami karena pertimbangan rasional enggak cukup. Politik itu juga [harus memperhatikan] sentimen.”

Untuk itu, penting bagi komunitas akademik untuk menjadi “broker kebijakan” yang jujur, konsep yang ditawarkan peneliti ilmu politik di University of Colorado-Boulder di Amerika Serikat, Roger Pielke Jr.

Artinya, peran ilmuwan akan lebih efektif apabila menjelaskan berbagai opsi yang ada bagi pengambil kebijakan, lalu memberi ruang pada mereka untuk menggunakan bukti ilmiah tersebut dengan mencocokkannya pada realitas yang dihadapi masyarakat.

Iqbal dan Surya, misalnya, sepakat bahwa perumusan kebijakan pilkada maupun PSBB harus didasarkan pada hitungan ilmiah dari seluruh skenario - seperti risiko kematian apabila pilkada dilakukan, beban rumah sakit yang bisa dikurangi apabila ditunda, maupun kerugian ekonomi dari hilangnya pekerjaan akibat penerapan PSBB - untuk mewakili seluruh suara yang ada.

“Perlu ada yang menjembatani antara ilmuwan dan otoritas untuk sama-sama mengadakan hitung-hitungan lengkapnya,” kata Iqbal.

Perumusan kebijakan dengan model seperti ini pada akhirnya bisa jadi langkah terbaik.

Profesor komunikasi publik dari Michigan State University di Amerika Serikat, John C. Besley mengatakan dalam bukunya bahwa masyarakat sangat menghargai apabila keresahan yang dialaminya dipertimbangkan dalam kebijakan publik, bahkan apabila akhirnya yang diputuskan adalah kebijakan yang merugikan mereka secara ekonomi - seperti kebijakan penutupan aktivitas ekonomi dan PSBB.

Mempermudah konsumsi bukti ilmiah

Dilema terakhir yang dihadapi pembuat kebijakan adalah keterbatasan mereka dalam memahami bukti ilmiah dan hasil penelitian, terutama yang tidak disampaikan dalam bahasa awam.

“Teman-teman di birokrasi punya banyak kerjaan juga ya. Ini pasti nggak bisa cepat untuk baca perkembangan ilmiah terbaru,” kata Iqbal.

“Salah satu tugas ilmuwan juga menjembatani info yang dikeluarkan itu dalam bahasa yang mudah dimengerti dan ringkas kepada teman-teman di birokrasi.”

Studi tahun 2011 dari lembaga riset SMERU mengafirmasi pendapat Iqbal. Terdapat perbedaan fundamental bagaimana pembuat kebijakan dan peneliti memahami bagaimana penyajian bukti ilmiah yang ideal.

Perbedaan persepsi tentang bukti ilmiah antara pembuat kebijakan dan peneliti. (Bachtiar, 2011)

Adi Utarini, profesor kesehatan masyarakat di Universitas Gadjah Mada juga menyampaikan pentingnya ilmuwan memiliki kompetensi untuk mengkomunikasikan bukti ilmiah dalam format yang mudah dikonsumsi pejabat maupun publik.

“Di Indonesia, komunikasi sains belum dianggap sepenting publikasi jurnal internasional,” katanya.

“Kita butuh program sistematik di lembaga akademik dan riset serta kementerian bagaimana menulis policy brief [ringkasan kebijakan] misal. Itu sama pentingnya dengan sains itu sendiri.”

Mayoritas pejabat publik di Indonesia tidak memiliki kompetensi untuk memilah dan menggunakan bukti ilmiah dalam kebijakan, sebagaimana yang diungkap oleh studi tahun 2017 dari Universitas Gadjah Mada (UGM).

Minimnya pengunaan riset dalam pembuatan kebijakan di Indonesia bisa menyebabkan korban jiwa karena kebijakan kesehatan yang buruk hingga mitigasi bencana yang salah.

Selain program pelatihan di lembaga akademik dan pemerintahan, Surya juga menekankan pentingnya kehadiran media ilmiah populer seperti The Conversation untuk membantu peneliti di Indonesia dalam menyampaikan risetnya secara luas.

“Kita sangat butuh kehadiran kalian sekarang, lebih dari masa apa pun dalam sejarah kita. Saya harus mengakui itu, jangan menyerah untuk ngomong terus,” katanya.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now