Menu Close
Pekerja ikan asin sedang mengeringkan ikan di Indramayu, Jawa Barat. Author provided.

Bagaimana Indonesia dapat memanfaatkan Dana Loss and Damage untuk memperkuat adaptasi perubahan iklim

Pembiayaan untuk penanganan perubahan iklim menjadi topik utama dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP27) di Mesir tahun lalu. Dalam perhelatan ini, COP27 menyepakati pembentukan dana loss and Damage atau dana “kerugian dan kerusakan” untuk membantu negara berkempang mengatasi kerugian dan kerusakan akibat perubahan iklim.

Istilah loss and damage sebenarnya belum didefinisikan secara rinci dalam perhelatan tersebut. Namun, sejauh ini, istilah tersebut merujuk pada dampak negatif dan kerugian yang timbul akibat perubahan iklim.

Secara historis, negara berkembang memproduksi gas rumah kaca yang jauh lebih kecil dibanding negara maju, tapi jadi pihak yang paling terdampak perubahan iklim. Oleh karena itu, negara-negara berkembang menuntut negara maju untuk memberikan kompensasi atas kerugian yang mereka terima dari dampak perubahaan iklim.

Sejauh ini, belum ada kesepakatan seputar bagaimana dana loss and damage tersebut akan dioperasionalkan. COP27 hanya membentuk komite khusus yang bertugas menyusun rekomendasi operasionalisasi dana tersebut pada COP28.

Jika sudah beroperasi, dana loss and damage ini dapat dimanfaatkan Indonesia untuk mengatasi persoalan-persoalan iklim yang krusial. Kami menilai Indonesia dapat menggunakan tambahan pembiayaan iklim dari dana tersebut setidaknya untuk empat hal.

Melindungi petani, pembudidaya ikan, dan nelayan kecil

Indonesia dapat menggunakan tambahan pembiayaan dari dana loss and damage tersebut untuk memperkuat program-program asuransi iklim.

Komisi Sosial dan Ekonomi PBB untuk Asia dan Pasifik (UN ESCAP) memperkirakan Indonesia setiap tahunnya kehilangan sekitar US$ 31,2 miliar (Rp 478 triliun) akibat bencana. Sebagian besar di antaranya (US$ 23,3 miliar atau Rp 357 triliun) diakibatkan oleh bencana kekeringan.

Petani bawang di Jawa Barat. Salah satunya dampak perubahan iklim adalah cuaca ekstrem yang berbahaya bagi sumber penghidupan petani. (Dedhez Anggara/Antara)

Kekeringan secara langsung dapat mengakibatkan kegagalan panen yang mengancam produksi pertanian dan penghidupan petani. Jika persoalan ini memburuk, kekeringan juga dapat mengancam ketahanan pangan Indonesia.

Selain kekeringan, perubahan iklim menyebabkan kenaikan suhu air laut sehingga mengancam kelestarian sumber daya kelautan Indonesia yang bernilai US$ 256 miliar (Rp 3.929 triliun).

Kenaikan suhu air laut juga mengakibatkan coral bleaching atau pemutihan terumbu karang yang merusak habitat ikan. Sejauh ini, diperkirakan hanya 30% terumbu karang yang memiliki kondisi baik di Indonesia. Rusaknya terumbu sebagai habitat ikan mengakibatkan turunnya populasi ikan.

Kenaikan suhu air laut juga membuat ikan-ikan berpindah ke laut yang lebih dalam sehingga nelayan perahu kecil akan cenderung sulit menggapai ikan-ikan tersebut.

Dampak perubahan iklim seperti [perubahan curah hujan dan meningkatnya keasaman air laut] turut menyebabkan pengurangan produktivitas ikan budidaya. Pengurangan produksi tersebut juga mengancam penghidupan pembudidaya ikan.


Read more: Budi daya perikanan Indonesia tumbuh pesat, ini 3 caranya agar tak merusak lingkungan


Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dan Strategi Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana (PARB) Indonesia memandatkan program asuransi petani, pembudidaya ikan, dan nelayan untuk mengatasi dampak perubahan iklim.

Pemerintah pun memiliki program Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP) dengan 80% subsidi premi, serta Asuransi Perikanan bagi Pembudidaya Ikan Kecil (APPIK) dan Bantuan Premi Asuransi Nelayan (BPAN) dengan premi dibayarkan penuh oleh pemerintah.

Sayangnya, program ini baru menggapai sebagian penerima manfaat potensial karena keterbatasan anggaran serta beberapa kekurangan di desain program. Misal, capaian tahunan tertinggi Asuransi Tani hanya 1,7 juta petani atau sekitar 12% dari penerima manfaat potensial.

Tekanan COVID-19 terhadap anggaran negara juga mengharuskan pemangkasan setengah penerima manfaat Asuransi Usaha Tani Padi. Pemerintah juga sementara menghentikan program subsidi Asuransi Pembudidaya Ikan dan Bantuan Asuransi Nelayan. Oleh karena itu, pembiayaan tambahan diperlukan untuk memperluas penerima manfaat dan menghidupkan kembali program yang terhenti.

Produk asuransi iklim juga masih terbatas, belum ada produk untuk buah-buahan, hortikultura, dan sebagian besar komoditas perikanan ekspor tinggi. Oleh karena itu, pembiayaan tambahan juga diperlukan untuk pengembangan produk baru.

Pembiayaan tambahan ini dapat berasal dari dana loss and damage.

Pemulihan pascabencana daerah pesisir

Pemerintah dapat memanfaatkan dana kerugian dan kerusakan untuk membantu kawasan pesisir yang mulai tenggelam akibat perubahan iklim.

Banjir Indonesia
Dampak cuaca ekstrem yaitu banjir di sepanjang pantai utara Jawa. Harviyan Perdana Putra/Antara

Kenaikan muka air laut membahayakan daerah pesisir. DKI Jakarta dan sebagian pantai utara Jawa diprediksi akan tenggelam. Selain itu, terdapat pula 115 pulau kecil yang berisiko tenggelam pada 2100.

Mayoritas rumah pesisir yang terdampak dimiliki oleh warga miskin. Mereka membutuhkan bantuan untuk memperbaiki rumah ataupun berpindah ke kawasan lokasi yang lebih aman.

Pembiayaan tambahan dari dana loss and damage dapat digunakan untuk membantu program relokasi warga yang terdampak (dari rumah tenggelam atau tidak layak huni). Selain itu, program pemulihan pascabencana (pemulihan trauma dan peningkatan kapasitas) juga dapat ditingkatkan melalui tambahan pembiayaan ini.

Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah menjalankan berbagai program perumahan rakyat bersama mitra pembangunan dan lembaga swadaya masyarakat. Pembiayaan tambahan dana loss and damage ini dapat digunakan untuk memperkuat program-program ini.

Rehabilitasi mangrove dan lahan gambut

Indonesia dapat memanfaatkan tambahan pembiayaan dari dana loss and damage untuk merehabilitasi gambut dan mangrove yang rusak.

Warga sedang merawat sekat kanal di kawasan gambut untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan. (Antara)

Indonesia adalah rumah bagi sepertiga lahan gambut dan seperlima lahan mangrove dunia. Keduanya berperan penting dalam penyimpanan karbon serta pencegahan abrasi dan banjir, sehingga amat penting bagi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) memiliki inisiatif Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+) untuk melindungi hutan, gambut, maupun mangrove. Indonesia pun memiliki strategi nasional, beberapa program, serta lembaga khusus untuk menjalankan REDD+.

Tambahan pembiayaan dari dana loss and damage dapat membantu upaya Indonesia memangkas emisi, dan pemanfaatan solusi alam untuk adaptasi abrasi dan banjir.

Walau begitu, upaya ini masih bergantung pada bagaimana dana tersebut dikelola. Apakah dana tersebut hanya untuk kompensasi kerugian yang telah terjadi atau dibolehkan untuk membiayai upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim?

Memperkuat “Dana Bersama Penanggulangan Bencana” Indonesia

Terakhir, tambahan dana loss and damage dapat digunakan untuk memperkuat Dana Bersama Penanggulangan Bencana atau yang sering disebut Pooling Fund Bencana (PFB) Indonesia.

PFB – yang dikelola badan layanan umum di bawah Kementerian Keuangan – merupakan dana yang dicanangkan untuk memperkuat pembiayaan di semua fase bencana (kesiapsiagaan, respons, dan pascabencana). Dana ini juga dicanangkan menjadi sumber pembiayaan yang lebih fleksibel dan responsif dari pada APBN.

Saat ini, pemerintah telah menginvestasikan Rp 7,3 triliun ke PFB. Dana awal ini setara dengan pengeluaran pascabencana tahunan Indonesia sekitar US$ 300-500 juta (Rp 4,6-7,6 triliun). Namun, hanya return atau keuntungan dari PFB ini yang bisa digunakan untuk membiayai kebutuhan penanggulangan bencana.

Oleh karena itu, tambahan dana dari dana loss and damage ini dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan dana PFB. Sehingga, keuntungan dari PFB dapat lebih besar dan dapat memberikan pembiayaan bencana yang signifikan.

PFB sebenarnya diperuntukkan bagi bencana secara umum. Namun, pemerintah dapat merumuskan ketentuan yang mengatur bahwa pendanaan tambahan dana dari dana loss and damage ini hanya diperuntukkan untuk bencana terkait iklim.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now